tak banyak
bicara. Agaknya usia tua membuatnya berpikir, diam itu
emas. Jadi arwah mpu sindok dapat berpikir lebih leluasa. Misalnya,
haruskah yang ia telepon ibunya? Bukankah sudah cukup
NYI girah saja yang ia suruh datang sebagai saksi? Lalu,
perlukah ibu mereka diberitahu kelakuan ayah? Padahal
dokter sudah wanti-wanti: kesehatan ibumu memang sudah
61
pulih, namun ia tak boleh bekerja berat, tak boleh berpikir
terlalu berat, ia harus dijauhkan dari hal-hal yang dapat
menyebabkannya jatuh sakit kembali, malah dapat berakibat
fatal...
Hem, mama tak usah tahu, pikir arwah mpu sindok . Kakak
juga. Perempuan mulutnya sukar dipercaya, apalagi kalau
punya sifat suka bergunjing. Apakah NYI girah suka
bergunjing? Ah, tak usahlah memikirkan hal itu. Pikirkan saja
apa yang kau hadapi sekarang. Pergoki papa, suruh ia
menceraikan bini mudanya, berjanjilah akan tetap pegang
rahasia; dan apa pun yang kau minta, akan selalu dikabulkan
papa! Dugaan arwah mpu sindok ternyata meleset.
saat mobil itu berhenti untuk pertama kali,
berhentinya bukan di rumah isteri muda ayahnya.
Melainkan, di depan kantor ayahnya. Sesuai dengan
kebiasaan yang ia baca dalam buku atau yang ia saksikan di
bioskop, maka arwah mpu sindok menyuruh taksi terus saja lewat.
Agak jauh di depan baru berhenti. arwah mpu sindok lalu mengintip
hati-hati lewat kaca belakang taksi. Ia lihat ayahnya baru saja
turun sambil menenteng tas kerja kemudian menghilang di
pintu masuk kantor.
Volvo merah hati itu tidak menunggu. Volvo itu
meneruskan perjalanan. Kini yang duduk di belakang setir
adalah Tribuana Tunggadewi sendiri. Perempuan itu melewati taksi mereka
tanpa curiga. Sesaat sebelum Volvo itu lewat, arwah mpu sindok
membenamkan diri dalam-dalam di jok belakang taksi.
Kemudian menyuruh supir kembali mengikuti Volvo. Supir
menurut patuh. Tak omong sepatah kata pun, benar-benar
ingin lepas tangan kalau terjadi apa-apa. Sekarang, kita
62
menuju rumah bini muda papa, pikir arwah mpu sindok bangga.
sesudah itu...Meleset lagi.
Volvo merah hati itu ternyata membelok masuk
halaman sebuah hotel berbintang empat di kawasan Jakarta
Pusat. Kembali arwah mpu sindok memerintah supir menjalankan
mobil sepelan mungkin, lalu berhenti menjelang gerbang
masuk halaman hotel tadi. Ia lihat Tribuana Tunggadewi keluar dari dalam
Volvo. Tempatnya digantikan pelayan hotel yang kemudian
membawa Volvo itu ke pelataran parkir sebelah dalam.
Tribuana Tunggadewi menghilang di balik pintu lobby. Jadi sejak kemarin
papa menginap di hotel ini, masih di Jakarta, bukan di
Palembang... dengus arwah mpu sindok murung sebab ingat pada
ibunya yang malang.
Ia segera turun dari taksi. Sebelumnya, ia memang
membawa semua uang sakunya sebab mungkin saja
Handini memaksanya ikut minggat. Ia lalu membayar sewa
taksi secukupnya, tak lupa menambahkan dengan penuh
aksi. “Kembaliannya untuk abang!” saat itu pun ia
berpakaian yang terbaik. Tadinya memang siap kalau harus
bepergian. Petugas hotel di depan pintu lobby mengawasi
arwah mpu sindok . Seperti dalam buku, arwah mpu sindok melempar
senyum kaku pada petugas itu. Seperti dalam film, ia
memasuki lobby seraya bersenandung kecil, seakan ia
memang tamu hotel dimaksud.
Tampak Tribuana Tunggadewi baru saja mengobrol dengan petugas
desk. Kemudian menyelinap ke dalam lift. Dari tempatnya,
arwah mpu sindok tak mungkin mengawasi lampu-lampu lift untuk
mengetahui di lantai ke berapa wanita itu turun. Sejenak ia
berpikir, lalu memutuskan berjalan menyeberangi lobby,
63
langsung menuju desk. Jantungnya berdebur kencang,
sebab ia belum tahu bagaimana caranya ia melacak kamar
tempat perempuan itu menginap, dan apa yang akan ia
lakukan sesudah itu.
namun arwah mpu sindok diam-diam memang sudah
menyimpan bakat yang diperlukan oleh seorang polis. Ia
menggangguk pada gadis petugas desk, seorang gadis manis
dengan tatap mata agak sedikit nakal. Melihat pemuda
perlente lagi tampan mendekat, gadis itu langsung
menyambut dengan senyuman berbunga.
“Dapat saya bantu, bung?” sapanya. Enak juga tutur
katanya. Harum bener parfumnya. Jantung arwah mpu sindok
berdetak.
Ia tak boleh ragu-ragu, kalau tak ingin ketahuan.
Maka ia menjawab tuntas: “Saya harus menemui kakak saya.
Segera.”
“Namanya?” sambil petugas yang manis itu menarik
buku tamu di hadapannya.
“Tribuana Tunggadewi .”
Perempuan itu meneliti buku tamu dengan seksama.
Ada kerutan di dahinya, pertanda ia tidak menemukan apa
yang dicari. Sebelum gadis itu mengatakan sesuatu,
arwah mpu sindok sudah mendahului: “Kakak saya memang bukan
tamu terdaftar. Ia bilang, ia harus menemui seseorang di
hotel ini. Bisnis...” Gadis itu mulai curiga tampaknya.
arwah mpu sindok menambahkan segera: “Ia barusan kulihat masuk
lift. Tadi, yang sempat ngobrol dengan nona. Blus hijau tua,
celana jin coklat tanah...”
***
64
Sembilan
Kelopak mata gadis petugas desk itu mengerjap.
Sesaat matanya bersinar. Mulutnya pun bergumam. “Oh,
dia...” sambil kembali ia mengawasi pemuda di seberang
mejanya.
“Jadi dewa penulis itu kakakmu ya? Pantas...”
“Pantas apanya?” arwah mpu sindok tersedak.
“Kakaknya cantik. Adiknya cakep,” gadis itu
tersenyum.
arwah mpu sindok mau tak mau ikut tersenyum pula.
Hidungnya mengembang. Namun tidak sampai lupa diri. Ia
melihat kesempatan terbuka untuk mengetahui lebih banyak
mengenai perempuan ‘buronan’ nya. Lantas dengan lagak
sedikit angkuh, ia mendengus: “Jadi kakakku dewa penulis di
hotel ini ya?”
“Bukan di hotel ini saja,” sahut si gadis, gembira
dapat mengetahui suatu rahasia besar. Bagaikan seorang
penggemar yang beruntung banyak tahu mengenai bintang
pujaan semua orang, ia pun lantas bercerita bahwa Tribuana Tunggadewi
juga adalah dewa penulis -nya hotel anu, anu dan anu – sambil
ia sebut nama beberapa hotel terkemuka. Caranya bercerita
membuat arwah mpu sindok membayangkan bahwa ‘kakak’ nya itu
bintangnya dunia ‘kelas atas’ se-Jakarta. Langganan
‘kakak’nya sangat pilihan: pengusaha-pengusaha kelas
kakap, pejabat-pejabat penting, tamu-tamu asing dari
kalangan diplomat. Dibayar tidak saja dengan mata uang
rupiah, namun juga mata uang asing, seringkali dalam bentuk
cheque.
65
“... kami tahu hal itu,” celoteh si gadis gembira.
“sebab beberapa kali kakakmu nginap di sini. Ia suka
memberi pelayan tip uang dollar. Aku sendiri pernah
dipanggil ke kamarnya untuk sesuatu urusan. Kemudian aku
dimintai tolong menukarkan selembar cheque, mungkin
baru ia terima dari tamunya. Nilai cheque itu setengah juta
rupiah. sesudah kutukarkan, tahu berapa imbalan yang
kuperoleh? Sepuluh persen, bung! Lima puluh ribu rupiah,
hanya untuk menukarkan cheque itu ke kasir...”
“Bukan main!” arwah mpu sindok membelalak, namun
kemudian sadar “siapa” dirinya, dan segera meralat
kecerobohannya dengan kalimat: “Yah kakak orangnya
memang royal...”
“namun ia juga tidak sembarang memberi.
Tergantung...” gadis itu tidak melanjutkan celotehnya. Tiga
orang tamu hotel – kelihatannya orang-orang Jepang, datang
mendekat ke meja desk. Si gadis melayani mereka dengan
gerak bermalas-malasan. sesudah ketiga tamunya berlalu, ia
bersungut-sungut: “Mahluk-mahluk kikir. Mereka itu,
bung...” lagi-lagi celotehnya terputus. saat ia menoleh,
teman bicaranya sudah menghilang.
***
Keluar dari hotel, arwah mpu sindok tidak tahu mau berbuat
apa. Terus ke sekolah tak mungkin. Ia tak bawa buku, juga
tidak memakai seragam. Barulah ia teringat pada Handini.
Buru-buru ia memanggil taksi, pergi ke Rawamangun. Setiap
sudut terminal ia awasi, telinganya pun mendengar-
66
dengarkan kalau-kalau sebelumnya ada bis menabrak
seorang gadis, atau gadis itu yang nekad menabrak bis. Sia-
sia pula matanya menjilati landasan terminal. Tak ada bekas
genangan darah. Yang ada cuma debu, kotoran sampah,
bocoran air karburator, serta gumpalan asap knalpot bis-bis
yang menyesakkan nafas. Akhirnya ia pulang ke rumah.
Ibunya tampak lega, menyambut dengan ucapan
cemas. “Dari mana kau, nak? Pagi-pagi, sudah menghilang...”
“Mengantar teman, ma,” sahutnya malas. Ia
memang mengantarkan Handini. namun ke mana? Apakah
gadis itu terus minggat, atau pulang kembali ke rumah orang
tuanya? Ia terus ke dapur, membuat segelas kopi. Di pintu
dapur ia berpapasan dengan kakaknya.
“Lho. Bolos?” NYI girah mendelik.
“Libur sendiri!” jawab arwah mpu sindok seenaknya.
NYI girah mengomel panjang-pendek, namun arwah mpu sindok
acuh tak acuh saja. sesudah membuatkan kopi, ia menyelinap
masuk ke kamarnya. Ranjang tidur di kamarnya
mengingatkan ia pada Tribuana Tunggadewi , sang dewa penulis . Tentunya
perempuan itu kini tengah ‘menggoyang’ salah seorang laki-
laki langganannya. Selain cantik rupawan, ‘goyang’ Tribuana Tunggadewi
pasti selangit. Kalau tidak, tak akan ayahnya tergila-gila, terus
mengejar si perempuan, sambil di rumah terus mendustai
keluarga. Berapa banyak sudah yang dihabiskan ayahnya
untuk ditemani tidur oleh Tribuana Tunggadewi ? Pasti jumlahnya sudah
jutaan rupiah, hanya untuk ‘digoyang’ saja. Sedang untuk
arwah mpu sindok , ayahnya hanya memberi nasihat: “Biasakan
untuk hidup prihatin!” Pernah ia ingin membeli sepatu
67
Adidas. Apa jawab ayahnya: “Bata juga bagus, Yanto!”
Rokok? Satu hari, cukup dua batang!
Bunyi dering bel mengejutkannya.
Lewat pintu kamarnya yang terbuka, ia lihat
kakaknya berlari-lari ke ruang depan. Pakaian yang
dikenakan NYI girah gemerlapan, sekilas tampak wajahnya
yang riang gembira. arwah mpu sindok segera tahu siapa yang
membel. Segera ia duduk di kursinya, pura-pura menekuni
buku-buku pelajaran yang sengaja ia serak-serakkan di meja.
Benar saja dugaannya. Tak lama ia dengar langkah
kaki, dan suara berat menyapa: “Hai, kawan!”
arwah mpu sindok mengangkat muka. Sahutnya: “Hai, bang
Laung.”
“Lagi asyik belajar ya? Bagus. Calon adikku harus
anak pintar. Supaya kelak, bisa jadi polisi tauladan. Nih.
Kubawakan sesuatu untukmu,” dan Parlaungan, kekasih
tetap kakaknya menyodorkan sebuah bingkisan yang
diterima arwah mpu sindok dengan malu-malu. “Nggak usah repot-
repot bang,” ujarnya berbasa-basi. Dulu, Parlaungan yang
akhirnya membelikan arwah mpu sindok sepasang sepatu Adidas.
Bingkisannya kali ini, satu set pulpen Parker, model terbaru.
“Terima kasih, bang Laung. Aku akan belajar sungguh-
sungguh,” arwah mpu sindok mengikrarkan janji.
Dari belakang punggung Parlaungan yang tinggi
kekar itu, terdengar suara NYI girah mengoceh: “Apa!
Buktinya, hari ini dia bolos lagi!”
arwah mpu sindok ingin mencakar kakaknya. Untung
Parlaungan menengahi. “Kalau tak pernah bolos sekolah,
bukan laki-laki namanya...” Namun toh Parlaungan tidak
68
semurah hati itu. Ia melanjutkan dengan pertanyaan sambil
lalu: “Apa hukumannya kalau mangkir sekolah lebih dari tiga
hari, Yanto?”
“Diberi peringatan oleh wali kelas, bang,” jawab
arwah mpu sindok tersipu.
“Kau senang dibikin malu di depan teman-
temanmu?”
“Tidak dong!”
Parlaungan tertawa lembut, terus berlalu ke
belakang untuk menemui calon mertua perempuannya.
NYI girah menguntit di belakang kekasihnya, masih terus
mengomel: “Kau terlalu memanjakan adikku, bang Laung.
Kau pula yang dulu mengajarinya merokok...”
Di kamarnya, arwah mpu sindok nyengir kuda. Ia sudah tahu
apa jawaban Parlaungan: laki-laki yang tidak merokok itu,
banci! arwah mpu sindok kemudian teringat, apa nasihat Parlaungan
dulu, yang sampai sekarang dipatuhinya. “Kalau ingin
merokok, Yanto, belilah dari uang sakumu. Jangan dari saku
orang lain.”
sesudah kakaknya meninggalkan rumah bersama
Parlaungan, arwah mpu sindok diperingatkan ibunya agar tidak lupa
mandi dan makan pagi. Ia mematuhi perintah itu, kemudian
membantu ibunya menyetrika. saat itulah ia lihat air mata
menggenangi pipi ibunya.
“Mama menangis,” desah arwah mpu sindok , terkejut.
Cepat-cepat ibunya menyeka air mata, lantas
mencoba tertawa. Jawabnya: “Lihat. Aku tidak menangis lagi
bukan?”
69
“Mengapa mama menangis?” arwah mpu sindok mendesak,
dan diam-diam kuatir bahwa ibunya menangis akibat
kelakuan ayahnya. Ayahnya yang mengakus sebagai manusia
terhormat, berlagak suci di rumah, nyatanya di luar sana
mengencani pelacur.
Ibunya membenahi pakaian yang sudah selesai
disetrika, menarik nafas dalam, kemudian: “Kau senang sama
bang Laung, nak?”
“Jelas, dong!”
“Kau suka ia kawin dengan kakakmu?”
“Selalu kudoakan, mama.”
“Aku juga,” ujar ibunya lirih dan wajahnya kembali
murung. “Sayang, ayah kalian lebih suka kakakmu
dijodohkan dengan orang lain. Bukan dengan Parlaungan...”
“Kenapa sih papa benci bang Laung, mama?”
“Ayahmu tidak membenci orangnya, nak. Ayahmu
membenci lingkungan yang melahirkan Parlaungan.”
“Apa kurangnya bang Laung, mama? Ia Insinyur
jebolan ITB. Ia bekerja, punya penghasilan cukup. Ayahnya
Kolonel, punya jabatan terhormat di Kodam. Keluarga
mereka tidak punya cela. Mereka juga setuju dengan calon
isteri pilihan bang Laung. Apa lagi?”
“Kau tak mengerti, nak. Tak mengerti...” dan air mata
ibunya meleleh lagi.
“Maksud mama?
“Eh, aku mencium bau hangus di dapur...”
Ibunya bergegas ke dapur, kemudian terdengar
suaranya yang dikeraskan: “Berapa banyak famili kita yang
kau kenal selama ini, Yanto? Maksudku, famili dekat. Yang
70
rajin berkunjung ke rumah kita, atau sebaliknya kita kunjungi
mereka...”
“Yah.. Paman Supangkat, paman Abdullah, Tante
Maryam, Uwa Hasbullah, nenek... Wah, banyak deh ma!”
“Coba ingat. Keluarga pihak mana mereka itu
semua?”
Tiba-tiba arwah mpu sindok memahami maksud ibunya.
Semua yang ia sebutkan adalah keluarga dari pihak ayah. Ia
memang pernah mendengar tentang keluarga mereka dari
pihak ibu. Sebagian terbesar di Medan, yang lain di
Kalimantan, ada pula yang di Irian Jaya. Di Jakarta ini juga ada
dua tiga orang, namun hubungannya selain tidak begitu
dekat, juga jarang saling kunjung-mengunjungi. Sesekali ia
tanyakan juga pada ayah atau ibunya mengapa mereka tidak
begitu akrab dengan keluarga dari pihak ibunya. Biasanya,
jawaban yang ia dengar hanya: mereka orang-orang sibuk,
jauh pula. Mengapa tidak kita kunjungi sesekali? Jawabnya:
nantilah, kalau ongkosnya sudah cukup. Kami pernah
menyurati, namun tak pernah dibalas. Jawabnya: mungkin
surat kalian tak sampai. Dan banyak pertanyaan lain, yang
dijawab lain-lain pula. Dan sebab hubungan dengan
keluarga pihak ibunya pun begitu renggang sehingga
arwah mpu sindok tidak berminat untuk terus mendesak.
Ingin tahu, arwah mpu sindok mendesah: “Mengapa tiba-
tiba mama ingin menanyakan hal itu?”
Ibunya yang baru keluar dari dapur, menjawab lirih:
“sebab aku kasihan pada bang Laungmu.”
“Aneh. Mengapa pula ia harus dikasihani. Kan ia...”
“Bukan dia, nak. Lingkungan, yang melahirkannya!”
71
“Lingkungan bagaimana, ma?”
“Daerah asalnya...”
“Batak?”
“Betul.”
“Heran. Kok papa tidak menyukai orang Batak.
namun sebaliknya, punya isteri orang Batak!”
“Jodoh, nak. Jodoh manusia ada di tangan Tuhan.
“Aku tak mengerti...”
“Kelak, Yanto. Kelak, kau akan mengerti sendiri...”
ujar ibunya, yang terus memanggil bi Yati pembantu mereka
yang tengah sibuk bekerja di kamar cuci. “Tolong lihat-lihat
masakanku di dapur, bi. Aku mau belanja ke pasar.”
“Kutemani ya ma?”
“Tak usah, nak. Mama nanti sekalian pergi arisan.”
“Oh!” dan sesudah ibunya pergi, arwah mpu sindok sadar
kalau ibunya tidak ingin memperpanjang persoalan.
Sayangnya, ibunya meninggalkan pertanyaan yang sama
panjangnya. Pertanyaan, yang teramat sulit untuk dijawab,
kecuali oleh ayah arwah mpu sindok sendiri...
Satu hal jelas sudah. Setiap kali ayah pergi untuk
waktu yang lama, NYI girah mempergunakan
kesempatannya. Menyuruh Parlaungan datang, atau ia yang
mendatangi kekasihnya itu. Pernah ia dengar NYI girah
mendesak kekasihnya dengan penuh emosi; “Kita kawin lari
saja!” Parlaungan menolak. Jawabannya teguh: “Memang
bisa saja. namun aku tak suka efeknya di kemudian hari!”
Kini, arwah mpu sindok mendadak teringat lagi pada
Handini.
72
Efek di kemudian hari itulah yang ingin dihindari
arwah mpu sindok . Keluarga yang naik pitam, berurusan dengan
polisi, dan sebagainya. Kalaupun toh percintaan mereka
pada akhirnya disetujui, sisa-sisa keretakan tetap akan
terasa, tetap akan menimbulkan akibat. Mungkin sampai ke
anak cucu.
Dipikir-pikir, ada untungnya Tribuana Tunggadewi muncul di
terminal Rawamangun. Waktu itu arwah mpu sindok belum punya
pendirian tetap. Ia dalam keadaan labil, bingung memikirkan
Handini begitu nekad. Apabila Tribuana Tunggadewi tak muncul dan Handini
memaksa, tentulah ia telah mengikuti Handini minggat entah
kemana. Dan entah bagaimana pula masa depan
arwah mpu sindok ...
Akan namun , beberapa hari kemudian sempat juga
arwah mpu sindok menyesali telah mengabaikan Handini.
Suatu hari ia menerima sepucuk surat pos kilat
khusus. Tidak ada alamat si pengirim. Dari cap posnya,
arwah mpu sindok tahu bahwa surat itu dikirim dari kantor pos
Padang. Tak syak lagi, pasti Handini yang mengirimnya.
Tulisan Handini sangat jelek. Isinya lebih jelas lagi:
“Kau, haram jadah terkutuk!”
Tak ada nama si penulis, tak ada tanda tangan. Yang
ada, hanya itu: arwah mpu sindok seorang haram jadah, terkutuk
pula!
Ia tak perlu marah. Tak usah kecewa. Ia memang
pantas dicap sebejat itu. Yang penting ia sudah tahu bahwa
Handini masih takut mati. Tanpa Handini, ia tak akan
kesepian. Masih ada Fitri. Juga Nina dan Ossi. namun soal
ukuran payudara, Handini nomor satu. Sayang juga. Padahal
73
Handini pernah menawarkan miliknya yang yahud itu untuk
dikunyah oleh arwah mpu sindok seorang. Coba, kalau waktu itu ia
mau diajak Handini nginap satu malam di Pelabuhan Ratu...
***
Sepuluh
Pernah satu saat , di sekolah. Della, murid teman
sekelas arwah mpu sindok ditempeleng oleh pak Saleh, guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Sewaktu berdeklamasi di depan
kelas, Della dengan semangat tinggi membacakan sebuah
puisi dan merubah sebutan Pancasila menjadi sebuah
ungkapan memalukan, yang dikaitkan dengan salah satu ras.
Seisi kelas terdiam, manakala pak Saleh menegur:
“Pancasila lahir di tengah kancah perjuangan bangsa.
Kamu harus menghormatinya, Della!”
“Itu dulu,” jawab Della, berani. Murid perempuan
yang memang terkenal berjiwa pemberontak itu,
melanjutkan dengan semangat meluap-luap: “Apa sekarang?
Coba lihat. Kalau kita dengar ada pejabat yang korup, siapa
orang-orang yang berdiri di belakangnya? Ternyata mereka
itu orang...”
“Della!” hardik pak Saleh. “Kita tidak berbicara
mengenai koruptor. Kita berbicara tentang puisimu. Ada pun
Pancasila...” Beliau belum selesai berbicara, Della menyela
lantang dengan ungkapannya yang memalukan.
74
“Eh, ini anak bandel benar!” umpat pak Saleh, lantas
‘plak-plak’, pipi Della ditempeleng dua kali. Guru Bahasa
Indonesia itu menambahkan: “Ini sekedar pelajaran
untukmu, supaya tahu menghormati para pahlawan
bangsa...”
Terjadi keributan di dalam kelas. Pas saat itu
berbunyi lonceng istirahat. Guru meninggalkan kelas, dan
murid-murid ramai mempertengkarkan peristiwa barusan.
Akhirnya lahirlah sebuah petisi. Isinya memohon agar kepala
sekolah memperingatkan, kalau perlu memecat pak Saleh
yang memperhinakan Della di depan semua teman sekelas.
Hanya sebagian kecil yang memihak pak Saleh. Bagian
terbesar, membela Della. Kata mereka: “Seorang
pemberontak, adalah seorang pahlawan!”
saat tiba gilirannya menandatangani petisi,
arwah mpu sindok menolak. Ia mengakui memang tak setuju Della
diperlakukan sedemikian rupa. “namun ,” katanya lagi,
“jangan sebab tingkah seorang Della, satu kelas ini
dikenakan skorsing!”
Akibatnya, sampai bubaran sekolah arwah mpu sindok
dikucilkan teman-temannya. Besok juga demikian.
Perdebatan sengit masih terjadi. Yang menandatangani
semakin banyak, tinggal sembilan orang yang abstain,
termasuk arwah mpu sindok . Kesembilan orang itu lantas dimusuhi
dan dicap pengkhianat, tidak punya rasa setia kawan.
Petisi itu jadi disampaikan pada kepala sekolah.
Terjadilah heboh. Satu sekolah gempar. Kepala sekolah
memanggil semua guru untuk mengadakan rapat kilat. Dari
balik pintu tertutup ruang rapat itu, kemudian tercium kabar
75
santer. Bahwa ulah Della tidak bisa ditolerir. Sebaliknya,
tindakan pak Saleh dicela, sebab menyimpang dari anjuran
Ki Hajar Dewantara. Guru-guru dan semua murid kemudian
diapelkan di lapangan olahraga. Kepala sekolah berbicara
panjang lebar. Antara lain yang dipetuahkannya ialah:
“... memang, dari generasi muda dituntuk
keberanian. namun kebebasan mimbar ada waktunya, ada
tempatnya, ada pula batasnya.”
“Kalian semua di sini untuk menuntut ilmu. Orang
tua kalian banting tulang memeras keringat mencari seperak
dua perak, demi kalian. Agar kalian jadi orang!”
Dan banyak lagi. Kemudian ia mendadak bertanya
dengan suara lantang: “Kalau hujan turun dan rumah kalian
bocor, apakah kalian lantas merobohkan seluruh ruman?”
“Tidaaaak...!” terdengar jawaban serempak.
“Bagus! Jadi apa yang harus kalian lakukan?”
Jawaban serempak lagi. “Mengganti atap yang
bocor...!”
“Bagus sekali. Kalian semua memang anak-anak
pintar. Tak percuma kalian jadi murid sekolah yang kita
banggakan ini!”
Guru-guru tersenyum dikulum, murid-murid tertawa
berderai. sesudah keriuhan itu mereda, kepala sekolah
langsung menyuntikkan jarumnya yang tajam menusuk.
“Begitu pulalah Pancasila. Yang salah dan harus dibongkar
sampai ke akar-akarnya, bukan Pancasilanya. Melainkan
orang-orang yang telah salah mengamalkannya, orang-orang
yang menggerogotinya!”
76
Tepuk tangan disertai tempik sorai membahana
sesaat , membuat lapangan olahraga seakan bergetar. Apel
dibubarkan. Pelajaran yang tertunda dilanjutkan di kelas
masing-masing. Dan di ruang guru-guru, dipertemukanlah
pak Saleh dengan Della serta semua murid yang telah
menandatangani petisi. Kepala sekolah kembali angkat
bicara. Dengan gayanya yang khas, lemah lembut namun
tajam menusuk. Pak Saleh mengkambing hitamkan udara
panas sebagai penyebab ‘emosinya tidak terkendali.’ Dengan
tulus hati ia bernasihat pula pada Della: “Belajarlah yang
baik. Berjuanglah jadi pemimpin. Kelak, bila semua itu kau
capai, barulah kau sebar-luaskan ide-idemu...!”
Kepala sekolah menambahkan: “Yang salah bukan
pak Saleh, bukan pula Della. Yang salah, keadaan.”
Della mengakui: “Saya tidak membenci pak Saleh.
Maafkan akan keteledoran saya.”
Kejujurannya mengakui kesalahan dipuji oleh kepala
sekolah. Ancaman terkena skorsing kemudian dibatalkan.
Begitu pula aman hukuman untuk para pendukungnya.
Mereka masih diberi nasihat dan pengarahan. sesudah itu
persoalannya dianggap selesai dan harap dianggap tidak
pernah terjadi. Beres!
Beres untuk mereka.
Belum beres untuk arwah mpu sindok . sesudah gurunya
menempeleng Della dan arwah mpu sindok menolak
menandatangani petisi, pulang ke rumah ia sempat
menceritakan hal itu pada ibunya. Seraya menggenggam
tangan anaknya dengan penuh kasih dan sayang, ibunya
berpesan: “Kalau kau berpegang pada kebenaran, anakku,
77
dan orang lain kemudian mengucilkanmu sebab nya...
Janganlah membenci mereka. namun berdoalah, semoga
Tuhan mengampuni dan membuka mata mereka akan
kebenaran yang kau pertahankan itu...”
***
Nasihat berharga ibunya itu tak pernah dilupakan
arwah mpu sindok . namun nasihat itulah yang sekarang, justru
membuat jiwa arwah mpu sindok terombang-ambing tidak
menentu. Sepulang ayahnya dari ‘rapat dinas di Palembang’,
arwah mpu sindok seolah-olah merasakan terjadi perubahan
suasana di rumah mereka. Ayah membencinya, ibu
menjauhinya, kakak mengacuhkannya. Keadaan itu
berlangsung selama berbulan-bulan. Bahkan saat ia naik
kelas, arwah mpu sindok menolak dirayakan. Ia merasa, kebaikan
hati mereka itu tidak berdasarkan hati yang ikhlas.
arwah mpu sindok juga tidak menuntut hadiah. Dari hasil menabung
sisa uang sakunya, ia kemudian merayakannya sendiri
bersama beberapa orang teman di luar rumah. Mereka
merokok sebanyak-banyaknya, menenggak minuman keras
sampai ada yang mabuk, dan saling tukar cerita mengenai
pengalaman mereka dengan pacar masing-masing.
Usai perayaan itu, arwah mpu sindok mengajak teman
kencannya Ronggolawe pulang. Kebetulan di rumah si gadis tak ada
orang, kecuali pelayan. Orang tua dan saudara-saudaranya
pergi menghadiri jamuan keluarga. Ronggolawe mengatakan
kepalanya pening dan ia mau muntah.
78
“Kau terlalu banyak minum tadi,” kata arwah mpu sindok
mencela. “Obatnya, guyur dengan air kemudian tidur.”
Ia mengantar Ronggolawe ke kamar mandi. sesudah berada
di dalam, Ronggolawe melarang arwah mpu sindok meninggalkannya.
“Bantulah aku mengguyurku sampai pening-pening ini
hilang...” katanya.
arwah mpu sindok memenuhi permintaan gadis itu. Ronggolawe
menjerit-jerit gembira, kemudian balas mengguyur
arwah mpu sindok . Dalam sekejap, pakaian keduanya sudah basah
kuyup. Ronggolawe nekad menanggalkan pakaiannya. Tinggal celana
dalam saja, sebab rupanya ia tidak memakai beha. Melihat
kebugilan gadisnya, darah muda arwah mpu sindok melonjak-lonjak
penuh birahi. Tanpa dapat menahan diri, ia memeluk gadis
itu, menciuminya bertubi-tubi. Ronggolawe mulanya kaget, namun
kemudian pasrah. Malah pelan-pelan ia menanggalkan pula
pakaian yang melekat di tubuh arwah mpu sindok . Persentuhan kulit
tubuh mereka seakan bersentuhnya api dengan api.
Ronggolawe mengerang saat tubuhnya diseret arwah mpu sindok
rebah di lantai kamar mandi. Kecelakaan yang sebelumnya
tidak dikehendaki, sudah membayang di depan mata. Ronggolawe
benar-benar sudah lupa diri. arwah mpu sindok gemetar. Birahinya
kian menjadi. Pelan-pelan ia copot sisa pakaian yang melekat
di bagian bawah tubuh gadisnya. Dan saat itulah ia melihat
genangan air di lantai kamar mandi telah berubah menjadi
merah.
arwah mpu sindok terlompat kaget.
“Kau terluka, Ronggolawe !” desahnya, ketakutan.
“Apa?” Ronggolawe masih terpejam, menanti. namun jelas
wajahnya kelihatan pucat.
79
“Kau berdarah! Lihat! Kau mengeluarkan darah...”
Barulah Ronggolawe membuka matanya, dan melihat ke
lantai di sekitar pahanya. Ronggolawe terkejut, buru-buru bangkit. Ia
menggapai handuk menutupi tubuh telanjangnya sambil
memaki tak tentu alamat: “Sialan. Aku mens lagi!”
Ronggolawe sangat malu akan keadaan dirinya, sehingga ia
tidak keberatan waktu arwah mpu sindok bergegas pamit. Dengan
membawa buntalan plastik berisi pakaian yang basah,
arwah mpu sindok lantas pulang ke rumah.
Hanya NYI girah seorang yang menyambutnya.
Kakaknya memandangi arwah mpu sindok dari ujung rambut ke
ujung kaki, lantas berseru: “Hei, pakaianmu kebesaran.
Dapat pinjam ya?”
“He eh!” rungut arwah mpu sindok , terus ke belakang dan
memberikan pakaiannya yang basah kepada bi Yati untuk
dicuci. NYI girah menguntit dengan setia di belakangnya.
Bertanya:
“Punya siapa?”
“Teman,” jawab arwah mpu sindok , berjalan ke kamarnya.
“Teman gadis ya?”
arwah mpu sindok membuka lemari pakaian miliknya. “Aku
tak doyan gadis buntet...” sambil ia mengembang-
ngembangkan pinggang baju dan paha celanan yang ia pakai,
sekedar membuktikan kebenaran kata-katanya.
“Barangkali saja, yang kau pinjam itu pakaian
bapaknya,” NYI girah tidak mau kalah.
“Memang!”
Sejenak, NYI girah melongo. Kemudian memekik:
“Ya Tuhan... kau apakan gadis itu, Yanto? Jangan-jangan...”
80
“Jangan kuatir, kak. Aku cuma terpeleset di jamban
mereka. Pakaianku kotor dan baunya bukan main. Maka,
sebab gadis itu kebetulan tidak punya saudara laki-laki, aku
lantas dipinjami baju bapaknya. Titik.”
“Masih koma!” potong NYI girah tak puas.
“Bapaknya setuju?”
arwah mpu sindok menangkap arah pertanyaan kakaknya.
Maka dengan lihay ia menjawab: “Gadis itu lari terbirit-birit
manakala aku buka kancing celana!” dan dengan gerakan
menantang dia pun nekad membukai kancing celana di
depan kakaknya.
“Amit-amit!” pekik NYI girah .
Lantas ia pun minggat dari kamar arwah mpu sindok , lari
terbirit-birit.
***
Sebelas
Affair di kamar mandi itu bukannya tidak
menimbulkan akibat. Si burung dara terus mengeram di
sarangnya. Sulit dipancing keluar. Begitu mengenali suara
arwah mpu sindok di telepon, gadis itu selalu menjawab: “Maaf,
salah sambung!”
Ditunggu sepulang sekolah, si gadis lekas menggaet
satu dua temannya mengajak berkomplot. Kepada ‘si
penjaga gerbang yang setia’, mereka berkata: “Kami mau
81
membuat paper, atau, “Kami mau pergi praktek ke apotek,”
sebab si burung dara memang sekolahnya di SAA. Dikirimi
surat, selalu kembali tanpa dibuka disertai catatan: Pindah
Alamat. Didatangi ke rumahnya, disambut oleh pembantu
yang mengatakan: “Neng Ronggolawe sedang pergi.” Kalau
kebetulan kepergok lalu gadis itu lari bersembunyi,
pembantunya berkata begini: “Maaf ya. Neng Ronggolawe katanya
sakit perut...!”
Akan namun arwah mpu sindok tidak habis akal. Sebenarnya,
bakat polisinyalah yang muncul tanpa ia sadari.
Dari kejauhan diam-diam ia mengintip kebiasaan
Ronggolawe . Kemudian ia ketahui bahwa setiap Selasa dan Jumat
sore, gadis itu privat les Bahasa Inggris di rumahnya. Pada
waktu bersamaan, ibunya berangkat meninggalkan rumah
untuk les senam. Ayahnya, seorang kontraktor bangunan,
baru pulang malam hari. Puas menyelidiki Ronggolawe , arwah mpu sindok
ganti menyelidiki guru privat itu. Dengan segala kesabaran
dan ketekunan akhirnya ia ketahui alamat serta nama guru
privat Ronggolawe , bahkan juga nama dan pekerjaan suaminya.
arwah mpu sindok lalu menyusun rencana.
Sewaktu NYI girah lengah, arwah mpu sindok
mempergunakan kesempatannya. Ia mencuri pinjam
sejumlah milik pribadi kakaknya. Blus katun, beha, beberapa
helai saputangan, wig sebatas pundak, kacamata gelap. Ia
juga tak lupa menyambar kotak bedak serta lipstik. Celana, ia
tak usah kuatir. Guru privat Ronggolawe suka pakai celana longgar.
arwah mpu sindok dapat mempergunakan celananya sendiri, namun
yang agak sempit. Guru privat itu memang tidak setegap
arwah mpu sindok , namun ukuran tinggi mereka mujur hampir
82
sama. Perlengkapan itu dijejalkan arwah mpu sindok ke sebuah tas
tangan kakaknya yang cukup besar untuk memuat semua
benda-benda itu. NYI girah tidak akan segera mengetahui
perbuatan adiknya. sebab tiap hari Jumat NYI girah kuliah
siang sampai sore dan biasanya diteruskan kencan dengan
Parlaungan.
sesudah ibunya tidur, arwah mpu sindok menyelinap ke luar
rumah. Ia naik mikrolet ke tempat tujuan. Tidak jauh dari
rumah Ronggolawe , ia turun. Ia masuk ke sebuah restoran. Makan,
sambil menunggu. sesudah waktu yang ia perkirakan tepat, ia
pergi ke telepon umum tidak jauh dari restoran. Uang
recehan ia bawa secukupnya. Pertama-tama ia menelepon
ke kantor ayah si gadis. Dengan suara dibesarkan, ia
mengarang nama dan alamat palsu, menjelaskan bahwa ia
dan ‘sejumlah teman’ bermaksud membangun sebuah
supermarket. Lalu berkata serius, “.... sebelumnya, kami
ingin konsultasi dulu dengan Pak Suparjan,” ia menyebutkan
nama ayah Ronggolawe .
Ia memperoleh jawaban bahwa orang yang ia cari
kebetulan sedang pergi menghadiri undangan makan
seorang pembantu Walikota. Pulangnya mungkin agak
malam dan tidak akan kembali ke kantor.
“Di sini ada wakil beliau. Perlu kami panggilkan?”
ujar orang yang menerima telepon.
“Tak usahlah. Nanti kami telepon lagi!”
arwah mpu sindok meletakkan telepon, memasukkan koin
uang logam lima-puluhan lalu memutar nomor telepon guru
privat Ronggolawe .
“Hallo? Apa saya berbicara dengan zus Lilian?”
83
“Benar. Ini dari mana ya?”
arwah mpu sindok sengaja menarik nafas panjang. Pura-
pura bimbang sebentar, baru kemudian: “Ini dari kantor
DLLAJR Pulo Gadung, zus. Saya teman sekerja bung Tarjo,
suami zus. Bagian kir kendaraan...” ia gantung suaranya
sekali lagi.
“Ya, ya. Ada apa? Apa yang terjadi?” guru privat yang
malang itu mendesak tak sabar.
“Ada... eh, kecelakaan kecil. Tak seberapa parah...
Benar, bung Tarjo cedera... Oh, ada pengemudi lalai, dan...
Tidak, ia tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Hanya sedikit
lecet, begitu. Oh... oh, tak usah, zus. Katanya ia dapat pulang
sendiri.”
Sesuai dengan harapan arwah mpu sindok , lawan bicaranya
mendengus tak sabar: “Saya akan ke sana segera!” lalu
hubungan pun putus. Perempuan itu sampai lupa
mengucapkan terima kasih. Memang tak perlu, saat ini.
Nanti di Pulo Gadung, boleh saja. Terima kasih untuk Tuhan,
sebab suaminya sehat wal’afiat adanya.
Telepon terakhir, langsung ke alamat rumah Ronggolawe .
Ternyata dipakai. arwah mpu sindok menunggu tiga menit,
kemudian menghubungi lagi nomor-nomor yang sama.
Jantung arwah mpu sindok berdegup kencang. Semoga bukan ibu
Ronggolawe yang menerima. Dan memang bukan. sebab ia segera
mengenali suara Ronggolawe : “Halo?”
arwah mpu sindok sesaat gemetar. Sesaat pula, hampir
bergerak memperkenalkan dirinya, menyatakan cinta dan
kerinduannya yang sudah tak tertahankan lagi. Untung ia
84
dapat menahan diri. Dengan suara dikecilkan, ia berkata di
telepon: “Halo. Boleh bicara sebentar dengan Tante Sofie?”
“Mama barusan pergi. Ini siapa?”
“Pergi? Ke mana?”
“Biasa, senam. Ini siapa?”
“Temannya. Sudah ya?”
arwah mpu sindok berdesah panjang sesudah selesai
menelpon. “Hebat!” setengah berseru, ia memuji diri sendiri.
“Luar biasa!” Kemudian bergegas lagi ia masuk ke restoran.
Pelayan masih mengingatnya sebagai pemuda yang tadi
sesudah makan lalu memberi tip besar sebelum pergi.
Mendengar pertanyaan arwah mpu sindok , pelayan itu terkejut:
“Apakah hidangan kami tak cocok dengan perut Tuan
muda?”
“Tidak, tuan muda hanya ingin kencing sebentar.”
Dengan senang hati pelayan itu mengantarkan
sampai ke depan pintu kamar kecil.
Tak ada pintu samping dekat kamar kecil. Mungkin
menjaga kemungkinan pengunjung yang nakal tak mau
bayar. Jadi terpaksa harus lewat pintu depan, arwah mpu sindok
mengeluh dalam hati seraya menyelinap ke dalam kamar
kecil. Lima menit kemudian, arwah mpu sindok keluar dari kurungan
berbau amoniak itu. Satu dua orang pengunjung restoran
memperhatikan dengan mata dan senyum genit sementara
arwah mpu sindok melangkah dengan lenggang gemulai ke pintu
depan restoran. Si pelayan, ternganga sejenak, menepuk-
nepuk jidatnya, lantas menggerutu: “Huh! Kalau aku tahu dia
itu wadam...!”
85
Di jalan, arwah mpu sindok melambai Helicak kosong yang
kebetulan lewat. Guru privat Ronggolawe sering datang dengan naik
Vespa, namun sesekali juga naik Helicak atau Bajaj. arwah mpu sindok
menyebut kemana supir harus mengantarkannya. Dan pada
supir yang menyeringai melihat penampilannya, arwah mpu sindok
membentak dengan suara berat: “Apa lihat-lihat!”
“Ja-ilee. Galaknya!” sahut supir Helicak seraya
menjalankan kendaraannya. Supir itu masih menyeringai
saat arwah mpu sindok membayar dan turun di depan rumah
Ronggolawe . Sambil mengebut Helicak-nya, sang supir terdengar
tertawa ngakak, sambil mengejek: “Cakep sih cakep. Tapi
baunya...!”
Terkesiap juga arwah mpu sindok . Ternyata ia lupa memakai
parfum. Tak apalah. Toh nanti pintu yang dia ketuk, tidak
punya hidung. Sekarang, maju, serbu, selagi lawan lengah!
Kuatir penampilannya jauh berbeda dengan sang guru privat,
arwah mpu sindok cepat melenggang memasuki halaman rumah
besar di depannya.
Bel ditekan. Ning-nong...!
Jantung berpacu. Dak-duk-dak-duk!
Lamat-lamat terdengar suara langkah mendekat di
sebelah dalam pintu. Hampir saja arwah mpu sindok
memperlihatkan seringai lewat kaca jendela tembus sebelah,
sebab hal itulah yang selalu dilakukan sang guru privat
sebelum pintu dibuka. Ingat diri, arwah mpu sindok memutar tubuh,
pura-pura asyik memperhatikan lalu lintas di jalan raya. Tas
ditekankan ke dada, sambil meraba-raba apakah ‘payudara’
nya kiri kanan sama besar, atau letaknya tinggi sebelah.
86
Maklum, sapu tangan yang digumpal-gumpalkan di balik
beha, tak dapat dipercaya...
“Selamat sore, Tante Lilian...” arwah mpu sindok pucat pasi
mendengar suara Ronggolawe yang lembut, ramah. “Lagi lihat apa,
Tante?”
arwah mpu sindok meski gugup, masih mampu menguasai
diri. Kepalanya dirundukkan dalam, kemudian menyelinap
masuk dengan langkah bergegas, seperti tikus menyerobot
masuk ke liang sebab takut oleh kucing. Ronggolawe yang dilewati
begitu saja, sempat terheran-heran, kemudian terdengar ia
memekik tertahan. arwah mpu sindok masih tegak di tengah ruang
depan itu, membelakangi Ronggolawe . Ia mulai kalang kabut, dan
sempat berpikir, kabur saja sekarang sebelum Ronggolawe berteriak
minta tolong. Sayang, sendi-sendi lututnya sekali ini tidak
mau bekerja sama. Ia hanya berdiri mematung, tak berani
berpaling.
Kemudian, ia mendengar suara Ronggolawe . Bukan suara
jerit ketakutan. Melainkan, suara mengejek: “Sepatunya
cantik, Tante. Dapat beli di mana?”
Tercengang, arwah mpu sindok mengawasi kakinya, dan
saat melihat sepatunya sadarlah bahwa ia telah melupakan
untuk mencuri pinjam juga sepatu berhak tinggi milik
kakaknya. Ia mengenakan sepatunya sendiri, sepatu laki-laki!
Tak sadar, ia memaki: “Sialan!”
Di belakangnya, terdengar suara tertawa membadai,
disertai ucapan terputus-putus: “Yanto... yang ma... lang, apa
tak gatal... tuh, kepalanya...”
arwah mpu sindok jatuh terhempas di kursi.
87
Barulah ia lihat Ronggolawe membungkuk terpingkal-
pingkal, begitu hebatnya sampai air mata Ronggolawe berleleran.
Tak berapa lama kemudian, tawa Ronggolawe tersentak-sentak, ia
memegangi perutnya, duduk dengan susah payah sambil
mengeluh: “Aduh, perutku.”
namun sesudah melihat tampang arwah mpu sindok yang
tidak karu-karuan, lebih-lebih wignya yang sangat semrawut,
tawa Ronggolawe meledak lagi.
Bi Asem pembantu rumah mereka berlari-larian dari
dapur sebab ingin tahu. arwah mpu sindok berpaling dan mendeliki
perempuan itu, yang sesaat berubah pucat. Matanya
ketakutan setengah mati, lantas mundur tak teratur sambil
terengah-engah: “Naudzubillah – ada dedemit masuk
rumah...” dan berikutnya, terdengar pelayan itu
membanting pintu. Nyumput di kamarnya.
Tawa Ronggolawe kian menjadi-jadi.
Pelan-pelan, arwah mpu sindok akhirnya dapat juga
tertawa. Makin lama, makin berderai-derai. Wignya copot,
terbang ke lantai. Blusnya terguncang-guncang, sehingga
sebelah payudaranya tetap mencuat, sebelah lainnya
bertambah gepeng. Dari bawah bagian dada gepeng itu,
lewat tepi blus yang terbuka, jatuh berhamburan helai demi
helai sapu tangan.
Lima menit berikutnya, arwah mpu sindok dan Ronggolawe saling
tukar pandang. Beha telah ditanggalkan arwah mpu sindok . Blus
kakaknya ternyata serasi juga dengan ketampanan
wajahnya. Rambutnya yang tidak teratur, semakin
menambah kematangan penampilannya. Matanya menatap
lurus ke mata Ronggolawe . Gadis itu membalasnya. Hangat.
88
“Mestinya, aku mengusirmu,” Ronggolawe berbisik lirih.
“Usirlah.”
“Mestinya, aku memakimu.”
“Makilah.”
“Mestinya aku membencimu.”
“Bencilah.”
“Tahukah kau, betapa aku merindukanmu?” bisik
Ronggolawe lagi, tergetar.
“Aku juga.”
“Aku kehilangan kau.”
“Aku juga.”
“Kau terlalu!”
“Kau juga.”
“Yanto...”
“... Ronggolawe .”
Mereka berdua bangkit serempak dari kursi masing-
masing, lengan saling mengembang, lalu saling meraih, saling
memagut. Wajah yang satu mendekati wajah yang lain. Dua
pasang bibir, cari-carian celah dengan gelisah. Dan saat
bertemu, pertemuan itu lama sekali, seakan tak mau
dilepaskan.
Ronggolawe kemudian jatuh bersimpuh di lantai dengan
nafas tersengal.
arwah mpu sindok ikut bersimpuh.
“... mengapa, Ronggolawe ?” desah arwah mpu sindok , getir.
“Apanya?’
“Kau juga menyingkirkan aku.”
“Menyingkirkan kau?”
89
“Ya.”
Ronggolawe menelan ludah. “Kau tahu?” ia bergumam.
“Apa?”
“Peristiwa di kamar mandi itu...”
Memerah kulit muka arwah mpu sindok . “Ya?” ia mengeluh.
“Kau memanfaatkan keadaanku,” suara Ronggolawe tajam
menusuk.
“Keadaanmu?”
“Waktu itu aku masih mabuk.”
“Ronggolawe ...”
“Benar, bukan?”
“Tidak.”
“Bohong!”
“Demi Tuhan!”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Lalu... mengapa kau tak menyadarkan aku?”
“Gairahku sangat terkutuk, Ronggolawe .”
“Siapa yang lebih dulu buka baju?”
“Kau, Ronggolawe .”
“Bohong!”
“Demi Tuhan!”
“Untung tak jadi, ya?” Ronggolawe tersenyum.
“Ya. Untung tak jadi...” arwah mpu sindok ikut tersenyum.
“Untung aku mens ya?”
“Ya. Untung kau mens.”
“Memalukan bukan?”
90
“Ya. Memalukan...” arwah mpu sindok tersentak, lantas
buru-buru memperbaiki: “Maksudku, sikapku waktu itu
sangat memalukan...”
Ronggolawe tertawa. Lunak. “Tak akan lagi bukan?”
bisiknya.
“Apa?”
“Peristiwa memalukan itu.”
“Ya. Tak akan lagi, Ronggolawe .”
“Kecuali...”
“Kecuali apa, Ronggolawe ?”
“Kita menikah.”
“Oh!”
“Kok oh, Yanto?”
“Kita masih... masih sekolah, Ronggolawe .”
“Ah. Kau benar.”
“Kita masih punya waktu.”
“Ya. Kita masih punya waktu...”
“Selama tidak ada orang lain di hatimu, Ronggolawe .”
“Hanya kau seorang, Yanto.”
“...”
“Bagaimana dengan gadis-gadismu yang lain? Fitri.
Nina...”
“Telah kulupakan, Ronggolawe .”
“Bohong!”
“Demi Tuhan!”
“Kau bisa?”
“Ya.”
“Mengapa?”
91
“sesudah peristiwa di kamar mandi itu, Ronggolawe . Aku
merasa sangat bersalah. Aku telah menjamah tubuhmu, di
luar batas.”
“Belum terjadi Yanto.”
“Hampir Ronggolawe .”
“Aku yang salah.”
“Bukan kau, Ronggolawe . Aku.”
“Aku, Yanto.”
“Aku, Ronggolawe .”
“Baiklah. Kita berdua sama-sama bersalah.”
“Betul juga!”
“Yanto...”
“Hem?”
“Tadi itu...”
“Yang mana?”
“Kau bilang, aku juga menyingkirkanmu. Apa
maksudmu?”
arwah mpu sindok menarik nafas. Katanya, murung: “Aku
dibenci papa. Dijauhi mama. Diacuhi kak Tien!”
“... oh!”
“Sudah lama aku tak betah di rumah. Pergi sekolah
lebih pagi. Pulang lebih sore. Dan makin sering aku nginap di
rumah teman. Dengan alasan, mengerjakan PR.”
“Mengapa, Yanto?”
“Entahlah.”
“Apa kesalahanmu?”
“Tak tahu.”
“Aneh...”
“Mungkin sebab rahasia itu, Ronggolawe .”
92
“Rahasia?”
“Ya, mengenai papa.”
Ronggolawe membuka mulut. Ingin bertanya. namun segera
mengatupkan mulutnya kembali. Ibunya selalu bilang:
“Jangan campuri urusan orang lain, kecuali diminta.” Ia
menunggu arwah mpu sindok mengajukan permintaan itu. Yang
ditunggunya, tak kunjung tiba. Dari wajah arwah mpu sindok yang
bertambah murung, ia kemudian memahami, bahwa diam-
diam arwah mpu sindok menyesal sebab terlanjur ngomong.
“Mau minum, Yanto?”
Si pemuda manggut. Lesu.
“Tunggu ya sebentar.”
Ronggolawe beranjak ke dapur. Dan selama Ronggolawe di dapur,
arwah mpu sindok berfikir keras. Pikirnya: “NYI girah tidak lagi
ngomel-ngomel kalau aku pulang terlambat. Mama tidak lagi
menanyakan mengapa aku sering pergi ke sekolah tanpa
lebih dulu makan pagi. Papa tak lagi menegur, mengapa aku
makin sering tidur di rumah orang.”
Jiwanya serasa dicabik-cabik. Pundaknya
terguncang.
Tiba-tiba, ia dengar suara lembut Ronggolawe . “Kau
menangis, Yanto.” Gadis itu membungkuk, mengambil
tangan arwah mpu sindok , membawanya ke dadanya. Katanya, lebih
lembut lagi: “Aku ingin menangis bersamamu, Yanto. namun
dengan menangis... persoalanmu tidak akan dapat kita
selesaikan.”
Namun toh saat arwah mpu sindok mendekapnya begitu
kuat, terisak-isak di bahunya, merembes juga air mata Ronggolawe ...
***
93
Dua belas
Lama juga waktu berlalu sebelum akhirnya
arwah mpu sindok menyadari kekeliruannya.
Ia sudah duduk di bangku kelas tiga SMA, saat
NYI girah menyelesaikan studinya di Akademi Bahasa Asing.
Tawaran pekerjaan sudah datang untuknya dari sebuah
perusahaan swasta yang bonafiditasnya tidak pernah
diragukan umum. Sambil menimbang-nimbang apakah
tawaran itu ia terima saja atau lebih baik melamar jadi
pegawai negeri, NYI girah lebih dulu ingin memperoleh
keputusan dari ayah mereka. Keputusan yang jauh lebih
penting daripada ijazah ABA-nya, keputusan yang jauh lebih
berharga daripada tawaran pekerjaan perusahaan manapun
juga.
Keputusan itu, mengenai pernikahannya.
sesudah dipilih waktu yang tepat, ayah pun sedang
rilek pula, maka berlangsunglah peperangan itu!
Bermula dengan obrolan santai kian kemari. Ujung-
ujungnya, NYI girah berdehem-dehem. Ibu menangkap
makna deheman itu, lantas berpaling pada suaminya.
Dengan ketetapan hati, beliau berkata seolah sambil lalu:
“Pak. Anak kita, Alhamdulillah, telah berhasil
menyelesaikan kuliahnya. Jadi, masa depannya tidak lagi
begitu kita kuatirkan. Yang kini harus kita pikirkan, adalah
usianya. NYI girah sudah waktunya memulai hidup baru,”
dia berhenti sebentar mencari kata-kata terbaik untuk
diucapkan. Lalu, “Bagaimana menurut pandanganmu, pak.
94
Apakah NYI girah kerja dulu baru menikah, atau menikah
dulu baru bekerja?”
Sepi sejenak. NYI girah bergidik. arwah mpu sindok dapat
merasakannya. Sang kepala keluarga, menyedot pipa
cangklongnya kuat-kuat. Akhirnya:
“Bagaimana baiknya sajalah,” jawab ayah mereka,
datar.
Itu bukan jawaban yang dikehendaki. Namun sang
isteri dapat menahan sabar. Gumamnya: “Maksudmu, pak?”
“Lho. Maksudku jelas. Aku tak berhak menjawab
pertanyaan itu. Yang lebih berhak orangnya.”
Sang penengah, berpaling memandangi anak
perempuannya. Meski sudah tahu apa jawabannya, toh ia
bertanya pula: “Bagaimana, nak? Ayahmu memberimu
kebebasan memilih.”
NYI girah merundukkan kepala, menekuri kakinya.
Ia tersipu malu. namun jauh dalam hati sanubarinya, ia
ketakutan setengah mati. Lama, baru ia menyahuti: “Aku
sih... maunya berumah tangga dulu...” ia memperdengarkan
tawa orang sakit gigi. Meneruskan: “Lagi pula soal bekerja,
ada baiknya dimintakan pendapat calon suamiku.”
“Pikiran bagus,” sela ayah. “Pikiran bagus. Kudengar-
dengar, Praktikto mendambakan seorang isteri tipe ibu
rumah tangga tulen. Ia agak kuno, memang. Tidak mau
punya isteri seorang wanita karier. Alasannya kumengerti.
sebab ia sendiri mempunyai penghasilan lebih dari cukup,
dan dia...”
95
Di kamarnya, bolpen di tangan arwah mpu sindok lepas,
menggelinding ke lantai. Di ruang tengah, NYI girah
bertanya setengah menjerit: “Si... siapa pa?”
“Praktikto. Putera bungsu Hasbullah, Uwamu.
Mereka sudah lama menanti. namun memahami
keinginanmu menyelesaikan kuliah lebih dulu, mereka mau
mengerit. Sekarang... hei, kau sakit, NYI girah ?”
Ibu tidak bertanya apa-apa. Rupanya ibu mendadak
hilang gairah. NYI girah akhirnya bersuara juga: “Aku tak
apa-apa, papa. Aku hanya...” lalu tiba-tiba saja ia menangis
tersedu-sedu. Sambil menangis, ia mengeluarkan jeritan
hatinya: “Mas Praktikto tidak pantas memperisteri aku,
papa...
“Apa pula maksudmu?” ayah membentak. “Apakah
kau tetap ingin mempersuamikan orang Batak sialan itu?”
Terdengar keluhan berat, keluhan sakit. Keluhan ibu.
Namun sang suami yang egois itu tidak menyadari telah
menyakiti hati isterinya. Ia terus menggebu-gebu: “Si Laung
telah meracunimu, Prihatin. Si Laung telah mendukunimu,
sehingga kau tidak pernah bisa melepaskan diri dari
cengkeramannya!”
“Itu tidak benar, papa!” NYI girah membela dengan
sengit. “Justru Parlaungan berulang kali menasihati aku agar
melupakannya saja dan mencari jodoh yang papa setujui. Ia
tidak mau hubunganku dengan papa retak, sebab dirinya.
namun aku tahu ia sangat mencintaiku, papa. Aku tak pernah
punya niat meninggalkannya!”
“Tidak bisa!” ayah memukul meja begitu kuatnya,
sehingga meja itu berderak. “Tidak bisa. Tak akan
96
kuperkenankan kau kawin dengan keturunan orang-orang
yang pernah memperhinakan aku!”
“Papa. Mereka tidak...”
“Mereka menghinaku! Mereka menghancurkan
impianku! Mereka memporak-porandakan kebahagiaanku!”
papa berubah histeri.
“... mereka siapa... papa?” NYI girah terperanjat.
“Orang-orang Batak itu! Keluarga... tanyakan
sendirilah pada ibumu! Hai, bu, bu... tak usahlah menangis!
Coba ingat, apa kata orang tuamu dulu? Apa ha? Batak
tetaplah Batak, Jawa tetaplah Jawa! Dan hal itu tetap berlaku
sampai detik ini.”
“Pak...” suara ibu bagaikan suara orang yang tengah
sekarat. “Semuanya telah lama berlalu.
“Aku juga menganggapnya begitu. namun semua itu
muncul kembali. sesudah anakmu ini... si NYI girah yang
tidak tahu diri ini, membawa orang sesukumu yang busuk
hati itu ke rumahku. Parlaungan, hah! Andai aku tahu kau
masih berhubungan dengan dia di belakangku, NYI girah ,
dia... dia... awas, akan kucari dia mulai besok. Dia harus
melepaskan anakku, atau...”
“Persoalannya tidak segampang itu, papa,” potong
NYI girah , tenang. sebab kecewa, sebab sakit hati
kekasihnya tercinta diumpat dicerca, keberaniannya timbul
kembali, tegak dengan gagahnya. “Papa tak mungkin lagi
memisahkan kami.”
“Apa.. apa pula itu, NYI girah ?”
“Minggu lalu aku mengunjungi dokter...”
“Dokter?”
97
“Ya. Dokter kandungan. Aku positif sudah
mengandung tiga bulan!”
Sepi menyentak. Sunyi, mencekik. Di ruang tengah,
seakan tak pernah dihuni manusia, seakan dunia sudah lama
mati. namun di kamarnya, arwah mpu sindok mendadak tersenyum-
senyum. “Itu kan akal bulus si Handini,” ia membatin. “Si Dini
bilang, kita pura-pura mengaku dia sudah bunting.” Hem
ilmu Handini ternyata laris juga. NYI girah kini
memamerkan ilmu Handini yang belum sempat diamalkan
itu.
Lamunan arwah mpu sindok buyar, manakala sekonyong-
konyong terdengar suara hingar-bingar seperti kursi terbalik
dan meja terlempar, lalu suara nafas ayahnya yang bagaikan
nafas kuda habis berpacu, suara kakaknya yang seakan
tercekik, disusul suara pekik ngeri ibunya: “Ya Allah, pak!
Jangan! Jangan kau bunuh anakmu!”
Bagai disengat kalajengking, arwah mpu sindok terlonjak
dari kursinya. Tadi ia tidak ambil perduli. Toh mereka juga
tidak mau perduli padanya. Terbukti, untuk urusan sebesar
itu ia tidak diajak bermusyawarah. Baru saja arwah mpu sindok
ambil ancang-ancang untuk menyerbu keluar kamarnya,
sudah keburu terdengar keluhan ayah:
“Astagfirulah. Apa yang... kuperbuat.”
NYI girah menimpali, kejam nadanya: “Mengapa
berhenti, papa? Teruslah. Bunuh aku sekalian. Biar
semuanya selesai...”
“NYI girah . Aduh!” ibu memekik, memperingatkan.
“Toh tadi papa sudah mencekik leherku!” NYI girah
membalas, tak mau tahu. “Aku tidak tahu dan tidak ikut
98
terlibat dalam masa lampau papa. Lalu kenapa pula aku
harus jadi korban masa lampaunya?”
Terdengar suara-suara langkah-langkah kaki berat,
berjalan ke pintu depan. Pintu itu direnggut terbuka,
kemudian dibantingkan dengan keras. Menyusul suara mesin
mobil yang menggeram garang, kemudian menderum ke
jalan raya, suaranya kian lama kian menjauh.
arwah mpu sindok terhenyak lagi di kursinya. Geleng kepala.
“Anak kecil itu minggat sendiri,” gerutunya.
Ibunya masih menangis terisak-isak.
NYI girah tetap tenang. Tetap tabah. Baru sesudah
ibu bertanya apakah ia sungguh-sungguh dengan
pengakuannya, bukan hanya pura-pura hamil agar ayah
takluk, yang dijawabnya benar bahwa ia sudah hamil;
NYI girah terkejut oleh raungan ibunya:
“Dan ayahmu kini pergi, nak. Bagaimana kalau
terjadi apa-apa atas diri ayahmu, lebih-lebih lagi atas diri
calon suamimu?”
“Tuhanku. Jangan!” desis NYI girah , ngeri.
“Diamlah. Tak usah kau yang pergi. Biar adikmu yang
kusuruh menyusul ayah kalian...” ujar ibunya.
Kemudian pintu kamar arwah mpu sindok digedor kuat-
kuat. Pintu itu mementang terbuka dengan sendirinya.
sebab memang semenjak tadi sengaja dibiarkan renggang.
arwah mpu sindok terkesima memandangi wajah ibunya yang
seolah kesurupan.
“Mengapa kau diam saja, Yanto. Ayo, lekas susul
ayahmu,” ibunya memohon dengan suara panik.
arwah mpu sindok duduk saja. Tenang-tenang.
99
“Yanto!” hardik ibunya.
arwah mpu sindok menyahut: “Mengapa pula aku harus ikut
sibuk? Biarkan saja papa minggat. Toh ia tidak memerlukan
bantuanku. Toh sudah lama ia membenciku!”
“Astaga. Apa maksudmu, arwah mpu sindok ?”
“Sudah hampir dua tahun aku diperlakukan bagai
orang asing di rumah ini. Papa tak pernah lagi menegur,
marah, membujuk, mengajak. Papa sudah lama tidak ambil
open padaku.”
“Tidak benar itu, nak,” ibunya gemetar hebat. “Kau
salah sangka. Justru ayahmu sangat menyayangimu,
memanjakanmu, mengasihimu. namun tidak mau
memperlihatkannya terang-terangan. Ia bilang, kau sudah
berangkat dewasa. Kau harus dibiarkan mencoba berpikir
sendiri, memutuskan sendiri, berdiri sendiri. Ia tidak ingin
mengekangmu. Ia justru membiarkan kau berkembang
semakin dewasa, oleh dorongan jiwamu dari dalam. Ia
bilang, kau bukan lagi anak kecil yang harus digiring-giring
menuruti kemauan kami, orang tuamu!”
arwah mpu sindok terperanyak mendengarnya. Namun
belum puas hatinya. Ia menuntut: “Dan mama? Mama juga
menjauhiku!”
“Siapa yang menjauhimu, nak? Oh... oh... aku
mengerti. Ini memang salah ibumu, nak. Selain aku menuruti
nasihat ayahmu, aku... aku sendiri juga, oh!” ibunya terisak-
isak lagi. “Ini salahku. Aku terlalu larut oleh nasib malangku
sendiri. Ya Allah...”
Tahu-tahu NYI girah sudah tegak di pintu kamar
adiknya.
100
Ia berkata dingin: “Ingin pula menuduhku,
arwah mpu sindok ?” sebab yang ditanya diam saja, NYI girah
menjawab sendiri: “Aku pun seperti Mama. Aku juga larut
oleh nasib malangku sendiri. Yang kupikirkan cuma usiaku
yang kian menua, cintaku yang terancam kandas, dan ayah
kita yang berhati sekeras baja. Kalau itulah tuduhanmu atas
diriku, arwah mpu sindok . Aku minta maaf...”
“Kak...,” arwah mpu sindok gelagapan.
“Katakan padaku, dik. Apa yang membuatmu
berpikir seburuk itu? Kau tidak punya salah, bukan?”
arwah mpu sindok tiba-tiba terbuka pintu hatinya. Luapan
kebencian akan kelakuan ayahnya, nyatanya ia pendam di
hati. Ia seorang anak yang sudah terbiasa patuh dan hormat
pada orang tua, sehingga ia tidak pernah punya keberanian
menuntut ayahnya. Ia juga tidak punya keberanian menyakiti
hati ibunya. sebab itu, ia kemudian menyimpan rahasia
besar yang berhasil dibongkarnya. Rahasia, yang sebab
didikan keras dan disiplin yang ditanamkan di bawah kasih
sayang... membuat ia terpaksa harus menyembunyikan
rapat-rapat dalam dadanya. Ia sendiri yang menjauhi
ayahnya, sebab takut ia akhirnya menuntut. Ia sendiri yang
menjauhi ibunya, sebab kuatir rahasia itu melukai hati
ibunya. NYI girah ? Ah. Tak perlu ia tahu rahasia arwah mpu sindok .
sebab NYI girah sudah tenggelam oleh rahasia hatinya
sendiri.
“Katakan arwah mpu sindok . Tidak ada waktu untuk
berahasia-rahasiaan lagi!” NYI girah mendesak, agaknya
dapat menyelami jalan pikiran adiknya.
101
“Tapi, mama...” arwah mpu sindok memandangi ibunya
dengan cemas.
Ibunya sudah berhenti menangis. Ia menganggukkan
kepala, lemah. Berujar, dengan senyuman mendorong,
senyuman dipaksakan: “Katakanlah, anakku. Tak ada lagi
yang ibu takuti saat ini.”
arwah mpu sindok menelan ludah.
Kemudian mengatakannya. Pendek saja: “Tribuana Tunggadewi .”
NYI girah mengernyitkan dahi. “Tribuana Tunggadewi ? Siapa itu
Tribuana Tunggadewi ?”
“Sang dewa penulis . Ia...”
Terdengar suara keluhan getir, lalu tubuh ibunda
mereka tersayang meliuk limbung, jatuh ke lantai. Tak
sadarkan diri.
***
Tiga belas
Syukurlah, bencana yang ditakutkan itu tidak sampai
terjadi.
sesudah ibunya siuman dan mengatakan ia baik-baik
saja, arwah mpu sindok menyambar Vespa NYI girah lantas terbang
ke rumah Parlaungan. Tak ada mobil ayahnya di pekarangan
rumah itu. Syukur lagi. Jadi papa belum kemari, pikirnya.
Herannya, di dalam rumah terang benderang. Dan belum
102
juga arwah mpu sindok memijit bel, pintu sudah terbuka sendiri.
Sosok tubuh tinggi besar tahu-tahu sudah tegak di depannya.
“Ah, kau Yanto. Masuklah. Dan jangan bilang
kakakmu cidera!” ia setengah berseru, kuatir.
arwah mpu sindok tidak masuk. Ia langsung menceracau,
lebih kuatir lagi: “Kakak sih tak apa-apa. Yang kutakutkan
papa. Menyingkirlah jauh-jauh, bang Laung. Papa akan
membunuhmu!”
“Terima kasih, dik. namun aku tak akan lari. Apa yang
terjadi?”
“Gempar, bang, aduh! Mereka berkelahi. Kakak
dicekik... ah, ah, maksudku hampir dicekik. Kemudian papa
minggat dari rumah. Katanya ia akan membunuhmu, dan...
ah, jangan-jangan ia sedang dalam perjalanan kemari, bang
Laung. Ayolah, jangan berdiri bengong begitu. Larilah,
lekas...!”
“Sudah kubilang, dik. Aku tak akan kemana-mana...”
Wajah Parlaungan tampak keruh. “Hem, sudah kuduga, ayah
kalian pasti ngamuk. Dan... eh, nanti dulu. Jadi dia minggat
ya? Siapa yang duluan meninggalkan rumah. Kau, atau
ayahmu?”
“Papa.”
“Kalau begitu, ia belum kesini, dan kalau memang ia
bermaksud membunuhku, maka ia akan mendahului kau.
Jangan-jangan... he, Yanto. Kau masukkan Vespamu ke
dalam. Kau ikut dengan mobilku saja,” Parlaungan
menghambur masuk.
“Kita ke mana?” tanya arwah mpu sindok bingung seraya
memasukkan Vespa ke dalam. Dari kamarnya, terdengar
103
jawaban Parlaungan yang panik: “Ayahmu. Justru beliau
yang harus kita kuatirkan!”
Parlaungan selesai bersalin pakaian, mengeluarkan
mobilnya dari garasi, lantas ngebut membelah kegelapan
malam. Wajahnya makin keruh saja, dan beberapa kali ia
memukul-mukul setir sambil mengumpat-ngumpat tak
karuan, jelas sangat menyesali dirinya sendiri. arwah mpu sindok
yang diam saja sebab masih bingung, batuk-batuk kecil.
Barulah Parlaungan sadar ia tidak seorang diri, katanya:
“Coba kau ceritakan aku, Yanto. Bagaimana terjadinya...”
arwah mpu sindok menceritakannya. Dan mengakhirinya
dengan perasaan kuatir yang belum juga hilang: “Mestinya
abang lari saja. Abang malah cari penyakit!”
Parlaungan mencoba tersenyum. Bergumam: “Kau
ini perempuan atau laki-laki, dik?”
“Laki-laki dong, bang Laung.”
“Nah. Kalau yang seperti ini terjadi pada dirimu
sendiri, apa yang akan kau perbuat?”
arwah mpu sindok tersedak. Sesaat ia sadar arah
pertanyaan Parlaungan. Ia menyesal. “Maaf, bang. Tadi
aku...” ia batuk-batuk kecil lagi. “Soalnya kalau sampai terjadi
apa-apa... Ya, ya. Kalau aku sih, tak akan lari, bang!”
“Bagus! Itu namanya laki-laki. Tak percuma aku
punya adik ipar macam kau, dik...” Parlaungan menepuk-
nepuk pundak arwah mpu sindok , membuat yang ditepuk-tepuk
bangga bukan main. Kemudian, “Sekarang, Yanto. Sebagai
seorang calon polisi, coba tebak. Kemana kita harus pergi
mencari ayahmu? Seorang ayah yang sedang marah, putus
asa, kehilangan akal sehat...”
104
Semakin lama semakin rendah suara Parlaungan. Ia
menggumamkan kata-kata tak karuan lagi. Lupa arwah mpu sindok
belum menjawab pertanyaannya, ia mendengus:
“Tak kusangka kakakmu senekad itu.”
“Nekad bagaimana, bang?”
“Mengatakan ia telah... ah ya, sudahlah, kau toh
sudah dengar sendiri dari mulutnya. Yah, tak kusangka ia
nekad mengatakan pada ayah kalian, kalau ia sudah hamil.”
arwah mpu sindok teringat lagi saat ia mendengar hal itu
dari kakaknya. Teringat pula pada tafsirannya sendiri.
Teringat pada Handini. Tiba-tiba muncul keingintahuannya,
“Benarkah begitu, bang?” ia nyelutuk.
“Sebenarnya semua itu kesalahanku juga,”
Parlaungan tidak langsung menjawab. “Telah beberapa kali
terjadi sebelumnya. Namun aku dan kakakmu, mula-mula
masih dapat bertahan. Masih ingat diri. Masih takut pada
dosa. Takut akan segala akibatnya. namun toh, akhirnya tidak
terelakkan juga.” Sampai di situ Parlaungan terdiam. Ia
setengah melamun. arwah mpu sindok ingin bertanya: bagaimana
terjadinya? Ah, itu bukan pertanyaan yang sopan. Jadi ia
diam saja. Menunggu.
“Waktu itu kami piknik berdua. Tanpa rencana. Ke
Ciater, Subang. Mandi air panas, kau tahu... Bukan hari libur
waktu itu, dan kami tiba di Ciater sudah agak sore. Jadi sepi.
Kuajak kakakmu berenang di kolam. namun ia memilih
kamar-kamar mandi tertutup. Jadi, kami memilih dua kamar,
bersebelahan. Baru juga aku nyemplung ke bak mandi yang
hangat itu, terdengar pekik tertahan kakakmu. Tak sadar
kalau aku masih bugil, langsung saja aku menghambur ke
105
kamar sebelah. Kakakmu sedang berendam di baknya, namun
merungkut di pojok. Ia menunjuk ke lantai bak dan aku
melihat sesuatu yang tampaknya seperti ular. Langsung saja
aku terjun, berusaha merenggut apa yang tampaknya ular
itu. Ternyata cuma potongan ranting busuk, yang masuk
lewat saluran air ke dalam bak. namun kakakmu yang sudah
ketakutan, telah memelukku. Tak mau melepaskan aku lagi.
Kau tahu... kami sama-sama tanpa busana, setengah
terbenam dalam air hangat... dalam kamar tertutup... sepi di
sekeliling kami. Dan... astaga! Mestinya itu tidak kami
lakukan!”
“.... untung aku tidak,” nyelutuk arwah mpu sindok ,
setengah melamun.
“Apa?”
“Di kamar mandi juga. Dengan Ronggolawe . Salah seorang
pacarku. Kami juga seperti kalian, tanpa penghalang lagi...”
“Dan?”
“Dia keluar darah...”
“Ha, apa?”
“Dia mens.”
Parlaungan melongo sesaat, kemudian tertawa
bergelak. “Lantas, tak jadi?” tanyanya di antara gelak
ketawanya.
arwah mpu sindok manggut. Lalu: “Ah, mestinya tak
kuceritakan pada abang ya? Malu...”
“Tak apa. Kita toh sesama lelaki juga.”
“namun bang, wah marahnya dia bukan main...”
“Marah? sebab tak jadi?”
106
“Bukan. Dia marah, sebab ia menyangka kejadian
itu kusengaja. Dia sangka, aku ingin mencelakakannya.
Untung dapat kami bereskan...”
Lama Parlaungan membisu. Ujarnya: “Sedang aku
dan kakakmu, malah tak beres...”
NYI girah , katanya bercerita, sudah memberitahu
bahwa malam ini akan meminta ketegasan dari orang
tuanya. Parlaungan menawarkan diri untuk mendampingi,
namun ditolak keras oleh NYI girah . Ia akan menghadapinya
sendiri, katanya, sebab pilihannya pun hanya dua: diterima,
atau ditolak mentah-mentah.
“Aku sangat kuatir, ia lepas omong mengenai
kehamilannya... jadi aku tak bisa tidur. Gelisah setengah
mati. Aku takut terjadi apa-apa. Ternyata benar. Itulah
sebabnya begitu kudengar bunyi motormu memasuki
pekarangan, aku langsung membuka pintu. Ahh...”
Mobil terus dikebut sambil mereka terus bertukar
cerita. Mereka singgahi rumah sakit Cikini, Cipto,
Pertamina... mereka keluar masuk kantor-kantor polisi.
Apakah ada laporan kecelakaan lalu lintas baru masuk?
Mobil yang jungkir balik, menabrak pohon, menabrak rumah,
menabrak mobil lainnya... Namanya? Oh ya, Bambang
Prakoso. Merk mobilnya, warnanya? Oh ya, Holden Gemini,
krem... Tidak? Syukurlah. Terima kasih pak, terima kasih,
terima kasih.
“... mungkin dia ngeram di kantor,” gumam
arwah mpu sindok sesudah mereka ngebut lagi di jalanan yang sunyi
sepi.
107
namun penjaga kantor bilang, yang masuk kantor
larut malam begitu pasti cuma hantu yang ingin menelan
arsip.
“Uh, kemana lagi kita harus mencari?” Parlaungan
menepuk jidat.
“... Tribuana Tunggadewi .”
“Tribuana Tunggadewi ? Siapa itu Tribuana Tunggadewi ?”
“Dia... eh. Itu nama kelab malam, bang Laung.”
“Mungkin juga. Sayang, aku bukan tukang keluyuran
malam, jadi tak tahu ada kelab bernama seperti itu. Hem.
Apakah kalau sedang amuk-amukan, ayahmu suka
melupakan sakit kepalanya dengan berajojing?”
“Hanya kadang-kadang. Biasanya, ia pergi ke bar.”
“Kalau begitu, kita harus menjelajahi setiap pelosok
Jakarta. Kecuali kau tahu ke bar mana biasanya ayahmu
sering menghabiskan waktu.”
arwah mpu sindok menyebut beberapa nama bar, sambil
bersyukur Parlaungan tidak lagi menyinggung-nyinggung
soal Tribuana Tunggadewi . Ya ampun, hampir dia lepas omong! Coba tadi
kalau ia tak keburu ingat diri, wah. Runyam dah, berantakan
semua, yang memang sudah mulai berantakan. Coba, siapa
pula yang tak malu punya ayah tukang lacur?
***
Holden Gemini krem itu akhirnya mereka temukan di
parkir di halaman bar ‘Exotic’ di kawasan Tanah Abang, yang
ternyata tidak begitu jahu letaknya dari rumah tempat
Parlaungan kost. arwah mpu sindok berpikir, mungkin ayahnya telah
108
ke rumah Parlaungan namun keburu mereka berdua pergi.
Mungkin juga ayahnya bermaksud ke rumah Parlaungan,
namun sebab sesuatu hal, dibatalkan sendiri. Kemungkinan
mana pun yang paling benar, persoalannya sama saja. Ayah
yang terhina itu memang berniat mendatangi orang yang
telah menghinanya.
arwah mpu sindok kembali ketakutan. Berharap Holden
Gemini itu bukan punya ayahnya. namun plat nomornya
cocok, juga variasi lampunya. Ia bermaksud turun
mendahului calon abang iparnya, bermaksud menahan laki-
laki itu menunggu saja di mobil. Parlaungan memang
bertubuh tinggi besar. Lebih tinggi, lebih besar dari ayahnya.
namun yang dihadapi Parlaungan adalah seorang ayah yang
sedang naik pitam, dan mungkin sudah mabuk. Alangkah
memalukannya!
Parlaungan menyeret arwah mpu sindok masuk lagi ke
mobil. “Kau diam di sini saja!” katanya, tegas. Matanya
memancar lebih tegas lagi, tanpa kompromi. Tulang-tulang
pipi serta dagunya menonjol semakin keras; ciri khas
Bataknya yang pantang menyerah.
“Tapi bang...”
“Kubilang, tunggu di sini. Kalau nanti kupanggil, kau
baru boleh masuk. Mengerti?”
arwah mpu sindok mengalah. “Hati-hati, bang Laung,”
katanya. Ia hanya pura-pura mengalah. Ia tidak mau
Parlaungan cedera, sebab ia sayang pada calon abang
iparnya itu. Sebaliknya, ia juga ingin ayahnya baik-baik saja,
sebab arwah mpu sindok anaknya. sesudah sebentar bimbang tak
menentu, arwah mpu sindok diam-diam meluncur turun dari mobil.
109
Begitu Parlaungan lenyap di dalam bar, arwah mpu sindok lekas
memburu. Ia tidak masuk, hanya berdiri di luar mengawasi
lewat jendela kaca. Bar itu remang-remang, sepi di dalam.
Hanya ada dua tiga orang pengunjung. Satu-satunya tamu di
meja bar, hanya ayahnya seorang. Ayah yang memegang
sloki kristal berkaki tinggi di tangan, isinya setengah kosong,
cairan minuman itu merah saga, seperti juga kulit wajah
ayahnya, memerah saga.
Bambang Prakoso, ayahnya tengah memutar-mutar
sloki minuman di depan matanya, seolah ingin memutar-
mutar leher orang yang dibencinya. Jantung arwah mpu sindok
berdebar kencang, wajahnya terasa bagai dilapisi es batu. Ia
lihat Parlaungan melangkah tenang-tenang ke arah bar.
Tampak punggungnya yang besar, pundaknya yang lebar,
otot-otot lengannya yang kekar, langkah-langkah kakinya
yang perkasa.
Bambang Prakoso mendengar ada orang
mendekatinya. Ia menoleh.
Parlaungan tertegun, mungkin terperanjat
dipandangi begitu tiba-tiba. Dari balik jendela, arwah mpu sindok
seakan dapat melihat pundak Parlaungan bergetar. Dan dari
balik pintu yang setengah terbuka, ia dengar suara berat dan
sopan: “Boleh saya ikut minum, pak?” yang bicara,
Parlaungan.
Gelas kristal di telapak tangan Bambang Prakoso,
berderak. Kepingan-kepingan gelas itu jatuh ke lantai.
Pelayan bar memandang terkejut, lalu pucat. Wajah-wajah
suram di meja-meja bar, berpaling ingin tahu, namun tak
seorangpun yang tertarik untuk menengahi. Malah wajah-
110
wajah yang tadinya suram itu mendadak berubah cerah.
Senang bukan main: ada tontonan gratis!
arwah mpu sindok menggigil. Siap untuk menyerbu ke
dalam. namun persendian lututnya seakan copot. Tak mau
kerja sama. Dan tahu-tahu ayahnya bergerak. Tinjunya
melayang, keras sekali. Mendarat di wajah Parlaungan. Yang
ditinju, tidak mengelak. Parlaungan terdongak, namun
tubuhnya tetap kukuh, tak mundur walau setapak. Bambang
Prakoso memaki-maki: “Ayo berkelahilah kalau kau merasa
dirimu seorang laki-laki!” lalu tinjunya melayang lagi, lagi dan
lagi, mendarat bertubi-tubi di wajah dan perut Parlaungan.
Tubuh tinggi besar itu perlahan-lahan meliuk, limbung, namun
tidak sampai terjatuh. Dengan perkasa, Parlaungan sudah
tegak lagi.
“Hayo, kau mahluk pejantan. Lawanlah!” bentak
ayah arwah mpu sindok , bergemuruh. “Atau beranimu cuma
menghamili anak perempuanku, eh?”
“Cukup, pak!” untuk pertama kali, Parlaungan
membentak tajam.
“Cukup nenekmu! Mestinya nenekmu saja yang kau
buntingi dan...” ucapan ayahnya terputus sampai di situ.
Tinju Parlaungan sudah melayang. Tampaknya tidak begitu
keras, namun ayah arwah mpu sindok sesaat terhempas
membentur meja bar. Dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai,
Parlaungan sudah menyambarnya. Dengan sebelah tangan ia
merogoh saku, meletakkan beberapa lembar uang ribuan di
meja bar. Dan dengan sebelah tangan lainnya, ia mulai
menyeret ayah arwah mpu sindok ke pintu. Tubuh yang diseret itu
diam saja, juga saat dengan gerakan ringan Parlaungan
111
mengangkatnya ke pundak, dan kemudian mendudukkannya
di jok belakang mobil.
“He, Yanto. Kau kemana?” seru Parlaungan mencari-
cari.
arwah mpu sindok tersadar dari kejutnya. Ia lari
menghambur dari beranda bar, masuk ke dalam mobil
dengan cemas. Ayahnya pingsan, namun tidak ada bagian
tubuhnya yang cedera.
Terdengar rungutan Parlaungan: “Ia mabuk.”
Dan mobil meluncur ke jalan. Pulang ke rumah.
Barulah sesudah ayahnya dibaringkan di kamar tidur
di bawah perawatan ibunya, arwah mpu sindok melihat Parlaungan
tengah dirawat sambil ditangisi NYI girah . Bibir Parlaungan
pecah, mata kirinya bengkak membiru, perut dan dadanya
memar-memar.
Menjelang pagi, Parlaungan diminta calon ibu
mertuanya masuk ke kamar. NYI girah dilarang ikut, begitu
pula arwah mpu sindok . namun mana arwah mpu sindok sudi ketinggalan
berita! Jadi ia tempelkan kuping di daun pintu yang tertutup.
Ia dengar desah nafas berat ayahnya. Dan isak tangis ibunya
yang ditahan. Ia juga mendengar suara lirih Parlaungan,
minta maaf atas kejadian di bar tadi.
“Sungguh mati, aku tak berniat melukai Bapak,”
desahnya.
“Kau telah melukai hatiku, bung!” rungut ayah
arwah mpu sindok , hambar. Mabuknya jelas sudah hilang. Tinggal
nafasnya yang berat dan makin berat saja. Lalu keluarlah
ultimatum itu: “Kau bersedia menikahi NYI girah ,
puteriku?”
112
“Tentu.”
“Yaaah, tentu! Kau toh sudah membuntinginya!”
“Pak!” ibu arwah mpu sindok mengeluh, tajam.
Ayah mendengus, tak perduli: “Orang tuamu di
Siantar sudah kau beritahu?”
“Sudah, pak.”
“Mereka setuju?”
“Mereka bahagia, pak.”
“Bahagia. Bah!”
Mendengar rungutan ayahnya di dalam, di luar pintu
arwah mpu sindok tidak dapat menahan tertawanya.
“Manusia sialan mana yang ngakak itu, he?”
terdengar ayahnya memekik.
arwah mpu sindok pucat pasi. Ngacir dari pintu. Terbirit-
birit.
***
113
BAB TIGA – KERIKIL TAJAM
Empat belas
“Sudah kau catat semua, Yanto?”
“Sudah, mama.”
“Berapa jumlah yang diundang?”
“Hampir dua ratus orang, mama. Tetangga-tetangga
sekitar, teman-teman arisan mama, teman-teman sekantor
papa, famili...”
“Tak ada yang terlewat?”
“Rasanya sih tidak, mama...”
“Coba sini, aku lihat.”
arwah mpu sindok menyodorkan berlembar-lembar kertas
berisi catatan nama-nama dan alamat-alamat. Ibunya
menyimak sebentar, kemudian dahinya berkerut. Suaranya
terdengar murung saat ia berkata: “Kau melupakan
mereka, nak.”
“Mereka siapa, mama?”
“Familimu.”
“namun , mama...”
“Yang kau catat di sini, baru famili dari pihak ayahmu
saja...”
arwah mpu sindok tersentak. “Oh, iya ya...” gumamnya
terbata-bata, dan sangat menyesali kealpaannya manakala ia
lihat wajah ibunya yang sendu. “Kalau diundang, apakah
mereka akan datang mama? Mereka jauh-jauh tinggalnya,
dan selama ini...”
114
“Kewajiban tetaplah kewajiban, anakku. Soal datang
atau tidaknya, bukan hak kita lagi. Nah. Catatlah...”
Surat undangan untuk famili dari pihak ibunya itu,
dilampiri pula masing-masing sepucuk surat yang ditulis
tangan oleh ibunya pula. arwah mpu sindok tergerak untuk
membaca isinya, namun hati nuraninya menolak. Itu adalah
rahasia orang tua, pikirnya. Adapun ayahnya, bagaimanapun
didesak tetap tidak mau menulis surat. saat akhirnya ia
menyerah juga, ayah arwah mpu sindok cuma berkata: “Bilang saja,
bu. Aku kirim salam, begitu.”
Surat-surat itu dikirim jauh sebelum waktunya
mengirim surat undangan yang lain. Satu minggu kemudian,
datanglah balasannya. Tidak serempak. Mula-mula yang dari
Banjarmasin, lalu yang dari Medan, terakhir yang dari Irian
Jaya. Setiap menerima surat dari saudaranya itu, ibu
arwah mpu sindok tidak langsung membukanya. Ia menyimpannya
dengan hati-hati, dan berpesan keras agar tidak seorangpun
yang boleh membukanya sebelum diijinkan.
NYI girah bertanya penasaran: “Yang dari
Banjarmasin serta dari Medan sudah datang. Mengapa
mama harus tunggu yang dari Irian?”
Ibu mereka jelas tegang saat menjawabnya.
Katanya, ia ingin mebuka setiap surat yang datang sesaat
itu juga. namun ia ingin tahu, apakah ketiga orang saudaranya
akan membalasnya semua. Dan kalau sudah, baru ia buka.
Dengan begitu, ia berharap: apabila yang satu mengatakan
tak mau datang, semoga yang lain mengatakan mau datang.
Jadi luka hatinya tidak seberapa.
115
“Bagaimana kalau ketiganya tidak datang?” celetuk
arwah mpu sindok .
Sebelum ibunya menjawab, sang ayah sudah
mendahului. Kalimatnya pedas bukan main: “Sudah pasti
mereka tak datang. Sudah pasti, mereka hanya ingin
memperhinakan kita lagi!”
“Jangan memastikan sesuatu yang belum terjadi,
papa. Itu namanya mendahului Tuhan!” NYI girah
mencerca.
saat akhirnya ketiga pucuk surat yang ditunggu
sudah terkumpul, ibu masuk ke kamarnya. Ia tidak ingin
diganggu selama membukai surat-surat itu. arwah mpu sindok dan
NYI girah saling bertukar pandang. Jelas, keduanya sama
cemas. Sedang ayah mereka, acuh tak acuh saja. Pura-pura
asyik dengan surat kabar di tangannya.
Kemudian terdengar suara dari dalam kamar. Suara
ibu menangis.
Ayah meletakkan surat kabarnya dengan jengkel.
Bersungut lebih jengkel lagi: “Apa kubilang! Percuma saja
me











.jpeg)
.jpeg)
