Tampilkan postingan dengan label Popular 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Popular 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2025

Popular 2

 



tak banyak 

bicara. Agaknya usia tua membuatnya berpikir, diam itu 

emas. Jadi arwah mpu sindok  dapat berpikir lebih leluasa. Misalnya, 

haruskah yang ia telepon ibunya? Bukankah sudah cukup 

NYI girah  saja yang ia suruh datang sebagai saksi? Lalu, 

perlukah ibu mereka diberitahu kelakuan ayah? Padahal 

dokter sudah wanti-wanti: kesehatan ibumu memang sudah 

 61 

pulih, namun  ia tak boleh bekerja berat, tak boleh berpikir 

terlalu berat, ia harus dijauhkan dari hal-hal yang dapat 

menyebabkannya jatuh sakit kembali, malah dapat berakibat 

fatal... 

Hem, mama tak usah tahu, pikir arwah mpu sindok . Kakak 

juga. Perempuan mulutnya sukar dipercaya, apalagi kalau 

punya sifat suka bergunjing. Apakah NYI girah  suka 

bergunjing? Ah, tak usahlah memikirkan hal itu. Pikirkan saja 

apa yang kau hadapi sekarang. Pergoki papa, suruh ia 

menceraikan bini mudanya, berjanjilah akan tetap pegang 

rahasia; dan apa pun yang kau minta, akan selalu dikabulkan 

papa! Dugaan arwah mpu sindok  ternyata meleset. 

saat  mobil itu berhenti untuk pertama kali, 

berhentinya bukan di rumah isteri muda ayahnya. 

Melainkan, di depan kantor ayahnya. Sesuai dengan 

kebiasaan yang ia baca dalam buku atau yang ia saksikan di 

bioskop, maka arwah mpu sindok  menyuruh taksi terus saja lewat. 

Agak jauh di depan baru berhenti. arwah mpu sindok  lalu mengintip 

hati-hati lewat kaca belakang taksi. Ia lihat ayahnya baru saja 

turun sambil menenteng tas kerja kemudian menghilang di 

pintu masuk kantor. 

Volvo merah hati itu tidak menunggu. Volvo itu 

meneruskan perjalanan. Kini yang duduk di belakang setir 

adalah Tribuana Tunggadewi  sendiri. Perempuan itu melewati taksi mereka 

tanpa curiga. Sesaat sebelum Volvo itu lewat, arwah mpu sindok  

membenamkan diri dalam-dalam di jok belakang taksi. 

Kemudian menyuruh supir kembali mengikuti Volvo. Supir 

menurut patuh. Tak omong sepatah kata pun, benar-benar 

ingin lepas tangan kalau terjadi apa-apa. Sekarang, kita 

 62 

menuju rumah bini muda papa, pikir arwah mpu sindok  bangga. 

sesudah  itu...Meleset lagi. 

Volvo merah hati itu ternyata membelok masuk 

halaman sebuah hotel berbintang empat di kawasan Jakarta 

Pusat. Kembali arwah mpu sindok  memerintah supir menjalankan 

mobil sepelan mungkin, lalu berhenti menjelang gerbang 

masuk halaman hotel tadi. Ia lihat Tribuana Tunggadewi  keluar dari dalam 

Volvo. Tempatnya digantikan pelayan hotel yang kemudian 

membawa Volvo itu ke pelataran parkir sebelah dalam. 

Tribuana Tunggadewi  menghilang di balik pintu lobby. Jadi sejak kemarin 

papa menginap di hotel ini, masih di Jakarta, bukan di 

Palembang... dengus arwah mpu sindok  murung sebab  ingat pada 

ibunya yang malang. 

Ia segera turun dari taksi. Sebelumnya, ia memang 

membawa semua uang sakunya sebab  mungkin saja 

Handini memaksanya ikut minggat. Ia lalu membayar sewa 

taksi secukupnya, tak lupa menambahkan dengan penuh 

aksi. “Kembaliannya untuk abang!” saat itu pun ia 

berpakaian yang terbaik. Tadinya memang siap kalau harus 

bepergian. Petugas hotel di depan pintu lobby mengawasi 

arwah mpu sindok . Seperti dalam buku, arwah mpu sindok  melempar 

senyum kaku pada petugas itu. Seperti dalam film, ia 

memasuki lobby seraya bersenandung kecil, seakan ia 

memang tamu hotel dimaksud. 

Tampak Tribuana Tunggadewi  baru saja mengobrol dengan petugas 

desk. Kemudian menyelinap ke dalam lift. Dari tempatnya, 

arwah mpu sindok  tak mungkin mengawasi lampu-lampu lift untuk 

mengetahui di lantai ke berapa wanita itu turun. Sejenak ia 

berpikir, lalu memutuskan berjalan menyeberangi lobby, 

 63 

langsung menuju desk. Jantungnya berdebur kencang, 

sebab  ia belum tahu bagaimana caranya ia melacak kamar 

tempat perempuan itu menginap, dan apa yang akan ia 

lakukan sesudah  itu. 

namun  arwah mpu sindok  diam-diam memang sudah 

menyimpan bakat yang diperlukan oleh seorang polis. Ia 

menggangguk pada gadis petugas desk, seorang gadis manis 

dengan tatap mata agak sedikit nakal. Melihat pemuda 

perlente lagi tampan mendekat, gadis itu langsung 

menyambut dengan senyuman berbunga.  

“Dapat saya bantu, bung?” sapanya. Enak juga tutur 

katanya. Harum bener parfumnya. Jantung arwah mpu sindok  

berdetak. 

Ia tak boleh ragu-ragu, kalau tak ingin ketahuan. 

Maka ia menjawab tuntas: “Saya harus menemui kakak saya. 

Segera.” 

“Namanya?” sambil petugas yang manis itu menarik 

buku tamu di hadapannya. 

“Tribuana Tunggadewi .” 

Perempuan itu meneliti buku tamu dengan seksama. 

Ada kerutan di dahinya, pertanda ia tidak menemukan apa 

yang dicari. Sebelum gadis itu mengatakan sesuatu, 

arwah mpu sindok  sudah mendahului: “Kakak saya memang bukan 

tamu terdaftar. Ia bilang, ia harus menemui seseorang di 

hotel ini. Bisnis...” Gadis itu mulai curiga tampaknya. 

arwah mpu sindok  menambahkan segera: “Ia barusan kulihat masuk 

lift. Tadi, yang sempat ngobrol dengan nona. Blus hijau tua, 

celana jin coklat tanah...” 

*** 

 64 

Sembilan 

 

Kelopak mata gadis petugas desk itu mengerjap. 

Sesaat  matanya bersinar. Mulutnya pun bergumam. “Oh, 

dia...” sambil kembali ia mengawasi pemuda di seberang 

mejanya.  

“Jadi dewa penulis  itu kakakmu ya? Pantas...” 

“Pantas apanya?” arwah mpu sindok  tersedak. 

“Kakaknya cantik. Adiknya cakep,” gadis itu 

tersenyum. 

arwah mpu sindok  mau tak mau ikut tersenyum pula. 

Hidungnya mengembang. Namun tidak sampai lupa diri. Ia 

melihat kesempatan terbuka untuk mengetahui lebih banyak 

mengenai perempuan ‘buronan’ nya. Lantas dengan lagak 

sedikit angkuh, ia mendengus: “Jadi kakakku dewa penulis  di 

hotel ini ya?” 

“Bukan di hotel ini saja,” sahut si gadis, gembira 

dapat mengetahui suatu rahasia besar. Bagaikan seorang 

penggemar yang beruntung banyak tahu mengenai bintang 

pujaan semua orang, ia pun lantas bercerita bahwa Tribuana Tunggadewi  

juga adalah dewa penulis -nya hotel anu, anu dan anu – sambil 

ia sebut nama beberapa hotel terkemuka. Caranya bercerita 

membuat arwah mpu sindok  membayangkan bahwa ‘kakak’ nya itu 

bintangnya dunia ‘kelas atas’ se-Jakarta. Langganan 

‘kakak’nya sangat pilihan: pengusaha-pengusaha kelas 

kakap, pejabat-pejabat penting, tamu-tamu asing dari 

kalangan diplomat. Dibayar tidak saja dengan mata uang 

rupiah, namun  juga mata uang asing, seringkali dalam bentuk 

cheque. 

 65 

“... kami tahu hal itu,” celoteh si gadis gembira. 

“sebab  beberapa kali kakakmu nginap di sini. Ia suka 

memberi pelayan tip uang dollar. Aku sendiri pernah 

dipanggil ke kamarnya untuk sesuatu urusan. Kemudian aku 

dimintai tolong menukarkan selembar cheque, mungkin 

baru ia terima dari tamunya. Nilai cheque itu setengah juta 

rupiah. sesudah  kutukarkan, tahu berapa imbalan yang 

kuperoleh? Sepuluh persen, bung! Lima puluh ribu rupiah, 

hanya untuk menukarkan cheque itu ke kasir...” 

“Bukan main!” arwah mpu sindok  membelalak, namun  

kemudian sadar “siapa” dirinya, dan segera meralat 

kecerobohannya dengan kalimat: “Yah kakak orangnya 

memang royal...” 

“namun  ia juga tidak sembarang memberi. 

Tergantung...” gadis itu tidak melanjutkan celotehnya. Tiga 

orang tamu hotel – kelihatannya orang-orang Jepang, datang 

mendekat ke meja desk. Si gadis melayani mereka dengan 

gerak bermalas-malasan. sesudah  ketiga tamunya berlalu, ia 

bersungut-sungut: “Mahluk-mahluk kikir. Mereka itu, 

bung...” lagi-lagi celotehnya terputus. saat  ia menoleh, 

teman bicaranya sudah menghilang. 

 

*** 

 

Keluar dari hotel, arwah mpu sindok  tidak tahu mau berbuat 

apa. Terus ke sekolah tak mungkin. Ia tak bawa buku, juga 

tidak memakai seragam. Barulah ia teringat pada Handini. 

Buru-buru ia memanggil taksi, pergi ke Rawamangun. Setiap 

sudut terminal ia awasi, telinganya pun mendengar-

 66 

dengarkan kalau-kalau sebelumnya ada bis menabrak 

seorang gadis, atau gadis itu yang nekad menabrak bis. Sia-

sia pula matanya menjilati landasan terminal. Tak ada bekas 

genangan darah. Yang ada cuma debu, kotoran sampah, 

bocoran air karburator, serta gumpalan asap knalpot bis-bis 

yang menyesakkan nafas. Akhirnya ia pulang ke rumah. 

Ibunya tampak lega, menyambut dengan ucapan 

cemas. “Dari mana kau, nak? Pagi-pagi, sudah menghilang...” 

“Mengantar teman, ma,” sahutnya malas. Ia 

memang mengantarkan Handini. namun  ke mana? Apakah 

gadis itu terus minggat, atau pulang kembali ke rumah orang 

tuanya? Ia terus ke dapur, membuat segelas kopi. Di pintu 

dapur ia berpapasan dengan kakaknya. 

“Lho. Bolos?” NYI girah  mendelik. 

“Libur sendiri!” jawab arwah mpu sindok  seenaknya. 

NYI girah  mengomel panjang-pendek, namun  arwah mpu sindok  

acuh tak acuh saja. sesudah  membuatkan kopi, ia menyelinap 

masuk ke kamarnya. Ranjang tidur di kamarnya 

mengingatkan ia pada Tribuana Tunggadewi , sang dewa penulis . Tentunya 

perempuan itu kini tengah ‘menggoyang’ salah seorang laki-

laki langganannya. Selain cantik rupawan, ‘goyang’ Tribuana Tunggadewi  

pasti selangit. Kalau tidak, tak akan ayahnya tergila-gila, terus 

mengejar si perempuan, sambil di rumah terus mendustai 

keluarga. Berapa banyak sudah yang dihabiskan ayahnya 

untuk ditemani tidur oleh Tribuana Tunggadewi ? Pasti jumlahnya sudah 

jutaan rupiah, hanya untuk ‘digoyang’ saja. Sedang untuk 

arwah mpu sindok , ayahnya hanya memberi nasihat: “Biasakan 

untuk hidup prihatin!” Pernah ia ingin membeli sepatu 

 67 

Adidas. Apa jawab ayahnya: “Bata juga bagus, Yanto!” 

Rokok? Satu hari, cukup dua batang! 

Bunyi dering bel mengejutkannya. 

Lewat pintu kamarnya yang terbuka, ia lihat 

kakaknya berlari-lari ke ruang depan. Pakaian yang 

dikenakan NYI girah  gemerlapan, sekilas tampak wajahnya 

yang riang gembira. arwah mpu sindok  segera tahu siapa yang 

membel. Segera ia duduk di kursinya, pura-pura menekuni 

buku-buku pelajaran yang sengaja ia serak-serakkan di meja. 

Benar saja dugaannya. Tak lama ia dengar langkah 

kaki, dan suara berat menyapa: “Hai, kawan!” 

arwah mpu sindok  mengangkat muka. Sahutnya: “Hai, bang 

Laung.” 

“Lagi asyik belajar ya? Bagus. Calon adikku harus 

anak pintar. Supaya kelak, bisa jadi polisi tauladan. Nih. 

Kubawakan sesuatu untukmu,” dan Parlaungan, kekasih 

tetap kakaknya menyodorkan sebuah bingkisan yang 

diterima arwah mpu sindok  dengan malu-malu. “Nggak usah repot-

repot bang,” ujarnya berbasa-basi. Dulu, Parlaungan yang 

akhirnya membelikan arwah mpu sindok  sepasang sepatu Adidas. 

Bingkisannya kali ini, satu set pulpen Parker, model terbaru. 

“Terima kasih, bang Laung. Aku akan belajar sungguh-

sungguh,” arwah mpu sindok  mengikrarkan janji. 

Dari belakang punggung Parlaungan yang tinggi 

kekar itu, terdengar suara NYI girah  mengoceh: “Apa! 

Buktinya, hari ini dia bolos lagi!” 

arwah mpu sindok  ingin mencakar kakaknya. Untung 

Parlaungan menengahi. “Kalau tak pernah bolos sekolah, 

bukan laki-laki namanya...” Namun toh Parlaungan tidak 

 68 

semurah hati itu. Ia melanjutkan dengan pertanyaan sambil 

lalu: “Apa hukumannya kalau mangkir sekolah lebih dari tiga 

hari, Yanto?” 

“Diberi peringatan oleh wali kelas, bang,” jawab 

arwah mpu sindok  tersipu. 

“Kau senang dibikin malu di depan teman-

temanmu?” 

“Tidak dong!” 

Parlaungan tertawa lembut, terus berlalu ke 

belakang untuk menemui calon mertua perempuannya. 

NYI girah  menguntit di belakang kekasihnya, masih terus 

mengomel: “Kau terlalu memanjakan adikku, bang Laung. 

Kau pula yang dulu mengajarinya merokok...”  

Di kamarnya, arwah mpu sindok  nyengir kuda. Ia sudah tahu 

apa jawaban Parlaungan: laki-laki yang tidak merokok itu, 

banci! arwah mpu sindok  kemudian teringat, apa nasihat Parlaungan 

dulu, yang sampai sekarang dipatuhinya. “Kalau ingin 

merokok, Yanto, belilah dari uang sakumu. Jangan dari saku 

orang lain.” 

sesudah  kakaknya meninggalkan rumah bersama 

Parlaungan, arwah mpu sindok  diperingatkan ibunya agar tidak lupa 

mandi dan makan pagi. Ia mematuhi perintah itu, kemudian 

membantu ibunya menyetrika. saat  itulah ia lihat air mata 

menggenangi pipi ibunya. 

“Mama menangis,” desah arwah mpu sindok , terkejut. 

Cepat-cepat ibunya menyeka air mata, lantas 

mencoba tertawa. Jawabnya: “Lihat. Aku tidak menangis lagi 

bukan?” 

 

 69 

“Mengapa mama menangis?” arwah mpu sindok  mendesak, 

dan diam-diam kuatir bahwa ibunya menangis akibat 

kelakuan ayahnya. Ayahnya yang mengakus sebagai manusia 

terhormat, berlagak suci di rumah, nyatanya di luar sana 

mengencani pelacur. 

Ibunya membenahi pakaian yang sudah selesai 

disetrika, menarik nafas dalam, kemudian: “Kau senang sama 

bang Laung, nak?” 

“Jelas, dong!” 

“Kau suka ia kawin dengan kakakmu?” 

“Selalu kudoakan, mama.” 

“Aku juga,” ujar ibunya lirih dan wajahnya kembali 

murung. “Sayang, ayah kalian lebih suka kakakmu 

dijodohkan dengan orang lain. Bukan dengan Parlaungan...” 

“Kenapa sih papa benci bang Laung, mama?” 

“Ayahmu tidak membenci orangnya, nak. Ayahmu 

membenci lingkungan yang melahirkan Parlaungan.” 

“Apa kurangnya bang Laung, mama? Ia Insinyur 

jebolan ITB. Ia bekerja, punya penghasilan cukup. Ayahnya 

Kolonel, punya jabatan terhormat di Kodam. Keluarga 

mereka tidak punya cela. Mereka juga setuju dengan calon 

isteri pilihan bang Laung. Apa lagi?” 

“Kau tak mengerti, nak. Tak mengerti...” dan air mata 

ibunya meleleh lagi. 

“Maksud mama? 

“Eh, aku mencium bau hangus di dapur...” 

Ibunya bergegas ke dapur, kemudian terdengar 

suaranya yang dikeraskan: “Berapa banyak famili kita yang 

kau kenal selama ini, Yanto? Maksudku, famili dekat. Yang 

 70 

rajin berkunjung ke rumah kita, atau sebaliknya kita kunjungi 

mereka...” 

“Yah.. Paman Supangkat, paman Abdullah, Tante 

Maryam, Uwa Hasbullah, nenek... Wah, banyak deh ma!” 

“Coba ingat. Keluarga pihak mana mereka itu 

semua?” 

Tiba-tiba arwah mpu sindok  memahami maksud ibunya. 

Semua yang ia sebutkan adalah keluarga dari pihak ayah. Ia 

memang pernah mendengar tentang keluarga mereka dari 

pihak ibu. Sebagian terbesar di Medan, yang lain di 

Kalimantan, ada pula yang di Irian Jaya. Di Jakarta ini juga ada 

dua tiga orang, namun hubungannya selain tidak begitu 

dekat, juga jarang saling kunjung-mengunjungi. Sesekali ia 

tanyakan juga pada ayah atau ibunya mengapa mereka tidak 

begitu akrab dengan keluarga dari pihak ibunya. Biasanya, 

jawaban yang ia dengar hanya: mereka orang-orang sibuk, 

jauh pula. Mengapa tidak kita kunjungi sesekali? Jawabnya: 

nantilah, kalau ongkosnya sudah cukup. Kami pernah 

menyurati, namun  tak pernah dibalas. Jawabnya: mungkin 

surat kalian tak sampai. Dan banyak pertanyaan lain, yang 

dijawab lain-lain pula. Dan sebab  hubungan dengan 

keluarga pihak ibunya pun begitu renggang sehingga 

arwah mpu sindok  tidak berminat untuk terus mendesak.  

Ingin tahu, arwah mpu sindok  mendesah: “Mengapa tiba-

tiba mama ingin menanyakan hal itu?” 

Ibunya yang baru keluar dari dapur, menjawab lirih: 

“sebab  aku kasihan pada bang Laungmu.” 

“Aneh. Mengapa pula ia harus dikasihani. Kan ia...” 

“Bukan dia, nak. Lingkungan, yang melahirkannya!” 

 71 

“Lingkungan bagaimana, ma?” 

“Daerah asalnya...” 

“Batak?” 

“Betul.” 

“Heran. Kok papa tidak menyukai orang Batak. 

namun  sebaliknya, punya isteri orang Batak!” 

“Jodoh, nak. Jodoh manusia ada di tangan Tuhan. 

“Aku tak mengerti...” 

“Kelak, Yanto. Kelak, kau akan mengerti sendiri...” 

ujar ibunya, yang terus memanggil bi Yati pembantu mereka 

yang tengah sibuk bekerja di kamar cuci. “Tolong lihat-lihat 

masakanku di dapur, bi. Aku mau belanja ke pasar.” 

“Kutemani ya ma?” 

“Tak usah, nak. Mama nanti sekalian pergi arisan.” 

“Oh!” dan sesudah  ibunya pergi, arwah mpu sindok  sadar 

kalau ibunya tidak ingin memperpanjang persoalan. 

Sayangnya, ibunya meninggalkan pertanyaan yang sama 

panjangnya. Pertanyaan, yang teramat sulit untuk dijawab, 

kecuali oleh ayah arwah mpu sindok  sendiri... 

Satu hal jelas sudah. Setiap kali ayah pergi untuk 

waktu yang lama, NYI girah  mempergunakan 

kesempatannya. Menyuruh Parlaungan datang, atau ia yang 

mendatangi kekasihnya itu. Pernah ia dengar NYI girah  

mendesak kekasihnya dengan penuh emosi; “Kita kawin lari 

saja!” Parlaungan menolak. Jawabannya teguh: “Memang 

bisa saja. namun  aku tak suka efeknya di kemudian hari!” 

Kini, arwah mpu sindok  mendadak teringat lagi pada 

Handini. 

 72 

Efek di kemudian hari itulah yang ingin dihindari 

arwah mpu sindok . Keluarga yang naik pitam, berurusan dengan 

polisi, dan sebagainya. Kalaupun toh percintaan mereka 

pada akhirnya disetujui, sisa-sisa keretakan tetap akan 

terasa, tetap akan menimbulkan akibat. Mungkin sampai ke 

anak cucu. 

Dipikir-pikir, ada untungnya Tribuana Tunggadewi  muncul di 

terminal Rawamangun. Waktu itu arwah mpu sindok  belum punya 

pendirian tetap. Ia dalam keadaan labil, bingung memikirkan 

Handini begitu nekad. Apabila Tribuana Tunggadewi  tak muncul dan Handini 

memaksa, tentulah ia telah mengikuti Handini minggat entah 

kemana. Dan entah bagaimana pula masa depan 

arwah mpu sindok ... 

Akan namun , beberapa hari kemudian sempat juga 

arwah mpu sindok  menyesali telah mengabaikan Handini.  

Suatu hari ia menerima sepucuk surat pos kilat 

khusus. Tidak ada alamat si pengirim. Dari cap posnya, 

arwah mpu sindok  tahu bahwa surat itu dikirim dari kantor pos 

Padang. Tak syak lagi, pasti Handini yang mengirimnya. 

Tulisan Handini sangat jelek. Isinya lebih jelas lagi: 

“Kau, haram jadah terkutuk!” 

Tak ada nama si penulis, tak ada tanda tangan. Yang 

ada, hanya itu: arwah mpu sindok  seorang haram jadah, terkutuk 

pula! 

Ia tak perlu marah. Tak usah kecewa. Ia memang 

pantas dicap sebejat itu. Yang penting ia sudah tahu bahwa 

Handini masih takut mati. Tanpa Handini, ia tak akan 

kesepian. Masih ada Fitri. Juga Nina dan Ossi. namun  soal 

ukuran payudara, Handini nomor satu. Sayang juga. Padahal 

 73 

Handini pernah menawarkan miliknya yang yahud itu untuk 

dikunyah oleh arwah mpu sindok  seorang. Coba, kalau waktu itu ia 

mau diajak Handini nginap satu malam di Pelabuhan Ratu... 

 

 

*** 

 

 

Sepuluh 

 

Pernah satu saat , di sekolah. Della, murid teman 

sekelas arwah mpu sindok  ditempeleng oleh pak Saleh, guru mata 

pelajaran Bahasa Indonesia. Sewaktu berdeklamasi di depan 

kelas, Della dengan semangat tinggi membacakan sebuah 

puisi dan merubah sebutan Pancasila menjadi sebuah 

ungkapan memalukan, yang dikaitkan dengan salah satu ras. 

Seisi kelas terdiam, manakala pak Saleh menegur: 

“Pancasila lahir di tengah kancah perjuangan bangsa. 

Kamu harus menghormatinya, Della!” 

“Itu dulu,” jawab Della, berani. Murid perempuan 

yang memang terkenal berjiwa pemberontak itu, 

melanjutkan dengan semangat meluap-luap: “Apa sekarang? 

Coba lihat. Kalau kita dengar ada pejabat yang korup, siapa 

orang-orang yang berdiri di belakangnya? Ternyata mereka 

itu orang...” 

“Della!” hardik pak Saleh. “Kita tidak berbicara 

mengenai koruptor. Kita berbicara tentang puisimu. Ada pun 

Pancasila...” Beliau belum selesai berbicara, Della menyela 

lantang dengan ungkapannya yang memalukan. 

 74 

“Eh, ini anak bandel benar!” umpat pak Saleh, lantas 

‘plak-plak’, pipi Della ditempeleng dua kali. Guru Bahasa 

Indonesia itu menambahkan: “Ini sekedar pelajaran 

untukmu, supaya tahu menghormati para pahlawan 

bangsa...” 

Terjadi keributan di dalam kelas. Pas saat  itu 

berbunyi lonceng istirahat. Guru meninggalkan kelas, dan 

murid-murid ramai mempertengkarkan peristiwa barusan. 

Akhirnya lahirlah sebuah petisi. Isinya memohon agar kepala 

sekolah memperingatkan, kalau perlu memecat pak Saleh 

yang memperhinakan Della di depan semua teman sekelas. 

Hanya sebagian kecil yang memihak pak Saleh. Bagian 

terbesar, membela Della. Kata mereka: “Seorang 

pemberontak, adalah seorang pahlawan!” 

saat  tiba gilirannya menandatangani petisi, 

arwah mpu sindok  menolak. Ia mengakui memang tak setuju Della 

diperlakukan sedemikian rupa. “namun ,” katanya lagi, 

“jangan sebab  tingkah seorang Della, satu kelas ini 

dikenakan skorsing!”  

Akibatnya, sampai bubaran sekolah arwah mpu sindok  

dikucilkan teman-temannya. Besok juga demikian. 

Perdebatan sengit masih terjadi. Yang menandatangani 

semakin banyak, tinggal sembilan orang yang abstain, 

termasuk arwah mpu sindok . Kesembilan orang itu lantas dimusuhi 

dan dicap pengkhianat, tidak punya rasa setia kawan. 

Petisi itu jadi disampaikan pada kepala sekolah. 

Terjadilah heboh. Satu sekolah gempar. Kepala sekolah 

memanggil semua guru untuk mengadakan rapat kilat. Dari 

balik pintu tertutup ruang rapat itu, kemudian tercium kabar 

 75 

santer. Bahwa ulah Della tidak bisa ditolerir. Sebaliknya, 

tindakan pak Saleh dicela, sebab  menyimpang dari anjuran 

Ki Hajar Dewantara. Guru-guru dan semua murid kemudian 

diapelkan di lapangan olahraga. Kepala sekolah berbicara 

panjang lebar. Antara lain yang dipetuahkannya ialah: 

“... memang, dari generasi muda dituntuk 

keberanian. namun  kebebasan mimbar ada waktunya, ada 

tempatnya, ada pula batasnya.” 

“Kalian semua di sini untuk menuntut ilmu. Orang 

tua kalian banting tulang memeras keringat mencari seperak 

dua perak, demi kalian. Agar kalian jadi orang!” 

Dan banyak lagi. Kemudian ia mendadak bertanya 

dengan suara lantang: “Kalau hujan turun dan rumah kalian 

bocor, apakah kalian lantas merobohkan seluruh ruman?” 

“Tidaaaak...!” terdengar jawaban serempak. 

“Bagus! Jadi apa yang harus kalian lakukan?” 

Jawaban serempak lagi. “Mengganti atap yang 

bocor...!” 

“Bagus sekali. Kalian semua memang anak-anak 

pintar. Tak percuma kalian jadi murid sekolah yang kita 

banggakan ini!” 

Guru-guru tersenyum dikulum, murid-murid tertawa 

berderai. sesudah  keriuhan itu mereda, kepala sekolah 

langsung menyuntikkan jarumnya yang tajam menusuk. 

“Begitu pulalah Pancasila. Yang salah dan harus dibongkar 

sampai ke akar-akarnya, bukan Pancasilanya. Melainkan 

orang-orang yang telah salah mengamalkannya, orang-orang 

yang menggerogotinya!” 

 76 

Tepuk tangan disertai tempik sorai membahana 

sesaat , membuat lapangan olahraga seakan bergetar. Apel 

dibubarkan. Pelajaran yang tertunda dilanjutkan di kelas 

masing-masing. Dan di ruang guru-guru, dipertemukanlah 

pak Saleh dengan Della serta semua murid yang telah 

menandatangani petisi. Kepala sekolah kembali angkat 

bicara. Dengan gayanya yang khas, lemah lembut namun  

tajam menusuk. Pak Saleh mengkambing hitamkan udara 

panas sebagai penyebab ‘emosinya tidak terkendali.’ Dengan 

tulus hati ia bernasihat pula pada Della: “Belajarlah yang 

baik. Berjuanglah jadi pemimpin. Kelak, bila semua itu kau 

capai, barulah kau sebar-luaskan ide-idemu...!” 

Kepala sekolah menambahkan: “Yang salah bukan 

pak Saleh, bukan pula Della. Yang salah, keadaan.” 

Della mengakui: “Saya tidak membenci pak Saleh. 

Maafkan akan keteledoran saya.”  

Kejujurannya mengakui kesalahan dipuji oleh kepala 

sekolah. Ancaman terkena skorsing kemudian dibatalkan. 

Begitu pula aman hukuman untuk para pendukungnya. 

Mereka masih diberi nasihat dan pengarahan. sesudah  itu 

persoalannya dianggap selesai dan harap dianggap tidak 

pernah terjadi. Beres! 

Beres untuk mereka. 

Belum beres untuk arwah mpu sindok . sesudah  gurunya 

menempeleng Della dan arwah mpu sindok  menolak 

menandatangani petisi, pulang ke rumah ia sempat 

menceritakan hal itu pada ibunya. Seraya menggenggam 

tangan anaknya dengan penuh kasih dan sayang, ibunya 

berpesan: “Kalau kau berpegang pada kebenaran, anakku, 

 77 

dan orang lain kemudian mengucilkanmu sebab nya... 

Janganlah membenci mereka. namun  berdoalah, semoga 

Tuhan mengampuni dan membuka mata mereka akan 

kebenaran yang kau pertahankan itu...” 

 

*** 

 

Nasihat berharga ibunya itu tak pernah dilupakan 

arwah mpu sindok . namun  nasihat itulah yang sekarang, justru 

membuat jiwa arwah mpu sindok  terombang-ambing tidak 

menentu. Sepulang ayahnya dari ‘rapat dinas di Palembang’, 

arwah mpu sindok  seolah-olah merasakan terjadi perubahan 

suasana di rumah mereka. Ayah membencinya, ibu 

menjauhinya, kakak mengacuhkannya. Keadaan itu 

berlangsung selama berbulan-bulan. Bahkan saat  ia naik 

kelas, arwah mpu sindok  menolak dirayakan. Ia merasa, kebaikan 

hati mereka itu tidak berdasarkan hati yang ikhlas. 

arwah mpu sindok  juga tidak menuntut hadiah. Dari hasil menabung 

sisa uang sakunya, ia kemudian merayakannya sendiri 

bersama beberapa orang teman di luar rumah. Mereka 

merokok sebanyak-banyaknya, menenggak minuman keras 

sampai ada yang mabuk, dan saling tukar cerita mengenai 

pengalaman mereka dengan pacar masing-masing. 

Usai perayaan itu, arwah mpu sindok  mengajak teman 

kencannya Ronggolawe  pulang. Kebetulan di rumah si gadis tak ada 

orang, kecuali pelayan. Orang tua dan saudara-saudaranya 

pergi menghadiri jamuan keluarga. Ronggolawe  mengatakan 

kepalanya pening dan ia mau muntah. 

 78 

“Kau terlalu banyak minum tadi,” kata arwah mpu sindok  

mencela. “Obatnya, guyur dengan air kemudian tidur.” 

Ia mengantar Ronggolawe  ke kamar mandi. sesudah  berada 

di dalam, Ronggolawe  melarang arwah mpu sindok  meninggalkannya. 

“Bantulah aku mengguyurku sampai pening-pening ini 

hilang...” katanya. 

arwah mpu sindok  memenuhi permintaan gadis itu. Ronggolawe  

menjerit-jerit gembira, kemudian balas mengguyur 

arwah mpu sindok . Dalam sekejap, pakaian keduanya sudah basah 

kuyup. Ronggolawe  nekad menanggalkan pakaiannya. Tinggal celana 

dalam saja, sebab  rupanya ia tidak memakai beha. Melihat 

kebugilan gadisnya, darah muda arwah mpu sindok  melonjak-lonjak 

penuh birahi. Tanpa dapat menahan diri, ia memeluk gadis 

itu, menciuminya bertubi-tubi. Ronggolawe  mulanya kaget, namun  

kemudian pasrah. Malah pelan-pelan ia menanggalkan pula 

pakaian yang melekat di tubuh arwah mpu sindok . Persentuhan kulit 

tubuh mereka seakan bersentuhnya api dengan api. 

Ronggolawe  mengerang saat  tubuhnya diseret arwah mpu sindok  

rebah di lantai kamar mandi. Kecelakaan yang sebelumnya 

tidak dikehendaki, sudah membayang di depan mata. Ronggolawe  

benar-benar sudah lupa diri. arwah mpu sindok  gemetar. Birahinya 

kian menjadi. Pelan-pelan ia copot sisa pakaian yang melekat 

di bagian bawah tubuh gadisnya. Dan saat  itulah ia melihat 

genangan air di lantai kamar mandi telah berubah menjadi 

merah. 

arwah mpu sindok  terlompat kaget. 

“Kau terluka, Ronggolawe !” desahnya, ketakutan.  

“Apa?” Ronggolawe  masih terpejam, menanti. namun  jelas 

wajahnya kelihatan pucat. 

 79 

“Kau berdarah! Lihat! Kau mengeluarkan darah...” 

Barulah Ronggolawe  membuka matanya, dan melihat ke 

lantai di sekitar pahanya. Ronggolawe  terkejut, buru-buru bangkit. Ia 

menggapai handuk menutupi tubuh telanjangnya sambil 

memaki tak tentu alamat: “Sialan. Aku mens lagi!” 

Ronggolawe  sangat malu akan keadaan dirinya, sehingga ia 

tidak keberatan waktu arwah mpu sindok  bergegas pamit. Dengan 

membawa buntalan plastik berisi pakaian yang basah, 

arwah mpu sindok  lantas pulang ke rumah. 

Hanya NYI girah  seorang yang menyambutnya. 

Kakaknya memandangi arwah mpu sindok  dari ujung rambut ke 

ujung kaki, lantas berseru: “Hei, pakaianmu kebesaran. 

Dapat pinjam ya?” 

“He eh!” rungut arwah mpu sindok , terus ke belakang dan 

memberikan pakaiannya yang basah kepada bi Yati untuk 

dicuci. NYI girah  menguntit dengan setia di belakangnya. 

Bertanya: 

“Punya siapa?” 

“Teman,” jawab arwah mpu sindok , berjalan ke kamarnya. 

“Teman gadis ya?” 

arwah mpu sindok  membuka lemari pakaian miliknya. “Aku 

tak doyan gadis buntet...” sambil ia mengembang-

ngembangkan pinggang baju dan paha celanan yang ia pakai, 

sekedar membuktikan kebenaran kata-katanya. 

“Barangkali saja, yang kau pinjam itu pakaian 

bapaknya,” NYI girah  tidak mau kalah. 

“Memang!” 

Sejenak, NYI girah  melongo. Kemudian memekik: 

“Ya Tuhan... kau apakan gadis itu, Yanto? Jangan-jangan...” 

 80 

“Jangan kuatir, kak. Aku cuma terpeleset di jamban 

mereka. Pakaianku kotor dan baunya bukan main. Maka, 

sebab  gadis itu kebetulan tidak punya saudara laki-laki, aku 

lantas dipinjami baju bapaknya. Titik.” 

“Masih koma!” potong NYI girah  tak puas. 

“Bapaknya setuju?” 

arwah mpu sindok  menangkap arah pertanyaan kakaknya. 

Maka dengan lihay ia menjawab: “Gadis itu lari terbirit-birit 

manakala aku buka kancing celana!” dan dengan gerakan 

menantang dia pun nekad membukai kancing celana di 

depan kakaknya. 

“Amit-amit!” pekik NYI girah . 

Lantas ia pun minggat dari kamar arwah mpu sindok , lari 

terbirit-birit. 

 

*** 

 

 

Sebelas 

 

Affair di kamar mandi itu bukannya tidak 

menimbulkan akibat. Si burung dara terus mengeram di 

sarangnya. Sulit dipancing keluar. Begitu mengenali suara 

arwah mpu sindok  di telepon, gadis itu selalu menjawab: “Maaf, 

salah sambung!” 

Ditunggu sepulang sekolah, si gadis lekas menggaet 

satu dua temannya mengajak berkomplot. Kepada ‘si 

penjaga gerbang yang setia’, mereka berkata: “Kami mau 

 81 

membuat paper, atau, “Kami mau pergi praktek ke apotek,” 

sebab  si burung dara memang sekolahnya di SAA. Dikirimi 

surat, selalu kembali tanpa dibuka disertai catatan: Pindah 

Alamat. Didatangi ke rumahnya, disambut oleh pembantu 

yang mengatakan: “Neng Ronggolawe  sedang pergi.” Kalau 

kebetulan kepergok lalu gadis itu lari bersembunyi, 

pembantunya berkata begini: “Maaf ya. Neng Ronggolawe  katanya 

sakit perut...!” 

Akan namun  arwah mpu sindok  tidak habis akal. Sebenarnya, 

bakat polisinyalah yang muncul tanpa ia sadari.  

Dari kejauhan diam-diam ia mengintip kebiasaan 

Ronggolawe . Kemudian ia ketahui bahwa setiap Selasa dan Jumat 

sore, gadis itu privat les Bahasa Inggris di rumahnya. Pada 

waktu bersamaan, ibunya berangkat meninggalkan rumah 

untuk les senam. Ayahnya, seorang kontraktor bangunan, 

baru pulang malam hari. Puas menyelidiki Ronggolawe , arwah mpu sindok  

ganti menyelidiki guru privat itu. Dengan segala kesabaran 

dan ketekunan akhirnya ia ketahui alamat serta nama guru 

privat Ronggolawe , bahkan juga nama dan pekerjaan suaminya. 

arwah mpu sindok  lalu menyusun rencana. 

Sewaktu NYI girah  lengah, arwah mpu sindok  

mempergunakan kesempatannya. Ia mencuri pinjam 

sejumlah milik pribadi kakaknya. Blus katun, beha, beberapa 

helai saputangan, wig sebatas pundak, kacamata gelap. Ia 

juga tak lupa menyambar kotak bedak serta lipstik. Celana, ia 

tak usah kuatir. Guru privat Ronggolawe  suka pakai celana longgar. 

arwah mpu sindok  dapat mempergunakan celananya sendiri, namun  

yang agak sempit. Guru privat itu memang tidak setegap 

arwah mpu sindok , namun ukuran tinggi mereka mujur hampir 

 82 

sama. Perlengkapan itu dijejalkan arwah mpu sindok  ke sebuah tas 

tangan kakaknya yang cukup besar untuk memuat semua 

benda-benda itu. NYI girah  tidak akan segera mengetahui 

perbuatan adiknya. sebab  tiap hari Jumat NYI girah  kuliah 

siang sampai sore dan biasanya diteruskan kencan dengan 

Parlaungan. 

sesudah  ibunya tidur, arwah mpu sindok  menyelinap ke luar 

rumah. Ia naik mikrolet ke tempat tujuan. Tidak jauh dari 

rumah Ronggolawe , ia turun. Ia masuk ke sebuah restoran. Makan, 

sambil menunggu. sesudah  waktu yang ia perkirakan tepat, ia 

pergi ke telepon umum tidak jauh dari restoran. Uang 

recehan ia bawa secukupnya. Pertama-tama ia menelepon 

ke kantor ayah si gadis. Dengan suara dibesarkan, ia 

mengarang nama dan alamat palsu, menjelaskan bahwa ia 

dan ‘sejumlah teman’ bermaksud membangun sebuah 

supermarket. Lalu berkata serius, “.... sebelumnya, kami 

ingin konsultasi dulu dengan Pak Suparjan,” ia menyebutkan 

nama ayah Ronggolawe . 

Ia memperoleh jawaban bahwa orang yang ia cari 

kebetulan sedang pergi menghadiri undangan makan 

seorang pembantu Walikota. Pulangnya mungkin agak 

malam dan tidak akan kembali ke kantor.  

“Di sini ada wakil beliau. Perlu kami panggilkan?” 

ujar orang yang menerima telepon.  

“Tak usahlah. Nanti kami telepon lagi!” 

arwah mpu sindok  meletakkan telepon, memasukkan koin 

uang logam lima-puluhan lalu memutar nomor telepon guru 

privat Ronggolawe . 

“Hallo? Apa saya berbicara dengan zus Lilian?” 

 83 

“Benar. Ini dari mana ya?” 

arwah mpu sindok  sengaja menarik nafas panjang. Pura-

pura bimbang sebentar, baru kemudian: “Ini dari kantor 

DLLAJR Pulo Gadung, zus. Saya teman sekerja bung Tarjo, 

suami zus. Bagian kir kendaraan...” ia gantung suaranya 

sekali lagi. 

“Ya, ya. Ada apa? Apa yang terjadi?” guru privat yang 

malang itu mendesak tak sabar. 

“Ada... eh, kecelakaan kecil. Tak seberapa parah... 

Benar, bung Tarjo cedera... Oh, ada pengemudi lalai, dan... 

Tidak, ia tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Hanya sedikit 

lecet, begitu. Oh... oh, tak usah, zus. Katanya ia dapat pulang 

sendiri.” 

Sesuai dengan harapan arwah mpu sindok , lawan bicaranya 

mendengus tak sabar: “Saya akan ke sana segera!” lalu 

hubungan pun putus. Perempuan itu sampai lupa 

mengucapkan terima kasih. Memang tak perlu, saat ini. 

Nanti di Pulo Gadung, boleh saja. Terima kasih untuk Tuhan, 

sebab  suaminya sehat wal’afiat adanya. 

Telepon terakhir, langsung ke alamat rumah Ronggolawe . 

Ternyata dipakai. arwah mpu sindok  menunggu tiga menit, 

kemudian menghubungi lagi nomor-nomor yang sama. 

Jantung arwah mpu sindok  berdegup kencang. Semoga bukan ibu 

Ronggolawe  yang menerima. Dan memang bukan. sebab  ia segera 

mengenali suara Ronggolawe : “Halo?” 

arwah mpu sindok  sesaat gemetar. Sesaat pula, hampir 

bergerak memperkenalkan dirinya, menyatakan cinta dan 

kerinduannya yang sudah tak tertahankan lagi. Untung ia 

 84 

dapat menahan diri. Dengan suara dikecilkan, ia berkata di 

telepon: “Halo. Boleh bicara sebentar dengan Tante Sofie?” 

“Mama barusan pergi. Ini siapa?” 

“Pergi? Ke mana?” 

“Biasa, senam. Ini siapa?” 

“Temannya. Sudah ya?” 

arwah mpu sindok  berdesah panjang sesudah  selesai 

menelpon. “Hebat!” setengah berseru, ia memuji diri sendiri. 

“Luar biasa!” Kemudian bergegas lagi ia masuk ke restoran. 

Pelayan masih mengingatnya sebagai pemuda yang tadi 

sesudah  makan lalu memberi tip besar sebelum pergi. 

Mendengar pertanyaan arwah mpu sindok , pelayan itu terkejut: 

“Apakah hidangan kami tak cocok dengan perut Tuan 

muda?”  

“Tidak, tuan muda hanya ingin kencing sebentar.” 

Dengan senang hati pelayan itu mengantarkan 

sampai ke depan pintu kamar kecil.  

Tak ada pintu samping dekat kamar kecil. Mungkin 

menjaga kemungkinan pengunjung yang nakal tak mau 

bayar. Jadi terpaksa harus lewat pintu depan, arwah mpu sindok  

mengeluh dalam hati seraya menyelinap ke dalam kamar 

kecil. Lima menit kemudian, arwah mpu sindok  keluar dari kurungan 

berbau amoniak itu. Satu dua orang pengunjung restoran 

memperhatikan dengan mata dan senyum genit sementara 

arwah mpu sindok  melangkah dengan lenggang gemulai ke pintu 

depan restoran. Si pelayan, ternganga sejenak, menepuk-

nepuk jidatnya, lantas menggerutu: “Huh! Kalau aku tahu dia 

itu wadam...!” 

 85 

Di jalan, arwah mpu sindok  melambai Helicak kosong yang 

kebetulan lewat. Guru privat Ronggolawe  sering datang dengan naik 

Vespa, namun  sesekali juga naik Helicak atau Bajaj. arwah mpu sindok  

menyebut kemana supir harus mengantarkannya. Dan pada 

supir yang menyeringai melihat penampilannya, arwah mpu sindok  

membentak dengan suara berat: “Apa lihat-lihat!” 

“Ja-ilee. Galaknya!” sahut supir Helicak seraya 

menjalankan kendaraannya. Supir itu masih menyeringai 

saat  arwah mpu sindok  membayar dan turun di depan rumah 

Ronggolawe . Sambil mengebut Helicak-nya, sang supir terdengar 

tertawa ngakak, sambil mengejek: “Cakep sih cakep. Tapi 

baunya...!” 

Terkesiap juga arwah mpu sindok . Ternyata ia lupa memakai 

parfum. Tak apalah. Toh nanti pintu yang dia ketuk, tidak 

punya hidung. Sekarang, maju, serbu, selagi lawan lengah! 

Kuatir penampilannya jauh berbeda dengan sang guru privat, 

arwah mpu sindok  cepat melenggang memasuki halaman rumah 

besar di depannya. 

Bel ditekan. Ning-nong...! 

Jantung berpacu. Dak-duk-dak-duk! 

Lamat-lamat terdengar suara langkah mendekat di 

sebelah dalam pintu. Hampir saja arwah mpu sindok  

memperlihatkan seringai lewat kaca jendela tembus sebelah, 

sebab  hal itulah yang selalu dilakukan sang guru privat 

sebelum pintu dibuka. Ingat diri, arwah mpu sindok  memutar tubuh, 

pura-pura asyik memperhatikan lalu lintas di jalan raya. Tas 

ditekankan ke dada, sambil meraba-raba apakah ‘payudara’ 

nya kiri kanan sama besar, atau letaknya tinggi sebelah. 

 86 

Maklum, sapu tangan yang digumpal-gumpalkan di balik 

beha, tak dapat dipercaya... 

“Selamat sore, Tante Lilian...” arwah mpu sindok  pucat pasi 

mendengar suara Ronggolawe  yang lembut, ramah. “Lagi lihat apa, 

Tante?” 

arwah mpu sindok  meski gugup, masih mampu menguasai 

diri. Kepalanya dirundukkan dalam, kemudian menyelinap 

masuk dengan langkah bergegas, seperti tikus menyerobot 

masuk ke liang sebab  takut oleh kucing. Ronggolawe  yang dilewati 

begitu saja, sempat terheran-heran, kemudian terdengar ia 

memekik tertahan. arwah mpu sindok  masih tegak di tengah ruang 

depan itu, membelakangi Ronggolawe . Ia mulai kalang kabut, dan 

sempat berpikir, kabur saja sekarang sebelum Ronggolawe  berteriak 

minta tolong. Sayang, sendi-sendi lututnya sekali ini tidak 

mau bekerja sama. Ia hanya berdiri mematung, tak berani 

berpaling. 

Kemudian, ia mendengar suara Ronggolawe . Bukan suara 

jerit ketakutan. Melainkan, suara mengejek: “Sepatunya 

cantik, Tante. Dapat beli di mana?” 

Tercengang, arwah mpu sindok  mengawasi kakinya, dan 

saat  melihat sepatunya sadarlah bahwa ia telah melupakan 

untuk mencuri pinjam juga sepatu berhak tinggi milik 

kakaknya. Ia mengenakan sepatunya sendiri, sepatu laki-laki! 

Tak sadar, ia memaki: “Sialan!” 

Di belakangnya, terdengar suara tertawa membadai, 

disertai ucapan terputus-putus: “Yanto... yang ma... lang, apa 

tak gatal... tuh, kepalanya...” 

arwah mpu sindok  jatuh terhempas di kursi. 

 

 87 

Barulah ia lihat Ronggolawe  membungkuk terpingkal-

pingkal, begitu hebatnya sampai air mata Ronggolawe  berleleran. 

Tak berapa lama kemudian, tawa Ronggolawe  tersentak-sentak, ia 

memegangi perutnya, duduk dengan susah payah sambil 

mengeluh: “Aduh, perutku.” 

namun  sesudah  melihat tampang arwah mpu sindok  yang 

tidak karu-karuan, lebih-lebih wignya yang sangat semrawut, 

tawa Ronggolawe  meledak lagi. 

Bi Asem pembantu rumah mereka berlari-larian dari 

dapur sebab  ingin tahu. arwah mpu sindok  berpaling dan mendeliki 

perempuan itu, yang sesaat  berubah pucat. Matanya 

ketakutan setengah mati, lantas mundur tak teratur sambil 

terengah-engah: “Naudzubillah – ada dedemit masuk 

rumah...” dan berikutnya, terdengar pelayan itu 

membanting pintu. Nyumput di kamarnya. 

Tawa Ronggolawe  kian menjadi-jadi. 

Pelan-pelan, arwah mpu sindok  akhirnya dapat juga 

tertawa. Makin lama, makin berderai-derai. Wignya copot, 

terbang ke lantai. Blusnya terguncang-guncang, sehingga 

sebelah payudaranya tetap mencuat, sebelah lainnya 

bertambah gepeng. Dari bawah bagian dada gepeng itu, 

lewat tepi blus yang terbuka, jatuh berhamburan helai demi 

helai sapu tangan. 

Lima menit berikutnya, arwah mpu sindok  dan Ronggolawe  saling 

tukar pandang. Beha telah ditanggalkan arwah mpu sindok . Blus 

kakaknya ternyata serasi juga dengan ketampanan 

wajahnya. Rambutnya yang tidak teratur, semakin 

menambah kematangan penampilannya. Matanya menatap 

lurus ke mata Ronggolawe . Gadis itu membalasnya. Hangat. 

 88 

 

“Mestinya, aku mengusirmu,” Ronggolawe  berbisik lirih. 

“Usirlah.” 

“Mestinya, aku memakimu.” 

“Makilah.” 

“Mestinya aku membencimu.” 

“Bencilah.” 

“Tahukah kau, betapa aku merindukanmu?” bisik 

Ronggolawe  lagi, tergetar. 

“Aku juga.” 

“Aku kehilangan kau.” 

“Aku juga.” 

“Kau terlalu!” 

“Kau juga.” 

“Yanto...” 

“... Ronggolawe .” 

Mereka berdua bangkit serempak dari kursi masing-

masing, lengan saling mengembang, lalu saling meraih, saling 

memagut. Wajah yang satu mendekati wajah yang lain. Dua 

pasang bibir, cari-carian celah dengan gelisah. Dan saat  

bertemu, pertemuan itu lama sekali, seakan tak mau 

dilepaskan. 

Ronggolawe  kemudian jatuh bersimpuh di lantai dengan 

nafas tersengal.  

arwah mpu sindok  ikut bersimpuh.  

“... mengapa, Ronggolawe ?” desah arwah mpu sindok , getir. 

“Apanya?’ 

“Kau juga menyingkirkan aku.” 

“Menyingkirkan kau?” 

 89 

“Ya.” 

Ronggolawe  menelan ludah. “Kau tahu?” ia bergumam. 

“Apa?” 

“Peristiwa di kamar mandi itu...” 

Memerah kulit muka arwah mpu sindok . “Ya?” ia mengeluh. 

“Kau memanfaatkan keadaanku,” suara Ronggolawe  tajam 

menusuk. 

“Keadaanmu?” 

“Waktu itu aku masih mabuk.” 

“Ronggolawe ...” 

“Benar, bukan?” 

“Tidak.” 

“Bohong!” 

“Demi Tuhan!” 

“Sungguh?” 

“Ya.” 

“Lalu... mengapa kau tak menyadarkan aku?” 

“Gairahku sangat terkutuk, Ronggolawe .” 

“Siapa yang lebih dulu buka baju?” 

“Kau, Ronggolawe .” 

“Bohong!” 

“Demi Tuhan!” 

“Untung tak jadi, ya?” Ronggolawe  tersenyum. 

“Ya. Untung tak jadi...” arwah mpu sindok  ikut tersenyum. 

“Untung aku mens ya?” 

“Ya. Untung kau mens.” 

“Memalukan bukan?” 

 90 

“Ya. Memalukan...” arwah mpu sindok  tersentak, lantas 

buru-buru memperbaiki: “Maksudku, sikapku waktu itu 

sangat memalukan...” 

Ronggolawe  tertawa. Lunak. “Tak akan lagi bukan?” 

bisiknya. 

“Apa?” 

“Peristiwa memalukan itu.” 

“Ya. Tak akan lagi, Ronggolawe .” 

“Kecuali...” 

“Kecuali apa, Ronggolawe ?” 

“Kita menikah.” 

“Oh!” 

“Kok oh, Yanto?” 

“Kita masih... masih sekolah, Ronggolawe .” 

“Ah. Kau benar.” 

“Kita masih punya waktu.” 

“Ya. Kita masih punya waktu...” 

“Selama tidak ada orang lain di hatimu, Ronggolawe .” 

“Hanya kau seorang, Yanto.” 

“...” 

“Bagaimana dengan gadis-gadismu yang lain? Fitri. 

Nina...” 

“Telah kulupakan, Ronggolawe .” 

“Bohong!” 

“Demi Tuhan!” 

“Kau bisa?” 

“Ya.” 

“Mengapa?” 

 91 

“sesudah  peristiwa di kamar mandi itu, Ronggolawe . Aku 

merasa sangat bersalah. Aku telah menjamah tubuhmu, di 

luar batas.” 

“Belum terjadi Yanto.” 

“Hampir Ronggolawe .” 

“Aku yang salah.” 

“Bukan kau, Ronggolawe . Aku.” 

“Aku, Yanto.” 

“Aku, Ronggolawe .” 

“Baiklah. Kita berdua sama-sama bersalah.” 

“Betul juga!” 

“Yanto...” 

“Hem?” 

“Tadi itu...” 

“Yang mana?” 

“Kau bilang, aku juga menyingkirkanmu. Apa 

maksudmu?” 

arwah mpu sindok  menarik nafas. Katanya, murung: “Aku 

dibenci papa. Dijauhi mama. Diacuhi kak Tien!” 

“... oh!” 

“Sudah lama aku tak betah di rumah. Pergi sekolah 

lebih pagi. Pulang lebih sore. Dan makin sering aku nginap di 

rumah teman. Dengan alasan, mengerjakan PR.” 

“Mengapa, Yanto?” 

“Entahlah.” 

“Apa kesalahanmu?” 

“Tak tahu.” 

“Aneh...” 

“Mungkin sebab  rahasia itu, Ronggolawe .” 

 92 

“Rahasia?” 

“Ya, mengenai papa.” 

Ronggolawe  membuka mulut. Ingin bertanya. namun  segera 

mengatupkan mulutnya kembali. Ibunya selalu bilang: 

“Jangan campuri urusan orang lain, kecuali diminta.” Ia 

menunggu arwah mpu sindok  mengajukan permintaan itu. Yang 

ditunggunya, tak kunjung tiba. Dari wajah arwah mpu sindok  yang 

bertambah murung, ia kemudian memahami, bahwa diam-

diam arwah mpu sindok  menyesal sebab  terlanjur ngomong. 

“Mau minum, Yanto?” 

Si pemuda manggut. Lesu. 

“Tunggu ya sebentar.” 

Ronggolawe  beranjak ke dapur. Dan selama Ronggolawe  di dapur, 

arwah mpu sindok  berfikir keras. Pikirnya: “NYI girah  tidak lagi 

ngomel-ngomel kalau aku pulang terlambat. Mama tidak lagi 

menanyakan mengapa aku sering pergi ke sekolah tanpa 

lebih dulu makan pagi. Papa tak lagi menegur, mengapa aku 

makin sering tidur di rumah orang.” 

Jiwanya serasa dicabik-cabik. Pundaknya 

terguncang.  

Tiba-tiba, ia dengar suara lembut Ronggolawe . “Kau 

menangis, Yanto.” Gadis itu membungkuk, mengambil 

tangan arwah mpu sindok , membawanya ke dadanya. Katanya, lebih 

lembut lagi: “Aku ingin menangis bersamamu, Yanto. namun  

dengan menangis... persoalanmu tidak akan dapat kita 

selesaikan.”  

Namun toh saat  arwah mpu sindok  mendekapnya begitu 

kuat, terisak-isak di bahunya, merembes juga air mata Ronggolawe ... 

*** 

 93 

Dua belas 

 

Lama juga waktu berlalu sebelum akhirnya 

arwah mpu sindok  menyadari kekeliruannya.  

Ia sudah duduk di bangku kelas tiga SMA, saat  

NYI girah  menyelesaikan studinya di Akademi Bahasa Asing. 

Tawaran pekerjaan sudah datang untuknya dari sebuah 

perusahaan swasta yang bonafiditasnya tidak pernah 

diragukan umum. Sambil menimbang-nimbang apakah 

tawaran itu ia terima saja atau lebih baik melamar jadi 

pegawai negeri, NYI girah  lebih dulu ingin memperoleh 

keputusan dari ayah mereka. Keputusan yang jauh lebih 

penting daripada ijazah ABA-nya, keputusan yang jauh lebih 

berharga daripada tawaran pekerjaan perusahaan manapun 

juga. 

Keputusan itu, mengenai pernikahannya. 

sesudah  dipilih waktu yang tepat, ayah pun sedang 

rilek pula, maka berlangsunglah peperangan itu! 

Bermula dengan obrolan santai kian kemari. Ujung-

ujungnya, NYI girah  berdehem-dehem. Ibu menangkap 

makna deheman itu, lantas berpaling pada suaminya. 

Dengan ketetapan hati, beliau berkata seolah sambil lalu: 

“Pak. Anak kita, Alhamdulillah, telah berhasil 

menyelesaikan kuliahnya. Jadi, masa depannya tidak lagi 

begitu kita kuatirkan. Yang kini harus kita pikirkan, adalah 

usianya. NYI girah  sudah waktunya memulai hidup baru,” 

dia berhenti sebentar mencari kata-kata terbaik untuk 

diucapkan. Lalu, “Bagaimana menurut pandanganmu, pak. 

 94 

Apakah NYI girah  kerja dulu baru menikah, atau menikah 

dulu baru bekerja?” 

Sepi sejenak. NYI girah  bergidik. arwah mpu sindok  dapat 

merasakannya. Sang kepala keluarga, menyedot pipa 

cangklongnya kuat-kuat. Akhirnya:  

“Bagaimana baiknya sajalah,” jawab ayah mereka, 

datar. 

Itu bukan jawaban yang dikehendaki. Namun sang 

isteri dapat menahan sabar. Gumamnya: “Maksudmu, pak?” 

“Lho. Maksudku jelas. Aku tak berhak menjawab 

pertanyaan itu. Yang lebih berhak orangnya.” 

Sang penengah, berpaling memandangi anak 

perempuannya. Meski sudah tahu apa jawabannya, toh ia 

bertanya pula: “Bagaimana, nak? Ayahmu memberimu 

kebebasan memilih.” 

NYI girah  merundukkan kepala, menekuri kakinya. 

Ia tersipu malu. namun  jauh dalam hati sanubarinya, ia 

ketakutan setengah mati. Lama, baru ia menyahuti: “Aku 

sih... maunya berumah tangga dulu...” ia memperdengarkan 

tawa orang sakit gigi. Meneruskan: “Lagi pula soal bekerja, 

ada baiknya dimintakan pendapat calon suamiku.” 

“Pikiran bagus,” sela ayah. “Pikiran bagus. Kudengar-

dengar, Praktikto mendambakan seorang isteri tipe ibu 

rumah tangga tulen. Ia agak kuno, memang. Tidak mau 

punya isteri seorang wanita karier. Alasannya kumengerti. 

sebab  ia sendiri mempunyai penghasilan lebih dari cukup, 

dan dia...” 

 95 

Di kamarnya, bolpen di tangan arwah mpu sindok  lepas, 

menggelinding ke lantai. Di ruang tengah, NYI girah  

bertanya setengah menjerit: “Si... siapa pa?” 

“Praktikto. Putera bungsu Hasbullah, Uwamu. 

Mereka sudah lama menanti. namun  memahami 

keinginanmu menyelesaikan kuliah lebih dulu, mereka mau 

mengerit. Sekarang... hei, kau sakit, NYI girah ?” 

Ibu tidak bertanya apa-apa. Rupanya ibu mendadak 

hilang gairah. NYI girah  akhirnya bersuara juga: “Aku tak 

apa-apa, papa. Aku hanya...” lalu tiba-tiba saja ia menangis 

tersedu-sedu. Sambil menangis, ia mengeluarkan jeritan 

hatinya: “Mas Praktikto tidak pantas memperisteri aku, 

papa... 

“Apa pula maksudmu?” ayah membentak. “Apakah 

kau tetap ingin mempersuamikan orang Batak sialan itu?” 

Terdengar keluhan berat, keluhan sakit. Keluhan ibu. 

Namun sang suami yang egois itu tidak menyadari telah 

menyakiti hati isterinya. Ia terus menggebu-gebu: “Si Laung 

telah meracunimu, Prihatin. Si Laung telah mendukunimu, 

sehingga kau tidak pernah bisa melepaskan diri dari 

cengkeramannya!” 

“Itu tidak benar, papa!” NYI girah  membela dengan 

sengit. “Justru Parlaungan berulang kali menasihati aku agar 

melupakannya saja dan mencari jodoh yang papa setujui. Ia 

tidak mau hubunganku dengan papa retak, sebab  dirinya. 

namun  aku tahu ia sangat mencintaiku, papa. Aku tak pernah 

punya niat meninggalkannya!” 

“Tidak bisa!” ayah memukul meja begitu kuatnya, 

sehingga meja itu berderak. “Tidak bisa. Tak akan 

 96 

kuperkenankan kau kawin dengan keturunan orang-orang 

yang pernah memperhinakan aku!” 

“Papa. Mereka tidak...” 

“Mereka menghinaku! Mereka menghancurkan 

impianku! Mereka memporak-porandakan kebahagiaanku!” 

papa berubah histeri. 

“... mereka siapa... papa?” NYI girah  terperanjat. 

“Orang-orang Batak itu! Keluarga... tanyakan 

sendirilah pada ibumu! Hai, bu, bu... tak usahlah menangis! 

Coba ingat, apa kata orang tuamu dulu? Apa ha? Batak 

tetaplah Batak, Jawa tetaplah Jawa! Dan hal itu tetap berlaku 

sampai detik ini.” 

“Pak...” suara ibu bagaikan suara orang yang tengah 

sekarat. “Semuanya telah lama berlalu. 

“Aku juga menganggapnya begitu. namun  semua itu 

muncul kembali. sesudah  anakmu ini... si NYI girah  yang 

tidak tahu diri ini, membawa orang sesukumu yang busuk 

hati itu ke rumahku. Parlaungan, hah! Andai aku tahu kau 

masih berhubungan dengan dia di belakangku, NYI girah , 

dia... dia... awas, akan kucari dia mulai besok. Dia harus 

melepaskan anakku, atau...” 

“Persoalannya tidak segampang itu, papa,” potong 

NYI girah , tenang. sebab  kecewa, sebab  sakit hati 

kekasihnya tercinta diumpat dicerca, keberaniannya timbul 

kembali, tegak dengan gagahnya. “Papa tak mungkin lagi 

memisahkan kami.” 

“Apa.. apa pula itu, NYI girah ?” 

“Minggu lalu aku mengunjungi dokter...” 

“Dokter?” 

 97 

“Ya. Dokter kandungan. Aku positif sudah 

mengandung tiga bulan!” 

Sepi menyentak. Sunyi, mencekik. Di ruang tengah, 

seakan tak pernah dihuni manusia, seakan dunia sudah lama 

mati. namun  di kamarnya, arwah mpu sindok  mendadak tersenyum-

senyum. “Itu kan akal bulus si Handini,” ia membatin. “Si Dini 

bilang, kita pura-pura mengaku dia sudah bunting.” Hem 

ilmu Handini ternyata laris juga. NYI girah  kini 

memamerkan ilmu Handini yang belum sempat diamalkan 

itu. 

Lamunan arwah mpu sindok  buyar, manakala sekonyong-

konyong terdengar suara hingar-bingar seperti kursi terbalik 

dan meja terlempar, lalu suara nafas ayahnya yang bagaikan 

nafas kuda habis berpacu, suara kakaknya yang seakan 

tercekik, disusul suara pekik ngeri ibunya: “Ya Allah, pak! 

Jangan! Jangan kau bunuh anakmu!” 

Bagai disengat kalajengking, arwah mpu sindok  terlonjak 

dari kursinya. Tadi ia tidak ambil perduli. Toh mereka juga 

tidak mau perduli padanya. Terbukti, untuk urusan sebesar 

itu ia tidak diajak bermusyawarah. Baru saja arwah mpu sindok  

ambil ancang-ancang untuk menyerbu keluar kamarnya, 

sudah keburu terdengar keluhan ayah:  

“Astagfirulah. Apa yang... kuperbuat.” 

NYI girah  menimpali, kejam nadanya: “Mengapa 

berhenti, papa? Teruslah. Bunuh aku sekalian. Biar 

semuanya selesai...” 

“NYI girah . Aduh!” ibu memekik, memperingatkan. 

“Toh tadi papa sudah mencekik leherku!” NYI girah  

membalas, tak mau tahu. “Aku tidak tahu dan tidak ikut 

 98 

terlibat dalam masa lampau papa. Lalu kenapa pula aku 

harus jadi korban masa lampaunya?” 

Terdengar suara-suara langkah-langkah kaki berat, 

berjalan ke pintu depan. Pintu itu direnggut terbuka, 

kemudian dibantingkan dengan keras. Menyusul suara mesin 

mobil yang menggeram garang, kemudian menderum ke 

jalan raya, suaranya kian lama kian menjauh. 

arwah mpu sindok  terhenyak lagi di kursinya. Geleng kepala. 

“Anak kecil itu minggat sendiri,” gerutunya. 

Ibunya masih menangis terisak-isak. 

NYI girah  tetap tenang. Tetap tabah. Baru sesudah  

ibu bertanya apakah ia sungguh-sungguh dengan 

pengakuannya, bukan hanya pura-pura hamil agar ayah 

takluk, yang dijawabnya benar bahwa ia sudah hamil; 

NYI girah  terkejut oleh raungan ibunya: 

“Dan ayahmu kini pergi, nak. Bagaimana kalau 

terjadi apa-apa atas diri ayahmu, lebih-lebih lagi atas diri 

calon suamimu?” 

“Tuhanku. Jangan!” desis NYI girah , ngeri. 

“Diamlah. Tak usah kau yang pergi. Biar adikmu yang 

kusuruh menyusul ayah kalian...” ujar ibunya. 

Kemudian pintu kamar arwah mpu sindok  digedor kuat-

kuat. Pintu itu mementang terbuka dengan sendirinya. 

sebab  memang semenjak tadi sengaja dibiarkan renggang. 

arwah mpu sindok  terkesima memandangi wajah ibunya yang 

seolah kesurupan. 

“Mengapa kau diam saja, Yanto. Ayo, lekas susul 

ayahmu,” ibunya memohon dengan suara panik. 

arwah mpu sindok  duduk saja. Tenang-tenang. 

 99 

“Yanto!” hardik ibunya. 

arwah mpu sindok  menyahut: “Mengapa pula aku harus ikut 

sibuk? Biarkan saja papa minggat. Toh ia tidak memerlukan 

bantuanku. Toh sudah lama ia membenciku!” 

“Astaga. Apa maksudmu, arwah mpu sindok ?” 

“Sudah hampir dua tahun aku diperlakukan bagai 

orang asing di rumah ini. Papa tak pernah lagi menegur, 

marah, membujuk, mengajak. Papa sudah lama tidak ambil 

open padaku.” 

“Tidak benar itu, nak,” ibunya gemetar hebat. “Kau 

salah sangka. Justru ayahmu sangat menyayangimu, 

memanjakanmu, mengasihimu. namun  tidak mau 

memperlihatkannya terang-terangan. Ia bilang, kau sudah 

berangkat dewasa. Kau harus dibiarkan mencoba berpikir 

sendiri, memutuskan sendiri, berdiri sendiri. Ia tidak ingin 

mengekangmu. Ia justru membiarkan kau berkembang 

semakin dewasa, oleh dorongan jiwamu dari dalam. Ia 

bilang, kau bukan lagi anak kecil yang harus digiring-giring 

menuruti kemauan kami, orang tuamu!” 

arwah mpu sindok  terperanyak mendengarnya. Namun 

belum puas hatinya. Ia menuntut: “Dan mama? Mama juga 

menjauhiku!” 

“Siapa yang menjauhimu, nak? Oh... oh... aku 

mengerti. Ini memang salah ibumu, nak. Selain aku menuruti 

nasihat ayahmu, aku... aku sendiri juga, oh!” ibunya terisak-

isak lagi. “Ini salahku. Aku terlalu larut oleh nasib malangku 

sendiri. Ya Allah...” 

Tahu-tahu NYI girah  sudah tegak di pintu kamar 

adiknya. 

 100 

Ia berkata dingin: “Ingin pula menuduhku, 

arwah mpu sindok ?” sebab  yang ditanya diam saja, NYI girah  

menjawab sendiri: “Aku pun seperti Mama. Aku juga larut 

oleh nasib malangku sendiri. Yang kupikirkan cuma usiaku 

yang kian menua, cintaku yang terancam kandas, dan ayah 

kita yang berhati sekeras baja. Kalau itulah tuduhanmu atas 

diriku, arwah mpu sindok . Aku minta maaf...” 

“Kak...,” arwah mpu sindok  gelagapan. 

“Katakan padaku, dik. Apa yang membuatmu 

berpikir seburuk itu? Kau tidak punya salah, bukan?” 

arwah mpu sindok  tiba-tiba terbuka pintu hatinya. Luapan 

kebencian akan kelakuan ayahnya, nyatanya ia pendam di 

hati. Ia seorang anak yang sudah terbiasa patuh dan hormat 

pada orang tua, sehingga ia tidak pernah punya keberanian 

menuntut ayahnya. Ia juga tidak punya keberanian menyakiti 

hati ibunya. sebab  itu, ia kemudian menyimpan rahasia 

besar yang berhasil dibongkarnya. Rahasia, yang sebab  

didikan keras dan disiplin yang ditanamkan di bawah kasih 

sayang... membuat ia terpaksa harus menyembunyikan 

rapat-rapat dalam dadanya. Ia sendiri yang menjauhi 

ayahnya, sebab  takut ia akhirnya menuntut. Ia sendiri yang 

menjauhi ibunya, sebab  kuatir rahasia itu melukai hati 

ibunya. NYI girah ? Ah. Tak perlu ia tahu rahasia arwah mpu sindok . 

sebab  NYI girah  sudah tenggelam oleh rahasia hatinya 

sendiri. 

“Katakan arwah mpu sindok . Tidak ada waktu untuk 

berahasia-rahasiaan lagi!” NYI girah  mendesak, agaknya 

dapat menyelami jalan pikiran adiknya. 

 101 

“Tapi, mama...” arwah mpu sindok  memandangi ibunya 

dengan cemas. 

Ibunya sudah berhenti menangis. Ia menganggukkan 

kepala, lemah. Berujar, dengan senyuman mendorong, 

senyuman dipaksakan: “Katakanlah, anakku. Tak ada lagi 

yang ibu takuti saat ini.” 

arwah mpu sindok  menelan ludah. 

Kemudian mengatakannya. Pendek saja: “Tribuana Tunggadewi .” 

NYI girah  mengernyitkan dahi. “Tribuana Tunggadewi ? Siapa itu 

Tribuana Tunggadewi ?” 

“Sang dewa penulis . Ia...” 

Terdengar suara keluhan getir, lalu tubuh ibunda 

mereka tersayang meliuk limbung, jatuh ke lantai. Tak 

sadarkan diri. 

 

*** 

 

 

 

Tiga belas 

 

Syukurlah, bencana yang ditakutkan itu tidak sampai 

terjadi.  

sesudah  ibunya siuman dan mengatakan ia baik-baik 

saja, arwah mpu sindok  menyambar Vespa NYI girah  lantas terbang 

ke rumah Parlaungan. Tak ada mobil ayahnya di pekarangan 

rumah itu. Syukur lagi. Jadi papa belum kemari, pikirnya. 

Herannya, di dalam rumah terang benderang. Dan belum 

 102 

juga arwah mpu sindok  memijit bel, pintu sudah terbuka sendiri. 

Sosok tubuh tinggi besar tahu-tahu sudah tegak di depannya. 

“Ah, kau Yanto. Masuklah. Dan jangan bilang 

kakakmu cidera!” ia setengah berseru, kuatir. 

arwah mpu sindok  tidak masuk. Ia langsung menceracau, 

lebih kuatir lagi: “Kakak sih tak apa-apa. Yang kutakutkan 

papa. Menyingkirlah jauh-jauh, bang Laung. Papa akan 

membunuhmu!” 

“Terima kasih, dik. namun  aku tak akan lari. Apa yang 

terjadi?” 

“Gempar, bang, aduh! Mereka berkelahi. Kakak 

dicekik... ah, ah, maksudku hampir dicekik. Kemudian papa 

minggat dari rumah. Katanya ia akan membunuhmu, dan... 

ah, jangan-jangan ia sedang dalam perjalanan kemari, bang 

Laung. Ayolah, jangan berdiri bengong begitu. Larilah, 

lekas...!” 

“Sudah kubilang, dik. Aku tak akan kemana-mana...” 

Wajah Parlaungan tampak keruh. “Hem, sudah kuduga, ayah 

kalian pasti ngamuk. Dan... eh, nanti dulu. Jadi dia minggat 

ya? Siapa yang duluan meninggalkan rumah. Kau, atau 

ayahmu?” 

“Papa.” 

“Kalau begitu, ia belum kesini, dan kalau memang ia 

bermaksud membunuhku, maka ia akan mendahului kau. 

Jangan-jangan... he, Yanto. Kau masukkan Vespamu ke 

dalam. Kau ikut dengan mobilku saja,” Parlaungan 

menghambur masuk. 

“Kita ke mana?” tanya arwah mpu sindok  bingung seraya 

memasukkan Vespa ke dalam. Dari kamarnya, terdengar 

 103 

jawaban Parlaungan yang panik: “Ayahmu. Justru beliau 

yang harus kita kuatirkan!” 

Parlaungan selesai bersalin pakaian, mengeluarkan 

mobilnya dari garasi, lantas ngebut membelah kegelapan 

malam. Wajahnya makin keruh saja, dan beberapa kali ia 

memukul-mukul setir sambil mengumpat-ngumpat tak 

karuan, jelas sangat menyesali dirinya sendiri. arwah mpu sindok  

yang diam saja sebab  masih bingung, batuk-batuk kecil. 

Barulah Parlaungan sadar ia tidak seorang diri, katanya: 

“Coba kau ceritakan aku, Yanto. Bagaimana terjadinya...” 

arwah mpu sindok  menceritakannya. Dan mengakhirinya 

dengan perasaan kuatir yang belum juga hilang: “Mestinya 

abang lari saja. Abang malah cari penyakit!” 

Parlaungan mencoba tersenyum. Bergumam: “Kau 

ini perempuan atau laki-laki, dik?” 

“Laki-laki dong, bang Laung.” 

“Nah. Kalau yang seperti ini terjadi pada dirimu 

sendiri, apa yang akan kau perbuat?” 

arwah mpu sindok  tersedak. Sesaat  ia sadar arah 

pertanyaan Parlaungan. Ia menyesal. “Maaf, bang. Tadi 

aku...” ia batuk-batuk kecil lagi. “Soalnya kalau sampai terjadi 

apa-apa... Ya, ya. Kalau aku sih, tak akan lari, bang!” 

“Bagus! Itu namanya laki-laki. Tak percuma aku 

punya adik ipar macam kau, dik...” Parlaungan menepuk-

nepuk pundak arwah mpu sindok , membuat yang ditepuk-tepuk 

bangga bukan main. Kemudian, “Sekarang, Yanto. Sebagai 

seorang calon polisi, coba tebak. Kemana kita harus pergi 

mencari ayahmu? Seorang ayah yang sedang marah, putus 

asa, kehilangan akal sehat...” 

 104 

Semakin lama semakin rendah suara Parlaungan. Ia 

menggumamkan kata-kata tak karuan lagi. Lupa arwah mpu sindok  

belum menjawab pertanyaannya, ia mendengus:  

“Tak kusangka kakakmu senekad itu.” 

“Nekad bagaimana, bang?” 

“Mengatakan ia telah... ah ya, sudahlah, kau toh 

sudah dengar sendiri dari mulutnya. Yah, tak kusangka ia 

nekad mengatakan pada ayah kalian, kalau ia sudah hamil.” 

arwah mpu sindok  teringat lagi saat ia mendengar hal itu 

dari kakaknya. Teringat pula pada tafsirannya sendiri. 

Teringat pada Handini. Tiba-tiba muncul keingintahuannya, 

“Benarkah begitu, bang?” ia nyelutuk. 

“Sebenarnya semua itu kesalahanku juga,” 

Parlaungan tidak langsung menjawab. “Telah beberapa kali 

terjadi sebelumnya. Namun aku dan kakakmu, mula-mula 

masih dapat bertahan. Masih ingat diri. Masih takut pada 

dosa. Takut akan segala akibatnya. namun  toh, akhirnya tidak 

terelakkan juga.” Sampai di situ Parlaungan terdiam. Ia 

setengah melamun. arwah mpu sindok  ingin bertanya: bagaimana 

terjadinya? Ah, itu bukan pertanyaan yang sopan. Jadi ia 

diam saja. Menunggu. 

“Waktu itu kami piknik berdua. Tanpa rencana. Ke 

Ciater, Subang. Mandi air panas, kau tahu... Bukan hari libur 

waktu itu, dan kami tiba di Ciater sudah agak sore. Jadi sepi. 

Kuajak kakakmu berenang di kolam. namun  ia memilih 

kamar-kamar mandi tertutup. Jadi, kami memilih dua kamar, 

bersebelahan. Baru juga aku nyemplung ke bak mandi yang 

hangat itu, terdengar pekik tertahan kakakmu. Tak sadar 

kalau aku masih bugil, langsung saja aku menghambur ke 

 105 

kamar sebelah. Kakakmu sedang berendam di baknya, namun  

merungkut di pojok. Ia menunjuk ke lantai bak dan aku 

melihat sesuatu yang tampaknya seperti ular. Langsung saja 

aku terjun, berusaha merenggut apa yang tampaknya ular 

itu. Ternyata cuma potongan ranting busuk, yang masuk 

lewat saluran air ke dalam bak. namun  kakakmu yang sudah 

ketakutan, telah memelukku. Tak mau melepaskan aku lagi. 

Kau tahu... kami sama-sama tanpa busana, setengah 

terbenam dalam air hangat... dalam kamar tertutup... sepi di 

sekeliling kami. Dan... astaga! Mestinya itu tidak kami 

lakukan!” 

“.... untung aku tidak,” nyelutuk arwah mpu sindok , 

setengah melamun. 

“Apa?” 

“Di kamar mandi juga. Dengan Ronggolawe . Salah seorang 

pacarku. Kami juga seperti kalian, tanpa penghalang lagi...” 

“Dan?” 

“Dia keluar darah...” 

“Ha, apa?” 

“Dia mens.” 

Parlaungan melongo sesaat, kemudian tertawa 

bergelak. “Lantas, tak jadi?” tanyanya di antara gelak 

ketawanya. 

arwah mpu sindok  manggut. Lalu: “Ah, mestinya tak 

kuceritakan pada abang ya? Malu...” 

“Tak apa. Kita toh sesama lelaki juga.” 

“namun  bang, wah marahnya dia bukan main...” 

“Marah? sebab  tak jadi?” 

 106 

“Bukan. Dia marah, sebab  ia menyangka kejadian 

itu kusengaja. Dia sangka, aku ingin mencelakakannya. 

Untung dapat kami bereskan...” 

Lama Parlaungan membisu. Ujarnya: “Sedang aku 

dan kakakmu, malah tak beres...” 

NYI girah , katanya bercerita, sudah memberitahu 

bahwa malam ini akan meminta ketegasan dari orang 

tuanya. Parlaungan menawarkan diri untuk mendampingi, 

namun  ditolak keras oleh NYI girah . Ia akan menghadapinya 

sendiri, katanya, sebab  pilihannya pun hanya dua: diterima, 

atau ditolak mentah-mentah.  

“Aku sangat kuatir, ia lepas omong mengenai 

kehamilannya... jadi aku tak bisa tidur. Gelisah setengah 

mati. Aku takut terjadi apa-apa. Ternyata benar. Itulah 

sebabnya begitu kudengar bunyi motormu memasuki 

pekarangan, aku langsung membuka pintu. Ahh...” 

Mobil terus dikebut sambil mereka terus bertukar 

cerita. Mereka singgahi rumah sakit Cikini, Cipto, 

Pertamina... mereka keluar masuk kantor-kantor polisi. 

Apakah ada laporan kecelakaan lalu lintas  baru masuk? 

Mobil yang jungkir balik, menabrak pohon, menabrak rumah, 

menabrak mobil lainnya... Namanya? Oh ya, Bambang 

Prakoso. Merk mobilnya, warnanya? Oh ya, Holden Gemini, 

krem... Tidak? Syukurlah. Terima kasih pak, terima kasih, 

terima kasih. 

“... mungkin dia ngeram di kantor,” gumam 

arwah mpu sindok  sesudah  mereka ngebut lagi di jalanan yang sunyi 

sepi. 

 107 

namun  penjaga kantor bilang, yang masuk kantor 

larut malam begitu pasti cuma hantu yang ingin menelan 

arsip. 

“Uh, kemana lagi kita harus mencari?” Parlaungan 

menepuk jidat. 

“... Tribuana Tunggadewi .” 

“Tribuana Tunggadewi ? Siapa itu Tribuana Tunggadewi ?” 

“Dia... eh. Itu nama kelab malam, bang Laung.” 

“Mungkin juga. Sayang, aku bukan tukang keluyuran 

malam, jadi tak tahu ada kelab bernama seperti itu. Hem. 

Apakah kalau sedang amuk-amukan, ayahmu suka 

melupakan sakit kepalanya dengan berajojing?” 

“Hanya kadang-kadang. Biasanya, ia pergi ke bar.” 

“Kalau begitu, kita harus menjelajahi setiap pelosok 

Jakarta. Kecuali kau tahu ke bar mana biasanya ayahmu 

sering menghabiskan waktu.” 

arwah mpu sindok  menyebut beberapa nama bar, sambil 

bersyukur Parlaungan tidak lagi menyinggung-nyinggung 

soal Tribuana Tunggadewi . Ya ampun, hampir dia lepas omong! Coba tadi 

kalau ia tak keburu ingat diri, wah. Runyam dah, berantakan 

semua, yang memang sudah mulai berantakan. Coba, siapa 

pula yang tak malu punya ayah tukang lacur? 

 

*** 

 

Holden Gemini krem itu akhirnya mereka temukan di 

parkir di halaman bar ‘Exotic’ di kawasan Tanah Abang, yang 

ternyata tidak begitu jahu letaknya dari rumah tempat 

Parlaungan kost. arwah mpu sindok  berpikir, mungkin ayahnya telah 

 108 

ke rumah Parlaungan namun  keburu mereka berdua pergi. 

Mungkin juga ayahnya bermaksud ke rumah Parlaungan, 

namun sebab  sesuatu hal, dibatalkan sendiri. Kemungkinan 

mana pun yang paling benar, persoalannya sama saja. Ayah 

yang terhina itu memang berniat mendatangi orang yang 

telah menghinanya. 

arwah mpu sindok  kembali ketakutan. Berharap Holden 

Gemini itu bukan punya ayahnya. namun  plat nomornya 

cocok, juga variasi lampunya. Ia bermaksud turun 

mendahului calon abang iparnya, bermaksud menahan laki-

laki itu menunggu saja di mobil. Parlaungan memang 

bertubuh tinggi besar. Lebih tinggi, lebih besar dari ayahnya. 

namun  yang dihadapi Parlaungan adalah seorang ayah yang 

sedang naik pitam, dan mungkin sudah mabuk. Alangkah 

memalukannya! 

Parlaungan menyeret arwah mpu sindok  masuk lagi ke 

mobil. “Kau diam di sini saja!” katanya, tegas. Matanya 

memancar lebih tegas lagi, tanpa kompromi. Tulang-tulang 

pipi serta dagunya menonjol semakin keras; ciri khas 

Bataknya yang pantang menyerah. 

“Tapi bang...” 

“Kubilang, tunggu di sini. Kalau nanti kupanggil, kau 

baru boleh masuk. Mengerti?” 

arwah mpu sindok  mengalah. “Hati-hati, bang Laung,” 

katanya. Ia hanya pura-pura mengalah. Ia tidak mau 

Parlaungan cedera, sebab  ia sayang pada calon abang 

iparnya itu. Sebaliknya, ia juga ingin ayahnya baik-baik saja, 

sebab  arwah mpu sindok  anaknya. sesudah  sebentar bimbang tak 

menentu, arwah mpu sindok  diam-diam meluncur turun dari mobil. 

 109 

Begitu Parlaungan lenyap di dalam bar, arwah mpu sindok  lekas 

memburu. Ia tidak masuk, hanya berdiri di luar mengawasi 

lewat jendela kaca. Bar itu remang-remang, sepi di dalam. 

Hanya ada dua tiga orang pengunjung. Satu-satunya tamu di 

meja bar, hanya ayahnya seorang. Ayah yang memegang 

sloki kristal berkaki tinggi di tangan, isinya setengah kosong, 

cairan minuman itu merah saga, seperti juga kulit wajah 

ayahnya, memerah saga. 

Bambang Prakoso, ayahnya tengah memutar-mutar 

sloki minuman di depan matanya, seolah ingin memutar-

mutar leher orang yang dibencinya. Jantung arwah mpu sindok  

berdebar kencang, wajahnya terasa bagai dilapisi es batu. Ia 

lihat Parlaungan melangkah tenang-tenang ke arah bar. 

Tampak punggungnya yang besar, pundaknya yang lebar, 

otot-otot lengannya yang kekar, langkah-langkah kakinya 

yang perkasa. 

Bambang Prakoso mendengar ada orang 

mendekatinya. Ia menoleh.  

Parlaungan tertegun, mungkin terperanjat 

dipandangi begitu tiba-tiba. Dari balik jendela, arwah mpu sindok  

seakan dapat melihat pundak Parlaungan bergetar. Dan dari 

balik pintu yang setengah terbuka, ia dengar suara berat dan 

sopan: “Boleh saya ikut minum, pak?” yang bicara, 

Parlaungan. 

Gelas kristal di telapak tangan Bambang Prakoso, 

berderak. Kepingan-kepingan gelas itu jatuh ke lantai. 

Pelayan bar memandang terkejut, lalu pucat. Wajah-wajah 

suram di meja-meja bar, berpaling ingin tahu, namun tak 

seorangpun yang tertarik untuk menengahi. Malah wajah-

 110 

wajah yang tadinya suram itu mendadak berubah cerah. 

Senang bukan main: ada tontonan gratis! 

arwah mpu sindok  menggigil. Siap untuk menyerbu ke 

dalam. namun  persendian lututnya seakan copot. Tak mau 

kerja sama. Dan tahu-tahu ayahnya bergerak. Tinjunya 

melayang, keras sekali. Mendarat di wajah Parlaungan. Yang 

ditinju, tidak mengelak. Parlaungan terdongak, namun 

tubuhnya tetap kukuh, tak mundur walau setapak. Bambang 

Prakoso memaki-maki: “Ayo berkelahilah kalau kau merasa 

dirimu seorang laki-laki!” lalu tinjunya melayang lagi, lagi dan 

lagi, mendarat bertubi-tubi di wajah dan perut Parlaungan. 

Tubuh tinggi besar itu perlahan-lahan meliuk, limbung, namun  

tidak sampai terjatuh. Dengan perkasa, Parlaungan sudah 

tegak lagi. 

“Hayo, kau mahluk pejantan. Lawanlah!” bentak 

ayah arwah mpu sindok , bergemuruh. “Atau beranimu cuma 

menghamili anak perempuanku, eh?” 

“Cukup, pak!” untuk pertama kali, Parlaungan 

membentak tajam. 

“Cukup nenekmu! Mestinya nenekmu saja yang kau 

buntingi dan...” ucapan ayahnya terputus sampai di situ. 

Tinju Parlaungan sudah melayang. Tampaknya tidak begitu 

keras, namun ayah arwah mpu sindok  sesaat  terhempas 

membentur meja bar. Dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, 

Parlaungan sudah menyambarnya. Dengan sebelah tangan ia 

merogoh saku, meletakkan beberapa lembar uang ribuan di 

meja bar. Dan dengan sebelah tangan lainnya, ia mulai 

menyeret ayah arwah mpu sindok  ke pintu. Tubuh yang diseret itu 

diam saja, juga saat  dengan gerakan ringan Parlaungan 

 111 

mengangkatnya ke pundak, dan kemudian mendudukkannya 

di jok belakang mobil. 

“He, Yanto. Kau kemana?” seru Parlaungan mencari-

cari. 

arwah mpu sindok  tersadar dari kejutnya. Ia lari 

menghambur dari beranda bar, masuk ke dalam mobil 

dengan cemas. Ayahnya pingsan, namun tidak ada bagian 

tubuhnya yang cedera. 

Terdengar rungutan Parlaungan: “Ia mabuk.” 

Dan mobil meluncur ke jalan. Pulang ke rumah. 

Barulah sesudah  ayahnya dibaringkan di kamar tidur 

di bawah perawatan ibunya, arwah mpu sindok  melihat Parlaungan 

tengah dirawat sambil ditangisi NYI girah . Bibir Parlaungan 

pecah, mata kirinya bengkak membiru, perut dan dadanya 

memar-memar. 

Menjelang pagi, Parlaungan diminta calon ibu 

mertuanya masuk ke kamar. NYI girah  dilarang ikut, begitu 

pula arwah mpu sindok . namun  mana arwah mpu sindok  sudi ketinggalan 

berita! Jadi ia tempelkan kuping di daun pintu yang tertutup. 

Ia dengar desah nafas berat ayahnya. Dan isak tangis ibunya 

yang ditahan. Ia juga mendengar suara lirih Parlaungan, 

minta maaf atas kejadian di bar tadi. 

“Sungguh mati, aku tak berniat melukai Bapak,” 

desahnya. 

“Kau telah melukai hatiku, bung!” rungut ayah 

arwah mpu sindok , hambar. Mabuknya jelas sudah hilang. Tinggal 

nafasnya yang berat dan makin berat saja. Lalu keluarlah 

ultimatum itu: “Kau bersedia menikahi NYI girah , 

puteriku?” 

 112 

“Tentu.” 

“Yaaah, tentu! Kau toh sudah membuntinginya!” 

“Pak!” ibu arwah mpu sindok  mengeluh, tajam.  

Ayah mendengus, tak perduli: “Orang tuamu di 

Siantar sudah kau beritahu?” 

“Sudah, pak.” 

“Mereka setuju?” 

“Mereka bahagia, pak.” 

“Bahagia. Bah!” 

Mendengar rungutan ayahnya di dalam, di luar pintu 

arwah mpu sindok  tidak dapat menahan tertawanya.  

“Manusia sialan mana yang ngakak itu, he?” 

terdengar ayahnya memekik. 

arwah mpu sindok  pucat pasi. Ngacir dari pintu. Terbirit-

birit. 

 

*** 

 

  

 113 

BAB TIGA – KERIKIL TAJAM 

 

Empat belas 

 

“Sudah kau catat semua, Yanto?” 

“Sudah, mama.” 

“Berapa jumlah yang diundang?” 

“Hampir dua ratus orang, mama. Tetangga-tetangga 

sekitar, teman-teman arisan mama, teman-teman sekantor 

papa, famili...” 

“Tak ada yang terlewat?” 

“Rasanya sih tidak, mama...” 

“Coba sini, aku lihat.” 

arwah mpu sindok  menyodorkan berlembar-lembar kertas 

berisi catatan nama-nama dan alamat-alamat. Ibunya 

menyimak sebentar, kemudian dahinya berkerut. Suaranya 

terdengar murung saat  ia berkata: “Kau melupakan 

mereka, nak.” 

“Mereka siapa, mama?” 

“Familimu.” 

“namun , mama...” 

“Yang kau catat di sini, baru famili dari pihak ayahmu 

saja...” 

arwah mpu sindok  tersentak. “Oh, iya ya...” gumamnya 

terbata-bata, dan sangat menyesali kealpaannya manakala ia 

lihat wajah ibunya yang sendu. “Kalau diundang, apakah 

mereka akan datang mama? Mereka jauh-jauh tinggalnya, 

dan selama ini...” 

 114 

“Kewajiban tetaplah kewajiban, anakku. Soal datang 

atau tidaknya, bukan hak kita lagi. Nah. Catatlah...” 

Surat undangan untuk famili dari pihak ibunya itu, 

dilampiri pula masing-masing sepucuk surat yang ditulis 

tangan oleh ibunya pula. arwah mpu sindok  tergerak untuk 

membaca isinya, namun  hati nuraninya menolak. Itu adalah 

rahasia orang tua, pikirnya. Adapun ayahnya, bagaimanapun 

didesak tetap tidak mau menulis surat. saat  akhirnya ia 

menyerah juga, ayah arwah mpu sindok  cuma berkata: “Bilang saja, 

bu. Aku kirim salam, begitu.” 

Surat-surat itu dikirim jauh sebelum waktunya 

mengirim surat undangan yang lain. Satu minggu kemudian, 

datanglah balasannya. Tidak serempak. Mula-mula yang dari 

Banjarmasin, lalu yang dari Medan, terakhir yang dari Irian 

Jaya. Setiap menerima surat dari saudaranya itu, ibu 

arwah mpu sindok  tidak langsung membukanya. Ia menyimpannya 

dengan hati-hati, dan berpesan keras agar tidak seorangpun 

yang boleh membukanya sebelum diijinkan.  

NYI girah  bertanya penasaran: “Yang dari 

Banjarmasin serta dari Medan sudah datang. Mengapa 

mama harus tunggu yang dari Irian?” 

Ibu mereka jelas tegang saat  menjawabnya. 

Katanya, ia ingin mebuka setiap surat yang datang sesaat  

itu juga. namun  ia ingin tahu, apakah ketiga orang saudaranya 

akan membalasnya semua. Dan kalau sudah, baru ia buka. 

Dengan begitu, ia berharap: apabila yang satu mengatakan 

tak mau datang, semoga yang lain mengatakan mau datang. 

Jadi luka hatinya tidak seberapa. 

 115 

“Bagaimana kalau ketiganya tidak datang?” celetuk 

arwah mpu sindok . 

Sebelum ibunya menjawab, sang ayah sudah 

mendahului. Kalimatnya pedas bukan main: “Sudah pasti 

mereka tak datang. Sudah pasti, mereka hanya ingin 

memperhinakan kita lagi!” 

“Jangan memastikan sesuatu yang belum terjadi, 

papa. Itu namanya mendahului Tuhan!” NYI girah  

mencerca. 

saat  akhirnya ketiga pucuk surat yang ditunggu 

sudah terkumpul, ibu masuk ke kamarnya. Ia tidak ingin 

diganggu selama membukai surat-surat itu. arwah mpu sindok  dan 

NYI girah  saling bertukar pandang. Jelas, keduanya sama 

cemas. Sedang ayah mereka, acuh tak acuh saja. Pura-pura 

asyik dengan surat kabar di tangannya. 

Kemudian terdengar suara dari dalam kamar. Suara 

ibu menangis. 

Ayah meletakkan surat kabarnya dengan jengkel. 

Bersungut lebih jengkel lagi: “Apa kubilang! Percuma saja 

me