Tampilkan postingan dengan label rakyat 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

rakyat 1


 Abad ke  9  Masehi  laut Jawa di bawah bulan purnama  itu . Ombak-ombak besar bergulung-gulung memanjang  terputus, menggunung, melandai, menggenangi  pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya  yang bertebaran seperti serakan mutiara   semua    diterangi  oleh cahaya bulan. 
Angin meniup tenang. Ombak-ombak makin menggila. Sebuah kapal  patroli penjaga  pantai meluncur dengan  kecepatan tinggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan meruncing,  muncul -tenggelam di antara ombak-ombak  purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan 
menggelembung membuat  lunas menerjang serong gunung-gunung air itu   serong ke baratlaut. Barisan dayung pada  dinding kapal berkayuh beribetari  seperti kaki-kaki pada ular naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan. Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar bendera panjang merah dan putih   bendera kadipaten kediri . Di bawahnya lagi, duduk di atas tali-temali, seperti  titik kelam, adalah jurutinjau. Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang  sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di sampingnya berdiri resi mandala , bertolak pinggang. 
“Tetap tak ada yang mengejar, Tuanku!” seru juru tinjau. “Kita akan selamat sampai di tempat,” bisik nakhoda  pada resi mandala  sambil bersujud  dada. “Tak ada yang  mengejar kita.” 
resi mandala  mengangkat kain dan diikatkannya pada pinggang sehingga bagian luar  dari sutera itu berkilauan  terkena cahaya bulan. gada wesi nya tertutup oleh kainnya   suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran. 
“Silakan beristirahat . Sebentar lagi kediri  akan nampak.” 
“Lihat yang baik, barangkali ada iring-iringan 
perampok .” 
“Tak pernah ada perampok  berani mendekati kapal 
saya .” 
“Lihat yang baik,” gertak resi mandala . Tangannya 
membetulkan kain penutup dadanya. 
“Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping?” 
“Tiada sesuatu. Tuanku,” nakhoda itu meneruskan 
laporan jurutinjau sambil bersujud  dada. “Sebaiknya 
Tuanku beristirahat  sebelum mendarat tengah malam ini.” 
resi mandala  melepas kain lagi sehingga bagian luar  sutranya 
tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan 
mondar-mandir di geladak, lalu  pergi ke haluan, 
memeriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia melihat  ke bawah, memandangi lunas yang menerjang ombak. Juga  tak lama. Dengan tinju ia memukul-mukul dinding kapal, 
lalu  berjalan lagi mondar-mandir tanpa tujuan. 
Akhirnya ia menuruni tangga geladak dan hilang dari pemandangan. 
“Ahoi! Turun!” perintah nakhoda pada jurutinjau. 
Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu 
menghembuskan nafas besar. 
“Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur  begini,” sambut nakhoda. 
“Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal.” 
“Pada putra baginda tuanku raja  adiputro  tak ada nakhoda berani  membantah, biarpun putra ke 400  empat puluh satu!” 
“Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku.” 
“Lebih mudah  menumpas perampok .” 
‘Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai.” 
“Boleh jadi ada perintah kembali.” 
“Dewa Batara!” sebut nakhoda. “Itu berarti akan 
terkapar ditelan hiu martil .” 
“Ts-te-ts.” 
“Coba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat.”  “namun  saya  jurutinjau, Tuanku.” 
“Apa lagi yang hendak kau tinjau? Angin?” 
Jurutinjau pergi. Nakhoda itu naik ke atas tiang utama, hanya agar tidak berada di dekat resi mandala , putra ke 250  Juga di bawah bulan purnama  itu pula, di sebuah botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit. 
Lehernya memanjang, lalu  menunduk pelan sambil 
mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan. Kaki depannya  berdiri, kaki belakangnya bersimpuh. kepala   itu diangkat  lagi. Matanya semakin sayu. Dari mulutnya keluar suara  keras, melolong , melolong. kepala  nya terangkat-angkat, 
kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke  kiri dan kanan. Ia memanggil bulan dan yang dipanggilnya  tak mau datang. Yang datang justru berpuluh-puluh yang  lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu  memandang ke atas, memanggil-manggil sang bulan, 
berteriak , melolong, melolong . 
Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya  melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai  desa perbatasan kadipaten kediri : hutan  larangan . Menusuk  lebih dalam ke tengah-tengah desa, memasuki balai-desa. 
“Dengar anjing-anjing melolong !” orang tua itu 
menuding ke arah atap. Alisnya yang putih terangkat.  Badannya tetap tenang duduk di atas tikar menghadapi para  pendengarnya. 
“Tak pernah anjing hutan melolong  seperti itu.” 
Sunyi-senyap di ruangan balai-desa. Semua 
memanjangkan leher mendengarkan lolong  ratusan anjing di tengah hutan. Ratusan sumbu damarsewu yang menyala  di sepanjang dan seputar rumah umum itu bergoyang-
goyang terkena angin silir. 
“Apakah gerangan yang akan terjadi, betari ?” kepala    desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya. 
“Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjing-anjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi mereka. Sejak dahulu pun tidak. namun  bulan penuh, menua  dan hilang. Bulan purnama sekarang, namun  bukan purnama 
untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam.” 
“Kita belum pernah tenggelam, betari ,” protes seorang 
gadis di tengah-tengah hadirin. 
“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum  pernah terbit. Kita   kita pernah terbit, dan sekarang sedang tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian  semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih 
berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis. dahulu  desa ini dinamai mojosongo …” Tiba-tiba suaranya terangkat naik, melengking. “Kalian biarkan desa ini di hina  oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama  hutan  larangan .” Ia tertawa sengit. 
“Bukan begitu betari  resi ,” bantah kepala   desa kertaraja   menebarkan pandang minta sokongan hadirin. “Nama itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap sulitnya kacangtanah  di sini. Lama-lama jadi sebutan resmi di kediri . Kami hanya mengikuti, betari .” 
“Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahun ini maka sebuah desa bisa kekurangan kacangtanah ?” orang tua itu tak  menoleh pada kepala   desa. “Apakah di mandala kalian sudah tak pernah diajarkan tentang kacangtanah  dan tentang  desa, bahwa kesejahteraan desa nampak dari puncak-puncak pohon kacangtanah nya?”  Para hadirin berhenti mengunyah sirih mendengar perselisihan sudah dimulai itu. “Dengarkan kata-kata betari  resi   ini,” orang tua itu meneruskan dengan tubuh tetap tidak bergerak dalam silanya. “Desa yang kekurangan 
kacangtanah …. adalah sebab  ada apa-apa kecuali kacangtanah  di dalam kepala  -kepala   desanya. Ingat-ingat itu! Ada apa-apa  kecuali kacangtanah .” 
“Apakah apa-apa dalam kepala  ku. betari  resi ?” tanya  kepala   desa tersiksa. 
“Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini 
dahulu mencukupi buat semua? Memang lain. Dahulu penduduk desa masih memiliki  harga diri. Namanya tetap  mojosongo  sebagaimana diberikan oleh leluhur para  pendiri. Sekarang, bukan sebab  kacangtanah  itu tidak tumbuh, 
cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka kacangtanah  pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan  nenek-moyang.” 
Tak ada yang menyanggah. Dengan lunak ia mulai 
bercerita tentang kacangtanah  di desa-desa lain yang lebih tandus.  Para hadirin, tua dan muda, laki dan wanita lesbian , gadis  dan perjaka memperhatikan tubuh pembicara yang pendek-kecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar 
putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala   
tribuanatunggadewi  dalam betari yana. 
Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil 
mengunyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan 
keputihannya. Mereka menghormati orang tua yang  terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa  Sang Amurwabhumi, berlidah gada  dan berpukul  api itu. 
“Dengar, barangkali anjing-anjing itu akan melolong   sepanjang malam.” 
Kembali orang mendengarkan lolong  yang sayup-sayup dari tengah hutan. 
“Nenek-moyang kalian tidak sebebal kalian sekarang,” tiba-tiba orang tua itu menetak kejam. 
“Aku dan kami mungkin memang bebal,” seseorang di tengah-tengah hadirin membantah. ‘namun  para dewa, betari  resi , pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik  untuk kacangtanah .” 
“Puah!” seru betari  resi  . “Sewaktu kecilku takkan 
ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan sejenis  itu. Mandala masih berwibawa dan resi -resi  dihormati, maka bocah yang belum terpanggil oleh sang sri ratu kertanegari  pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal 
pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada  seorang pun menghinakan keadaannya, sebab  manusia  diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada  ajaran, hewan takkan mengubah apalagi alamnya? namun    manusia tanpa cipta merosot, terus merosot sampai ke telapaknya sendiri, merangkak, melata, sampai jadi hewan 
yang tak mengubah sesuatu pun. Untuk memiliki ekor pun manusia demikian tidak berdaya.” 
Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. Dagunya tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang  ditunggu tiada kunjung datang. Dan ia meneruskan, 
mengulangi ajaran sri ratu kertanegari  dan betarakalong  tentang manusia dan 
kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan kemungkinan-kemungkinannya. lalu  menutup 
dengan nada tinggi meledak: “resi -resi mu takkan lupa  menyampaikan: yang buruk datang pada manusia yang salah memakai  nalar, sehingga nalar yang buruk memanggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian melewatkan masa kanak-kanak dan remaja di bawah petunjuk 
dan ajaran Sang resi . Padaku ada wewenang menamai kalian bebal.” 
“Kata-kata itu menyakitkan hati, betari ,” seseorang 
nenek memprotes. “Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda  masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. namun  macam 
cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada 
kebebalan adalah juga kebebalan. Nah, sekarang coba ikuti  kata-kataku: sudah  kalian ubah nama ini dari mojosongo   jadi hutan  larangan , hanya sebab  desa ini tak mampu membayar upeti kacangtanah  untuk pasukan gajah kediri . Upeti 
demi upeti. Apa sudah kalian terima dari Sang adiputro ? Siapa di antara anak-anak desa ini memperoleh  kesempatan merajai lautan seperti di jaman kerajaan jenggala  dahulu ?  Menyaksikan dunia besar? Dihormati dan disegani di mana-mana? Di Tumasik, di Benggal, Ngabesi, Malagasi, sampai di Tanjung Selatan Wulungga sana? Tak pernahkah  orangtua kalian bercerita sejenis  itu maka hatimu jadi sakit sebab  kebebalan sendiri?”  betari  resi   berhenti bicara. Kembali lolong  beraturan  anjing mengisi suasana. 
“Tak ada seorang pun di antara Laki-laki petualang  ini pernah menginjakkan kaki di bumi negeri dongeng . Di sana pun dahulu kalian akan dengar gamelan kalian sendiri. Orang sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji tengkorak , juga  seperti kalian di desa ini. Sang adiputro  tidak memberikan  kesempatan pada kalian. namun  kalian terus juga membayar  upeti, barang jadi dan barang gubal. Tak seorang di antara  kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana  Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha didengarkan orang.” Orangtua itu mulai bercerita tentang negeri-negeri jauh yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang kebesaran-
kebesaran kerajaan jenggala . Para pendengarnya mulai terbuai. Dan ia menyentakkan mereka dengan lidah parangnya: 
“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa-la lu. Kalian, orang-orang yang sudah  kehilangan  harga diri dan tak memiliki  cipta. Segala keenakan dan  kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan 
pohon kacangtanah  pun kalian tak mampu!” 
Malam itu dingin. Semua memakai  kain menutup 
dada, laki dan wanita lesbian . Namun ada juga wanita lesbian  yang membiarkan buah dadanya terbuka, dipermainkan  sinar damar sewu dan angin silir yang  mengentalkan darah. 
“dahulu , waktu Sang adiputro  masih muda, jadi pembesar berkuasa di Wilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga sudah   dipersembahkannya pada kerajaan jenggala . Di tangannya juga  kerajaan jenggala  padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuanya, apakah yang bisa diperbuatnya? Untuk desa pinggiran ini  pun tidak sesuatu! Kalian ini bawahan  Sang adiputro  ataukah  budaknya yang ditangkap di medan perang?”  
“bawahan !” seseorang memberikan jawaban.  
“Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian?”  
“betari !” seorang lagi berseru tegang,  
“betari  sudah ….”  
“betari !” tegur kepala   desa di belakangnya. Matanya 
berbeliak menyemburkan api kemarahan. “Itu 
pemberontakan!” ia menuduh. “Paling tidak menghasut  pembangkangan. Tidak lain dari betari  sendiri yang lebih  mengerti aturan darmaraja.”  Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa.  
“Benar, pemberontakan, hasutan,” dua-tiga orang mulai berseru-seru. Para hadirin mulai gelisah, berselisih satu  dengan yang lain. Suasana tak terkendali. Orang tua itu  sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya.  
“Katakan itu di kediri !” seseorang berteriak .  
Orang tua itu mengangkat telunjuknya, dan semua 
terdiam. “Kalau aku tidak bicara di kediri , semua tahu  sebabnya kecuali hewan  dan tumbuh-tumbuhan, semua,  juga sang Hyang betari durga  , juga para dewa: sekali diucapkan, 
kebenaran meluncur turun dari ketinggian, menjalar ke  mana-mana, berkembang biak dalam hati manusia waras, sebab  kebenaran selalu datang dari sang Hyang betari durga   sendiri. 
Juga kata-kataku akan sampai ke kediri , ke jenggala -jenggala seberang….” 
Juga di bawah bulan purnama itu beratus-ratus perahu   membawa penduduk dewasa pesisir sedang menyisiri  seluruh pantai suryabuaya  , menyisiri Teluk Awur, pulau Kelor dan pulau Panjang. 
100 perahu  sudah  mendarat di pulau Panjang,  membawa gada  dan tombak meneliti setiap sudut dan lapangan. Seorang centeng  bertombak berteriak : “Semua penduduk nelayan pulau Panjang supaya menghadap!” Di tempat-tempat lain suara itu diteruskan, sambung 
menyambut berkait-kaitan. Dan tak ada seorang nelayan pun datang menghadap. Tak ada yang tahu ke mana mereka melarikan diri. 
Dalam sebuah rumpun bakau yang lebat orang 
menemukan sebuah arca ganesha raksasa  yang belum lagi selesai.  Empat buah besi pahat dan dua penohok tergeletak pada  alas kaki arca. Rombongan penduduk pesiar suryabuaya   itu 
terkesima oleh pemandangan itu.  Seorang centeng  bergada  menghardik: “Mengapa ragu-ragu menangkap?” ia lari menghampiri. 
Ia sendiri terkejut melihat arca belum jadi itu. 
Seorang centeng  lain datang, memekik: “Mengaku sudah arca   . Mengapa pada batu takut? ayolah , gulingkan.  Ceburkan ke laut.” namun  penduduk pesisir suryabuaya   dan centeng  pertama itu  ragu-ragu. centeng  ke dua itu mendekati arca itu dan 
membuang inya.  “Lihat, dia diam saja aku pukuli,” lalu  ia menggoyang-goyang kepala   gajah yang belum jadi itu, “lihatlah, dia sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan. ayolah , gulingkan!” perintahnya lalu .  centeng  pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan.  Dengan langkah goyah ia mendekati ganesha raksasa  belum selesai  itu dan dengan takut-takut menyentuh belalainya dengan 
tulunjuknya. Dan belalai ganesha raksasa  itu tidak hangat, juga  tidak membuktikan diri memiliki  sakti. “pukuli dia!” perintah centeng  kedua. 
centeng  pertama melengos. Ia tak berani. 
“Barangsiapa masih mengaku arca   , ayolah  bantu aku 
gulingkan batu ini!” kata  centeng  kedua. 
Hanya 50  orang maju. Mereka mendorong kepala   
arca itu sampai terguling ke tanah. centeng  kedua bersorak, pengikutnya juga bersorak. 
“Guling-gulingkan sampai ke teluk!” 
Makin lama makin banyak orang yang ikutserta . Tak lama lalu  terdengar batu itu tercebur ke laut dan hilang dari pandangan bulan dan manusia. 
Di kertarejo , di pesisir selatan suryabuaya  , penduduk kota  yang dikerahkan hanya menemukan sebuah gubuk. Di depannya berdiri tunggul kayu setinggi sepuluh depa. Pada puncaknya terpahat sebuah arca yang sudah  rusak, pecah-pecah kepala  nya terkena panas dan hujan. Tak dapat 
dikenali lagi arca apa. Di dalam gubuk itu sendiri hanya  dapat ditemukan sebuah tempayan kecil berisi abu jenazah,  terletak di atas para-para. Pada sebuah dinding tergantung papan kayu nangka dengan lukisan seorang wanita cantik 
dengan dua jari tangan membelai dagunya sendiri dan dengan tangan kiri memegangi pergelangan tangan kanan. Seorang centeng  menghancurkan tempayan itu dengan  punggung gada nya sehingga abu itu buyar berhamburan. 
Dengan mata gada nya ia hancurkan lukisan itu 
berkeping-keping, lalu  menyepaknya berantakan. 
Sebuah kotak kayu tempat alat-lukis yang diperoleh  di atas para-para dilemparkan keluar gubuk. Alat-alat yang  sudah  berjamur itu bergelatakan dalam cahaya bulan, diam, 
tidak bergerak lagi. Di suryabuaya   sendiri, di muara kali bengawan  serombongan  pembesar sedang turun dari sebuah kapal kediri  yang kena sergap. Begitu turun ke darat seorang di antaranya 
menengok ke belakang pada tiang utama kapal. Seorang  pembawa payung berlari-lari mendekati dan  memayunginya. Payung kuning dari sutera itu mengkilat bermain-main dengan cahaya bulan. namun  orang itu tidak menanggapi . Ia berkata : “Lebih bagus dengan  bendera kita.” 
“Semua ikut memandangi bendera putih yang berkibar malas dalam angin silir lemah itu. Gambar kupu-tarung di  tengah-tengahnya kelihatan hanya sebagai setumpukan  garis sambung-putus. Juga bendera itu dari sutera. “Kupu-tarung lebih bagus dibandingkan  hitam kuning merah ,”  seseorang memberikan tanggapan. 
“Seluruh hitam kuning merah  kerajaan jenggala  itu akan tumpas dari muka bumi.” 
‘Tentu.” Dengan sendirinya rombongan itu mengalihkan pandang  pada sang bulan. Nampak semakin besar dan semakin  kuning…. 
Juga di bawah bulan purnama itu beberapa puluh anak-anak, laki dan wanita lesbian , sedang bernyanyi bersama di  tanah lapang Wilwatikta, bekas ibukota kerajaan jenggala . Mereka  sedang menyampaikan puji-pujian kepada sang bulan  sebelum memulai dengan permainan malam. Mereka 
bergandengan satu dengan yang lain, merupakan lingkaran. Di tengah-tengahnya berdiri seorang anak yang memimpin  permainan. 
Malam purnama ini jumlah mereka semakin sedikit. Setiap minggu ada saja yang meninggalkan Wilwatikta  untuk selama-lamanya, pindah ke pasuruan  atau kota-kota  jenggala lainnya. 
Juga di bawah bulan purnama itu di tanah lapang di  ibukota kerajaan Blambangan ribuan bocah sedang bernyanyi bersama seperti di Wilwatikta. Hanya bukan seorang nenek memimpin mereka, namun  seorang peserta da  Laki-laki  setengah baya. Perawan dan perjaka, beratus-ratus me-
lingkari anak anak yang sedang menyampaikan puji-bulan. Antara sebentar semua bertepuk-tepuk dan bersorak-sorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan  damai, seakan tak ada lagi setetes darah memerahi medan perang. 
Juga seluruh Dahanapura, ibukota kerajaan 
Blambangan, mengelu-elukan bulan yang memerangi langit  tanpa noda itu, sebab  cuaca seindah itu menjanjikan  kemakmuran dan perdamaian. Pasuruan, kedudukan Dahanapura, semakin lama semakin besar sesudah  Sri 
Baginda Ranawijaya Girindrawardhana, raja Blambangan  membariskan pasukannya memasuki kerajaan jenggala  yang sudah   runtuh, untuk membuktikan pada dunia, bahwa tak ada  kekuatan lain berhak menjamah bekas kerajaan kerajaan jenggala  dan ibukotanya selama darah Sri Baginda Kretarajasa, yang  sekarang masih berdiri di Blambangan. Tiga tahun sesudah   menduduki Wilwatikta, 1489 M., pasukannya ditarik mundur
kembali ke Blambangan. untuk mengalihkan perhatian  orang dari kerajaan jenggala  ke Blambangan. Ia berhasil dan Pasuruan menjadi jenggala besar. Kalau ada yang masih  dirusuhkan oleh Sri Baginda Ranawijaya Girindra 
wardhana dan Patih Udara, hanya sebab  jenggala 
kerajaan jenggala , pasuruan , tak dapat dipindahkannya ke Pasuruan.  Namun orang tak meneteskan darah di wilayah  Blambangan sebab  perang. Aman, damai dan kemakmuran melimpah. 
Di balai-desa hutan  larangan  antara betari  resi   dan 
para hadirin ketegangan semakin menjadi-jadi. Hal itu tidak pernah terjadi dengan resi  pembicara lain yang pernah datang ke desa ini. 
“Betul!” orang memekik di tengah-tengah hadirin, “tidak  lain dari betari  resi  sendiri yang lebih tahu tentang  darmaraja. Dari kediri  datang pengayoman. Pengayoman  itu yang membuat betari  tidak tahu, setiap jengkal tanah yang kita pacul adalah milik baginda tuanku raja  adiputro , dirampas  dengan parang dan tombak dari tangan musuh-musuhnya  dan dibenarkan oleh para dewa. Keringat kita, kita teteskan  di atasnya dan panen pun jadi. Itulah harga dari semua  upeti kita. Pengayoman, betari , sehingga tak ada musuh 
datang menyerbu kami. Anak-anak dapat bermain-main damai setiap hari. Hujan jatuh membawa kesuburan. Dan keringat jatuh membawa kesejahteraan.”  betari  resi   tak pernah memotong kata-kata orang. Ia  mendengarkan tanpa menggerakkan badan. lalu : 
“Indah sekali kata-kata itu. Aku dapat lihat, kau tidak pernah ikut meneteskan keringat, tidak pernah ikut  mencangkul. Petani tidak seperti itu kata-katanya. Putra ke berapa ratus kau dari Sang adiputro ? Coba sini, perlihatkan  mukamu.” 
Pembicara itu tidak menampakkan mukanya. 
“Sayang kau tak berani muncul. Kau, orangmuda, sama  halnya dengan wanita lesbian  pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di jenggala -jenggala dibandingkan   mendampingi seorang suami di sawah dan ladang. 
Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka  haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia.  betari  resi   berkomat-kamit dan mengocok mata.  lalu  ia tegakkan dada, nampak menarik nafas  panjang, menghimpun kekuatan dari seluruh alam ke dalam  paru-paru untuk disalurkan ke dalam sikapnya. 
“Dari mana datangnya pengayoman kalau bukan dari  upeti?” seseorang bertanya ragu-ragu. 
“Dari mana?” betari  resi   menjawab. “Kalau upeti 
tak muncul, bukan pengayoman yang datang, namun   prajurit kerajaan  kediri  akan menumpas dan menghancurkan  kalian dan desa kalian. Kalau perang datang, tak seorang  pun di antara kalian memperoleh  pengayoman. prajurit kerajaan   kediri  tidak. Sebaliknya kalianlah yang diwajibkan 
mengayomi dia!” ia tertawa menunggu tantangan. 
Di sebelah pinggir di antara para hadirin, gadis nyi girah  menyikut pacarnya, raden gelang-gelang , berbisik: “Jadi, apa maunya?” 
“Dengarkan saja,” kata raden gelang-gelang . 
Pacarnya mencubit sengit, namun  pemuda itu tak peduli. “Dengarkan kalian semua punggawa desa yang hidup  dari keringat orang lain, yang hidup dari penyisihan upeti.  Kalian, apalagi kalian, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa 
kalau perang datang. Mangayomi diri sendiri pun tak bisa,  apalagi mengayomi rakyatmu. Di waktu damai kalian bersorak-sorai tentang pengayoman demi sang sisa upeti.  Kalau kalian sudah seperti itu, bagaimana pula macam  rajamu?” 
Ketegangan sekaligus berubah jadi ketakutan. 
“Apa kalian takuti? Akan datang masanya kalian akan lebih, lebih ketakutan. Bukan sebab  kata-kataku. Mari aku  ceritai: jaman ini adalah jaman kemerosotan. Raja-raja kecil  bermunculan pada berdiri sendiri, sebab  rajadiraja tiada. 
Kekacauan dan perang akan memburu kalian silih-berganti.  Laki-laki  akan pada mati di medan perang. wanita lesbian  akan dijarah-rayah dan kanak-kanak akan terlantar. Kalian takkan ditumpas sebab  kata-kataku. Kemerosotan jaman 
dan kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas kalian selama kalian tak mampu menahan kemerosotan besar ini.” Ia diam. 
Para pendengar terdiam. Mereka sudah  terbiasa 
terpengaruh oleh betari lan orang tua-tua pengembara yang sudah  jauh langkah. Kakek-kakek mereka sudah  lama mengabarkan  akan datangnya perang yang tiada kan habis-
habisnya bila dewa-dewa sudah  berganti dan bila berbagai bangsa dengan berbagai warna kulit sudah  mulai  berdatangan menjamah bumi Jawa. 
“betari  resi ,” seorang wanita dengan suara mendayu-dayu memohon, “bila kekacauan dan perang akan tiba  kami silih berganti, bukankah akan sia-sia semua yang sudah kami kerjakan dan usahakan?” “Jelas. Apalagi upeti-upeti ke kediri  itu. Sama sekali  tanpa guna. Sekarang dengarkan: di jaman kerajaan jenggala  tak  ada perang yang tidak selesai, tak ada kekacauan tak  diatasi,” ia mulai mengubah nada suaranya menjadi lunak 
dan bersabda . “Di masa itu semua orang boleh membuat   bata. Setiap orang boleh mendirikan candi keluarga, tempat  menyimpan abu para mendiang. Setiap orang boleh belajar 
mengecor besi dan mencetaknya. Tidak seperti sekarang.  Menempa besi dan baja pun tidak diperkenankan, kecuali  atas perintah. Dahulu wanita lesbian  pada menenun  sutra. Di mana-mana nampak pakaian gemerlapan bermain 
dengan sinar sinar matahari . Sekarang ulat sutra pun tumpas. Orang  hanya menenun kapas. Ulat sutra yang tinggal hanya ditenun untuk layar perahu dan kapal besar dan untuk pengantin. Saluran yang dahulu  dibikin di mana-mana  sekarang sudah pada mendangkal. Kapal besar tak lagi 
dapat masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungai-sungai dipelihara. Di jaman kerajaan jenggala  para punggawa  disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk memata-matai 
bawahan . Mereka bicara dengan anak anak. Bila anak-anak  itu tak dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kepala    desa mau pun resi  mandala kena teguran. Dengan demikian setiap bocah dapat membaca dan menulis, tahu akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar.” 
“Berapa umurmu. betari  resi , maka tahu banyak 
tentang jaman kejayaan kerajaan jenggala ?” seorang gadis bertanya. “400 ?” 
betari  resi   mendeham dan membersihkan 
kerongkongan. “Tak ada orang hidup sampai 400 . Lebih beberapa  puluh tahun dari seratus. Menurut perhitungan matahari .” 
“Mengapa menurut perhitungan matahari ?” seorang lain bertanya. 
“Di jenggala -jenggala ada orang yang mulai memakai  
perhitungan rembulan   orang-orang gila itu. Mereka memiliki dewa lain dari kita. Mereka hidup hanya dari  berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun  ladang. Mereka hanya hidup dari pantai dan dari laut.  Mereka tak memerlukan gunung. Mereka tak memerlukan  matahari . Mereka hanya memerlukan harta dan kekayaan.” 
“Mereka penyembah rembulan. betari  resi ?” 
“Aku belum lagi tahu. Barangkali. Mereka itu yang 
membuat  para bupati dan adiputro  pesisir hanya mengingat pada harta-kekayaan, lupa pada Baginda paduka raja  di  kerajaan jenggala . Mereka pengaruhi bupati dan adiputro  pesisir 
supaya tak membuat  kapal-kapal lagi. Mereka menyuap  dengan mas, tembikar, sutra, kain khasa, permadani…. Mereka petualang-petualang dari negeri dongeng . Di pesisir negeri dongeng  sana mereka sama saja tingkahnya. Perhitungan 
rembulan menjalar seperti wabah. Kemerosotan jaman, jaman gila. Orang mulai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya, orangtua tak tahu sesuatu kecuali kesenangan sendiri…. Yang paling tidak hormat pada para dewa juga yang paling 
mula jadi korban wabah dari negeri dongeng  ini. Bahkan tulisan kita, tulisan kita yang sempurna sandang dan sukunya…. boleh jadi…. sudah mulai muncul tulisan yang sama sekali tidak berbunyi…” 
“Adakah betari  resi   pernah lihat tulisan itu?” Orang tua pendek kecil itu tiba-tiba mengangkat telunjuk. “Dengar!” perintahnya. 
Semua terdiam. lolong  dan salak dan lolong anjing, ratusan di tengah hutan, kembali menggelombang. 
‘Tak pernah hewan  itu melolong  selama itu, selama   itu. Boleh jadi akan datang banjir   banjir air, banjir bencana, malapetaka yang membuat  semua lebih merosot  tersedot lumpur.” 
Ia menoleh kepada kepala   desa. Bertanya: “Darmaraja? Pengayoman? Apakah yang sudah diperbuat oleh Sang  adiputro  kediri  Tumenggung Wilwatikta waktu para bupati  pesisir mulai membangkang mempersembahkan upeti? 
Bukankah Sang adiputro  itu rajamu sekarang? Bukankah  sebagai Tumenggung Wilwatikta, penguasa tertinggi atas  keamanan dan kesejahteraan ibukota kerajaan jenggala , 
Wilwatikta, justru ia bergabung dengan yang lain-lain,  membangkang mempersembahkan upeti, malah tetap  mengukuhi wilayah kekuasaan yang didapatnya dari  darmaraja, membentang dari kediri  sampai suryabuaya    sebuah kadipaten dengan tidak kurang dari lima buah jenggala ?” 
‘Tak pernah ada yang menggugat seorang raja!” bantah  kepala   desa, “sebab  hanya dengan karunia sang Hyang betari durga   
saja seseorang bisa bertahta! Bukankah betari  resi  dengan demikian menghujat sang Hyang betari durga  ?” “Uah! Seperti kau tidak mengenal anak tani bernama  Ken Arok. Ditumbangkannya akuwu dan raja, dan sendiri  marak jadi raja, memerintahkan menjawakan kitab-kitab 
suci, memerintahkan dilaksanakannya gaya baru dalam bangunan-bangunan suci.”  
“Maka juga Ken Arok Rajasanagara ditumbangkan.”  “Ditumbangkan. namun  darahnya sudah  bangunkan kerajaan  kerajaan jenggala  yang tiada tara.” 
“Dan kerajaan jenggala  pun tumbang.” 
“Tumbangnya gajah yang meninggalkan gading. Hyang  Widhi tidak pernah salah memilih wakilnya di atas bumi. Hanya kaki yang kuat, bahu yang kukuh, mampu memikul 
pilihan sang Hyang betari durga  .”  
“Negarakertagama dan Pararaton tak bilang begitu.” “Dan apa katanya tentang adiputro  pembangkang yang bersekutu dengan pedagang-pedagang negeri dongeng  yang  berdewa lain?” 
“Waktu itu belum ada Sang adiputro .” 
“Maka akulah yang mengatakan, demi sang Hyang betari durga  , sebab  tugasku hanya mengatakan tentang kebenaran.  Tulikah kau? Tiada kau dengar lolong , lolong dan gonggong 
anjing-anjing hutan itu? Tak tahukah kau itu pesta untuk  hari depanku yang bakal cepat tiba, lebih cepat dibandingkan   yang kau sangka?”  
Untuk menghindari pertengkaran kepala   desa terdiam.  Matanya berpendar-pendar dari wajah ke wajah di antara  hadirin. Ia meminta pengertian, bantuan dan simpati. Hadirin sendiri sedang tercengkam. Mereka tahu betari  resi   sedang menggugat Sang adiputro , manusia pertama 
yang berani lakukan itu. Dan ketegangan menarik otot-otot muka mereka sehingga seperti terbuat dibandingkan  kayu jati. 
Dan keredupan   mewarnai wajah-wajah itu oleh berpuluh  mata sumbu damar-sewu yang selalu berayun tak pernah  tenang dan menggeletarkan semua bayang-bayang. Di luar, di langit, bulan purnama bertahta tanpa  tandingan dalam kebeningan. Ia hanya tersenyum melihat 
ratusan anjing yapg menggonggonginya dalam kebotakan hutan. 
‘Tak lain dari sang Hyang betari durga   juga yang menggulingkan  raja-rajanya sendiri yang kaki dan bahunya lemah, tak mampu memikul kebesaran-Nya, tak mampu membangunkan  dengan jari-jarinya yang kaku   sebab  jari-jari itu hanya pandai mengambil untuk dirinya sendiri  dan tidak bisa memberikan sesuatu untuk bawahan nya.” 
“Kata-kata itu tidak terdapat dalam lontar, betari  resi ,” seorang di antara hadirin angkat bicara. 
“Apa kau akan bilang kalau aku menuliskan  pada  lontar? Ambilkan lontar, besi penggurit dan jelaga, biar yang terpandai di antara kalian menuliskannya.” “Belum perlu, betari  resi ,” kepala   desa itu menegah. “Memang belum perlu,” pembicara itu meneruskan.  “betari , kami nampak memang kurang harga diri, kurang kehormatan, mungkin juga memang bebal. namun  kami hidup 
dalam kesejahteraan, keamanan dan perdamaian. 
Sebaliknya, betari  resi , kata-kata betari  sendiri yang menempatkan kami semua dalam bahaya kemusnahan. betari , tidak lain dari betari !” 
betari  resi   mendengus meremehkan. Suaranya 
enteng mengambang di udara malam yang hangat itu. “Untuk mencapai desa ini, prajurit kerajaan  kediri  paling  tidak memerlukan  satu-dua hari. Kalian tidak akan ditumpas. Setiap saat setiap orang di antara kalian yang  tidak dungu bisa tinggalkan desa ini, menyeberang  perbatasan, memohon perlindungan Sang Bupati kahuripan . 
Aku tidak menjerumuskan kalian. Lembah kehancuran  itu kalian galang sendiri di atas kedunguan. Masih juga kau tidak mengerti, kepala   desa? Penduduk desa ini terus-menerus membayar upeti dan memikulnya sendiri ke kediri  
Kota. Masih belum mengerti? Tak ada keadilan mengikat antara sang adiputro  dengan bawahan nya di sini. Kalau ikatan keadilan tidak ada, yang ada hanya ikatannya saja, ikatan perbudakan. Kalian semua ini bukan bawahan , namun  budak! 
Budak kediri , budak Sang adiputro  sama dengan musuh-musuhnya yang sudah  ditaklukkannya. Ditaklukkan tanpa  perang!” 
“Baiklah kami ini budak tanpa dikalahkan dengan 
perang. Katakan pada kami. betari  resi , bagaimana agar  kami tidak jadi budak?” 
“betari  resi   yang bijaksana,” seorang lain lagi 
menyerondol, “bukankah betari  resi  lebih dari tahu,  setiap saat datang pengawal perbatasan berkuda?” 
“Dia juga perlu mendengarkan kata-kataku ini.” 
“Tidakkah betari  resi  akan dibawanya ke kediri  dan diadili?” 
“Bukan pertama terjadi kebenaran diadili. Bukankah 
mandala kalian pernah mengajarkan: kebenaran tak dapat diadili, sebab  dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang Widhi. Kalian tahu kelanjutannya: Barangsiapa mengadili  kebenaran, dia memanggil Sang Hyang Kala, dia akan  dilupakan orang kecuali kebodohanya .” 
Ia tersenyum dan mengangguk-angguk. 
“Juga Sang adiputro  kediri  Arya Teja Tumenggung 
Wilwatikta tidak bebas dari ketentuan Maha Dewa. Sang sang Hyang betari durga   merestui barangsiapa memiliki  kebenaran dalam 
hatinya. Jangan kuatir. kepala   desa! Kurang tepat 
jawabanku, kiranya? Ketakutan selalu jadi bagian mereka  yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi  bagian mereka yang mengingkari kebenaran maka melanggar keadilan. Dua-duanya busuk, dua-duanya sumber kebodohan  di atas bumi ini…,” dan ia teruskan 
ceramahnya  tentang kebenaran dan keadilan dan 
kedudukannya di tengah-tengah kehidupan manusia dan para dewa. 
Kapal  patroli penjaga  pantai dengan layarnya yang berkilat-kilat  itu menyeberangi malam dan menyeberangi Laut Jawa  dengan cepat. Dari kejauhan nampak seperti naga laut yang 
tak kelihatan buntutnya. Puluhan pendayung yang seiring   membelah permukaan memercikkan air dan semburannya menari dengan cahaya bulan. Layar kemudi yang  menggembung di atas haluan, bahkan lebih depan dari  haluan itu sendiri, melengkung seperti busur yang sedang ditarik. 
Waktu lampu menara jenggala kediri  mulai hilang-
muncul di atas kepala   ombak terdengar kata an aba-aba. Tak lama lalu  menyusul ledakan di belakang layar kemudi. Peluru cetbang meluncur ke udara dengan buntut api yang kuning merah meninggalkan asap yang segera lenyap. 
Beberapa bagian dari detik, dan peluru itu meledak di langit. Api menyebar  melontarkan bunga api yang membuat lonjakan ke atas, lalu  ke bawah, ke tiadaan. Ledakan itu memicu  permukaan laut gemerlapan  beberapa detik, lalu  kembali jadi manis bermain-main dengan cahaya bulan kembali. Ledakan di langit yang sebentar tadi menandingi bulan kini lenyap tanpa bekas. Kapal itu terus melaju. Layar-layar mulai diturunkan. 
Dengan cepat membelok ke kanan, bergerak hanya dengan kekuatan dayung. Juga layar kemudi tidak nampak lagi.  Lunas itu menerjang alun dan ombak pada sudut lebih besar dibandingkan  semula. Dan semua alun dan ombak terus juga berkejar-kejaran, berebut dahulu  untuk menghantam pesisir utara pulau Jawa.. betari  resi   segera mengambil cawan tanah yang  diletakkan oleh anak gadis kepala   desa. Ia angkat tinggi,  memperlihatkan pada semua hadirin, ia hendak  meminumnya. Ia baru habis menceritakan tentang kebesaran kerajaan jenggala  dengan angkatan lautnya, dengan ilmu 
dan ketrampilan membuat  kapal-kapal samudra, dengan wilayah kekuasaannya. 
“Sekarang aku hendak teguk lagi tuak desa ini. 
Sebelumnya, dengarkan: jangan bandingkan kerajaan jenggala  dengan kediri  ini. Kalian sendiri yang mengatakan: hanya  9  hari diperlukan  untuk mengelilingi  seluruh wilayah kediri    itu pun hasil pengkhianatannya terhadap  kerajaan jenggala . Pahami pergantian jaman, biar kalian tidak 
didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. Dengarkan  kebijaksanaan. Kalau perang sudah pecah, tak selembar  daun dapat kalian jadikan pengayoman. Ingat kata-kataku: 
Kalau kemerosotan ini tak dapat dicegah, takkan lama lagi, dan perang akan pecah di mana-mana. Dari desa dan kota petani-petani akan digiring, mati untuk raja-raja kecil yang tak pernah berbuat apa-apa untuk kalian.” ia rendahkan cawan, menaruhnya pada bibir dan meneguknya sekali habis. “Dewa Batara!” sebutnya keras, berpaling cepat pada kepala   desa, lalu  menudingnya: “Lihatlah ini tampang kepala   desamu, takut pada kebenaran, pada keadilan, agar dia tetap jadi kepala   desa, dia sudah  racun aku!” Cepat ia tarik mukanya dan berseru pada para hadirin: “Dia sudah  racun aku! Dan kalian kenal siapa aku,  hanya seorang pembicara yang menggaungkan kebenaran 
milik Maha Dewa.” Cawan itu dibantingnya pecah di hadapannya. Dengan  kedua bolah tangan ia menekan perutnya. Bibirnya ia gigit. 
Mukanya pucat. “betari !” seseorang berteriak dan lari ke depan hendak  menolongnya. 
betari  resi   bangkit berdiri dengan susah-payah. 
kepala   desa menolongnya dari belakang, berseru lantang: “Tak ada seorang pun meracun betari . Kami semua  menghormati betari .” 
“Dengar si mulut palsu ini! Dengarkan, kalian, semua  penduduk hutan  larangan !” 
Ia lepaskan diri dari pegangan kepala   desa, melompat keluar dari balai desa. 
Setiap resi -pembicara memiliki  gaya dan cara sendiri dalam usaha mempengaruhi dan mengetahui sampai di mana pengaruhnya bekerja. Setengah hadirin menganggap tingkahnya juga bagian dari gaya dan cara. Mereka masih 
terpaku pada tempatnya bersila. Yang menganggap benar-benar betari  resi   terkena racun cepat-cepat bangkit dan lari memburu. Tak pernah 
terjadi seorang resi -pembicara mengalami penganiayaan di desa mana pun. 
Orang tua itu terus juga berjalan sambil menekan 
perutnya dengan kedua belah tangan. Ia tak menoleh. Ia menolak tuntunan orang. 
raden gelang-gelang  dan nyi girah  ikut lari memburu. Tanpa menanggapi  protes betari  resi   mereka berdua menunjangnya pada bahu dan pinggangnya. Diam-diam mereka bertiga berjalan cepat. Di belakang mereka serombongan orang berseru-seru memohon ampunnya sambil  berlari-lari kecil. raden gelang-gelang  dan nyi girah  merasai kedinginan  pada tubuh tua itu. 
nyi girah  melepas kain dada dari bahu dan menyelimutkan pada dada betari  sesudah  bersujud  meminta ampun. Dan betari  tidak menolak. Tiba-tiba resi  berhenti, membungkuk dan muntah. 
“betari ! betari !” bisik raden gelang-gelang . 
“Beri aku minyak kacangtanah !” kata  betari  resi  . Ia muntah lagi. “Cepat!” “Memang terkena racun!” di belakang orang memberi komentar. 
raden gelang-gelang  bersujud nya, cepatnya mengangkatnya dan membawanya ke rumah nyi girah , membaringkannya di atas ambin bambu. nyi girah  lari ke dapur, kembali lagi dan  menuangkan minyak kacangtanah  ke mulut orang tua itu. 
resi -pembicara itu meliuk-liuk gelisah pada 
pinggangnya.  Ruangan sempit rumah nyi girah  segera jadi penuh. Orang duduk berdesak-desak di lantai untuk menyatakan prihatin. Dan setiap orang bersujud  sambil mengucapkan  permohonan ampun. “Diam! Diam semua. betari  sedang sakit,” raden gelang-gelang  memperingatkan. Ia tekan-tekan perut orang tua itu agar muntah. 
“Air kacangtanah  muda, kacangtanah  hijau,” seru seseorang. Tak ada pohon kacangtanah  hijau di seluruh hutan  larangan . nyi girah  pergi keluar rumah dan datang lagi membawa cawan tanah besar, menguaki punggung orang banyak. 
Dalam cawan itu bukan air kacangtanah  hijau, namun  air kacangtanah  biasa. Dituangkan seluruhnya ke mulut sang resi . Mengetahui bukan kacangtanah  hijau, betari  berkata : 
“Semua air adalah air kehidupan. Mati aku, Dewa Batara.” Matanya terbuka dan disapukan pandangnya pada mereka yang duduk berdesak di atas lantai. “Pulang, pulang kalian semua.” 
“Mereka mencintai dan menghormati betari . Ampuni mereka yang jahil,” bisik nyi girah . 
“Terlambat, gadis.” 
“Mereka masih haus akan kata-katamu.” 
“Tak ada guna cinta dan hormat,” betari  meliuk-liuk dan meringis kesakitan. “Kalau kata-kataku bisa hidup dalam hati mereka, cukup sudah.” Ia muntah. Air kacangtanah  campur minyak keluar dari mulut berjalurkan dengan benang darah hidup. 
nyi girah  menyeka mulut, leher dan bahunya yang basah dengan selembar kain. “Batara!” sahut nyi girah . “Mengapa jadi begini, betari ?” 
raden gelang-gelang  menghampiri orang banyak, berkata  mengancam: “Kalau tidak suka pada kata-katanya, mengapa tak mengusirnya saja? Atau memberinya kecubung? Mengapa mesti diracun?” 
“betari  resi  juga salah,” seseorang membantah. 
“Diam kau!” bentaknya. 
“Bagaimana bisa diam? Dia sudah  membahayakan kita semua: prajurit kerajaan  kediri  itu….” 
“Siapa kiramu yang meracun?” seseorang bertanya. “Siapa lagi?” “Meracun seorang resi …. hanya orang keparat melakukannya. Gandarwa pun lebih baik.” betari  muntah lagi. Warnanya merah seluruhnya. Minyak dan air kacangtanah  tidak mempan. Orang berlarian  mencari lagi di rumah-rumah. Waktu sudah  diperoleh  betari  resi   sudah  tergolek pingsan. 
“Terlalu, terlalu,” orang menyesali. 
Dan pelita di tengah-tengah ruangan itu, berdiri di atas jagang bambu berkaki, berayun-ayun cepat. lolong  anjing  dari botakan hutan sudah  berkurang, lalu  padam sama  sekali. 
“betari , betari ,” panggil nyi girah , “jangan kutuki kami, jangan sumpahi kami, jangan tulah kami, demi Hyang Widhi, demi desa betari  sendiri, demi kesejahteraan kami  semua, ya betari , betari …” 
 Begitu kapal  patroli penjaga  pantai itu merapat pada dermaga  jenggala kediri  kota, bulan sudah mulai menggeser ke titik tertinggi dan kini mulai agak condong. Seorang dengan menuntun kuda menghampiri kapal. resi mandala  melompat turun. Penuntun kuda itu bersimpuh lalu  bersujud . 
“Merdeka ,” katanya sambil menurunkan sembahnya. resi mandala  melompat ke punggung kuda, berpacu, menempuh jalanan yang diterangi bulan purnama. Beberapa bentar hanya dan sampai ia di hadapan centeng -centeng  pengawal yang menahannya. Ia tak jadi memasuki  halaman rumah itu, turun, berseru: “Butakah kalian tak me-
lihat siapa aku?” 
“Tuanku resi mandala  suryabuaya  . Ampuni kami.” 
resi mandala  melompat lagi ke atas kudanya, memasuki halaman luas tertutup rumput pendek dengan pinggiran  ditanami bunga-bungaan. Sampai di pendopo seseorang berlarian datang padanya dan bersujud , lalu  mengambil-alih kuda tunggangannya. Seorang centeng  lain 
datang, bersimpuh dan bersujud : “Menunggu perintah , Tuanku.” 
“Bangunkan Sang Patih, sekarang juga.” 
resi mandala  berdiri bertolak pinggang tanpa 
mempedulikan centeng  yang diperintahnya lari menjauh  darinya, melalui samping gedung besar itu dan hilang dari  pemandangan. 
Pendopo yang gelap itu kini diterangi dengan damarsewu pada tengah-tengahnya. Mata-mata sumbu itu menyala berkibar-kibar dalam barisan seperti centeng  baris. resi mandala  segera menghadap ke pendopo, bersimpuh di atas lantai tanah. Kumisnya yang tebal berkilat-kilat, juga 
cambang dan jenggot. Jelas benar sudah  diminyaki dengan minyak katel! Kain batiknya terbeber di selingkaran kaki. Kalung dan gelang masnya berkilat-kilat. Ia menunduk dalam. 
“Anakanda resi mandala !” Sang Patih memasuki 
pendopo. Ia berpakaian kain batik, berdestar batik dan  berkerudung kain batik pula pada dadanya. 
resi mandala  mengangkat sembah. lalu  
membetulkan letak gada wesi nya. 
Sang Patih berhenti di tengah-tengah pendopo, dekat  pada damarsewu, menegur “Dingin-dingin begini anakanda  datang. Pasti ada sesuatu yang luarbiasa . Mendekat sini, anakanda.” 
Dan resi mandala  berjalan mendekat dengan lututnya sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki  Sang Patih. 
“Ampuni patih , membangunkan Paduka pada malam  buta begini Kabar duka, Paduka. prajurit kerajaan  pajang bintoro  di  bawah adiputro  Kudu^ memasuki suryabuaya   tanpa diduga-duga, 
menyalahi aturan perang.” 
“sang hyang Widhi  Dewa Batara!” sahut Sang Patih. “Itu bukan aturan raja-raja! Itu aturan brandal!” 
“prajurit kerajaan  kediri  tak sempat dikerahkan, Paduka.” 
“Bagaimana Bupati suryabuaya  ?” 
“Tewas enggan menyerah Paduka,” resi mandala  
mengangkat sembah. “Sisa prajurit kerajaan  kediri  mundur ke  timur kota. suryabuaya   penuh dengan prajurit kerajaan  pajang bintoro . Lebih dari 2000 orang.” 
“Dari mana pajang bintoro  dapat mengumpulkan brandal 
sebanyak itu?” 
“patih  tidak tahu, Paduka.” 
“Apa saja kau kerjakan sampai tidak tahu? Bukankah pajang bintoro  dukuh tidak berarti selama ini?”
“Inilah patih  menyerahkan hidup dan mati patih .” 
Sang Patih bertepuk tangan tigakali. Satu regu centeng  berlarian datang, bersenjata tombak dan perisai.  Minyak kacangtanah  direbus dengan laba-laba tanah jenis besar berwarna dan berbulu hitam untuk penghitam rambut. 
. Sesudah  itu biasa dinamakan  ki ageng gribig  sesudah  meninggal dinamakan  Pangeran Sabrang Lor.  
“Tahan dia ini, resi mandala , putra Sang adiputro . 
Ayahandanya sendiri yang akan menentukan hidup dan matinya.” resi mandala  digiring keluar pendopo. Begitu turun ke tanah ia memandangi bulan, memukul dadanya, 
berkata : “Apakah masih patut aku membawa mukaku sendiri?” 
“Jalan ke kiri, Paduka!” perintah kepala   regu, dan 
berbarislah mereka meninggalkan halaman kepatihan. Sang Patih masih tegak berdiri di tempatnya. Ia menggalang pelahan, lalu  berbalik dan masuk ke dalam rumah. Paling tidak sudah  seribu tahun perahu dan kapal-kapal 
berlabuh di jenggala kediri  Kota. Dari barat, timur dan utara. Dari timur orang membongkar rempah-rempah dari kepulauan yang belakangan ini mulai dinamakan  bernama  majapahit  (Nama yang diberikan oleh pedagang-pedagang 
palawa , lalu  berobah jadi panarukan .) dan cendana dari 
parahyangan . Dari kediri  sendiri orang berdagang  beras, minyak kacangtanah , keju susu, gula garam, minyak tanah , cokelat dan minyak-minyak nabati lainnya, kulit hewan  hutan. Dari laut jenggala kediri  Kota nampak seperti sepotong  balok, pepohonan dan taman-taman. Bila lumut hijau  hilang dan muncul coklat baru, itulah kampung-kampung 
nelayan. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah jenggala Pasukan  Laut dan galangan kapal. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah jenggala alam lainnya yang dimiliki negeri kediri . Di atas balok coklat bermulut berdiri barisan perbukitan tebal, kuning, di sana-sini agak hijau. Itulah perbukitan  kapur bernama Kendeng. Dan di atas perbukitan adalah langit para dewa. jenggala kediri  adalah buatan  alam yang pemurah, disempurnakan oleh tangan manusia selama paling tidak seribu tahun. Lautnya dalam dan dermaganya kokoh, indah, juga buatan  alam, sepotong jalur karang yang menjorok ke laut. Pedagang-pedagang negeri dongeng  menamai 
jenggala ini Permata Bumi Selatan. Dan bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh 
entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa puluh langkah dari dermaga. Ia akan mengangkat sembah   di hadapannya berdiri Sela Baginda, sebuah tugu batu berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia 
meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang  dilaluinya, jalanan ekonomi sekaligus militer. Ia akan selalu  berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa gegas, sekalipun di bawah sinar matahari  terik. Kalau orang datang untuk pertama kali, segera ia akan terpikat melihat lalu lalang. Orang tak henti-hentinya  mengangkuti barang dari dan ke jenggala , dengan pikulan  atau grobak beroda bulat dari potongan batang kayu. Kereta 
sangat sedikit, apalagi yang beruji kayu. Lebih banyak lagi  grobak beruji. Grobak beroda kayu utuh berasal dari  pedalaman, yang beruji dari kota sendiri. Penariknya adalah  sapi atau kerbau. Seorang pendatang boleh jadi akan 
bertanya, mengapa tak ditarik oleh kuda? Dan dengan senang hati orang akan menerangkan: tak diperkenankan  memakai  kuda atau diri sendiri untuk penarik grobak  Kalau pendatang itu bertanya: mengapa terlalu sedikit kereta di sini? Ia akan memperoleh  jawaban: memang, tuan 
jumlahnya taklah lebih dari 30  semua milik para pembesar negeri dan praja, dan milik para panglima Pasukan Pengawal, Pasukan Kaki, Pasukan Gajah dan Pasukan Laut. 
Bila kereta berkuda empat sejenis  itu lewat, lalu lintas berhenti, menyibakkan diri untuk memberi penghormatan.  Dari jauh sudah  terdengar gerincing giring-giringnya dari kuningan berkilat-kilat dan nampak umbul-umbul beraneka 
warna, bendera jabatan dan kesatuan. Kuda-kuda penarik itu pun dihias dengan gombak dan limbai aneka warna.  Abah-abahnya berkilat-kilat dengan hiasan dari tembaga, kuningan, perunggu dan perak, kadang juga dari mas. Juga  orang-orang asing diwajibkan berhenti bila kereta lewat, 
penduduk berlutut bersujud . Dan bila kereta Sang 
adiputro  sendiri yang lewat, juga penduduk asing harus bersujud  dengan caranya masing-masing. 
Lalu lalang di jenggala beraneka ragam. Orang-orang asing, palawa , Benggala, Parsi, bangsa-bangsa Nusantara, Tionghoa, bergaya dengan pakaian negeri masing-masing. Pribumi sendiri juga beraneka. Laki-laki  berambut pendek, bahkan gundul tak berdestar atau berkopiah, adalah mereka yang sudah  menanggalkan agama leluhur. Mereka tidak berkain batik, namun   berkain tenun genggang atau polos tanpa belahan, tak memakai  wiron atau dodot. Laki-laki  berambut panjang berdestar batik pertanda masih mengukuhi sri ratu kertanegari  atau Shiwa atau raden kertajaya , dan hampir selalu berkain batik atau wulung. Dan bila rambut panjang mereka tergulung dalam destar, itulah pertanda mereka  pedagang pedalaman yang berurusan dengan pedagang-pedagang beragama arca   .  Orang takkan melihat adanya suami-istri berjalan-jalan  bersama di siang hari. Namun wanita nampak di mana-mana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran 
rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan jenggala sendiri.  Mereka melakukan segala macam pekerjaan yang juga  dikerjakan oleh Laki-laki . Dan mereka bekerja sambil  berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum Laki-laki .  6 tahun yang lalu pertemuan  para pedagang arca    sudah  
menghadap Tuanku Penghulu Negeri, memohon agar para  wanita menutup dadanya . Sejak itu semua wanita yang  keluar dari rumah diharuskan memakai  kemban. Maka sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya 
dengan kaum Laki-laki  Pribumi. Anak-anak kecil bermain-main dalam rombongan besar di setiap lapangan terbuka, mengisi udara pagi dan sore 
dengan cericau, tawa dan sorak-sorainya. Lima tahun yang lalu jarang terjadi yang demikian. Sesudah  pertemuan  para pedagang arca   , pribumi dan asing menghadap Tuanku 
Penghulu Negeri agar membatasi penghajaran pemberontak  pada kanak-kanak, junjungan  mulai ditinggalkan oleh mereka, dan mulai mereka bergentayangan tanpa penggembala. 
Ke mana pun mata ditebarkan, keadaan aman, damai, sejahtera. namun   semua itu semu belaka. 
Sejak jaman-jaman yang tidak dapat diingat lagi kediri  terlalu sering di dera  bencana perang dan kerusuhan. Namun buminya tak juga jenuh tersiram darah putra dan putrinya, juga darah musuh-musuhnya yang datang menyerbu. 
Dua kali negeri ini dilanda perang besar. Pertama oleh prajurit kerajaan  Kublai Khan, cicit Jengis Khan yang bertahta di  Khan Baliqr Seperti air bah centeng -centeng  Tartar mendarat dari laut, menyapu kediri  yang sama sekali tak mampu bertahan terhadap senjata api. Negeri ini terinjak-injak prajurit kerajaan  yang bersepatu itu, dan meninggalkannya  lagi untuk meneruskan penyerbuannya ke Singasari. Orang  bilang ini terjadi pada 1292 Masehi. Perang besar kedua dan ternyata kelak bukan yang  terakhir terjadi pada awal abad ke XIY Masehi. Bupati yang 
memerintah kediri  waktu itu adalah adiputro  Ranggalawe, salah seorang pendiri kerajaan jenggala . Pertentangannya tentang  kebijaksanaan praja dengan Sri Baginda Kartarajasa, raja 
pertama kerajaan jenggala , memicu  prajurit kerajaan  kerajaan jenggala  datang menyerbu. Seluruh kota dihancurkan. Tak sebuah  rumah tinggal berdiri, rata dengan tanah, termasuk 
bangunan-bangunan suci dan galangan kapal. adiputro  Ranggalawe sendiri gugur. Dan kota, yang dibangun pada  awal abad ketujuh Masehi itu hancur . Sesudah  perang besar kedua selesai, yang tertinggal setengah utuh hanya Sela Baginda, didirikan pada awal abad ke XI Masehi. 
Baginda Sri Kartarajasa mengangkat seorang bupati  baru. 30  tahun lamanya pembangunan kembali kota kediri  dilaksanakan. Dan Sri Baginda membebani  gubernur baru itu dengan tanggungan pasukan Gajah, yang  menjadi inti kekuatan darat prajurit kerajaan  kerajaan jenggala . Penataran dan galangan kapal dipulihkan, diperbesar, 
sampai menjadi penghasil kapalperang dan niaga terbesar di seluruh Jawa, seluruh Nusantara, seluruh dunia peradaban. Sekarang tidak demikian lagi. Pada awal abad ke XYI sekarang kekuatan pemersatu kerajaan  kerajaan jenggala  sudah  patah. Para gubernur pesisir sudah  memunggungi kerajaan jenggala  sehingga runtuh dan berdiri 
sendiri-sendiri, jadi raja-raja kedi, tanpa ada yang berani  mengangkat diri jadi paduka raja . Juga bupati kediri  Sang adiputro  Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Orang tua-tua  hanya dengan berbisik-bisik berani membicarakan dengan sesama tua, tak lain dari Sang adiputro  juga yang memprakarsai dan memimpin persekutuan rahasia ini. kerajaan jenggala  jatuh. 
Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa belayar ke utara , ke negeri dongeng , ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang 
baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke kediri . Gubernur kediri , Sang adiputro  Arya Teja Tumenggung  Wilwatikta, bertekad mempertahankan kedamaian itu, keamanan, ketenteraman  dan kesejahteraan sekarang 
dengan mengembangkan perdagangan antarpulau. Ia  menyokong diperbesamya armada dagang ke panarukan . Dagang! Dagang saja. Ia tak berminat meluaskan kekuatan ke laut. Ia tak menghendaki kediri  jadi kerajaan  benua seperti kerajaan jenggala  dengan terlalu banyak urusan. Dalam 
usia tua ia hanya ingin bertenang-tenang. Angkatan Laut  tidak diperlukannya, sekedar cukup jadi penghalau bajak  dan perampok , dan melindungi pantai dari gangguan mereka. Di bawah pemerintahan dan kebijaksanaannya  jenggala kediri  berkembang mendesak jenggala pasuruan , 
menjadi pusat penumpukan rempah-rempah dari majapahit  dan parahyangan .  Hampir setiap bulan Sang adiputro  datang berkuda ke  pelabuhan. Di depannya berderap pasukan pengawal berkuda, bertombak, berperisai, dengan gada  tergantung 
pada pinggang. Jumbai dan pitamerah menghiasi tombak mereka. Di belakangnya berderap pasukan pengawal lagi. Gemerincing “giring-giring mereka dan kepulan debu memicu  orang dari jauh-jauh sudah  bersimpuh di tanah  dan mengangkat sembah kepala  . jenggala kediri  Kota adalah buahhati Sang adiputro . Ia merasa puas dengan pekerjaan patih wirabuana  kediri : tumenggung  dijoyo . 
sebab  semakin tua ia semakin mengutamakan 
perniagaan oleh para bupati tetangga, ia dianggap sudah  kehilangan kekesatriaanya . Padahal, kata salah seorang di antara mereka, kalau dia mau, dengan pasukan gajahnya yang berabad jadi perisai kerajaan jenggala , dengan kekayaannya 
yang datang dari laut, sebenarnya ia mampu menaklukkan tetangga-tetangganya dan sendiri marak jadi paduka raja . Dirasani begitu ia hanya tertawa. Sekali waktu Sang adiputro  mempersembahkan ada seorang bupati lain yang mengejeknya dengan nama Rangga Demang, Rangga dikerat dari nama Ranggalawe yang 
perkasa dan Demang adalah pangkat rendah dalam 
kepunggawaan praja, ia menjawab tak peduli: Orang juga  boleh menyebut seperti itu. 
Maka para bupati tetangga semakin percaya , Sang adiputro  memang bukan lagi seorang kesatria  raja , sudah  merosot jadi sudra.  Ia sendiri tak pernah merasa terhina dengan segala  julukan dan ejekan. Pendirian dan sikapnya tetap: 
perniagaan antarpulau harus terus dan makin berkembang. jenggala harus makin banyak disinggahi kapal-kapal Atas Angin, Nusantara dan Tiongkok. Pertahanan negeri kediri   sendiri dianggapnya mudah. Dengan Pasukan Gajah kediri  
yang masyhur ia percaya akan dapat memukul mundur setiap dan semua penyerbu. Ia sudah  letakkan dasar jaringan pengawasan daerah-daerah perbatasan, dilaksanakan oleh satuan-satuan berkuda yang terus-menerus bergerak. 
Apalah arti Pasukan Gajah, bupati-bupati yang menyalahgunakan  kesejahteraan dan kekayaan kediri  suka memperbincangkan , hanya jadi beban bawahan . Sekali ada yang menyerbu, 
jatuhlah negeri ini jadi jarahan. Tak juga ada yang berani menyerbu. Mereka tetap segan  terhadap Pasukan Gajah. Dan semua orang tahu, seekor 
gajah sama ampuhnya dengan 400  centeng  kaki yang tangguh. Sedang hewan  itu tak kenal lelah  apalagi khianat. Ia sudah  berhasil menciptakan cara untuk mengikat kesetiaan desa-desa perbatasan dengan jalan mengambil hati penduduk: bunga-bunga tercantik diselir dengan mpu wungubhumi  
Nyi Ayu, dan mengirimkan keturunannya kembali ke desa sebagai punggawa dengan mpu wungubhumi  Raden mas  dan menjadi pujaan desa. Dengan demikian Sang adiputro  sudah  menyebarkan ratusan dari anaknya di seluruh negeri. Untuk pembiayaan praja, desa-desa dikenakan upeti  sepersepuluh dari setiap dan semua macam penghasilan 
dengan tambahan khusus: jatah untuk umpah gajah dan pembuatan dan pemeliharaan jalanan umum. Segala yang berhubungan dengan jenggala dan wilayahnya dibiayai dengan penghasilan jenggala . Dan tumenggung  dijoyo  yang mengurus    
semua itu. Patih kediri  bertindak sebagai pengawas tertinggi dan pengatur tertinggi semua pekerjaan. Sang adiputro  sudah puas dengan semua itu. Ia tak ingin terjadi suatu perubahan. Semua bawahan  memiliki penghidupan yang layak. Semua Laki-laki  dapat menghias dirinya dengan gada wesi  dengan pamor dan rangka sebagus-
bagusnya. Dan nampaknya semua akan abadi seperti itu sampai ia mati dan juga sesudah  ia mati, untuk selama-lamanya. Walau ia membiarkan runtuhnya kerajaan jenggala , malah ikut  mengambil prakarsa terjadinya persekutuan untuk itu, tak urung ia juga yang suka menebah dada sebagai pewaris kerajaan  benua yang sudah runtuh itu. Ia memakai  bendera kerajaan jenggala  untuk negeri dan kapal-kapalnya, hitam kuning merah , hanya lebih panjang dibandingkan  yang lama. kediri  tidak hanya panglima tetap. Menurut tradisi kerajaan jenggala  pula hanya di waktu perang seorang adiputro  atau menteri ditunjuk memegang jabatan itu. Sesudah  kerajaan jenggala  
jatuh dan kediri  jadi negeri bebas, kebiasaan tak 
berpanglima diteruskan. Keamanan kediri  Kota dilakukan oleh Pasukan Pengawal yang tidak banyak jumlahnya. Keselamatan praja dijaga oleh Pasukan Kuda, Gajah dan Kaki. Keamanan pantai dipegang oleh Pasukan Laut, yang juga tidak banyak, sedang keamanan desa-desa dilakukan 
oleh pagardesa yang terdiri atas pemuda-pemuda pilihan. Untuk mengambil hati rakyat di pesisir yang makin banyak yang memeluk arca   , ia sudah  perintahkan berdirinya sebuah tempat ibadah  di wilayah pelabuhan. Dalam  waktu pendek bangunan itu sudah  menjadi suatu perkampungan     dari orang-orang jawadwipa , Aceh, Bugis, Gujarat, Parsi dan palawa . Sang adiputro  tak pernah memiliki  kekuatiran akan  muncul nya pertentangan sebab  agama. Sejak purbakala penduduk kediri  tak memiliki  prasangka keagamaan. Orang 
berpindah agama sebab  kesulitan dalam penghidupan, merasa dewa sembahannya tidak menggubrisnya maka dicarinya dewa sembahan lain. Sang adiputro  juga mengijinkan berdirinya sebuah  klenting batu yang jadi pusat perkampungan penduduk Tionghoa, Pecinan. Klenting yang lama sudah  dianggap terlalu kecil. Yang baru didirikan di sebelah barat pelabuhan. 
Keamanan, kedamaian, ketenteraman  dan kesejahteraan yang didambakan dan dipertahankan dengan segala macam kebijaksanaan kini mulai terancam dari sebelah barat: pajang bintoro  mulai bergerak dan merampas suryabuaya  , daerah 
kekuasaan kediri …. Tenang dan damai keadaan kediri  Kota. Gelisah hati Sang adiputro  yang sudah  lanjut usia itu. Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana 
sudah  berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada Sang adiputro  yang sedang turun dari kuda dengan kaki sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang 
pengawal yang menungging. Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, lalu  segera berjongkok dan bersujud . patih wirabuana  kediri , tumenggung  dijoyo , lari menuruni kepatih wirabuana an. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepala  nya yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot 
yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari Sang adiputro  ia berdiri dan mengangkat sembah kepala  . “Mereka bukan saja sudah  menduduki suryabuaya  … Bagaimana, Kakang Patih?” “Ampun, baginda tuanku raja ,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga sudah  mendirikan galangan-galangan kapal besar.” 
“Brandal-brandal itu bermimpi  hendak menguasai laut.” “Ampun, baginda tuanku raja , sesudah  adiputro  Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat baginda tuanku raja , sekarang 
dari ayahandanya dibenarkan memakai  mpu wungubhumi  adiputro  tumenggung dijoyo . Konon kabarnya tumenggung dijoyo  adalah nama dewa baru 
penguasa lautan.” 
“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” “patih , baginda tuanku raja . baginda tuanku raja  tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, pajang bintoro  akan terus mendesak ke 
timur.” “Dewa lama dan sang hyang Widhi  baru tidak bakal membenarkan.” “sang hyang Widhi  Dewa Batara, sekali baginda tuanku raja  perintah kan, tidak hanya  suryabuaya  , pajang bintoro  sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari baginda tuanku raja . Mereka belum memiliki  Pasukan Kuda, tidak memiliki   Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa itu, tidak akan mampu menahan prajurit kerajaan  kita.” : 
“pajang bintoro  sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di suryabuaya  .” “patih , baginda tuanku raja . kediri  pun harus segera mengimbangi.” 
“Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimbangi.” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
Sang adiputro  masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah  ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke  laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat  pulang. 
Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di 
kejauhan sana nampak sebuah kapal  patroli penjaga  pantai yang sedang belayar kearah barat. Semua layarnya  menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak menarik perhatian Sang adiputro . Hatinya tetap gelisah. Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar 
pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas Angin singgah.” 
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang adiputro , mengangkat sembah: “Keadaan di lautan negeri dongeng  sana sudah berubah, baginda tuanku raja ,” lalu  dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapal-kapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang 
mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga   tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, baginda tuanku raja .” Sang adiputro  mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih membuat  wajah tuanya yang penuh berkerut  itu nampak semakin pucat. 
Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman  benang sutra kurung. 
“Ampun, baginda tuanku raja  sesembahan patih . Mereka, baginda tuanku raja , menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapal-kapal negeri dongeng . Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak 
lebih besar dari kapal-kapal kerajaan jenggala , agak lebih besar dari  kapal-kapal negeri dongeng  dan kediri , namun   layarnya jauh lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut, 
dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung menepis permukaan laut seperti camar.” 
“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang 
adiputro  memberanikan. “Layar-layarnya, baginda tuanku raja , digambari dengan cakra raksasa.” 
“cakra?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , hanya dua buah garis bersilang. Orang bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia, garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan 
karunia dewa di atas pada kerajaannya.” 
“Apa bedanya dengan swastika sri ratu kertanegari ?” “Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, baginda tuanku raja .” Sang Patih membuat  cakra di atas pasir. “Sebab itu besar, besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan 
dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.” 
“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan 
Wulungga yang kebetari t itu, Kakang Patih?” 
‘Itulah kapal-kapal Peninggi, baginda tuanku raja  sesembahan patih ,” jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat gambar kira-
kira dari kapal-kapal baru itu. 
“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang adiputro  memancing-mancing pendapat. 
Tenang dan damai keadaan kediri  Kota. Gelisah hati Sang adiputro  yang sudah  lanjut usia itu. 
Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana sudah  berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada  Sang adiputro  yang sedang turun dari kuda dengan kaki 
sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang pengawal yang menungging. 
Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, lalu  
segera berjongkok dan bersujud . patih wirabuana  kediri , tumenggung  dijoyo , lari menuruni 
kepatih wirabuana an. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya  nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepala  nya yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot 
yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari Sang adiputro  ia berdiri dan mengangkat sembah kepala  . “Mereka bukan saja sudah  menduduki suryabuaya  … Bagaimana, Kakang Patih?” 
“Ampun, baginda tuanku raja ,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga sudah  mendirikan galangan-galangan kapal besar.” 
“Brandal-brandal itu bermimpi  hendak menguasai laut.” “Ampun, baginda tuanku raja , sesudah  adiputro  Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat baginda tuanku raja , sekarang 
dari ayahandanya dibenarkan memakai  mpu wungubhumi  adiputro  tumenggung dijoyo . Konon kabarnya tumenggung dijoyo  adalah nama dewa baru 
penguasa lautan.” “Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” “patih , baginda tuanku raja . baginda tuanku raja  tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, pajang bintoro  akan terus mendesak ke timur.” 
“Dewa lama dan sang hyang Widhi  baru tidak bakal membenarkan.” “sang hyang Widhi  Dewa Batara, sekali baginda tuanku raja  perintah kan, tidak hanya suryabuaya  , pajang bintoro  sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari baginda tuanku raja . Mereka belum memiliki  Pasukan Kuda, tidak memiliki  
Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa itu, tidak akan mampu menahan prajurit kerajaan  kita.” : “pajang bintoro  sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di suryabuaya  .” 
“patih , baginda tuanku raja . kediri  pun harus segera mengimbangi.” “Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimbangi.” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
Sang adiputro  masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah  ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat  pulang. 
Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di 
kejauhan sana nampak sebuah kapal  patroli penjaga  pantai yang  sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak menarik perhatian Sang adiputro . Hatinya tetap gelisah. Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar 
pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas Angin singgah.” 
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang adiputro , mengangkat sembah: “Keadaan di lautan negeri dongeng  sana sudah berubah, baginda tuanku raja ,” lalu  dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapal-kapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang 
mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga   tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, baginda tuanku raja .” Sang adiputro  mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih membuat  wajah  tuanya yang penuh berkerut  itu nampak semakin pucat. 
Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang 
hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman 
benang sutra kuning. 
“Ampun, baginda tuanku raja  sesembahan patih . Mereka, baginda tuanku raja , 
menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapal-
kapal negeri dongeng . Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak 
lebih besar dari kapal-kapal kerajaan jenggala , agak lebih besar dari 
kapal-kapal negeri dongeng  dan kediri , namun   layarnya jauh 
lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut, 
dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung 
menepis permukaan laut seperti camar.” 
“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang 
adiputro  memberanikan. 
“Layar-layarnya, baginda tuanku raja , digambari dengan cakra raksasa.” 
“cakra?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , hanya dua buah garis bersilang. Orang 
bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia, 
garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan 
karunia dewa di atas pada kerajaannya.” 
“Apa bedanya dengan swastika sri ratu kertanegari ?” 
“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, baginda tuanku raja .” 
Sang Patih membuat  cakra di atas pasir. “Sebab itu besar, 
besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan 
dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih 
sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.” 
“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan 
Wulungga yang kebetari t itu, Kakang Patih?” 
‘Itulah kapal-kapal Peninggi, baginda tuanku raja  sesembahan 
patih ,”jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk 
lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat 
gambar kira-kira dari kapal-kapal baru itu. 
“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang adiputro  
memancing-mancing pendapat. 
“Kalau hanya sekedar bajak, baginda tuanku raja , mereka bisa 
dihindari bahkan bisa dilawan. Mereka tak bisa dihindari. 
Bukan saja sebab  kelajuannya, sebab  layarnya yang 
berlapis-lapis, dapat mekar menggelembung seperti melati, 
sebesar tiga kali gajah, dapat mengempis seperti kantong 
kosong, dapat cepat digulung…, ya baginda tuanku raja ….” 
“Maksudmu gada rujakpolo nya?” 
“Benar, baginda tuanku raja , gada rujakpolo nya, senjatanya itu, dapat 
memuntahkan api dan….” 
“Adakah Patih sedang mengulangi dongeng kanak-kanak 
itu.” 
“Ampun, baginda tuanku raja . Dongengan kanak-kanak itu sekarang 
sudah jadi kenyataan.” 
“Kenyataan!” Sang adiputro  terkata . “Memuntahkan 
api! Apakah Kakang Patih bermaksud mengatakan ada 
bangsa lain di atas bumi ini memiliki  cetbang kerajaan jenggala ? Ada 
di negeri negeri dongeng  sana? Kakang Patih tidak hendak 
mendongeng lagi?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  sesembahan patih . Ada bangsa jauh di 
negeri dongeng  sana memiliki  sejenis  cetbang kerajaan jenggala . Lebih 
dahsyat, baginda tuanku raja .” 
“Lebih dahsyat!” Sang adiputro  berseru menyepelekan, 
tertawa kosong. berkata : “Ada yang lebih dahsyat dari 
cetbang kerajaan jenggala ,” ia menuding pada langit tanpa 
mengangkat kepala  . “Dari mana pula dongengan menarik 
itu berasal, kiranya?” 
Deburan ombak terdengar nyata. Tak ada manusia 
bergerak dalam sepengelihatan penguasa kediri  itu. Jauh-
jauh di darat nampak orang bersimpuh di atas tanah dengan 
kepala   menunduk ke bumi. Dan di laut kapal dan perahu 
yang tertambat berayun-ayun dengan layar tergulung dan 
tiang-tiangnya menuding langit. 
”Teruskan, Kakang Patih.” 
“Ampun, beribu ampun, baginda tuanku raja . Dongengan patih  yang 
indah ini datang menghadap baginda tuanku raja  untuk jadi bahan 
periksa, baginda tuanku raja . Kapal-kapal negeri dongeng  pada gentar. Orang 
bilang banyak di antaranya sudah  mereka kirimkan ke dasar 
lautan. Semua pedagang bermimpi kan dan memburu 
keuntungan, baginda tuanku raja , maka benua dan lautan ditempuh. 
Mengetahui, dengan munculnya kapal-kapal nyi kanjeng blora, 
bukan keuntungan yang teraih, namun  maut belaka, maka 
mereka lebih suka tinggal tidur di tengah-tengah mewahan 
di rumah masing-masing di jenggala sendiri.” 
“Maka makin berkurang kapal-kapal negeri dongeng  
datang?” 
“Demikian adanya, baginda tuanku raja  sesembahan patih .” 
Sang adiputro  tercenung sebentar. Ia menunduk dan 
berpikir. Lambat-lambat kedua belah tangannya tertarik ke 
atas dan bertolak pinggang Sebentar dia berpaling dan 
menebarkan pandang pada laut, lalu  pada langit. 
Bertanya pelan: “Bagaimana bisa ada senjata lebih dahsyat 
dari cetbang?” 
“Beribu ampun, baginda tuanku raja , cetbang mereka bukan sekedar 
dapat menyemburkan api dan meledak, juga memuntahkan 
bola-bola besi sebesar, sebesar, kata orang, sebesar buah 
kacangtanah ” 
“Sebesar buah kacangtanah ! Terkupas atau tidak?” 
“baginda tuanku raja  adiputro  berolok-olok. Apakah bedanya buah 
kacangtanah  itu terkupas atau tidak? Besi sebesar tinju pun akan 
dapat remukkan setiap kapal, baginda tuanku raja .” 
adiputro  kediri  Arya Teja Tumenggung Wilwatikta 
terdiam. Juga destarnya yang panjang-panjang itu sebentar 
menggelepar tertiup angin. Intan, baiduri dan jamrud yang 
menghiasi bagian depan destar gemerlapan bermain-main 
dengan sinar matahari . Bertanya seakan tak acuh: “Bangsa apa 
kata kakang tadi?” 
“nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja . Orang bilang, ada bangsa lain, juga 
sama hebatnya, Ispanya namanya, baginda tuanku raja . Kapal-kapal Atas 
Angin pada ketakutan, baginda tuanku raja , biarpun hanya melihat dari 
kejauhan. Mereka sudah berlarian cari selamat, berlingsatan 
tunggang-langgang cari hidup. Sedang kapal nyi kanjeng blora itu, 
baginda tuanku raja , tak pernah belayar sendirian, selalu dalam 
rombongan, paling tidak dua atau tiga buah. Kapal-kapal 
negeri dongeng  itu, milik pedagang-pedagang itu, tak pernah 
dalam rombongan. sebab  persaingan satu dengan yang 
lain, baik di laut mau pun di darat.” 
“Dalam rombongan seperti armada kerajaan jenggala ?” 
“Benar, baginda tuanku raja .” 
“Apa lagi ceritamu, Kakang Patih?” 
“Mereka lain dari orang-orang palawa , Parsi atau 
Benggala, lain dari semua bangsa yang pernah datang di 
kediri . Mereka itu putih seperti kapas, seperti awan, seperti 
kapur, seperti bawang putih….” 
“Barangkali sebangsa hantu laut?” 
“baginda tuanku raja  berolok-olok. Mohon apalah kiranya tidak 
berolok-olok, baginda tuanku raja . Keadaan dunia sungguh-sungguh 
sudah berubah. baginda tuanku raja . Mereka memiliki  negeri dan rajanya 
sendiri.” Sang Patih menurunkan nada suaranya dan 
meneruskan pelahan bercampur dengan tiupan angin… 
“Aku tak dengar, Kakang Patih, lebih keras.” 
“Ampun, baginda tuanku raja . Dari dahulu  orang tua-tua sudah 
mendongeng tentang bangsa kulit putih, seperti dongeng 
tentang peri dan gandarwa, seperti dongengan orang arca    
tentang jin, iblis dan setan, seperti dongengan tentang 
dedemit para leluhur. Sekarang ternyata bangsa manusia 
berkulit putih sebetulnya  ada.” 
Ia turunkan lagi nada suaranya sehingga hampir 
berkata . 
“Siapa tahu, baginda tuanku raja ….” 
“Lebih keras!” 
“Ampun, baginda tuanku raja , siapa tahu, barangkali pada suatu kali 
jin dan iblis dan setan orang-orang arca    juga memiliki  negeri 
sendiri kapal dan cetbang.” 
Sang adiputro  memperbaiki letak gada wesi , lalu  
dilambainya patih wirabuana  agar mendekat. Yang dilambainya 
bergerak, tetap berdiri dan mengangkat sembah kepala  . 
“Apa pengetahuanmu tentang bangsa berkulit putih?” 
“Bangsa pemberontak  itu, baginda tuanku raja , bangsa berkulit putih, namun  
hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, baginda tuanku raja , hitam seperti 
jelaga periuk. Mereka tidak mengagungkan sang hyang Widhi  Yang 
Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan orang 
Jawa pun bukan penyembah patung, kecuali pemeluk 
sri ratu kertanegari . Mereka penyembah patung, baginda tuanku raja .” 
“pemberontak  atau tidak apa salahnya? Penyembah patung atau 
tidak apa buruknya? Roh, nyawa atau hatinya hitam atau 
putih atau kelabu ataupun ungu seperti bunga kecubung, 
apa peduli? sang hyang Widhi  Maha Besar sudah  memberikan pada 
manusia berbagai macam warna. Selama mereka datang 
membawa kesejahteraan untuk jenggala kediri … siapa saja 
baik.”  
“Auzubillah min zalik!” seru patih wirabuana .  
“Apa persembahanmu, Tuan patih wirabuana ?”  
“Diampuni oleh sang hyang Widhi  apalah kiranya… Baik nyi kanjeng blora, 
baginda tuanku raja , maupun lspanya, memusuhi semua bangsa, 
memusuhi semua orang arca   , dan Yahudi, dan sri ratu kertanegari , 
dan Hindu, semua bangsa manusia. Mereka mau merajai 
segala-galanya. sang yang betari durga   akan mengenyahkan mereka dari 
muka bumi.” 
“Kapan sang yang betari durga   mengenyahkan mereka?” 
“Semua bangsa, baginda tuanku raja ,” sembah tumenggung  dijoyo  terus 
dalam jawadwipa , “dengan bimbingan sang hyang Widhi . Kalau semua 
bangsa tidak mau, merekalah yang bakal menghalau kita 
semua….” 
“Di mana negerinya? Jauh atau dekat? Maka akan dapat 
mengenyahkan semua bangsa dari muka bumi?” 
“Jauh, baginda tuanku raja , lebih jauh dari Parsi, palawa ia ataupun 
Turki. Negerinya ada di atas negeri dongeng .” 
“Kalau dongengan itu benar, pasti kapalnya banyak, kuat 
dan hebat, tentu mereka bangsa yang pandai dan gagah-
berani. Mereka sudah  lewati Ujung Selatan Wulungga yang 
tak pernah dilalui oleh nenek-moyang,” puji Sang adiputro  
pada bangsa yang belum dikenal itu. 
“Mereka diberanikan oleh iblis, dipimpin oleh setan, 
baginda tuanku raja  adiputro  kediri ,” susul patih wirabuana  pada Sang adiputro  
tak senang. 
Sang adiputro  tak memperhatikan. Pandangnya 
ditebarkan ke laut yang masih juga disebari perahu-perahu 
nelayan. Angin yang meniupi dadanya membuat  bulu dada 
yang putih itu berombak. Tak dirasainya seekor lalat 
hinggap pada dagunya. Ia sedang bekerja keras memanggil 
kapal-kapal nyi kanjeng blora dan lspanya dalam angan-angan. 
“Bangsa-bangsa negeri dongeng  takut pada mereka,” tiba-
tiba ia berpaling pada patih wirabuana . 
“Tuan patih wirabuana , bagaimana bisa orang-orang arca    
takut pada pemberontak ?” 
“Senjata dari iblis!” Sang adiputro  mengulangi. 
“Sihir namanya, baginda tuanku raja .” 
“Sihir!” Sang adiputro  mengulangi, melecehkan. “Kalau 
begitu orang arca    pasti memiliki  mantra-mantra penangkal.” 
patih wirabuana  terdiam, menunduk lebih dalam, tak 
menemukan kata-kata jawaban. Tubuhnya yang tinggi 
jangkung nampak meriut kecil. 
“Ampun, baginda tuanku raja  sesembahan patih ,” sela Sang Patih 
sambil bersujud , “adapun senjata itu sama sekali bukan 
sihir, justru cetbang yang lebih ampuh. Kapal-kapal tak bisa 
lari dari tudingannya. Senjata itu dapat menenggelamkan 
kapal yang sebesar-besarnya dari jarak sepemandangan.” 
“Jadi sungguh-sungguh mereka memusuhi semua 
kapal?” 
“Benar, baginda tuanku raja , dan terutama kapal-kapal berbendera 
bulan dan bintang, semua kapal arca   , juga kapal-kapal 
bukan arca    dari Benggala, semua.” 
“Apa yang mereka cari, orang-orang… apa pula 
namanya tadi?” 
“nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja ,” sembah Sang Patih. “Semua, baginda tuanku raja , 
semua yang mereka cari, terutama rempah-rempah.” 
Tiba-tiba Sang adiputro  tertawa senang dan berkata  
pada angin mendesau: “Ha! Rempah-rempah! Seperti kapal-
kapal lain, seperti yang selebihnya. Rempah-rempah. Hai!” 
“Beribu ampun, baginda tuanku raja ,” Sang Patih meneruskan, “para 
nakhoda bilang mereka mulai kelihatan di Malagasi, 
memasuki Teluk Parsi dan mengamuk tiada terlawan. 
Kapal-kapal armada gabungan dari beberapa negeri dibabat 
lenyap ditelan laut… Sekarang mereka bukan hanya sudah 
mulai kelihatan di Benggala dan Langka, juga sudah 
menduduki Goa. Ya, baginda tuanku raja , bila senjata mereka berdentum, 
langit seperti belah dan hati yang mendengarnya jadi ciut. 
Burung-burung lumpuh sayap dan berjasang yang betari durga   mati. Bola-
bola besi sebesar kacangtanah  bersemburan, mendesis di udara. 
Tumpaslah kapal yang terkena.” 
Sang adiputro  tersenyum. Berseru pelahan: “Ya-ya-ya, 
pastilah mereka memang bangsa-bangsa unggul. Tuan 
patih wirabuana , gada rujakpolo  bukan nama senjata itu?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , dikutuk oleh sang hyang Widhi  apalah kiranya 
mereka itu. baginda tuanku raja , Mereka namai senjata itu dengan nama 
Dewi Ibunda Nabi Isa, Mariam, baginda tuanku raja . Bukan mereka 
sendiri yang menamainya, memang. Kata orang sebelum 
mereka mendentumkan senjatanya, bebetari i-betari i mereka 
memekikkan nama Ibunda Nabi Isa alaihissalaam. Api pun 
menyebar  dari moncong senjatanya dan bola besi itu 
melesit ke udara seperti peluru cetbang, hampir-hampir tak 
dapat ditangkap oleh mata. lalu  senjata itu dinamai 
gada rujakpolo .” 
Sang adiputro  mulai bosan mendengar keterangan bertele. 
Ia bergerak dari tempatnya, melangkah menuju pada 
kudanya. Semua centeng  pengawal bersujud  dan 
beringsut menjauhkan diri. centeng  pengawal pemegang 
kuda itu pun mengangkat sembah, menyerahkan kendali 
padanya, bersujud  lagi. bersujud ke tanah, lalu  
menungging untuk jadi anak tangga. 
Tanpa memperhatikan yang lain-lain Sang adiputro  naik 
ke atas punggung orang dengan sebelah kaki, dan dengan 
kaki lain melompat ke atas punggung kuda. 
Sang Patih juga naik ke atas kudanya, bergerak 
mengiringkan Sang adiputro . patih wirabuana  tertinggal di 
tempatnya…. 
wah 
 
Kapal unggul senjata unggul bangsa unggul kulit putih, 
rempah-rempah, cakra… semua menjadi masalah ganda 
yang berjubal dalam kepala   Sang adiputro . Ia memerlukan  
waktu untuk memikirkan semua itu. 
Bangsa-bangsa menjadi kaya sebab  berdagang rempah-
rempah. Mungkin satu bangsa bisa menjadi unggul sebab  
mencari rempah-rempah? Uh, pertanyaan lucu. Orang 
takkan mati tanpa dia. Bangsa-bangsa mencarinya sebab  
memang sudah unggul Mungkinkah suatu bangsa bisa jadi 
unggul hanya sebab  memiliki  senjata unggul? Hhhh, 
pertanyaan bodoh. Bangsa unggul saja bisa membuat  dan 
memakai  senjata unggul. Ada suatu lembaga yang 
membuat  mereka jadi unggul, maka segala yang 
ditanganinya juga jadi unggul: kapal dan senjata. Mereka 
pergi ke mana-mana untuk mengalahkan dan menaklukkan. 
Hanya yang dapat menahan dan mengalahkan mereka lebih 
unggul. cakra itukah mungkin lambang lembaganya? 
Sekarang ini siapa yang tahu? Barang siapa bisa menjawab, 
dialah si pembohong itu. Orang harus mengenal lebih dahulu  
bangsa-bangsa dari negeri terjauh ini, bangsa-bangsa dari 
atas negeri dongeng , bangsa-bangsa yang sudah  menaklukkan 
Ujung Selatan Wulungga yang belum pernah ditembus 
kapal-kapal kerajaan jenggala . namun  mereka memerlukan  
rempah-rempah! Mereka bangsa manusia biasa. Mereka 
juga bisa dikendalikan melalui kebusang yang betari durga  nya. kediri  memiliki  
rempah-rempah! Mereka akan datang kemari. Dan melalui  kebusang yang betari durga  nya mereka akan aku kendalikan! 
wah 
 
Tanpa mereka semua ketahui, sesuatu sudah  berubah di 
dunia yang tak dikenal di utara, jauh di baratlaut sana. 
Senjata baru, gada rujakpolo  itu, sebetulnya  sama nenek-
moyangnya dengan cetbang kerajaan jenggala . Tahun tolaknya 
dari Tiongkok pun sama: 1292 Masehi. Bersama dengan 
prajurit kerajaan  Kublai Khan yang melakukan expedisi 
penghukuman di Singasari, nenek-moyang cetbang 
kerajaan jenggala  dibawa dan di samping kuda perang dari 
Mongolia dan Korea3. kerajaan jenggala  semasa Mahapatih Gajah 
Mada sudah  mengembangkan senjata api ini jadi cetbang. 
Lawan-lawan kerajaan jenggala  pada mulanya menamai senjata ini 
“sihir api petir”, sebab  dari bawah ia memancarkan api 
dan di udara atau pada sasaran dia meledak. Dengan 
cetbang, dalam hanya 30  tahun kerajaan jenggala  Gajah 
Mada berhasil dapat mempersatukan Nusantara menjadi 
kerajaan  Malasya, kerajaan  Asia Tenggara. Sesudah  itu 
cetbang tidak berkembang lagi. 
Pada tahun 1292 itu juga prinsip.senjata-api bertolak dari 
Tiongkok, dibawa oleh Marco Polo dan diperkenalkan di 
Eropa. Orang mengetawakan dan mengejeknya, juga 
sesudah  matinya. Makin banyaknya orang Eropa berkunjung 
ke Tiongkok memicu  orang lebih mengerti dan mulai 
mencoba-coba membuat  sendiri. Perkembangan 
selanjutnya melahirkan musket. Dengannya kanjuruhan  dan 
blambangan  mengusir penjajahan palawa  di negeri mereka, 
semenanjung Iberia. Musket dibikin dalam bentuk raksasa 
menjadi gada rujakpolo . Dengannya mereka mempersenjatai 
kapal-kapal, mengarungi samudra tanpa gangguan. Seperti 
halnya dengan kerajaan jenggala , dengan kapal dan senjatanya 
mereka mulai menguasai jalan laut dan musuh-musuhnya, 
menaklukkan dan menjajah negeri. 
Cetbang dan kapal unggul kerajaan jenggala  pada suatu kali 
sudah  menghancurkan dirinya sendiri dalam Perang 
Paregreg. Juga blambangan  dan kanjuruhan  akan musnah 
sebab nya sekiranya resi bimasakti  tidak segera turun tangan 
meleraikan dua negeri ini dengan mpu wisangeni  atau 
mpu kalamudro , yang membelah dunia non-zoroasterahuramazda  jadi dua 
bagian, sebagian untuk kanjuruhan  dan yang lain untuk 
blambangan . Dan mulailah kapal-kapal mereka tanpa ragu-ragu 
menjelajahi dunia dengan cakra sebagai panji-panjinya, 
menaklukkan dan menguasai bangsa dan negeri-negeri yang 
dianggapnya dalam belah dunia bagiannya…. 
Dalam perjalanan Sang adiputro  memerlukan menengok 
ke belakang. Diberinya Sang Patih di kuil rat agar mendekat 
Suaranya sayup-sayup di antara gemerincing giring-giring 
dan derap kuda, terdengar ragu-ragu: “Kakang Patih, 
bukankah sudah  Kakang ketahui sendiri bagaimana sudah  
kami petaruhkan hari depan pada kejayaan arca   ? 
Bukankah banyak di antara putra-putra kami sudah  
memakai  nama arca    yang diberikan oleh resi -
resi nya? Kami biarkan putra kami Raden Said mendalami 
agama negeri dongeng  ini, dan sekarang jadi pemuka arca    
yang dihormati, hidup sebagai pandita dan pertapa, 
berpakaian seperti orang tidak ber bangsa. Berapa sudah di 
antara putra-putra kami, kami sengajakan mengabdi pada 
raja arca    pajang bintoro , sebab  percaya arca   lah yang jaya kelak. 
Apa sekarang? Kapal-kapal arca    takut pada pemberontak -pemberontak  
nyi kanjeng blora dan Ispanya….” 
“patih , baginda tuanku raja ,” Sang Patih menunduk dan mengangkat 
sembah.  
“Bagaimana kira-kira jadinya semua ini nanti?”  
“sang hyang Widhi  Dewa Batara!” sebut Sang Patih tak bisa 
menjawab.  
“Kakang Patih, bagaimana warta putra mahkota pajang bintoro  
sesudah  merampas suryabuaya  , wilayah kami?” 
“Belum banyak yang dapat dipersembahkan. baginda tuanku raja .” 
“Kerajaan pedalaman. Tanahnya lebih tandus dari kediri . 
Tak memiliki  laut. Selmrang memerlukan  jenggala sendiri. 
Adakah kota Semarang sudah menolak berdagang  
barang-barangnya maka ia memberandali wilayah kami? 
Apakah pajang bintoro  sudah bercekeok dengan Semarang?”  
“Rupa-rupanya perlu dikirimkan telik, baginda tuanku raja .”  
Sang adiputro  tidak menanggapi, meneruskan dengan 
suara lebih keras: “Apakah ada dugaanmu putra mahkota 
pajang bintoro  merampas wilayah kami, suryabuaya  , untuk 
membangun sebuah Angkatan Laut?” 
“Demikian konon wartanya, ya baginda tuanku raja . Sudah sejak lama, 
sejak kecil adiputro  tumenggung dijoyo , putra mahkota pajang bintoro , ditimang-
timang oleh Ibundanya jadi Laksamana, merajai kepulauan 
dan lautan. baginda tuanku raja .” 
Sang adiputro  tak meneruskan pertanyaannya. Sang Patih 
melambatkan kudanya sehingga kembali tercecer di 
belakang. 
Sesampainya di alun-alun tiba-tiba Sang adiputro  
menengok lagi ke belakang, bertanya waktu menghentikan 
kudanya: “Apakah putra mahkota pajang bintoro , adiputro  tumenggung dijoyo , 
sudah memerintahkan pembuatan  kapal perang?” 
“Baru pendirian galangan-galangan, baginda tuanku raja ,” sembah 
Sang Patih.  
“Boleh jadi sudah terjadi perpecahan antara Semarang 
dan pajang bintoro , sekiranya tak ada lagi tenaga Cina membantu 
di suryabuaya  . Kakang Patih, keterangan itu harus diperoleh .”  
“patih , baginda tuanku raja .” 
“Dan lebih berhati-hati terhadap campa . Setiap ada 
sesuatu yang mencurigakan, hancurkan saja jenggala itu.” 
“patih  baginda tuanku raja . campa  nampaknya tetap tenang, tidak 
membentuk kekuatan seperti Semarang. Jaraknya pun 
sangat dekat dengan kediri . Dalam tiga hari pasukan baginda tuanku raja  
adiputro  sudah dapat mencapainya melewati pesisir. 
Hancurlah dia! Yang agak mencurigakan justru suryabuaya  , 
baginda tuanku raja . Konon putra mahkota pajang bintoro , adiputro  tumenggung dijoyo , mulai 
mendatangkan pandai cor dari Pasuruan.” 
“Pandai-pandai itu tentunya Hindu.”  
“Tidak bisa lain, baginda tuanku raja .” 
“Jadi arca    bisa kerjasama dengan Hindu?” 
“Nampaknya demikian. Nampaknya pula sedang ada 
persiapan membuat  cetbang di sana.” 
“Kalau itu benar, raja arca    itu sedang memiliki  persiapan 
membuat  yang berbahaya. Segera kirimkan telik.” 
“patih , baginda tuanku raja  sesembahan.” 
“Apakah menurut dugaanmu tumenggung dijoyo  berani mengeluari 
nyi kanjeng blora dan Ispanya?” 
“Kuda-kuda itu berhenti. Juga para pengawal di depan 
dan belakang. 
“Konon kabarnya, baginda tuanku raja , putra mahkota itu sudah  
bersumpah akan membentengi arca    di belah bumi sini, 
bumi selatan.” 
Sang adiputro  mengangguk-angguk. Kudanya digerakkan 
lagi dan berjalan melewati gapura. 
“Brandal-brandal itu hendak beramin jadi kesatria raja .” 
Para pengawal gerbang pada bersimpuh dan mengangkat 
sembah. Tombak dan perisai mereka bergeletakan damai di 
atas bumi. Sang adiputro  tak memperhatikan, langsung 
berkendara menuju ke pendopo. 
Seorang pengawal menerima kuda dan seorang lain 
menyediakan punggung untuk jadi anak tangga. Ia turun 
namun  tak langsung masuk ke dalam. 
Sang Patih mengerti masih diperlukan. Sesudah  turun dari 
kuda ia datang menghadap dan langsung memperoleh  
teguran: “Banyak nian yang tak Kakang persembahkan 
selama ini.” 
“Ampun, baginda tuanku raja . patih  sudah  persembahkan semua, ya 
baginda tuanku raja . Nampaknya baginda tuanku raja  kurang mengkaruniakan 
perhatian. Ampun, baginda tuanku raja , tentulah sebab  banyak hal lain 
sedang jadi pikiran baginda tuanku raja .” 
“Tentu Kakang Patih benar. Apakah menurut dugaan 
Kakang, tumenggung dijoyo  dapat mengalahkan mereka? Tanpa gada rujakpolo  
dan hanya dengan cetbang buatan  pandai cor 
Blambangan?” 
“Ya, baginda tuanku raja , bagaimana patih  harus persembahkan? 
Waktu patih  masih kecil, nenek patih  pernah bercerita 
tentang kapal-kapal kerajaan jenggala , dan menurut katanya pula 
Mahapatih Gajah Mada pernah bersembah pada Sri 
Baginda paduka raja  Hayam Wuruk: hanya kapal-kapal yang 
bisa melalui Ujung Selatan Wulungga terperintah kan untuk 
menguasai buana, nyi kanjeng blora dan Ispanya bukan hanya 
melalui, mereka sudah  datang dari balik Ujung Selatan.” 
“Nyata kerajaan jenggala  tak pernah berhasil melaluinya.” 
“Tidak pernah, baginda tuanku raja . Ujung Selatan selama ini selalu 
dianggap jadi batas dunia. Tak ada daratan dan lautan lagi 
di sebaliknya, jatuh curam langsung ke neraka.” 
“Dan kapal-kapal mereka sudah  melewatinya. Datang 
langsung dari neraka itu! Kapal-kapal tumenggung dijoyo  barangkali 
masih dalam angan-angan, jauh dari ujian Ujung Selatan 
Wulungga.” 
Sang adiputro  berbalik meninggalkan Sang Patih dan 
masuk ke dalam kadipaten. 
Sang Patih, juga semua yang tertinggal, mengangkat 
sembah. Ia mengambil kudanya dari tangan seorang centeng  
pengawal dan keluar meninggalkan kadipaten. Belum lagi 
sampai ke kepatihan, seorang penunggang kuda sudah  
menyusulnya. Sang adiputro  sedang menunggunya di dalam 
kadipaten. Ia berbalik menuju ke kadipaten. 
Ia dapati Sang adiputro  sedang duduk berfikir dengan 
wajah menekuri lantai. Dan duduklah ia di bawah 
mengangkat sembah. 
“Mereka sudah lewati Ujung Selatan Wulungga, Kakang 
Patih. Tentu mereka sudah  kalahkan kapal-kapal Parsi, 
Mesir, Turki, palawa ia, Benggali dan Langka. Mereka akan 
kalahkan juga kapal-kapal Aceh, dan jawadwipa , Jawa dan 
kediri  sendiri.”  
“baginda tuanku raja .” 
“Mengapa musti mengalahkan, Kakang Patih? Bukankah 
kapal-kapal asing datang kemari bukan untuk mengalahkan 
kita? Tak pernah yang demikian terjadi sejak nenek-
moyang, kecuali orang-orang Tartar yang dihancur kan itu.” 
“Nampaknya nyi kanjeng blora dan Ispanya lain dibandingkan  yang 
lain, baginda tuanku raja . Mereka bukan sekedar mencari dagangan dan 
rempah-rempah. Mereka datang ke mana-mana untuk 
mencari negeri asal rempah-rempah. Mereka hendak 
merampas semua untuk dirinya sendiri.”  
“Kerakusan tiada tara. Mengapa tidak mau berbagi?”  
“Konon wartanya, baginda tuanku raja , mereka tadinya bangsa miskin. 
Sekarang baru keluar dari kemiskinan, baru melihat dunia, 
mulai merabai dan merampasi semua barang apa yang baru 
dilihatnya, apa saja yang indah, yang mahal, seperti si lapar 
melihat sajian, ya baginda tuanku raja .”  
Sang adiputro  tersenyum. 
“Si lapar melihat sajian. Perbandingan yang indah. Ya 
barangkali benar begitu. Dan mereka akan datang ke sini 
juga akhir-akhir kelaknya. Semoga mereka sudah  kenyang 
dalam perjalanan.”  
“Kerakusan tidak mengenal kenyang, baginda tuanku raja .”  
“Kakang Patih benar. Kadang-kadang memang 
memusingkan untuk memahami hal-hal baru. Kapal 
unggul, kacangtanah ran unggul. Sebaliknya, Kakang Patih, 
mereka yang justru memiliki negeri yang menghasilkan 
rempah-rempah, sepanjang sejarahnya selalu hidup dalam 
kemiskinan dan perbudakan. Mereka yang datang mencari 
rempah-rempah yang jaya dan kaya. Bagaimana harus 
memahami ini, Kakang?” 
”Itulah suratan tangan bangsa-bangsa. baginda tuanku raja , hanya para 
pendita bijaksana dapat menerangkan.” 
“Sekarang rempah-rempah juga yang memanggil 
kerakusan yang tak mau berbagi. Kerakusan yang mau 
berkuasa dan memiliki untuk diri sendiri semata, 
membunuh dan menenggelamkan. Mereka makin 
mendekati kediri . Rasa-rasanya sudah  dapat kami dengar 
bunyi gada rujakpolo nya, memekakkan dan melumpuhkan burung-
burung di cakrawala.” Suaranya menjadi pelahan 
mendekati bisikan: “namun  adiputro  kediri  tidak gentar, 
Kakang. Hanya awas-awas pada yang di barat sana: 
Semarang, pajang bintoro , suryabuaya  , campa .” 
Sebentar ia berhenti bicara, tersenyum menimbang-
nimbang, matanya berkilau, wajahnya berseri: “Ya, 
padasuatu kali mereka, manusia berkulit putih lucu itu, 
seperti bawang, anak bangsa unggul itu, akan datang 
kemari. Kapal-kapal mereka akan terikat pada patok 
dermaga kediri .” Sekarang ia tertawa, semakin riang, 
“untuk kediri , Kakang Patih, mereka tidak akan 
mendatangkan kehancuran atau kehancuran….”  
“sang hyang Widhi  Dewa Batara membimbing baginda tuanku raja  adiputro  
Sesembahan.” “… mereka akan datang membawa 
kekayaan, kemakmuran melimpah, mas, perak, tembaga, 
sutra, intan, permata, akan berjasang yang betari durga  , berhamburan di 
kediri , dari kapal-kapal mereka. Sudah kudengar mereka 
bersorak-sorai. Bukan sorak kemenangan, bukan sorak-sorai 
minta beli lebih banyak! Rempah-rempah! Rempah-rempah! 
Kerahkan semua armada niaga, Kakang Patih. Semua. Ke 
Mamuluk. Angkut semua yang ada. Ke kediri . Itu perintah 
kami.” 1 
Sang adiputro  masuk ke peraduan dan memusatkan 
seluruh pikirannya untuk memperoleh kan keuntungan dari 
perubahan baru tanpa harus mengurangi keuntungan yang 
bisa diperoleh  dari kapal-kapal arca   , Nusantara dan 
Tiongkok. 
wah 
 
Pada waktu ia tenggelam dalam pikirannya, jauh, jauh 
dari kediri , kejadian-kejadian besar sudah  datang silih-
berganti, baik di negeri kanjuruhan  maupun Ispanya. Pada 
1492 Kristoforus Colombo sudah  menyeberangi samudra 
Atlantik, menemukan benua baru Amerika. Tak lama 
lalu  Ispanya dan kanjuruhan  merajai benua baru itu. 
Enam tahun lalu , pada 1498 pelaut kanjuruhan  Yasco 
da Gama mulai menjelajah dunia Timur, dengan panji-
panji mpu wisangeni  yang dikeluarkan oleh Tahta Suci pada 
4 Mei 1493. Kapalnya memasuki tumapel  dan Goa dan 
ikutserta  pula kekuasaannya. 
Jalan laut kapal-kapal arca    mulai terdekat. Pangkalan-
pangkalan diambil-alih dengan gada rujakpolo …. 
wah 
 
Turunan kuda Korea di Jawa lalu  dinamakan  kuda 
Kore. 
Senjata ini didasarkan atas prinsip roket, yang 
dilemparkan dan diarahkan dengan laras dengan tolakan 
ledakan. 
wah 
 
3. Menjelang Pesta Lomba Seni dan Olahraga 
dahulu  di Wilwatikta, ibukota kerajaan jenggala , terdapat dua 
istana. Sebuah istana paduka raja , yang lain istana Sang 
Dharmadhyaksa, penghulu agung ummat sri ratu kertanegari . 
Sekarang di kediri  Kota terdapat dua gedung utama. 
Sebuah adalah kadipaten, yang lain gedung penghulu negeri 
ummat arca    kediri . 
Sekarang gedung kayu besar megah itu tidak lagi 
ditinggali oleh Sang Penghulu, kosong. namun   beberapa hari 
belakangan seluruh pelatarannya dikelilingi pagar papan 
kayu tinggi. Dari jalanan hanya nampak atapnya yang dari 
sirap jati, kelabu kehitaman. Melalui pagar setinggi tiga 
depa itu orang tak dapat meninjau ke dalam. 
Penghuninya, Penghulu Negeri berasal dari seberang, 
sudah  dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang adiputro . 
Dahulu ia diangkat untuk mengurus  soal-soal agama 
penduduk dan mengajarkan arca    pada anak-anak 
pembesar. Ia juga diangkat untuk jadi resi  putra-putra Sang 
adiputro . namun   ia menyia-nyiakan agama-agama lain yang 
masih dipeluk oleh penduduk negeri kediri . Sekarang 
gedung utama kedua itu tertinggal kosong. 
Sesudah  pelataran dipagari tinggi orang justru pada 
datang dalam bondongan dan menggerombol, mencoba 
dapat mengintip ke balik dinding pagar. Berita sudah  pecah 
ke seluruh kota: Bidadari hutan  larangan , I dayu, juara tari 
dua kali berturut, sudah  datang ke kediri  Kota untuk 
menggondol kejuaraan ketiga kalinya. 
Desas-desus meniup sejadi-jadinya: dia datang untuk 
takkan balik ke desanya lagi   sebagai bunga perbatasan 
pasti dia akan diselir oleh Sang adiputro . Sebelum bidadari 
itu jadi milik pribadi Sang adiputro  orang memerlukan 
datang untuk membelainya dengan pandangnya. Beberapa 
pemuda sudah  bermimpi akan melarikannya. Sebagai selir 
dia takkan dapat dipuja atau dikagumi lagi. 
namun  rombongan seni dan olahraga dari hutan  larangan  
belum lagi tiba. 
Desas-desus sudah  datang mendahului, memercik ke 
seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. Dan 
tak lain dari kepala   desa hutan  larangan  sendiri yang 
merencanakan dan menitipkannya. Rombongan yang 
belum datang itu tak tahu-menahu. Hanya mereka yang 
melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaranya: 
Wejangan terakhir betari  resi   sudah  membawa desa 
hutan  larangan  ke tepi kehancur an. Dengan keputusan 
sendiri ia sudah  meracuni resi -pembicara itu. Dan pada up-
acara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa, 
terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang 
pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia 
mengakui di depan umum, ia sendiri yang sudah  
meracunnya untuk menghindari murka Sang adiputro . 
Sesudah  itu ia datang pada nyi girah  dan raden gelang-gelang , membatalkan 
rencana perkawinan mereka, menangguhkan sampai 
sehabis Lomba Seni dan Olahraga. Mereka berdua sudah  
merawat betari  resi   sampai matinya. Mereka harus 
digiring ke kediri  Kota, biar Sang adiputro  segera dapat 
menjatuhkan hukumannya. 
Ia tahu pasti segala sesuatu tentang hutan  larangan  sudah  
sampai pada Sang Patih dan Sang adiputro . Dan desas-desus 
itu perlu untuk mengingatkan mereka pada hutan  larangan , 
pada betari  resi  , raden gelang-gelang  dan nyi girah , dan: tindakannya 
yang bijaksana. 
Rombongan hutan  larangan  sudah  nampak dari kejauhan. 
Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul-
umbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua 
untuk senang menerima kedatangannya. 
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan 
bersorak-sorai gegap-gempita. 
“Merdeka , hutan  larangan ! Merdeka  nyi girah !” 
anak anak pada berlarian menyongsong dengan 
tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau 
setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu 
sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun. 
Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun. 
Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang 
pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, wanita lesbian , kakek, 
nenek, kanak-kanak. anak anak terbang berlarian untuk 
menyatakan keredupan  atas kedatangan juara negeri, 
kekasih semua dewa. Laki-laki -Laki-laki  tak berbaju dengan gada wesi  
terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda 
menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam 
rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi 
caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung 
rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang 
pada nyi girah , mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan 
dadanya . 
Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyi-
bunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten, 
dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang 
destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan 
menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan 
bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang 
menelan tubuh bidadari hutan  larangan , merabai tubuhnya 
dengan pandang rakus. 
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa 
melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-
sorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara: 
“Merdeka  hutan  larangan !” 
“Merdeka uuuuuu,” semua, pendatang dan penonton, 
meledak serentak. 
“Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya 
penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang. 
“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun 
yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya. 
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun 
semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan 
tajam-tajam. Atas perintah  Sang Patih, barangsiapa dari 
pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan 
ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus 
menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.” 
Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang 
pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, baginda tuanku raja  
Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!” 
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi 
menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin 
gemuruh. 
“Nah, wanita-wanita hutan  larangan . Kalian sudah 
dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” 
Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka 
pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian 
dari upacara, sesudah  keluarnya larangan. Semua wanita 
pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah 
kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk 
merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak 
bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh. 
Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa 
mudanya. 
“Jangan biarkan Sang matahari  malu melihat kalian. Cepat, 
sebab  seluruh Kota sudah menunggu.” 
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan 
pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian 
yang sebetulnya . Gamelan semakin riuh dan tarian 
semakin indah. 
Rombongan hutan  larangan  sudah  nampak dari kejauhan. 
Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul-
umbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua 
untuk senang menerima kedatangannya. 
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan 
bersorak-sorai gegap-gempita. 
“Merdeka , hutan  larangan ! Merdeka  nyi girah !” 
anak anak pada berlarian menyongsong dengan 
tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau 
setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu 
sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun. 
Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun. 
Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang 
pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, wanita lesbian , kakek, 
nenek, kanak-kanak. anak anak terbang berlarian untuk 
menyatakan keredupan  atas kedatangan juara negeri, 
kekasih semua dewa. Laki-laki -Laki-laki  tak berbaju dengan gada wesi  
terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda 
menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam 
rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi 
caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung 
rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang 
pada nyi girah , mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan 
dadanya . 
Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyi-
bunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten, 
dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang 
destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan 
menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan 
bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang 
menelan tubuh bidadari hutan  larangan , merabai tubuhnya 
dengan pandang rakus. 
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa 
melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-
sorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara: 
“Merdeka  hutan  larangan !” 
“Merdeka uuuuuu,” semua, pendatang dan penonton, 
meledak serentak. 
‘Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya 
penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang. 
“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun 
yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya. 
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun 
semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan 
tajam-tajam. Atas perintah  Sang Patih, barangsiapa dari 
pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan 
ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus 
menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.” 
Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang 
pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, baginda tuanku raja  
Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!” 
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi 
menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin 
gemuruh. 
“Nah, wanita-wanita hutan  larangan . Kalian sudah 
dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” 
Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka 
pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian 
dari upacara, sesudah  keluarnya larangan. Semua wanita 
pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah 
kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk 
merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak 
bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh. 
Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa 
mudanya. 
“Jangan biarkan Sang matahari  malu melihat kalian. Cepat, 
sebab  seluruh Kota sudah menunggu.” 
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan 
pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian 
yang sebetulnya . Gamelan semakin riuh dan tarian 
semakin indah. 
Rombongan hutan  larangan  semakin tebal dan panjang. 
Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah 
tanpa menuntut simpuh dan sembah. Gerobak pada 
melarikan diri sebelum terseret dalam kepadatan manusia. 
Sepanjang jalan seruan Merdeka  berderai bersambut-
sambutan. Sampai di depan bekas gedung Penghulu Negeri 
yang terpagari papan kayu tinggi, iring-iringan berhenti. 
Pintu pagar terbuka lebar. Seorang penyambut berdiri di 
tengah-tengah pintu. Ia berkain. sebab  tubuhnya tinggi, 
kain itu tak mencapai matakaki. Dadanya telanjang. Ia tak 
memakai  selendang sutra yang menyelimpangi dada. Di 
tangannya ia membawa gada  terhtumenggung dijoyo . Di kiri dan 
kanannya berdiri pengawal bertombak dan berperisai. 
“Dari mana semua ini, maka membuat  onar di Kota?” 
“Kami,” jawab kepala   desa yang melompat ke depan, 
“dari desa perbatasan hutan  larangan .” 
“Apa keperluanmu, pelancang?” gertak penyambut 
sambil mengamangkan gada nya. 
Dua orang pengawalnya maju, memasang kuda-kuda 
dengan tombaknya. 
“Datang ke kota untuk merebut kejuaraan. Berikanlah 
pintu pada rombongan terbaik seluruh negeri ini,” jawab 
kepala   desa. 
“Ahai! Datang untuk merebut kejuaraan. Tidak semudah 
itu orang desa!” 
“Berilah kami kesempatan!” 
“Baik, masukkan semua rombonganmu, dan pergi nyah 
kau dari sini.” 
Dan dengan demikian rombongan hutan  larangan  masuk, 
kecuali bukan peserta . Penonton bersorak-sorai, bergalau 
memanggil-manggil nyi girah . 
Dan pintu pagar tertutup rapat. 
wah 
 
Dua hari rombongan peserta  hutan  larangan  sudah  
dibalai  kan. Laki-laki  menempati bangunan sebelah kanan, 
wanita sebelah kiri. Semua wakil desa-desa sudah  datang. 
Latihan pun sudah dimulai 
Di jenggala saudagar-saudagar, asing dan Pribumi 
mengadakan taruhan satu sepuluh: datang-tidaknya Sang 
adiputro  ke balai   untuk mengunjungi nyi girah . Datang 
berarti bidadari hutan  larangan  akan terambil jadi selir. 
Taruhan itu sampai mencapai seluruh muatan kapal, 
malahan kapalnya sendiri. Suasana hangat membubung di 
atas bumi dan kepala   manusia kediri  Kota. 
Punggawa-punggawa desa hutan  larangan  semakin giat 
meniup-niupkan desas-desus. Dan hanya tiga orang saja 
sekarang tak tahu tentang itu: nyi girah  sendiri, raden gelang-gelang  dan 
Sang adiputro  
Penguasa kediri  itu masih juga sibuk menata pikiran 
menghadapi kemungkinan datangnya kanjuruhan  dan 
blambangan . Juga nyi girah  tak kurang sibuknya: berlatih dan 
melakukan pekerjaan untuk kepentingan bersama: 
memasak dan membersihkan balai  . raden gelang-gelang  pun sibuk 
melatih otot-ototnya. 
Mereka turun ke kota dan memasuki balai   dengan hati 
berat. Persiapan perkawinan mereka kembali harus 
disimpan di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari 
punggawa desa itu mendatangi mereka, memaksa dengan 
segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka 
hendak melangsungkan perkawinan. lalu  tak lain 
dari kepala   desa sendiri yang datang. ‘Desa kita sudah  
dicemarkan oleh mendiang betari  resi  ’, katanya. 
‘Kehormatannya harus dipulihkan, dan’, kepala   desa itu 
menuding raden gelang-gelang , ‘kau bertanggungjawab juga dalam 
pencemaran itu!’ raden gelang-gelang  membantah dan punggawa itu 
tetap menudingnya, mengancam akan menyerahkannya 
pada pengawal perbatasan. 
Tahulah ia: otot-otot yang perkasa sama sekali tanpa 
daya menghadapi kekuasaan kepala   desa. Ia menyerah 
tanpa rela hatinya. Sebelum pergi kepala   desa masih 
mengancam: ‘Kau harus menggondol kemenangan itu di 
kediri  Kota nanti. Kembalikan kehormatan hutan  larangan ! 
Ia hanya bisa mendeham menerima paksaan kepala   desa, 
dan ia harus menggondol kemenangan. 
wah 
 
raden gelang-gelang  sedang menimba sumur balai   waktu 
didengarnya teguran seseorang: Ia menengok. Orang itu 
ternyata penantangnya dari desa lain, dikenal bernama 
Boris. Nama lengkapnya Borisrawa, seorang pengejek yang 
tajam menyayat kata-katanya. 
raden gelang-gelang  meletakkan timba dan menghampirinya. Dalam 
segala ukuran Boris kalah dibandingkan nya, namun 
semangatnya untuk menang memancar kemilau pada 
matanya. 
“Kang raden gelang-gelang ,” katanya lagi. “Kau datang lagi ke kediri  
Kota tahun ini.” 
“Kau juga, Boris.” 
Boris milirik tajam, bibirnya tertarik kejang mengejek: 
“Kau datang untuk menang? Atau untuk kehilangan 
nyi girah ?” 
Darah raden gelang-gelang  tersirap. Sekarang jelas padanya arti 
sindiran-sindiran selama dalam perjalanan dan memuncak 
dalam balai   ini. 
Dua masalahnya belum lagi terpecahkan: menang dan 
lepas dari hukuman Sang adiputro . Sekarang gelombang 
sindiran tentang kehilangan nyi girah . Siapa bakal mampu 
merampas kekasih dibandingkan nya kalau bukan punggawa? Ia 
masih dapat mengingat kebencian betari  resi   terhadap 
para punggawa   kebencian yang bukan tanpa alasan. Dan 
pesan kepala   desa dan anggota-anggota majelisnya untuk 
turun lagi ke gelanggang perlombaan. Ia masih dapat 
mengingat waktu nyi girah  menolak, dan rapat desa diadakan 
dengan terburu-buru. Ia pun masih dapat mengingat 
penutupan perlombaan tahun lalu: semua gadis perbatasan 
diperintahkan menari di pendopo kadipaten. Tak ada 
penduduk desa diperkenankan hadir. Dan lalu  desas-
desus ini mata Sang adiputro  tak lepas-lepas dari gadisnya, 
nyi girah . 
“nyi girah , Kang   rupanya kau sudah relakan dia,” 
tetaknya. 
raden gelang-gelang  mencoba tersenyum. Sumbang. Satu dugaan 
sudah  mendorongnya ke pojok: bukan salah seorang dari 
para punggawa itu, namun  Sang adiputro  sendiri bakal 
merampas kekasihnya. 
“Betapa indahnya kehidupan di desa sendiri, ya Kang?” 
Boris masih juga mencoba membakar dan menganiaya 
hatinya. 
“Ya,” jawabnya hambar. 
Sebelum kepergian terakhir ke kediri  ia selalu merasa 
bangga melihat pandang Laki-laki  yang memberahikan 
kekasihnya, pandang wanita yang mengagumi dan 
mencemburui. Seorang pun takkan bakal mampu 
merampas kekasihnya selama otot-otot dan kecekatannya 
masih dapat diandalkannya. Sekarang ia tersedar. kaum 
punggawa, terutama Sang adiputro  sendiri bukan sekedar 
gumpalan otot perkasa dan kecekatan memakai nya. 
Jauh lebih dari itu: kekuasaan atas hidup dan mati. 
“Mengapa kau diam saja, kang? Marah barangkali?” 
Begitu dilihatnya raden gelang-gelang  menjatuhkan pandang ke tanah 
basah berbatuan segera ia meneruskan: “Tak ada guna 
marah Kang, percuma. Barangkali hanya aku yang berani 
menyatakan ini terang-terangan padamu. Sekiranya kau 
marah, itu pun beralasan. Aku memang penantangmu. 
Hadapi aku nanti di gelanggang. Jangan di sumur sini.” 
Di luar dugaan Boris, raden gelang-gelang  tersenyum. Giginya 
lalu  muncul, nampak dan gemerlapan putih. 
“Gigimu masih putih, Kang. Apa akan tetap kau biarkan 
putih seperti itu?” 
“Gigimu pun masih putih, Boris. Kapan kau hitamkan?” 
“Bagiku tidak soal.” Tiba-tiba ia menetak lagi: “Aku 
tidak mengharapkan perawan atau jandanya nyi girah , Kang. 
Kalau dia lepas dari tanganmu, apa gigimu akan tetap putih 
juga?” 
raden gelang-gelang  meninggalkan sumur dengan kesakitan dalam 
hatinya. Sekali ini kemarahan memang membuncah. Dan ia 
tak ingin terjadi perkelahian. Apa lagi ia tahu Boris sengaja 
hendak mengganggunya. Ia tak jadi menimba, masuk ke 
dalam balai  , hendak berdamai dengan hati sendiri. namun  
kembali ancaman kepala   desa memasuki ingatannya. Kalau 
dia libatkan diriku pada betari  resi  , tentu juga nyi girah . 
Dia dan majelisnya sudah  giring kami ke kediri  Kota, ke 
hadapan Sang adiputro  sendiri. 
Setiap orang tahu akibat gugatan terhadap punggawa, 
terhadap Sang adiputro , terhadap seorang raja. Hukuman. 
Mati. Tak ada tawaran lain. namun  betari  resi   tidak 
keliru, dia .benar, mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk 
bawahan ; segala tingkah laku mereka tak boleh disalahkan, 
sekalipun hanya dengan kata-kata. Aku dan nyi girah  akan 
ditindak. Tidak sekarang, pastilah nanti sehabis 
perlombaan. Ia pun tahu betul: ada aturan yang 
membebaskan setiap peserta  perlombaan yang dibalai  kan 
dari segala tuntutan. 
Maka aku dan nyi girah  harus menang. Harus! 
Kemenangan saja yang barangkali dapat melepaskan kami 
berdua dari hukuman. Bebas! Bebas! Mungkin aku bisa 
bebas, namun  nyi girah ? Mungkinkah dia bisa balik ke hutan  
larangan  bersama denganku? Betapa bakal sunyi hidup ini 
tanpa nyi girah , tanpa dia, tanpa tawa tanpa candanya. Dan 
apa pula arti duka-cita seorang anak desa seperti kami bagi 
seorang adiputro  yang berkuasa atas hidup dan mati….? 
wah 
 
nyi girah  sedang masak waktu mendengar berita itu: 
“raden gelang-gelang  bingung! raden gelang-gelang  bimbang! Dia akan kalah di 
gelanggang nanti. Dia akan kehilangan dua: kejuaraan dan 
nyi girah . Kalau dia menang, dia akan kehilangan satu: nyi girah  
saja, kau saja. Dia tetap akan kehilangan.” 
‘Teka-teki yang buruk,” nyi girah  menanggapi dan belum 
begitu menyedari duduk-perkara.  
“Bukan teka-teki. Kau sendiri lebih tahu dari aku.”  
“Apa maksudmu sebetulnya ?” ia tinggalkan periuk 
dan mendekati teman masaknya. 
“Maksudku, nyi girah . Di desamu sana, semua orang 
melihat betapa indah dan bersinar kulitmu, agung kalau 
sudah menari, memikat, tinggi semampai seperti puncak 
gunung kapur. Di sini orang melihat kau hanya pada 
wajahmu. Tidak kurang tertarik.” Teman masak itu 
mendekatkan bibir pada kuping nyi girah : “Kau akan tinggal di 
keputrian, nyi girah .” 
nyi girah  membeliak. Centong pada tangannya luruh ke 
tanah. Wajah temannya tak nampak olehnya. Sebagai 
gantinya muncul kepala   desa yang berkumis jarang dan 
kata-katanya yang lembut, manis dan membujuk: 
‘Kecakapan dan kecantikanmu, nyi girah , akan membantu kau 
mencapai segala yang jadi impianmu. Dan semua orang 
menilainya sebagai cantik dan tanpa tandingan dalam 
menari. Juga semua orang tahu harga kecantikan dalam 
percaturan kekuasaan, di desa ataupun kota. 
“Ya, nyi girah , pemenang tunggal akhir-akhirnya baginda tuanku raja  
adiputro  juga. Tidak lain dari kau sendiri yang lebih 
mengerti. Sampai sekarang kabarnya hutan  larangan  belum 
juga memperoleh  tambahan Raden mas , belum ada lagi 
Nyi Ayu….” 
nyi girah  menarik ke dua-dua lengannya jadi siku-siku, 
mengejang jari-jarinya pada pipi, mencengkeram udara 
kosong. Matanya berpendaran pada langit-langit dapur, 
hitam diselaputi jelaga tipis. 
Temannya memungut centong dan mencucinya dalam 
jambang air, lalu  membetulkan letak kayu bakar. 
“Tak ada pilihan lain bagimu, nyi girah ,” katanya lagi sambil 
melewatinya. 
Dalam mata batin nyi girah  kini terpampang dirinya sendiri, 
la mengerti betul kata-kata temannya itu. Dan ia diam. Satu 
doa kesejahteraan membubung dari dalam hatinya, mencari 
para dewa yang masih memiliki  persediaan kemurahan…. 
balai   itu sendiri terletak di tentang alun-alun, tak 
seberapa jauh dari gedung kadipaten. 
Di luar balai   orang-orang terus juga menggerombol 
dengan harapan pintu pagar sekali-sekali dibuka dan 
dapatlah pandang dilemparkan ke dalam. 
Hari semakin gelap. Beduk tempat ibadah  Kota dan tempat ibadah  
pelabuhan sudah  bertalu-talu. Di sela desau dan deru ombak 
yang mendesak daratan terdengar azan bilal. 
Di depan balai   orang semakin banyak datang. Hampir 
pada setiap kepala   mereka hidup satu gambaran: nyi girah  
yang sedang menari pada perlombaan tahun yang lalu. 
Lebih dari itu: sedang tersenyum pada si pemilik hati 
masing-masing, senyum seorang bidadari pujaan. nyi girah ! 
nyi girah ! Hati mereka berseru-seru, berbisik-bisik, 
menggonggong dan melolong seperti anjing di musim 
kawin. Dan setiap orang di antaranya memiliki  harapan: 
seorang dewa pemurah akan mengkaruniakan gadis 
perbatasan itu pada dirinya. 
Dan malam itu sesudah  mengikuti pelajaran tatakbetari  
kerajaan bagaimana harus berlaku di hadapan para 
punggawa, terutama Sang adiputro  sendiri, semua calon 
petanding menuju ke bangsal ketiduran masing-masing. 
Kelelahan berlatih dan bekerja membuat  mereka terlalu 
rindu pada bantal. 
nyi girah  masuk ke bangsal wanita. Damarsewu pendek 
menerangi semua pojokan. Tanpa bicara ia rebahkan 
tubuhnya di antara kawan-kawannya wanita. Dan ia masih 
dapat menangkap sindiran dari sana-sini. 
“Siapa seminggu lalu  akan memasuki keputrian?” 
dan tawa terkikik-kikik menyusul berpantulan dari bibir ke 
bibir. 
nyi girah  diam saja dan hanya dapat berdoa. Ia rasakan 
duka-cita yang sedang menerjang kekasihnya. Dan kekasih 
yang dempal kuat itu muncul dalam perasaannya seperti 
seorang bayi seminggu yang memerlukan  perawatannya. 
Dan ia tak dapat memberikannya. 
Tanpa disadarinya matanya sudah  melepas mutiara-
mutiara, berkilauan tertimpa sinar damarsewu. Segala 
keindahan masa kemarin serasa akan bubar-buyar dari 
angan-angan kekasihnya. Yang tertinggal akan hanya 
sampahnya yang berhamburan tak menentu. 
Seorang demi seorang sudah  mulai tertidur. Akhirnya 
tenang. Deburan laut terdengar semakin nyata dan semakin 
nyata. Kadang berlomba dengan desah angin yang 
merobosi sirap. 
Sampai dengan kemarin ia masih terbiasa 
membayangkan sebuah pondok bambu beratap ilalang, 
berdiri sederhana di pinggir hutan. raden gelang-gelang  sendiri yang 
mengusulkan pendirian pondok itu. Dan mereka berdua 
akan membuka hutan di pinggiran desa itu, dan membuka 
huma seluas-luasnya untuk gogo dan palawija. ‘Ayam tak 
perlu banyak/ kekasihnya menyarani, ‘kecuali kalau hutan 
itu sudah terbuka luas. Tiga ekor induk dan seekor jago 
sudah cukup untuk permulaan. Dan sepasang anjing yang 
cerdas. Kelak atap ilalang akan kuganti dengan injuk. 
Sudah aku ketahui ada daerah enau. Aku sudah temukan 
daerah enau, Dayu! Kita akan bikin gula dan tuak 
sebanyak-banyaknya! 
Ia simpan gambaran itu sebagai suatu yang terlalu mahal 
sekarang ini. 
lalu  Sang adiputro  muncul dalam mata batinnya, 
bertolak pinggang, semua rambutnya sudah  putih, tegap, 
gagah, dan raden gelang-gelang  dihalau dari hadapannya. Kekasihnya 
itu merangkak pergi bersama dengan impian dan kesakitan 
sendiri. Dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Sudah 
terlalu banyak cerita tentang raja yang menghendaki 
perawan cantik dan menikam kekasih perawan dengan 
tangan dan gada wesi  sendiri. Ah, raden gelang-gelang , Kang raden gelang-gelang ! Bahkan 
kekasihnya itu tak berani menengok untuk memandangi 
buat terakhir kali. 
Tiba-tiba ia tersedan pelan, sangat pelan. Apa pula arti 
air mata bagi Sang adiputro ? Sedang nyawa orang pun 
miliknya? Ia tahu, di tangan Sang adiputro  tak ada orang 
boleh menyentuh dirinya, raden gelang-gelang  tidak, orangtuanya 
sendiri pun tidak. Ia menggeragap bangun. Seorang bocah 
Laki-laki , berumur empat belasan, mendadak sudah  berdiri di 
hadapannya dan menyentuh dirinya. Telunjuknya, yang 
bercincin mas, terpasang pada bibir   ia memberi di kuil rat 
agar tak ada sesuatu bunyi. Ia pandangi anak itu dari balik 
selaputan air mata. Masih dilihatnya bocah itu berpakaian 
ningrat. Gelang mas menghiasi lengan. Destarnya saja 
menyangkal keningratannya, sebab  ujung-ujung 
pengikatnya terkanji kaku. Ikat pinggangnya dari kulit, 
lebar, berkilauan dengan hiasan perak. 
Dengan sikap rahasia si bocah menyerahkan secarik 
lontar. 
Dan sebelum nyi girah  sempat bertanya ia sudah  keluar dari 
bangsal wanita. 
Gadis hutan  larangan  itu melangkah ke sebuah 
damarsewu dan membacanya: “nyi girah , kekasih si Kakang. 
Jangan kaget sebab  datangnya lontar ini. Di luar sana 
malam, nyi girah , namun   dalam hatiku kekuatiran yang 
merajalela. Kalau nanti, nyi girah , kekasih si Kakang, menang 
atau kalah dalam pertandingan, tahu-tahu baginda tuanku raja  adiputro  
menghendaki dirimu…. nyi girah , pujaan si Kakang, 
bagaimana akan jadinya?” 
Perawan perbatasan itu menghela nafas panjang. Lontar 
itu diciumnya, lalu  ia gulung kecil, ia tekuk. Ia 
lepaskan subang kiri dari kuping dan membuka cepuknya. 
Gulungan kecil lontar itu dimasukkan ke dalamnya subang 
itu dikenakannya kembali. Ia merangkak ke ambin dan 
turun lagi mengambil kantong tipis dari anyaman bambu. 
Dari dalamnya ia keluarkan selembar lontar dan sepotong 
besi menggurit. Dengan penggurit itu ia mulai menulis. 
Sesudah  selesai disekanya dengan jelaga pelita dan muncul 
tulisannya. 
Si bocah menongolkan kepala   di pintu. nyi girah  
menyerahkan lontar balasan. 
Damarsewu tetap menyala. Menurut aturan balai  , 
lampu harus tetap menyala dari matahari  tenggelam sampai 
terbit…. 
Gerombolan orang di luar balai   sudah lama bubar 
dengan menyemaikan harapan untuk hari esok. 
Dalam bangsal Laki-laki , si bocah Pada menyerahkan lontar 
balasan pada raden gelang-gelang . Juara gulat tahun lalu itu tanpa 
sabarnya segera membacanya. 
“Kakang raden gelang-gelang , kakang si adik. Memang semua orang 
sudah bicara. Semua orang sudah tahu, Kang. Apa kau dan 
aku bisa perbuat, Kang? baginda tuanku raja  adiputro  tak dapat kita 
hadapi. Semoga yang ini tidak akan terjadi. Kelak kau akan 
terpilih jadi kepala   desa, Kang, kepala   desa hutan  larangan . 
Aku akan jadi si embok lurah, ya Kang? Jangan pikirkan 
yang lain-lain kecuali pertandingan. Jangan malukan aku 
dengan kekalahan. sang Hyang betari durga   mengabulkan, Kang.” 
raden gelang-gelang  menyorong lontar itu pada api damarsewu, 
terbakar, jadi abu. Ia pandangi Pada yang masih berdiri di 
sampingnya. Juara gulat itu mengangguk, dan bocah itu 
pergi menghindar, meneruskan kewajibannya meronda ke 
sekeliling balai  . 
Bocah itu lebih suka berada di bangsal wanita. Ke sana 
pula ia pergi. Baru dua tiga langkah ia masuk terdengar 
canang bertalu tiada hentinya. Ia berhenti dan 
mendengarkan. lalu  terjadi yang diduganya: keri-
butan terbit di dalam bangsal itu. Cepat-cepat ia masuk ke 
ruangan tidur. Para penghuni sudah  terbangun semua, 
bertanya satu pada yang lain: bunyi canang tak pernah 
masuk dalam acara. 
Pada berdiri tegak. Mata terarah pada nyi girah  yang juga 
berdiri bertanya-tanya. Ia angkat lengan, memberi di kuil rat 
agar semua tenang kembali. Lengannya yang bergelang mas 
diangkatnya semakin tinggi untuk memamerkan 
perhiasannya. 
“Para nyi girah  calon juara!” katanya lantang tanpa 
ragu-ragu, seperti pembesar berpengalaman, “jangan kaget 
jangan terkejut, jangan gaduh, jangan ribut. Canang itu 
memang belum ada pada tahun yang lalu. Apalagi di 
malam hari seperti ini. Aturan baru, para nyi girah  calon 
juara! Artinya, para nyi girah  calon juara, pada malam ini 
kelihatan datangnya kapal asing akan memasuki 
pelabuhan.” 
“Mengapa dipukul terus seperti panggilan perang?” 
seseorang bertanya. 
‘Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertama-tama 
sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan 
supaya siap-siap dengan barang dagangannya. Kedua untuk 
membangunkan para pekerja pelabuhan. Dan yang 
terpenting, para nyi girah  calon juara: warta itu tertuju pada 
kadipaten, bukan pada balai   ini!” 
‘Taluan canang itu lebih mirip dengan panggilan 
perang.” seseorang membantah. 
”Kalau betul ada kapal asing datang, tentulah kapal 
pajang bintoro .”  
“pajang bintoro ?” 
“pajang bintoro  menyerbu dari laut?” 
“Tidak. Percayalah pada Pada ini. Tidurlah lagi semua 
nyi girah  calon juara.” 
Gadis-gadis itu terlampau mudah dipercaya kan dengan 
gerak gelang dan cincin Pada. Mereka kembali merangkak 
ke ambinnya masing-masing dan meneruskan tidurnya. 
nyi girah  justru mendekati Pada. 
“Tidur, nyi girah . Kau begitu pucat. Beberapa hari lagi 
pertandingan dimulai,” tegur Pada sebagai pejabat. 
“Jangan katakan pada siapa pun tentang lontar tadi,” 
bisik gadis perbatasan itu tanpa menanggapi  teguran. 
“Apakah ada nampak olehmu Pada ini tak dapat 
dipercaya?” si bocah berbisik kembali.  
“Percintaan memang dilarang di sini nyi girah .”  
“Bukannya aku tidak percaya. Kalau sampai terdengar 
ke sana….” nyi girah  menuding ke arah kadipaten, “apa 
bakal?”  
“Apa bakal jadinya?” ia mencibir,  
“nyi girah  celaka, Kang raden gelang-gelang  celaka. Aku lebih celaka 
lagi. Tentang yang sama itu bukankah nyi girah  sendiri 
yang tinggal pilih? Kang raden gelang-gelang  sendiri bisa apa? Memilih 
seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang 
sudah tahu soal nyi girah  dan Kang raden gelang-gelang , dan soal 
nyi girah  dengan yang sana?” 
“Kalau bicara semaumu sendiri, Pada. Tak ada terniat 
dalam hatimu untuk membantu aku dan Kakang?” 
Untuk pertama kali dalam balai   gadis itu melihat mata 
si bocah, yang beberapa tahun lebih muda dibandingkan nya itu, 
menyala-nyala memberahikannya. 
‘Tak ada orang bisa membantu,” bisiknya berwibawa. 
“Hanya nyi girah  sendiri yang bisa menentukan, dan 
semua akan selesai. Bukankah nyi girah  seorang wanita di 
negeri sendiri?” 
“Kau benar, Pada,” ia mengalah sesudah  mengherani 
kebijaksanaannya. “Akhir-akhirnya aku bukan satu-satunya 
yang pernah menghadapi soal seperti ini. Si Mira dahulu  lebih 
suka menyobek perutnya. Si Dama lari ke negeri Atas 
Angin dengan Parta. namun  memang tidak semudah itu, 
Pada. Kau harus membantu.”  
“Kalau kau sudah memutuskan, tentu mudah untuk 
membantu.” 
”Sudah, tidurlah, nyi girah  calon juara. Makin banyak 
melanggar aturan makin tidak baik,” dan ia pergi. Si 
lancang mulut itu ke luar dari ruang tidur. 
wah 
 
Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun 
berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada 
duduk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah 
panjang yang belum lagi berisi sarapan. Mereka sedang 
memikirkan sesuatu. Tubuh mereka yang dipenuhi oleh 
gumpalan otot kuat sejak leher sampai betis seakan 
bongkahan batu-batuan gunung yang terhempas di pinggir 
jalan. 
“Kongso Dalbi!” seseorang menyebut nama dengan 
dihembuskan. 
“Kongso   seperti nama orang sebelah barat sana. 
Barangkali dia memiliki  darah Jawa dari sebelah sana.” 
raden gelang-gelang  diam-diam mendengarkan untuk mengetahui 
duduk perkara. 
“Dia bukan Jawa. Juga bukan turunan Jawa. Keling pun 
tidak. Kata orang kulitnya putih, rambutnya sama hitamnya 
dengan kita. Badannya tidak lebih dempal, tidak lebih 
tinggi, juga tidak lebih besar dibandingkan  kita.” 
“Jadi siapa Kongso Dalbi?” akhirnya raden gelang-gelang  bertanya 
juga. 
“Dasar tolol perbatasan, kau, juara tahun lalu. Apa guna 
ototmu kalau tak pernah dengar nama Kongso Dalbi? Dasar 
tolol perbatasan! Hanya nyi girah  saja tahu, itu pun bakal tak 
kau ketahui juga. Untuk selama-lamanya.” 
“Husy!” pengawas mendiamkan. “Kau, raden gelang-gelang  wajib 
tahunama itu. Memang tidak patut tidak mengetahuinya. 
Kongso Dalbi… orang nyi kanjeng blora. nyi kanjeng blora pun kau tidak 
tahu barangkali?” 
raden gelang-gelang  menggeleng dan Boris mentertawakannya. 
“nyi kanjeng blora,” pengawas mengulangi. “ayolah , kalian, siapa 
tahu tentang negeri nyi kanjeng blora? ayolah  katakan siapa yang 
tahu.” 
Tak ada yang menjawab. Boris pun tidak “Di mana 
negeri nyi kanjeng blora, Pengawas?” 
“Aku tak segagah tidak sedempal kalian. Rasanya sudah 
sepatutnya kalau aku pun tidak tahu.” 
“Jadi apa sedang kita bicarakan ini? Petai hampa? Ya, 
Boris? Petai hampa?” raden gelang-gelang  bertanya. 
“Tidak,” jawab Boris gagah, “ketahuilah, calon bekas 
juara, bahwasanya ada negeri di negeri dongeng  yang sudah  
jatuh di tangan nyi kanjeng blora. Sebuah negeri jenggala . Goa 
namanya. jenggala itu sekarang dipakai  jadi pangkalan 
kapal-kapalnya. Tak ada yang bisa mengalahkan kapai-
kapai mereka. Bagaimana bisa kalau mereka sudah bubar 
sebelum mencoba? namun  kau jangan coba-coba, Kang 
raden gelang-gelang . Di darat mungkin orang-orang nyi kanjeng blora akan jadi 
pisang goreng di tanganmu, kau kemah-kemah, kau 
banting. Di laut. Kang, kau hanya agar-agar belaka di 
tangan mereka.” 
“Betul, raden gelang-gelang ,” pengawas membenarkan. “Hanya agar-
agar. Kau tak bakal bisa mendekat. Hanya mendekat! 
Tangan mereka terlalu panjang. Mereka bisa lemparkan 
bola-bola besi berapi padamu, sebesar sukun! Coba, sebesar 
sukun! Dan kau, Boris, perhatikan mulutmu. Anak per-
batasan juga memiliki  kehormatan dan harga diri. Jangan suka 
mengejek tidak sepatutnya.” 
“Biar, pengawas, dibandingkan  kalah untuk kedua kalinya di 
gelanggang ada baiknya dia diberi kemenangan di luar 
gelanggang,” raden gelang-gelang  melepaskan anak panahnya. “Biar dia 
bebas menggetarkan bibirnya sebelum lehernya patah.” 
“Husy,” cegah pengawas. “Kau pun sama saja, raden gelang-gelang , 
uh. Kalian datang kemari untuk jadi petanding atau 
pembunuh? PUH! Kalian pulang ke desa masing-masing 
untuk membawa keharuman, bukan berita kengerian. 
Jangan kalian lupa.” 
“Betul, pengawas, betul sekali. Dan Kang raden gelang-gelang ,” kata 
Boris, “akan pulang, mungkin juga dengan membawa 
keharuman, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang 
lenggang-kangkung tak lagi bergandengan dengan seperti 
datangnya. Percaya sajalah. Sebagaimana matahari  terbit pada 
hari ini….” 
Tiba-tiba percakapan mereka terputus oleh bunyi canang 
bertalu. Tak lama lalu  canang kadipaten menyahuti 
bertalu pula. Dan apa pun yang sedang terjadi, menurut 
peraturan, yang berlatih tak diperkenankan berhenti 
sebelum sarapan pagi datang. 
Pengawas, yang mengetahui pemuda-pemuda tani dan 
pekerja tak memiliki  kekuatan sebelum sarapan, mengambil 
kebijaksanaan untuk mengobrol sambil menunggu. Dan 
justru sebab  canang yang betari i bersahut-sahutan 
pengawas tak jadi meneruskan ceritanya, bahwa kapal-
kapal nyi kanjeng blora sudah mulai kelihatan berkeliaran melewati 
Singhala Dwipa. 
Dari luar ruangan terdengar suara Pada berseru-seru 
seperti seorang pembesar “Para nyi girah  dan Kakang 
calon juara   sesuai dengan aturan, tahun ini   dengarkan 
baik-baik. Canang dari pelabuhan berarti: nakhoda dengan 
atau tanpa saudagar dari kapal semalam sudah berlabuh. 
Sekarang sudah siap menghadap baginda tuanku raja  adiputro  kediri . 
Canang kadipaten yang menyahuti menandakan: baginda tuanku raja  
adiputro  siap dihadap. Jangan gaduh, jangan gelisah. Tidak 
ada apa-apa. Hanya barang siapa ingin mengintip untuk 
melihat iring-iringan penghadap   kalau bisa mengintip   
namun  jangan rusakkan pagar   jangan lewatkan kesempatan!” 
“Barangkali Kongso Dalbi!” Pengawas menyarani. 
Mereka berlompatan berebut dahulu  meninggalkan 
ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan 
sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran 
depan dan bingung mencari lobang pada pagar. Mereka tak 
memperoleh kannya. Mereka lari ke sana kemari mencari 
tumpukan batu atau kayu. Yang memperoleh kan tangga 
berseri-seri dengan keunggulannya dan menebah dada 
dengan kemenangannya. 
Melewati pagar kayu tinggi itu orang melihat alun-alun 
yang lengang seperti biasa pada siang atau pagi hari. Jalan-
jalan raya pun senyap. Sebuah iring-iringan kecil menuju ke 
kadipaten. Beberapa orang yang sedang lewat tidak 
bersimpuh menghormati iring-iringan, namun   berhenti 
menonton. 
Paling depan dalam iring-iringan itu berjalan patih wirabuana  
kediri  tumenggung  dijoyo , yang lebih biasa dinamakan  Rangga 
tumenggung . Tubuhnya yang jangkung itu berjubah dan bersorban 
putih. Sedikit di belakangnya berjalan seorang nakhoda 
berbangsa palawa , berjubah dan bersorban coklat muda. Pada 
pergelangannya melingkar akar bahar besar. Ia berterompah 
seperti halnya dengan patih wirabuana . Langkahnya tenang 
sambil membelai-belai jenggot yang sangat tebal lebat dan 
kepala  nya selalu menunduk seakan sedang menghitung 
setiap batu yang dilewatinya. Di belakangnya menyusul 
para pemikul. Barang-barang yang dipikul selalu jadi 
pergunjingan. Orang memperoleh  kesempatan menaksir-naksir 
berapa dan apa macam yang bakal dipersembahkan. Dan 
orang bertaruh. 
Canang kadipaten bertalu satu-satu, pertanda iring-
iringan melewati gapura kadipaten. Dan para pengintip 
meninggalkan tempat masing-masing dan berlarian kembali 
ke dalam balai   untuk memperoleh kan sarapan. 
wah 
 
Pada siang hari berita tentang kedatangan tamu itu 
meniup cepat. Benar ia seorang saudagar palawa , bukan 
nakhoda dan hanya bisa berbahasa palawa , patih wirabuana  yang 
jadi penterjemah. Persembahannya berupa permadani 
terindah dari Bagdad dan Ashkhabad untuk peraduan baginda tuanku raja  
adiputro  kediri  dan untuk keputrian. lalu : batu-batu 
permata dari palawa ia, Birma dan Singhala Dwipa, kain 
khasaa dari Benggala, sutra Tiongkok, madu palawa ia yang 
tiada tandingan, tembikar, kertas, kasut sulaman putri-putri 
Mesir dan Alqur’an. Lebih dari itu orang tak tahu. 
Tamu itu agak aneh, kata warta yang datang meniup. Ia 
sudah  memohon diperkenankan mempersembahkan sesuatu 
tanpa dihadiri atau didengar oleh siapa pun. Juga tidak 
diperlukan penterjemah. 
“Jadi dia bisa jawadwipa !” seseorang memberi komentar. 
“Mungkin juga kata r Jawa,” yang lain menambahi. 
Persoalan baru itu tidak menarik orang. 
Di dalam ruangan latihan raden gelang-gelang  berdiri di dekat sebuah 
meja rendah panjang yang kini sudah  ditaruhi cobek-cobek 
tanah berisi telur dan buah-buahan, penganan dan cawan 
minuman dan madu lebah. Para calon petanding pada 
memperhatikan gelang dan cincin mas Pada: Bocah yang 
memiliki  gaya pembesar itu cekatan dalam mengatur letak 
makanan dan minuman: Hanya raden gelang-gelang  memperhatikan 
airmukanya. 
“Madu dan telor memang cukup, Pada,” tegur juara 
gulat dari hutan  larangan  itu. ‘Tuak tidak. Tuak, Pada. 
Barangkali kau sendiri yang menghabiskannya.” 
“Ya, tuak! Tuak!” yang lain-lain membenarkan. 
“Tuak dilarang di sini!” Pada memekik sengit dan keras, 
berdiri tegak menantang mata setiap orang: Ia tahu tak ada 
di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada 
seorang pejabat: Dan ia seorang pejabat terpercaya dari 
Sang adiputro . “Semestinya Kakang semua ini sudah senang 
dengan pelayananku. Bukankah ada juga tuak kumasukkan 
untuk para Kakang? Apa tak juga mencukupi layananku? 
Tuak dilarang, kataku.” 
“dahulu  tak begitu banyak larangan,” raden gelang-gelang  memprotes. 
“Memang. Kang raden gelang-gelang  tidak keliru: dahulu , dahulu    
sekarang, sekarang. Daging babi pun sekarang sudah tak 
boleh dihidangkan di sini. Di balai   sini, juga daging 
anjing.” 
“Nampaknya di Kota ini hanya larangan saja yang ada,” 
raden gelang-gelang  mengancam. 
“Belum lagi semua aku katakan. Nanti sore akan 
diresmikan larangan baru: orang tak boleh lagi memahat 
batu. Nanti sore.” Dan suaranya meningkat keras. “Kalau 
tidak percaya, dengarkan sendiri nanti di alun-alun. Juga itu 
belum semua. Semua batu berukir di dalam kota harus 
dikumpulkan di alun-alun   besok sampai lusa, sebelum 
perlombaan dimulai. Akan dibuang ke laut!” 
“Apa salahnya batu-batu itu? 
“Salahnya, sebab  mereka berukir!” jawab Pada ketus. 
“Kata orang, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  merasa segan terhadap 
putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar arca   , 
jadi resi  pembicara di mana-mana, jadi Ulama, kata orang. 
Dan batu berukir dalam peraturan arca   , katanya, barang-
barang jahat.” 
Mereka tak menyedari, Boris dengan diam-diam 
mendengarkan dan mendekati mereka: Matanya menyala-
nyala berang. Tiba-tiba ditariknya meja rendah panjang itu 
dan ditekuk-lipatnya dengan kedua belah tangan sampai 
gemertak patah. Cawan-cawan dan cobek bedan isinya 
jatuh pecah berhamburan di lantai. Dengan mata 
membelalak ia lemparan meja remuk itu pada dinding. 
Orang terkesimak. Boris jadi pusat perhatian. Pegulat 
penantang itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Seluruh 
ototnya di dada, perut, pinggul dan punggung bermunculan 
tegang seakan bersiap hendak bertarung. Kedua belah 
tangannya kini terangkat sampai bahu, juga penuh 
bergumpalan otot. Lututnya ditariknya jadi siku-siku, siap 
hendak menerkam siapa saja yang datang. Tak ada orang 
datang menyerang. Yang ada justru sesuatu yang tak 
nampak: kekuasaan Sang adiputro . Kekuasaan mutlak 
seorang raja yang tak dapat ditawar tak dapat diketeng, 
utuh bulat tiada retak tiada rekah. 
“Mengapa marah, Boris?” Pada mencoba meredakan. 
Ketegangan pada wajah dan otot Boris lambat-lambat 
jadi kendur. Suatu kemurungan menggantikannya. Ia 
menunduk dalam. Tanpa memandang pada siapa pun 
keluar kata-kata sendu: “Memahat batu dilarang. Lantas 
harus kerja apa aku?” 
“Itu baru warta, Boris,” kata Pada lunak. 
“Sejak kecil,” Boris mengadu dengan suara tetap sendu, 
“bapakku mengajari aku memahat. Keluarga kami hidup 
dari pahatan, turun-temurun. Mengapa orang tak boleh 
memahat lagi? Mengapa? Apa jahatnya batu-batu berukir 
itu?” 
raden gelang-gelang  tak memperhatikan kata-kata itu. Ia terheran-
heran melihat kekuatan penantangnya. Tahun yang lalu ia 
belum sekuat itu. Sungguh lawan bertanding yang bisa 
mematahkan lehernya. 
Boris berjalan mondar-mandir dalam berangnya. 
“Teduh! Teduh!” kata raden gelang-gelang  menghibur. “Pada belum 
lagi selesai dengan wartanya. Teruskan, Pada.” 
“Bagaimana wajah dunia tanpa gapura?” Boris 
mengaum. “Dewa-dewa pun akan enggan turun ke bumi. 
Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan 
pindah ke tempat lain” Ia tutup mukanya dengan kedua 
belah tangan seperti sedang memanggil-manggil kekuatan 
dari luar dirinya. Suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi, 
tanpa daya: “Pindah entah ke mana para dewa itu. 
Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi. 
Apakah baginda tuanku raja  adiputro  sudah bertekad melawan para 
dewa?” 
Lambat-laun raden gelang-gelang  mengerti, pernahat penantangnya 
sama halnya dengan dirinya: sedang menghadapi 
kekuasaan yang tak dapat dilawan. Dirinya dan Boris tak 
ubahnya seperti bayi tanpa daya. Ia jadi iba terhadapnya, 
juga terhadap diri sendiri. Ia rasai kesamaan nasib. Ia dekati 
Boris, dan: ‘Teduh, Boris. Teruskan, Pada, yang jelas.” 
“Begitulah kata warta,” Pada meneruskan dengan hati-
hati matanya tertuju pada Boris. “Semua bangunan batu di 
atas wilayah Kota, gapura, arca, pagoda, kuil, candi, akan 
dibongkar. Setiap batu berukir sudah  dijatuhi hukum buang 
ke laut! Tinggal hanya pengumumannya.” 
“Biadab! Disambar petirlah dia!” Boris berteriak , seakan 
batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik 
semua pernahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk 
dia oleh Batara Kala!” Tiba-tiba suaranya turun menghiba-
hiba: “Apa lagi artinya pengabdian? Biadab! Aku pergi! 
Jangan dicari. Tak perlu dicari!” berteriak : “Biadaaaaab!” 
Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran 
depan. Diangkatnya tangga dan dengannya melangkahi 
pagar papan kayu. 
Dari balik pagar orang berseru-seru: “Lari dari balai  ! 
Lari!” 
“Siapa? Siapa? Pegulat, ya, pegulat?” 
“Boriiiiiis! Mau ke mana kau? Kembali!” 
Sebentar lalu  seruan-seruan terdengar 
menggelombang dan bergumul jadi satu, tak dapat 
ditangkap maksudnya. Suatu pertanda orang sudah mulai 
menggerombol lagi di depan balai  . 
Mereka yang tertinggal masih juga termangu-mangu. 
Gadis-gadis mulai menyerbu ke dalam ruangan latihan 
gulat. 
“Gila mendadak!” jawab Pengawas. “Biar saja dia 
pergi.” Seperti sudah  ada persetujuan bathin. “Pergi. Itu 
lebih baik.” 
raden gelang-gelang  melemparkan pandang pada tangga. Ia juga ingin 
bebas, lari seperti Boris. Dan itu tidak mungkin. Hatinya 
terpaut pada nyi girah …. 
Keadaan tenang sampai malam turun pelahan-lahan 
langit dan menyelebungi bumi. 
Melalui pintu pagar samping, dengan iringan beberapa 
orang pengawal bertombak tanpa perisai, Sang adiputro  
memasuki balai  . Ia berjalan langsung menuju ke bangsal 
wanita. 
Damarsewu yang memancar di setiap pojokan tidak 
mengacuhkan kedatangannya. Para calon petanding pada 
bergolek-golek di atas ambin sambil mengobrol. Melihat 
Sang adiputro  masuk semua melompat turun, bersimpuh di 
lantai dan mengangkat sembah. 
‘nyi girah ! Mana nyi girah !” panggil Sang adiputro . “Mana 
nyi girah  hutan  larangan ?” 
Alis, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih 
menyala tertimpa sinar damarsewu. 
“nyi girah , kekasih kediri ! Mendekat sini, kau, Gadis!” 
Sesosok tubuh merangkak beringsut-ingsut menghampiri 
kaki Sang adiputro . Tubuhnya menggigil seperti kucing habis 
tercebur dalam comberan. Dengan tangan menggigil ia 
mengangkat sembah untuk ke sekian kali, lalu  
bersujud mencium kaki Sang adiputro  sebagaimana di-
ajarkan oleh tatakbetari . 
“Bawalah keharuman dari kediri , semua kalian! Kau 
juga, nyi girah , kekasih kediri . Jangan mengecewakan. 
Tidurlah kalian pada waktu yang sudah ditentukan. 
Beberapa hari lagi kau dan kalian akan bertanding. Dan 
kau, nyi girah , kau bertekad jadi juara lagi tahun ini? Juara tiga 
kali berturut?” 
“Inilah patih , baginda tuanku raja  adiputro  kediri ,” jawabnya gemetar. 
“Rupanya sudah cukup dewasa kau sekarang. Belum lagi 
cukupkah jadi juara dua kali berturut?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri . patih  sekedar 
menjalankan putusan rapat desa,” suaranya masih juga 
gemetar. 
“Kalau sudah jadi putusan rapat desa, tak dapatlah orang 
menolaknya?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri , sesembahan patih . patih  
takkan sanggup hidup di luar desa patih , baginda tuanku raja . Iagi pula 
apalah buruknya menjalankan keputusan rapat desa, 
baginda tuanku raja ?” 
Sang adiputro  tertawa senang. 
“Kata-katamu sudah seperti orang kota. Gadis. Bagus. 
Bukankah kediri  Kota lebih baik dibandingkan  desamu? Pasti 
lambat-laun kau akan lebih suka tinggal di sini.” 
Menurut tatakbetari  yang diajarkan, apa pun yang sudah  
diperintah kan oleh Sang adiputro , orang tak boleh membantah. 
Orang hanya mengiyakan sambil mengangkat sembah. 
memperoleh  teguran saja dari seorang raja sama halnya 
dengan menerima karunia dari para dewa. 
nyi girah  bergulat dengan kata hatinya sendiri. Bumi yang 
ditundukinya menjadi pengap. Tak diketahuinya kaki 
penguasa sudah tak ada di hadapannya. 
Sang adiputro  sudah  meninggalkan balai   dan memasuki 
kegelapan malam. 
wah 
 
Melalui jalan belakang Sang adiputro  menuju ke sebuah 
taman di belakang kadipaten yang terletak di tentang 
kandang gajah pribadi Duduk ia di sana seorang diri dalam 
kerumunan nyamuk. 
Para pengawal bertugur di kejauhan 
Dan inilah waktu untuk menyendiri baginya. 
Waktu seperti ini dipakai nya untuk mengingat-
ingat Juga untuk merancang-rancang. Juga sekarang ini. 
Nama saudagar palawa  yang memohon menghadap sendiri 
itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba. 
Tanpa hasil. Nama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di 
antara deretan nama itu ia pun tak tahu, mana mpu wungubhumi  mana 
tidak. Bahasa jawadwipa nya lancar, indah dan paut. 
Alqur’anul Karim yang patih  persembahkan, ya baginda tuanku raja , 
adalah dari Mufti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi 
apalah kiranya baginda tuanku raja  adiputro  kediri  daiam berpegangan 
pada kitab suci ini dan memikirkan ummat arca    di Atas 
Angin sana. kediri  dimasyhurkan di negeri dongeng  sebagai 
kerajaan terkuat di Jawa sesudah  kerajaan jenggala . Raja-raja arca    
memiliki harapan besar baginda tuanku raja  adiputro  kediri  
melimpahkan kesudian yang tiada keringnya. Ya, baginda tuanku raja , 
armada nyi kanjeng blora tak henti-hentinya berusaha menguasai 
dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekepercayaan sepan-
jang pantai. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersama-
sama, ya sang hyang Widhi , pastilah sang hyang Widhi  jua yang akan menghukum 
semua kita, sebab  tak berbuat sesuatu terhadap angkara si 
pemberontak . Bila mereka tidak dibendung, ya baginda tuanku raja  adiputro  
kediri , entah kapan, jalan-jalan pelayaran akan dikuasai 
semua olehnya. Mereka takkan berhenti sekalipun sudah 
menguasai semua jenggala . Bila mereka sampai ke Jawa, 
matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan, 
matilah jenggala -jenggala . Yang tinggal hanya nyi kanjeng blora 
dengan angkaranya. Seluruh ummat arca    bisa kehilangan 
perlindungan, kepemberontak an akan menang. Mereka akan 
menumpas ajaran Rasulullah s.a.w. 
Sang adiputro  masih ingat setiap kata dari persembahan 
itu. Juga barang-barang persembahan yang berasal dari 
empat orang raja negeri dongeng , semuanya arca   . 
Dari persembahan itu ia menarik dua hal, pertama 
kediri  diakui juga sebagai kerajaan terkuat di Jawa, dan 
kedua ia dianggap sebagai raja arca   . Ia tersenyum dalam 
kegelapan dan mengangguk-angguk senang. Mereka tidak 
tahu, satu wilayah kediri  sudah  dirampas oleh kerajaan 
arca   , pajang bintoro . Dan aku tidak mengerti, bagaimana banyak 
aturan aku perintah kan untuk membuat penyesuaian dengan 
pajang bintoro . Ia semakin tenggelam dalam pikirannya. 
Jauh, jauh di sana, mereka sudah mengakui 
kearca   anku. Dan sebab nya mereka menuntut, 
berdasarkan kearca   anku, agar aku ikut memikirkan dan 
bersumbang tangan. Ya-ya, arca    sudah  banyak mengun-
tungkan kami selama ini. namun  apakah itu sudah cukup 
banyak untuk mempertaruhkan kediri  dalam suatu 
peperangan? 
Ia mengggeleng lemah. 
Perang tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan! 
pajang bintoro  masih harus diemong untuk tidak jadi binal. suryabuaya   
jatuh, namun  dalam hidupku, aku bersumpah, bukan saja 
suryabuaya   akan kembali di tangan, juga seluruh pajang bintoro . Tidak 
dengan perang. Rempah-rempah dari kediri  takkan 
memasuki suryabuaya   dan Semarang! Dan apa yang terjadi di 
negeri dongeng  sana, bukan urusan kediri  untuk mencampuri. 
lalu  ia mulai pikirkan untuk kesekian kalinya 
keadaan baru yang menggelombang di negeri dongeng . 
Keadaan baru harus dihadapi dengan persiapan baru. 
jenggala tetap jadi inti persoalan. nyi kanjeng blora dan Ispanya pasti 
akan datang. patih wirabuana  harus seorang yang pandai 
melayaninya. tumenggung  dijoyo  alias Rangga jatayuwesi  tak pandai 
berbahasa nyi kanjeng blora dan Ispanya. Dia harus diganti. Bangsa 
dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang 
yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga 
jatayuwesi . 
Dalam kegelapan itu terdengar ia mendengus tertawa, 
teringat pada persembahan Sang Patih, ‘Bergabung dengan 
negeri-negeri lain, baginda tuanku raja , dengan semua kerajaan arca   , 
bersama-sama menghancurkan nyi kanjeng blora dan Ispanya. 
Menurut patih , ampunilah patih , ya baginda tuanku raja  adiputro  sesem-
bahan patih , itulah satu-satunya jalan menyelamatkan 
kediri . Dan Sang adiputro  bertanya, ‘Juga dengan pajang bintoro ?’ 
Sang Patih menjawab, ‘Sementara pajang bintoro  harus dilupakan, 
baginda tuanku raja , nyi kanjeng blora dan Ispanya lebih berbahaya, lebih 
mematikan’ 
Sang adiputro  senang mendengarkan setiap pikiran, 
mengangguk dan tersenyum seakan-akan menyatakan 
terimakasih. namun  dengan diam-diam ia lebih suka mencari 
jalan sendiri. Dengan demikian baginya berdikari menjadi 
sejenis  olahraja. 
Sebaliknya setiap laporan ia dengarkan sungguh-sungguh 
tanpa senyum tanpa tawa, tanpa terimakasih. Dari 
semuanya paling banyak ia ambil separoh sebagai 
kebenaran. Tak ada punggawa yang tulus sepenuhnya, ia 
berpendirian. Sebagian dari ketulusan mereka hanya bea 
untuk keselamatan diri dan kepunggawaannya. Malahan 
laporan dari para punggawa yang berasal dari rakyat 
kebanyakan hampir tak pernah ia gubris. Menurut 
pendapatnya, orang menjadi berbangsa sebab  justru memiliki  
kehormatan, dan rakyat kebanyakan itu bukan saja tidak 
memiliki , juga tak tahu kebenaran. 
patih wirabuana  harus diganti, apa pun biayanya. Dan itulah 
keputusannya malam ini. 
wah 
 
Pada waktu Sang adiputro  sedang mengukuhkan 
kebijaksanaannya dalam kegelapan taman, lain lagi yang 
terjadi pada diri patih wirabuana  kediri , tumenggung  dijoyo  alias 
Rangga jatayuwesi  
Ia sedang gelisah di kepatih wirabuana an. 
Hari ini ia sudah  dijengkelkan oleh tamu yang seorang itu. 
Saudagar palawa ! Kecuali yang berhubungan dengan agama 
ia seorang pembend palawa . Setiap orang palawa  
mengingatkannya pada abangnya yang sudah  jatuh sebagai 
patih wirabuana  jayamahanaya , terpaksa merantau dan mati dalam 
perantauan. Kejasang yang betari durga  nya disebabkan oleh kelicikan 
seorang palawa . 
Dan sekarang Abud, saudagar palawa  itu, harus ia layani 
kebusang yang betari durga  nya selama tinggal di kediri . Baru saja datang, 
dan ia sudah menimbulkan kecurigaan: mohon menghadap 
sendiri tanpa penterjemah, tanpa saksi. Ternyata ia bukan 
tidak bisa berbahasa jawadwipa ! 
Tadi ia sudah  panggil mpu jahalodang agar datang menghadap 
padanya. Dan sekarang ia sudah berdiri di pintu, 
membungkuk dan beruluk salam: “Assalamu alaikum, ya 
Tuan patih wirabuana !” 
Ia berkata  menjawabi dan melambaikan tangan 
menyuruh masuk. Ia tak pernah menyilakannya duduk. 
Kursi adalah benda kebesaran, juga di kediri  Kota, 
terutama di kepatih wirabuana an. Ia mengangguk memerin-
tahkan mpu jahalodang mendekat. lalu : “Apa yang bisa kau 
katakan, mpu jahalodang?” tanyanya tajam dalam jawadwipa . 
mpu jahalodang berperawakan kecil, berumur sekira 30  
delapan menurut perhitungan bulan, tak berkumis, tak 
berjenggot, licin seperti muka belut. Ia tertawa. Dan 
tawanya selalu mengesani mengentengkan segala perkara, 
dan: kurangajar. 
“Tuan patih wirabuana  sendiri semestinya sudah tahu.” 
jawabnya dalam jawadwipa  juga. “Sang adiputro  sudah 
memerintahkan penyingkiran peninggalan Hindu. Memang 
orang bilang, putranya sendiri memesan itu, Tuan, Raden 
Said, sekarang sudah memakai  mpu wungubhumi  aneh Ki Aji 
Kalijaga. Orang Jawa memang sulit Tuan patih wirabuana , 
maksud memakai  mpu wungubhumi  berbahasa palawa , namun  lidah 
Jawanya memang lidah pemberontak  terkutuk: Bukankah kali itu 
yang dimaksudkannya Kholik?” ‘ 
Rangga jatayuwesi  bertanya tajam: “Bukankah kau tahu 
bukan itu yang kutanyakan?” 
“Yang tadi itulah, Tuan. Ada keanehan dalam pesanan 
itu: Klenteng dan Pecinan tidak boleh diganggu!” 
Sekarang patih wirabuana  yang tertawa. Dengan kedua belah 
tangan ia menepuk-nepuk dadanya sendiri, berputar 
membalikkan badan dan meneruskan tawanya. 
Terkena sinar tiga batang lilin yang menyala pada kandil 
kelihatan mpu jahalodang terheran-heran. 
“Tuan mengetawakan mpu jahalodang?” tanyanya menuduh. 
“Apa yang lucu padamu?”  
Rangga jatayuwesi  tertawa di antara tawanya. “Tak pernah 
kau nampak setolol sekarang.” 
“Laporan mpu jahalodang salah?” 
‘Tidak. Tak pernah aku menyalahkan keteranganmu. 
Apa lagi yang dapat kau katakan sekarang?” 
mpu jahalodang memperbaiki sikapnya. Ditarik-tariknya ujung-
ujung bajunya yang kombor putih. Ujung hidungnya yang 
mancung bercahaya bergemuk memantulkan sinar lilin. 
Nampaknya ia sedang menguasai suasana dan bersikap 
resmi. 
“Ada sesuatu yang lebih penting,” bisiknya sambil 
mendekatkan mulutnya pada kuping Rangga jatayuwesi . namun  
sekalipun ia sudah bersitinjak dengan kaki dan 
mendongakkan muka, jarak antara mulutnya dan kuping 
patih wirabuana  masih terpaut sejengkal. 
Rangga jatayuwesi  menelengkan kepala   ke atas, seperti seekor 
ayam sedang melirik pada elang di langit. 
“Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan patih wirabuana . 
Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu 
dinar. Sedinar saja, Tuan patih wirabuana ,” ia menjauhkan 
kepala   dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan 
pandang menuntut “Apa kau kira aku nenekmu sendiri, 
pembikin dinar? Apa kau kira satu dinar sedikit? Empat kali 
belayar belum tentu kau memperolehnya. Kalau keterangan 
itu tentang pembicaraan saudagar Abud dengan Sang 
adiputro , apa boleh buat. Sekarang juga kukeluarkan.” 
“Sayang tidak, Tuan, namun  ini lebih penting dari segala-
galanya.” 
“Jangan coba-coba bohongi aku, kau, penipu. Abud, 
saudagar palawa  itu, sama sekali tidak membawa atau 
mengambil barang dagangan. Pasti dia bukan saudagar, dan 
sebab nya lebih penting dari segala-galanya.” 
“Tidak, Tuan patih wirabuana . Yang belum kukatakan ini 
justru yang terpenting. Satu dinar.” 
patih wirabuana  nampak ragu: Pandangnya ditebarkannya ke 
seluruh ruangan. Selama ini keterangan mpu jahalodang selalu benar. 
Dan biar bagaimanapun sedinar terlalu mahal. Ia tatap 
mata pewarung tuak dan ciu-arak itu, dan ia muak pada 
sikapnya yang kurang-ajar dan menantang. Ini sudah 
pemerasan, pikirnya bukan lagi minta upah. Kalau 
dibiarkan, dia akan menjadi-jadi. 
“Satu dinar tidaklah banyak untuk keterangan penting,” 
mpu jahalodang merajuk. “Bukankah aku tak perlu menunggu begini 
lama?” 
Pertahanan Rangga jatayuwesi  patah. Dengan berat hati ia 
keluarkan mata uang mas dari pundi-pundinya. 
Dilemparkannya pada orang muda yang menjijikkan itu 
sambil menyumpah. 
mpu jahalodang menangkapnya, mengujinya di bawah lampu, 
tersenyum, dan memasukkannya dalam pundi-pundinya 
sendiri, mengikatnya dan memasukkannya ke dalam ikat 
pinggang di balik baju kombornya, memperbaiki letak baju 
itu dan menebah pinggang. 
“Kalau Tuan lebih sayang pada dinar yang satu ini, 
mungkin tahu-tahu Tuan sudah kehilangan jabatan Tuan.” 
“Husy!” bentak Rangga jatayuwesi  tersinggung. “Katakan” 
“Baik, Tuan, dengarkan sungguh-sungguh,” dengan 
bisiknya mpu jahalodang meminta perhatian sambil mencoba 
mencari kuping tuanrumah dengan mulutnya. “Pada sore 
hari ini juga, Tuan, Sang adiputro  sudah  mengirimkan utusan 
ke Trantang. Aku sudah tahu sebetulnya  isi perintah itu: 
mulai besok harus sudah dipersiapkan pembuatan  delapan 
belas cetbang baru.” 
“Itu beritamu yang terpenting?” 
“Betul, Tuan. Perang akan terjadi. Perwira-perwira sudah  
memperoleh  perintah untuk bersiap-siap. Pemeriksaan atas 
anak buah sudah dimulai sejak jatuhnya perintah.” 
“Dalam berapa lama cetbang harus selesai?”  
“Tidak jelas.” 
patih wirabuana  mengawasi bibir mpu jahalodang. namun  bibir itu sudah 
tak bergerak lagi, seakan setiap kata yang keluar 
dibandingkan nya sudah  diperhitungkan harganya. Mengerti 
mpu jahalodang takkan bicara lagi ia mengalah. Bertanya: “Adakah 
Sang adiputro  sudah berkunjung ke balai   wanita?” 
“Ada, Tuan, baru sebentar tadi.” 
Ia sorong mpu jahalodang. Orang itu keluar dan hilang ke dalam 
kegelapan. Rangga jatayuwesi  berkecap-kecap menyesali 
dinarnya yang berpindah tangan. Dengan kecewa ia kunci 
pintu dari dalam, lalu  duduk termenung di atas 
bangku bantal kulit onta dan tak henti-hentinya berkata : 
“Penipu yang tertipu itu sudah  jual dagangannya padaku. 
sang yang betari durga   akan kutuki kau, mpu jahalodang! Apa yang kau dapatkan 
dari dinar itu jadilah tuba dalam tubuhmu.” 
Dengan lemas ia masih juga berkecap-kecap menyesal 
sesudah  mengetahui Sang adiputro  berkunjung ke rumah 
balai   wanita. Ia memiliki  pedoman: Apabila Sang adiputro  
masih memiliki perhatian pada wanita baru, sesuatu 
yang bersungguh-sungguh tidak akan mungkin keluar dari 
pikirannya. 
Cetbang-cetbang itu pastilah bukan sesuatu yang 
dirahasiakan, pikirnya. Sengaja dibuat demikian rupa agar 
semua orang tahu, terutama saudagar palawa  si Abud keparat 
itu diharapkannya terbawa ke negeri dongeng …. 
Pikiran iblis! Laknat! Pikiran licik! namun  aku tak bisa kau 
tipu. Rangga Demang! mpu jahalodang bisa, namun  aku tidak. adiputro  
kediri , tumenggung  dijoyo  ini tak bisa kau tipu! Kau boleh 
berlagak cerdik, namun  hanya Pribumi bawahan mu yang bisa 
percaya! Ha, dengan cetbang-cetbangmu itu sekaligus kau 
hendak menggertak pajang bintoro . namun  siapa pun tahu kau lebih 
suka berdagang dibandingkan  berperang. Tua bangka tak tahu 
diri! Sekarang aku baru mengerti mengapa si Boris itu lari 
dari balai  . Siapa tak kenal Boris pernahat terkenal itu? 
Peninggalan Hindu harus disingkirkan. Si pernahat jadilah 
seperti patih wirabuana  kehilangan jenggala . Ya-ya, dia lari 
sebagai protes. namun  kau jangan anggap dapat mudah untuk 
kelabui aku, Rangga Demang! Pesan Raden Said alias Ki 
Aji Kalijaga itu pasti juga tidak ada. Kau hanya 
menghendaki dibenarkan kearca   anmu. Kau tetap pemberontak . 
namun  kau memang cerdik seperti selama ini. Runtuhnya 
kerajaan jenggala  juga sebab  kecerdikanmu! 
Tiba-tiba ia terdiam. Dan mengapa kelenting dan 
Pecinan tak boleh dirusak? Tulisan cina itu juga sama 
dengan Hindu, mengapa tak boleh dirusak? Ia berdiri untuk 
mengambil kitab catatannya. Tak jadi, dan duduk kembali. 
Ia mengangguk-angguk mengerti. 
Pecinan kediri  Kota bersetia pada campa , yang oleh 
penduduk; dinamakan  Lasem. Lasem bersetia pada Sampo Toa-
lang, yang oleh penduduk dinamakan  Semarang. Dan 
Semarang yang mendirikan kerajaan pajang bintoro  untuk menjadi 
bentengnya terhadap kediri . 
Kau benar-benar cerdik, Rangga Demang! Anak-anakmu 
pada mengabdi pada pajang bintoro . Waktu pajang bintoro  merampas 
suryabuaya   untuk berkokok pada dunia dia tidak takut pada 
kediri , semua anakmu yang di pajang bintoro  diam. 
Dan sebab  semua itu aku kehilangan satu dinar! 
Keparat si mpu jahalodang! 
Malam itu Rangga jatayuwesi  lebih banyak menggiliri istri-
istrinya di kamar-kamar belakang. Namun sesudah  itu ia 
tetap sulit memicingkan mata. Dinar yang satu itu juga 
yang terbayang-bayang, menggelincir tanpa guna. Sesudah  
sembahyang subuh baru ia memperoleh  ketenangan sedikit. Ia 
sudah  berdoa memohon rezeki yang berlimpahan 
Ketenangan itu tiada lama umurnya. Beberapa bentar 
lalu  saudagar Abud muncul untuk minta diri. 
“Bagaiman sikap Tuan patih wirabuana  kalau musuh arca   , 
nyi kanjeng blora dan Ispanya, menyerang kediri ?” tanyanya dalam 
palawa . 
“Mana mungkin, ya Abud?” 
“Bagaimana tidak mungkin? Goa jatuh. Dan tumapel . 
Mereka terus mendesak ke timur. Sedang kita bicara begini 
Singhala pun sudah jatuh,” Abud meneruskan dalam 
rembang fajar di depan pintu gedung. ‘kediri  terlalu jauh, 
ya Abud,” jawabnya tak acuh. 
“Benggala pun jauh dari nyi kanjeng blora.” 
“Aku hanya patih wirabuana , bukan raja.” 
“Setiap patih wirabuana  yang cerdik bisa lebih dari raja,” 
katanya menyarani. “Demi sang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana  
mampu mempengaruhi Sang adiputro  untuk sudi bergabung 
dengan kerajaan-kerajaan lain, kerajaan arca   , melawan 
mereka. sang hyang Widhi  memberkahi Tuan” 
Pembicaraan pendek itu selesai dengan kepergian Abud 
ke jurusan pelabuhan. 
“palawa , jih!” Rangga jatayuwesi  membuang   ke tanah. “Setiap 
gerak, setiap omongan, setiap… semua menutupi 
tangannya yang merogo pundi-pundi orang.” 
Pandangnya tertebar ke mana-mana, menembusi 
halimun tipis pagi hari. sinar matahari  pun mulai terbit. Samar-
samar nampak olehnya kedai tuak dan ciu-arak mpu jahalodang yang 
masih tutup. 
“Dia sedang menikmati dinarku, iblis keparat itu. 
Terkutuk bapaknya, terkutuk Pribumi ibunya.” 
lalu  ia berjalan menuju ke menara pelabuhan dan 
naik. Dilihatnya penjaga-penjaga menara dua orang itu 
sedang tidur nyenyak. Ditebarkan pandangnya pada kapal-
kapal yang sedang berlabuh. Dan ia lihat mpu jahalodang sedang 
turun dari kapal si Abud. 
“Si keparat itu tentu sudah memperoleh  dinar lagi. Awas, 
kau, bedebah!” 
Tak dapat ia menahan amarahnya. Dipunggunginya 
pelabuhan. Diangkatnya kaki kanannya. Terompahnya 
yang tua itu membuat  ia ragu-ragu. Cepat ia alahkan 
keraguannya. Kaki itu turun cepat menumbuk perut 
penjaga menara berganti-ganti. 
“pemberontak !” makinya dan turun lagi. 
wah 
 
4. pakanewon  Habibullah Al-Masawa 
Armada kanjuruhan  itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh 
dari dermaga. sinar matahari  pagi sedang mengusir halimun yang 
masih melembayung di seluruh jayamahanaya . Layar kapal-kapal 
dan… Pribumi masih dalam keadaan tergulung. 
Tiang-tiangnya menuding langit yang tebal sebab  
halimun. Dan sinar matahari  sendiri baru beberapa derajad dari 
permukaan bumi. Sinar-suramnya yang berpantulan pada 
permukaan laut berpendar-pendar lesu. 
Jauh di jenggala jayamahanaya  sana perahu-perahu dan kapal-
kapal itu masih pada tidur, berayun-ayun malas dibuai 
ombak. Hanya perahu-perahu nelayan kecil-kecil nampak 
hidup. Dan kalau pandang diangkat naik ke darat, mata 
akan menampak atap-atap injuk, ilalang dan sirap dari 
bedeng-bedeng pelabuhan. Jalanan-jalanan nampak 
merupakan garis tipis kuning. Hanya beberapa orang 
kelihatan mondar-mandir. Semua Laki-laki . 
Lubang-lubang bulat pada lambung kapal-kapal kanjuruhan  
mulai terbuka. Moncong-moncong gada rujakpolo  mulai 
bermunculan dari sebaliknya, Terdengar lalu  yang 
banyak diceritakan orang: kata  bersama Mariam. gada rujakpolo  
  gada rujakpolo  bergelegaran. Api bersemburan dari moncong-
moncongnya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut 
udara dengan bola-bola besi sebagai matanya. Semua 
menuju ke jenggala jayamahanaya . 
Atap injuk, ilalang dan sirap di jenggala jayamahanaya  sana 
mulai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang 
mulai datang bertiup. Asap hitam berkepulan seperti 
cendawan raksasa, dengan beratnya naik pelahan ke atas, 
membuat  kelam udara yang kelabu. 
Ketenangan pagi itu lenyap dalam dentuman gada rujakpolo , 
api, asap dan kebalauan. Perang cakra dari beberapa abad 
yang lalu kini tersasarkan pada kekanjeng sinuhun an jayamahanaya . 
Perahu-perahu nelayan yang sedang pulang ke pangkalan 
berhamburan lari tak jadi menuju ke jenggala . Perahu dan 
kapal lain yang tertidur hangat dalam belaian sinar matahari  pagi, 
nyenyak dalam ayunan ombak, mulai menggeragap, 
menaikkan layar masing-masing, berhamburan mencoba 
melarikan diri dan keselamatan. 
Bola-bola besi dari kapal kanjuruhan  tak membiarkan 
mereka lolos. Dalam hanya beberapa bentar perahu dan 
kapal kayu itu pun pada pecah atau menungging, hilang 
dari pengelihatan, ditelan laut. 
Kapal-kapal dari armada kebanggaan jayamahanaya  masih juga 
belum bergerak, seakan masih terbuai dalam mimpi indah. 
Tak kurang dari sebelas jumlahnya. Konon kabamya 
sebagian besar dari kesatuan ini dahulu  biasa dipimpin oleh 
Laksamana Hang Tuah. Dan tak lebih dari tiga puluh 
bentar, armada kebanggaan itu pun seluruhnya tenggelam 
ke dasar laut. 
Kebakaran sedang menjadi-jadi di darat sana. 
Dari laut nampak jalanan-jalanan pasir kuning 
pelabuhan mulai hidup dengan orang-orang yang bcrlarian 
kebingungan. Di antara mereka nampak juga wanita yang 
menarik-narik atau menggendong anak. Mereka lari 
meninggalkan daerah pelabuhan. Sebarisan centeng  
bertombak muncul di dermaga, berhenti pada akhir jalanan 
yang terputus oleh laut, mengacu-ngacu senjatanya ke arah 
armada kanjuruhan . 
Sepucuk laras gada rujakpolo  ditujukan pada mereka. Aba-aba, 
dentuman. Sebuah bola besi membentuk kerucut udara, 
terbang menyambari barisan centeng  bertombak itu. Mereka 
bubar berlompatan dan berlarian, hilang dari pemandangan. 
Yang tersisa hanya bangkai-bangkai dan tombaknya, tulang 
dan serpihan daging. 
Tak ada lagi barisan muncul. jenggala sudah  jadi lautan 
api. gada rujakpolo -gada rujakpolo  berhenti menggonggong. Kapal-kapal 
kanjuruhan  mulai menurunkan sekoci. para bala tentara -para bala tentara nya 
pada turun. Dan seperti iring-iringan semut sekoci-sekoci itu 
menuju ke jenggala . 
Kini prajurit kerajaan  jayamahanaya  mulai mengisi semua jalanan 
jenggala . Tombak dan gada  mereka gemerlapan tertimpa 
sinar matahari  yang sudah  berhasil mengusir halimun. Di antara 
letusan musket dari sekoci terdengar sorak-sorai mereka. 
Kembali gada rujakpolo -gada rujakpolo  berdentuman. Peluru beterbangan 
dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati 
tombak dan gada  dan sorak-sorai. Juga tembakan musket 
menggebu-gebu, menghalau, membunuh, menumpas. 
Jalanan kuning di jenggala sana makin kelam disirami darah 
dan disebari serpihan daging dan tulang para centeng  yang 
tiada dapat beibuat sesuatu. Yang tersisa melarikan diri. 
Lenyap di balik lidah api dan cendawan asap. 
Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso 
Dalbi-menyerbu dan menduduki jayamahanaya . 
Dengan terkerta -kerta  kanjeng sinuhun  adipati  Syah, 
keturunan Paramesywara itu, memerintahkan pengerahan 
pasukan gajah. hewan -hewan  raksasa itu diperoleh  
sudah  bergelimpangan termakan racun. prajurit kerajaan  jayamahanaya  
tanpa perlindungan gajah tak terbantu oleh armada, dalam 
waktu pendek dihalau oleh peluru musket kanjuruhan . Perang 
darat terjadi seperti tiupan angin lalu. Mereka melawan 
mati-matian. 
namun  senjatanya terlalu pendek. Musket dan gada rujakpolo  
tetap lebih unggul. Semua harus mundur, terpaksa mundur, 
harus, terpaksa. Yang tertinggal hanya daging yang sudah  
terpisah dari tulang. 
kanjeng sinuhun  adipati  Syah melarikan diri ke Johor, Bintan, 
Kampar. Kerajaan berumur seabad lebih beberapa belas 
tahun itu jatuh. Dan jenggala kunci Asia ini kini berada di 
tangan kanjuruhan . 
Dalam keributan dan kekacauan berhidung bengkung 
merajawali sebuah kapal kecil bercat hitam masih juga 
nampak aman terayun-ayun di pelabuhan. Tanpa tergesa-
gesa layar-layamya dipasang dan berkembang lesu, 
lalu  berlayar menuju ke tengah-tengah armada 
kanjuruhan . Benderanya berkibar-kibar gelisah pita hijau 
panjang berjela-jela. 
Kapal kecil hitam itu terus juga mendekat. Semua gerak-
geriknya tak terlepas dari teropong d’Albuquerque. Terus 
mendekat dan nampak sedang mengucapkan selamat 
datang.Sesampainya di dekat kapal bendera pita hijau 
diturunkan, tinggal bendera hitam bersirip kuning itu 
berkibar sendirian. Kapal itu tidak berhenti. Dengan tenang 
seakan tidak terjadi sesuatu apa ia terus melewati armada 
kanjuruhan . Di bawah tiang utamanya berdiri seorang Laki-laki  
tinggi, agak bongkok, berhidung bengkung merajawali, 
berjubah genggang, membawa tongkat hitam berhulu 
gading.Kopiahnya tarbus merah. Kumis, jenggot dan 
cambang-bauknya mengkilat hitam seperti jelaga tersulam 
oleh beberapa lembar uban. 
kanjuruhan  tak sedikit pun mengganggunya. Kapal kecil itu 
pun hanya membawa seorang penumpang saja. Orang itu 
terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matanya besar 
bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pandangnya selalu 
bertebaran ke mana-mana seperti sedang mencari sesuatu di 
atas permukaan laut. 
Nakhoda datang menghampirinya, mencium jubahnya. 
Berkata dalam jawadwipa :” Alhamdulillah, ya Tuan pakanewon  
adipati  prawetan . Berkah Tuanlah maka kapal saya  
ini selamat.” 
“pemberontak -pemberontak  itu takkan berani mengganggu aku,” jawab 
penumpang itu angkuh. “sang yang betari durga   takkan membiarkan 
terlantar ummat-Nya yang beriman.” 
“Hanya dengan pita hijau!” seru nakhoda.  
“Ya, hanya dengan pita hijau,” penumpang itu 
membenarkan. 
“Bagaimana saya  harus membalas budi, ya Tuan 
patih wirabuana  jayamahanaya ?” nakhoda bertanya menghiba. 
Melihat penumpangnya tak menjawab, ia meneruskan: 
“Sekiranya Tuan sekarang ini memerintahkan saya  
menuju kediri , tiadalah saya  akan menolak, biarpun 
upah tiada ditambah.” 
‘Tak ada padaku niat hendak ke kediri .” 
“Bukankah dengan datangnya nyi kanjeng blora Tuan kehilangan 
jabatan sebagai patih wirabuana  dan sebagai penasihat Baginda 
kanjeng sinuhun ?” 
“Tetap. Antarkan aku ke blora.”  
“saya , Tuan. Tujuan tetap. Ke blora.” Nakhoda itu 
berhenti bicara, menunggu penumpangnya mengatakan 
sesuatu. Melihat pakanewon  adipati  tarantulawijaya  tak juga 
bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang 
menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki 
kedudukan siku, lalu : “Sesudah  kejadian mengagetkan 
ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di kediri  Di 
sana sedang ada pesta tahunan dari bangsa pemberontak  itu. 
Biarpun pemberontak , cukup menyenangkan juga, Tuan 
patih wirabuana .” 
“Dilaknatlah kiranya pemberontak -pemberontak  itu,” sumpah 
penumpang itu mengeluh 
“Ampun, Tuan, kemudi tetap di arahkan ke blora.” 
“Bukan begitu, Tuan, yang pemberontak  bisa jadi tidak pemberontak  lagi. 
Yang tidak pemberontak  pun bisa berubah jadi pemberontak , bukan?” 
‘Tak pernah ada orang mencoba mengurui  aku,” 
penumpang itu bersungut-sungut. 
“Ampun, Tuan, kemudi tetap diarahkan ke blora.” 
Penumpang itu masih juga merabai permukaan laut dengan 
pandangnya. Nakhoda mencoba mengikuti arah 
pengelihatannya dan tak menemukan sesuatu yang 
luarbiasa. Dan kapal kecil hitam itu terus juga berlayar 
menyeberangi Selat menuju blora. 
“Cat hitam ini takkan saya  ubah lagi, Tuan. Wama 
keselamatan,” nakhoda bicara lagi. “Bolehkah kiranya 
saya  bercerita, Tuan?” 
Penumpang tak bersabda  itu tak mengacuhkannya. Dan 
nakhoda itu menggosok-gosok kedua belah telapak tangan, 
tersenyum manis dan memulai: “Bukan cerita, Tuan 
patih wirabuana  jayamahanaya , namun  warta. Warta sebetulnya  
sungguh-sungguhnya warta. Warta yang mungkin khusus 
untuk Tuan saja.” 
Penumpang itu menoleh padanya namun   tak bertanya 
sesuatu.  
“Tentu Tuan melihat juga kapal Jawa yang tenggelam 
sebentar tadi. Lambungnya pecah-belah seperti kepiting 
terinjak. Semoga sang yang betari durga   melapangkan jalan mereka di alam 
arwah’ Semalam, Tuan, sesudah  Tuan meninggalkan kapal 
saya , saya  sudah bicara dengan nakhodanya, seorang 
anak muda, uh, anak semuda itu sudah  dilepas jadi nakhoda. 
Dia akan belayar ke Singhala Dwipa, katanya. saya  tak 
tanyakan muatannya. Mungkin dupa dan setanggi untuk 
pemberontak -pemberontak  negeri dongeng  sana. namun  memang ada muatan 
penting dibawanya. Dan itulah warta khusus untuk Tuan. 
Lagi pula saya  tidak melanggar amanatnya, sebab  kita 
sudah berada di atas jayamahanaya .” 
Penumpang itu nampak bosan dan jemu mendengarkan 
kkauannya. Namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya 
berdiri. Dan matanya tetap menyisiri permukaan laut. 
”Bukan suatu kebetulan,” nakhoda meneruskan sebagai 
balas-jasa. “Kapal itu dari kediri . Dan warta itu, Tuan, 
muatan yang lain, itu, adalah wara-wara untuk disebarkan 
di negeri-negeri di atas jayamahanaya . Katanya: adiputro  kediri  
Tumenggung Wilwatikta mencari patih wirabuana  baru 
yang….” 
Keangkuhan, kecemberutan dan keredupan   penumpang 
itu mengurang dan mengurang. Ia menoleh lagi pada 
nakhoda. Melihat nakhoda itu berseri-seri, ia mengangguk. 
“Begitulah wartanya.”  
“Matikah patih wirabuana  kediri ?” 
“Sayang, itu tak termaktub dalam warta. Pendeknya 
adiputro  kediri  mencari patih wirabuana  baru. Syarat-
syaratnya… apalah artinya itu? Semua sudah ada pada 
Tuan: bisa menulis, membaca, dan berbahasa palawa  dengan 
baik, dan Tuan sendiri keturunan pakanewon -pakanewon  palawa  yang 
mulia….”  
“Kalau itu saja syarat-syaratnya, ribuan orang bisa jadi 
patih wirabuana .”  
“Masih ada, Tuan, itu pun sudah ada pada Tuan: pandai 
berbahasa jawadwipa . Jangan tertawakan dahulu , Tuan. Inilah 
syarat gila menurut perasaan saya  yang bodoh ini: Harus 
juga lancar berbahasa Pcranggi dan Ispanyn dan menulis 
dan membacanya.” 
Penumpang tunggal itu menegakkan bongkoknya, 
mengangkat tongkat, dan dengan tiga batang jari 
menggaruk rambut di bawah tarbus. Matanya bersinar-
sinar. Satu pikiran sedang membersit menerangi wajahnya. 
“Di Jawa sana orang harus bisa berbahasa Jawa,” 
penumpang itu membongkok seperti semula. “Kata 
nakhoda Jawa itu, bahasa jawa tidak perlu.” pakanewon  
adipati  Al-Badaiwi, yang kemarin masih patih wirabuana  
jayamahanaya  sebetulnya  bemama raden  sanggabuana  bumikerta . 
Nama barunya itu dipakai  sejak jadi patih wirabuana  
jayamahanaya . Nakhoda dan semua orang jayamahanaya  tak pernah 
mengetahui. “Jadi ke kediri  tujuan kita, Tuan?”  
“Tidak. blora.” 
“Jadi tetap ke blora,” dengan demikian kapal tetap ke 
tujuan semula. Sesampainya di blora, raden  sanggabuana  Az-
Zubaid alias Sa yid adipati  Al-Badaiwi menyewa kapal 
Aceh yang bertujuan jatikerto  dan ia membayar khusus 
untuk pelayaran ini. 
Pada waktu kapal yang ditumpanginya mancal dari 
jatikerto  menuju ke kediri  pikirannya tidak disesaki lagi oleh 
ingatan pada api yang menjolak-jolak membakar bekas 
jenggala nya, peluru-peluru yang beterbangan merebahkan 
barang siapa dan barang apa diterjangnya, orang yang 
belingsatan menyelamatkan nyawanya, dan prajurit kerajaan  
jayamahanaya  yang sama sekali tiada berdaya…. 
Umbul-umbul berkibaran di sekelilirig alun-alun kediri , 
tinggi dan berwarna-wami. Pada pesta tahun ini gapura-
gapura batu tidak dipasang. Orang dapat masuk dan 
meninggalkan alun-alun tanpa melalui pandangan kala dan 
makara gapura. Dan orang tidak merasakan kehilangan ini. 
Penduduk kediri  memang keranjingan seni dan 
olahraga. Larangan memahat batu dan perlntah membuangi 
peninggalan Hindu seakan sudah  mereka lupakan untuk 
sementara ada pesta. Bahkan para pernahat sendiri 
menangguhkan kekecewaannya demi sang pesta. 
Orang pada berpakaian bagus-bagus. Para pedagang 
Pribumi kaya menghiasi destar dengan permata dan 
menyelitkan gada wesi  berhulu mas berukir pada tentang perut. 
Beberapa orang tidak memakai  kain batik, namun  sarong 
berkotak-kotak seperti pedagang seberang. 
Para wanita memakai  penutup dada dan selendang 
sebagai penutup bahu. Istri-istri pedagang kaya kelihatan 
dari selendang sutranya. 
dayang -dayang  yang kadang bersarong putih, berambut 
pendek atau gundul dan berkopiah putih, turun 
berbondong-bondongdari perguruan nya masing-masing. 
Mereka pun takkan melewatkan pesta lomba tahunan pemberontak  
yang tradisionil itu. Di pelabuhan kapal-kapal Pribumi 
dihiasi dengan aneka-warna bendera dan umbai-umbai. 
Di setiap perempatan jalan yang menuju ke alun-alun 
bunga-bungaan dikarang jadi lingkaran besar. Buah-buahan 
dan telor bcrwarna membentuk lingkaran sari bunga di 
dalamnya. Sedang tepat di tengah-tcngah berdiri sebuah 
pedupaan tanah dengan asap harum mengepul menyerbaki 
udara. Anak-anak kecil berlari-larian riang dengan 
penganan di tangan. Semua memakai  pakaian dan 
destar baru. Dan rombongan-rombongan dari desa-desa tak 
henti-hentinya memasuki kota. 
Pembukaan pesta sudah  diawali dengan pawai para 
peserta  lomba. Umbul-umbul mempelopori barisan desa 
masing-masing. Di belakangnya menyusul perangkat-
perangkat gamelan untuk baris: gong, gendang, suling dan 
kenong. Semua gamelan ditabuh melagukan nyanyi puji-
pujian kepada sang Hyang betari durga  , tanpa suara manusia, tanpa 
tari. 
Dahulu pawai selalu mula pada Sela Baginda di 
pelabuhan. Sesudah  tugu prasasti Airlangga dirobohkan dan 
juga diceburkan ke laut, umpaknya saja kini jadi tempat 
membubarkan diri. 
Pawai bergerak pelahan-lahan meninggalkan balai  . Di 
antara dupa-setanggi pada setiap awalan barisan, nama 
nyi girah  bergema-gema dalam hati para penonton. Dan nama 
itu semakin semerbak dengan semakin mendekati 
pembukaan. Kunjungan Sang adiputro  ke bangsal wanita di 
dalam balai   sudah  mepercaya kan semua orang: gadis 
perbatasan yang menawan hati kediri  itu pasti keluar 
sebagai juara lagi. Takkan ada yang berani meniadakan 
di kuil rat dari Sang adiputro . 
Orang harus mengerti tanpa bertanya. 
Hari-hari mengintip di depan balai   tanpa hasil 
membuat  orang seperti dicurahkan memadati kiri-kanan 
pawai di mana nyi girah  berada. Anak-anak kecil yang 
terdesak orang-orang dewasa, kalah tinggi dan kalah kuat, 
hanya bisa berlari-larian sambil bersorak-sorak tidak 
menentu. Laki-laki  dewasa membelaikan pandang berahi. 
Wanita meneliti apa-apa yang dapat dicela atau dipuji pada 
nyi girah . 
Semua peserta  wanita berkalung rangkaian melati. 
peserta  Laki-laki  masing-masing membawa setangkai dedaunan 
beringin. Dan antara sebentar tangkai itu dilambaikan-
lambaikan ke langit, mengikuti jatuhnya gong. 
Tidak seperti satu atau dua tahun sebelumnya kini nyi girah  
gugup tak menentu. Ia bingung di mana harus sangkutkan 
pandangnya. Ke mana pun matanya diarahkan, tertatap 
juga olehnya pandang yang memberahikan, merajuk, 
merayu, mengajak, mengagumi, atau hanya sekedar hendak 
melihatnya. Peluh sudah  membasahi tubuhnya. Ia rasai pada 
sinar matahari  mendidih dalam dirinya, sebab  di desa sendiri ia 
tidak biasa berkemban. Antara sebentar ia menghela nafas 
dalam-dalam untuk mengalahkan kegugupannya sendiri. 
Pawai terus bergerak pelahan. Setiap gong berbunyi 
seakan di atas kepala   pawai tumbuh semak pohon beringin. 
Dan beringin itu hilang kembali dengan cepat seperti 
tertelan rekah bumi. 
Di depan kadipaten barisan panjang berhenti. Pohon 
beringin melambai-lambai tinggi di atas kepala   mereka. 
lalu  sunyi-senyap. Juga para penonton terdiam, tak 
bergerak di tempatnya masing-masing. Kenong bertalu. 
Tiba-tiba membubung nyanyian bersama dari semua gadis 
peserta , disahuti oleh nyanyian bersama semua Laki-laki  peserta . 
Bersahut-sahutan seperti seribu pasang burung cocakrawa, 
dalam tingkahan gamelan baris. Sunyi-senyap. 
Canang kadipaten bertalu-talu. Semua peserta  bersimpuh 
di tanah. Canang kadipaten bertalu-talu lagi. Sebuah tandu 
keemasan muncul dari kadipaten. Di atasnya duduk Sang 
adiputro  menghadapi sebuah jambang besar dari kuningan. 
Semua peserta  mengangkat sembah. Tandu berjalan lambat-
lambat dengan gerak kaki seiring   dari para pengusungnya, 
dan nampak seperti menari. Di belakangnya, para pembesar 
negeri berbaris, juga melangkah lambat-lambat seiring  . 
Juga seperti menari. 
Tandu Sang adiputro  menghampiri ujung barisan yang 
satu, bergerak lambat-lambat sampai ke ujung yang lain 
sambil memercikkan air bunga pada kepala   para peserta . 
Selesai itu canang kadipaten kembali bertalu-talu. Sang 
adiputro  dengan semua pengiringnya berjalan kaki kembali 
masuk ke kadipaten. 
Para peserta  menurunkan sembahnya, lalu  lambat-
lambat mengangkat sembah lagi tiga kali berturut mengikuti 
tabuhan canang. 
Selesai itu pecah sorak-sorai gegap-gempita dari 
penonton. Barisan berdiri, bergerak lambat-lambat 
mengelilingi alun-alun. Setiap sampai di depan kadipaten 
lagi mereka mengangkat sembah seiring   dengan paluan 
canang kadipaten. lalu  mereka menuju ke Sela 
Baginda. 
Dan inilah saat yang ditakuti oleh nyi girah . la jera terhadap 
orang banyak, terhadap pengagum-pengagumnya. Di dalam 
barisan ia masih terlindungi oleh aturan. Tanpa barisan, 
dengan semua mata tertuju padanya? Begitu pawai bubar 
segera ia lari memperoleh kan raden gelang-gelang , berlindung di balik 
bahunya yang bidang. Teman-teman sedesa melindunginya 
rapat-rapat. Lenyap ia dari pemandangan penonton. 
“nyi girah ! nyi girah !” orang berseru mencari-cari, kecewa, 
jengkel, membujuk, merayu, “di mana kau, nyi girah ? Di 
mana?” 
Gadis dan perjaka hutan  larangan  menjadi gumpalan 
pelindung bidadari perbatasan itu terhadap gangguan. 
Rombongan ketat itu menahan semua serbuan, sedang 
umbul-umbul desa berjalan mendahului. 
Sampai di alun-alun gumpalan ketat hutan  larangan  
langsung menuju ke bangsal penari. Dan di sini keadaan 
sudah  aman. Aturan tidak membenarkan orang 
menghampiri bangsal kecuali hanya untuk menonton 
pertunjukan. Dan perlombaan tari tak pernah diadakan di 
pagi atau siang hari. 
Pesta lomba dibuka dengan sodor berkuda dan ujungan 
dan lomba ben teng dan gulat. Sodor berkuda diikuti hanya 
oleh para centeng  peijaka. Sorak-sorai gegap-gempita tak 
putus-putusnya mengiringi sudah sejak pertand ingan belum 
dimulai. Mula-mula lapangan yang tersedia seakan disapu 
oleh sebarisan centeng  menabuh gendang dengan berlari 
dalam barisan. Di belakangnya mengikuti barisan dari 
Pasukan Kuda. Setiap penunggang menurun-naikkan 
bendera merah dan kuning dan ungu dan hijau. Petanding 
berbaris di belakangnya dengan gerakan kuda yang 
mengedrap, pelan seakan tidak akan beringsut dari tempat. 
Bila barisan gendang dan Pasukan Kuda sudah  
meninggalkan lapangan, para petanding memacu kuda 
mengelilingi lapangan. lalu  dua petanding 
ditinggalkan untuk mengawali perlombaan. 
Mereka berhadap-hadapan jauh pada tepi-tepi yang 
bertentangan. Dua barisan centeng  dari Pasukan Kaki 
masuk ke dalam lapangan dan mempersembahkan kayu 
sodor pada mereka. lalu  mereka lari meninggalkan 
lapangan. 
Canang bertalu. Kedua petanding melesit maju ke 
tengah-tengah lapangan diiringi oleh sorak-sorai. Kayu-
kayu sodor teracukan di atas kepala   kuda. Dan bila sorak-
sorai tiba-tiba berhenti keadaan sunyi-senyap, pertanda 
seseorang sudah  terjatuh dan dinyatakan kalah. Tak jarang 
pertandingan harus diulang-ulang sebab  tak ada yang 
segera teralahkan. 
Kata orang tua-tua permainan ini berasal dari Atas 
Angin, diperkenalkan oleh pendatang-pendatang Benggala 
sekira seribu tahun yang lalu, menurut perhitungan matahari . 
Permainan ujungan lain lagi coraknya. Penonton sama 
sekali tidak bersorak. Ya, sekalipun sedang menjagoi 
desanya sendiri. Mereka mengikuti pertandingan dengan 
diam-diam. Di atas panggung tampil dua orang petanding. 
Canang bertalu. Mereka bersujud  pada penonton, 
berputar-putar di panggung memperlihatkan tubuh mereka 
yang bercawat, memamerkan lengan dan paha dan dada 
dan punggung dan kepala  , dan mengangkat kaki 
memamerkan tulang-keringnya. Mereka kelihatan pengap 
seperti habis dipukuli. Kulit mereka seperti terkena lepra, 
membengkak merah dengan pori-pori kulit melotot keluar. 
Tak bisa lain, sebab  berminggu sebelum bertanding kulit 
mereka digosok dengan lumatan daun tapak liman untuk 
mematikan perasaan kulit. 
Sehabis pameran mereka meninggalkan panggung di 
bawah taluan canang. Tinggal dua orang petanding yang 
akan berkelahi. Masing-masing bersenjatakan sebilah rotan 
yang sama ukurannya. Menurut aturan setiap petanding 
memiliki kebebasan memukul dan memilih sasaran. 
Maka bilah-bilah rotan berayun dan menggebu, membabat 
dan menerjang bagian tubuh mana saja: hidung, dagu, 
dada, kaki, kepala  . Sasaran yang menjatuhkan adalah batok 
kepala   dan tulang kering. Untuk melindungi kedua-duanya 
melompat ketangkasan melompat dan berkelit menjadi 
syarat mutlak, sedang keuletan kulit, daging dan tulang dan 
syaraf jadi petaruh menentukan. Bila temyata tak ada yang 
kalah atau menang, tak ada yang jatuh terguling, mereka 
melakukan undian dengan sut di bawah pengawas. Si 
pemenang sut boleh memukul tulang kering lawannya 
sampai sepuluh kali. Bila ia tidak roboh, ia boleh 
memberikan pukulan balasan. 
Tak ada yang bersorak-sorai, hanya meringis-ringis, 
mengernyit-ngernyit, mengeluh, mengaduh, mengejap-
ngejapkan mata seperti sekelompok monyet kehilangan akal 
pada setiap pukulan yang jatuh. Jantung terasa seperti 
dicekam, diremas-remas menjadi ciut. Bila salah seorang 
roboh dan terpaksa digotong keluar, orang pun tak juga 
bersorak. Hanya mengeluh dan mengaduh atau 
menghembuskan nafas panjang. 
Kalau pukulan tulang kering tidak merobohkan, sut 
diadakan lagi. Dan sekali ini batok kepala   yang dipukul 
bergantian. Tiga kali. Biasanya orang tak dapat menahan 
lebih dari dua kali dan roboh terjengkang di geladak 
panggung. Lomba ki glodog lain lagi ceritanya. Pada 
pertandingan ini kanak-kanak dilarang menonton. peserta  
hanya dari kalangan centeng  perjaka. Juga tidak setiap 
tahun diadakan. Harus ada permohonan dari para centeng  
sendiri, yang ingin melompat jadi perwira Pengawal. 
Lomba khusus ini, bila ada, selalu dipermpu wungubhumi kan pada sore 
hari tanpa disaingi oleh lomba-lomba lain. 
Dalam medan yang dipagari balok-balok kayu, seekor 
ki glodog lapar dilepaskan. Orang pun bersorak-sorak. 
hewan  lapar itu jadi marah dan bingung, berjalan 
mondar-mandir, kadang berlarian kecil mengitari medan. 
Kadang berhenti sejenak untuk memelotoli penonton. 
Seratus gendang dipukul orang. Dan seorang centeng  
penantang naiklah ke atas pagar balok. Ia melompat ke atas 
leher hewan  lawannya dan berusaha, dengan kedua belah 
tangan berpegangan pada tanduk, membantingnya. Belum 
tentu sang penantang berhasii. Tak jarang orang kehabisan 
nafas dan tenaga dan terlompat ke udara menyemburkan 
darah dan isi perut. 
Berkali-kali terjadi seorang penantang lari dan lari 
membiarkan diri diburu sampai lawannya kehabisan 
tenaga. Baru lalu  ia mengguguh mata lawannya 
sampai bolanya terlompat keluar dari rongga. Dengan 
guguhan pada mata yang lain ki glodog buta itu kehilangan 
daya. Ia dinyatakan menang, hanya bukan dengan nilai 
tertinggi. Menurut aturan, kemenangan yang sempuma 
adalah bila penantang dapat meremukkan kepala   lawannya 
dengan pukulan tangan. Dan orang pun bersorak-sorai 
menderu. Mereka menyerbu ke gelanggang, mengelu elukan
pemenang, mengaraknya ke kadipaten. Para penggotong itu 
adalah gadis-gadis kediri . Maka juga para penonton 
kebanyakan gadis. Pada umumnya penantang ki glodog 
memiliki  maksud Iain dibandingkan  hanya ingin melompat jadi 
perwira Pengawal. Biasanya ia orang putus-asa sebab  
kegagalan cinta. Dalam gotongan dan arakan para gadis 
Sang adiputro  akan menyambutnya pada anak tangga 
kadipaten. Di sana ia diturunkan, memperoleh  pangkat dan 
nama dan mpu wungubhumi  kepara bala tentara an yang menjadi haknya. Tanda-
tanda pangkat pun dikenakan pada badannya: gelang dan 
gada wesi , dan kalung. Begitu ia memperoleh  pengangkatannya ia 
dapat memilih pasangan hidupnya dan menjadi kesukaan 
pada hari itu. Dan masyarakat kediri  yang mengagungkan 
kepahlawanan ikutserta  merayakan keredupan  mereka 
berdua. 
Lomba gulat adalah umum. Selalu diadakan pada pagi 
hari. centeng  tidak diperkenankan dan. Penonton dari 
desa-desa bersorak-sorai untuk jagonya masing-masing. 
Dua orang pejabat panggung tak henti-hentinya 
memercikkan air pada para petanding sehingga lantai 
panggung jadi basah, kotor dan licin   keadaan yang 
membuat  petanding lebih menarik. Para petanding hanya 
memakai  cawat. Tidak boleh berdestar. rambut harus 
disanggul untuk tidak menghalangi pemandangan. 
Pada tahun yang lalu raden gelang-gelang  sudah  memenangkan 
kejuaraan. Tahun ini dengan atau tanpa Boris, ia bertekad 
memenangkan kejuaraan berturut. Ia harus hadapi lima 
belas orang penantang. Tak tahu ia bagaimana harus 
mengalahkan orang sebariyak itu. Dan sudah menjadi 
kebiasaan bagi juara gulat memperoleh  banyak tantangan. 
Makin banyak penantang makin banyak kemungkinan 
seorang juara ditelentangkan di atas lantai panggung. 
Dalam pertandingan awal raden gelang-gelang  berkelahi seperti orang 
keranjingan. Ia lebih banyak bertempur menaklukkan 
ketakutan dan kekecilan hati sendiri dan cemburu sendiri. 
Sang adiputro  harus tahu: si raden gelang-gelang  bukan perjaka yang 
mudah melepaskan nyi girah  apa pun yang terjadi, nyi girah  
hanya untuk diri dan kebahagiaannya. 
Dua-tiga orang penantang sudah  dibantingnya dan nyaris 
mati. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Para 
petugas ragu-ragu atas sikap juara dari hutan  larangan . Ia 
lebih banyak tampil sebagai pembunuh dibandingkan  
olahragawan. Dan ia akan berkelahi terus seperti itu bila 
idaman hidup direnggutkan orang dibandingkan nya. Tak peduli 
orang itu Sang adiputro  atau punggawa praja. 
Dengan perintah  Sang adiputro  pertandingan gulat 
diteruskan. Ia berkelahi terus, mengamuknya orang yang 
terpojokkan. Kunjungan penguasa kediri  pada kekasihnya 
di balai   sudah  membuat nya kalap. Ia akan tunjukkan 
pada rajanya, ia juga bisa berkelahi, dan melawan siapa 
saja: ia akan berikan nyawanya untuk bukti cintanya pada 
nyi girah  melawan penantang gulat ataupun penantang 
tombak-tombak para pengawal. 
Pada awal perlombaan menari nyi girah  dipancari semangat 
tinggi. Dua tahun berturut-turut ia sudah  memenangkan 
kejuaraan pertama. Tahun ini ia bertekad untuk 
memenangkan lagi. Bukan sebab  kunjungan Sang adiputro  
yang jadi di kuil rat pada para penilai. Ia harus menang sebab  
kejuaraan tiga kali berturut memberinya sesuatu rencana 
kemungkinan: ia memiliki  rencana. Dalam setiap 
pertandingan raden gelang-gelang  memerlukan hadir. Bukan sebab  
hendak menonton, hanya hendak mematahkan batang leher 
orang, siapa saja, yang berani bertingkah terhadap nyi girah . 
Tak ada suatu gerak terlepas dari perhatiannya. 
Perlombaan sudah  berjalan beberapa hari. Setiap pulang 
dari menari nyi girah  langsung pergi ke tempat kekasihnya 
untuk menresi tnya. Ia tak peduli pada larangan yang 
berlaku. Para punggawa tak sampai hati melarangnya, 
mengetahui, itulah hari-hari terakhir dua orang kekasih itu 
dapat berkumpul untuk lalu berpisahn buat selama-
lamanya…. 
Pagi hari waktu itu. Pertandingan olahraga sedang seru-
serunya berjalan. 
patih wirabuana  Rangga jatayuwesi  sedang sibuk di pelabuhan 
mencatati nama orang dan kapal peiarian yang 
berbondongan datang dari jayamahanaya  dan sudah  ditolak di 
jenggala -jenggala lain di Sumatra dan Jawa. Di kediri  mereka 
bermaksud memohon perlindungan pada Sang adiputro  
kediri  Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Jatuhnya 
jayamahanaya  ke tangan Kongso Dalbi sudah  jadi pengetahuan 
umum. 
Di antara para pendatang terdapat bekas patih wirabuana  
jayamahanaya  pakanewon  adipati  Al-Badaiwi alias raden  sanggabuana  
bumikerta . 
Sekilas Rangga lskak mengetahui, pendatang itu seorang 
palawa    palawa  yang dibencinya. la berbenah dalam hati, 
menyingkirkan perasaan pribadi dan melayaninya sebaik 
mungkin. 
Ia persilakan pendatang jangkung agak bongkok, 
berhidung bengkung merajawali itu, untuk menyampaikan 
halnya. Dan nahkoda kapal yang ditumpanginya tidak ikut 
mendarat. Ia agak heran, namun   tidak menanyakan. Kapal 
itu akan berlayar terus menuju pasuruan . 
“Tuan patih wirabuana  kediri ,” bekas patih wirabuana  jayamahanaya  
memulai dalam palawa . “Berkahlah untuk Tuan buat hah ini. 
Aku pendatang baru, juragan kapal itu. Kapalku akan terus 
berangkat dan akan menjemput aku kelak. Uang labuh 
untuk sehari akulah yang membayamya. Namaku pakanewon  
Habibullah Almasawa dari Malagas!, bermaksud 
menghadap Sang adiputro  kediri .” 
“Berkahlah Tuan untuk hari ini. Maksud Tuan akan 
terpenuhi.” 
Pada para pekerja ia perintahkan untuk mengangkuti 
barang-barang persembahan. Ia perintahkan canang menara 
dipukul untuk pertanda akan adanya penghadapan. 
Canang kadipaten menjawab. 
Iring-iringan penghadap berangkat, termasuk bekas 
patih wirabuana  jayamahanaya , raden  sanggabuana  bumikerta  alias pakanewon  
adipati  Al-Badaiwi dan sekarang bernama pakanewon  
Habibullah Almasawa dari Malagasi. Di belakang mereka 
menyusul para pemikul persembahan. 
Di alun-alun mereka melihat orang beijejal-jejal 
menonton pertandingan. Umbul-umbul berkibaran tinggi di 
mana-mana. Dan karangan-karangan bunga di perempatan 
jalan. Mereka dengar sorak-sorai tak henti-hentinya. Di 
negeri ini orang bersuka-suka, negeri yang mereka 
tinggalkan sedang terlanda kanjuruhan . 
Pendatang yang menamakan diri pakanewon  Habibullah 
Almasawa memperhatikan semua dengan kuping dan 
matanya. 
“kediri  sedang merayakan pesta tahunan,” Rangga lskak 
alias tumenggung  dijoyo  menerangkan dalam jawadwipa . Ia tak 
meneruskan, membisu, tak memberi kesempatan pada para 
pendatang untuk bertanya. Orang palawa  yang seorang itu 
merusuhkan hatinya. 
Mereka berhenti di depan pendopo. Dua orang pejabat 
datang dan menyampaikan tata-tertib. Mereka melepas 
semua alas kaki, senjata tajam dan tumpul kecuali gada wesi . 
Maka alas kaki pun berbaris berjajar, dan tongkat dan 
bawaan pribadi. Mereka dipersilakan masuk ke pendopo 
dengan kaki telanjang, duduk berderet-deret di hadapan 
kursi gading kedudukan Sang adiputro . 
Kursi itu sendiri berdiri di atas lantai khusus yang 
ditinggikan. Sebuah bangku rendah berlapis bantal berdiri di 
bawahnya. Itulah tempat Sang adiputro  meletakkan kakinya. 
Menurut peraturan penghadapan secara kediri , orang-
orang asing bukan Nusantara tidak diwajibkan duduk dan 
bersujud . Bangku atau kursi duduk tidak pernah 
disediakan. Mereka harus berdiri dan barang siapa tidak 
duduk harus mengambil tempat di pinggir. 
Biti-biti perwara keluar menduduki tempatnya di bawah 
kiri dan kanan tahta Sang adiputro . Pada tangannya mereka 
membawa nampan kuningan tempat sirih dan jambang 
kuningan tempat pukul . Menyusul lalu  bentara kiri 
dan kanan, yang mengambil tempat di kiri dan kanan 
belakang tahta. Mereka semua bersenjata tombak dan 
perisai. Baru lalu  datang Sang adiputro  dalam iringan 
Sang Patih dan para pembesar lain. Di belakangnya lagi 
menyusul para pengawal. 
Para penghadap yang duduk bersujud  bersama-sama. 
Mereka yang berdiri di pinggir menyampaikan hormat 
dengan caranya masing-masing. Orang-orang Benggala, 
termasuk patih wirabuana  kediri , berdiri sambil mengangkat 
sembah dada. Sang Patih dan para pembesar yang duduk 
bersila jauh di samping kiri dan kanan Sang adiputro , juga 
mengangkat sembah. 
Upacara penghadapan selesai. patih wirabuana  kediri  
membacakan daftar para penghadap, nama, asal, pekerjaan 
dan permohonannya. lalu  seorang demi seorang 
maju menghadap lebih dekat dan menghaturkan 
persembahannya sambil memuji-muji barangnya. Sesudah  
persembahan menyusul permohonan dengan mulut sendiri. 
Sang adiputro  duduk mendengarkan, tanpa bicara, 
mengangguk dan tersenyum, atau menggeleng dan 
tersenyum. 
Semua penghadap tahu belaka, kesatria raja  Jawa tidak berbaju 
dalam pekerjaan resmi, dan mereka menghormati kebiasaan 
ini. 
Bekas patih wirabuana  jayamahanaya  tercantum dalam daftar 
terakhir. Waktu sampai pada gilirannya ia bicara dalam 
jawadwipa : “patih  datang dari Malagasi, ya baginda tuanku raja  adiputro  
kediri  yang termasyhur pengasih di sepanjang pantai Atas 
Angin. Orang memanggil patih  pakanewon  Habibullah 
Almasawa. Kata silsilah keluarga, patih  adalah keturunan 
ke empat puluh dari Nabi Besar Muhammad s.a.w.” 
Rangga jatayuwesi  mengemyitkan dahi. Giginya berkerut. Ia 
tak percaya. Prasangka mulai berbisik-bisik dalam hatinya: 
Itulah dia penipu yang kau tunggu-tunggu! 
“patih  hanyalah saudagar rempah-rempah yang belayar 
dari jenggala ke jenggala . Mujur tak dapat diraih, malang tak 
dapat ditolak, sang yang betari durga   belumlah memberkahi, ya baginda tuanku raja  
adiputro  kediri . Sesampai di jayamahanaya , nyi kanjeng blora sedang 
menggagahi jenggala . Semua isi kapal patih  dirampas dan 
kapal patih  dibakar. Alhamdulillah sang yang betari durga   masih ingat pada 
hamba-Nya ini. Segala puji untuk Yang Maha Pengasih dan 
Maha Penyayang.” 
Bekas patih wirabuana  jayamahanaya  itu masih juga tak 
mempersembahkan sesuatu barang. 
Si penipu itu! pikir Rangga jatayuwesi . Dia sedang 
memainkan lidahnya. 
“Larilah patih  ke Bengkulu. Dengan kapal patih  yang 
ada di )ambi patih  belayar kemari untuk memohon 
perlindungan baginda tuanku raja  adiputro  kediri . Adapun harta benda 
patih  seluruhnya sudah  habis untuk membayar kerugian di 
jayamahanaya . Ampun, baginda tuanku raja , bila patih  tidak mampu 
mempersembahkan barang sesuatu yang mahal-mahal.” 
Nampak Sang adiputro  mulai kehilangan kesabarannya. 
Ia menguap, dan ditutupnya mulutnya dengan tinju. 
Gelang-gelang mas pada tangannya, berukir dan 
bertatahkan intan permata, berkilauan. Namun ia tidak 
memberi di kuil rat mencegah penghadap itu meneruskan kata-
katanya. 
“Adapun harta-benda yang tersisa pada patih  hanyalah 
kecakapan berbahasa palawa , sebab  itulah bahasa nenek-
moyang patih , berbahasa jawadwipa , sebab  itulah 
penghidupan patih  sebagai saudagar rempah-rempah. Yang 
tersisa pada saya  juga bahasa Ispanya, baginda tuanku raja  adiputro  
kediri …” 
Para penghadap mengangkat pandang mendengar Sang 
adiputro  mendeham dan memanjangkan leher mengawasi 
pembicara fasih itu dengan perhatian. 
“… sebab  di negeri Ispanya patih  dilahirkan, di sebuah 
negeri yang indah bernama Andalusia, ya baginda tuanku raja  adiputro ,” 
bekas patih wirabuana  jayamahanaya  meneruskan, “dan juga sebab  
itu patih  berdarah Ispanya pula. lalu  bahasa 
nyi kanjeng blora, ya baginda tuanku raja  adiputro  kediri , sebab  itulah bahasa 
yang patih  pelajari sejak kecil.” 
Rangga jatayuwesi  merasa seakan lantai yang diinjaknya 
terbang. Orang jangkung agak bongkok, berhidung 
bengkung merajawali itu tak lain dari orang Moro yang 
hendak menumbangkan kedudukannya sebagai patih wirabuana  
kediri . Dunia dilihatnya berayun-ayun. Tangannya di balik 
jubah menggapai-gapai tanpa tujuan. Dan dalam 
pandangannya yang bergoyang ia tak lihat Sang adiputro  
menegur Moro keparat itu, padahal pembual itu mulai 
betari i dengan tangan memberikan tekanan pada kata-
katanya. Kalau dia Pribumi, pikimya, dia akan memperoleh  
hukuman dera. 
“Ya, baginda tuanku raja  Adipkediri  yang mulia, dilindungi oleh 
sang hyang Widhi , kiranya baginda tuanku raja  adiputro . Sedang patih  hina-dina lagi 
melarat begini, ya baginda tuanku raja  yang tersohor bijaksana dan 
pemurah di sepanjang pantai negeri dongeng , limpahkan 
kiranya pada patih  suatu perlindungan, sebab  hanya sang hyang Widhi  
jua Maha Mengetahui, bahwa perlindungan baginda tuanku raja  adiputro  
adalah berkah dibandingkan -Nya juga.” 
Tanpa diduga-duga Sang adiputro  melambaikan tangan 
dan berkata dalam Jawa. Segera Rangga jatayuwesi  
menterjemahkan dalam jawadwipa . 
”Permohonan Tuan kami terima, tuan pakanewon . Tuan 
patih wirabuana  kediri  akan mengurus   mu sebagai tamu pribadi 
kami….” 
Rangga lskak hampir-hampir tak dapat meneruskan 
terjemahannya. Ia membelalak mengetahui, tamu yang 
mengaku diri pakanewon  Habibullah Almasawa sudah  berkenan 
di hati Sang adiputro . Celaka, pikirnya, sekali seorang Moro 
memperoleh  setitik tempat, orang harus waspada. Semua akan 
berubah, bumi tempat berpijak akan goyah. 
“Apalagi yang masih akan dipersembahkan?” tanya Sang 
adiputro . Penghadap itu mengangkat kedua belah tangan 
sehingga bongkoknya berayun, meneruskan: “Ampun, 
baginda tuanku raja , perkenankanlah kiranya patih  mempersembahkan 
sesuatu yang langsung berupa karunia dari sang hyang Widhi . Memang 
nampaknya tiada sepertinya, namun tak terkirakan 
berkahnya.” 
Ia keluarkan sebuah pundi-pundi dari balik jubahnya 
yang genggang. Semua orang berusaha untuk melihat apa 
persembahan si cerewet. Permata! tak bisa lain, orang 
menduga. 
“Berat tak seberapa, baginda tuanku raja ,” bekas patih wirabuana  jayamahanaya  
itu menjepit pundi-pundi dengan ibujari dan telunjuk. 
“Enteng tak terkira.” 
Semua penghadap menjadi tegang. Mereka kuatir Sang 
adiputro  menjadi murka dan membatalkan semua 
perlindungan yang sudah  dikaruniakan. Dan memang Sang 
adiputro  nampak tersinggung, namun  masih menahan diri. 
Rangga lskak gelisah. 
“Selaksa kali lebih berharga dibandingkan  in tan, mutiara, 
zamrud atau delima, sebab  memang karunia sang hyang Widhi  
sendiri!” 
Dan para penghadap sampailah pada titik tertinggi 
kekuatirannya melihat Sang adiputro  bicara untuk ketiga 
kali, hanya pada seorang penghadap: “Apakah itu, Tuan 
pakanewon  keturunan Nabi?” 
‘Tidak lain dari benih baru, ya baginda tuanku raja , dari seberang dan 
seberangnya seberang pulau Jawa ini. Benih beras besar ya 
baginda tuanku raja . Sepuluh kali lebih besar dibandingkan  beras biasa. Bila 
disantap sewaktu muda, ya baginda tuanku raja , hanya ditunu di atas 
bara, gemeratak bunyinya, namun  rasanya takkan kalah 
dengan emping ketan bercampur kacangtanah  dan gula. 
Menanamnya tak memerlukan air, malah harus ditanam 
pada penghabisan musim hujan. Di mana saja dapat 
tumbuh, di gunung, di pantai, huma, sawah kering, ladang. 
Dia tak memilih tanah, asal tak tergenangi air.” 
raden  sanggabuana  bumikerta  alias pakanewon  adipati  Al-
Badaiwi alias pakanewon  Habibullah Almasawa menaruh 
sejumput bening kuning dari dalam pundi-pundi dan 
diletakkan di atas telapak tangan kiri. 
“Orang-orang dungu di Ispanya dan nyi kanjeng blora mengenai 
ini beras Turki, ya baginda tuanku raja . Orang-orang Turki memang suka 
menipu, baginda tuanku raja . Tidak benar ini beras Turki. Yang benar 
Zhagung namanya, baginda tuanku raja . Dalam jangka waktu lima kali 
musim panas, seluruh negeri kediri  akan makan beras besar 
ini, baginda tuanku raja , insya sang hyang Widhi .” 
Ia melangkah maju sesudah  mengembalikan benih dari 
telapak tangan ke dalam pundi-pundi dan 
mempersembahkan kepada penguasa kediri . 
Orang terheran-heran melihat Sang adiputro  tersenyum 
berseri menerimanya. 
“sudah  kami terima persembahanmu, Tuan pakanewon . Segala 
yang berasal dari sang yang betari durga   adalah berkah/’ lalu  
menengok pada Sang Patih yang duduk di bawah. 
“Kembangkan beras besar ini, Kakang Patih. apalagi 
sekarang sedang musim kering.” 
Sang Patih bersujud  rajanya, lalu  menerima 
pundi-pundi itu dan meletakkan di hadapannya. 
“Dan Tuan pakanewon , apa nama negeri asal beras besar ini?” 
“Negeri itu, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  yang mulia   orang 
mulai menamainya Amerika.” 
“Di mana itu?” 
“Di balik bumi manusia ini, GustL” 
“Di balik bumi?” Sang adiputro  berseru berolok, “tentu 
mereka di sana hidup seperti cicak dengan badan tergantung 
pada kaki?” 
“Tidak, baginda tuanku raja , mereka sama dengan kita, demikian cerita 
pelaut-pelaut yang pernah ke sana. Hanya kulitnya merah.” 
“Merah?” 
“Merah, baginda tuanku raja , seperti batu bata.” 
Rangga jatayuwesi  mengerutkan gigi dan mengemyitkan dahL 
Kegebetari nnya menjadi-jadi. Dia mulai menyemburkan 
bisa, gumamnya dalam Malayalam. Dan kalau tidak kuat-
kuat ia mengekang sudah akan tersembur tuduhannya 
sebagai ‘penipu’. Ia menggeragap waktu tiba-tibaSang 
adiputro  berkata: “Tuan patih wirabuana , apakah yang Tuan 
ketahui tentang bangsa kulit merah?” 
“Tidak pernah dinamakan  dalam kitab apa pun, baginda tuanku raja  
adiputro  kediri . Kulit hitam, putih, coklat, kuning, semua 
ada, baginda tuanku raja . Merah tak pernah ada, apalagi seperti batu bata. 
Tak pernah tersebut ada manusia makhluk sang hyang Widhi  hidup 
dengan badan tergantung pada tangan atau kaki.” 
Pendatang itu menengok ke pinggiran, pada Rangga 
jatayuwesi , dan tersenyum bersabda  sambil mengangguk. 
“Tentang itu panjang ceritanya, ya baginda tuanku raja . 9  
tahun yang lalu Sri Baginda dan Ratu Ispanya, Phillipo dan 
Isabella, sudah  memberikan pangestu pada pelaut-pelaut 
Amerigo dan Colombo untuk mencari negeri asal rempah-
rempah. Mereka belayar lurus ke jurusan barat…” dan 
bercerita bekas patih wirabuana  jayamahanaya  tentang pelayaran besar 
dan penemuannya, dan bahwa dunia temyata bukanlah 
seperti tampah namun   bulat seperti buah kacangtanah , bahwa di 
mana ada daratan di sana ada manusia, semua berdiri pada 
kakinya, tak ada yang bergantung pada tangan atau kaki. 
Orang mendengarkan dongengan baru yang tak masuk di 
akal itu. Mereka tertarik sampai-sampai lupa untuk 
mengetahui dari mana raden  sanggabuana  bumikerta  alias 
pakanewon  adipati  Al-Badaiwi alias pakanewon  Habibullah 
Almasawa memperoleh kan beras besar yang bukan beras 
Turki. 
Dalam pada itu Sang adiputro  sendiri sedang 
mengenangkan kembali cerita Sang Patih, bahwa Mpu Nala 
pernah menduga dunia ini memang tidak seperti tampah 
namun  bulat seperti buah maja. Dan sekarang kapal-kapal 
orang putih sudah  mampu muncul dari balik Ujung Selatan 
Wulungga yang selama ini dianggap sebagai batas akhir 
dari dunia, dan barang siapa melewatinya akan tercebur ke 
kedalaman tanpa batas. Mereka justru muncul dari situ. 
Mereka sudah  belayar sampai ke balik dunia dan 
memperoleh kan beras besar. 
Ia berpaling pada patih wirabuana  kediri . Rangga jatayuwesi  
sedang merah-padam keunguan. Memahami akan adanya 
sikap permusuhan terhadap penghadap itu ia perintahkan 
pakanewon  Habibullah Almasawa kembali ke tempatnya di 
pinggir pendopo. 
“Patireja!” perintahnya pada menteri-dalam, “tempatkan 
tuan pakanewon  sebaik-baiknya di gandok belakang kadipaten.” 
Beberapa jam sesudah  penghadapan selesai pecahlah 
berita ke seluruh kediri  Kota: Sang adiputro  sudah  dihadap 
oleh seorang tamu asing, seorang palawa  bemama pakanewon  
Almasawa yang ditempatkan di gandok belakang 
kadipaten. Berita besar, sebab  itulah untuk pertama kali 
seorang asing diterima di dalam kadipaten. Tentang beras 
besar orang tak memberitakan. Dan sekarang kediri  
memiliki dongengan baru tentang bangsa manusia berkulit 
merah yang hidup di balik bumi, berjalan tergantung pada 
tangan dan dengan kaki melambai-lambai di udara. 
raden  sanggabuana  Az-Zuibaid alias pakanewon  adipati  Al-
Badaiwi alias pakanewon  Habibullah Almasawa merasa puas 
dengan semua jerih-payahnya. Ia merasa sudah  berkenan di 
hati Sang adiputro . Sebentar lagi bendera kediri  akan 
dikuasainya. patih wirabuana  yang sekarang harus menyingkir! 
Harus! 
Pulang dari kadipaten Rangga jatayuwesi  langsung menuju ke 
pelabuhan untuk menemui nakhoda kapal pakanewon . Temyata 
kapal itu sudah  berangkat ke pasuruan . Dengan jengkel ia 
pulang sambil menyumpah-nyumpah dan mengutuk semua 
orang palawa  di atas bumi ini kecuali mereka yang tersebut 
dalam Alkitab dan Tarikh. 
Dengan cepatnya terjadi persahabatan antara pakanewon  
dengan Pada. Mereka berdua fasih berbahasa jawadwipa . Pada 
pandai melayani orang-orang besar dan pakanewon  pandai 
mengambil hati orang. 
Padalah yang mengantarkan tamu itu menghadap Sang 
Patih. Ia duduk di belakangnya. 
Sang Patih duduk di atas kursi kayu dihadap oleh empat 
orang yang barn datang dari Bonang   murid-murid Ki Aji 
Bonang   dan dianggap tahu berbahasa palawa . 
Bekas patih wirabuana  jayamahanaya  itu duduk di antara mereka 
berempat. Dan ujian diadakan. 
Tamu Sang adiputro  tertay/a geii dalam hati mengetahui 
sedang menghadapi ujian bahasa palawa . Seratus orang 
penguji masih takkan dapat mengatasi bahasa palawa kuf 
sumbarnya dalam hati. Mereka paling-paling tahu bahasa 
ibunya sendiri, sedikit jawadwipa  dan sedikit palawa ! Tulisan 
latin mereka takkan bisa. ayolah , ujilah aku, tantangnya. 
Salah seorang di antara empat penguji menyodorkan 
padanya setumpukan lontar bertulisan Jawa. 
“Tuan pakanewon  bisa membaca ini?” tanyanya. 
Ia ambil seikat lontar, mengamat-amati, menggeleng 
melihat huruf-huruf yang menjulur berlingkar-lingkar itu. 
“Tulisan pemberontak ,” gumamnya. 
“Jadi Tuan pakanewon  dapat membacanya?” 
Ia menggeleng. Seaksara pun tak terbaca olehnya. 
“Baik, kalau begitu biar kami bacakan, ukara demi 
ukara. Ini tulisan Jawa, namun   berbahasa jawadwipa . Tulis oleh 
Tuan terjemahannya dalam bahasa nyi kanjeng blora. Tuan sendiri 
memiliki  kertas dan kalam.” 
Dan dengan demikian ujian dimulai. 
Dari setumpukan lontar Iain raden  sanggabuana  bumikerta  
alias pakanewon  adipati  Al-Badaiwi alias pakanewon  Habibullah 
Almasawa menterjemahkan ukara demi ukara yang 
dibacakan itu ke dalam bahasa Ispanya dan nyi kanjeng blora. 
Tulisan-tulisan terjemahan itu disimpan oleh Sang Patih. 
Pada hari berikutnya dengan diantarkan juga oleh Pada 
ia menghadapi ujian yang memakan waktu lama. Ia tak 
pernah menyangka akan menghadapi ujian pengalaman gila 
itu. Para penguji memberikan kembali terjemahan nyi kanjeng blora 
padanya, lalu  menunjuk pada baris-baris tertentu dan 
bekas patih wirabuana  jayamahanaya  diminta untuk melisankannya 
dalam jawadwipa . 
Peluh mulai membasahi tubuhnya. Ia mengakui 
terjemahan nyi kanjeng blora itu ditulisnya dengan gegabah. 
Kalimat-kalimat dan kalimat itu bermunculan di hadapan 
matanya seperti barisan mara. Ia menyesal sudah  
melakukannya dengan gegabah dan menganggap sepele. 
Berkali-kali para penguji melihat tak ada kecocokan antara 
terjemahan jawadwipa  orang ujian itu dengan teks jawadwipa  
dalam tulisan Jawa diatas lontar. Pengalamannya yang 
sama dialaminya sewaktu mejawadwipa kan Ispanya tulisannya 
sendiri. Banyak selisihnya dengan teks jawadwipa  di atas 
lontar. 
“baginda tuanku raja  Patih kediri ,” salah seorang penguji melaporkan. 
“Memang palawa nya tidak meragukan, nyi kanjeng blora dan 
Ispanya-nya nampak agak sembarangan, baginda tuanku raja .” 
“Banyakkah kelirunya?” tanya Sang Patih. 
‘Tidak baginda tuanku raja , hanya sembarangan.” 
Untuk pertama kali dalam hidupnya raden  sanggabuana  Az-
Zubaid alias pakanewon  adipati  Al-Badaiwi alias pakanewon  
Habibullah Almasawa kehilangan kata-kata dan bermandi 
keringat sebanyak itu. 
Hari yang dinanti-nantikan tiba juga: hari penutupan 
pertandingan. Sejak pagi hari dengan membawa bekal 
makan orang sudah  datang berbondong ke alun-alun. Bunyi 
gamelan tak henti-hentinya berlagu. 
Orang berdatangan bukan sekedar hendak menyaksikan 
pertandingan. Pada hari penutupan Sang adiputro  akan 
datang dalam iringan besar para pembesar negeri dan para 
pengawal.Semua dalam pakaian berwarna-wami. Mereka 
akan berbaris datang ke alun-alun mengunjungi semua 
gelanggang. Para penilai akan berbaris di belakang para 
pengawal dengan kaki dan tangan berhiaskan giring-giring 
dan kain dan destar berwamn keemasan cemerlang. Dan 
setiap orang di antara mereka akan membawa umbul-umbul 
kecil beraneka wama.Di belakangnya lagi akan menyusul 
barisan pengawas pertandingan, semua menabuh genderang 
kecil. 
Dan begitu Sang adiputro  dan rombongan datang orang 
pun bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah. Begitu 
rombongan lewat orang pun berdiri dan bersorak gegap-
gempita. 
Rombongan itu lewat tanpa menengok tanpa menjawab 
sembah. Orang berdesak-desak mengikuti rombongan, 
semakin lama semakin tebal dan panjang. Sekali ini bukan 
sekedar sebab  kebiasaan: orang ingin menyaksikan dengan 
mata kepala   sendiri bagaimana kerja mata Sang adiputro  bila 
berhadapan dengan nyi girah . 
Di dalam rombongan pembesar terdapat raden  sanggabuana  
bumikerta , di kediri  Kota mulai dikenal sebagai pakanewon  
Alusawa. Ia tetap bertarbus merah dengan jumbai 
keemasan jatuh ke belakang, berjubah genggang, agak 
bongkok, berjenggot, bermisai, bercambang-bauk, jangkung 
dan membawa tongkat hitam berhulu gading. Hidung 
bengkungnya menjadi sasaran setiap mata. 
“Itulah Tuan Ulasawa!” seseorang berbisik pada 
temannya. 
Seorang lain tertawa keheranan, memberi komentar: 
“Betapa panjang dan bengkung hidung itu. Kalau diberi 
berbuntut panjang, pasti akan lebih mendekati kadal.” 
“Puh!”, yang lain lagi mendengus, “baginda tuanku raja  kita memang 
kranjingan orang asing   dan semua saja tidak beres.” 
Apa pun komentar orang yang pasti sudah dapat 
diketahui: itulah tamu terhormat yang sudah  berkenan di 
hati Sang adiputro . 
Dan dalam hati mereka, yang memang sudah tidak 
senang pada orang asing yang memperoleh  jabatan tinggi, 
 muncul  pertanyaan: jabatan tinggi apa yang akan 
diterimanya? Pada umumnya orang menebak: penghulu 
negeri. Dan tebakan itu saja sudah cukup menjengkelkan, 
mengingat penghulu sebelumnya sudah  banyak mengurangi 
kesenangan mereka dengan berbagai aturan yang masih 
juga berlaku sampai sekarang Aturan baru, aturan baru, 
selalu mengurangi kebebasan. Dan penduduk negeri dan 
kota kediri  terkenal pencinta kebebasan. 
Tak jauh dari raden  sanggabuana  berjalan patih wirabuana  
kediri , juga berjubah, hanya berwarna putih, berkopiah, 
tidak bersorban, berselendang leher putih. Hanya dia yang 
berjalan menunduk Tak ada nampak sinar keredupan  
pada wajah dan matanya, di tengah-tengah pesta yang 
membeludag itu. 
Damarsewu dan cempor menyala di mana-mana, 
mencoba mengusir semua bayang-bayang benda dan 
manusia. Namun semua lampu itu tak kuasa mengusir 
bayang-bayang dalam pikiran Rangga lskak.Ia sudah  
memperoleh  firasat pakanewon  Habibullah Almasawa tidak lain 
dari patih wirabuana  jayamahanaya  yang dahulu menjatuhkan 
abangnya, dan sekarang datang ke kediri  untuk 
menjatuhkan pula sebagai patih wirabuana . Tidak salah lagi, 
kata hatinya, dialah iblis laknat itu. Dan pikirannya kini 
bekeija keras mencari jalan untuk menyingkirkan orang 
Moro itu dari kediri  sebelum Sang adiputro  mengambil 
sesuatu keputusan yang akan merugikan dirinya.Si 
pembual, penipu, pendusta, mengaku keturunan Nabi itu 
harus punah! 
Begitu rombongan memasuki ruangan tari, ia sudah 
memiliki rencana. Gamelan melambungkan  lagi 
sambutan. nyi girah  muncul di atas panggung menarikan tarian 
penghormatan. kepala  nya bermahkotakan bunga-bungaan 
sedang pakaian tarinya yang serba ketat memperagakan 
resam-tubuhnya semampai berisi. Pada bibimya tersunting 
senyum kemenangan. Matanya memancar penuh 
kepercaya an dan kebahagiaan. Waktu mengangkat sembah 
gerak lehernya berayun seakan sedang menyerahkan 
pipinya untuk dicium oleh penonton di depan, sebelah kiri 
dan kanan. Dan Rangga jatayuwesi  tak melihat semua itu. 
Orang bersorak-sorai gegap-gempita. Sang adiputro  
mengangguk-angguk menyetujui. 
“Itulah nyi girah , Tuan pakanewon ,” Sang adiputro  berkata dalam 
jawadwipa , “kekasih kediri , bunga seluruh kediri . Tiada 
tandingan dalam tari dan kecantikan dan keluwesan. Juara 
tiga kali berturut.” 
“patih ,baginda tuanku raja .” Mata raden  sanggabuana  bumikerta  
menyala-nyala, ia angkat tongkatnya turun-naik, 
mengagumi tarian nyi girah . 
“Dahulu gadis seperti itu akan meneruskan pertandingan 
ke Wilwatikta, ibukota kerajaan jenggala .” 
raden  sanggabuana  bumikerta  mencantolkan tongkat pada 
lengan kanan. menegakkan bongkoknya dan bertepuk-
tepuk: “Haibat!” serunya. Tanpa tandingan. Banyak negeri 
terah patih  lihat, ya baginda tuanku raja . Yang ini memang tiada tara! 
Namanya pun indah: I-da-yu. Dan betapa cantik! Aduhai 
betapa cantik, kau, nyi girah !” gumamnya. “sang hyang Widhi  sudah  
menciptakan kau sesuai dengan kehendaknya.” 
Mata Sang adiputro  bersinar-sinar hampir tiada berkedip. 
Orang pun lupa memperhatikan mata yang sepasang itu. 
Semua tertarik pada nyi girah . Tetap hanya Rangga jatayuwesi  
antara sebentar melirik pada raden  sanggabuana  bumikerta . 
“Aduh, Aduh, Aduh, baginda tuanku raja !” gumam bekas patih wirabuana  
jayamahanaya  itu seperti kesakitan. 
“Apa, Tuan pakanewon ?” tanya Sang adiputro  seperti pada 
seorang sahabat lama. 
“Serba indah, baginda tuanku raja , serba cantik, serba mengikat. Kalau 
di Ispanya sana, baginda tuanku raja ,” ia bertepuk bersemangat, “tidak 
salah lagi, pasti akan jadi hiasan istana Ekopal.” 
“Apa?” 
“Hiasan istana raja Ispanya, baginda tuanku raja .” 
“Hiasan istana raja….” Sang adiputro  berbisik 
mengulangi sambil tersenyum. lalu  agak keras, 
“sayang hanya anak desa.” 
“kediri  menciptakan makhluknya tanpa perbedaan, 
baginda tuanku raja , baik desa mau pun kota milik sang hyang Widhi  juga.” 
Rombongan pembesar kembali ke kadipaten sebelum 
tarian nyi girah  selesai…. Rangga jatayuwesi  tidak kembali ke alun-
alun. Ia berjalan bergegas menuju ke pelabuhan. Kakinya 
melangkah cepat-cepat. Antar sebentar ia menengok ke kiri 
dan ke kanan. Sampai di depan waning tuak dan ciu-arak ia 
berhenti. Pintunya terkunci dari dalam. Langit gelap. Ia 
mengetuk dan mengetuk. Tak lama lalu  pintu itu 
terbuka. Tak ada lampu menyala di dalam. “Kaukah itu, 
mpu jahalodang?” 
“Tidak salah, Tuan, mpu jahalodang ada di sini menunggu Tuan. 
Tuan tidak masuk?” 
patih wirabuana  kediri  itu masuk ke dalam, duduk pada 
salah sebuah bangku sesudah  menggerayanginya dengan 
hati-hati. 
Dalam kegelapan tak ada nampak wajah dua-duanya. 
Seakan mereka bicara dalam kekosongan alam sebelum 
sinar matahari  dan bulan diciptakan. Hanya bisik-bisik pelahan, 
seperti resi  di kejauhan, tanpa nada: “Sang adiputro  ini lain 
dari putra-putranya, mpu jahalodang. Raden pakanewon  itu sepenuh hati 
mengabdikan diri pada arca   , Sang adiputro  ini, hanya 
perdagangan dan keuntungan saja yang dia urusi. Dasar 
Rangga Demang….” 
“namun  Sang adiputro  jelas berpihak pada arca   , Tuan,” 
mpu jahalodang membantah. 
“Dari mana pikiranmu itu?” 
“Uah, tuan patih wirabuana  kediri , bukankah sudah aku 
sampaikan, Sang adiputro  sudah bersiap-siap dengan 
cetbang?” 
“Benar, bersiap-siap berperang terhadap pajang bintoro .” 
mpu jahalodang berdiam. 
“Lantas di mana arca   nya, mpu jahalodang?” 
“Banyak yang bilang tidak begitu. Sang adiputro  tak 
pernah memperlihatkan kegusaran suryabuaya   diambil oleh 
pajang bintoro , Tuan patih wirabuana . suryabuaya   direlakan, sebab  pajang bintoro  
arca    yang mengambil. Orang bilang kediri  bersiap-siap 
terhadap nyi kanjeng blora.” 
“Bodoh, kau, mpu jahalodang. Mari aku bilangi. Tak kau lihat 
tadi pakanewon  palsu Habibullah Almasawa sudah mulai 
mengiringkan Sang adiputro ?” 
“Semua orang sudah melihat, Tuan.” 
“Tandanya dia akan gantikan aku jadi patih wirabuana  
kediri .” 
“Tidak mungkin, Tuan.” 
“Untuk melayani kapal-kapal nyi kanjeng blora dan Ispanya. Dia 
tahu dua-dua bahasa itu. Sang Patih sudah mengujinya, dan 
dia dianggap lulus. Maka tak mungkin Sang adiputro  memiliki  
sikap terhadap nyi kanjeng blora atau Ispanya. Dia sendiri pemberontak ! 
Dan akan mati sebagai pemberontak ! Dia munafik, pemberontak  yang 
munafik. Pada saudagar-saudagar arca    ia perlihatkan diri 
seorang arca    demi mas dan perak, dan sutra dan tembikar, 
dan persembahan. Berapa wanita lesbian nya? Tak ada orang 
bisa menghitung.” Bisikannya semakin mengandung 
amarah, “Coba, orang-orang lain diperintahkannya 
bersembahyang untuknya, yang sri ratu kertanegari , yang raden kertajaya , 
yang betarakalong . Juga mandi junub, mpu jahalodang, dia tak lakukan 
sendiri, orang lain harus mewakilinya.” 
“Kalau begitu Tuan, memang kurang ajar Sang adiputro  
itu. namun  bagaimana pun, Tuan, pakanewon  itu takkan mungkin 
dapat menggantikan Tuan.” 
“Mengapa tidak.” 
“Aku bilang, pendatang itu tak mungkin dapat jadi 
patih wirabuana  kediri , biar pun Sang adiputro  menghendaki. 
Tuan akan tetap di tempat. Jangan lupa, Tuan, mpu jahalodang, 
masih segar-bugar, sekarang terserah saja pada Tuan 
bagaimana jalan dan caranya.” 
Dalam kegelapan itu bisikan mereka makin pelan, 
semakin mesra seakan dua sahabat karib, yang baru 
bertemu sesudah  berpisah sepuluh tahun. Dan suatu rencana 
tertimpalah pada malam itu juga: pakanewon  Habibullah 
Almasawa disingkirkan dari kediri , hidup atau mati. 
Rencana akan dijalankan secepat-cepatnya dan seteliti-
telitinya. Menjelang subuh rencana sudah selesai 
sepenuhnya. Dan waktu patih wirabuana  akan pulang terdengar 
suara mpu jahalodang yang agak keras: “Nanti dahulu , Tuan. Belum 
lagi Tuan perhitungkan biaya untuk si mpu jahalodang miskin dan 
teman-temannya.” 
“Iblis!” bentak Rangga lskak. “Kau selalu menuntut 
biaya. Berapa kau kehendaki?” 
“Lima dinar, Tuan.” 
“Husy. Dengan lima dinar aku bisa beli kepala  mu 
sampai kepala   nenekmu sendiri.” 
“Uah, uah,” lalu  mpu jahalodang tertawa senang, “hanya 
lima dinar harga jabatan Tuan? Tinggal pilih, Tuan. mpu jahalodang 
sih, sekedar tenaga murah.” 
Rangga jatayuwesi  berhenti berjalan. Ragu-ragu ia bertanya: 
“Dalam waktu berapa hari semua selesai?” 
“Dua minggu, Tuan. Begitu dia keluar dari kadipaten, 
jadilah sebagaimana Tuan kehendaki.” 
“Baik. Terima ini satu dinar panjar,” dan ia pun pergi 
tanpa menoleh lagi. 
mpu jahalodang tertawa, masuk kembali ke dalam warung dan 
mendengus: “Si buaya itu sudah menyediakan dinar dalam 
pundi-pundinya. Kalau mengenai mas, mas yang harus 
keluar, dia pikun seperti hampir-hampir mati tua. Kalau 
emas harus masuk, dia lebih dari seorang periba. Dasar 
buaya darat!” 
raden  sanggabuana  bumikerta  alias pakanewon  adipati  Al-
Badaiwi alias pakanewon  Habibullah Almasawa masih 
mendengkur di gandok belakang kadipaten…. 
wah 
 
5. nyi girah  dan raden gelang-gelang  
Pagihari. 
Semua orang datang ke alun-alun membawa bekal 
makan. 
Pelabuhan sunyi. Jalan-jalan senyap. Semua 
berkepentingan menyaksikan dan mendengarkan sendiri 
keputusan Sang adiputro  di hadapan para petanding. 
Alun-alun lebih betari i dibandingkan  kemarin atau kemarin 
dahulu . Bangsal-bangsal pertunjukan sudah  terbongkar. Dan 
orang duduk berbanjar-banjar di atas tanah, tak peduli 
rakyat biasa saudagar ataupun orang asing. 
Penduduk kediri  memiliki  kepercayaan: meriah-tidaknya 
penutupan pesta akan jadi petunjuk makmur-tidaknya 
kediri  pada tahun mendatang. Orang berkepentingan hadir. 
Sakit ringan dilupakan. Yang sakit berat digotong dengan 
tandu beratap kain batik. Seseorang mencarikan bunga-
bungaan yang sudah  luruh dari tubuh para penari dan 
diobatkan padanya sebagai param atau minuman. Tarian 
adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada 
manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah 
wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya. 
Barisan kuda sudah  tiga kali mengelilingi  alun-alun. Para 
peserta  pertandingan sudah  duduk di dalam pendopo 
kadipaten. Canang bertalu satu-satu. Keadaan menjadi 
sunyi-senyap. Hanya kadang-kadang, di sana-sini, terdengar 
tangis bayi. Desau angin dan deburan laut tak digubris 
orang. Semua yang duduk di atas rumputan memusatkan 
pendengaran pada suara-suara yang akan datang nanti dari 
dalam kadipaten. Dan mata mereka antara sebentar 
mengawasi gerak-gerak para pejabat yang berdiri di mana-
mana, berpakaian serba kuning, juga selendang dan 
destarnya. Dari kejauhan nampak seperti chucky an kunyit 
sedang di jemur. Itulah para peseru yang akan menyerukan 
percakapan yang terjadi di pendopo nanti. 
Di dalam pendopo sendiri Sang adiputro  sudah  duduk di 
atas tahta gandingannya. Semua pembesar pribumi duduk 
bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari 
kebiasaan, raden  sanggabuana  bumikerta  memperoleh  kursi kayu. 
Tempatnya ndnlnh di pinggir kanan, hingga lskak tak 
memperoleh  kursi. Ia berdiri di tempatnya yang biasa di 
pinggir kiri, dan dengan demikian memperoleh  kebebasan 
menyemburkan pandang kebencian pada orang Moro itu. 
Tidak salah lagi, pikir patih wirabuana  kediri , semangkin 
had tangannya semakin mendekati jenggala ku juga. Dengan 
dia Sang adiputro  takkan bakal melakukan perlawanan 
terhadap nyi kanjeng blora dan Ispanya. Hanya segebetari n dan 
kejengkelan berkiprah dalam hatinya sejak orang palawa  itu 
mendarat di kediri . Sekarang dia memperoleh kan bangku 
pula! Alamat Sang adiputro  sudah  jatuh ke dalam 
genggamannya. Keparat! Laknat! 
Dan para punggawa pun sudah percaya  sekarang: pakanewon  itu 
akan segera jadi pejabat tinggi dan penting. Sebentar nanti 
mungkin akan diumumkan. 
Seorang punggawa, yang mewakili dewan penilai, 
dengan lisan sudah  mempersembahkan nama para juara 
yang dibacanya dari lontar. Dengan suara lantang para 
peseru meneruskan bacaan itu ke jurusan alun-alun. Para 
peseru di alun-alun meneruskan lagi ke tempat-tempat yang 
lebih jauh. Setiap sesuatu selesai diumumkan sorak-sorai 
berderaian mengegongi. 
raden gelang-gelang  tersebut sebagai juara gulat untuk tahun ini, 
dengan peringntan, ia harus bermain lebih patut. Sorak 
yang mengikuti terdengar ragu-ragu. Seluruh penonton dari 
hutan  larangan  membisu. Seakan semua itu sebagai ucapan 
ikut berdukacita pada juara gulat dua kali berturut yang 
bakal kehilangan kekasihnya. Bahkan peringatan itu pun 
terdengar sebagai pendahuluan bencana atas dirinya. 
Nama para juara sudah  selesai dinamakan kan. Orang masih 
juga tak dengar nama nyi girah . Seluruh hadirin sunyi 
membisu dalam kecucukan dan ketegangan. nyi girah ! 
mengapa dia? Mengapa tak dinamakan ? Apa sedang terjadi? 
namun  akhirnya nama itu dinamakan kan juga: “Juara tiga kali 
berturut untuk tari, nyi girah , dari desa perbatasan hutan  
larangan !” Para peseru meneruskan ke seluruh alun-alun. 
Sorak sorai gegap-gempita, berderai-derai seperti gelombang 
semudra, bergulung seperti hendak membenam bumi. 
“Sesudah  30  tahun ini, muncul, sekarang juara 
tiga kali berturut! 30  tahun! Ingat-ingat. Dan 
namanya: nyi girah . Desanya hutan  larangan ! Tenang. Sang 
adiputro  kediri  berkenan berperintah ….” Sunyi-senyap. 
Di dalam pendopo, patih wirabuana  kediri  tak henti-
hentinya melirik pada raden  sanggabuana  bumikerta . Orang itu 
sedang duduk tenang menikmati keredupan  yang 
berlangsung di depan matanya sambil mencicipi 
kehormatan yang semakin meningkat juga: memperoleh  kursi 
kayu satu-satunya! Nampaknya ia tak peduli orang senang 
atau tidak terhadap dirinya, asal Sang adiputro  berkenan, 
dan semua sudah be res. Apa peduli yang lain-lain? 
”]uara tiga kali berturut” Sang adiputro  memulai dengan 
suara pelahan, kata demi kata. “I-da-yu!” ia menyebut 
nama itu dengan perasaan meresap seakan sedang 
mencicipi madu. 
Kata-katanya, dengan gaya dan nada sama, 
berkumandang melalui para peseru ke seluruh alun-alun. 
“Ketahuilah, juara kesayangan seluruh kediri . Tak 
pernah ada kecuali kau: satu perpaduan antara keindahan 
tubuh, kecantikan wajah, keagungan tari. Hanya kau! 
Seluruh kediri  berbahagia dapat menyaksikan dalam 
hidupnya seorang dewi tiada tandingan.” 
Dan kata-kata penguasa kediri  itu lebih mendekati 
rayuan danpada amanat. Juga sampai sejauh itu Sang 
adiputro  tak juga menyebut-nyebut kebesaran nama sang yang betari durga  , 
atau sang hyang Widhi , atau Maha Dewa atau Maha Budha atau Sang 
sang Hyang betari durga  . la sengaja hendak menenggang semua agama 
rakyatnya. Ia hadapi mereka semua sebagai bawahan  atau 
tamu, bukan sebagai pemeluk sesuatu agama. 
“Sang adiputro  kediri ,” ia meneruskan, “dan seluruh 
negeri kediri . nyi girah , memuja kau. Kami dapat mengerti 
mengapa mereka semua menghendaki agar kau selalu dapat 
dikagumi dan dipuja di ibukota ini” 
Sang adiputro  berhenti bicara, memberikan kesempatan 
pada para peseru untuk melakukan kewajibannya. Orang 
bersorak ragu, lalu  menggelimbang sejadi-jadinya, 
lalu  ragu-ragu lagi. Sorak itu panjang panjang sekali, 
sehingga canang kadipaten dipukul tiga-tiga untuk memberi 
peringatan. Lambat-lambat sorak itu mereda. 
Sang adiputro  tersenyum puas-puas dan mengerti: ia 
memperoleh  sokongan rakyatnya wajahnya berseri-seri. Ia 
pandangi nyi girah  di tempat duduknya dan sedang 
mengangkat sembah. Gadis perbatasan itu selalu tunduk 
menekuri lantai. 
“Kau dengar sendiri bagaimana mereka menyetujui,” 
Sang adiputro  meneruskan. “Pastilah kau sendiri juga 
setuju.” 
nyi girah  tetap menekuri lantai. 
“Orang tua-tua mengerti, nyi girah , dan kami, adiputro  
kediri  juga mengetahui, ada aturan khusus bagi juara tiga 
kali berturut. nyi girah ! Mengapa kau menggigil?” 
Kata-kata Sang adiputro , juga turun-naiknya nada, 
berpendar-pendar ke alun-alun melalui para peseru. 
Sebentar sorak-sorai meledak, lalu  mendadak padam. 
Sunyi-senyap. 
“Dengarkan baik-baik. Usahakan jangan menggigil. 
Siapa pun mengerti kebahagiaanmu, nyi girah . Kebahagiaan 
yang terlalu amat sangat, yang bisa kau dapatkan hanya di 
bumi kediri  ini. Berbahagialah orangtua yang pernah 
melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi 
keturunanmu. Dengarkan baik-baik, kau. nyi girah , juara tiga 
kali berturut, kau memperoleh kan….” 
Juga raden gelang-gelang  menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya 
menggeletar, sebab  cemburu, sebab  geram, sebab  
ketiadaan daya menghadapi penguasa mutlak negeri kediri , 
sebab  tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai kata-
kata manis Sang adiputro  sebagai rayuan dan sebagai 
pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah 
arti kekuasaan Sang adiputro  yang diejek dan ditertawakan 
oleh betari  resi  ? Dengan kekuatan batin luar biasa ia 
tindas semua perasaannya. Dan sesudah  semua tertindas, 
dengan malu-malu muncul ketakutan: ketakutan pada 
hukuman yang diancamkan oleh kepala   desa. Apakah yang 
harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan? 
Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukuman 
takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja 
ia sudah  hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang. 
Yang muncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan nyi girah  
sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang 
adiputro . 
Keringat dingin mulai bermanik-manik pada 
tengkuknya. 
Sorak-sorai sudah  padam. Sang adiputro  meneruskan: 
“Pertama, dengarkan baik-baik, nyi girah  dan semua bawahan  
kediri . Pertama, hak menerima dan memakai  cindai 
penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selama 
30  tahun ini….” 
Sorak-sorai. raden gelang-gelang  mengangkat pandang menetak 
wajah Sang adiputro . 
“… Dan perhiasan dan pakaian pribadi, perhiasan dan 
pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan… 
permata….” Sorak-sorai!  
“Terimalah sendiri karunia adiputro  kediri  ini, kau, 
pujaan kediri ! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar… 
ayolah !” 
raden gelang-gelang  bukan hanya mengangkat pandang ia 
mengangkat kepala   untuk melihat kekasihnya di depan sana 
menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa 
kediri . Ah, kediri  dan hati pujaan itu! Kembali. Cemburu 
menyambar hati dan membutakan pandang. Ia angkat 
kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak 
mau melihat itu. nyi girah ! Jangan sentuh tangan berkarunia 
itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, nyi girah . 
Nafasnya pengap. Cepat tangan kanannya menggerayang 
pada pinggangnya. Tak ada gada wesi  di situ. Dan ia lihat nyi girah  
merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar 
mengangkat sembah. 
Di alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada 
tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya 
tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala   Sang 
adiputro , mereka sudah berlarian mencari pohon dan naik ke 
atasnya. 
“Dengan kejuaraanmu, dengan kecantikan, dengan 
segala keluwesan dan daya tarik yang ada padamu, kami 
ada rencana untukmu.” 
Sunyi-senyap. 
Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: “Yang 
terhormat tamu baginda tuanku raja  adiputro  kediri , bernama pakanewon  
Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan 
bersembah.” 
“Ya, baginda tuanku raja  jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten!” 
Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul 
dengung yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun. 
“Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh kediri !” 
seseorang memekik. 
Dan suara kata an itu dapat makian dari para peseru. 
“perintah  baginda tuanku raja  adiputro  selanjumya,” peseru meneruskan, 
“hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, nyi girah , 
hak bagi penari terbaik di seluruh negeri,” sunyi-senyap, 
“hak kehormatan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak 
mengajukan permohonan apa saja yang sesuai dengan 
kepasang yang betari durga   yang berlaku.” 
Sorak-sorai bergulung-gulung. 
Rangga jatayuwesi  tak mampu mengikuti seluruh jalannya 
perishya. Mungkin inilah untuk pertama kali dalam 
jabatannya selama sekian belas tahun ia tidak dapat 
menyimak dengan baik. Melihat orang Moro itu masih juga 
duduk dengan senangnya, bahkan berani-berani 
mempersembahkan saran yang sangat memalukan sebagai 
orang yang mengaku keturunan Nabi, saran terhadap 
seorang penguasa pemberontak , kukuh dan semakin kukuh 
pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bumi yang 
sedang diarca   kan ini aku akan memperoleh  pahala besar. 
Untukmu, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala 
yang sudah  terhina di sini tak boleh susut, tak boleh 
berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro! 
Di tempat duduknya, di belakang nyi girah . raden gelang-gelang  merasa 
seperti menduduki bara. Beberapa peserta  dari hutan  
larangan  beringsut mendekatinya. 
“Aku ikut memohon untuk kebahagiaanmu, Kang 
raden gelang-gelang ” teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya 
lengan juara gulat itu. 
raden gelang-gelang  membalas hiburan dengan meletakkan tangan 
pada lengan orang itu. Berbisik membalas: “Hidup atau 
mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.” 
Dan nyi girah  masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia 
masih duduk menunduk di bawah kaki Sang adiputro . 
Semua mata, kecuali Rangga jatayuwesi , tertuju padanya. 
Dari atas kursinya raden  sanggabuana  bumikerta  
memandangi gadis itu dengan mata menyala-nyala menelan 
seluruh kehadirannya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam 
diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal dan rongga mata 
yang dalam dan gelap. Dan mata yang menyala-nyala itu 
memancarkan kepongahan, gila hormat tanpa batas, rakus, 
bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih 
dibandingkan  itu licik: yang ada hanya aku, semua untuk aku. 
Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar. 
lalu : “Mengapa kau menangis, nyi girah ?” para peseru 
meneruskan. “Betapa besar kebahagiaan yang sedang 
berbunga dalam hatimu. adiputro  kediri  bersabar menunggu 
permohonanmu. Kami bersabar. Keringkan airmatamu, 
puaskan tangismu, juara, sebab  kebahagiaan yang lebih 
besar lagi sedang menunggumu. Juga semua bawahan  kediri  
ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik 
sinar matahari  di alun-alun sana, nyi girah !” 
raden gelang-gelang  memusatkan pandang pada Sang adiputro , 
penantang tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung 
nyi girah  yang tersengal-sengal. Kalau nyi girah  menyerahkan 
dirinya, ia akan lompat, mematahkan lehernya, dan 
merangsang Sang adiputro  untuk menerima ujung-ujung 
tombak yang menunggu. nyi girah  takkan menyerahkan 
dirinya, ia percaya kan dirinya, dia juga tahu harga diri dan 
kehormatan. “Kau berdua akan jadi sepasang merpati,” 
betari  resi   merestui sebelum meninggalnya. “Semoga 
keturunan kalian akan bercipta dan mencipta, mampu 
mengembalikan kebesaran dan kejayaan yang sudah  hilang.” 
betari  resi   lebih berharga dari pada kekuasaan mutlak 
yang kini dihadapinya. 
Para punggawa tersenyum-senyum dalam hati, juga para 
pembesar, mengetahui betapa bersabda  dan manis Sang 
adiputro  sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan 
kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu. 
”Sudah siapkah kau, nyi girah ?” Sang adiputro  bertanya 
lemah-lembut. “Mendekat sini, orang cantik mengapa 
menjauh lagi? Apakah perlu adiputro  kediri  menyekakan 
airmatamu?!” 
Peseru-peseru meneruskan. Dan keheningan kembali 
menyusul. “ayolah  persembahkan permohonan.” 
“Ampun! baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih ,” 
akhirnya keluar juga kata-kata nyi girah  yang menggigil 
tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbata-
bata. “Apa yang patih  akan persembahkan,… sebagai 
permohonan….” 
raden gelang-gelang  mengepalkan tinjunya. Kembali tubuhnya 
menggigil. Otot-otot yang kukuh ternyata tak kuasa 
menahan gelombang perasaan yang memukul menggebu-
gebu. Mengapa lama betul nyi girah  menyelesaikan kata-
katanya? 
“Harapan patih … semoga permohonan patih … yang 
tiada sepertinya takkan menggusarkan baginda tuanku raja  adiputro  kediri  
sesembahan patih .” Kata-kata nyi girah  tersekat macat. 
Rangga lskak sekali lagi melirik pada musuhnya. Ia sudah  
serahkan cepuk tembikar itu pada mpu jahalodang. Terserah pada dia 
bagaimana akan memakai nya, apakah melalui kulit, 
mulut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran 
bisa ular, yang biasa dibawa ke mana-mana oleh petualang-
petualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantau-
perantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba 
keampuhannya. pakanewon  Habibullah Almasawa akan hanya 
sebentar terkejut, lalu  seluruh jaringan syarafnya akan 
lumpuh, tanpa sakit, dan… tiada lagi masalah patih wirabuana  
lama atau baru, sebab  ia tetap dan akan tetap jadi 
patih wirabuana  kediri . namun   di mana mpu jahalodang? Mengapa ia tak 
juga nampak dan melapor? Bagaimana ia akan menjalankan 
tugasnya? 
Hampir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang 
peseru meneruskan: “ayolah , nyi girah …!”  
Sekarang nyi girah  berdatang sembah: “Ampunilah patih , ya 
baginda tuanku raja  sesembahan patih . Bukan maksud patih  hendak 
menggusarkan baginda tuanku raja . Permohonan patih  yang tidak 
sepertinya adalah…” 
“Betapa susah berhadapan dengan baginda tuanku raja  adiputro ” 
seseorang menyeletuk. 
“Diam!” bentak seorang peseru.  
“Nah, aku teruskan persembahan nyi girah . Dengarkan… 
adalah… adalah… baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sendiri.. adalah… 
Kakang raden gelang-gelang … Juara gulat!”  
Sekarang baginda tuanku raja  adiputro  kediri  bertanya: “Kami tidak 
mengerti, nyi girah . Apa maksudmu!?” 
namun   para hadirin di seluruh alun-alun mengerti belaka. 
Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun 
lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka 
berlompatan, berjingkrak, kegirangan. Para peseru tak 
mampu memadamkan keriuhan. Juga yang sakit di atas 
tandu-tandu memerlukan tersenyum dan bersyukur pada 
sang Hyang betari durga  . Mereka dapat menangkap maksud nyi girah . 
Ah, perawan mulia itu! Dan rakyat kediri  sejak dahulu juga 
memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan 
ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak 
untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada 
kan habis-habisnya. Canang peringatan bertalu tanpa hasil. 
Di dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang 
adiputro  tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: “Apa 
maksudmu? Katakan yang jelas!” 
raden gelang-gelang  tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa 
disadarainya airmata haruan sudah  meleleh jatuh sesudah  
menyeberangi pipinya, membasahi lengan tern an yang 
menghiburnya. 
Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diam-
diam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang 
Kamajaya, untuk memperoleh kan kekuatan cinta sejenis  itu 
juga. lalu  ia belai-belai punggung raden gelang-gelang . 
“patih  memohon, ya baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan 
patih ,’ mendadak suara nyi girah  menjadi keras, kuat dan 
tabah sesudah  diberanikan oleh sorak-sorai, “semoga baginda tuanku raja  
adiputro  kediri  berkenan, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sendiri, 
merestui patih  dan Kakang raden gelang-gelang  sebagai istri dan suami.” 
nyi girah  sudah  mempersembahkan keinginannya sebagai 
hak yang sudah  dikaruniakan padanya. Dan Sang adiputro  
semakin memahami persembahan itu. Kedua belah kakinya 
yang tidak bergerak selama ini dilempangkan kejang. 
Matanya membeliak. Tangan kanannya berayun, lalu  
mencengkam hulu gada wesi . Dadanya terengah-engah. 
Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam. 
Mati kau, nyi girah ! Mati kau di ujung gada wesi , pikir orang. 
Dan para punggawa dan pembesar mengangkat kepala   
untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu. 
raden  sanggabuana  Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak 
tangan kiri, meringis. 
Di alun-alun suasana kembali membuncah riuh-rendah. 
Tangan Sang adiputro  terhenti pada hulu gada wesi  itu. 
Nampak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkaman 
pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di 
samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki 
letak kaki. 
Gelombang sorak-sorai: masih membeludag 
memandangi gunung melerus. Canang peringatan yang 
makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu, 
I-da-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti 
kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa, 
tak ada orang lebih tinggi dari kepala   Sang adiputro . 
Banyak di antara wanita menghapus airmata, tersedan-
sedan terharu, menemukan seseorang yang mewakilinya 
sebagai makhluk pilihan para dewa. 
Di tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup 
mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Memohon: 
“Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah 
bagi cinta setia. Kau pilih petani desa dibandingkan  adiputro  
berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman 
seindah ini.” 
Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai 
keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing 
dengan tertib. Pada suatu jarak seseorang berdiri, tak peduli 
pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi 
pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa 
Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli apa 
agama mereka: betarakalong . sri ratu kertanegari . raden kertajaya . arca   . 
Kesyahduan menguasai bumi, langit dan manusia kediri . 
Di pendopo Sang adiputro  bermandi keringat. Mendengar 
mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi 
lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di 
hadapan nyi girah . Dan waktu mazmur selesai ia angkat kedua 
belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu 
pada tangan berkuasa itu. 
Orang sudah  bayangkan nyi girah  mati di ujung gada wesi , 
menjelempah bermandi darah, sebab  demikian memang 
adat raja-raja Jawa. Dalam bayangan orang, raden gelang-gelang  akan 
maju beringsut bersujud pada kaki Sang adiputro  untuk juga 
menerima tikaman gada wesi . Pada pinggangnya. Jantung orang 
berdebaran kencang. 
Temyata lain lagi yang terjadi: “Restu untukmu, nyi girah , 
wanita utama hutan  larangan  dan kediri . Seluruh kediri  
bangga padamu. Dengarlah orang melagukan nyanyian 
puja untukku…, Dengarkan orang bersorak-sorai 
untukmu….” kata-kata Sang adiputro  tersekat pada 
tenggorokan. 
Orang melihat penguasa itu menelan pukul , sekali, dua 
kali   suatu pantangan bagi orang yang sedang dihadap. 
Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati 
langit kediri . Dalam keadaan seperti itu Sang adiputro  
meneruskan, tanpa duduk di atas tahta: “nyi girah , kekasih 
kediri , hari ini akan kami kawinkan kau dengan raden gelang-gelang .” 
Sorak-sorai gila di alun-alun. 
“raden gelang-gelang ! Maju kau, juara gulat yang berbahagia!” 
raden gelang-gelang  maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti 
katak, bersujud  beberapa kail lalu  duduk di 
samping kekasihnya. 
“Benarkah ini yang bernama raden gelang-gelang , nyi girah ? Laki-laki  yang 
engkau cintai?” 
“Benar, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih .” 
“Lihat dahulu  baik-baik, jangan keliru.” 
“Benar, baginda tuanku raja , tidak keliru.” 
“Tidakkah kau akan menyesal, nyi girah ?” 
“Demi sang Hyang betari durga  , tidak, baginda tuanku raja  adiputro  sesembahan 
patih ” 
“Katakan ‘demi sang hyang Widhi ’”, raden  sanggabuana  bumikerta  
berseru dari tempatnya. 
“Demi sang hyang Widhi , ya baginda tuanku raja .” 
“Kau yang bemama raden gelang-gelang  dari hutan  larangan ?” 
“Inilah patih , baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih .” 
“Jadi kaukah kekasih nyi girah ?” 
“Demikian adanya, baginda tuanku raja .” 
Kembali Sang adiputro  mengangkat lengan: “Dengarkan 
dan sakakan semua bawahan  kediri . Pada hari ini, dengan 
kekuasaan kami, di kawinkan juara tari nyi girah  dengan juara 
gulat raden gelang-gelang , dua-duanya dari desa hutan  larangan .” 
Sorak-sorai bersyukur membubung ke angkasa. 
“Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia 
akan menjadi keturunan kalian….” 
“Auzubillah!” terlompat kata dari mulut Rangga jatayuwesi . 
Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati: 
”Dasar pemberontak  turunan pemberontak . Masa sejenis  itu 
mengawinkan orang? Tidak syah! Mengaku arca    pula. 
Munafik. Kufur.” 
‘Tidak syah!” gumam raden  sanggabuana  bumikerta  dalam 
bahasa palawa . Sang adiputro  hendak bermain-main dengan 
hak dan hukum. Ya, ya, memang cerdik dia, nyi girah  dengan 
begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. Dia akan tetap 
milik semua penduduk kediri . Mungkin kau sendiri yang 
akan merampasnya kelak, adiputro . Dan kau juara gulat 
yang sebodoh jatikerto g. Hanya badanmu saja yang besar. 
Otakmu cuma sebesar biji korma kering. 
“Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami.” 
Dari bawah kursi, Sang Patih kediri  mengangkat 
sembah. lalu  dengan suara pelahan: “Ampun, baginda tuanku raja  
adiputro  sesembahan patih , ada pun segala yang sudah  baginda tuanku raja  
ganjarkan benar belaka adanya. bawahan  kediri  sangat 
memuja cinta yang murni, ya baginda tuanku raja . Dan bukan tanpa 
bahaya nyi girah  memilih suaminya.” 
Dari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo, 
membenarkan Sang Patih. lalu  hening. 
“Juga bukan tanpa bahaya bagi raden gelang-gelang . Ia pun sudah  
menunjukkan kejantanan, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan 
patih . Ia sudah  maju atas panggilan kekasihnya. Kalau 
bukan sebab  pemurah baginda tuanku raja , bukan kekasih ia dapatkan, 
namun  ujung gada wesi .” 
“Kau benar, Kakang Patih.” 
“Ampun, baginda tuanku raja , adapun akan gadis ini, tidak lain dari 
penjelmaan Sang Hyang Dewi Kamaratih, dan perjaka ini 
penjelmaan Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah 
pengantin baru yang agung, direstui oleh semua kebajikan. 
Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan 
mereka.” 
Sebagian terbesar pengantar sumbangan, Laki-laki  dan 
wanita, tua dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka 
bermaksud menyumbangkan tenaga juga. Maka jadilah da 
pur raksasa pada malam itu juga. Menyusul lalu  
datang bondongan grobak mengantarkan kayu bakar dan 
minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh 
tungku. 
Di dalam rumah-rumah kediri  Kota orang tua-tua 
memerlukan menyanyikan kembali mamur Kamaratih-
Kamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikutserta  
menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an 
mereka sendiri. 
“Nah, Nak. begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah 
wanita utama seperti nyi girah . Untuk cintanya dia berani 
hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di 
bumi kediri . Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi, 
sebab  raga sudah  mati dan dunia tinggal jadi padang pasir. 
Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri. 
Malam itu nyi girah  dan raden gelang-gelang  memperoleh  tempat sendiri-
sendiri, dua-duanya adalah tempat yang jauh lebih patut 
bagi dua orang anak desa perbatasan. 
nyi girah  dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya 
dengan seribu satu nasihat, memandikannya, dalam 
jambang air bunga, memotongi bagian-bagian runcing dari 
giginya, lalu  memaraminya untuk memperoleh kan kulit 
yang lunak dan berseri pada keesokan harinya. 
Ia ikuti segala harapan yang ditumpahkan pada dirinya. 
Ia berbahagia sebab  dapat membahagian kekasihnya. 
Selesai berparam, seorang nenek menyanyikan unt