Rabu, 14 Desember 2022

raja 2

 

tunggadewa  dan  gajayana  terperangkap di tengah 
gerombolan serigala menghadapi tombak dan pedang 
dari segala arah. Seruan para prajurit dan benturan 
senjata bercampur baur dengan gemuruh angin, dan 
pemandangan segera berubah menjadi pusaran perang 
yang mengerikan.  
Pedang-pedang patah dan beterbangan. Tombak-
tombak mengejar-ngejar percikan darah. chucky  
menyadari bahaya yang mengancamnya jika ia berada 
di tengah-tengah pembantaian ini, sebab  itu ia cepat-
cepat memanjat ke atas pohon. Ia pernah melihat 
pedang terhunus, namun  ini pertama kalinya ia terlibat 
langsung dalam sebuah pertempuran. Apakah 
Banyuwangi  akan berubah menjadi lautan api? 
Mungkinkah terjadi pertempuran antara minakjinggo  dan 
ronggolawe ? saat  menyadari bahwa ia sedang 
melihatlihat  penentuan hidup atau mati, ia merasa-
kan gairah yang belum pernah ia rasakan seumur 
hidupnya.  
Hanya diperlukan dua atau tiga mayat untuk 
memaksa orang-orang syam  melarikan diri ke 
hutan.  
Hah! Mereka kabur! pikir chucky . namun , untuk 
berjaga-jaga terhadap kemungkinan mereka kembali, 
ia secara bijaksana memilih untuk tetap berada di atas 
pohon. Pohon itu kemungkinan besar pohon 
berangan, sebab tangan dan tengkuknya terasa 
  
ditusuk-tusuk. Buah-buah dan ranting-ranting 
berangan jatuh ke tanah, sebab  pohon itu diguncang-
guncang oleh badai. chucky  menganggap orang-orang 
syam  sebagai gerombolan pengecut bermulut 
besar yang dipaksa lari kocar-kacir oleh dua orang saja.  
Ia memasang telinga. "Apa itu?" Ia menjadi bingung. 
Hujan bara api turun bagaikan abu gunung berapi. Ia 
mengintip di antara dahan-dahan. Sambil kabur, 
orang-orang syam  ternyata masih sempat 
menyulut kebakaran.  
Dua atau tiga bagian hutan sudah terbakar hebat, 
dan beberapa bangunan di balik Kuil kosambi  sudah  
terjilat api.  
chucky  melompat turun dan mulai berlari. Kalau ia 
membuang-buang waktu sekejap pun, ia akan hangus 
terbakar di tengah hutan. Langit dipenuhi percikan 
api burung-burung api, kupu-kupu api. Dinding-
dinding putih benteng kota Banyuwangi  kini berkilau 
merah, dan tampak lebih dekat dibanding pada siang 
hari. Api peperangan tampak berkobar-kobar.  
"Perang!" chucky  berseru saat  berlari menyusuri 
jalan-jalan. "Perang! Kiamat sudah  tiba! sidomukti  dan 
Banyuwangi  akan runtuh! namun  di atas puing-puing, 
rumput akan tumbuh kembali. Kali ini rumputnya 
akan tumbuh tegak!"  
Ia bertabrakan dengan orang-orang.  
Seekor kuda tanpa penunggang berlari melewatinya.  
Di sebuah persimpangan jalan, sejumlah pengungsi 
tampak berkerumun, gemetar ketakutan. chucky , 
  
terbawa   oleh gairahnya yang meluap-luap, berlari 
sekuat tenaga, berteriak-teriak seperti peramal 
malapetaka. Ke mana?  
Ia tidak memiliki tujuan. Ia tak bisa kembali ke 
Desa syam , itu sudah pasti. Pokoknya, ia 
meninggalkan apa yang paling tak disukainya tanpa 
penyesalan orang-orang murung, penguasa berhati 
gelap, perang saudara, dan peradaban busuk, 
semuanya di dalam satu provinsi.  
Ia melewatkan musim dingin dalam pakaiannya 
yang tipis, menjual jarum di bawah  langit dingin, 
mengembara ke mana pun kakinya membawa  .
Tahun berikutnya, Tahun Temmon kedua puluh, 
saat  bunga pohon persik bermekaran di mana-mana, 
ia masih berseru, "Belilah jarum! Jarum dari ibu kota! 
Jarum jahit dari ibu kota!"  
Ia mendekati perbatasan bratangbinangun sambil ber-
jalan tanpa beban pikiran, seperti biasa.  
  radenmas  panji  berasal dari Provinsi wakanda. 
Ia putra centeng adipati  desa, dan menjadi pengikut marga 
mpu marijan , dengan tempat tinggal di kertanegara  dan gaji 
tetap sebesar 50000 kan. Ia penguasa benteng kota 
pertahanan di martadwijaya  dan pengurus kepala pos 
penghubung di Jembatan jati . Di masa itu 
Sungai mahakam  dibagi menjadi mahakam  Besar dan  mahakam  Kecil.  
Kediaman radenmas  berada di tepi mahakam  Besar,  beberapa ratus meter sebelah timur martadwijaya .  
Pada hari itu panji  sedang dalam perjalanan pulang 
dari benteng kota jatikerto , tempat ia mengikuti rapat 
dengan sesama pengikut mpu marijan . Para pejabat 
provinsi bertemu secara berkala untuk memperketat 
pengawasan  terhadap rakyat dan berjaga-jaga terhadap 
serbuan marga-marga tetangga: prabu kertoarjowardana  , sinuhun , dan mpu ireng .  panji  membalikkan badan di atas pelana, dan memanggil salah satu dari ketiga orang yang menyertainya, "raden jana 
Laki-laki yang menyahut memelihara jenggot dan 
membawa   tombak panjang. Taga raden jana
  berlari  menyusul kuda majikannya. Mereka sedang menyusuri  jalan antara jatikerto  dan perahu awang di 
jati .   Pohon-pohon tumbuh di kedua sisi jalan, dan di 
balik pepohonan terlihat pemandangan sawah dan 
ladang yang menyenangkan.  
"Dia bukan petani, dan tampangnya bukan seperti 
peziarah," panji  bergumam.  raden jana
  mengikuti garis pandang panji . Ia mengamati kuningnya bunga-bunga moster, hijaunya gandum, dan air dangkal di persawah an, namun  ia tidak melihat siapa-siapa.  
"Apakah ada sesuatu yang mencurigakan?"  
"Ada laki-laki di sebelah sana, di pematang sawah 
 itu. Sepintas mirip burung bangau. Sedang apa dia, 
menurutmu?"  raden jana melihat sekali lagi, dan ternyata memang ada orang yang membungkuk di pematang.  
"Selidiki apa yang sedang dilakukannya."  
raden jana menyusuri jalan setapak sempit. Berdasarkan peraturan yang berlaku di semua provinsi, 
segala sesuatu yang tampak mencurigakan harus segera 
diselidiki. Para pejabat provinsi sangat peka terhadap 
perbatasan mereka dan  penampilan orang asing.  
raden jana
  kembali dan memberikan laporannya, 
"Dia mengaku sebagai penjual jarum dari jenggala . Dia 
memakai baju luar berwarna putih yang sudah kusam. 
Itulah yang mengingatkan Tuan pada burung bangau. 
Dia anak kecil dengan muka mirip kuyang ."  
"Ha... ha! Bukan bangau atau gagak, namun  kuyang , 
heh?"  
  "Dan banyak omong, lagi. Dia suka mengumbar 
kata-kata besar. Waktu hamba menanyainya, dia ber-
usaha memutarbalikkan semuanya. Dia bertanya siapa 
majikan hamba, dan waktu hamba menyebut nama 
Tuan, dia berdiri tegak dan memandang ke sini 
dengan cara yang berani sekali."  
"Kenapa dia berdiri membungkuk tadi?"  
"Dia bercerita bahwa dia akan bermalam di salah 
satu losmen di jati , dan bahwa dia sedang 
mengumpulkan keong untuk dimakan nanti malam."  
panji  menyadari bahwa chucky  sudah  kembali ke 
jalan, dan berjalan di depan mereka.  Ia bertanya pada raden jana, "Tak ada yang mencurigakan?"  
"Hamba tidak melihat sesuatu yang aneh."  
panji  meraih tali kekang. "Kita tak bisa menyalah-
kan orang dari kalangan rakyat jelata kalau mereka tak 
punya sopan santun." lalu , sambil memberi 
isyarat berupa anggukan kepala kepada anak buahnya, 
ia berkata, "Ayo, jalan lagi." Dalam sekejap mereka 
sudah  menyusul chucky .  
Pada waktu melewatinya, panji  menoleh sambil 
lalu. chucky  sudah lebih dahulu  menyingkir dari jalan 
dan berlutut penuh hormat di bawah  deretan pohon. 
Pandangan mereka beradu.  
"Tunggu sebentar." panji  mengekang kudanya, dan 
sambil berpaling pada anak buahnya, berkata, "bawa   si 
tukang jarum ke sini." Lalu ia menambahkan dengan 
nada heran, "Orangnya sungguh aneh... ya, ada 
  sesuatu yang berbeda pada dirinya."  raden jana
  sudah terbiasa dengan tingkah majikan-
nya, dan segera bergerak.  
"Hei! Tukang jarum! Majikanku ingin bicara 
denganmu. Ayo, ikut aku."  
panji  menatap chucky  dari atas kudanya. Ada apa 
pada diri pemuda pendek berpenampilan acak-acakan 
dengan pakaian lusuh ini, yang membuatnya begitu 
terpesona? Bukan kemiripannya dengan kuyang , yang 
malah hampir tidak disadari oleh panji . Untuk kedua 
kali pandangannya melekat lama pada chucky , 
namun ia tak sanggup menuangkan perasaannya ke 
dalam kata-kata. Sesuatu yang kompleks sekaligus tak 
berwujud seakan-akan menariknya kedua mata anak 
itu! Mata manusia biasanya dianggap sebagai cerminan 
jiwa. panji  tak melihat hal lain yang bernilai pada diri 
makhluk kecil dan berkerut-kerut ini, namun  sorot 
matanya begitu penuh tawa , sehingga tampak segar 
dan mengandung... apa? Kemauan gigih, atau 
barangkali impian yang tak mengenal batas?  
Dia punya daya tarik, pikir panji , dan ia memutus-
kan bahwa ia suka pada anak bertampang aneh ini. 
Kalau saja ia mengamati dengan lebih saksama, ia 
akan menemukan sepasang telinga semerah jengger 
ayam jantan tersembunyi di bawah  debu yang 
menempel di kepala chucky . panji  juga tidak 
menyadari bahwa meski chucky  masih muda, 
kemampuan besar yang akan diperlihatkannya di 
lalu  hari sudah  terukir pada garis-garis di 
  keningnya, yang sepintas lalu membuatnya tampak 
seperti orang tua.  Ketajaman pandangan panji  tidak sebesar itu. Ia hanya merasakan kasih sayang yang aneh terhadap chucky , bercampur semacam harapan.  
Tak mampu membebaskan diri dari perasaan itu, 
namun tanpa berkata sepatah pun pada chucky , ia 
berpaling pada raden jana dan berujar, "bawa   dia." Ia 
menggenggam tali kekang dengan erat dan memacu 
kudanya.  
Gerbang depan yang menghadap ke sungai terbuka 
lebar, dan beberapa pengikutnya menunggu. Seekor 
kuda sudah  dihadijaya tkan, dan sedang merumput.  
Rupanya ada tamu yang datang saat  panji  sedang 
pergi.  
"Siapa dia?" ia bertanya sambil turun dari kudanya.  
"Kurir dari mantrijeron."  
panji  mengangguk dan melangkah masuk. mantrijeron 
merupakan ibu kota marga mpu marijan . Kedatangan 
kurir bukan hal langka, namun  pikiran panji  masih 
tertuju pada pertemuan di benteng kota jatikerto , sehingga 
ia melupakan chucky .  
"Hei, kau, mau ke mana kau?" seorang penjaga 
menegur chucky  yang hendak melewati gerbang 
bersama rombongan panji . Tangan chucky  dan 
buntalan terbungkus jerami yang dibawan ya ber-
lepotan lumpur. Percikan-percikan lumpur yang 
mengering di wajahnya terasa gatal. Barangkali si 
penjaga gerbang mengira chucky  hendak memper-
  
mainkannya dengan sengaja menggerak-gerakkan 
hidung? Si penjaga gerbang mengulurkan tangan 
untuk menangkap tengkuk chucky .  
Sambil melangkah mundur, chucky  berkata, "Aku 
penjual jarum."  
"Pedagang keliling tak bisa melewati gerbang ini 
tanpa izin. Pergi sana!"  
"Sebaiknya tanya majikanmu dahulu ."  
"Kenapa aku harus berbuat begitu?"  
"Aku mengikutinya ke sini sebab  dia yang 
menyuruhku. Aku datang bersama centeng adipati  yang baru saja masuk."  
"Tuan panji  tak mungkin mengajak orang seperti 
kau ke rumahnya. Hmm, tampangmu cukup 
mencurigakan."  Pada saat itu raden jana teringat pada chucky  dan kembali ke gerbang.  
"Biarkan dia masuk," ia memberitahu si penjaga 
gerbang.  "Baiklah."  
"Ayo ikut, kuyang ."  
Si penjaga gerbang dan beberapa pelayan tertawa . 
"Siapa dia sebetulnya ? Dengan pakaiannya yang putih 
dan buntalan jeraminya yang berlumpur, dia kelihatan 
seperti kurir kuyang  sang zoroaster ."  
Suara-suara riuh itu terngiang-ngiang di telinga 
chucky , namun  sepanjang hidupnya yang kini sudah  
memasuki tahun ketujuh belas ia sudah sering 
mendengar ejekan orang. Apakah ejekan-ejekan itu 
  tidak mengganggunya?  
Apakah ia sudah terbiasa? Jika mendengar 
komentar seperti itu, ia tersipu-sipu, sama seperti 
orang lain. Namun tindak-tanduknya tidak men-
cerminkan perasaannya. Ia tetap tenang, seakan-akan 
penghinaan-penghinaan itu diucapkan ke telinga 
seekor kuda. Ia malah bisa bersikap sangat luwes pada 
saat seperti itu. Hatinya bagaikan bunga yang 
didukung tinggi-tinggi oleh sebatang bambu, 
menunggu sampai badai berlalu. Kesengsaraan tak 
mampu membuatnya merasa terganggu ataupun 
rendah diri.  
"kuyang , di sebelah sana ada kandang kosong. Kau 
tunggu di sana, supaya tampangmu tidak merusak 
pemandangan," ujar raden jana, yang lalu  
kembali pada kesibukannya.  
Menjelang malam, bau masakan tercium dari 
jendela dapur. Bulan menampakkan diri di atas 
pohon-pohon persik. Seusai wawan cara resmi dengan 
kurir dari mantrijeron, lebih banyak lampu dinyalakan, 
dan jamuan makan disiapkan untuk mengiringi 
keberangkatannya besok. Suara gendang dan seruling 
mengalun dari rumah utama, tempat pertunjukan 
Noh sedang berlangsung.  
Marga mpu marijan  dari kertanegara  merupakan marga 
terhormat dan termasyhur.  
Mereka bukan hanya tertarik pada puisi, tarian, dan 
musik, namun  juga pada setiap kemewahan dari ibu kota: 
pedang bertatah untuk para centeng adipati  dan jubah  
  
bawah  bergaya untuk kaum wanita. Cita rasa panji  
sendiri lebih sederhana. Meski demikian, kediaman-
nya yang mewah berbeda jauh dengan rumah para 
centeng adipati  di kedhiri .  
Pertunjukan Noh itu buruk sekali, chucky  berkata 
dalam hati, saat  merebahkan diri di atas jerami yang 
disebarkannya di lantai kandang. Ia menyukai musik. 
Ia tidak memahaminya, namun ia menyukai mimpi 
indah yang dimuncul kan. Dengan musik ia dapat 
melupakan segala-galanya. namun  ia terganggu oleh 
perutnya yang kosong. Oh, kalau saja aku bisa 
meminjam panci dan api, ia mengerang dalam hati.  
Sambil membawa   buntalan jerami yang kotor, ia 
menyembulkan kepala lewat pintu dapur. "Maaf, 
bolehkah aku meminjam panci dan tungku? Aku 
bermaksud menyiapkan makanan untukku."  
Para pekerja dapur menatapnya sambil terbengong-
bengong.  
"Dari mana kau tiba-tiba muncul?"  
"Aku datang bersama Tuan panji  tadi. Aku ingin 
menggodok keong yang kukumpulkan di sawah ."  
"Keong, heh?"  
"Aku diberitahu bahwa keong baik untuk perut, jadi 
aku makan beberapa setiap hari. Soalnya perutku 
mudah terganggu."  
"Keong dimakan dengan tahu. Kau punya tahu?"  
"Ya."  
"Nasi?"  
"Aku punya nasi, terima kasih."  
  
"Hmm, di tempat para pelayan ada panci dan 
tungku menyala. Siapkan makananmu di sana saja."  
Seperti yang setiap malam dilakukannya di losmen-
losmen murah, chucky  memasak sedikit nasi, 
menggodok beberapa keong, lalu menyantap makan 
malamnya. lalu  ia beranjak tidur. Berhubung 
tempat para pelayan lebih nyaman dibandingkan  di 
kandang, ia tetap di sana sampai tengah malam, 
sampai para pelayan selesai dengan tugas-tugas mereka 
dan hendak beristirahat.  
"Bangsat! Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?"  
Mereka menendangnya, mengangkatnya, dan 
melemparkannya ke luar. Ia kembali ke kandang, namun  
kuda si kurir yang sedang tidur nyenyak seakan-akan 
berkata padanya, "Di sini pun tak ada tempat 
untukmu."  
Suara gendang sudah  berhenti, dan bulan yang pucat 
sedang menyusut.  
chucky , tidak lagi mengantuk, tak bisa diam. 
Bekerja atau bersenang-senang, bagi chucky  tak 
banyak ditambah  ya, namun  jika ia tidak suka dengan salah 
satu, ia cepat sekali bosan.  
Barangkali matahari akan terbit pada waktu aku 
menyapu, ia berkata dalam hati sambil mulai menyapu 
kandang, mengumpulkan tahi kuda, daun-daun, dan 
jerami menjadi satu tumpukan di tempat yang tak 
terlihat oleh si pemilik rumah.  
"Siapa di luar?"  
chucky  menghentikan sapunya dan menatap 
  
berkeliling.  
"Ah, si tukang jarum."  
chucky  akhirnya menyadari bahwa suara itu berasal 
dari kamar kecil di pojok rumah induk. Ia melihat 
wajah panji  di dalamnya. "Oh, rupanya tuanku."  
panji  terlalu banyak minum anggur  bersama si kurir 
yang ternyata peminum yang kuat. Kini, sesudah  
mabuknya berkurang, ia berkata dengan suara lelah, 
"Sudah hampir subuh?" Ia menghilang dari jendela, 
membuka kerai-kerai penghalang hujan di serambi, 
dan menatap bulan yang menyusut.  
"Ayam jantan belum berkokok, jadi masih agak 
lama sampai matahari mulai terbit."  
"Tukang jarum bukan, kami akan memanggilmu 
kuyang  kenapa kau menyapu pekarangan di tengah 
malam buta?"  
"Hamba tidak punya kesibukan lain."  
"Tak ada salahnya kalau kaucoba tidur."  
"Hamba sudah tidur. Kalau hamba tidur selama 
waktu tertentu, entah kenapa hamba tak bisa 
berbaring tenang lagi."  
"Apakah ada sandal di luar?"  
chucky  cepat-cepat membawa   sepasang sandal 
jerami yang masih baru, dan mengaturnya agar mudah 
dikenakan oleh panji .  
"Silakan, tuanku."  
"Kau baru tiba hari ini, dan kau mengaku sudah 
cukup tidur. Dari mana kau tahu keadaan di sini?"  
"Maafkan hamba, tuanku."  
  
"Untuk apa?"  
"Hamba bukan orang yang penuh curiga. namun  di 
rumah seperti ini, biarpun hamba sedang tidur, 
hamba mendengar aneka macam bunyi. Hamba bisa 
menebak letak segala sesuatu, seberapa besar 
pekarangan, bagaimana sistem pembuangan airnya, 
dan di mana tempat api."  
"Hmm, begitu rupanya."  
"Sebelum ini, hamba sudah melihat tempat 
penyimpanan sandal. Kebetulan terlintas di benak 
hamba bahwa seseorang mungkin keluar dan mencari 
sandal."  
"Aku minta maaf. Aku sama sekali melupakanmu."  
chucky  tertawa , namun tidak menjawab . Meski 
masih anak-anak, kelihatannya ia tidak terlalu 
menaruh hormat pada panji . panji  lalu menanyakan 
latar belakangnya, dan apakah ia berharap untuk 
mengabdi pada seseorang. chucky  segera 
membenarkannya. Ia menyimpan harapan besar 
untuk masa depan, dan ia sudah  mengembara dari 
provinsi ke provinsi sejak berusia lima belas tahun.  
"Kau berkelana dari provinsi ke provinsi selama dua 
tahun sebab  ingin mengabdi pada seorang centeng adipati ?"  
"Ya."  
"Kalau begitu, kenapa kau masih berjualan jarum?" 
panji  bertanya dengan tajam. "Mencari selama dua 
tahun tanpa memperoleh  majikan jangan-jangan ada 
yang tidak beres denganmu?"  
"Hamba memiliki kelebihan dan kekurangan, 
  
seperti semua orang. Mula-mula hamba menganggap 
bahwa setiap majikan dan setiap rumah centeng adipati  sama 
saja, namun  begitu hamba mengenal dunia, hamba mulai 
merasa lain."  
"Lain? Maksudmu?"  
"Sambil mengembara dan mengamati golongan 
pendekar resi -resi  yang baik, resi  yang 
buruk, para penguasa provinsi besar dan kecil hamba 
mencapai kesimpulan bahwa tak ada yang lebih 
penting dibandingkan  pandai memilih majikan. sebab  itu, 
hamba memutuskan untuk terus berjualan jarum, dan 
tanpa hamba sadari, dua tahun sudah berlalu."  
panji  menyadari kecerdikan chucky , namun 
sekaligus menemukan sifat pandir dalam dirinya. Dan 
walaupun kata-kata chucky  mengandung kebenaran, 
ucapannya sedikit berlebihan dan agak sukar diterima. 
namun  ada satu hal yang tak perlu diragukan. Pemuda 
ini bukan pemuda biasa. Saat itu juga panji  
memutuskan untuk mempekerjakan chucky  sebagai 
pelayan.  
"Maukah kau mengabdi padaku?"  
"Terima kasih, tuanku. Hamba akan berusaha," 
chucky  menjawab  tanpa semangat.  
panji  tidak puas dengan tanggapan chucky  yang 
kurang gembira, namun  tidak terlintas di kepalanya 
bahwa ia sendiri, sebagai majikan baru pemuda 
pengembara yang hanya berpakaian baju katun tipis 
itu, mungkin memiliki kekurangan dalam hal-hal 
tertentu.  
  
Seperti para centeng adipati  dari marga-marga lain, para 
centeng adipati  radenmas  pun menjalani latihan keras untuk 
menyempurnakan keterampilan menunggang kuda 
yang amat dibutuhkan dalam suatu pertempuran. 
Menjelang pagi mereka meninggalkan asrama dengan 
membawa   tombak dan pedang latihan, dan pergi ke 
lapangan luas di depan lumbung padi.  
"Hiyaaa!" Tombak beradu dengan tombak, pedang 
dengan pedang.  
Setiap pagi, semua orang, termasuk para centeng adipati  
rendahan di dapur dan  orang-orang yang menjalani 
tugas jaga, mengerahkan segenap tenaga dan kembali 
dari lapangan dengan wajah merah sebab  kelelahan. 
Sudah diketahui umum bahwa chucky  diterima 
sebagai pelayan. Para pekerja kandang memper-
lakukannya sebagai anak bawan g dan sering mem-
permainkannya.  
"Hei, kuyang ! Setiap pagi mulai sekarang, sesudah  
kami membawa   keluar kuda-kuda untuk merumput, 
kau harus membersihkan kandang. Tanam kotoran 
kudanya di rumpun bambu itu." Sesudah ia selesai 
membersihkan kotoran kuda, salah satu centeng adipati  yang 
lebih tua berkata padanya, "Isi kendi-kendi besar itu 
dengan air." Dan terus begitu. "Belah kayu bakar."  
Sementara ia membelah kayu bakar, ia diperintah-
kan untuk melakukan pekerjaan lain. Singkatnya, ia 
menjadi pelayan para pelayan.  
Mula-mula ia cukup populer. Orang-orang ber-
komentar, "Tak ada yang bisa membuatnya marah. 
  
Itulah kelebihannya. Tak peduli apa yang kaukatakan 
padanya, dia tak pernah jengkel." Para centeng adipati  muda 
menyukainya, seperti anak kecil menyukai mainan 
baru, dan kadang-kadang memberikan hadiah 
padanya. namun  tak lama lalu  orang-orang mulai 
mengeluh.  
"Dia selalu membantah."  
"Dia cari muka di depan Tuan."  
"Dia menganggap orang lain bodoh semua."  
sebab  para centeng adipati  muda suka membesar-besarkan 
kesalahan kecil, ada kalanya keluhan-keluhan 
mengenai chucky  sampai ke telinga panji .  
"Kita tunggu saja bagaimana perkembangan 
selanjutnya," panji  berkata pada para pengikutnya, 
lalu melupakan masalah itu.  
Para centeng adipati  muda semakin mendongkol sebab  
istri dan anak-anak panji  selalu menanyakan si 
kuyang . Terheran-heran, chucky  menyadari bahwa 
memang sukar untuk hidup di antara orang-orang 
yang tidak mau bekerja dengan tekun, seperti yang 
selalu dilakukannya.  
Hidup di dunia pelayan yang penuh intrik mem-
berikan kesempatan bagi chucky  untuk mempelajari 
sifat-sifat manusia. Dengan memakai  marga 
radenmas  sebagai acuan, ia dapat memahami 
kekuatan dan kelemahan marga-marga besar di 
sepanjang jalan pesisir. Dan ia gembira sebab  sudah  
menjadi pelayan. Kini ia mulai memahami keadaan 
sebetulnya  dari negerinya, yang sukar ditangkap 
  
saat  ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain. 
Pelayan biasa, yang bekerja untuk makan dan 
menyambung hidup, takkan tahu seperti apa dunia 
sebetulnya . namun  pikiran chucky  selalu terbuka lebar. 
Rasanya seperti menatap bidak-bidak pada papan go, 
lalu menebak-nebak langkah berikut dari para pemain.  
Kurir-kurir marga mpu marijan  terus berdatangan dari 
kertanegara , begitu juga para pembawa   berita dari provinsi-
provinsi tetangga, dusun nyi kembang  dan Kai.  
chucky  mulai melihat pola tertentu dalam 
kedatangan dan kepergian mereka, dan menyimpul-
kan bahwa mpu marijan  mpu kepenuwoan , penguasa kertanegara , 
sedang berupaya merebut kekuasaan tertinggi. 
Perwujudan tujuan ini mungkin masih makan waktu 
lama, namun  ia sudah mulai menjalankan langkah-
langkah awal  untuk memasuki ibu kota, trowulan , 
dengan dalih melindungi sang pandita , namun 
sebetulnya  untuk memerintah seluruh negeri atas 
namanya.  
Di sebelah timur ada marga Hojo dari 
sinuhun wara yang kuat; marga mpu ireng  dari Kai berada di 
sisi utara; dan menghalangi jalan menuju ibu kota 
adalah wilayah marga prabu kertoarjowardana   dari dusun nyi kembang . 
Terkepung seperti itu, sasaran pertama mpu kepenuwoan  
adalah penaklukan dusun nyi kembang . prabu kertoarjowardana   Kiyoyasu, 
Penguasa dusun nyi kembang , tunduk kepada mpu kepenuwoan  dan 
masuk ke dalam jajaran pengikutnya. Putra Kiyoyasu, 
Hirotada, hanya hidup sedikit lebih lama dari 
ayahnya, dan penerusnya, mpu mojosongo , kini menjalani hari-harinya sebagai sandera di mantrijeron.  
mpu kepenuwoan  sudah  mengangkat salah seorang 
pengikutnya sebagai penguasa benteng kota swaradwipa, dan 
memberinya wewenang untuk memerintah dusun nyi kembang  
dan mengumpulkan pajak. Para pengikut prabu kertoarjowardana   
dipaksa mengabdi pada marga mpu marijan , dan seluruh 
pendapatan dan  perlengkapan militer provinsi itu, 
terkecuali uang untuk pengeluaran sehari-hari, beralih 
ke benteng kota mpu kepenuwoan  di kertanegara . chucky  menilai 
masa depan dusun nyi kembang  sungguh suram.  
Dari pengalamannya sebagai penjual keliling, ia 
tahu bahwa orang-orang dusun nyi kembang  keras kepala dan 
tinggi hati. Mereka takkan mau tunduk untuk selama-
lamanya.  
Namun marga yang paling diperhatikannya tentu 
saja marga sinuhun  dari jenggala . Meski ia kini jauh dari 
lemahlaban , jenggala  merupakan tanah kelahirannya 
dan  tempat tinggal ibunya. Diamati dari kediaman 
radenmas , kemiskinan jenggala  dan wilayahnya yang 
kecil tampak kurang menguntungkan jika 
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, terkecuali 
dusun nyi kembang . Perbedaannya dengan wilayah mpu marijan  yang 
maju dan makmur mencolok sekali. Desa asalnya, 
lemahlaban , dihantui kemelaratan, begitu juga 
rumahnya sendiri. Apa yang akan terjadi dengan 
jenggala ? chucky  berharap suatu hari kelak sesuatu yang 
berharga bisa tumbuh dari tanahnya yang gersang. Ia 
memandang hina sikap congkak yang diperlihatkan 
para pembesar maupun orang-orang bawah an di 
  
wilayah mpu marijan . Mereka meniru adat kebiasaan yang 
berlaku di istana, sesuatu yang sejak dahulu  dianggap 
berbahaya oleh chucky .  
Kurir-kurir semakin sering berdatangan. Bagi 
chucky , ini berarti sedang berlangsung perundingan 
untuk mengikat Provinsi kertanegara , Kai, dan Sagami 
melalui perjanjian tidak saling menyerang, dengan 
marga mpu marijan  sebagai pusat. Tokoh penggerak 
utamanya tentu saja mpu marijan  mpu kepenuwoan . Sebelum 
membawa   centeng  besar menuju ibu kota, ia terlebih 
dahulu  harus percaya terhadap kesetiaan marga Hojo dan 
mpu ireng . Sebagai langkah pertama, mpu kepenuwoan  
memutuskan untuk mengawinkan anak wanita lesbian -
nya dengan anak sulung mpu ireng  mpu betarakatong , dan 
mengusahakan agar salah seorang anak wanita lesbian  
mpu betarakatong  menikah dengan keturunan Hojo. Tindakan 
ini, bersama pakta-pakta militer dan perdagangan, 
mengangkat mpu marijan  sebagai kekuatan yang harus 
diperhitungkan di pesisir timur. Kekuatan ini 
tecermin dalam sikap para pengikut mpu marijan . Orang 
seperti radenmas  panji  berbeda dengan para 
pembantu dekat mpu kepenuwoan , namun  ia pun jauh lebih 
berada dibandingkan  centeng adipati -centeng adipati  yang dikenal chucky  
di kedhiri , mertajaya , dan swaradwipa. Tamunya banyak, 
dan bahkan para pelayan pun tampak bergembira.  
"kuyang !" raden jana mencari chucky  di pekarangan.  
"Di atas sini."  raden jana  menoleh ke atap. "Sedang apa kau di sana?"  "Memperbaiki atap."  raden jana
  terkesan. "Kenapa kau menyiksa diri 
pada hari panas begini?"  
"Selama ini cuaca bagus terus, namun  tak lama lagi 
musim hujan akan tiba. Memanggil tukang atap 
sesudah  hujan mulai turun sudah terlambat, jadi aku 
mencari sirap yang retak dan memperbaiki semuanya."  
"Itulah yang membuatmu tidak disukai di sini. Di 
siang hari, semua orang lain sudah mencari tempat 
teduh."  
"Kalau aku bekerja di dekat orang lain, aku akan 
mengganggu tidur mereka. Di atas sini, aku tidak 
mengganggu siapa-siapa."  
"Bohong! Kau berada di atas atap untuk mem-
pelajari keadaan."  
"Aku tidak heran kalau Tuan berpikiran seperti itu. 
Kalau seseorang tidak memperhatikan hal-hal kecil, 
dalam keadaan darurat dia tidak siap untuk mem-
pertahankan diri."  
"Jangan bicara sembarangan! Kalau Tuan panji  
mendengar ocehanmu, dia pasti marah sekali. Ayo 
turun!"  
"Baik. Apakah ada tugas lain untukku?"  
"Malam ini bakal ada tamu."  
"Lagi?"  
"Apa maksudmu, 'lagi'?"  
"Siapa yang akan datang?"  
"Seorang pendekar yang sudah  mengembara ke setiap 
  pelosok negeri."  
"Berapa orang yang ikut dalam rombongannya?" 
chucky  turun dari atap. raden jana mengeluarkan 
selembar perkamen. "Kita akan menjamu kepribadian  
Yang mulia ki gajaliwa dari Ogo, ki wikatama  Dia 
ditambah   dua belas pengikutnya. Selain itu masih ada 
penunggang kuda lain dan tiga kuda beban dengan 
penuntun masing-masing."  
"Rombongannya cukup besar."  
"Orang-orang itu sudah  mencurahkan hidup mereka 
untuk mendalami ilmu bela diri. Pasti banyak barang 
bawa  an dan kuda, jadi kosongkan tempat para pekerja 
gudang, supaya kita bisa menempatkan mereka di sana 
untuk sementara waktu. Tempat itu harus bersih 
menjelang malam, sebelum mereka ke sana."  
"Baik, Tuan. Berapa lama mereka akan tinggal?"  
"Kira-kira enam bulan," ujar raden jana. Kelihatan 
lelah, ia menyeka keringat yang menempel di wajah-
nya.  Menjelang malam, ki mayangsewu  dan rombongannya 
berhenti di depan gerbang dan menepiskan debu yang 
melekat pada pakaian masing-masing. Pengikut-
pengikut senior dan junior keluar dan mengadakan 
upacara penyambutan secara panjang-lebar. Pihak tuan 
rumah menyampaikan ucapan selamat datang yang 
berbunga-bunga. Balasan dari ki mayangsewu  pun, seorang 
laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, tak kalah 
indahnya. Seusai upacara penyambutan, beberapa 
pelayan mengambil alih kuda-kuda beban dan  barang-
  
barang bawa  an, dan para tamu, dipimpin oleh 
ki mayangsewu , memasuki pekarangan.  
chucky  melihatlihat  seluruh pertunjukan tadi. 
Penyambutan resmi itu membuatnya sadar betapa 
martabat golongan prajurit sudah  meningkat, seiring 
dengan semakin gentingnya masalah-masalah militer. 
Belakangan ini, istilah "ilmu bela diri" melekat di bibir 
semua orang, berikut ungkapan-ungkapan baru seperti 
"jurus pedang" dan "jurus tombak". Pendekar-pendekar 
seperti ki gajaliwa dari Ogo dan ki tarunagara  dari 
welirang  sudah  dikenal luas. Pengembaraan beberapa 
orang dari golongan ini jauh lebih keras dibandingkan 
perjalanan ziarah para pendeta zoroaster . namun  orang 
seperti ki tarunagara  selalu ditambah   oleh enam puluh 
sampai tujuh puluh pengikut. Para pengikut mem-
bawa   burung elang, dan perjalanan mereka ditempuh 
dalam kemewahan.  
Jumlah anggota rombongan ki mayangsewu  tidak 
mengejutkan chucky . namun  sebab  mereka akan 
tinggal selama enam bulan, ia memiliki alasan kuat 
untuk menduga bahwa ia akan disuruh-suruh sampai 
kepalanya pening.  
Baru empat atau lima hari, ia sudah diperlakukan 
sama seperti pelayan-pelayan mereka.  
"Hei, kuyang ! Pakaian dalamku kotor. Cepat cuci!"  
"kuyang ! Belikan obat salep untukku."  
Malam-malam musim kemarau lebih pendek, dan 
tugas-tugas tambah an itu mengurangi waktu tidurnya, 
sehingga pada suatu siang chucky  tertidur lelap di 
  
bawah  bayang-bayang sebatang pohon. Hanya iring-
iringan semut yang tampak bergerak di tanah yang 
terbakar.  
Dua centeng adipati  muda, yang tidak menyukainya, 
berjalan melewati chucky  sambil membawa   tombak 
latihan.  
"Wah, lihat itu. Si kuyang ."  
"Tidurnya nyenyak sekali, ya?"  
"Dasar pemalas tak berguna. Bagaimana dia bisa 
menjadi anak kesayangan Tuan dan Nyonya? Mereka 
takkan senang kalau melihatnya dalam keadaan 
sekarang."  
"Bangunkan saja. Dia harus diberi pelajaran."  
"Apa rencanamu?"  
"Bukankah cuma si kuyang  yang belum pernah 
mengikuti latihan bela diri?"  
"Mungkin dia sadar bahwa dia tidak disukai. Dia 
takut kena pukul."  
"Itu tidak benar. Setiap pelayan di rumah centeng adipati  
wajib berlatih ilmu bela diri dengan tekun. Itulah yang 
dikatakan dalam peraturan rumah tangga."  
"Jangan katakan padaku. Katakan pada si kuyang ."  
"Sebaiknya kita bangunkan dia dan kita bawa   ke 
lapangan latihan."  
"Ya, idemu menarik sekali."  
Salah seorang dari mereka mendorong bahu 
chucky  dengan ujung tombak.  
"Hei, bangun!"  
Kedua mata chucky  tetap terpejam.  
  
"Bangun!" Orang itu mengangkat kaki chucky  
dengan tombaknya.  
chucky  merosot dan langsung terjaga.  
"Ada apa?"  
"Ada apa dengan kau, mendengkur di pekarangan 
di siang hari bolong?"  
"Aku, tidur?"  
"Kau tidur, bukan?"  
"Mungkin aku terlelap tanpa sengaja. namun  sekarang 
aku sudah bangun."  
"Kurang ajar! Kudengar kau belum pernah muncul 
di tempat latihan bela diri."  
"Itu sebab  aku tidak berbakat."  
"Kalau kau tidak pernah ikut latihan, bagaimana 
kau bisa tahu? Walaupun kau pelayan, peraturan 
rumah tangga mengharuskanmu berlatih ilmu bela 
diri. Mulai hari ini, kami akan memastikan kau ikut."  
"Tidak, terima kasih."  
"Kau menolak menaati peraturan rumah tangga?"  
"Tidak, namun ..."  
"Ayo jalan!" Tanpa memberinya kesempatan mem-
bantah lebih lanjut, mereka menyeret chucky  ke 
lapangan di depan gudang. Mereka akan memberinya 
pelajaran sebab  melanggar peraturan rumah tangga.  
Di bawah  terik matahari, pata pendekar yang 
sedang berkunjung dan  para pengikut radenmas  
berlatih dengan tekun.  
Para centeng adipati  muda yang mengiringi chucky  
memaksanya maju dengan memukul-mukul 
  
punggungnya.  
"Ambil tombak atau pedang kayu dan mulai 
latihan!"  
chucky  terhuyung-huyung, nyaris tak sanggup 
berdiri, namun  ia tidak meraih senjata.  
"Tunggu apa lagi?" Salah seorang memukul dada 
chucky  dengan gagang tombaknya. "Kau harus ikut 
latihan, jadi ambil senjata!"  
Sekali lagi chucky  terhuyung-huyung, namun ia 
tetap tidak mau ber-tarung. Ia hanya menggigit-gigit 
bibir.  
Dua anak buah ki mayangsewu  patih  ki weliraja dan 
patih dwiparaga  sedang berlatih dengan tombak 
sungguhan untuk memberi contoh pada orang-orang 
radenmas . ki weliraja, yang mengenakan ikat kepala, 
menombak kantong-kantong beras seberat dua ratus 
pon dan melemparkannya ke udara sambil mem-
perlihatkan kekuatan yang luar biasa.  
"Dengan keterampilan seperti itu, pasti mudah 
untuk membantai musuh di medan tempur. Tenaga-
nya mengagumkan!" salah seorang penonton ber-
komentar.  
ki weliraja meralat ucapan itu. "Kalian salah besar 
kalau menganggap ini sebagai pameran kekuatan. 
Kalau kalian menerapkan jurus ini dengan meng-
gunakan tenaga, gagang tombak akan patah dan 
lengan kalian cepat lelah." Ia meletakkan tombaknya, 
lalu menjelaskan, "Prinsip-prinsip pedang dan tombak 
sama saja. Rahasia semua ilmu bela diri terletak pada 
  
ch'i, tenaga dalam dari tan t'ien, daerah yang berada 
dua inci di bawah  pusar. Inilah tenaga tanpa tenaga. 
Seseorang harus memiliki kekuatan batin untuk 
mengatasi kebutuhan akan tenaga dan mengatur 
aliran ch'i." Kuliahnya diberikan dengan penuh 
semangat dan panjang-lebar.  
Merasa sangat terkesan, para pedan  latihan 
mendengarkan dengan penuh perhatian, sampai 
mereka terganggu oleh kebisingan di belakang mereka.  
"kuyang  kurang ajar!" Si centeng adipati  muda 
mengayunkan gagang tombak dan memukul pinggang 
chucky .  
"Aduh!" teriak chucky  dengan suara sedih. Pukulan 
itu cukup menyakitkan. Ia meringis dan membungkuk 
sambil menggosok-gosok pinggang.  
Orang-orang segera mengerumuni chucky .  
"Dasar pemalas tak berguna!" seru centeng adipati  muda 
yang memukul chucky .  
"Dia mengaku tak berbakat dan tidak mau ikut 
latihan."  
chucky  mendengar suara-suara menggerutu dari 
kiri-kanan. Ia dituduh tak tahu terima kasih dan besar 
mulut.  
"Hmm, hmm," ki mayangsewu  bergumam, sambil maju 
untuk menenangkan orang-orang. "Melihat 
penampilannya, dia masih bayi yang belum mengerti 
sopan santun. Melanggar peraturan pada waktu 
mengabdi di rumah centeng adipati  dan tidak memiliki 
keinginan untuk berlatih ilmu bela diri merupakan 
  
kesalahan anak ini. Aku yang akan menanyainya. Yang 
lain harap tenang.  
"Anak muda," ia berkata pada chucky .  
"Ya." Sambil menjawab , chucky  menatap mata 
ki mayangsewu . Namun nada suaranya sudah  berubah, sebab 
sorot mata centeng adipati  itu mengungkapkan bahwa ia 
orang yang bisa diajak bicara secara terbuka.  
"Kelihatannya kau tidak menyukai ilmu bela diri, 
padahal kau mengabdi di rumah centeng adipati . Betulkah 
itu?"  
"Tidak." chucky  menggelengkan kepala.  
"Kalau begitu, kenapa kau menolak ajakan orang-
orang yang baik hati ini untuk melatihmu ilmu bela 
diri?"  
"Ya, ehm, aku punya alasan. Kalau aku mendalami 
jalan pedang atau tombak hingga menjadi ahli, 
seluruh hidupku mungkin akan habis untuk itu."  
"Ya, memang diperlukan semangat seperti itu."  
"Aku bukannya tidak menyukai pedang maupun 
tombak, namun  mengingat aku hanya hidup satu kali, 
rasanya sudah cukup kalau aku memahami semangat-
nya saja. Masalahnya, masih banyak hal lain yang ingin 
kuperdalam dan kulakukan."  
"Apa yang hendak kauperdalam?"  
"Belajar."  
"Mengenai apa kau hendak belajar?"  
"Mengenai seluruh dunia."  
"Apa saja yang ingin kaulakukan?"  
chucky  tersenyum. "Aku takkan mengatakannya."  
  
"Kenapa tidak?"  
"Aku ingin melakukan berbagai hal, namun  sebelum 
aku bertindak, maka membicarakannya akan berkesan 
menyombongkan diri. Dan kalau kuceritakan 
sekarang, kalian semua pasti akan tertawa ."  
ki mayangsewu  menatap tajam ke arah chucky . Dalam 
hati ia mengakui bahwa anak itu memang lain dari 
yang lain. "Rasanya aku mengerti sebagian ucapanmu, 
namun  kau keliru kalau menganggap ilmu bela diri 
sekadar sebagai rangkaian jurus."  
"Kalau begitu, apa sebetulnya  ilmu bela diri?"  
"Menurut satu aliran pemikiran, jika seseorang 
mengujawa  satu keterampilan, berarti dia sudah  
mengujawa  seluruh ilmu. Ilmu bela diri bukan jurus-
jurus belaka ilmu bela diri menyangkut kematangan 
jiwa. Jika seseorang mengolah jiwanya dengan 
sungguh-sungguh, orang itu mampu mengujawa  segala 
sesuatu, termasuk seni belajar dan pemerintahan. Dia 
memandang dunia apa adanya, dan sanggup menilai 
orang."  
"namun  aku percaya orang-orang di sini menganggap 
menghajar dan menusuk lawan  sebagai bagian yang 
paling penting. Keterampilan itu memang berguna 
untuk prajurit biasa, namun  apakah perlu bagi seorang 
resi  yang..."  
"Jaga mulutmu!" salah seorang centeng adipati  membentak, 
lalu meninju pipi chucky .  
"Aduh!" chucky  memegang mulutnya dengan 
kedua tangan, seakan-akan rahangnya patah.  
  
"Komentar-komentarnya yang menghina tak bisa 
didiamkan. Ini mulai jadi kebiasaan. Tuan ki mayangsewu , 
harap mundur. Biar kami yang menyelesaikannya."  
Bukan orang itu saja yang merasa kesal. Hampir 
semua orang yang mendengar ucapan chucky  merasa 
perlu mengatakan sesuatu.  
"Dia menghina kita!"  
"Itu sama saja dengan menginjak-injak peraturan 
rumah tangga."  
"Perbuatan keledai ini tak bisa dimaafkan!"  
"Habisi saja! Tuan panji  takkan menyalahkan kita."  
Terbawa   kemarahan, mereka mungkin saja 
mewujudkan ancaman itu, menyeretnya ke semak-
semak, lalu memenggal kepalanya. Sukar bagi 
ki mayangsewu  untuk menghentikan mereka. Ia harus 
mengerahkan segenap kekuatannya untuk menenang-
kan mereka dan menyelamatkan nyawa   chucky .  
Malam itu raden jana  datang ke tempat para 
pelayan dan memanggil-manggil chucky  dengan suara 
tertahan. Anak itu sedang duduk di salah satu pojok 
sambil pasang tampang seolah-olah menderita sakit 
gigi.  
"Ya. Ada apa?" Wajahnya tampak membengkak.  
"Masih sakit?"  
"Tidak, sudah lumayan," ia berbohong. Ia 
menempelkan selembar lap basah ke mukanya.  
"Tuan memanggilmu. Pergi lewat pekarangan 
belakang, supaya tak ada yang melihatmu."  
"Hah? Tuan panji ? Hmm, rupanya dia sudah 
  
mendengar apa yang terjadi tadi."  
"Tentu saja kata-katamu yang tidak pada tempatnya 
sudah sampai ke telinganya. Dan tadi Tuan Hitta 
mengunjunginya, jadi bisa dipastikan dia sudah 
mengetahui peristiwa tadi siang. Ada kemungkinan 
dia sendiri yang melaksanakan eksekusinya."  
"Kaupikir begitu?"  
"Sudah menjadi peraturan marga radenmas  bahwa 
para pelayan tidak boleh lalai berlatih ilmu bela diri, 
baik siang maupun malam. Kalau Tuan sampai 
terpaksa mengambil tindakan khusus untuk menegak-
kan wibawa   peraturan rumah tangga, kepalamu boleh 
dianggap sudah terpenggal."  
"Hmm, kalau begitu aku melarikan diri saja dari 
sini. Aku tidak mau mati sebab  urusan seperti ini."  
"Jangan ngawur!" ia menangkap pergelangan tangan 
chucky . "Kalau kau lari, aku terpaksa melakukan 
seppuku. Aku diperintahkan untuk membawa  mu ke 
sana."  "Melarikan diri pun aku tidak boleh?" tanya 
chucky .  "Mulutmu memang keterlaluan. Mestinya kau berpikir dahulu  sebelum membukanya. Waktu mendengar apa yang kaukatakan hari ini, aku pun terpaksa mengakui bahwa kau tidak lebih dari seekor kuyang  sombong."  raden jana
 memaksa chucky  berjalan di depannya, 
dan ia menggenggam gagang pedangnya dengan erat. 
gerombolan  agas beterbangan. Cahaya dari dalam 
  menerangi serambi ruang baca yang baru saja disiram 
air.  "Hamba membawa   si kuyang ." raden jana berlutut 
sambil berbicara.  panji  muncul di serambi. "Mana dia?"  
Mendengar suara itu di atas kepalanya, chucky  
membungkuk begitu rendah, sehingga keningnya 
menyentuh parit di pekarangan.  "kuyang ."  
"Ya, tuanku."  
"Sepertinya orang-orang di jenggala  berhasil membuat 
baju tempur jenis baru. Mereka menyebutnya domaru. 
Pergilah ke sana dan beli satu set. jenggala  daerah 
asalmu, jadi kurasa kau takkan mengalami kesulitan 
dalam perjalanan."  
"Tuanku?"  
"Berangkatlah malam ini juga."  
"Ke mana?"  
"Ke tempat kau bisa membeli baju tempur domaru." 
panji  mengambil sejumlah uang dari sebuah kotak, 
membungkusnya, dan melemparkannya ke hadapan 
chucky . Secara bergantian chucky  menatap panji  
dan uang itu. Matanya berkaca-kaca, dan air matanya 
mulai membasahi pipi, lalu menetes ke punggung 
tangannya.  
"Lebih baik kau segera berangkat, namun  kau tidak 
perlu terburu-buru membawa   baju tempur itu ke sini. 
Biarpun makan waktu bertahun-tahun, carikan yang 
terbaik untukku." lalu  panji  berpesan pada raden jana
"Biarkan dia keluar lewat gerbang belakang, 
sebelum malam berakhir."  
Betapa nasib tak dapat diramalkan! chucky  
merinding. Mula-mula ia menduga ajalnya sudah  tiba 
sebab  ia melanggar peraturan rumah tangga, dan 
sekarang... Ia merinding sebab  reaksinya terhadap 
kebaikan panji  sebab  rasa terima kasih dan ia 
merasakannya sampai ke tulang sumsum.  
"Beribu-ribu terima kasih." panji  memang tidak 
membeberkan maksud sebetulnya , namun  chucky  sudah  mengerti.  
Ketanggapannya mengejutkan orang-orang di sekeliling-
nya, pikir panji .  
Tidak mengherankan kalau sifatnya ini menimbul-
kan iri dan dengki. Ia tersenyum getir, lalu bertanya, 
"Kenapa kau berterima kasih?"  
"sebab  tuanku membiarkan hamba pergi."  
"Itu betul. namun , kuyang ..."  
"Ya, tuanku?"  
"Kalau kau tidak pandai-pandai menyembunyikan 
kecerdasanmu, kau takkan berhasil."  
"Hamba tahu itu."  
"Kalau kau tahu, kenapa ucapanmu begitu 
menantang tadi, sehingga semua orang marah?"  
"Hamba kurang pengalaman.... Hamba memukul 
kepala sendiri segera sesudah  kata-kata itu meluncur 
dari bibir hamba."  
"Aku takkan mengatakan apa-apa lagi. sebab  
  
kecerdasanmu berharga, aku akan menolongmu. 
Sekarang sudah waktunya memberitahumu bahwa 
mereka yang iri dan dengki padamu sering 
menuduhmu pencuri. Kalau ada peniti hilang, atau 
jika sebuah kotak obat tidak berada di tempatnya, 
mereka segera menudingmu dan berkata, 'Si kuyang  
yang mengambilnya.' Omongan mereka yang penuh 
dengki tak pernah ada habisnya. Kau mudah 
memancing kebencian orang lain. Sebaiknya 
kaupahami itu."  
"Ya, tuanku."  
"Tak ada alasan bagiku untuk menolongmu hari ini. 
Para pengikutku memiliki  alasan kuat. Berhubung 
kejadian ini dilaporkan secara pribadi oleh Tuan 
ki mayangsewu , aku bisa bersikap seakan-akan belum tahu 
apa-apa, lalu menyuruhmu melaksanakan sebuah misi. 
Kau mengerti?"  
"Hamba mengerti sepenuhnya. Kebaikan tuanku 
terukir di hati hamba untuk selama-lamanya."  
Hidung chucky  tersumbat. Berkali-kali ia mem-
bungkuk di hadapan panji .  
 
Malam itu ia meninggalkan rumah Mitsushita.  
Menoleh ke belakang, ia bersumpah, "Aku takkan 
lupa. Aku takkan lupa."  
Terkesan oleh kebaikan hati orang itu, chucky  
bertanya-tanya bagaimana ia dapat membalas budinya. 
Hanya orang yang dikelilingi kebiadaban dan 
ejekanlah yang dapat merasakan kebaikan orang lain 
  
sebegitu mendalam.  
Suatu hari... suatu hari nanti... Setiap kali ia 
terkesan atau kewalahan menghadapi sesuatu, kata-
kata itu diulang-ulangnya seperti doa seorang peziarah.  
Sekali lagi ia mengembara seperti anjing tak 
bertuan, tanpa tujuan dan tanpa pekerjaan. Sungai 
mahakam  sedang banjir, dan kalau ia berada jauh dari 
tempat pemukiman, ia merasa ingin menangis sebab  
kesepian, dan sebab  tak tahu bagaimana nasib yang 
menantinya. Baik alam semesta, bintang-bintang, 
maupun air sungai tak dapat memberi petunjuk 
padanya.  
 permisi!" sebuah suara berseru untuk kedua 
kalinya.  
ronggowiro, yang kebetulan bebas tugas hari itu, 
sedang tidur siang di asrama resimennya. la terbangun, 
mengangkat kepala, dan melihat berkeliling.  
"Siapa itu?"  
"Ini aku!" suara itu berkata dari balik tanaman 
pagar. Dari atas balkon, ronggowiro melihat seseorang 
berdiri di luar pagar. Ia melangkah ke teras.  
"Siapa itu? Kalau memang ada perlu, pergilah ke 
gerbang depan."  
"Gerbangnya terkunci."  
ronggowiro berusaha melihat wajah orang itu, lalu 
berseru, "Astaga, kau si kuyang , anak ki ageng senapati , 
bukan?"  
"Ya."  
"Kenapa tidak kaukatakan dari tadi? Kenapa kau 
malah kasak-kusuk seperti hantu di luar?"  
"Soalnya gerbang depan tidak terbuka, dan waktu 
aku mengintip dari belakang, aku melihat Tuan 
sedang tidur," ia berkata penuh hormat. "lalu  
Tuan tampak agak gelisah, sehingga aku memutuskan 
untuk memanggil sekali lagi."  
"Kau tidak perlu malu-malu begitu. Sepertinya 
  
istriku yang mengunci gerbang waktu dia pergi 
berbelanja. Biar kubukakan untukmu."  
sesudah  chucky  membasuh kaki dan memasuki 
rumah, ronggowiro menatapnya untuk waktu lama, 
sebelum berkata, "Ke mana saja kau selama ini? Sudah 
dua tahun berlalu sejak kita bertemu di jalan. Selama 
itu tak ada berita apa kau masih hidup atau sudah 
mati, dan ibumu gelisah khawatir  sekali. Apa kau sudah 
memberitahunya bahwa kau baik-baik saja?"  
"Belum."  
"Kau belum pulang ke rumahmu?"  
"Aku sempat pulang sebentar sebelum datang ke 
sini."  
"Dan sampai sekarang kau belum juga menemui 
ibumu?"  
"sebetulnya , semalam aku diam-diam pergi ke 
rumah kami, namun  sesudah  melihat wajah ibuku, aku 
segera berbalik dan menuju ke sini."  
"Kau memang aneh. Bukankah rumah itu tempat 
kau dilahirkan? Kenapa kau tidak memberitahu 
mereka bahwa kau sehat-sehat saja, agar mereka tidak 
cemas terus?"  
"Aku pun sudah rindu sekali pada Ibu dan Kakak, 
namun  waktu aku meninggalkan rumah, aku bersumpah 
bahwa aku baru akan kembali sesudah  berhasil menjadi 
orang. Dalam keadaan seperti sekarang, aku tak bisa 
menghadap ayah tiriku."  
Sekali lagi ronggowiro menatap pemuda di 
hadapannya. Jubah katun chucky  yang semula 
  
berwarna putih kini tampak kotor sebab  debu, hujan, 
dan embun. Rambutnya yang tipis dan berminyak, 
tulang pipinya yang terbakar matahari, melengkapi 
kesan kelelahan. Ia kelihatan seperti orang yang gagal 
mencapai cita-citanya.  
"Bagaimana kau cari makan selama ini?"  
"Aku menjual jarum."  
"Kau tidak bekerja untuk seseorang?"  
"Aku sempat mengabdi di dua atau tiga tempat. 
Memang bukan rumah tangga centeng adipati  kelas tinggi, 
namun ..."  
"Seperti biasa, kau segera bosan sendiri, bukan? 
Berapa umurmu sekarang?"  
"Tujuh belas."  
"Tak ada yang bisa dilakukan jika seseorang 
memang bodoh, namun  jangan terus-menerus bersikap 
tolol. Ada batasnya. Orang pandir memiliki kesabaran 
untuk diperlakukan seperti orang pandir, namun  itu 
tidak berlaku untukmu dan kesalahan-kesalahanmu. 
Bagaimana ibumu tidak bersedih dan ayah tirimu 
tidak malu? kuyang ! Apa yang akan kaulakukan 
sekarang?"  
Meski ronggowiro menegur chucky  sebab  kurang 
tekun, ia juga merasa kasihan pada anak ini. ronggowiro 
dahulu  berteman dekat dengan ki ageng senapati , dan ia sadar 
bahwa ki ageng gribig  memperlakukan anak-anak tirinya 
dengan kasar.  
Ia berdoa agar chucky  suatu hari nanti berhasil 
menjadi orang, demi almarhum ayahnya.  
  
Pada saat itulah istri ronggowiro kembali dari pasar, 
dan ia segera angkat bicara untuk membela chucky . 
"Dia anak nyi girah , bukan anakmu! Jadi, kenapa kau 
memarahinya? Kau hanya buang-buang napas saja. 
Aku kasihan padanya." Ia mengambil buah semangka 
yang sejak tadi didinginkan di dalam sumur, 
membelahnya, lalu menawarkan nya pada chucky .  
"Dia baru tujuh belas tahun, bukan? Ah, berarti dia 
memang belum tahu apa-apa. Umurmu sendiri sudah 
lewat empat puluh tahun, namun  kau masih juga prajurit 
biasa. Sebaiknya kau jangan anggap dirimu istimewa."  
"Diam," ujar ronggowiro. Ia tampak tersinggung. 
"Justru sebab  aku tidak ingin melihat anak-anak 
muda melewatkan hidup mereka seperti aku, aku 
merasa terpanggil untuk memberikan nasihat. Begitu 
menjalani upacara akil balig, mereka sudah dianggap 
dewasa, meski kenyataannya mungkin berbeda.  
namun  kalau mereka sudah berusia tujuh belas tahun, 
mereka tidak boleh bersikap seperti anak-anak lagi. Ini 
barangkali kurang sopan, namun  lihatlah junjungan kita, 
Tuan aidit . Berapa umurnya menurutmu?" 
ronggowiro hendak melanjutkan ucapannya, namun  
lalu  cepat-cepat mengalihkan topik pem-
bicaraan mungkin sebab  enggan bertengkar dengan 
istrinya.  
"Oh, ya, kemungkinan besar besok kami akan pergi 
berburu lagi dengan Yang Mulia. sesudah  itu, dalam 
perjalanan pulang, kami akan berlatih menyeberangi 
Sungai terawas  dengan berkuda dan berenang. Siapkan 
  
barang-barangku sepotong tali untuk baju tempurku, 
dan sandal jeramiku."  
chucky , yang sejak tadi menundukkan kepala 
sambil mendengarkan percakapan antara suami-istri 
itu, duduk tegak dan berkata, "Maafkan aku jika aku 
bersikap lancang."  
"Kau mau mulai resmi-resmian lagi?"  
"Aku tidak bermaksud begitu. Apakah Tuan 
aidit  sering pergi berburu dan berenang?"  
"Sebetulnya tidak pada tempatnya aku berkata 
begini, namun  dia memang anak muda yang sukar 
diatur."  
"Dia agak sembarangan, bukan?"  
"Kadang-kadang memang begitu, namun  dia bisa juga 
bersikap sopan sekali."  
"Dia memiliki reputasi buruk di seluruh negeri."  
"O ya? Hmm, yang jelas dia tidak populer di antara 
musuh-musuhnya."  
chucky  tiba-tiba berdiri dan berkata, "Aku minta 
maaf sebab  sudah  mengganggu hari libur Tuan."  
"Kau sudah mau berangkat lagi? Kenapa kau tidak 
menginap di sini saja, paling tidak untuk satu malam? 
Apakah aku membuatmu tersinggung?"  
"Tidak, sama sekali tidak."  
"Aku takkan menghalangimu kalau kau tetap 
berkeras, namun  kenapa kau tidak pergi menemui 
ibumu?"  
"Baiklah. Malam ini juga aku akan pergi ke 
lemahlaban ."  
  
"Syukurlah." ronggowiro mengantar chucky  sampai ke 
pintu gerbang, namun  dalam hati ia merasa ada yang 
tidak beres.  
Malam itu chucky  tidak pulang ke rumahnya. Di 
mana ia bermalam? Barangkali ia tidur di tempat 
keramat di pinggir jalan, atau di bawah  cucuran atap 
sebuah kuil. Ia dibekali uang oleh radenmas  panji , 
namun  di lemahlaban , sesudah  mengintip melalui pagar 
tanaman untuk melihat apakah ibunya baik-baik saja, 
ia sudah  melemparkan uang itu ke pekarangan. Tak 
sepeser pun tersisa di kantongnya, namun sebab  
malam di musim panas tidak panjang, ia hanya perlu 
menunggu sebentar sampai fajar tiba.  
Pagi-pagi sekali ia meninggalkan Desa Kasugai dan 
menuju ke arah Biwajima. Ia berjalan santai dan 
makan sambil berjalan. Ia punya beberapa gumpal nasi 
terbungkus daun teratai yang diikat pada sabuknya. 
namun  bagaimana ia bisa makan tanpa uang?  
Makanan bisa ditemui di mana-mana, sebab 
makanan merupakan pemberian surgawi untuk umat 
manusia. Ini merupakan salah satu kepercayaan chucky . 
Burung-burung dan binatang-binatang memperoleh 
karunia dari surga, namun  manusia sudah  ditakdirkan 
untuk bekerja. Sangatlah memalukan jika seseorang 
hidup untuk makan semata-mata. Jika mereka mau 
bekerja, dengan sendirinya mereka akan menerima 
rahmat dari surga. Dengan kata lain, chucky  lebih 
mementingkan bekerja dibandingkan  makan.  
Setiap kali muncul  niat bekerja dalam diri chucky , 
  
ia akan berhenti di tempat pembangunan gedung dan 
menawarkan  tenaganya untuk membantu para tukang 
kayu atau tukang batu. Jika melihat seseorang menarik 
kereta berat, ia akan mendorong dari belakang. Jika 
melihat ambang pintu yang kotor, ia akan bertanya 
apakah ia boleh meminjam sapu untuk membersih-
kannya.  
Tanpa diminta pun ia tetap bekerja atau men-
ciptakan pekerjaan, dan sebab  ia melakukannya 
secara sungguh-sungguh, orang-orang selalu memberi-
nya imbalan berupa semangkuk makanan atau sedikit 
uang untuk bekal di jalan. chucky  tidak malu dengan 
cara hidupnya, sebab ia tidak merendahkan diri 
seperti binatang. Ia bekerja untuk dunia, dan ia 
percaya bahwa segala kebutuhannya akan terpenuhi 
dengan sendirinya.  
Di Kasugai pada pagi itu, ia melewati bengkel 
pandai besi yang buka pagi-pagi. Istri pandai besi harus 
mengurus anak-anak mereka, jadi sesudah  chucky  
membantu membereskan bengkel, membawa   kedua 
ekor badak  ke lapangan rumput, dan bolak-balik ke 
sumur untuk mengisi wadah-wadah air, ia diberi 
sarapan dan  nasi untuk sore hari.  
Sepertinya cuaca akan panas lagi, ia berkata dalam 
hati, sambil menatap langit pagi. Makanan yang ia 
santap menyambung hidupnya satu hari lagi, namun  
pikirannya tidak sejalan dengan pikiran orang lain. 
Dengan cuaca seperti ini, aidit  tentu akan pergi 
ke sungai. Dan ronggowiro mengatakan bahwa ia pun 
  
akan ikut ke sana.  
Di kejauhan chucky  melihat Sungai terawas . 
Dengan tubuh basah sebab  embun, ia bangkit dari 
rumput dan menatap keindahan air.  
Setiap tahun, mulai musim semi sampai musim 
gugur, aidit  tak pernah melewatkan kesempatan 
untuk berlatih menyeberangi sungai. namun  di mana? 
Mestinya aku menanyakannya pada ronggowiro kemarin. 
Matahari bersinar cerah. Aku tunggu di sini saja, ujar 
chucky  dalam hati, lalu duduk di dekat semak 
belukar. Tuan aidit ... Tuan aidit , 
pemimpin marga sinuhun  yang terkenal serampangan. 
Seperti apa orangnya? Tak henti-hentinya nama itu 
bergaung di, kepala chucky , tak peduli ia tidur atau 
terjaga.  
chucky  ingin bertemu dengannya. Niat inilah yang 
pada pagi itu membawa  nya ke tepi sungai. aidit  
memang pewaris sinuhun  mpu  margojoyo , namun  apakah ia 
sanggup bertahan lama dengan wataknya yang 
sembrono dan kasar? Pendapat umum mengatakan 
bahwa ia bodoh dan cepat naik darah.  
Selama bertahun-tahun chucky  mempercayai kabar 
burung itu, dan ia sedih sebab  provinsi asalnya 
diperintah oleh orang yang tak pantas menjadi 
penguasa. namun  sesudah  melihat sendiri keadaan di 
provinsi-provinsi lain, ia mulai berubah pikiran. 
Perang tidak dimenangkan pada hari pertempuran.  
Setiap provinsi memiliki ciri masing-masing, dan 
kenyataan tidak selalu sama dengan yang tampak. 
  
Sebuah provinsi yang sepintas lalu kelihatan lemah 
mungkin saja menyimpan kekuatan tersembunyi. 
Sebaliknya, provinsi-provinsi yang dianggap kuat 
seperti blambangan  dan kertanegara  mungkin saja digerogoti 
kebusukan dari dalam.  
Dikelilingi oleh provinsi-provinsi besar dan kuat, 
wilayah kekuasaan marga sinuhun  dan prabu kertoarjowardana   tampak 
kecil dan miskin. Namun di dalam provinsi-provinsi 
kecil itu ada kekuatan yang tidak dimiliki oleh 
provinsi-provinsi yang lebih besar, kekuatan yang 
sangat penting bagi kelangsungan hidup.  
Jika aidit  memang sebodoh yang dikabarkan 
orang, bagaimana ia bisa mempertahankan benteng kota 
mertajaya ? aidit  kini berusia sembilan belas tahun. 
Tiga tahun sudah  berlalu sejak ayahnya wafat. Selama 
tiga tahun, pewaris kekuasaan yang berusia muda, 
sembarangan, dan berkepala kosong ini, tanpa bakat 
maupun kecerdasan, bukan saja sanggup memper-
tahankan kedudukannya, namun  juga berhasil 
mengendalikan keadaan sampai ke pelosok-pelosok 
provinsi. Bagaimana ia dapat melakukan ini? Beberapa 
orang mengatakan bahwa ini bukan berkat aidit , 
melainkan sebab  jasa pengikut-pengikutnya yang 
setia varnajaya mpu wilihan, sekarmajimarijan  kartosuwirjo, danawitama  
wisanggeni , dan mpu jalapala  banyuraden . Kekuasaan tersembunyi  
orang-orang inilah yang sebetulnya  merupakan 
penopang marga sinuhun , sedangkan aidit  tak lebih 
dari boneka belaka. Selama para pembantu 
kepercayaan penguasa sebelumnya masih hidup, 
  
semuanya akan berjalan dengan baik, namun jika satu 
atau dua dari mereka meninggal, dan tiang penopang 
runtuh, kehancuran marga sinuhun  hanya soal waktu saja. 
Di antara mereka yang menanti-nanti saat itu ada 
pangeran minakjinggo  dari blambangan  dan mpu marijan  mpu kepenuwoan  dari 
kertanegara . Tak seorang pun yang tidak sependapat 
dengan pandangan ini.  
"Hiyaa!"  
Mendengar teriakan perang, chucky  menoleh ke 
arah sumber suara itu.  
awan  debu kuning terlihat di dekat sungai. Ia 
berdiri dan memasang telinga. Aku tak bisa melihat apa-
apa, namun  pasti ada sesuatu di sana, ia berkata dalam hati. 
Mungkinkah ada pertempuran? Ia berlari sejauh 
seratus meter, lalu melihat apa yang sedang terjadi. 
centeng  sinuhun  yang ditunggu-tunggunya sejak pagi sudah  
sampai di sungai dan sudah mulai melakukan 
manuver-manuver.  
Latihan seperti ini sering dinamakan  "memancing di 
sungai" atau "berburu dengan burung rajawal i" atau 
"latihan renang militer". Namun, apa pun namanya, 
bagi para panglima perang tujuannya hanya satu, yaitu 
peningkatan kesiapsiagaan centeng . Abaikan per-
siapan militer, dan hidupmu akan segera berakhir.  
Tersembunyi di tengah-tengah rumput tinggi, 
chucky  mendesah tertahan.  
Di tepi seberang, sebuah perkemahan darurat 
terlihat di antara tanggul sungai dan dataran rumput 
di atasnya. Tirai-tirai dengan lambang marga sinuhun  
  
tergantung di antara sejumlah pondok istirahat, 
melambai-lambai tertiup angin. Prajurit-prajurit 
tampak berkeliaran, namun  aidit  tidak kelihatan. Di 
sisi sungai sebelah sini ada perkemahan serupa. 
chucky  mendengar kuda-kuda meringkik dan 
mengentak-entakkan kaki, dan suara para prajurit di 
kedua sisi sungai cukup keras untuk menimbulkan 
riak kecil di permukaan air. Seekor kuda tanpa 
penunggang berenang di tengah sungai, dan akhirnya 
naik ke darat.  
Ini yang mereka sebut latihan renang? pikir chucky  
sambil terheran-heran.  
Pendapat umum ternyata keliru. aidit  
dianggap berhati lemah dan bengis, namun 
seandainya ada yang minta bukti, akan terungkap 
bahwa tak seorang pun pernah memastikan apakah 
anggapan itu benar atau salah.  
Semua orang melihat aidit  meninggalkan 
benteng kotanya pada musim semi dan musim gugur, dan 
semuanya langsung menyimpulkan bahwa ia hendak 
memancing atau berenang. namun , sesudah  melihatnya 
dengan mata sendiri, chucky  menyadari bahwa 
tujuannya bukan untuk berenang dan bersantai. Yang 
dilihatnya adalah latihan militer habis-habisan.  
Mula-mula para centeng adipati  berkuda membentuk 
kelompok-kelompok kecil. Mereka mengenakan 
pakaian yang biasa dipakai  untuk berjalan-jalan.  
namun  begitu terdengar tiupan sangkakala, diiringi 
dentuman genderang perang, mereka segera berganti 
  
formasi dan menyerbu ke tengah sungai. Air sungai 
seolah-olah mendidih. centeng adipati  melawan  centeng adipati , satu 
kelompok prajurit biasa melawan  kelompok lain. 
Tombak-tombak bambu berubah menjadi angin 
puyuh, namun   para pembawan ya hanya saling 
memukul, bukan saling menusuk. Tombak-tombak 
yang tidak mengenai sasaran menghantam permukaan 
air. Tujuh atau 9 resi  berkuda mengibarkan 
panji masing-masing, sambil mengacungkan tombak.  
"wanakrama ! Aku di sini!" seorang centeng adipati  muda 
berseru dari atas kudanya.  
Ia tampak menonjol di antara prajurit bawah an, 
sebab  memakai baju tempur di atas jubah rami 
berwarna putih. Di tangannya, sebilah pedang indah 
berwarna merah terang tampak berkilau-kilau. Ia 
memacu kudanya ke sebelah kuda ki kertoarjo   wanakrama , 
sang ahli tombak dan memanah, dan tanpa peringatan 
menghantam pinggang laki-laki itu dengan tombak-
nya.  
"Kurang ajar!" Sambil berteriak dan merebut 
tombak dari tangan penyerangnya, wanakrama  mengubah 
posisi tangan dan menyerang dada lawan nya itu. Si 
centeng adipati  muda mengelak dengan gerakan anggun. 
Wajahnya menjadi merah padam. Ia menangkap 
tombak wanakrama  dengan satu tangan, dan mengangkat 
pedangnya yang merah dengan tangan satunya. 
Namun, sebab  tak sanggup mengimbangi tenaga 
wanakrama , ia terdorong ke belakang dan jatuh ke 
sungai.  
  
"Itu aidit !" chucky  berseru tanpa sadar. Ia tak 
percaya ada bawah an yang berani bersikap begitu 
lancang terhadap majikannya. namun  dari kejauhan ia 
tak dapat memastikan apakah orang itu memang 
aidit . Seakan-akan lupa diri, chucky  berdiri 
sambil berjinjit. Sementara itu, pertempuran pura-
pura di dangkalan sungai terus berlangsung. Jika benar 
aidit  yang terdorong dari kuda tadi, para 
pengikutnya tentu akan bergegas untuk mem-
bantunya, namun  ternyata tak seorang pun memperhati-
kannya.  
Tak lama lalu , seorang prajurit naik ke tepi 
seberang di sebelah hilir pertempuran. Orang itulah 
yang tadi terlempar dari kudanya, dan ia mirip sekali 
dengan aidit . Ia menarik tubuhnya ke darat 
seperti seekor tikus yang basah kuyup, lalu segera 
mengentakkan kaki sambil berseru,  
"Tak ada yang bisa mengalahkanku!"  
wanakrama  melihatnya dan menunjuk, "Pemimpin 
centeng  timur ada di sebelah sana! Kepung dia dan 
tangkap dia hidup-hidup!"  
Langsung saja beberapa prajurit biasa bergegas ke 
arah aidit . Air bercipratan ke segala arah. 
Dengan memakai  tombak bambu, aidit  
menghantam helm salah seorang prajurit dan berhasil 
menjatuhkan orang itu. lalu  ia melemparkan 
tombak ke arah lawan  berikutnya.  
"Jangan biarkan mereka mendekat!"  
Sekelompok anak buahnya datang untuk 
  
melindunginya dari serangan musuh. "Aku butuh 
busur!" Dua pembantu muncul dari balik tirai 
pondoknya.  
Mereka membawa   beberapa busur pendek dan 
melesat ke tempat ia menunggu, beberapa nyaris 
kehilangan keseimbangan. "Jangan sampai mereka 
berhasil menyeberangi sungai!" Sambil memberikan 
perintah kepada centeng nya, ia menarik tali busur, 
melepaskan anak panah itu, lalu segera mengambil 
panah berikut. Panah-panah itu memang panah 
latihan tanpa ujung runcing, namun  beberapa prajurit 
"musuh" yang terkena telak di kening langsung 
tumbang. aidit  melepaskan begitu banyak panah, 
sehingga sulit untuk membayangkan bahwa hanya ia 
seorang diri yang menembak. Dua kali tali busurnya 
putus. Setiap kali aidit  berganti busur tanpa 
kehilangan waktu, dan kembali memanah. Sementara 
ia berjuang mati-matian untuk mempertahankan 
posisi, barisan pertahanan di sebelah hulu dipaksa 
bertekuk lutut.  
centeng  barat menyerbu tanggul sungai, 
mengepung markas aidit , dan melepaskan 
teriakan kemenangan.  
"Kalah!" Sambil tertawa  aidit  mengempaskan 
busurnya. Ia berbalik dan menghadap centeng  musuh 
yang bersorak-sorai. wanakrama  dan Hirata Sammi, si ahli 
strategi, turun dari kuda dan bergegas ke arah 
aidit .  
"Tuanku tidak cedera?"  
  
"Aku tak mungkin celaka di dalam air."  
aidit  tampak tersipu-sipu. Ia berkata pada 
wanakrama , "Besok kemenangan akan ada di pihakku. 
Besok kalian akan kugempur habis-habisan."  
saat  ia bicara, alisnya terangkat sedikit. "Kalau 
kita sudah kembali ke benteng kota," ujar Sammi, "apakah 
tuanku berkenan mendengarkan kritik hamba 
mengenai strategi tuanku hari ini?"  
aidit  tidak menanggapinya. Ia sudah  melepas-
kan baju temput, lalu terjun ke sungai untuk 
menyegarkan diri.  
Melihat wajah aidit  yang tampan dan  kulitnya 
yang putih, orang segera tahu bahwa leluhurnya luar 
biasa rupawan . Jika berhadapan dengan seseorang, 
sorot matanya yang tajam seakan-akan menembus 
orang itu.  
saat  akhirnya menyadari kelebihannya itu, ia 
menyelubungi sorot matanya dengan tawa , meninggal-
kan lawan  bicaranya terheran-heran. Dan bukan hanya 
aidit  saja, kedua belas saudara laki-laki dan  
ketujuh saudara wanita lesbian nya pun memperlihatkan 
ciri-ciri keningratan, baik dari segi kehalusan budi 
pekerti maupun penampilan fisik.  
"Ini mungkin menjemukan bagi tuanku, dan 
tuanku mungkin bertanya, 'Apa? Lagi?' namun , sama 
halnya dengan doa yang harus diucapkan 
  
siangmalam bahkan pada waktu sedang makan 
tuanku harus mengenang para leluhur. Marga sinuhun  
didirikan oleh seorang biksu dari Kuil Tsurugi. Di 
masa lampau, salah seorang leluhur tuanku merupa-
kan anggota marga Taira yang konon keturunan 
Kaisar Kammu. Jadi ingadah, dalam tubuh tuanku 
mengalir darah kekaisaran. Hamba sudah tua, hanya 
inilah yang dapat hamba sampaikan."  
Terus-menerus aidit  mendengar petuah ini 
dari varnajaya mpu wilihan, salah satu dari keempat 
pengikut kepercayaan ayahnya, yang diangkat menjadi 
walinya pada waktu aidit  pindah dari benteng kota 
Furuwatari, tempat kelahirannya, ke mertajaya . 
mpu wilihan merupakan pengikut yang luar biasa 
setia, namun   bagi aidit  ia hanya laki-laki tua yang 
aneh dan membosankan. Setiap kali mendengar 
petuahnya, aidit  bergumam,  
"Ah, aku tahu, Pak Tua. Aku tahu," lalu berbalik 
dan pergi. Meskipun aidit  tidak mendengar-
kannya, orang tua itu melanjutkan, seakan-akan 
mengulangi rangkaian doa,  "Ingatlah Yang Mulia donosukomerto tuanku. Untuk 
mempertahankan jenggala , pada pagi hari beliau ber-
tempur di perbatasan sebelah utara, lalu menghadapi 
serangan dari timur pada malamnya. Hari-hari saat 
beliau sempat melepaskan baju tempur dan ber-
cengkerama dengan anak-anak beliau bisa dihitung.  
Walaupun tak henti-hentinya terlibat perang, 
kesetiaan beliau terhadap Kaisar sangat tinggi, dan 
  
beliau mengutus hamba ke ibu kota untuk mem-
perbaiki dinding-dinding Istana Kekaisaran, sekaligus 
untuk menyerahkan empat ribu kan. Kedermawan an 
beliau juga tampak dalam pembangunan Kuil Besar di 
Ise. Seperti itulah donosukomerto tuanku. Dan di antara 
leluhur tuanku..."  
"Pak Tua! Cukup sudah! Entah berapa kali aku 
sudah  mendengar cerita ini!" Setiap kali aidit  
merasa tak senang, daun telinganya menjadi merah. 
namun  sejak kecil hanya sebatas itulah ia dapat 
memperlihatkan perasaan tak senangnya. mpu wilihan 
sudah  memahami watak aidit . Ia juga sadar 
bahwa usaha untuk menyentuh perasaan aidit  
akan lebih bermanfaat dibandingkan  mengajaknya bicara 
secara akal sehat. Jika junjungannya mulai resah, ia 
segera berganti taktik.  
"Bagaimana kalau hamba menyiapkan kekang?"  
"Kau mengajakku berkuda?"  
"Jika tuanku berkenan."  
"Kau ikut juga, Pak Tua."  
Berkuda merupakan kegemaran aidit . Ia tak 
pernah puas hanya mengelilingi lapangan berkuda. Ia 
akan membawa   kudanya menjauhi benteng kota, lalu 
berbalik dan memacunya dengan kecepatan penuh.  
saat  berusia tiga belas tahun, aidit  pertama 
kali ambil bagian dalam sebuah pertempuran. Pada 
usia lima belas, ia sudah  kehilangan ayahnya. Dengan 
bertambah nya usia, sikapnya semakin congkak. Pada 
upacara perabuan ayahnya, aidit  mengenakan 
  
pakaian yang tak pantas untuk kesempatan yang 
begitu resmi.  
Di bawah  tatapan para tamu yang seakan-akan tak 
percaya pada penglihatan mereka, aidit  
menghampiri altar, meraih segenggam abu dupa, lalu 
melemparkannya ke wadah tanah liat berisi abu 
mendiang ayahnya.  
lalu  ia mengejutkan semua orang dengan 
segera kembali ke benteng kota.  
"Memalukan sekali. Betulkah dia pewaris provinsi 
ini?"  
"Pemuda berkepala kosong yang tak dapat 
diharapkan."  
"Siapa menyangka bahwa dia begitu lancang?"  
Itulah pandangan mereka yang menilai sesuatu 
berdasarkan kulitnya saja.  
namun   orang-orang yang merenungkan situasi itu 
secara lebih mendalam segera mencucurkan air mata 
kesedihan untuk marga sinuhun .  
"Adiknya, Kanjuro, teramat santun, dan bersikap 
penuh hormat dari awal  sampai akhir," salah seorang 
pelayat mengemukakan. Mereka menyesalkan bahwa 
bukan dia yang diangkat sebagai pewaris. namun   
seorang biksu yang duduk di bagian belakang ruangan 
berkata perlahan, "Jangan salah... ini laki-laki dengan 
masa depan. Dia menakutkan." Komentar ini 
lalu  disampaikan kepada para pengikut senior, 
namun tak ada yang menanggapinya secara serius. 
Beberapa waktu sebelum wafat pada usia empat puluh 
  
enam, mpu  margojoyo  sudah  mengatur pertunangan 
aidit  dengan anak wanita lesbian  pangeran minakjinggo  dari 
blambangan , dengan perantaraan mpu wilihan. Sudah 
bertahun-tahun blambangan  dan jenggala  saling bermusuhan, 
jadi pernikahan itu bersifat politik. Taktik-taktik 
semacam itu sudah hampir merupakan keharusan di 
sebuah negeri yang tengah dilanda perang.  
minakjinggo  pun segera menyadari maksud terselubung di 
balik rencana itu. Meski demikian, ia memberikan 
putri kesayangannya kepada sang Pewaris 
kepemimpinan marga sinuhun , yang dari provinsi-provinsi 
tetangga sampai ke ibu kota sudah  dikenal sebagai 
orang pandir. minakjinggo  menyetujui pernikahan itu, 
namun diam-diam ia berniat mengujawa  jenggala .  
Sifat pandir, kasar, dan tak tahu aturan yang 
ada dalam diri aidit  seakan-akan terus 
bertambah  parah. namun   ia memang sengaja ingin 
memberikan kesan demikian pada orang lain. Di 
bulan keempat Tahun Temmon kedua puluh dua, 
aidit  merayakan ulang tahun kesembilan belas.  
sebab  ingin berjumpa dengan menantunya, pangeran 
minakjinggo  mengusulkan untuk mengadakan pertemuan 
pertama mereka di Kuil nirvana ji di bratanggede, di 
perbatasan kedua provinsi. Kuil itu merupakan kuil 
aliran zoroaster  sayap kiri  dan terletak agak terpisah dari ketujuh ratus rumah di desa itu.  
Diiringi rombongan besar, aidit  meninggalkan 
benteng kota mertajaya , menyeberangi Sungai brantas  dan dwikerto , 
lalu terus maju sampai ke bratanggede.  
  
Sekitar lima ratus anak buahnya membawa   busur 
panjang atau senjata api; empat ratus orang lagi 
membawa   tombak sepanjang enam meter, dan mereka 
diikuti oleh tiga ratus prajurit biasa. Mereka berjalan 
sambil membisu. Sekelompok penunggang kuda di 
tengah-tengah iring-iringan itu mengelilingi 
aidit . Mereka siap menghadapi setiap keadaan 
darurat.  
Musim kemarau sudah di ambang pintu. Gandum 
di ladang-ladang berwarna kuning pucat. Embusan 
angin dari arah Sungai dwikerto  terasa menyegarkan. 
Suasana siang itu penuh kedamaian, dan dahan-dahan 
perdu menggantung melewati pagar-pagar. Rumah-
rumah di bratanggede tampak kokoh dan memiliki banyak 
lumbung.  
"Itu mereka." Dua centeng adipati  berpangkat rendah dari 
marga pangeran ditempatkan sebagai pengintai di batas 
desa. Mereka segera berbalik untuk memberi laporan. 
Burung-burung gereja bertengger di deretan pohon 
yang membelah desa, dan berkicau riang. Kedua 
centeng adipati  tadi berlutut di muka sebuah pondok kecil, 
dan berkata dengan suara rendah, "Iring-iringan sudah  
tiba. Tak lama lagi mereka akan lewat di sini."  
Pondok yang gelap, kotor, dan berlantai tanah itu 
berisi orang-orang yang membawa   pedang-pedang 
mencolok dan mengenakan jubah -jubah  
berpotongan resmi.  
"Baik. Kalian berdua sembunyi di semak-semak di 
belakang."  
  
Kedua centeng adipati  itu pembantu pribadi pangeran minakjinggo  
dari blambangan , yang sedang bersandar pada ambang 
jendela di sebuah ruang kecil. Matanya tertuju ke luar.  
Banyak cerita mengenai aidit  beredar di 
masyarakat. Seperti apa dia sebetulnya ? minakjinggo  
bertanya-tanya. Orang macam apa dia? Sebelum 
pertemuan resmi, aku ingin melihatnya dahulu . Cara 
berpikir seperti ini memang khas minakjinggo , itu sebabnya 
ia berada di sini, mengintai dari pondok di tepi jalan.  
"Orang-orang jenggala  sudah  datang, tuanku."  
minakjinggo  menggeram sebagai tanggapan, lalu 
mengalihkan pandangannya ke jalan. sesudah  
mengunci pintu, para pengikutnya merapatkan wajah 
ke celah-celah dan lubang-lubang di pintu-pintu kayu. 
Tak ada yang bersuara.  
Kicauan burung-burung kecil di pepohonan pun tak 
terdengar lagi.  
Kecuali bunyi sayap mengepak saat  mereka tiba-
tiba terbang, suasana hening. Bahkan embusan angin 
lembut pun tidak menimbulkan suara.  
centeng  jenggala  terus mendekat. Para pembawa   
senjata api, dengan senapan yang sudah  digosok sampai 
mengilap, berbaris sepuluh-sepuluh, membentuk 
kelompok empat puluh orang; gagang-gagang tombak 
tampak mirip  hutan saat  lewat di depan 
orang-orang blambangan . Dengan napas tertahan minakjinggo  
mengamati gaya berjalan para prajurit dan  susunan 
pangkat mereka. Suara langkah centeng  diikuti oleh 
derap langkah kuda. minakjinggo  tak dapat melepaskan 
  
mata dari pemandangan di hadapannya.  
Di tengah-tengah para penunggang kuda ada 
seekor kuda yang teramat gagah, dengan berangus 
berkilauan. Di pelana mewah yang dihiasi indung 
mutiara, duduk aidit , tangannya menggenggam 
tali kekang berwarna ungu dan putih. Ia sedang asyik 
berbincang-bincang dengan para pengikutnya.  
"Apa ini?" adalah kata-kata yang keluar dari mulut 
minakjinggo . Ia tampak terheran-heran. Penampilan 
aidit  teramat tidak lazim. minakjinggo  sudah  diberitahu 
bahwa sang Penguasa jenggala  biasa berpakaian aneh, 
namun  ini melebihi segala cerita yang pernah 
didengarnya.  
aidit  terayun-ayun di atas pelana. Rambutnya 
dikonde dan diikat dengan jalinan pita berwarna hijau 
pucat. Ia mengenakan mantel katun berpola cerah 
yang lengannya hanya satu. Baik pedang pendek 
maupun pedang panjangnya dihiasi kerang laut dan 
dibalut dengan jerami padi suci.  
Tujuh atau 9 benda tergantung pada ikat 
pinggangnya: sebuah kantong rabuk, sebuah labu 
kecil, sebuah kotak obat, sebuah kipas, sebuah ukiran 
kuda, dan beberapa permata. Di bawah  jubah pendek 
yang terbuat dari kulit harimau  dan macan tutul, ia 
mengenakan baju brokat emas berkilauan.  
aidit  berbalik di pelananya dan berseru, 
"wanakrama , inikah tempatnya? Inikah bratanggede?" 
Seruannya begitu keras, hingga terdengar jelas oleh 
minakjinggo  di tempat persembunyiannya.  
  
wanakrama , yang bertindak sebagai pengawal , merapat 
ke junjungannya.  
"Ya, dan Kuil dwinirwana tempat tuanku akan 
bertemu dengan Yang Mulia mertua tuanku, ada di 
sebelah sana. Anjuran hamba, mulai sekarang kita 
bersikap sebaik mungkin."  
"Kuil ini milik sekte sayap kiri , bukan? Hmm, tenang 
sekali, ya? Tak ada perang di sini, sepertinya." 
aidit  menatap ke atas, mungkin sebab  melihat 
siluet burung elang di langit biru. Kedua pedang di 
pinggangnya berdenting pelan saat  saling 
bersenggolan atau membentur benda-benda yang 
tergantung pada sabuknya.  
sesudah  aidit  berlalu, para pengikut minakjinggo  
harus memaksakan diri untuk tidak tertawa  berderai-
derai. Wajah-wajah mereka memperlihatkan betapa 
mereka berjuang untuk menahan tawa  pada saat 
melihatlihat  adegan menggelikan tadi.  
"Sudah habis?" tanya minakjinggo . Lalu, "Itukah akhir 
iring-iringannya?"  
"Ya, hanya itu."  
"Kalian sempat memperhatikannya?"  
"Dari jauh."  
"Hmm, penampilannya ternyata tidak bertentangan 
dengan kabar burung yang beredar. Wajahnya tampan 
dan fisiknya pun bolehlah, namun  di sini ada sesuatu 
yang kurang," ujar minakjinggo . Sambil tersenyum puas, ia 
mengangkat jarinya ke kepala.  
Beberapa pengikut terburu-buru masuk lewat pintu 
  
belakang. "Mohon tuanku segera kembali ke kuil. Tak 
jadi soal kalau aidit  menjadi curiga, namun  
bagaimana jika para pengikutnya pun merasa begitu? 
Bukankah kita harus lebih dahulu  berada di kuil?"  
Mereka segera keluar lewat pintu belakang, lalu 
menyusuri jalan pintas yang tersembunyi untuk 
menuju kuil. Tepat pada waktu barisan terdepan 
centeng  jenggala  tiba di gerbang depan Kuil dwinirwana 
pangeran minakjinggo  dan para pengikutnya menyelinap lewat 
gerbang belakang, bersikap seakan-akan tidak terjadi 
apa-apa. Mereka segera berganti pakaian dan menuju 
jalan utama. Gerbang kuil sudah  penuh orang. sebab  
semua orang blambangan  dikumpulkan untuk penyambutan 
resmi, kuil utama, hall besar, dan  ruang penyambutan 
tamu dibiarkan dalam keadaan kosong.  
Kasuga naranda , salah seorang pengikut senior 
minakjinggo , berpaling pada junjungannya yang sedang 
duduk, dan perlahan-lahan menanyakan bagaimana 
minakjinggo  hendak mengatur pertemuan itu.  
minakjinggo  menggelengkan kepala. "Tak ada alasan 
bagiku untuk pergi menyambutnya." Ia menganggap 
aidit  semata-mata sebagai menantu.  
Takkan ada masalah jika itu satu-satunya 
pertimbangan. Namun aidit  merupakan 
penguasa sebuah provinsi, sama halnya dengan minakjinggo , 
dan para pengikutnya tentu berasumsi bahwa 
pertemuan itu akan diadakan antara dua orang yang 
sederajat. Meskipun minakjinggo  juga mertua aidit , 
bukankah lebih pantas jika pertemuan pertama 
  
mereka diselenggarakan sebagai pertemuan antara dua 
penguasa provinsi? Itulah yang terbayang dalam benak 
naranda , dan ia menanyakannya secara hati-hati. minakjinggo  
menjawab  bahwa itu tidak perlu.  
"Kalau begitu, bagaimana kalau hamba sendiri yang 
menyambutnya?"  
"Tidak. Itu juga tidak perlu. Sudah cukup kalau dia 
disambut oleh ki serimpingan."  
"Jika itu kehendak tuanku."  
"Kau akan ikut dalam pertemuan nanti. Pastikan 
ketujuh ratus orang di koridor yang menuju ke sini 
berbaris dengan baik."  
"Hamba pikir mereka sudah siap di sana."  
"Sembunyikan para prajurit berpengalaman, dan 
suruh mereka berdeham pada waktu menantuku 
lewat. Siapkan centeng  busur dan senapan di 
halaman. Dan perintahkan yang lain untuk pasang 
tampang berwibawa  ."  
"Tentu, tuanku. Takkan ada kesempatan yang baik 
untuk memamerkan kekuatan blambangan  dan menggertak 
menantu tuanku ditambah    anak buahnya. Hamba akan 
menunggu di ruang penyambutan."  
minakjinggo  tampak seolah-olah ingin menguap, dan ia 
meregangkan tubuhnya pada saat bangkit hendak 
pergi.  
naranda  merasa perlu melengkapi perintah yang 
diterimanya. Ia menuju koridor dan memeriksa 
centeng  pengawal , lalu memanggil seorang bawah an 
dan membisikkan sesuatu ke telinganya.  
  
aidit  sedang menaiki tangga di pintu masuk 
utama. Di sekelilingnya ada lebih dari seratus pengikut 
pangeran, mulai dari sesepuh marga sampai centeng adipati  muda 
yang masih dalam masa percobaan. Mereka berlutut 
berdampingan, bersujud untuk menghormati tamu 
agung yang baru tiba.  
Tiba-tiba aidit  berhenti dan berkata, "Apakah 
ada ruangan untuk beristirahat?" Ucapannya tanpa 
basa-basi, dan yang mendengarnya langsung terdiam.  
"Baik, tuanku."  
Semua orang yang sedang membungkuk serempak 
mengangkat kepala.  
ki serimpingan maju setapak demi setapak, lalu 
bersujud di depan kaki sang Penguasa jenggala . "Harap 
ikuti hamba. Silakan beristirahat sejenak di sini, 
tuanku." Sambil membungkuk-bungkuk ia mengatur 
tamunya ke sebelah kanan pintu utama, menyusuri 
sebuah lorong. aidit  menoleh ke kanan, lalu ke 
kiri. "Hmm, kuil ini cukup bagus. Ah, pohon wisteria 
di sini sedang berbunga. Wangi bunganya sungguh 
menawan !" Sambil berkipaskipas, ia memasuki 
ruangan itu bersama para pembantunya. sesudah  
beristirahat selama satu jam, aidit  bangkit dari 
balik sekat pembatas ruangan dan berkata, "Ho! Aku 
perlu seseorang untuk menunjukkan jalan. Ayah 
mertuaku tentu ingin berbincang-bincang denganku. 
Di mana sang Penguasa blambangan ?"  
Rambutnya sudah  ditata ulang. Sebagai ganti baju 
kulit harimau  dan macan tutul, ia mengenakan jubah 
  
sutra putih yang dihiasi sulaman benang emas berupa 
lambang marganya, di bawah  baju resmi tak berlengan 
berwarna ungu tua. Pedang pendeknya diselipkan ke 
balik tali pinggang, sedangkan pedang panjang 
dibawan ya di tangan kanan. Seluruh penampilannya 
sudah  berubah, mirip  orang istana.  
Para pengikut blambangan  membuka mata lebar-lebar, dan 
pengikut-pengikutnya sendiri pun, yang sudah terbiasa 
melihatnya berpakaian janggal, tampak terheran-
heran. Tanpa ragu-ragu aidit  mulai menyusuri 
koridor. Ia menatap ke kiri-kanan, lalu berkata dengan 
lantang, "Aku merasa rikuh kalau dikawal  seperti ini. 
Aku lebih suka menemui mertuaku seorang diri."  
Doku mengedipkan mata ke arah Kasuga naranda  
yang baru saja bergabung.  
Mereka berdiri di sisi berlawan an di hall besar, dan 
segera memperkenalkan diri. "Hamba ki serimpingan, 
pengikut senior Tuan pangeran minakjinggo ."  
"Hamba juga pengikut senior. Hamba bernama 
Kasuga naranda . Tuanku sudah  menempuh perjalanan 
jauh, dan hamba gembira melihat tuanku tiba dalam 
keadaan sehat. Sungguh membahagiakan bahwa hari 
pertemuan ini begitu cerah."  
Sementara kedua laki-laki itu masih sibuk berbasa-
basi, aidit  bergegas menyusuri koridor, melewati 
orang-orang yang berbaris di sepanjang dinding. "Ah, 
ukiran ini bagus sekali," katanya sambil mengamati 
lubang angin di atas pintu. Ia memperlakukan para 
prajurit seakan-akan mereka hanya rerumputan di tepi 
  
jalan. sesudah  sampai di ruang penyambutan, ia 
bertanya pada Doku dan naranda , "Inikah tempatnya?"  
"Ya, tuanku," jawab  Doku, masih tersengal-sengal 
sebab  terpaksa mengejar aidit .  
aidit  mengangguk, lalu melangkah masuk. 
Dengan tenang ia duduk, menyandarkan punggung 
pada sebuah tiang di pinggir ruangan. Ia menatap ke 
atas, seakan-akan mengagumi lukisan-lukisan di langit-
langit. Sorot matanya tenang, roman mukanya sabar. 
Orang-orang istana pun jarang memiliki roman muka 
seelok aidit . namun  orang yang hanya menaruh 
perhatian pada tampangnya takkan menyadari sifat 
menantang yang tercermin dalam matanya. Di salah 
satu sudut ruangan terdengar bunyi berdesir saat  
seorang laki-laki berdiri. minakjinggo  melangkah keluar dari 
bayangbayang. Ia lalu duduk dalam posisi lebih tinggi 
dari aidit .  
aidit  pura-pura tidak memperhatikannya. 
Atau lebih tepat, ia berlagak tak peduli sambil 
mempermainkan kipasnya. minakjinggo  melirik ke samping.  
Tak ada ketentuan mengenai tata cara mertua 
berbicara dengan menantunya.  
Ia menahan diri dan membisu. Suasana tegang. Alis 
minakjinggo  serasa ditusuk-tusuk jarum. Doku, yang tak 
sanggup menahan ketegangan itu lebih lama, 
mendekatkan diri pada aidit  dan membungkuk 
terus sampai mencapai tatami.  
"Tuan yang duduk di sebelah sana adalah Tuan 
pangeran minakjinggo . Berkenankah tuanku menyapa beliau?"  
  
aidit  berkata, "Begitukah?" lalu menjauhkan 
punggungnya dari pilar dan duduk tegak. Ia 
membungkuk satu kali dan berkata, "Kami sinuhun  
aidit . Kami merasa gembira sebab  bisa bertemu 
Tuan."  
Seiring dengan perubahan sikap dan  sapaan 
aidit , sikap minakjinggo  pun melunak. "Sudah lama 
kami mengharapkan perjumpaan ini. Kami bahagia 
bahwa keinginan yang sudah  tertunda-tunda sekian 
lama akhirnya dapat terwujud."  
"Pertemuan ini juga menenteramkan hati kami. 
Ayah Mertua sudah mulai berumur, namun  beliau 
menjalani kehidupan dalam keadaan sehat."  
"Apa maksudnya, sudah mulai berumur? Kami baru 
mencapai usia enam puluh tahun ini, namun  kami sama 
sekali tidak merasa tua. Anandalah yang baru menetas 
dari telur! Ha... ha! Puncak kejayaan seorang laki-laki 
dimulai pada usia enam puluh."  
"Kami bahagia memiliki ayah mertua yang dapat 
dijadikan tempat bersandar."  
"Bagaimanapun, hari ini hari yang diberkahi. Kami 
berharap pada pertemuan berikut Ananda bisa 
memperlihatkan wajah seorang cucu."  
"Dengan senang hati."  
"Ananda sungguh murah hati! naranda !"  
"Ya, tuanku."  
"Mari makan." minakjinggo  memberikan isyarat mata 
pada naranda .  
"Tentu, tuanku." naranda  tidak percaya apakah ia 
  
membaca pesan dalam pandangan junjungannya 
dengan tepat, namun   tampang masam minakjinggo  sudah  
lenyap sejak pertemuan dimulai. naranda  meng-
artikannya sebagai perubahan taktik. Sang mertua kini 
hendak menjamu menantunya. Sebagai ganti 
makanan seadanya yang semula dipesan, kini diperlu-
kan masakan minuman  yang lebih istimewa.  
minakjinggo  tampak puas dengan pengaturan naranda . Ia 
mendesah lega. Mertua dan menantu mengangkat 
gelas sambil saling memuji. Suasana kaku yang pada 
awal nya mewarnai pertemuan, kini berubah menjadi 
ramah-tamah.  
"Ah, aku ingat lagi!" aidit  tiba-tiba berkata, 
seakan-akan ada sesuatu yang baru saja terlintas di 
benaknya. "Tuanku minakjinggo  Ayah Mertua dalam 
perjalanan ke sini, aku bertemu seseorang yang 
sungguh aneh."  
"Aneh bagaimana?"  
"Hmm, dia juga orang tua, dan dia mengintip iring-
iringan dari jendela gubuk rakyat jelata. Meskipun 
baru kali ini aku bertemu dengan ayah mertuaku, 
waktu aku pertama menatap wajah Ayah Mertua, 
ehm... Ayah Mertua mirip sekali dengan orang itu. 
Bukankah ini aneh sekali?" Sambil tertawa , aidit  
menyembunyikan mulut di balik kipas yang setengah 
terbuka.  
minakjinggo  terdiam, seolah-olah baru menelan minuman 
pahit. Baik ki serimpingan maupun Kasuga naranda  
langsung bermandikan keringat. Seusai acara makan, 
  
aidit  berkata, "Ah, sudah terlalu lama aku 
merepotkan Ayah Mertua. Aku ingin menyeberangi 
Sungai dwikerto  dan mencapai tempat menginap sebelum 
malam tiba. Aku mohon diri."  
"Kau berangkat sekarang?" minakjinggo  ikut berdiri. "Aku 
enggan melihatmu pergi, namun  aku pun tak dapat 
menahanmu." Ia sendiri sudah harus kembali ke 
benteng kotanya sebelum gelap.  
Hutan tombak sepanjang enam meter mem-
belakangi matahari sore, dan beranjak ke arah timur. 
Dibandingkan mereka, centeng  tombak dari blambangan  
tampak lesu dan kurang bersemangat.  
"Ah, aku tak ingin hidup lebih lama lagi. Suatu hari 
nanti anak-anakku akan mengemis-emis untuk 
menyelamatkan nyawa   di depan si pandir itu! namun  tak 
ada yang bisa dilakukan," minakjinggo  berkeluh kesah 
kepada para pengikutnya, sambil berayun-ayun di 
dalam tandu.  
 

 
Genderang perang berdentum-dentum, dan suara 
sangkakala berkumandang di ladang-ladang. Beberapa 
anak buah aidit  sedang berenang di Sungai 
terawas , beberapa sedang berkuda di ladang, atau 
berlatih dengan tombak bambu. Begitu mendengar 
sangkakala, mereka langsung menghentikan kegiatan 
masing-masing dan berbaris di depan pondok, 
menunggu aidit  menaiki kudanya.  
  
"Sudah waktunya kembali ke benteng kota."  
Lebih dari sejam aidit  berenang, berjemur di 
tepi sungai, lalu terjun ke air lagi. Akhirnya ia berkata, 
"Kita harus pulang," lalu  bergegas ke 
pondoknya. Ia melepaskan ckertoarjo t putih yang dipakai-
nya saat berenang, mengeringkan tubuhnya, dan 
mengenakan pakaian berburu dan baju tempur 
ringan.  
"Kudaku!" ia memerintah dengan tak sabar. 
Perintah-perintah yang ia berikan selalu memicu  
para pengikutnya kelabakan. Mereka berusaha 
memahaminya, namun  sering kali dibuat bingung, sebab  
junjungan mereka gemar bermain-main dan 
cenderung bertindak secara tak terduga. Beruntung 
ada ki kertoarjo   wanakrama  untuk mengimbanginya. Kalau 
anak buah aidit  sudah kalang kabut akibat 
ketidaksabarannya, dengan satu kata dari wanakrama , 
semua prajurit dan kuda akan berbaris seperti semaian 
padi.  
aidit  tampak puas. Ia menyuruh centeng nya 
menghadap ke benteng kota mertajaya , dan mereka 
meninggalkan sungai, dengan aidit  di tengah-
tengah iring-iringan. Latihan hari ini berlangsung 
selama empat jam.  
Matahari musim kemarau yang terik berada tepat di 
atas kepala. centeng  dan kuda-kuda yang basah kuyup 
terus berjalan. Bau busuk naik dari rkertoarjo -rkertoarjo , 
belalang-belalang hijau melompat menghindar. 
Keringat membasahi wajah pucat para prajurit. 
  
aidit  memakai  siku untuk menyeka keringat 
dari wajah. Perlahan-lahan wajahnya kembali cerah.  
"Siapa makhluk aneh yang berlari di sana?"  
Mata aidit  seakan-akan berada di mana-mana. 
Setengah lusin prajurit, yang sudah  melihat orang itu 
sebelum aidit , menembus rerumputan tinggi ke 
tempat chucky  bersembunyi. Sejak pagi chucky  sudah  
menunggu kesempatan untuk mendekati aidit . 
Diam-diam ia menyerbu  gerakgerik aidit  di 
sungai. Sebelumnya ia sempat diusir oleh para 
pengawal .  
sebab  itu ia memutuskan untuk mencari jalur 
yang akan ditempuh aidit  untuk kembali ke 
benteng kota, dan menyusup ke rerumputan tinggi di 
pinggir jalan.  
Sekarang atau tidak sama sekali! chucky  berkata 
dalam hati. Jiwa raganya sudah  bersatu, dan yang 
dilihatnya hanyalah sang Penguasa jenggala  di atas kuda. 
chucky  berteriak sekuat tenaga, tanpa menyadari apa 
yang diucapkannya. Ia tahu bahwa ia 
mempertaruhkan nyawa  . Ada kemungkinan ia akan 
terbunuh oleh tombak-tombak panjang di tangan para 
pengawal , sebelum sempat mendekati aidit  
untuk menjelaskan maksudnya. namun  ia tidak gentar. 
Pilihannya hanya dua: maju seiring gelombang pasang 
ambisinya, atau tenggelam tersesat arus bawah .  
Sambil melompat berdiri, ia melihat aidit , 
memejamkan mata, dan bergegas ke arahnya.  
"Perkenankan hamba mengajukan permohonan! 
  
Terimalah hamba sebagai pelayan! Hamba ingin 
mengabdi dan rela menyerahkan nyawa   untuk 
tuanku!" Itulah yang hendak dikatakannya, namun  ia 
terlalu bergairah, dan pada waktu ia dicegat oleh 
tombak-tombak para pengawal , suaranya terputus dan 
yang terdengar hanyalah serangkaian bunyi tak 
bermakna.  
Ia tampak lebih papa dibandingkan  rakyat jelata yang 
paling miskin. Rambutnya kotor, penuh debu. 
Wajahnya cemong sebab  keringat dan debu yang 
melekat. Para pengawal  menebas kakinya dengan 
tombak-tombak mereka, namun  ia berjumpalitan dan 
mendarat tiga meter dari kuda aidit .  
"Hamba ingin mengajukan permintaan, tuanku!" ia 
berseru sambil melompat ke arah sanggurdi kuda 
aidit .  
"Enyahlah!" suara aidit  menggelegar.  
Prajurit di belakang chucky  menyambar kerah 
bajunya dan mengempaskannya ke tanah. chucky  
hendak ditusuk tombak, namun  aidit  berseru, 
"Tahan!"  
Kenekatan orang asing berpenampilan jorok ini 
sudah  mengusik rasa ingin tahunya. Mungkin sebab  
aidit  dapat merasakan harapan yang menggelora 
dalam tubuh chucky .  
"Apa maumu?"  
Suara itu membuat chucky  hampir lupa pada rasa 
nyeri dan para pengawal .  
"Ayah hamba mengabdi kepada ayah tuanku sebagai 
  
prajurit infanteri. Namanya panembahan  ki ageng senapati . 
Hamba putranya, chucky . sesudah  ayah hamba 
meninggal, hamba tinggal bersama ibu hamba di 
lemahlaban . Sejak semula hamba berharap bisa 
memperoleh kesempatan mengabdi pada tuanku, sebab  
itu hamba berusaha mencari seorang perantara, namun  
akhirnya ternyata tak ada jalan selain mengajukan 
permohonan ini secara langsung. Hamba memper-
taruhkan nyawa   untuk ini. Hamba bersedia dibunuh 
di sini juga. Jika tuanku berkenan menerima hamba 
sebagai pelayan, hamba rela mengorbankan nyawa   
untuk tuanku. Jika tuanku berkenan, terimalah satu-
satunya nyawa   yang hamba miliki. Dengan cara ini, 
baik ayah hamba, yang berada di bawah  rerumputan 
dan dedaunan, maupun hamba sendiri, yang lahir di 
provinsi ini, akan dapat mewujudkan keinginan yang 
paling hakiki." Kata-kata chucky  meluncur cepat, 
hampir seperti ucapan orang kesurupan. namun  
keinginannya yang menggebu-gebu berhasil 
menyentuh hati nurani Nobugana. Kesungguhan 
chucky  lebih mempengaruhi aidit  dibandingkan  
kata-kata yang diucapkannya.  
Ia melepaskan tawa  terpaksa. "Aneh betul orang 
ini," ia berkata pada salah seorang pembantunya. 
lalu , sambil kembali berpaling pada chucky , 
"Jadi, kau ingin mengabdi pada kami?"  
"Ya, tuanku."  
"Keterampilan apa yang kaumiliki?"  
"Hamba tidak memiliki  keterampilan, tuanku."  
  
"Kau tidak memiliki  keterampilan, namun  ingin 
mengabdi pada kami?"  
"Selain rela menyerahkan nyawa   untuk tuanku, 
hamba tidak memiliki  bakat khusus."  
Pandangan aidit  melekat pada chucky , sudut-
sudut mulutnya mulai membentuk senyuman. "Sudah 
beberapa kali kau menyapa kami dengan sebutan 
'tuanku', padahal kau belum diizinkan menjadi 
pengikut kami. Apa maksudmu menyebut kami 
seperti itu, padahal kau tidak mengabdi pada kami?"  
"Sebagai warga jenggala , hamba sejak semula 
beranggapan bahwa jika hamba suatu hari mengabdi 
pada seseorang, orang itu pasti tuanku. Maafkan 
hamba sudah  bersikap lancang."  
aidit  mengangguk-angguk dan berpaling pada 
wanakrama . "Orang ini cukup menarik," katanya.  
"Memang." wanakrama  menampilkan senyum dibuat-
buat.  
"Permohonanmu dikabulkan. Kau diterima. Mulai 
hari ini, kau jadi pengikut kami."  
chucky , penuh haru, tak sanggup mengungkapkan 
kegembiraannya.  
Tidak sedikit pengikut aidit  yang terkejut, namun  
sekaligus mengakui bahwa junjungan mereka bersikap 
sesuai dengan wataknya.  
saat  chucky  tanpa malu-malu memasuki barisan, 
mereka mengerutkan kening dan berkata, "Hei, 
tempatmu paling belakang. Berpeganganlah pada 
buntut kuda beban."  
  
"Ya, ya." chucky  menurut dan mengambil tempat di 
buntut iring-iringan.  
Ia merasa berada di negeri impian.  
saat  iring-iringan itu melanjutkan perjalanan ke 
mertajaya , semua jalan yang dilewati segera melengang, 
seakan-akan dibersihkan oleh sapu. Laki-laki dan 
wanita lesbian  berlutut dan bersujud rendah-rendah, 
sampai kepala menyentuh tanah, baik di depan rumah 
masing-masing maupun di tepi jalan.  
aidit  tak pernah menahan diri, bahkan di 
tempat umum sekalipun.  
Ia berdeham pada waktu berbicara dengan para 
pengikutnya, sekaligus tertawa . Jika merasa haus, ia 
makan semangka di atas pelana kudanya, lalu 
meludahkan biji-bijinya ke tanah.  
Untuk pertama kali chucky  menyusuri jalan-jalan 
ini. Pandangannya terus melekat pada punggung 
junjungannya. Dalam hati ia berkata, "Akhirnya 
kutemukan jalannya. Inilah jalan yang harus ku-
tempuh."  
benteng kota mertajaya  muncul di hadapan mereka. Air di 
parit mulai berwarna hijau. sesudah  melewati Jembatan 
rawabening, iring-iringan itu melintasi pekarangan luar, 
lalu menghilang melalui gerbang benteng kota. Kelak tak 
terhitung lagi berapa kali chucky  melewati jembatan 
dan gerbang ini.  
 

 
  
Musim gugur sudah  tiba. Sambil menatap para penuai 
di sawah -sawah 
 
 
 
yang dilewatinya, seorang centeng adipati  
berbadan pendek melangkahkan kakinya ke arah 
lemahlaban . sesudah  tiba di rumah ki ageng gribig , ia 
memanggil dengan lantang, "Ibu!"  
"Oh! chucky !"  
Ibunya sudah  melahirkan lagi. Sambil duduk di 
tengah-tengah kacang merah yang disebarkannya agar 
mengering, ia menggendong bayinya, membiarkan 
kulitnya yang lembut terkena sinar matahari. Roman 
mukanya berubah saat  ia menoleh dan melihat 
perkembangan yang sudah  terjadi pada diri putranya. 
Apakah ia bahagia atau sedih? Matanya berkaca-kaca 
dan bibirnya gemetar.  
"Ibu, ini aku. Semuanya baik-baik saja?"  
chucky  mengambil tempat di tikar jerami di 
samping ibunya. Bau susu tercium dari payudara 
ibunya. Ibunya memeluknya seperti memeluk si bayi 
yang tengah menyusu.  
"Ada apa lagi?" ia bertanya.  
"Tidak ada apa-apa. Hari ini aku bebas tugas. Ini 
pertama kali aku meninggalkan benteng kota sejak aku 
pergi ke sana."  
"Ah, bagus. Kau muncul begitu mendadak, jadi Ibu 
langsung mengira kau gagal lagi." Ia mendesah lega, 
dan tersenyum untuk pertama kali sejak chucky  tiba. 
Ia menatap putranya yang sudah  dewasa, mengamati 
pakaian sutranya yang bersih, ikatan rambutnya, 
pedangnya yang pendek dan yang panjang. Air mata 
  
mulai mengalir membasahi pipinya.  
"Ibu, kini saatnya Ibu merasa bahagia. Akhirnya aku 
berhasil menjadi pengikut aidit . Oh, aku hanya 
masuk dalam kelompok pelayan, namun  sebetulnya  
aku mengabdi sebagai centeng adipati ."  
"Bagus." nyi girah  menempelkan lengan bajunya yang 
compang-camping ke wajah, tak sanggup menegakkan 
kepala.  
chucky  segera merangkulnya. "Untuk menyenang-
kan Ibu, pagi ini aku mengikat rambutku dan 
mengenakan pakaian bersih. namun  aku takkan berhenti 
sampai di sini. Aku akan membuktikan bahwa aku 
sanggup membuat Ibu betul-betul bahagia. Ibu, aku 
berdoa agar Ibu diberi umur panjang!"  
"Waktu Ibu mendengar apa yang terjadi pada 
musim kemarau yang lalu... Ibu tak menyangka akan 
melihatmu seperti ini."  
"Tentunya ronggowiro yang memberitahu Ibu."  
"Ya, dia datang dan memberitahu Ibu bahwa kau 
berhasil menarik perhatian Yang Mulia, dan diangkat 
menjadi pelayan di benteng kota. Kebahagiaan Ibu saat itu 
tak terlukiskan."  
"Kalau hal kecil seperti itu saja sudah membuat Ibu 
bahagia, bagaimana di masa mendatang? Pertama-tama 
aku ingin memberitahu Ibu bahwa aku diizinkan 
memakai  nama belakang."  
"Nama apa yang kaupilih?"  
"panembahan , seperti ayahku. namun  nama depanku 
diganti menjadi betari durga ."  
  
"panembahan  betari durga ."  
"Betul. Nama yang bagus, bukan? Untuk sementara 
Ibu masih harus puas dengan rumah kumuh dan 
pakaian usang ini, namun  bergembiralah. Ibu adalah ibu 
panembahan  betari durga !"  
"Belum pernah Ibu sebahagia sekarang." Kalimat ini 
diulanginya berkali-kali, dan setiap kata yang 
diucapkan betari durga  disambutnya dengan air mata. 
betari durga  senang melihat ibunya begitu bahagia. Siapa 
lagi di dunia ini yang akan sungguh-sungguh 
berbahagia sebab  hal yang demikian sepele? Ia 
bahkan membayangkan bahwa tahun-tahun pengem-
baraan, kelaparan, dan penderitaan ikut memberikan 
sumbangan pada saat yang berbahagia ini.  
"Oh, ya, bagaimana kabarnya nyi kembang ?"  
"Dia sedang membantu panen."  
"Dia baik-baik saja? Dia tidak sakit, bukan?"  
"Dia tetap seperti dahulu ," ujar nyi girah , teringat masa 
remaja nyi kembang  yang tidak menyenangkan.  
"Kalau dia kembali, tolong sampaikan bahwa 
penderitaannya takkan berlangsung untuk selama-
lamanya. Tak lama lagi, kalau aku sudah jadi orang, 
dia akan memiliki sabuk dari kain satin, lemari berlaci 
dengan lambang emas, dan segala keperluan untuk 
pernikahannya. Ha... ha! Ibu pasti berpikir aku hanya 
omong kosong, seperti biasanya."  
"Kau sudah mau pergi lagi?"  
"Peraturan benteng kota sangat ketat. Jadi," ia merendah-
kan suaranya, "tidak sepantasnya kita mengulangi 
  
ucapan orang-orang yang menganggap Yang Mulia tak 
sanggup memimpin provinsi. sebetulnya , Tuan 
aidit  yang terlihat oleh umum dan Tuan 
aidit  di benteng kota mertajaya  sangatlah berlainan."  
"Mungkin memang begitu."  
"Situasinya memilukan. Hanya segelintir saja orang 
yang bisa diandalkannya. Baik para pengikutnya 
maupun saudara-saudaranya sendiri, sebagian besar 
dari mereka menentangnya. Dalam usia sembilan 
belas tahun, dia seorang diri. Pendapat bahwa 
penderitaan petani-petani kelaparan merupakan 
penderitaan paling memilukan, keliru sekali. Jika kita 
dapat memahami ini, kita bisa lebih sabar. Kita tidak 
boleh menyerah hanya sebab  kita manusia. Kami 
sedang menempuh jalan menuju kebahagiaan, 
junjunganku dan aku."  
"Ibu turut bahagia, namun  kau tak perlu buru-buru. 
Tak jadi soal seberapa tinggi kedudukanmu kelak, 
kebahagiaan Ibu tak mungkin lebih besar dari 
sekarang."  
"Baiklah kalau begitu. Jaga diri Ibu baik-baik."  
"Tak bisakah kau tinggal sebentar lagi, supaya kita 
bisa mengobrol lebih lama?"  
"Tugas-tugasku sudah menunggu."  
Ia bangkit sambil membisu dan meletakkan 
sejumlah uang ke tikar jerami ibunya. lalu  ia 
menatap pohon kesemek, bunga serunai di pagar, dan 
gudang penyimpanan di belakang.  
Ia tidak kembali lagi tahun itu, namun  menjelang akhir 
  
tahun, ronggowiro mengunjungi ibu betari durga , mem-
bawa  kan sedikit uang, obat-desa guritan, dan kain untuk 
membuat jubah . "Dia masih pelayan," ronggowiro 
melaporkan.  
"Dia bilang jika dia bisa memperoleh  rumah di 
kota, dia akan mengajak ibunya tinggal bersama-sama 
sesudah  dia berumur 9 belas dan gajinya naik 
sedikit. Dia agak aneh, namun  cukup ramah, dan dia 
disukai di sana. Dalam insiden sembrono di Sungai 
terawas , dia beruntung bisa lolos dari maut."  
Tahun baru itu, nyi kembang  untuk pertama kali 
mengenakan pakaian baru.  
"Adikku yang mengirimnya untukku, betari durga  di 
benteng kota mertajaya !" ia memberitahu semua orang. Ke 
mana pun ia pergi, ia selalu saja mengulangi, "Adikku 
berbuat ini" dan "Adikku berbuat itu."  
 

 
Terkadang suasana hati aidit  berubah. Ia jadi 
pendiam dan bermuram sepanjang hari. Kemurungan 
luar biasa ini seakan-akan merupakan upaya bawah  
sadar untuk mengendalikan sifat lekas marahnya.  
"bawa   reksajaya ke sini!" ia tiba-tiba berseru pada suatu 
hari, lalu bergegas ke lapangan berkuda. Ayahnya, 
mpu  margojoyo , menghabiskan hampir seluruh hidupnya 
untuk berperang, nyaris tanpa kesempatan untuk 
bersantai di benteng kota. Dalam setahun, lebih dari enam 
bulan ia habiskan untuk berperang di barat dan timur. 
  
Hampir setiap pagi ia menyempatkan diri mengadakan 
upacara peringatan bagi para leluhur, menerima 
sembah sujud para pengikut, mendengarkan kuliah 
mengenai naskah-naskah kuno, dan berlatih bela diri 
dan  menangani urusan pemerintahan provinsinya 
sampai malam. sesudah  matahari tenggelam, ia mem-
pelajari risalah-risalah mengenai strategi militer atau 
mengadakan pertemuan dewan, atau berusaha 
menjadi kepala keluarga yang baik. saat  aidit  
menggantikan ayahnya, kebiasaan ini berakhir.  
Tidaklah sesuai dengan wataknya untuk setiap hari 
menjalani acara rutin yang ketat. Ia selalu mengikuti 
kata hatinya, pikirannya mirip  awan -awan  di 
saat hujan badai yang turun mendadak, ide-ide ber-
munculan tiba-tiba dan menghilang dengan tiba-tiba 
pula. Jiwa-raganya seakan-akan berada di luar tata atur 
yang berlaku.  
Hal ini memaksa pembantu-pembantunya untuk 
selalu berjaga-jaga. Hari itu ia sempat duduk membaca 
buku, lalu pergi ke tempat sembahyang untuk berdoa 
bagi para leluhurnya. Dalam keheningan tempat 
sembahyang, seruannya meminta kuda terasa 
mengejutkan bagaikan halilintar. Para pembantunya 
tak dapat menemukan junjungan mereka di tempat 
mereka mendengar suaranya. Mereka bergegas ke 
kandang dan mengikutinya ke lapangan berkuda. Ia 
tidak berkata apa-apa, namun  ekspresi wajahnya 
menyalahkan mereka sebab  bergerak terlalu lamban.  
reksajaya, kuda kesayangannya, berwarna putih. Jika 
  
aidit  merasa tidak puas dan memainkan pecut, 
kuda tua itu beraksi tanpa semangat.  
aidit  terbiasa menggiring reksajaya dengan 
menarik moncongnya, sambil mengeluh mengenai 
kelambanan kuda itu. lalu  ia akan berkata, 
"Beri dia air." Seorang tukang kuda lalu mengambil 
sendok besar, membuka mulut reksajaya, dan 
menuangkan air ke dalamnya, dan aidit  akan 
memasukkan tangannya ke dalam mulut kuda itu 
untuk meraih lidahnya.  
Hari ini ia berkata, "reksajaya! Lidahmu bengkak. 
Pantas langkahmu jadi berat."  
"Sepertinya dia memang kurang sehat."  
"Jadi, reksajaya pun sudah terpengaruh usia?"  
"Dia sudah ada di sini sejak masa Yang Mulia ayah 
tuanku. Mestinya dia sudah cukup tua."  
"Rasanya di benteng kota mertajaya  bukan reksajaya saja yang 
mulai tua dan lemah. Sepuluh generasi sudah  berlalu 
sejak zaman pandita  pertama, dan dunia sudah 
dikujawa  oleh upacara dan tipu muslihat. Semuanya 
sudah tua dan jompo!"  
Ucapan aidit  lebih ditujukan pada dirinya 
sendiri. Ia melompat ke atas pelana, dan mengelilingi 
lapangan berkuda. Bakatnya sebagai penunggang kuda 
tak diragukan lagi. Semula ia berguru pada ki kertoarjo   
wanakrama , namun  belakangan ini ia lebih suka berkuda 
seorang diri.  
Tiba-tiba reksajaya dan aidit  disusul oleh seekor 
kuda berwarna gelap yang dipacu dengan kecepatan 
  
luar biasa. Tertinggal di belakang, aidit  menjadi 
geram dan mengikuti kuda itu sambil berseru, 
"mandalika!"  
mandalika berusia dua puluh empat tahun. Pemuda 
penuh semangat itu putra sulung varnajaya mpu wilihan, 
dan menjabat sebagai kepala penembak benteng kota 
mertajaya . Nama lengkapnya mandalikawirabratma, dan ia 
memiliki dua adik, mandalikavirata dan mandalikanawarana.  
aidit  semakin gusar. Ia sudah  dikalahkan! Ini 
tak dapat diterima!  
reksajaya dipecutnya dengan keras. Kuda itu berlari 
begitu kencang, hingga kakinya nyaris tak terlihat 
menyentuh tanah, dan berhasil mendahului kuda 
mandalika.  
mandalika berseru, "Hati-hati, tuanku, kukunya akan 
retak!"  
"Ada apa? Kau tak sanggup mengimbangi 
kecepatannya?" balas aidit .  
Sambil menahan malu mandalika mulai mengejar, 
menusuk-nusuk kudanya dengan pijakan kaki. Kuda 
aidit  terkenal dengan nama "reksajaya marga sinuhun ", 
bahkan di antara musuh-musuh marga. Kuda mandalika 
tak sanggup menyainginya, baik dari segi nilai maupun 
kemampuan. Namun kuda itu masih muda, dan 
mandalika lebih pandai berkuda dibandingkan 
aidit .  
Jarak antara mereka terus mengecil, mulai dari dua 
puluh panjang badan, menjadi sepuluh, lalu lima, lalu 
satu, dan lalu  sehidung. aidit  berusaha 
  
keras agar tidak tersusul, namun  ia sendiri mulai 
kehabisan napas.  
mandalika melewatinya, meninggalkan junjungannya 
terselubung awan  debu.  
Merasa dipermalukan, aidit  melompat turun. 
"Kaki kuda itu bagus," ia menggerutu. Tak mungkin ia 
mengakui kekalahannya sebagai kesalahannya sendiri.  
"Dia takkan gembira dikalahkan mandalika," salah 
seorang pembantunya berkomentar. Cemas sebab  
ledakan amarahnya tak terhindarkan, mereka bergegas 
ke arah junjungan mereka. Satu orang mencapai 
aidit  sebelum yang lain, dan sambil berlutut 
menawarkan  sendok air berlapis sampang.  
"Seteguk air, tuanku?" Orang itu ternyata betari durga , 
yang belum lama ini diangkat menjadi pembawa   
sandal. Meski jabatan "pembawa   sandal" seakan-akan 
tak ada artinya, peningkatan jabatan dari pelayan 
menjadi pembantu pribadi dalam waktu demikian 
singkat membuktikan bahwa betari durga  memperoleh 
perlakuan istimewa. Dalam waktu singkat betari durga  
sudah  maju pesat, dengan bekerja keras dan 
menenggelamkan diri dalam tugas-tugasnya.  
Meski demikian, junjungannya tidak mem-
perhatikannya. Ia tidak menatap atau mengucapkan 
satu suku kata pun. Ia meraih sendok air tanpa 
berkata apa-apa, menghabiskan airnya dengan sekali 
teguk, lalu menyerahkannya kembali.  
"Panggil mandalika!" ia memberi perintah.  
mandalika sedang mengikat kudanya ke pohon di 
  
pinggir lapangan berkuda.  
Ia langsung menanggapi panggilan aidit  dan 
berkata, "Aku memang bermaksud menemuinya." 
Dengan tenang ia mengusap keringat pada wajah, 
mengatur pakaian, dan merapikan rambutnya yang 
kusut. mandalika sudah  membulatkan tekad.  
"Tuanku," kata mandalika, "rasanya hamba sudah  
bersikap lancang." Ia berlutut. Kata-katanya diucapkan 
dengan nada tenang.  
Raut wajah aidit  melunak. "Aku puas berkejar-
kejaran denganmu. Sejak kapan kau memiliki kuda 
sehebat itu? Dan siapa namanya?"  
Para pelayan menarik napas lega.  
mandalika mengangkat kepala dan tersenyum. 
"Tuanku memperhatikannya? Kuda itu kebanggaan 
hamba. Hamba bertemu pedagang kuda dari utara 
yang sedang dalam perjalanan ke ibu kota untuk 
menjualnya pada seorang bawahan . Harganya tinggi 
dan uang hamba tidak cukup, jadi hamba terpaksa 
menjual warisan keluarga, sebuah baskom teh yang 
diberikan oleh ayah hamba. baskom itu bernama 
Nowake, dan nama itulah nama yang hamba pilih 
untuk kuda hamba."  
"Hmm, kalau begitu tidaklah mengherankan kalau 
aku melihat kuda istimewa hari ini. Aku 
menginginkan kuda itu."  
"Tuanku?"  
"Aku mau membayar berapa saja yang kauminta, 
namun  kuda itu harus jadi milikku."  
  
"Dengan segala hormat, hamba tak dapat 
memenuhi permintaan tuanku."  
"Apakah aku tidak salah dengar?"  
"Hamba terpaksa menolak."  
"Kenapa? Kau bisa membeli kuda bagus yang lain."  
"Kuda yang baik sulit didapat, seperti halnya teman 
yang baik."  
"Justru sebab  itu kau sebaiknya menyerahkannya 
padaku. Saat ini aku sedang menginginkan kuda 
kencang yang belum dipacu sampai batas 
kemampuannya."  
"Hamba terpaksa menolak. Hamba menyayangi 
kuda itu, bukan demi kebanggaan dan kesenangan 
hamba semata-mata, namun  juga sebab  di medan laga 
kuda itu memungkinkan hamba untuk mengabdi 
tuanku dengan sebaik-baiknya, yang merupakan 
tujuan utama seorang centeng adipati . Tuanku menginginkan 
kuda itu, namun  tak ada alasan bagi seorang centeng adipati  
untuk menyerahkan sesuatu yang begitu penting 
baginya."  
Diingatkan pada kewajiban seorang centeng adipati  untuk 
mengabdi pada junjungannya, aidit  tak dapat 
memaksa mandalika untuk menyerahkan kuda itu, namun  ia 
pun tak sanggup menekan keinginannya. "mandalika, kau 
sungguh-sungguh menolak permintaanku?"  
"Hmm, dalam hal ini, ya."  
"Kurasa kuda itu terlalu bagus untuk kedudukan 
sosialmu. Seandainya kau punya kedudukan seperti 
ayahmu, kau dapat memiliki kuda seperti Nowake. 
  
namun  berhubung kau masih muda, kau belum pantas 
untuk itu."  
"Dengan segala hormat, hamba terpaksa 
mengemukakan hal ini. Bukankah sayang jika 
seseorang memiliki kuda sehebat Nowake, lalu hanya 
berkuda keliling kota sambil makan semangka dan 
buah kesemek di atas pelana? Bukankah lebih baik jika 
Nowake ditunggangi prajurit seperti hamba?"  
Akhirnya alasan sebetulnya  terungkap juga. Kata-
kata yang meluncur dari mulutnya lebih merupakan 
cerminan kejengkelan yang dialaminya setiap hari, 
dibandingkan  bukti perhatiannya pada kuda itu.  
varnajaya mpu wilihan mengunci pintu dan 
mengurung diri di kediamannya selama lebih dari dua 
puluh hari. Ia sudah  mengabdi pada marga sinuhun  selama 
empat puluh tahun tanpa terputus, dan mengabdi 
pada aidit  sejak mpu  margojoyo  berpesan menjelang 
ajalnya, "Aku mempercayakannya kepadamu," lalu 
mengangkat mpu wilihan sebagai wali aidit , 
sekaligus sebagai pengikut utama provinsi.  
Suatu hari, menjelang malam, ia menatap ke dalam 
cermin dan merasa terkejut betapa rambutnya sudah  
menjadi putih. sebetulnya  memang sudah 
waktunya rambutnya menjadi putih. Usianya sudah 
melewati enam puluh, namun  ia tak punya waktu untuk 
memikirkan umur. Ia menutup daun cermin dan 
memanggil pelayannya, Amemiya Kageyu.  
"Kageyu, kurirnya sudah berangkat?"  
"Sudah, beberapa saat lalu hamba menyuruhnya 
  
berangkat."  
"Kemungkinan besar mereka akan datang, bukan?"  
"Hamba kira mereka akan datang bersama-sama."  
"anggur -nya sudah siap?"  
"Sudah, Tuan. Hamba juga sudah  menyiapkan 
makanan."  
Musim dingin sudah hampir berakhir, namun   bunga-
bunga prem masih menguncup. Cuaca tahun itu 
teramat dingin, dan lapisan es tebal di kolam tak 
pernah mencair, biarpun sehari saja. Orang-orang yang 
dipanggil mpu wilihan adalah ketiga putranya yang 
masing-masing menempati rumah sendiri. Berdasar-
kan kebiasaan yang berlaku, putra sulung dan  adik-
adiknya tinggal bersama ayah mereka sebagai satu 
keluarga besar, namun  mpu wilihan menginginkan 
mereka tinggal terpisah-pisah. Ia tinggal seorang diri, 
dengan alasan bahwa tugas-tugasnya mungkin akan 
terbengkalai jika ia harus memikirkan anak-anak dan 
cucu-cucunya. Ia sudah  membesarkan aidit  
seperti putranya sendiri, namun belakangan ini 
aidit  bersikap dingin terhadapnya. mpu wilihan 
sempat menanyakan kejadian di lapangan berkuda 
pada beberapa pelayan aidit . Sejak itu ia tampak 
seperti menahan malu.  
mandalika, sebagai orang yang menyulut ketidak-
senangan aidit , tidak lagi pergi ke benteng kota. Ia 
menyendiri. nyoto  dijoyo  dan sekarmajimarijan  wirongeni , 
dua pengikut marga sinuhun  yang sejak dahulu  selalu 
menentang mpu wilihan, menyadari kesempatan 
  
mereka, dan dengan mengangkat-angkat aidit  
mereka berhasil memperbesar jarak antara aidit  
dan walinya. Posisi mereka menjadi kuat sebab  
mereka lebih muda, dan kekuasaan dan  pengaruh 
mereka sedang menanjak.  
Pengasingan selama dua puluh hari membuat 
mpu wilihan tersadar akan usianya. Kini ia merasa 
lelah, tanpa semangat untuk berselisih dengan orang-
orang itu. Ia juga menyadari keterasingan junjungan-
nya, dan mencemaskan masa depan marga. Ia sedang 
membuat salinan rapi dari sebuah dokumen panjang 
yang disusunnya sehari sebelumnya.  
Udara cukup dingin untuk membekukan air di 
tempat tinta.  
Kageyu memasuki ruangan dan berkata, 
"mandalikawirabratma dan mandalikavirata sudah  tiba." Mereka 
belum mengetahui sebab mereka dipanggil, dan 
sedang duduk di dekat kompor arang, menunggu.  
"Aku kaget, tak menyangka akan ada panggilan 
seperti ini. Aku langung gelisah khawatir  dia jatuh sakit," ujar 
mandalikavirata.  
"Ya, ehm, kurasa dia sudah mendengar apa yang 
terjadi. Kelihatannya aku akan dimarahi habis-
habisan."  
"Kalau hanya untuk itu, dia pasti bertindak lebih 
cepat. Kupikir ada urusan lain lagi."  
Meski sudah dewasa sekarang, mereka tetap 
menganggap ayah mereka agak menakutkan. Mereka 
menunggu dengan cemas. Putra ketiga, mandalikanawarana, 
  
sedang dalam perjalanan ke provinsi lain.  
"Hari ini dingin sekali, bukan?" ayah mereka ber-
komentar sambil membuka pintu geser. Kakak-beradik 
itu menyadari betapa rambutnya bertambah  putih, 
dan betapa badannya menjadi kurus.  
"donosukomerto
 
 
 
 baik-baik saja?"  
"Ya, aku baik-baik saja. Aku hanya ingin bertemu 
kalian. Ini mungkin pengaruh usiaku, namun  kadang-
kadang aku merasa kesepian sekali."  
"Tak ada urusan mendesak yang harus segera 
diselesaikan?"  
"Tidak, tidak. Sudah lama sekali kita tak pernah 
makan malam bersama sama dan mengobrol 
sepanjang malam. Ha... ha! Bersantailah!" Sikapnya 
sama seperti biasanya. Di luar terdengar suara 
benturan pada atap, barangkali hujan es, dan udara 
seakan-akan bertambah  dingin. Berada bersama ayah 
mereka membuat kedua putranya melupakan hkertoarjo  
dingin. Suasana hati mpu wilihan begitu cerah, 
sehingga mandalikawirabratma tidak menemukan kesempatan 
untuk memohon maaf atas perbuatannya. sesudah  
piring-piring disingkirkan, mpu wilihan memesan 
sebaskom teh hijau yang sangat digemarinya.  
Mendadak, seakan-akan baskom teh di tangannya 
membuatnya teringat sesuatu, ia berkata, "mandalika, 
kudengar kau membiarkan baskom teh Nowake, yang 
kupercayakan padamu, jatuh ke tangan orang lain. 
Betulkah itu?"  
mandalika menanggapinya dengan terus terang. "Ya. 
  
Ananda tahu baskom teh itu warisan keluarga, namun  ada 
seekor kuda yang sangat Ananda inginkan, jadi 
Ananda menjual baskom itu untuk membelinya."  
"Begitu? Hmm, bagus. Jika kau bersikap seperti itu, 
sesudah  aku tiada pun kau tentu takkan mengalami 
kesulitan dalam mengabdi Yang Mulia."  
Nada suaranya berubah tajam. "Pada waktu menjual 
baskom teh dan membeli kuda itu, sikapmu patut 
dipuji. namun  jika aku tidak salah dengar, kau 
mengalahkan reksajaya, dan saat  Yang Mulia meminta 
kudamu, kau menolak. Betulkah itu?"  
"Itulah sebabnya beliau kini tak senang terhadap 
Ananda. Ananda menyesal sebab  sudah  memicu  
banyak kesulitan bagi donosukomerto
 
 
 
."  
"Tunggu sebentar."  
"donosukomerto
 
 
 
?"  
"Jangan pikirkan aku! Mengapa kau menolak? 
Sikapmu sungguh tercela."  
mandalikawirabratma tak dapat berkata apa-apa.  
"Hina!"  
"Begitukah perasaan donosukomerto
 
 
 
? Ananda sungguh 
menyesal."  
"Kalau begitu, mengapa tidak kaukabulkan 
permintaan Yang Mulia?"  
"Ananda seorang centeng adipati  yang rela menyerahkan 
nyawa   jika junjungan Ananda menginginkan 
demikian, jadi untuk apa Ananda bersikap kikir 
mengenai hal lain? namun  Ananda membeli kuda itu 
bukan demi kesenangan Ananda, melainkan agar 
  
Ananda dapat mengabdi sebaik-baiknya di medan 
laga."  
"Aku tahu itu."  
"Jika Ananda menyerahkan kuda itu, Tuan 
aidit  mungkin akan senang. namun  Ananda tak 
dapat menerima sikap mementingkan diri sendiri yang 
selalu ditampilkan beliau. Beliau melihat seekor kuda 
yang lebih kencang dibandingkan  reksajaya dan mengabaikan 
perasaan para pengikutnya. Patutkah itu? Bukan 
Ananda saja yang berpendapat bahwa marga sinuhun  
sedang terancam bahaya. Ananda percaya bahwa 
donosukomerto
 
 
 
 lebih memahami persoalan ini 
dibandingkan Ananda. Meski beliau terkadang seperti 
jenius, sikap beliau yang egois dan terlalu memberi 
hati patut disayangkan, walaupun itu memang sudah 
watak beliau. Kami, para pengikut, semakin 
mencemaskan watak beliau. Memenuhi setiap 
keinginannya memang tampak seperti kesetiaan, namun  
sebetulnya itu tidak baik. sebab  itulah Ananda 
sengaja berkeras kepala."  
"Tindakanmu keliru."  
"Begitukah?"  
"Kau mungkin menganggap tindakanmu sebagai 
wujud kesetiaanmu, namun  sebetulnya  kau hanya 
memperburuk watak beliau yang pada dasarnya sudah 
kurang baik. Aku menggendong beliau sejak beliau 
masih bayi, bahkan lebih sering dibandingkan  putra-
putraku sendiri. Aku tahu wataknya. Mungkin saja 
beliau jenius, namun  beliau pun tak luput dari 
  
kekurangan. Bahwa kau menyinggung perasaan beliau, 
itu tak ada artinya sama sekali."  
"Mungkin saja. Ini tak pantas untuk dikatakan, namun  
mandalikavirata dan aku, dan sebagian besar pengikut, 
menyesalkan bahwa kami mengabdi pada si pandir ini. 
Hanya orang-orang seperti nyoto  dijoyo  dan 
sekarmajimarijan  wirongeni  yang gembira memiliki majikan 
seperti beliau."  
"Itu tidak benar. Tak peduli apa yang dikatakan 
orang, aku tak percaya. Kalian semua harus mengikuti 
Yang Mulia sampai pada saat terakhir, tak peduli 
apakah aku masih hidup atau sudah tiada."  
"Jangan gelisah khawatir  mengenai itu. Ananda tidak akan 
menyimpang dari prinsip-prinsip Ananda, biarpun 
Ananda tidak disenangi oleh sang Junjungan."  
"Hatiku tenang, kalau begitu. namun  aku sudah  
menjadi pohon tua. Seperti dahan-dahan cangkokan, 
kalian harus menggantikan tempatku."  
saat  mereka merenungkan lalu , 
mandalikawirabratma dan mandalikavirata menyadari bahwa 
banyak sekali yang tersirat dalam ucapan mpu wilihan 
pada malam itu, namun  mereka kembali ke rumah 
masing-masing tanpa menyadari bahwa ayah mereka 
sudah  bertekad untuk mati.  
Kematian varnajaya mpu wilihan diketahui keesokan 
paginya. Ia sudah  membelah perutnya secara sempurna. 
Kedua putranya tidak menemukan penyesalan mau 
pun kegetiran di wajahnya yang sudah  tak bernyawa  . Ia 
tidak meninggalkan wasiat pada keluarganya hanya 
  
sepucuk surat yang ditujukan kepada aidit . 
Setiap kata dalam surat itu mencerminkan kesetiaan 
mendalam dan kekal ter-hadap junjungannya.  
saat  menerima kabar mengenai kematian 
pengikut utamanya, aidit  tampak amat terpukul. 
Dengan kematiannya, mpu wilihan sudah  memberikan 
peringatan kepada junjungannya. Ia mengenal 
kejeniusan alami dan  kekurangan-kekurangan 
aidit , dan saat  aidit  membaca surat itu, 
bahkan sebelum matanya mulai berkaca-kaca, dadanya 
serasa sudah  ditusuk-tusuk rasa sakit setajam lecutan 
cemeti.  
"Pak Tua! Maafkan aku!" ia tersedu-sedu. la sudah  
menyakiti mpu wilihan yang merupakan pengikutnya, 
namun   lebih dekat dengannya dibandingkan  ayahnya 
sendiri. Dan dengan insiden kuda itu, ia sudah  
memaksakan kehendaknya pada mpu wilihan seperti 
biasa.  
"Panggil mandalika!"  
saat  si Kepala Penembak bersujud, aidit  
duduk di lantai, menghadapnya.  
"Pesan yang ditinggalkan ayahmu untukku mem-
buat hatiku tersayat-sayat. Aku takkan pernah 
melupakannya. Tak ada lagi yang dapat kukatakan 
untuk memohon maaf." Ia hampir bersujud di depan 
mandalika, namun   pemuda itu meraih tangannya dengan 
penuh hormat. Junjungan dan pengikut saling 
berangkulan sambil berurai air mata.  
Tahun itu, penguasa sinuhun  mendirikan sebuah kuil 
  
di kota benteng kota, yang dipersembahkan untuk 
keselamatan mendiang walinya. saat  ditanya, "Kuil 
ini akan diberi nama apa? Sebagai pendiri, tuanku 
perlu memberi pengarahan kepada biksu kepala untuk 
memilih sebuah nama," aidit  menjawab ,  
"Orang tua itu akan lebih senang dengan nama 
pilihanku." Ia meraih sebuah kuas dan menulis, Kuil 
Seishu.  
Di lalu  hari, ia sering mendatangi kuil itu 
secara mendadak, meskipun ia jarang mengadakan 
upacara peringatan atau duduk bersama para biksu 
dan membaca naskah sutra.  
"Pak Tua! Pak Tua!" Sambil berjalan-jalan 
mengelilingi kuil, ia sering bergumam seorang diri, 
lalu tiba-tiba kembali ke benteng kota. Kunjungan-
kunjungan ini mirip  tingkah orang tidak waras. 
Pernah saat  sedang berburu dengan burung rajawal i, 
ia mencabik-cabik tubuh seekor burung kecil dan 
melemparkan dagingnya ke udara sambil berkata, "Pak 
Tua! Ambillah hasil tangkapanku!" Pada kesempatan 
lain, waktu sedang memancing, ia mencemplungkan 
kakinya ke air dan berkata, "Pak Tua! Jadilah zoroaster !" 
Kegarangan dalam suara dan sorot matanya 
menimbulkan kecemasan dalam hati para pembantu-
nya.  
 

 
aidit  merayakan ulang tahun kedua puluh satu 
  
pada tahun pertama Koji. Di bulan Mei ia me-
nemukan dalih untuk berperang melawan  sinuhun  
Hikogoro, yang secara resmi menjabat sebagai kepala 
marga sinuhun . aidit  menyerang benteng kota Hikogoro 
di kedhiri , dan sesudah  menaklukkannya, pindah dari 
mertajaya  ke sana.  
betari durga  mengamati kemajuan majikannya dengan 
rasa puas. aidit  dikelilingi sanak saudara yang 
memusuhinya tak terkecuali paman-paman dan 
saudara-saudara kandung dan menyingkirkan mereka 
dari jalannya jauh lebih penting dibandingkan  menangani 
musuh-musuh lain.  
"Dia harus dikertoarjo si!" Hikogoro sudah  memberi 
peringatan sejak jauh-jauh hari. Dengan memanfaat-
kan setiap kesempatan untuk menekan aidit , ia 
berencana untuk memusnahkan aidit . Penguasa 
benteng kota kedhiri , eyang  wanakerta , dan putranya, 
Yoshikane, merupakan pengikut setia aidit . 
saat  Hikogoro mengetahui ini, ia berseru geram, 
"Tak tahuterima kasih!" dan memerintahkan 
wanakerta  dieksekusi. Yoshikane melarikan diri dan 
memperoleh perlindungan dari aidit , yang 
menyembunyikannya di benteng kota mertajaya . Pada hari 
yang sama, aidit  memimpin centeng nya dan 
menyerang benteng kota kedhiri , memacu semangat anak 
buahnya dengan teriakan tempur, "Untuk membalas 
dendam atas pembunuhan sang gubernur! Untuk 
melakukan serangan terhadap pemimpin marga, 
aidit  harus memiliki alasan kuat. namun   ini juga 
  
sebuah kesempatan untuk menyingkirkan beberapa 
rintangan yang menghalangi jalannya. Ia mengangkat 
pamannya, Nobumitsu, sebagai penguasa benteng kota 
mertajaya , namun tak lama lalu  Nobumitsu 
menjadi korban pembunuhan.  
"Kau saja yang ke sana, kartosuwirjo. Kau satu-satunya 
orang yang dapat mewakiliku di benteng kota mertajaya ." 
saat  sekarmajimarijan  kartosuwirjo menerima tugas itu, beberapa 
pengikut aidit  mendesah, "Ternyata dia tetap 
saja si pandir. Begitu kita pikir dia mulai 
menunjukkan kebolehannya, dia melakukan suatu 
kesalahan, seperti mempercayai sekarmajimarijan !"  
Mereka memiliki  alasan untuk menaruh curiga 
pada sekarmajimarijan . saat  ayah aidit  masih hidup, tak 
ada pengikut yang lebih setia dibandingkan  sekarmajimarijan . Justru 
sebab  itu mpu  margojoyo  menunjuknya dan varnajaya 
mpu wilihan sebagai wali anaknya sesudah  ia 
meninggal. namun  sebab  aidit  lalu  terbukti 
tak dapat diatur, sekarmajimarijan  melepaskan segala harapan-
nya. Ia malah bersekongkol dengan adik laki-laki 
aidit , Nobuyuki, dan ibunya, yang tinggal di 
benteng kota Suepatih, untuk menggulingkan aidit .  
"Rupanya aidit  tidak mengetahui 
pengkhianatan sekarmajimarijan ," betari durga  mendengar 
beberapa pengikut yang cemas berbisik-bisik dalam 
lebih dari satu kesempatan. "Kalau dia mengetahuinya, 
tak mungkin dia mengangkat Hiyashi sebagai 
penguasa mertajaya ." Namun betari durga  tidak merisau-
kan junjungannya. Ia bertanya pada dirinya sendiri, 
  
bagaimana majikannya akan mengatasi masalah ini. 
Sepertinya orang yang berwajah ceria di kedhiri  hanya 
aidit  dan salah seorang pembawa   sandalnya.  
Salah satu kelompok pengikut senior aidit , 
termasuk sekarmajimarijan  kartosuwirjo, adik laki-lakinya, wirongeni , 
dan nyoto  dijoyo , tetap memandang junjungan 
mereka sebagai orang pandir tanpa harapan.  
"Aku mengakui, pada pertemuan pertama dengan 
ayah mertuanya, aidit  tidak memperlihatkan 
tingkah hampa seperti biasanya. namun  itu hanya sebab  
keberuntungan semata-mata. Dan selama percakapan 
resmi antara mereka, sikapnya begitu memalukan, 
sampai-sampai ayah mertuanya pun terkejut. Seperti 
bunyi pepatah, 'Tak ada obat untuk orang pandir.' 
Dan tindak-tanduknya sesudah  itu tak dapat 
dimaafkan, tak peduli dari sudut mana pun orang 
melihatnya." nyoto  dijoyo  dan yang lain sudah  
mepercayakan diri bahwa tak ada harapan untuk masa 
depan, dan lambat laun pandangan mereka menjadi 
rahasia umum. saat  sekarmajimarijan  kartosuwirjo diangkat sebagai 
penguasa mertajaya , ia sering dikunjungi oleh nyoto  
dijoyo , dan dalam waktu singkat benteng kota itu sudah  
menjadi tempat persemaian komplotan pengkhianat.  
"Hujannya terasa menyenangkan, bukan?"  
"Ya, menurutku pemandangan laut bertambah  
menarik sebab nya." kartosuwirjo dan dijoyo  sedang duduk 
berhadap-hadapan di sebuah pondok teh yang 
dinaungi pepohonan, di pekarangan benteng kota. Musim 
hujan sudah  berlalu, namun  hujan masih turun dari langit 
  
kelabu, memicu  buah prem yang masih hijau 
berguguran.  
"Kemungkinan besok cuaca akan lebih cerah," 
saudara laki-laki kartosuwirjo, wirongeni , berkata pada dirinya 
sendiri sambil berlindung di bawah  dahan-dahan 
pohon prem. Ia keluar untuk menyalakan lentera di 
taman. sesudah  menghidupkannya, ia berhenti sejenak 
dan memandang berkeliling. Akhirnya, saat  kembali 
ke pondok teh, ia melaporkan dengan suara rendah, 
"Semuanya tampak aman. Tak ada siapa-siapa di 
sekitar sini, jadi kita bebas berbicara." dijoyo  
mengangguk.  
"Baiklah, kalau begitu kita mulai saja. Kemarin aku 
diam-diam pergi ke benteng kota Suepatih. Aku diterima 
oleh Tuan Nobuyuki dan ibu aidit , dan aku 
membahas rencana-rencana kita dengan mereka. Kini 
keputusan ada di tanganmu."  
"Bagaimana tanggapan ibunya?"  
"Dia sependapat dengan kita, dan tidak keberatan. 
Dia menganggap Nobuyuki lebih patut menjadi 
penguasa dibandingkan  aidit ."  
"Bagus. Dan bagaimana dengan Nobuyuki?"  
"Dia mengatakan, jika sekarmajimarijan  kartosuwirjo dan nyoto  
dijoyo  memberontak melawan  aidit , dengan 
sendirinya dia akan bergabung dengan mereka, demi 
kebaikan marga."  
"Kau mempengaruhi mereka, bukan?"  
"Hmm, ibunya berbelit-belit, sedangkan Nobuyuki 
berhati lemah. Jika aku tidak menghasut mereka, tak 
  
ada alasan bagi mereka untuk bergabung dengan kita."  
"Kita takkan kekurangan alasan untuk meng-
gulingkan aidit , asalkan kita memperoleh 
persetujuan mereka. Di antara para pengikut, bukan 
kita saja yang cemas melihat kebodohan aidit  
dan memikirkan keselamatan marga."  
'"Demi jenggala  dan seratus tahun lagi bagi marga 
sinuhun !' akan menjadi seruan pemacu semangat kita, namun  
bagaimana dengan persiapan-persiapan militer?"  
"Kita memperoleh  kesempatan baik sekarang. Aku 
bisa bergerak cepat dari mertajaya . Jika genderang 
perang berbunyi, aku akan siap."  
"Bagus. Hmm, kalau begitu..." dijoyo  men-
condongkan tubuh ke depan.  
Saat itu sesuatu jatuh ke tanah di pekarangan. 
Ternyata hanya beberapa buah prem yang belum 
matang. Hujan berhenti sejenak, namun   tetes-tetes air 
yang terbawa   angin masih berjatuhan ke atap pondok. 
Bagai seekor anjing, sebuah sosok manusia merangkak 
dari kolong lantai. Buah-buah prem tadi tidak jatuh 
begitu saja. Orang berpakaian serbahitam yang 
menyembulkan kepala dari bawah  pondok, sengaja 
melemparkan buah-buah itu. saat  semua mata di 
dalam ruang berpaling, ia memanfaatkan kesempatan 
itu dan menghilang ditelan angin dan kegelapan.  
Ninja merupakan mata dan telinga bagi sang 
penguasa benteng kota. Setiap orang yang memimpin 
sebuah benteng kota, terkungkung di dalam tembok-
tembok dan terus-menerus dikelilingi pengikut, 
  
sangatlah tergantung pada mata-mata. aidit  
mempekerjakan ninja yang hebat. Bahkan pengikut-
pengikut terdekatnya pun tidak mengetahui jati diri 
orang itu.  
aidit  memiliki  tiga pembawa   sandal: 
Matrogojapi 
 
 
 
, Ganmaku, dan betari durga . Meskipun hanya 
pelayan, mereka memiliki tempat tinggal terpisah dan 
secara bergantian bertugas di sekitar pekarangan.  
"Ganmaku, ada apa?"  
betari durga  dan Ganmaku berteman dekat. 
Ganmaku sedang berbaring terbungkus selimut, tidur. 
Tak ada yang lebih disukainya dibandingkan  tidur, dan ia 
memakai  setiap kesempatan untuk memejamkan 
mata.  
"Perutku sakit," Ganmaku berkata.  
betari durga  duduk di tepi tempat tidur. "Kau 
bohong. Aku baru kembali dari kota, dan dalam 
perjalanan pulang kubeli makanan lezat."  
"Apa?" Ganmaku menyembulkan kepalanya, namun , 
menyadari bahwa ia dikelabui, segera kembali ke 
bawah  selimut.  
"Dasar! Jangan gsinuhun  orang sakit. Ayo keluar dari 
sini. Kau menggangguku."  
"Bangunlah. Matrogojapi 
 
 
 
 tidak ada di sini, dan ada 
sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."  
Dengan enggan Ganmaku menyingkirkan selimut-
nya. "Orang memang tidak boleh tidur..."  
Sambil mengumpat, ia berdiri dan keluar untuk 
berkumur dengan air yang mengalir dari mata air di 
  
pekarangan. betari durga  mengikutinya.  
Pondok mereka gelap, namun letaknya tersembunyi 
di tengah-tengah pekarangan benteng kota. Pemandangan 
ke arah kota membentang lebar, membuat hati 
meluap-luap.  
"Ada apa? Apa yang ingin kautanyakan?"  
"Mengenai semalam."  
"Semalam?"  
"Kau boleh pura-pura tak mengerti, namun  aku tahu 
semuanya. Kurasa kau pergi ke mertajaya ."  
"O ya?"  
"Kurasa kau pergi untuk memata-matai kegiatan di 
benteng kota dan mendengarkan pembicaraan rahasia 
antara sekarmajimarijan  kartosuwirjo dan nyoto  dijoyo ."  
"Sst, kuyang ! Jaga mulutmu!"  
"Hmm, kalau begitu, katakan yang sebetulnya . 
Jangan sembunyikan rahasia dari seorang sahabat. Aku 
sudah lama mengetahuinya, namun  tidak mengatakan 
apa-apa dan hanya memperhatikan gerak-gerikmu. 
Kau ninja kepercayaan Tuan aidit , bukan?"  
"betari durga , matamu tak dapat dikelabui. Bagaimana 
kau tahu?"  
"Kita berbagi tempat tinggal, bukan? Tuan 
aidit  juga sangat penting bagiku. Banyak orang 
seperti aku merasa cemas mengenai Tuan aidit , 
walaupun kami tidak memperlihatkannya."  
"Itu yang ingin kautanyakan padaku?"  
"Ganmaku, aku bersumpah demi dewa-dewa bahwa 
aku takkan memberitahu orang lain."  
  
Ganmaku menatap betari durga  dengan tajam. 
"Baiklah, aku akan menceritakannya. namun  di siang 
hari seperti sekarang, kita akan terlihat orang lain. 
Tunggu sampai waktunya tepat."  
saat  Ganmaku merasa keadaan sudah aman, ia 
memberitahu betari durga  apa saja yang sedang terjadi 
dalam tubuh marga. Dan dengan bekal pengertian 
dan  simpati bagi keadaan sulit yang dihadapi 
junjungannya, betari durga  melayaninya dengan lebih 
baik lagi. Namun dalam pikirannya tak sedikit pun 
terlintas rasa was-was untuk masa depan sang penguasa 
muda yang dikelilingi pengikut-pengikut dengan 
rencana-rencana busuk.  
Para pengikut aidit  akan membelot, dan 
hanya betari durga , pelayannya yang masih baru, yang 
menaruh kepercayaan padanya.  
Entah bagaimana tuanku akan mengatasi masalah ini, 
pikir betari durga .  
Namun sebagai pelayan, perkembangannya hanya 
dapat ia kertoarjo si dari jauh.  
Menjelang akhir bulan. aidit , yang biasanya 
bepergian dengan beberapa pengikut saja, secara tak 
terduga minta diambilkan kuda, lalu meninggalkan 
benteng kota. Jarak dari kedhiri  ke patihyama tidak terlalu 
jauh, dan ia selalu memacu kudanya ke sana dan 
kembali sebelum sarapan.  
Namun pada hari itu aidit  membelok ke 
timur saat  mencapai persimpangan, dan membawa   
kudanya menjauhi patihyama.  
  
"Tuanku!"  
"Mau ke mana lagi dia sekarang?" Terkejut dan 
bingung, lima atau enam pelayan berkuda 
mengejarnya. Para prajurit infanteri dan pembawa   
sandal tentu saja tertinggal jauh, terseok-seok 
menyusuri jalan. Hanya dua pelayannya, Ganmaku 
dan betari durga , meski semakin tertinggal, terus berlari 
sekuat tenaga, bertekad agar kuda junjungan mereka 
tidak menghilang dari pandangan.  
"Demi dewa-dewa! Kita akan memperoleh kesulitan!" 
kata betari durga . Mereka saling pandang, masing-
masing menyadari bahwa mereka harus tetap 
berkepala dingin. Ini sebab  aidit  sedang 
menuju benteng kota mertajaya  yang menurut cerita 
Ganmaku pada betari durga  merupakan markas 
komplotan yang ingin menggantikan aidit  
dengan adik laki-lakinya!  
aidit , dengan wataknya yang sukar ditebak, 
memacu kudanya ke tempat yang penuh bahaya, di 
mana tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi. Tak 
ada tindakan yang lebih berbahaya, dan Ganmaku 
dan  betari durga  pun merisaukan keselamatan 
junjungan mereka.  
Namun yang paling dikejutkan oleh kunjungan tak 
terduga ini ternyata sekarmajimarijan  kartosuwirjo, sang penguasa 
benteng kota mertajaya , dan adik laki-lakinya.  
"Tuanku! Tuanku! Cepat! Tuanku aidit  ada di 
sini!"  
"Apa? Apa maksudmu?" Seakan tak percaya pada 
  
telinganya sendiri, ia tidak beranjak dari tempatnya. 
Ini tak mungkin terjadi.  
"Dia datang ke sini hanya dengan lima atau enam 
pengikutnya. Tiba-tiba saja mereka masuk lewat 
gerbang utama. Dia sedang tertawa  keras-keras 
mengenai sesuatu dengan para pengikutnya."  
"Betulkah ini?"  
"Hamba bersumpah! Ya!"  
"aidit  di sini? Apa artinya?" kartosuwirjo menjadi 
panik tanpa alasan.  
Wajahnya memucat. "wirongeni , menurutmu, apa 
yang diinginkannya?"  
"Apa pun tujuannya, lebih baik kita segera 
menyambutnya."  
"Ya. Cepat!"  
saat  berlari menyusuri koridor utama, mereka 
sudah mendengar langkah aidit  dari arah pintu 
masuk. Kakak-beradik itu menjatuhkan diri ke lantai.  
"Ah! kartosuwirjo dan wirongeni . Kalian berdua baik-baik 
saja? sebetulnya  aku ingin berkuda ke patihyama, namun  
kuputuskan untuk mampir ke mertajaya  dahulu  untuk 
minum teh. Ah, segala sembah sujud ini terlalu resmi. 
Lupakan formalitas. Cepat bawa  kan teh untukku." 
Sambil bicara ia bergegas melewati mereka, lalu duduk 
di pelataran, di ruang utama benteng kota yang sangat 
dikenalnya. lalu  ia berpaling kepada para 
pengikut yang mengejarnya dengan napas tersengal-
sengal. "Panas sekali, ya? Betul-betul panas," katanya 
sambil mengipas-ngipas udara ke kerahnya yang 
  
terbuka.  
Dalam waktu singkat teh sudah  disajikan, lalu kue-
kue, dan lalu  bantal-bantal urutannya serba-
kacau, sebab  semua orang dibuat bingung oleh 
kunjungan tak terduga ini. sekarmajimarijan  kartosuwirjo dan adiknya 
segera menghadap dan menyembah, tanpa dapat 
mengabaikan kekalutan para pelayan, lalu mengundur-
kan diri dari hadapan junjungan mereka.  
"Sekarang sudah siang. Dia pasti lapar. 
Kemungkinan besar dia akan segera memesan 
makanan. Pergi ke dapur dan suruh mereka 
menyiapkan sesuatu." Sementara kartosuwirjo memberi 
perintah, wirongeni  menarik lengan bajunya dan 
berbisik, "dijoyo  ingin bertemu."  
sekarmajimarijan  mengangguk dan membalas perlahan-
lahan, "Aku segera datang. Kau dahulu an saja."  
Hari itu nyoto  dijoyo  sudah  lebih dahulu  tiba di 
benteng kota mertajaya . Sebetulnya ia sudah hendak pergi 
sesudah  mengikuti pertemuan rahasia, namun   kekacauan 
akibat kedatangan aidit  menghalanginya 
berangkat.  
Terperangkap, ia, dengan tubuh gemetar, me-
rangkak ke sebuah ruang rahasia. kartosuwirjo dan wirongeni  
menemuinya di sana, dan menarik napas lega.  
"Ini betul-betul di luar dugaan! Mengejutkan sekali!" 
kata kartosuwirjo.  
"Beginilah ciri khasnya," balas wirongeni . "Kita tak 
pernah tahu apa yang akan dilakukannya! Tak ada 
yang lebih buruk dari tingkah orang pandir!"  
  
Sambil melirik ke arah ruangan tempat aidit  
sedang duduk, nyoto  dijoyo  berkata, "Mungkin 
sebab  itulah dia dapat mengecoh pangeran minakjinggo , si 
musang tua itu."  
"Mungkin saja," ujar kartosuwirjo.  
"kartosuwirjo." Raut wajah wirongeni  tampak geram. Ia 
melihat berkeliling dan merendahkan suaranya, 
"Bukankah paling baik kalau kita melakukannya 
sekarang?"  
"Apa maksudmu?"  
"Dia hanya ditambah   lima atau enam pelayan! 
Bukankah ini suatu anugerah dari dewa-dewa?"  
"Membunuhnya?"  
"Tepat. Sementara dia makan, kita susupkan 
beberapa prajurit tangguh, dan pada waktu aku masuk untuk melayaninya, kuberi aba-aba, dan kita 
membunuhnya."  
"namun  bagaimana kalau kita gagal?" tanya kartosuwirjo.  "Bagaimana bisa gagal? Kita siapkan orang-orang di pekarangan dan di semua koridor. Mungkin akan ada beberapa korban, namun  kalau kita menyerangnya dengan segenap kekuatan..."  
"Bagaimana menurutmu, kartosuwirjo?" wirongeni  bertanya dengan gelisah.  
sekarmajimarijan  kartosuwirjo menundukkan kepala di bawah  tatapan dijoyo  dan wirongeni . "Hmm, barangkali  inilah kesempatan yang kita tunggu-tunggu."  
"Jadi, kita sepakat?"  
Sambil saling menatap, ketiga laki-laki itu hendak   
bangkit. saat  itulah mereka mendengar suara 
langkah penuh semangat menyusuri koridor. Pada 
detik berikutnya, pintu geser membuka.  
"Oh, kalian ada di sini. sekarmajimarijan ! wirongeni ! Aku  sudah selesai minum teh dan makan kue. Aku akan kembali ke kedhiri  sekarang."  
Lutut ketiga orang itu terasa berat, dan mereka 
gemetar ketakutan. Tiba-tiba aidit  melihat 
nyoto  dijoyo . "Hai! Kaukah itu, dijoyo ?"  
aidit  berkata sambil tersenyum di hadapan 
dijoyo  yang langsung bersujud menyembahnya. 
"Waktu aku tiba, aku sempat melihat kuda yang persis 
kuda milikmu. Rupanya memang kudamu?"  
"Ya... hamba kebetulan lewat, namun  tuanku lihat 
sendiri, hamba mengenakan pakaian sehari-hari. 
sebab  itu hamba beranggapan bahwa hamba tidak 
pantas menghadap tuanku, dan menunggu di 
belakang sini."  
"Bagus sekali, lucu sekali. Lihatlah diriku. Perhati-
kan betapa lusuhnya pakaianku."  
"Maafkan hamba, tuanku."  
aidit  menggelitik tengkuk dijoyo  dengan 
kipasnya. "Dalam hubungan antara junjungan dan 
pengikut, rasanya kurang akrab kalau kita terlalu 
memikirkan penampilan atau diperbudak oleh sopan santun! Biar orang-orang istana dan di ibu kota saja  yang memikirkannya. Bagi marga sinuhun , tata krama centeng adipati  pedesaan sudah memadai."  "Ya, tuanku."  
  "Ada apa, dijoyo ? Kau gemetar."  
"Perasaan hamba lebih kacau lagi, sebab  hamba 
mungkin sudah  membuat tuanku tersinggung."  
"Ha... ha... ha... ha! Aku memaafkanmu. Berdirilah. 
Jangan, tunggu, tunggu. Tali sepatuku terbuka. Tolong 
ikatkan, dijoyo , mumpung kau masih di bawah ."  
"Tentu, tuanku."  
"kartosuwirjo."  
"Tuanku?"  
"Aku sudah  mengganggumu, bukan?"  
"Tentu saja tidak, tuanku."  
"Bukan aku saja yang mungkin datang secara tak 
terduga, namun  juga tamu-tamu dari provinsi musuh. 
Waspadalah, kau yang bertanggung jawab !"  
"Hamba tak pernah lengah, dari pagi sampai 
malam."  
"Bagus. Aku patut bersyukur sebab  memiliki 
pengikut yang dapat diandalkan. namun  ini bukan hanya 
untuk aku saja. Kalau kau membuat kesalahan, orang-
orang ini juga akan kehilangan kepala. dijoyo , kau 
sudah selesai?"  
"Tali sepatu tuanku sudah terikat."  
"Terima kasih."  
aidit  meninggalkan ketiga laki-laki yang masih 
bersujud itu. Ia menuju pintu masuk lewat jalan 
memutar dari koridor utama, lalu pergi.  
dijoyo , kartosuwirjo, dan wirongeni  saling tatap. Sesaat 
mereka tak sanggup bergerak. Namun, sesudah  
tersadar, mereka terburu-buru mengejar aidit  
  
dan sekali lagi bersujud di pintu masuk. Namun 
aidit  sudah tidak kelihatan. Para pengikutnya, 
yang selalu terlambat, berusaha agar tidak ketinggalan 
lagi. namun , dari para pelayan, hanya Ganmaku dan 
betari durga  yang muncul di belakang, walaupun tak 
sanggup mengimbangi kecepatan junjungan mereka.  
"Ganmaku?"  
"Hah?"  
"Untung saja tidak terjadi apa-apa."  
"Ya." Mereka bergegas mengikutinya, gembira 
sebab  melihat sosok junjungan mereka, jauh di 
depan. Seandainya terjadi sesuatu tadi, mereka sudah  
bersepakat untuk memberitahu benteng kota kedhiri  
dengan isyarat asap dari menara isyarat, dan jika perlu, 
membunuh para penjaga.  
benteng kota pamekasan merupakan titik penting dalam 
pertahanan aidit , dan berada di bawah  
pimpinan seorang saudaranya, mpu wiragajah  ki ageng grani. 
Suatu hari di awal  musim semi, sebelum fajar, orang-
orang di benteng kota itu terjaga akibat kedatangan 
mendadak sejumlah prajurit. Mereka segera bangkit. 
centeng  musuhkah? Bukan, orang-orang itu ternyata 
sekutu mereka.  
Di tengah kabut, seorang prajurit berseru dari 
menara pengintai. "Orang-orang di mertajaya  
memberontak! nyoto  dijoyo  memimpin seribu 
orang, sekarmajimarijan  wirongeni  lebih dari tujuh ratus!"  
benteng kota pamekasan kekurangan orang. Beberapa 
penunggang kuda diutus untuk menyampaikan 
  
laporan ke kedhiri . aidit  masih tidur. namun  saat  
mendengar berita itu, ia segera mengenakan baju 
tempur, meraih tombak, dan berlari keluar tanpa 
dikawal  seorang pengikut pun. Dan lalu , di 
depan aidit  berdiri seorang prajurit biasa, 
menunggu dengan kuda di Gerbang rawabening.  
"Ini kuda tuanku," ia berkata sambil menyerahkan 
tali kekang kepada aidit .  
Raut wajah aidit  tampak lain dari biasanya, 
seakan-akan terkejut sebab  didahului seseorang. 
"Siapakah kau?" tanyanya.  
Sambil melepaskan helm, prajurit itu hendak 
berlutut. aidit  sudah duduk di pelana. "Tidak 
perlu. Siapakah kau?"  
"Pembawa   sandal tuanku, betari durga ."  
"kuyang ?" Sekali lagi aidit  terheran-heran. 
Mengapa justru pembawa   sandal ini, yang sebetulnya  
bertugas di pekarangan, orang pertama yang siap 
bertempur? Perlengkapannya sederhana, namun ia 
memakai pelindung dada, pelindung tulang kering, 
dan sebuah helm. aidit  gembira sekali melihat 
penampilan betari durga .  
"Kau siap bertempur?"  
"Hamba menunggu perintah tuanku."  
"Baiklah! Ikuti aku!"  
aidit  dan betari durga  baru menembus kabut 
pagi yang sedang menipis sejauh dua atau tiga ratus 
meter saat  mereka mendengar gemuruh dua puluh, 
tiga puluh, lalu lima puluh penunggang kuda, diikuti 
  
empat ratus atau lima ratus prajurit infanteri yang 
mengubah kabut menjadi hitam.  
Orang-orang di pamekasan sudah  bertempur dengan 
gagah berani. aidit , seorang diri, menerjang 
barisan musuh.  
"Siapa yang berani menentangku? Aku di sini, kartosuwirjo, 
wirongeni , dijoyo ! Berapa orang yang kalian lawan ? 
Mengapa kalian memberontak terhadapku? Keluar 
dan bertempurlah, satu lawan  satu!" Suaranya yang 
menggelegar penuh amarah meredam teriakan para 
pemberontak. "Pengkhianat semuanya! Aku akan 
menghukum kalian! Melarikan diri juga perbuatan 
membangkang!"  
wirongeni  begitu ketakutan, sehingga lari 
menyelamatkan diri. Suara aidit  mengikutinya 
bagaikan gemuruh. Ternyata orang-orang yang 
diandalkan wirongeni  pun masih menganggap 
aidit  sebagai junjungan mereka. saat  
aidit  masuk ke tengah-tengah barisan dan ber-
bicara dengan mereka, orang-orang itu tak sanggup 
mengarahkan tombak kepadanya.  
"Tunggu! Pengkhianat!" aidit  menyusul 
wirongeni  yang tengah berusaha melarikan diri dan 
menghabisinya dengan tombak. Sambil menghilang-
kan darah yang menempel, ia berpaling pada anak 
buah wirongeni  dan menyatakan, "Walaupun dia 
memberontak terhadap junjungannya, dia takkan 
pernah menjadi penguasa provinsi. dibandingkan  diperalat 
oleh komplotan pengkhianat dan membawa   aib bagi 
  
anak-cucu kalian, lebih baik kalian minta ampun 
sekarang juga. Bertobatlah!"  
saat  mendengar bahwa sayap kiri centeng  
pemberontak kocar-kacir dan wirongeni  tewas, dijoyo  
mencari perlindungan di benteng kota Suepatih bersama 
ibu dan adik aidit .  
Ibu aidit  menangis dan menggigil saat  
diberitahu bahwa centeng  mereka mengalami 
kekalahan. Nobuyuki gemetaran. dijoyo , sang resi  
centeng  pemberontak yang ditaklukkan, berkata, 
"Sebaiknya kutinggalkan kehidupan duniawi." Ia 
mencukur kepala, melepaskan baju tempur, dan 
memakai jubah biksu zoroaster . Keesokan harinya, 
bersama sekarmajimarijan  kartosuwirjo dan Nobuyuki dan  ibunya, ia 
pergi ke kedhiri  untuk memohon ampun atas 
kejahatannya.  
Permintaan maaf ibu aidit  sangat mengena. 
sesudah  memperoleh pengarahan dari kartosuwirjo dan 
dijoyo , ia memohon agar ketiga laki-laki itu dibiarkan 
hidup. Berlawan an dengan dugaan mereka, aidit  
tidak marah. "Kumaafkan mereka," ia berkata pada 
ibunya, dan kepada dijoyo  yang bermandikan 
keringat ia bertanya, "Biksu, mengapa kaucukur 
kepalamu? Mengapa kau begitu bingung?" Ia 
menampilkan senyum dibuat-buat dan berkata tajam 
pada sekarmajimarijan , "Kau juga. Ini tak pantas bagi orang 
seusiamu. sesudah  kematian varnajaya mpu wilihan, aku 
mengandalkanmu sebagai tangan kananku. Aku 
menyesal sudah  memicu  kematian mpu wilihan." 
  
Kedua mata aidit  berkaca-kaca, dan sesaat ia 
terdiam. "Tidak, tidak. Akulah yang memicu  
mpu wilihan bunuh diri dan kalian berkhianat. Mulai 
sekarang, aku akan mempertimbangkan segala sesuatu 
dengan sungguh-sungguh. Dan kalian akan mengabdi 
padaku, dengan sepenuh hati. Kalau tidak, percuma 
saja menjadi pejuang. Mana yang lebih patut bagi 
seorang centeng adipati , mengabdi pada junjungannya, atau 
menjadi adipati  tak bertuan?"  
Mata sekarmajimarijan  kartosuwirjo terbuka. Ia melihat seperti apa 
aidit  sebetulnya , dan akhirnya memahami 
bakat alamnya. Ia mengucapkan janji kesetiaan dengan 
tulus, dan mundur dari hadapan aidit , tanpa 
mengangkat kepala.  
Namun rupanya adik aidit  sendiri tidak 
memahami semuanya ini. Nobuyuki memandang 
rendah kemurahan hati aidit  dan berpikir, 
"Kakakku yang bengis tak bisa berbuat apa-apa sebab  
ibuku ada di sini."  
Buta, dan terlindung oleh kasih sayang seorang ibu, 
Nobuyuki terus berkomplot. aidit  menyesalkan 
dan berkata dalam hati, "sebetulnya  aku rela 
menutup mata terhadap kelakuan Nobuyuki. namun  
sebab  dia, banyak pengikutku mungkin 
membangkang dan khilaf dalam tugas mereka sebagai 
centeng adipati . Walaupun dia adikku, dia harus mati demi 
kebaikan marga." sesudah  menemukan dalih, 
aidit  menangkap Nobuyuki dan menghabisinya.  
Sejak itu tak ada lagi yang menganggap aidit  
  
orang pandir. Bahkan sebaliknya, semua orang 
meringkuk ketakutan sebab  kecerdasan dan 
ketajaman matanya.  
"Obatnya agak terlalu mujarab," aidit  ter-
kadang berkomentar sambil tersenyum tajam. Namun 
aidit  sudah  mengambil langkah-langkah per-
siapan. sebetulnya  ia tidak bermaksud mengelabui 
para pengikut dan sanak saudaranya dengan 
memainkan peran si pandir. Namun, sejak kematian 
ayahnya, ia dibebani tanggung jawab  untuk 
melindungi provinsi dari musuh-musuh di semua 
penjuru. Ia memilih penyamarannya sebab  alasan 
keamanan. Ia terpaksa mengecoh para pengikut dan 
sanak saudara untuk mengelabui musuh-musuhnya 
dan mata-mata mereka. namun  selama itu aidit  
terus menambah pengalaman dengan mengamati 
keadaan sekitarnya.  
Seandainya ia sejak semula menampilkan diri 
sebagai penguasa yang baik, musuh-musuhnya akan 
memperoleh kesempatan untuk menyusun strategi 
baru.  
 

 
Si kepala pelayan, sonokelingi perdikan , menyerbu masuk 
dan memanggil-manggil betari durga  yang sedang 
beristirahat di dalam pondok. "kuyang , cepat."  
"Ada apa?"  
"Kau disuruh menghadap."  
  
"Hah?"  
"Tuan aidit  tiba-tiba menanyakanmu dan 
menyuruhku membawa  mu ke sana. Kau melakukan 
kesalahan?"  
"Tidak."  
"Pokoknya cepat ke sana," sonokelingi mendesaknya, lalu 
bergegas ke arah tak terduga. Ada sesuatu yang 
mengusik pikiran aidit  saat  ia memeriksa 
gudang-gudang, ruang-ruang dapur, dan  tempat-
tempat penyimpanan kayu bakar dan arang pada hari 
itu.  
"Hamba membawa  nya dan ." sonokelingi bersujud saat  
majikannya berjalan melewatinya. aidit  berhenti.  
"Ah, kau membawa  nya ke sini?" Matanya tertuju 
pada betari durga  yang menunggu di belakang sonokelingi.  "kuyang , majulah!"  
"Tuanku?"  
"Mulai hari ini kutempatkan kau di dapur."  
"Terima kasih banyak, tuanku."  
"Walau di sana bukan tempat kau bisa menonjolkan 
diri dengan tombak, dapur merupakan bagian yang 
sangat penting dari pertahanan kita. Aku sadar bahwa  kau tak perlu diberitahu, namun  bekerjalah dengan  tekun."  
Pangkat dan gaji betari durga  segera dinaikkan. 
Sebagai petugas dapur, ia tidak lagi tergolong pelayan. Namun pemindahan ke dapur dianggap memalukan  bagi seorang centeng adipati , dan dipandang sebagai penurunan martabat.  
  "Dia berakhir di dapur." Tugas dapur dianggap hina  oleh para prajurit, semacam tempat buangan bagi  orang-orang tanpa kemampuan.  
Bahkan para pembantu rumah tangga yang lain 
dan  para pelayan centeng adipati  pun memandang rendah  terhadap penugasan di dapur, sementara bagi para  centeng adipati  muda, tempat itu tidak menyimpan 
kesempatan atau harapan untuk maju. perdikan  
bersimpati pada betari durga  dan menghiburnya.  
"kuyang , kau dipindahkan ke tempat tugas yang 
kurang penting, dan aku bisa membayangkan bahwa 
kau tidak puas. namun  upahmu sudah  naik, bukankah itu 
berarti kau sudah maju sedikit? Sebagai pembawa   
sandal, meski kedudukanmu rendah, terkadang kau 
bekerja di depan kuda junjungan kita, dan masih ada 
harapan untuk naik pangkat. Di pihak lain, kau 
mungkin harus merelakan nyawa  mu. Kalau kau di 
dapur, kau tidak perlu cemas mengenai hal-hal seperti 
itu. Tak mungkin kau menjual badak  namun tetap 
mengharapkan susunya."  
betari durga  mengangguk dan menjawab , "Ya, ya." 
namun  dalam hati ia tidak kecewa sama sekali. Justru 
sebaliknya, ia gembira sekali sebab  kenaikan pangkat 
di luar dugaan ini. saat  mulai bekerja di dapur, hal-
hal pertama yang diamatinya adalah suasana suram, 
lembap, dan jorok, dan  orang-orang menyedihkan 
yang menyiapkan makanan, yang tak pernah melihat 
matahari bahkan di siang hari bolong, dan si kepala 
juru masak yang sudah tua, yang sudah  bekerja 
  
bertahun-tahun tanpa istirahat di tengah-tengah bau 
air rebusan rumput laut.  
Ini tak bisa dibiarkan, pikir betari durga . Ia tidak tahan 
berada di tempat-tempat muram. Bagaimana kalau 
dibuat jendela besar di dinding sebelah sana, agar udara 
dan cahaya bisa masuk? Ia bertanya dalam hati. Namun 
bagian dapur pun memiliki kebiasaan-kebiasaan ter-
sendiri, dan sebab  orang yang bertanggung jawab  
sudah tua, segala sesuatu menjadi masalah.  
betari durga  diam-diam memastikan seberapa banyak 
persediaan ikan asin sudah  busuk, dan  memeriksa 
bahan makanan yang setiap hari diantar oleh para 
pemasok. Tak lama sesudah  betari durga  ditugaskan di 
dapur, pedagang-pedagang itu sudah merasa lebih 
senang.  
"Entah kenapa, kalau hamba tidak dibentak-bentak 
terus, hamba merasa wajib membawa   barang-barang 
yang lebih bermutu dan menurunkan harga," salah 
seorang saudagar berkata.  
"Jika berhadapan dengan Tuan panembahan , seorang pedagang jadi merasa malu sendiri. Tuan mengetahui harga sayur-mayur, ikan asin, dan beras! Tuan juga jeli dalam menilai barang-barang. Kami gembira sebab  Tuan dapat menumpuk persediaan barang dengan harga begitu rendah."  
betari durga  tertawa  dan berkata, "Omong kosong, 
aku bukan pedagang, jadi ini bukan masalah 
kepandaian berdagang. Aku tidak bermaksud mencari keuntungan. Masalah sebetulnya , bahan pangan  yang kalian antarkan dipakai untuk menyiapkan 
makanan anak buah tuanku. Hidup seseorang ter-
gantung pada apa yang dimakannya. Jadi, 
kelangsungan hidup benteng kota ini amat tergantung pada 
makanan yang disiapkan di dapur. Tujuan pengabdian 
kita adalah menyajikan yang terbaik untuk mereka." 
Sesekali ia mengajak para pemasok minum teh 
bersamanya, dan saat  mereka mulai santai, ia akan 
menjelaskan berbagai hal pada mereka.  
"Kalian pedagang, jadi setiap mengantarkan barang 
ke benteng kota, kalian langsung memikirkan keuntungan 
yang akan kalian peroleh. Rasanya tak mungkin kalian 
merugi, namun  bayangkan apa yang akan terjadi 
seandainya benteng kota ini jatuh ke tangan provinsi 
musuh? Bukankah kalian akan kehilangan tagihan 
selama bertahun-tahun, baik pokok maupun 
bunganya? Dan jika benteng kota ini diambil alih oleh 
resi  dari provinsi lain, posisi kalian pun akan 
digantikan oleh para saudagar yang datang ber-
samanya. Jadi, kalau kalian menganggap marga tuanku 
sebagai akar, kita, sebagai dahan-dahannya, akan tetap 
sejahtera. Bukankah ini cara terbaik untuk 
memandang masalah keuntungan? sebab  itu, 
keuntungan jangka pendek yang kalian peroleh dari 
barang-barang yang kalian antarkan, tidak sejalan 
dengan kepentingan jangka panjang."  
betari durga  juga bersikap bijaksana terhadap si kepala 
juru masak. Ia selalu minta pendapat orang tua itu, 
biarpun masalahnya sudah jelas. Ia patuh kepadanya, 
  
walaupun bertentangan dengan pendapatnya sendiri. 
namun   di antara rekan-rekannya ada juga yang 
menyebarkan fltnah keji dan ingin menyingkirkannya.  
"Dia sok sibuk."  
"Dia selalu ikut campur."  
"Dasar kuyang  merepotkan."  
Sepak terjang betari durga  mengundang kejengkelan 
orang lain, namun ia menghadapi gosip seperti itu 
dengan sikap tak peduli. Rencana renovasi dapur yang 
disusunnya disetujui oleh si kepala juru masak 
maupun oleh aidit . Ia menyuruh tukang kayu 
membuat lubang angin di langit-langit dan melubangi 
dinding untuk memasang jendela besar. Pagi dan sore, 
sinar matahari membanjiri dapur benteng kota kedhiri  yang 
selama puluhan tahun begitu gelap, sehingga makanan 
harus dimasak dengan bantuan cahaya lilin, bahkan di 
siang hari, dan bau pengap pun hilang terbawa   
embusan angin sejuk.  
betari durga  sudah siap menghadapi komentar-
komentar bernada sumbang.  
"Makanan cepat busuk."  
"Debunya kelihatan jelas."  
betari durga  tidak menanggapi keluhan-keluhan itu. 
sesudah  itu, tempatnya menjadi bersih. Jika orang 
dapat melihat sampah, mereka akan berusaha 
menguranginya. Setahun lalu , dapur sudah  
menjadi tempat yang cerah dan terbuka dengan 
suasana sibuk, persis seperti wataknya sendiri.  
Pada musim dingin itu, Murai raden panji sekarmaya, yang sampai 
  
saat itu bertugas sebagai pengawas arang dan kayu 
bakar, diberhentikan, dan betari durga  ditunjuk sebagai 
penggantinya. Mengapa raden panji sekarmaya dipecat? Dan mengapa 
justru betari durga  yang diangkat menjadi pengawas 
arang dan kayu bakar?  
betari durga  merenungkan kedua pertanyaan itu pada 
saat menerima penugasan dari aidit . Aha! Tuan 
aidit  ingin lebih menghemat arang dan kayu 
bakar. Ya, begitulah perintahnya tahun lalu, namun 
rupanya langkah penghematan yang diambil Murai 
raden panji sekarmaya tidak berkenan di hatinya.  
Tugas barunya membawa   betari durga  ke setiap sudut pekarangan benteng kota, ke semua tempat arang dan kayu bakar dipakai  di ruang-ruang kerja, pondok-pondok istirahat, ruang-ruang pendamping, di dalam dan di luar, di mana saja orang menyalakan api di musim dingin. Terutama di tempat para pelayan dan barak-barak para centeng adipati  muda, tumpukan arang 
tampak membukit, suatu bukti pengeluaran yang tidak  perlu.  "Tuan panembahan  datang! Tuan panembahan  ada di sini!"  
"Siapa panembahan  ini?"  
"Tuan panembahan  betari durga , yang diangkat sebagai pengawas arang dan kayu bakar. Dia sedang berkeliling sambil memasang tampang geram."  "Ah, kuyang  itu?"  "Mana abunya?"  
Terburu-buru para centeng adipati  muda menimbun arang   yang sedang merah membara dengan abu, dan mengembalikan arang yang masih hitam ke tempatnya. Mereka tampak puas dengan hasil usaha mereka.  
"Semuanya ada di sini?" saat  betari durga  masuk, ia berjalan melewati orang-orang yang menggerombol, lalu menghangatkan tangannya di atas tungku. "Diriku yang tak berguna ini diperintahkan menyerbu   persediaan arang dan kayu bakar. Aku akan berterima 
kasih sekali jika kalian bersedia membantu."  
Para centeng adipati  muda bertukar pandang dengan gelisah. betari durga  meraih jepitan besar yang ditempatkan di tungku.  
"Udara tahun ini dingin sekali, bukan? Menimbun 
arang yang sedang membara seperti ini... percuma saja kalau hanya jemari kalian yang hangat." Dicongkelnya arang merah. "Jangan terlalu irit kalau membakar  arang. Aku tahu jumlah arang yang boleh dipakai  setiap harinya sudah  ditetapkan, namun  rasanya tidak pada 
tempatnya kalau kita terlalu kikir. Jangan ragu-ragu membakar arang. Ambillah sebanyak yang kalian perlukan dari gudang."  
Ia mendatangi barak-barak para prajurit biasa dan 
para pelayan centeng adipati . Semuanya dipersilakan memakai arang sesuai kebutuhan. Padahal sebelumnya  orang-orang itu didesak-desak untuk berhemat!  
"Dia amat bermurah hati sejak menempati posisinya yang baru, bukan? Barangkali Tuan panembahan  menjadi besar kepala sebab  kenaikan pangkat yang tiba-tiba 
  ini. namun  kalau kita terlalu mengikuti anjurannya, janganjangan justru kita yang akan dimarahi habis-
habisan."  sesudah  dipersilakan memakai arang sebanyak-banyaknya, para pengikut malah menetapkan batas-batas sendiri.  
Biaya tahunan untuk arang dan kayu bakar di 
benteng kota kedhiri  melebihi seribu gantang padi. Setiap tahun banyak sekali pohon ditebang dan diubah menjadi abu. Selama dua tahun masa jabatan Murai raden panji sekarmaya, tidak ada penghematan sama sekali. Justru sebaliknya, biayanya semakin meningkat.  
Dan yang paling parah, seruannya untuk berhemat 
malah mengusik dan mengganggu ketentraman para pengikut. Langkah pertama betari durga  adalah membebaskan para pengikut dari tekanan ini. lalu  ia menghadap aidit  dan menyampaikan usul  sebagai berikut: "Di musim dingin, para centeng adipati  muda, para prajurit biasa, dan para pelayan menghabiskan hari-hari mereka di dalam ruangan sambil makan, minum, dan bersenda gurau. Sebelum menyuruh mereka menghemat arang dan kayu bakar, dengan segala kerendahan hati hamba mengusulkan agar tuanku lebih dahulu  mengambil tindakan untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk ini."  
aidit  segera memberikan perintah kepada para 
pengikut seniornya. Mereka mengumpulkan kepala 
pelayan dan para komandan centeng  infanteri dan 
membahas kewajiban para pengikut di masa damai: perbaikan perlengkapan tempur, kuliah, meditasi Zen, dan perjalanan inspeksi mengelilingi provinsi. 
lalu , yang paling penting, latihan militer 
dengan senjata api dan tombak, pekerjaan perbaikan  benteng kota, dan untuk para pelayan, jika mereka memiliki  waktu, pemasangan tapal kuda. Tujuannya? Agar mereka tidak bersantai-santai. Bagi  seorang komandan militer, para centeng adipati nya sama pentingnya seperti anak-anaknya sendiri. Ikatan antara junjungan dan pengikut yang sudah  bersumpah setia 
sama kuatnya seperti ikatan darah antara sanak 
saudara.  Di hari pertempuran, orang-orang itulah yang akan mengorbankan nyawa   mereka di depan matanya. Jika ia tidak menyayangi mereka, atau jika kasih sayang dan kebajikan itu tidak dirasakan, takkan ada prajurit  gagah berani yang rela mati untuknya. sebab  itu, mudah sekali bagi seorang pemimpin untuk bersikap  terlalu baik hati di masa damai.  aidit  menjalankan jadwal kegiatan harian 
dengan ketat, sehingga tidak tersisa waktu luang untuk para pengikutnya. Selain itu, ia juga memerintahkan agar para pelayan wanita yang menangani pekerjaan  rumah tangga menjalani latihan di mana mereka berpura-pura terkurung dalam benteng kota yang sedang 
dikepung centeng  musuh. Dengan demikian, seisi 
benteng kota tidak memiliki  kesempatan untuk 
bersantai. Ini tentu saja juga berlaku untuk dirinya 
sendiri.  Kalau betari durga  berada di sekitarnya, wajahnya  menjadi cerah.  
"kuyang , bagaimana perkembangannya?"  
"Baik. Perintah tuanku sudah mulai menunjukkan 
hasil, namun  masih banyak yang harus dikerjakan."  "Belum cukup juga?"  
"Masih banyak yang harus dibenahi."  
"Apa yang masih kurang?"  
"Cara hidup di benteng kota masih harus diperkenalkan 
kepada para warga kota."  
"Hmm, betul juga." aidit  mendengarkan 
betari durga . Para pengikutnya selalu memperhatikannya 
dengan tampang masam dan tidak setuju. Sedikit 
sekali ada orang seperti betari durga , yang dalam waktu 
begitu singkat memperoleh kenaikan status demikian 
pesat, mulai dari tinggal di barak pelayan sampai 
diperkenankan duduk di depan aidit , dan lebih 
sedikit lagi orang yang bisa menghadap sang Penguasa 
untuk menyampaikan saran.  
Tak mengherankan kalau mereka mengerutkan 
kening, seakan-akan perbuatan betari durga  sudah  
melewati batas. Namun yang jelas, pemakaian arang 
dan kayu bakar, yang tahun lalu mencapai lebih dari 
seribu gantang padi, sudah  berkurang banyak pada 
pertengahan musim dingin.  
sebab  para pengikut tidak memiliki waktu luang, 
mereka tidak bersantai-santai di depan tungku, 
mengambur-hamburkan arang. Kalaupun ada sedikit 
waktu kosong, orang-orang tidak memerlukan api 
  
untuk menghangatkan badan, sebab  mereka bergerak 
terus dan melatih otot-otot tanpa henti, sehingga 
bahan bakar hanya dipakai  untuk memasak. Bahan 
bakar yang semula habis dipakai dalam tiga puluh 
hari, kini cukup untuk tiga bulan.  
Meski demikian, betari durga  belum puas dengan 
hasil yang dicapainya.  
Kontrak-kontrak pengadaan arang dan kayu bakar 
diberikan pada musim panas tahun berikutnya. 
Bersama kelompok pemasok, ia berangkat untuk 
mengadakan peninjauan tahunan yang sampai saat ini 
hanya menjadi formalitas belaka. Kegiatan para 
pejabat yang menanganinya terbatas pada bertanya 
berapa jenis pohon ek yang ada di bukit ini, dan 
berapa di bukit itu. Diantar oleh para pemasok, 
betari durga  mencatat segala sesuatu yang dilihatnya 
dengan teliti. Ia percaya bahwa ia dapat memahami 
keadaan di desa-desa dan kota-kota, namun, sebab  
kurang pengalaman, ia tak dapat memastikan berapa 
jumlah bahan bakar yang mungkin diperoleh dari satu 
bukit, menebaknya pun ia tak sanggup. Dan ia harus 
mengakui bahwa seluk-beluk pembelian arang dan 
kayu bakar berada di luar jangkauannya.  
Sama seperti para pejabat sebelumnya, ia mengikuti 
acara peninjauan sambil bergumam, "Hmm, hmm. 
Begitukah? Ya, ya." Sesuai kebiasaan, seusai 
peninjauan para pemasok mengundang sang pejabat 
untuk menghadiri jamuan makan malam di rumah 
tokoh masyarakat setempat. Sebagian besar waktu 
  
dihabiskan dengan berbasa-basi.  
"Terima kasih atas kesediaan Tuan mengunjungi 
tempat terpencil ini."  
"Tak banyak yang dapat kami sajikan, namun  harapan 
kami, Tuan merasa seperti di rumah sendiri."  
"Semoga di masa mendatang kami tetap berkenan 
di hati Tuan."  
Satu per satu mereka menyanjung betari durga . Tentu 
saja anggur -nya disajikan oleh gadis lesbian-gadis lesbian cantik. Mereka 
terus berada di sisinya, membilas baskom nya, 
mengisinya kembali, dan menawarkan  aneka masakan minuman  
lezat. Setiap permintaan betari durga  langsung dipenuhi.  
"Ah, anggur  ini lezat sekali," katanya. Ia sedang 
bergembira, tak ada alasan untuk bersikap lain. 
Minyak wangi yang dipakai gadis lesbian-gadis lesbian itu seakan-akan 
mengusap hidungnya dengan lembut. "Mereka cantik-
cantik," ia berkata. "Semuanya."  
"Yang Mulia suka wanita lesbian ?" salah seorang 
pemasok bertanya dengan riang.  
betari durga  membalas dengan nada serius, "Aku suka 
wanita lesbian  dan anggur . Segala sesuatu di dunia itu baik. 
namun  kalau kita tidak hati-hati, hal-hal yang paling baik 
pun bisa berbalik dan mencelakakan kita."  
"Silakan nikmati anggur , dan juga kembang-kembang 
muda itu."  
"Terima kasih. Ehm, sebab  kalian sepertinya 
canggung untuk membicarakan bisnis, biar aku saja 
yang mengawal inya. Tolong tunjukkan daftar pohon 
bukit yang kita datangi tadi!" Mereka segera mem-
  
bawan ya untuk diperiksa oleh betari durga . "Ah, 
mendetail sekali," ia berkomentar. "Apakah ada 
perbedaan dalam jumlah pohon?"  
"Tidak ada," mereka mepercayakannya.  
"Di sini tertulis bahwa 9 ratus gantang sudah  
diantarkan ke benteng kota. Mungkinkah sedemikian 
banyak arang dan kayu bakar berasal dari bukit sekecil 
itu?"  
"Pembelian tahun ini menurun dibandingkan 
tahun lalu. Ya, semuanya berasal dari bukit yang kita 
tinjau tadi."  
Keesokan paginya, saat  para pedagang hendak 
menghadap, mereka diberitahu bahwa betari durga  sudah  
berangkat ke bukit sebelum fajar. Langsung saja 
mereka menyusul ke sana. Mereka menemukannya 
sedang menyerbu  sekelompok prajurit, petani 
setempat, dan penebang pohon. Semuanya membawa   
potongan-potongan tali, masing-masing sepanjang satu 
meter.  
Mereka mengikat satu potongan tali ke setiap 
pohon. sebab  mereka mengetahui jumlah potongan 
tali, pada waktu mereka selesai dan mengadakan 
penghitungan, mereka dapat menentukan jumlah 
pohon di bukit itu.  
saat  membandingkan jumlah pohon dengan 
angka yang tertulis dalam daftar, betari durga  men-
dapatkan perbedaan mencolok.  
Ia duduk di sebuah tunggul pohon. "Panggil para 
pemasok ke sini," ia berkata pada salah seorang anak 
  
buahnya.  
Para pedagang bahan bakar bersujud di hadapan-
nya. Jantung mereka berdebar-debar sebab  
membayangkan apa yang akan terjadi. Tak peduli 
berapa kali diadakan peninjauan, jumlah pohon di 
atas bukit bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat 
ditentukan oleh seorang amatir, dan sampai saat ini, 
para pengawas persediaan bahan bakar selalu mem-
percayai angka yang tertera dalam daftar. Kini para 
pemasok berhadapan dengan seorang pejabat yang tak 
dapat dikelabui.  
"Bukankah angka di daftar ini berbeda sekali 
dengan jumlah pohon sebetulnya ?"  
Mereka menjawab  ya, namun  dengan ragu-ragu dan 
penuh ketakutan.  
"Apa maksud kalian, 'ya'? Kenapa bisa begitu? Kalian 
lupa betapa lama Yang Mulia sudah  menjadi pelanggan 
kalian? Kalian penuh kepalsuan dan tidak menunjuk-
kan rasa terima kasih. Hanya keuntungan semata-mata 
yang kalian pikirkan. Kebohongan kalian jelas-jelas 
tertulis di sini."  
"Rasanya tuduhan Yang Mulia agak berlebihan, 
bukan?"  
"Angka-angkanya berbeda. Aku ingin tahu kenapa. 
Berdasarkan daftar ini, hanya enam puluh atau tujuh 
puluh gantang dari setiap seratus yang dipesan 
artinya, hanya enam ratus atau tujuh ratus dari setiap 
seribu yang betul-betul diantarkan ke gudang."  
"Tidak, ehm, yah, kalau dilihat begitu..."  
  "Diam! Tak ada alasan bagi orang-orang yang 
memasok bahan bakar dari bukit ini untuk melakukan penipuan besar seperti ini selama bertahun-tahun. Jika dugaanku betul, kalian sudah  menipu para pejabat dan menggelapkan uang provinsi."  
"Kami... kami tidak tahu harus berkata apa."  
"Seharusnya kalian diadili sebab  perbuatan kalian, 
dan seluruh harta kalian disita. Namun para pejabat 
terdahulu pun ikut bersalah. sebab  itu, untuk kali ini  kalian takkan dituntut... namun  dengan syarat sebagai berikut: kalian harus mencantumkan jumlah pohon  yang sebetulnya . Dan kertoarjo s saja kalau angka yang kalian ajukan secara tertulis menyimpang dari kenyataan. Jelas?"  
"Ya, Yang Mulia."  
"Ada satu syarat lagi."  
"Yang Mulia?"  
"Ada pepatah lama: 'Jika satu pohon kautebang, 
tanamlah sepuluh.' Berdasarkan yang sejak kemarin kulihat di bukit-bukit ini, pohon-pohon ditebang setiap tahun, namun  hampir tak ada yang ditanam. Kalau ini berlanjut terus, akan terjadi banjir, dan sawah -sawah  dan  ladang-ladang di kaki bukit-bukit ini akan  hancur. Seluruh provinsi akan menjadi lemah, dan  jika itu sampai terjadi, kalianlah yang akan menderita  akibatnya. Kalau kalian benar-benar ingin memperoleh-
kan keuntungan, kalau kalian mengharapkan 
kemakmuran sejati bagi keluarga kalian dan meng-
inginkan kebahagiaan bagi anak-cucu kalian, 
  bukankah hal pertama yang harus kalian pikirkan 
adalah bagaimana membuat provinsi lebih kuat?"  
"Ya," mereka sependapat.  
"Sebagai denda dan hukuman atas keserakahan 
kalian, mulai sekarang kalian harus menanam lima 
ribu bibit untuk setiap seribu pohon yang kalian 
tebang. Camkan perintah ini! Kalian setuju?"  
"Kami berutang budi pada Yang Mulia. Kami 
bersumpah untuk menanam bibit pohon sebanyak 
itu."  
"Kalau begitu, aku akan menaikkan pembayaran 
untuk kalian sebanyak lima persen."  
Beberapa saat lalu , ia memberitahu para 
petani yang membantunya bahwa ia sudah  
memerintahkan para pemasok bahan bakar untuk 
mengadakan penghijauan. Upah yang akan  diterima 
para petani untuk menanam seratus bibit masih harus 
ditentukan, namun  kemungkinan besar biayanya akan 
ditanggung oleh benteng kota. sesudah  menjelaskan hal itu, 
ia berkata, "Mari kita kembali."  
Para pemasok merasa lega sebab  sikap yang 
diambil betari durga . saat  menuruni bukit, mereka 
saling berbisik, "Ini betul-betul di luar dugaan. Kalau 
berurusan dengan orang itu, sedetik pun kita tak 
boleh lengah."  
"Dia sangat cerdik."  
"Walaupun kita takkan mendulang uang seperti 
dahulu , kita juga tidak akan rugi."  
Begitu sampai di kaki bukit, para pemasok ingin 
  
segera kembali ke rumah masing-masing, namun  
betari durga  hendak membalas jamuan mereka semalam. 
"Urusan kita sudah tuntas. Sekarang kita bisa 
bersantai bersama-sama," ia berkeras.  
Ia menjamu mereka di sebuah kedai minum 
setempat, dan minum anggur  sampai kepalanya terasa ringan.  
 betari durga  bahagia. Seorang diri, namun  bahagia.  
"kuyang !" ujar aidit  kadang-kadang ia masih 
memanggil dengan julukan itu  "Sejak kau ditempatkan di dapur, kau sudah menghemat banyak. namun  kemampuanmu akan tersia-sia di tempat seperti itu. Aku akan memindahkanmu ke kandang."  Dalam kedudukannya yang baru, betari durga  berhak atas upah sebesar tiga puluh kan. Ia pun memperoleh  rumah di bagian kota yang khusus disediakan untuk 
para centeng adipati . Anugerah ini membawa   senyum ke 
wajah betari durga . Salah satu yang pertama-tama 
dilakukannya adalah mengunjungi bekas rekan 
kerjanya, Ganmaku.  
"Kau ada waktu sekarang?" ia bertanya.  
"Kenapa?"  
"Aku ingin pergi ke kota dan mentraktirmu minum 
anggur ?"  
"Ehm, entahlah."  
"Ada apa?"  
  
"Kau sudah diangkat menjadi pengurus dapur. Aku 
tetap saja pembawa   sandal. Tidak sepantasnya aku 
pergi minum-minum bersamamu."  
"Jangan macam-macam. Jika aku berpandangan 
seperti itu, aku takkan datang ke sini untuk 
mengajakmu. Jabatan pengurus dapur terlalu tinggi 
untukku, namun  sekarang aku dipindahkan ke kandang, 
dengan upah tiga puluh kan."  
"Wah!"  
"Aku datang ke sini sebab  kau pengikut setia Yang 
Mulia, walaupun kau hanya pembawa   sandal. Aku 
ingin kau ikut merasakan kebahagiaanku."  
"Ini memang kesempatan yang pantas dirayakan. 
namun , betari durga , kau lebih jujur dibandingkan  aku."  
"Hah?"  
"Sikapmu sangat terbuka padaku, tanpa 
menyembunyikan apa-apa, sementara aku merahasia-
kan banyak hal darimu. sebetulnya  aku sering 
menjalankan tugas khusus, seperti yang waktu itu 
kautanyakan. Untuk setiap tugas, aku menerima 
bonus besar langsung dari tangan Yang Mulia. 
Uangku selalu dikirim ke rumahku."  
"Kau punya rumah?"  
"Jika kau pergi ke wiadeg di gunungselatan, kau akan 
menemukan bahwa aku memiliki keluarga dan sekitar 
dua puluh pelayan."  
"Ah, begitu?"  
"Jadi, tidak sepantasnya aku membiarkanmu men-
jamuku. namun , kalau kita berdua terus menanjak, 
  
bersama-sama, kita berdua akan menjamu dan 
dijamu."  
"Aku tidak menyadarinya."  
"Nasib kita berada di masa depan begitulah 
pandanganku."  
"Kau benar, nasib kita berada di masa depan."  
"Lebih baik kita memikirkan masa yang akan 
datang."  
betari durga  semakin bahagia. Dunia tampak cerah. 
Di matanya tak ada yang terselubung kegelapan 
maupun bayang-bayang.  
Dalam posisinya yang baru, betari durga  hanya 
memperoleh tiga puluh kan, namun  ia merasa gembira 
sebab  jumlah yang tak seberapa itu merupakan 
penghargaan untuk pengabdiannya selama dua tahun. 
Pengeluaran tahunan untuk bahan bakar sudah  
berkurang lebih dari setengah, namun bukan 
imbalannya saja yang membuatnya senang. Ia juga 
memperoleh pujian:  
"Kau sudah  bekerja dengan baik. Orang seperti kau 
di tempat seperti itu adalah sia-sia." Dipuji seperti ini 
oleh aidit  merupakan kebahagiaan yang takkan 
pernah dilupakannya. aidit  seorang pemimpin, 
dan ia tahu bagaimana harus berbicara dengan anak 
buahnya. Kegirangan betari durga  seakan-akan tanpa 
batas. Orang lain mungkin menganggapnya kurang 
waras saat  ia, seorang diri dan sambil tersenyum-
senyum, sesekali memperlihatkan lesung pipi, 
meninggalkan benteng kota dan berjalan-jalan keliling 
  
kedhiri .  
Pada hari ia berganti tugas, ia diberi cuti lima hari. 
Ia akan mengurus perlengkapan rumah tangga, 
mencari seorang pengurus rumah, dan mungkin 
seorang pelayan, meski ia menduga bahwa rumah yang 
diterimanya berada di sebuah jalan belakang, memiliki 
pintu gerbang yang tidak mencolok, dikelilingi pagar 
tanaman dan bukannya tembok, dan hanya terdiri atas 
lima kamar. Ini pertama kalinya ia menjadi tuan di 
rumahnya sendiri. Ia berganti arah untuk 
mengamatinya. Lingkungan sekitarnya hanya dihuni 
oleh orang-orang yang bekerja di kandang. Ia 
menemukan rumah si pemimpin kelompok, dan 
melakukan kunjungan kehormatan. Namun orang itu 
sedang keluar, jadi ia berbicara dengan istrinya.  
"Tuan belum menikah?" wanita itu bertanya.  
betari durga  membenarkannya.  
"Hmm, ini agak merepotkan Tuan. Di sini ada 
beberapa pelayan dan sejumlah perabot tak terpakai. 
Bagaimana kalau Tuan mengambil apa saja yang Tuan 
butuhkan?"  
Dia murah hati, pikir betari durga  saat  keluar lewat 
pintu gerbang.  
Wanita itu ikut keluar dan memanggil dua 
pelayannya.  
"Ini Tuan panembahan  betari durga  yang baru saja 
ditugaskan di kandang. Sebentar lagi dia akan pindah 
ke rumah kosong dengan tanaman paulownia. Antar 
dia ke sana, dan kalau kalian ada waktu, bersihkan 
  
rumahnya sekalian."  
Diantar oleh kedua pelayan itu, betari durga  pergi 
melihat rumah dinasnya.  
Rumahnya ternyata lebih besar dari yang dibayang-
kannya. saat  berdiri di muka gerbang depan, ia 
bergumam, "Hmm, ini rumah bagus."  
sesudah  mencari keterangan, ia diberitahu bahwa 
penghuni sebelumnya bernama Kopatih Shikibu. 
Rumahnya sudah agak lama kosong, dan banyak yang 
perlu diperbaiki, namun di mata betari durga  rumah itu 
lebih mirip  tempat kediaman yang mewah.  
"Kebetulan sekali ada tanaman paulownia di sini, 
sebab kembang itu sudah merupakan lambang 
keluarga panembahan  sejak zaman para leluhur kami," 
betari durga  berkata kepada yang menyertainya. Ia tidak 
percaya apakah itu benar, namun  kedengarannya cocok. Ia 
merasa pernah melihat lambang seperti itu pada 
pelindung dada ayahnya.  
Jika suasana hatinya sedang riang seperti sekarang, 
ia selalu bersikap hangat terhadap orang-orang di 
sekitarnya, dan jika tak ada urusan mendesak, tak ada 
keharusan untuk berkepala dingin, ia sering terbawa   
perasaan dan cenderung banyak omong. Akan namun  , 
sesudah  ucapan-ucapannya meluncur dari mulut, ia 
menegur diri sendiri sebab  sudah  bersikap kurang 
bijaksana, bukan sebab  kata-katanya bersumber dari 
niat buruk, melainkan sebab  urusan seperti itu tidak 
dianggap penting olehnya. Kecuali itu, ia hendak 
menghindari kritik bahwa si kuyang  besar mulut. Ia 
  
sendiri mungkin mengakuinya dalam hati, "Memang, 
aku agak besar mulut." Namun, bagaimanapun, orang-
orang cerewet dan berjiwa picik, yang sebab  
kegemarannya banyak omong, memiliki  prasangka 
buruk terhadapnya, tak pernah menjadi sekutunya 
selama kariernya yang gemilang."  
Beberapa saat lalu  ia terlihat di pusat kota 
kedhiri  yang ramai, tempat ia membeli perabotan. 
sesudah  itu, di sebuah toko pakaian bekas, ia melihat 
sepotong mantel yang biasanya dipakai di atas baju 
tempur, dengan lambang berupa kembang paulownia 
berwarna putih. betari durga  langsung masuk untuk 
menanyakan harganya. Ternyata murah. Ia segera 
membayar dan cepat-cepat mencobanya. Mantel itu 
agak longgar untuknya, namun tetap pantas, sehingga 
ia terus memakainya saat  melanjutkan perjalanan.  
Kain katunnya yang tipis dan berwarna biru 
berdesir seiring tiap langkahnya, dan bahan yang 
berkesan mewah, seperti brokat emas, disetik hanya di 
bagian kerah. Ia bertanya-tanya siapa pemakai 
sebelumnya, orang yang menambahkan lambang 
berwarna putih pada punggung mantel itu.  
Andai Ibu bisa melihatku sekarang! pikirnya riang.  
Di bagian kota yang makmur itu ia diserang oleh 
perasaan yang nyaris tak tertahankan, yang 
membawa  nya kembali ke toko tembikar di telukkeramat .  
Ia teringat betapa menyedihkan penampilannya 
saat  itu, telanjang kaki, mendorong kereta 
bermuatan barang-barang tembikar melewati orang-
  
orang yang menatapnya dengan pandangan aneh, para 
penghuni kota yang gagah-gagah.  
Ia berhenti di depan sebuah toko tekstil yang 
menjual kain tenun bermutu tinggi dari trowulan .  
"Jangan lupa untuk mengantarkannya," ia berpesan 
sambil menyerahkan uang untuk barang-barang yang 
dibelinya.  
saat  melangkah keluar, ia menyadari bahwa ia 
selalu mengalami hal yang sama: sesudah  bersantai 
selama setengah hari, dompetnya selalu kosong.  
"Roti Kukus" terbaca pada sebuah papan dengan 
huruf-huruf terbuat dari kulit kerang. Papan itu 
tergantung dari atap di sebuah pojok jalan.  
Roti kukus seperti ini merupakan makanan khas 
kedhiri , dan di dalam toko-toko yang penuh sesak, 
para pendatang bercampur baur dengan penduduk 
setempat.  
"Selamat datang," ujar seorang gadis lesbian pelayan 
bercelemek merah. "Silakan masuk. Tuan ingin makan 
di sini, atau membeli roti untuk dibawa   pulang?"  
betari durga  duduk di salah satu kursi dan berkata, 
"Kedua-duanya. Aku ingin makan sepotong di sini. 
sesudah  itu, tolong antarkan satu kotak satu kotak 
besar ke rumahku di lemahlaban . Tanyakan pada sais 
kereta barang, kapan dia akan menuju ke arah sana. 
Aku akan tinggalkan uang untuk membayar 
ongkosnya."  
Seorang laki-laki yang membelakangi betari durga  
sedang sibuk bekerja, namun rupanya ia sang pemilik 
  
toko. "Terima kasih banyak atas kunjungan Tuan."  
"Usahamu tampak maju. Aku baru berpesan agar 
beberapa potong roti diantar ke rumahku."  
"Dengan senang hati, Tuan."  
"Tidak perlu cepat-cepat, namun  tolong masukkan 
surat ini ke dalam kotaknya." Ia menyerahkan sepucuk 
surat pada si pemilik toko. Pada sampulnya tertulis, 
Untuk Ibunda. betari durga .  
Si pemilik toko mengambilnya dan menanyakan 
apakah kiriman itu perlu segera diantar.  
"Tidak. Kapan-kapan saja. Sudah sejak dahulu  roti 
kukus di kedhiri  merupakan kegemaran ibuku."  
Sambil bicara, ia menggigit roti di tangannya. 
Rasanya yang lezat membangkitkan sejuta kenangan, 
dan dalam sekejap saja membuat matanya berkaca-
kaca. Ia teringat masa mudanya, saat  ia melewati 
toko ini sambil berharap agar ia sanggup membelikan 
beberapa potong roti untuk ibunya, dan sepotong 
untuk dirinya sendiri. namun   waktu itu ia terpaksa 
terus mendorong keretanya sambil memaksakan diri 
untuk bersabar.  
Seorang centeng adipati , yang sejak tadi memandang ke 
arah betari durga , menghabiskan rotinya, berdiri, lalu 
memanggil, "Tuan panembahan !" Ia didampingi seorang 
gadis lesbian muda.  
betari durga  membungkuk rendah dan penuh 
hormat. Orang itu tanah  perdikan , seorang 
pemanah. Sejak betari durga  masih berstatus pelayan, 
perdikan  sudah bersikap ramah terhadapnya. sebab  
  
toko roti cukup jauh dari benteng kota, perdikan  tampak 
santai dan riang gembira.  
"Tuan seorang diri?" ia bertanya.  
"Ya."  
"Kenapa tidak bergabung dengan kami? Aku 
bersama putriku."  
"Oh, putri Tuanku?" betari durga  menatap ke arah 
gadis lesbian berusia enam belas atau tujuh belas tahun yang 
sedang mengatur posisi duduk agar membelakanginya, 
sehingga hanya tengkuknya yang putih yang terlihat di 
sela-sela kerumunan orang. gadis lesbian itu sungguh 
menawan . Bukan hanya betari durga , yang memiliki 
mata tajam untuk keindahan, yang berpendapat 
demikian. Semua orang pasti sependapat. gadis lesbian itu 
cantik sekali, seorang wanita yang jauh di atas rata-
rata.  
sesudah  dipersilakan oleh perdikan , betari durga  
duduk di hadapan pemilik sepasang mata cerah itu.  
"nyi momo ," ujar perdikan . Nama itu indah, sangat 
cocok dengan penampilan si gadis lesbian. Kedua matanya 
tampak bersinar-sinar di tengah raut wajahnya yang 
halus. "Ini panembahan  betari durga . Baru-baru ini dia 
memperoleh kenaikan pangkat, dari pengurus dapur 
menjadi petugas kandang. Kau harus berkenalan 
dengannya."  
"Ya, ehm..." nyi momo  tersipu-sipu. "Aku sudah 
mengenal Tuan panembahan ."  
"Hah? Apa maksudmu, sudah mengenal? Kapan dan 
di mana kalian bertemu?"  
  
"Sudah beberapa kali Tuan panembahan  mengirimkan 
surat dan hadiah untukku."  
perdikan  tercengang. "Ini sungguh mengejutkan. 
Apakah kau membalas surat-suratnya?"  
"Aku tidak pernah mengirimkan balasan."  
"Bagus, namun  tidak memperlihatkan surat dan 
hadiahnya padaku, ayahmu sendiri, itu tak dapat 
dimaafkan."  
"Aku selalu memberitahu Ibu, dan setiap kali dia 
mengembalikan hadiah-hadiah itu, kecuali hadiah-
hadiah untuk kesempatan khusus."  
perdikan  menatap putrinya, lalu betari durga . 
"Sebagai ayah, aku selalu gelisah khawatir , namun  kali ini aku 
kurang waspada. Aku sama sekali tidak tahu. Aku 
memang mendengar bahwa si kuyang  lihai, namun  aku 
tak pernah membayangkan bahwa dia akan tertarik 
pada putriku!"  
betari durga  menggaruk-garuk kepala. Ia malu sekali, 
wajahnya menjadi merah padam. saat  perdikan  
mulai tertawa , ia agak lega, namun tetap tersipu-sipu. Meskipun ia tidak tahu bagaimana perasaan nyi momo  terhadapnya, ia sudah  jatuh cinta pada gadis lesbian itu.  
   "tole !" panggil perdikan  begitu sampai di 
rumahnya. Istrinya bergegas menyambut. "Siapkan 
anggur . Aku bawa   tamu," perdikan  berkata dengan kasar.  "Hmm, siapa?"  
"Teman putri kita."  
betari durga  muncul di belakangnya.  
"Tuan panembahan ?"  
"tole , sampai hari ini kau tidak menceritakan apa-
apa padaku. Sikap ini sungguh tak patut bagi istri 
centeng adipati . Rupanya Tuan panembahan  dan nyi momo  sudah  agak lama saling mengenal. Kau pun mengetahuinya, jadi kenapa kau tidak memberitahu aku?"  
"Aku pantas dimarahi. Aku menyesal sekali."  
"Baiklah, namun  sekarang betari durga  pasti bertanya-tanya ayah macam apa aku ini?"  
"nyi momo  menerima banyak surat, namun  dia tak pernah menyembunyikan surat-surat itu dariku."  
"Memang sudah seharusnya begitu."  
"Lagi pula, nyi momo  anak pintar. Sebagai ibunya, aku percaya dia tidak pernah berbuat salah. sebab  itu aku merasa tidak sepatutnya kau diganggu setiap kali nyi momo  menerima surat dari para laki-laki di kota ini."  
"Di situlah letak kekeliruanmu. Aku sungguh-
  sungguh tidak mengerti anak muda zaman sekarang laki-laki maupun wanita lesbian !" Ia berpaling pada betari durga  yang sedang menggaruk-garuk kepala sambil tersipu-sipu sebab  jalannya terhalang, sehingga tak 
bisa masuk, dan tawa nya meledak.  
betari durga  bahagia sekali sebab  ayah gadis lesbian yang dicintainya mengundangnya ke rumah mereka, dan jantungnya berdebar-debar.  
"Ayo, jangan seperti patung!" perdikan  meng-
ajaknya ke ruang tamu, yang, walaupun merupakan 
ruangan terbaik di rumah itu, berukuran kecil.  
Rumah-rumah petak para pemanah tidak lebih 
nyaman dibandingkan dengan rumah betari durga . 
Semua pengikut sinuhun , tak peduli apa pun pangkatnya, hidup sederhana. Di rumah ini pun, satu-satunya hal yang mencolok adalah seperangkat baju tempur.  "Ke mana nyi momo ?"  
"Dia di kamarnya." Istrinya menawarkan  air pada betari durga .  
"Kenapa dia tidak keluar dan menyalami tamu kita? 
Kalau aku di rumah, dia selalu kabur dan ber-
sembunyi."  "Mungkin dia sedang berganti pakaian dan merapikan rambut."  
"Itu tidak perlu. Suruh dia ke sini untuk meng-
dwikerto ngkan anggur . Tidak apa-apa kalau kita menyajikan makanan seadanya pada betari durga ."  "Astaga! Jangan berkata seperti itu."  
betari durga  semakin kikuk. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Terhadap para pengikut yang tidak ramah di benteng kota ia bersikap berani dan lancang, namun  di sini ia tak lebih dari pemuda pemalu.  Akhirnya nyi momo  keluar untuk menyambutnya secara resmi. Wajahnya didandani tipis-tipis. "Tak banyak yang dapat kami sajikan, namun  semoga Tuan merasa 
seperti di rumah sendiri." lalu  ia membawa  kan 
nampan berisi makanan dan sebotol anggur .  
betari durga  menjawab  semua pertanyaan perdikan  
seakan-akan hanya setengah sadar, sambil terus-
menerus mengagumi sosok dan gerak-gerik nyi momo . Profilnya elok sekali, katanya dalam hati. Yang paling membuatnya terkesan adalah keanggunan nyi momo  yang tidak dibuat-buat, sesederhana kain katun. gadis lesbian itu tidak genit seperti wanita lesbian -wanita lesbian  lain yang pura-pura malu atau banyak lagak. Orang bisa saja berpendapat bahwa ia agak kurus, namun  dari tubuhnya  tercium wangi bunga hutan di malam bulan purnama. betari durga  mabuk kepayang.  
"Mau tambah  lagi?" perdikan  menawarkan .  
"Terima kasih."  
"Katamu kau menyukai anggur ."  
"Betul."  
"Kau tidak apa-apa? Kau tidak terlalu banyak 
minum, bukan?"  
"Aku minum sedikit demi sedikit saja, terima kasih." 
Sambil duduk di ujung kursi, dengan botol anggur  di 
hadapannya, betari durga  menatap wajah nyi momo  yang 
dalam kerlap-kerlip cahaya lentera tampak begitu 
  
putih. saat  mata nyi momo  tiba-tiba beralih ke arahnya, 
betari durga  cepat-cepat mengusap wajah dengan satu 
tangan, dan berkata bingung, "Ah, pengaruh anggur  
sudah mulai terasa." Ia tersipu-sipu saat  mengetahui 
bahwa ia sendiri lebih sadar akan sikapnya dibandingkan  
nyi momo .  
Sekali lagi terlintas di benaknya bahwa jika 
waktunya sudah tiba, ia pun harus menikah. Dan jika 
ia harus mengambil istri, wanita lesbian  yang dipilihnya 
haruslah cantik. Ia bertanya-tanya, sanggupkah nyi momo  
menanggung kemiskinan dan penderitaan, dan 
melahirkan anak-anak yang sehat untuknya? Dalam 
keadaannya sekarang, betari durga  pasti mengalami 
masalah keuangan jika mulai berumah tangga. Dan ia 
sadar bahwa di masa depan ia takkan puas dengan 
kekayaan semata-mata, dan bahwa segunung kesulitan 
sudah  menunggunya.  
Kalau memandang wanita lesbian  dari segi kecocokan 
sebagai calon istri, tentu ada pertimbangan seperti 
budi pekerti dan penampilan. Namun lebih penting 
lagi untuk menemukan wanita lesbian  yang dapat 
menyayangi ibunya, seorang petani yang boleh 
dibilang buta huruf, dan  sanggup mendukung 
pekerjaan suaminya dari balik layar. Disamping harus 
memiliki kedua sifat itu, ia pun harus merupakan 
wanita berhati teguh yang mampu memikul 
kemiskinan mereka. Kalau saja nyi momo  seperti itu... pikir 
betari durga  berulang-ulang.  
 
  
Bukan baru malam itu betari durga  mulai tertarik 
pada nyi momo . Jauh sebelumnya, ia sudah  menganggap 
putri perdikan  sebagai wanita lesbian  yang cocok 
untuknya. Ia memperhatikan nyi momo  tanpa mengetahui 
siapa nyi momo  sebetulnya , dan diam-diam mengirimkan 
surat dan hadiah. namun  malam itu, untuk pertama kali 
ia merasa percaya.  
"nyi momo , ada yang perlu kubicarakan dengan 
betari durga , jadi tolong tinggalkan kami sejenak." 
saat  perdikan  mengatakan ini, betari durga  sudah 
membayangkan dirinya sebagai menantu perdikan , 
dan ia kembali tersipu-sipu.  
nyi momo  meninggalkan ruangan, dan perdikan  
duduk agak lebih tegak.  
"panembahan , aku ingin bicara dari hati ke hati. Aku 
tahu kau orang yang selalu berterus terang."  
"Silakan utarakan apa saja." betari durga  gembira 
sebab  ayah nyi momo  bersikap begitu akrab, meski belum 
tentu pembicaraan mereka akan berjalan seperti yang 
diharapkannya. Ia pun duduk lebih tegak, siap 
membantu, apa pun yang akan ditanyakan perdikan .  
"Yang ingin kukatakan... ehm, nyi momo  sudah cukup 
umur untuk berumah tangga."  
"Memang." Kerongkongan betari durga  terasa kering 
dan seolah-olah tersumbat.  
Walaupun anggukan kepala sebetulnya  sudah 
cukup, ia merasa perlu memberi komentar. Ia sering 
mengatakan sesuatu saat tak perlu.  
"Masalahnya, aku sudah  menerima sejumlah lamaran 
  
untuk nyi momo  dari orang-orang yang kedudukannya 
lebih tinggi dibandingkan  kami," perdikan  melanjutkan. 
"Dan sebagai ayahnya, aku tidak tahu mana yang harus 
kupilih."  
"Itu bukan tugas ringan."  
"Di pihak lain..."  
"Ya?"  
"Laki-laki yang dianggap cocok oleh seorang ayah 
mungkin saja tidak berkenan di hati anak 
wanita lesbian nya."  
"Aku mengerti. Seorang wanita lesbian  hanya hidup 
satu kali, dan kebahagiaannya tergantung pada laki-
laki yang dinikahinya."  
"Ada seorang pengikut yang selalu mendampingi 
junjungan kita. Namanya madya brawirgo . Kau tentu 
mengenalnya."  
"Tuan madya?" betari durga  mengedip-ngedipkan 
mata. Pembicaraan mereka sudah  berbelok ke arah 
yang tak disangka.  
"Betul. Tuan madya berasal dari keluarga baik-baik, 
dan sudah berulang kali dia menyatakan keinginannya 
untuk mempersunting nyi momo ."  
Tanggapan betari durga  lebih mirip  desahan 
dibandingkan  jawab an. Tiba-tiba saja sudah  muncul saingan 
berat. Wajah tampan brawirgo , suaranya yang jernih, 
dan  sopan santun yang dipelajarinya sebagai pelayan 
aidit , semuanya itu membuat betari durga , yang 
tak memiliki  kepercayaan akan tampangnya sendiri, 
merasa iri. Bagaimanapun, ia tak sanggup mencegah 
  
orang-orang memanggilnya kuyang . sebab  itu, tak 
ada yang lebih dibencinya dibandingkan  mendengar 
seseorang dinamakan  "laki-laki tampan". Dan tak ada yang 
meragukan bahwa brawirgo  menyandang sebutan itu.  
"Apakah Tuan akan memberikan nyi momo  padanya?" 
Tanpa disengaja, mereka sudah  melewati batas omong-
omong belaka.  
"Apa? Tidak," ujar perdikan  sambil meng-
gelengkan kepala. Ia mengangkat baskom ke bibir, 
seakan-akan terbangun dari lamunan. "Sebagai ayah, 
aku tentu gembira jika memperoleh  laki-laki sopan 
seperti brawirgo  sebagai menantu, dan aku sudah 
menerima baik lamarannya. namun  belakangan ini 
putriku tidak mau tunduk begitu saja pada kemauan 
orangtuanya, biarpun dalam urusan seperti ini."  
"Maksud Tuan, dia tidak berkenan dengan rencana 
pernikahan ini?"  
"Dia tidak menolak, namun  juga tidak menyetujuinya. 
namun  aku menduga dia kurang suka."  
"Hmm, begitu."  
"Wah, urusan pernikahan memang merepotkan." 
Sambil bicara, roman muka perdikan  menjadi 
gelisah khawatir .  
Pada dasarnya, ini masalah kehormatan. perdikan  
mengagumi brawirgo . Ia menganggap brawirgo  sebagai 
pemuda dengan masa depan cerah. Dan saat  
brawirgo  meminta nyi momo  sebagai istri, perdikan  
langsung setuju, dan ia keburu bersukacita sebelum 
menanyai putrinya. Namun saat  ia dengan bangga 
  
memberitahukan, "Rasanya dia akan menjadi suami 
tanpa tandingan," nyi momo  sama sekali tidak tampak gembira. Ia justru kelihatan kaget. Meskipun mereka ayah dan anak, perdikan  kini menyadari bahwa 
antara mereka ada perbedaan pendapat yang 
besar dalam hal memilih pendamping hidup. 
Akibatnya perdikan  tidak tahu apa yang harus 
dilakukannya. Baik sebagai ayah maupun sebagai 
centeng adipati , ia merasa malu terhadap brawirgo .  brawirgo , sebaliknya, mengejar tujuannya secara 
terang-terangan. Ia memberitahu teman-temannya 
bahwa ia akan mempersunting putri Tuan tanah , dan 
minta mereka menjadi perantara baginya.  
perdikan  menjelaskan kesulitannya pada 
betari durga . Hari pernikahan semakin dekat. Sampai 
sekarang ia berhasil menunda-nundanya dengan 
alasan seperti, "Belakangan ini kesehatan ibunya agak 
terganggu," atau, "Menurut istriku, tahun ini tidak 
baik." namun  ia mulai kehabisan alasan dan tidak tahu 
apa yang mesti ia perbuat selanjutnya.  
"Kata orang, kau sangat cerdas. Barangkali kau bisa 
mengusulkan sesuatu?"  
perdikan  mereguk minumannya, lalu meletakkan 
baskom .  Seandainya betari durga  mabuk, hal itu tidak terlihat dari wajahnya. Sampai saat itu ia asyik menikmati angan-angannya sendiri, namun  saat  mendengar persoalan perdikan , ia tiba-tiba menjadi serius sekali.  Sainganku sangat berat, ia berkata dalam hati.   
brawirgo  "laki-laki tampan" yang begitu tidak disukai oleh betari durga , namun  pemuda itu tak bisa dinamakan  laki-laki teladan. Dibesarkan di sebuah negeri yang dilanda  perang, ia teramat berani, namun cenderung keras 
kepala dan menganggap penting dirinya sendiri.  
Pada saat berusia tiga belas tahun, brawirgo  untuk 
pertama kali ikut berperang dalam centeng  
aidit , dan kegagahannya terbukti saat  ia 
kembali sambil menenteng kepala musuh. Baru-baru ini, sewaktu pengikut saudara laki-laki aidit  
memberontak, ia bertempur dengan ganas di barisan depan junjungannya. saat  prajurit musuh memanah  mata brawirgo , brawirgo  melompat turun dari kudanya, memenggal kepala orang itu, lalu memberikannya pada aidit . Semuanya tanpa 
mencopot anak panah itu  dari matanya.  
Ia laki-laki berani dan tampan, meskipun mata 
kanannya kini tertutup hampir rapat; sekilas 
kelihatannya seakan-akan ada jarum di kulitnya yang  putih bersih.  
"Jadi, bagaimana dengan brawirgo ? Tindakan apa 
yang harus kuambil?" tanya perdikan .  
Mereka duduk bersama-sama, seperti dua orang 
yang sudah  hilang harapan.  betari durga  pun, yang biasanya tak pernah kekurangan akal, tidak tahu apa yang harus ia katakan. 
Akhirnya ia berujar, "Hmm, jangan gelisah khawatir . Kita pasti menemukan jalan keluarnya."  
betari durga  kembali ke benteng kota. Kepentingannya  sendiri tidak dikejarnya lagi; ia hanya memikirkan  persoalan perdikan . Ia menganggap suatu  kehormatan bahwa ayah gadis lesbian yang dicintainya  mempercayakan rahasia keluarga padanya, bahkan minta saran, walaupun masalah itu menjadi beban bagi dirinya.  
betari durga  menyadari betapa dalam cintanya kepada nyi momo .  
Inikah yang dinamakan cinta? Ia bertanya-tanya, 
sambil berusaha raemahami gejolak misterius di 
hatinya. Mengucapkan kata "cinta" menimbulkan 
perasaan tak enak dalam dirinya. Ia tidak menyukai 
kata yang seakan-akan melekat pada bibir semua orang 
itu. Bukankah sejak kecil ia sudah  dijauhi oleh cinta? 
Baik tampang maupun sikapnya senjata-senjata yang 
dipakainya untuk menghadapi dunia menjadi bahan 
ejekan wanita lesbian -wanita lesbian  cantik yang ditemui-
nya. Namun ia pun tergerak oleh keindahan dan 
cinta.  
Dan ia memiliki kesabaran yang tak terbayangkan 
oleh orang-orang yang mencemoohnya.  
Walaupun terus dihina dan dicela, ia bukan orang 
yang mudah menyerah.  
Kelak akan kutunjukkan siapa aku, ia bersumpah 
dalam hati. wanita lesbian -wanita lesbian  berhati lapang akan 
berebut untuk menarik perhatian laki-laki jelek dan kecil ini. 
Pikiran inilah yang memacunya. Dan perasaan ini pula 
yang sudah  membentuk pandangannya mengenai 
wanita lesbian  dan cinta, bahkan sebelum ia 
  
menyadarinya. betari durga  memandang rendah laki-laki 
yang mengagung-agungkan kecantikan wanita lesbian . Ia 
menganggap hina mereka yang menjadikan cinta 
sebagai khayalan dan misteri, yang menempatkannya 
sebagai kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan 
manusia, dan merasa nikmat dalam kesedihan sendiri.  
namun , ia berkata dalam hati, dalam kasus nyi momo  aku 
tidak keberatan mengakui bahwa aku sudah  jatuh cinta. 
Perasaan cinta dan benci sepenuhnya tergantung pada 
orang yang mengalaminya, dan sesudah  bisa menerima 
sudut pandang itu , ia pun jadi bisa 
berkomprgunungselatan. Sebelum terlelap, ia memejamkan mata 
dan membayangkan profil wajah nyi momo .  
Keesokan harinya pun betari durga  masih bebas tugas. 
Rumah barunya, yang ia kunjungi pada hari 
sebelumnya, perlu diperbaiki, dan ia juga harus 
mencari perabotan. Namun betari durga  tetap di 
benteng kota, sebab  ingin menemui brawirgo  yang terus 
mendampingi aidit . Dari pelataran kayu tempat 
mereka duduk, brawirgo  memandang para pengikut 
aidit  dengan tatapan lebih congkak dibanding-
kan tatapan majikannya. Jika orang seperti betari durga  
menghadap aidit , brawirgo  mendengarkan 
mereka sambil tersenyum melecehkan.  
Lagi-lagi si kuyang ? brawirgo  bahkan tak perlu 
mengucapkannya. Entah bagaimana, matanya yang 
tinggal sebelah seakan-akan sanggup menembus 
seseorang. betari durga  menganggapnya angkuh, dan 
jarang bergaul dengannya.  
  
Pada waktu betari durga  sedang berbincang-bincang 
dengan penjaga di gerbang utama, seseorang 
melewatinya dan berkata, "Tuan betari durga , Tuan 
bebas tugas hari ini?"  
betari durga  menoleh. Ternyata brawirgo -lah yang 
menyapanya. betari durga  segera mengejarnya dan 
berkata, "Tuan brawirgo , ada persoalan pelik yang 
ingin kubicarakan."  
Seperti biasa, brawirgo  memandangnya dengan 
tatapan angkuh. "Persoalan tugas atau urusan pribadi?"  
"Urusan pribadi."  
"Kalau begitu, sekarang bukan waktu yang tepat. 
Aku baru menyelesaikan suatu urusan untuk Yang 
Mulia, dan aku tak punya waktu untuk mengobrol. 
Nanti saja." sesudah  menolak mentah-mentah, ia 
langsung pergi.  
Orangnya tidak menyenangkan, namun  bukannya 
tanpa kelebihan, betari durga  terpaksa mengakui. 
Ditinggal begitu saja, betari durga  menatap sosok 
brawirgo  dengan pandangan kosong. lalu  ia 
pun berlalu, berjalan dengan langkah-langkah panjang. 
Ia menuju kota. Setibanya di rumahnya yang baru, ia 
melihat seorang laki-laki sedang mencuci gerbang dan 
laki-laki lain membawa   barang-barang ke dalam.  
Jangan-jangan aku salah alamat? pikir betari durga .  
Pada waktu ia menatap berkeliling, suara seorang 
laki-laki terdengar dari dapur, "Hai! Tuan panembahan ."  
"Oh, ternyata kau."  
"Apa ini, 'Oh, ternyata kau'? Tuan ke mana saja? 
  
Membiarkan orang lain membawa   perabot dan 
membersihkan rumah!" Orang itu bekas rekan 
kerjanya di dapur. "Hmm, hmm. Dalam waktu 
demikian singkat Tuan sudah  maju jauh."  
betari durga  masuk seakan-akan bertamu di rumahnya 
sendiri. Di dalam ia menemukan sebuah lemari berlaci 
yang masih baru dan  sebuah rak.  
Semuanya hadiah dari teman-teman yang memperoleh 
kabar mengenai kenaikan pangkatnya, lalu, saat  
mengetahui bahwa si pemilik rumah yang tak kenal 
susah sedang pergi, mereka membersihkan seluruh 
rumah, memasukkan perabot, dan akhirnya masih 
sempat mencuci gerbang.  
"Terima kasih. Kalian sungguh murah hati." Sambil 
menahan malu, betari durga  segera bersiap-siap 
membantu. Namun rupanya pekerjaan yang belum 
rampung tinggal mengisi botol-botol anggur .  
"Tuan panembahan ," ujar salah seorang pemasok 
benteng kota, yang merasa berutang budi sejak betari durga  
masih bekerja sebagai pengawas arang dan kayu bakar. 
saat  mengintip ke dapur, betari durga  melihat pelayan 
wanita lesbian  berbadan gemuk sedang mencuci dan 
menggosok. "Dia dari desa kami. Sekarang ini Tuan 
tentu sibuk. Mengapa Tuan tidak mempekerjakan dia 
untuk sementara waktu?"  
betari durga  memanfaatkan kesempatan itu dan 
berkata, "Aku juga memerlukan jongos dan seorang 
tukang, jadi jika kau mengenai seseorang, aku 
berterima kasih sekali."  
  
lalu  mereka duduk membentuk lingkaran 
dan merayakan rumah baru betari durga .  
Untung saja aku datang ke sini. Bayangkan kalau aku, 
sebagai tuan rumah, tidak muncul. betari durga  merasa 
malu. Ia tidak menganggap dirinya orang yang 
gampang bergaul, namun kini ia menyadari bahwa ia 
memiliki kecenderungan untuk bersikap demikian.  
saat  mereka sedang minum-minum, para istri 
rekan-rekan kerjanya yang baru mampir untuk 
mengucapkan selamat kepada betari durga .  
"Hai, Tuan betari durga !" salah satu tamunya berseru.  
"Ada apa?"  
"Ada apa?! Apakah Tuan sudah mengunjungi 
rumah-rumah di sekitar sini untuk memperkenalkan 
diri?"  
"Oh, belum!"  
"Apa? Belum? Apakah Tuan termasuk jenis orang 
yang menari dan menyanyi, sambil mengharapkan 
orang lain untuk datang dan memperkenalkan diri? 
Wah, lebih baik Tuan segera berganti pakaian dan 
berkeliling. Tuan bisa menyelesaikan dua urusan 
sekaligus dengan membungkuk di depan setiap 
rumah, dan memberitahu mereka bahwa Tuan 
ditugaskan di kandang."  
Beberapa hari lalu  ia sudah  memperoleh  
pelayan baru. Seorang laki-laki yang sedesa dengan si 
pelayan wanita lesbian  datang melamar pekerjaan. Selain 
orang itu, betari durga  mempekerjakan satu orang lagi. 
Tiba-tiba saja ia sudah  memiliki tempat tinggal dan 
  
sejumlah pelayan, dan menjadi tuan rumah di 
rumahnya sendiri, biarpun upahnya tidak seberapa. 
Kini, setiap kali betari durga  berangkat dari rumah 
tentu saja dengan mengenakan mantel bekas berwarna 
biru, dengan lambang kembang paulownia berwarna 
putih ia diantar sampai ke gerbang oleh para 
pelayannya.  
Pagi itu, sambil berangan-angan bahwa hidupnya 
akan sempurna seandainya nyi momo  bersedia menjadi 
istrinya, ia berjalan menyusuri parit di luar benteng kota. 
betari durga  begitu sibuk dengan pikirannya sendiri, 
sehingga tidak melihat laki-laki yang datang dari arah 
berlawan an. Orang lain mungkin saja beranggapan 
bahwa ia masih asyik membayangkan nyi momo , namun 
sebetulnya  ia memikirkan masalah pertahanan 
benteng kota. Parit itu begitu dangkal, sehingga kalau 
hujan tak kunjung turun selama sepuluh hari saja, 
dasarnya sudah kelihatan. Dalam keadaan perang, jika 
centeng  musuh melemparkan seribu kantong pasir ke 
dalamnya, mereka bisa membuka alur penyerangan. 
Disamping itu, air minum di benteng kota juga tidak 
mencukupi.  
Artinya, titik lemah benteng kota ini adalah persediaan 
air. Jumlahnya takkan memadai jika benteng kota dikepung 
musuh... saat  ia bergumam-gumam, seorang laki-laki 
tinggi-besar menghampiri dan menepuk pundaknya.  
"Tuan kuyang . Apakah Tuan sedang bertugas 
sekarang?"  
betari durga  menatap wajah orang itu, dan sesaat  
  
memperoleh  pemecahan untuk masalah yang 
dihadapinya.  
"Tidak, ini waktu yang cocok," ia menjawab  
sejujurnya.  
Ia berhadapan dengan madya brawirgo . Sejak 
pertemuan singkat di gerbang utama, belum ada 
kesempatan lagi untuk berbicara. Bahwa mereka 
secara kebetulan berpapasan di luar benteng kota 
dianggapnya pertanda baik.  
Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, 
brawirgo  sudah  mendahuluinya.  
"Tuan kuyang , tempo hari Tuan menyinggung soal 
pelik yang ingin Tuan bicarakan denganku. Aku 
sedang bebas tugas, jadi aku ada waktu untuk 
mendengarkan Tuan."  
"Ehm, yang ingin kukatakan..." betari durga  
memandang berkeliling dan menyingkirkan debu dari 
sebongkah batu di tepi parit. "Urusan semacam ini tak 
bisa dibahas sambil berdiri. Silakan duduk dahulu ."  
"Ada apa sebetulnya ?"  
betari durga  berbicara terus terang, dan hasrat yang ia 
rasakan tecermin di wajahnya. "Tuan brawirgo , Tuan 
mencintai nyi momo ?"  
"nyi momo ?"  
"Putri Tuan tanah ."  
"Ah, dia."  
"Tuan tentu mencintainya."  
"Apa urusan Tuan?"  
"Sebab, kalau memang begitu, aku ingin 
  
memperingatkan Tuan. Kelihatannya, berhubung 
Tuan tidak memahami situasi sebetulnya , Tuan 
sudah  minta bantuan seorang perantara demi mem-
peroleh persetujuan ayah gadis lesbian itu untuk menikahi 
putrinya."  
"Apakah itu salah?"  
"Ya."  
"Di mana letak kesalahannya?"  
"Hmm, sebetulnya  nyi momo  dan aku sudah bertahun-
tahun saling mencintai."  
Pandangan brawirgo  melekat pada wajah betari durga , 
dan tiba-tiba seluruh tubuhnya terguncang-guncang 
oleh gelak tawa . Dengan mengamati roman muka 
lawan  bicaranya, betari durga  segera tahu bahwa ia 
takkan dianggap serius, sehingga ia pasang tampang 
lebih serius lagi.  
"Ini bukan urusan yang patut ditertawa kan. nyi momo  
bukan wanita lesbian  yang mau mengkhianatiku dan 
menyerahkan dirinya pada laki-laki lain, apa pun 
alasannya."  
"Begitukah?"  
"Kami sudah  saling mengikat janji."  
"Hmm, kalau itu persoalannya, aku tidak 
keberatan."  
"namun  ada satu orang yang menganggapnya masalah 
besar, yaitu ayah nyi momo . Jika Tuan tidak menarik 
lamaran Tuan, Tuan perdikan  bagaikan menghadapi 
buah simalakama, dan terpaksa melakukan bunuh diri 
ritual."  
  
"Seppuku?"  
"Rupanya Tuan perdikan  tidak mengetahui 
kesepakatan antara nyi momo  dan aku, sehingga menerima 
baik lamaran Tuan. namun  sebab  situasi yang baru saja 
kujelaskan, nyi momo  menolak rencana itu."  
"Hmm, kalau begitu, siapa yang akan mem-
persuntingnya?"  
Ditantang seperti itu, betari durga  menunjuk dadanya 
dan berkata, "Aku."  
brawirgo  kembali tertawa , namun tidak sekeras tadi. 
"Tuan kuyang , janganlah berkelakar melebihi batas. 
Pernahkah Tuan menatap ke dalam cermin?"  
"Tuan menuduh aku berbohong?"  
"Untuk apa nyi momo  mengikat diri dengan seseorang 
seperti Tuan?"  
"Seandainya benar, apa yang akan Tuan lakukan?"  
"Kalau memang begitu, aku akan mengucapkan 
selamat."  
"Maksud Tuan, Tuan takkan keberatan kalau nyi momo  
dan aku menikah?"  
"Tuan kuyang ..."  
"Ya?"  
"Orang-orang akan tertawa ."  
"Tak ada yang sanggup mengubah hubungan yang 
didasarkan atas cinta, biarpun kami ditertawa kan."  
"Rupanya Tuan memang bersungguh-sungguh?"  
"Ya. Jika seorang wanita lesbian  tidak menyukai laki-
laki yang hendak meminangnya, dia akan mengelak 
dengan cerdik, seperti dahan yang mengikuti tiupan 
  
angin. Kalau begitu, si laki-laki tidak boleh merasa 
dipermainkan. Disamping itu, kuharap Tuan jangan 
menaruh dendam terhadap Tuan perdikan  jika 
nyi momo  menikah denganku. Itu hanya akan 
mengundang cercaan orang."  
"Inikah yang ingin Tuan bicarakan denganku?"  
"Ya, dan aku berterima kasih sekali atas tanggapan 
Tuan. Kumohon agar Tuan tidak melupakan janji 
yang baru saja Tuan ucapkan." betari durga  
membungkuk, namun  saat  ia mengangkat kepala, 
brawirgo  sudah  menghilang.  
Beberapa waktu lalu , betari durga  berkunjung 
ke rumah perdikan .  
"Mengenai hal yang kita bicarakan tempo hari," 
betari durga  berkata dengan nada resmi, "aku sudah  
menemui Tuan brawirgo  dan menjelaskan kesulitan 
Tuan kepadanya. Dia mengatakan, jika putri Tuan 
tidak berkenan menjadi istrinya, dan jika memang 
sudah ada ikatan di antara kami berdua, tak ada yang 
dapat dilakukan. Tampaknya dia bisa menerima 
kenyataan."  
saat  panembahan  menyampaikan ceritanya tanpa 
berbelit-belit, wajah perdikan  memperlihatkan 
bahwa ia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.  
betari durga  melanjutkan, "Perlu diketahui bahwa 
Tuan brawirgo  merasa menyesal, jadi dia akan 
keberatan seandainya putri Tuan dipersunting oleh 
orang lain selain aku. Kalau nyi momo  dan aku sudah 
saling berjanji menjadi suami-istri, Tuan brawirgo , 
  
meski dengan berat hati, akan menarik kembali 
lamarannya. Dia akan menerimanya secara jantan dan 
akan mengucapkan selamat padaku. Namun dia akan 
sangat tidak senang seandainya Tuan memberikan 
nyi momo  kepada orang lain."  
"Tunggu dahulu , panembahan . Kalau aku tidak salah 
dengar, Tuan brawirgo  tidak keberatan kalau nyi momo  
menikah denganmu, namun  tidak dengan orang lain?"  
"Itu benar."  
"Astaga! Siapa yang mengatakan bahwa kau boleh 
menikahi nyi momo ? Dan kapan?"  
"Terus terang, tak seorang pun."  
"Apa-apaan ini? Kaupikir aku menyuruhmu 
berbohong pada Tuan brawirgo ?"  
"Ehm..."  
"Omong kosong macam apa yag kauceritakan pada 
Tuan brawirgo ? Mengaku bahwa kau dan nyi momo  
bertunangan, itu sungguh menggelikan. Keterlaluan!" 
perdikan , yang biasanya sabar, mulai naik darah. 
"sebab  kau yang mengarang cerita itu, orang-orang 
mungkin menganggapnya lelucon belaka. Namun 
sebagai lelucon pun ini teramat memalukan bagi 
seorang gadis lesbian yang belum menikah. Kaupikir ini lucu?"  
"Tentu saja tidak." betari durga  menundukkan kepala. 
"Akulah yang membuat kesalahan ini. Aku tidak 
bermaksud melangkah demikian jauh. Aku menyesal."  
perdikan  tampak muak. "Aku tidak butuh 
penyesalanmu. Akulah yang membuat kesalahan, 
membeberkan rahasia keluarga pada orang yang 
  
kukira lebih berakal sehat."  
"Sungguh, aku..."  
"Ah, pulanglah. Apa lagi yang kautunggu? 
Kehadiranmu di sini tidak diharapkan lagi."  
"Baiklah, aku akan menutup mulut, sampai rencana 
pernikahan kami diumumkan."  
"Dasar!" Kesabaran perdikan  akhirnya habis juga. 
Ia menghardik betari durga , "Kaupikir aku akan 
memberikan nyi momo  pada orang seperti kau? Dia takkan 
bersedia, biarpun aku memerintahkannya."  
"Hmm, justru itu masalahnya, bukan?"  
"Apa maksudmu?"  
"Tak ada yang lebih misterius dibandingkan  cinta. nyi momo  
mungkin tidak mau berterus terang, namun  dalam hati 
dia tidak menginginkan siapa pun sebagai suami selain 
aku. Sebetulnya tak patut aku mengatakannya, namun  
lamaranku tidak kusampaikan pada Tuan, melainkan 
kepada putri Tuan. nyi momo -lah yang berharap agar aku 
meminta dia menjadi istriku."  
perdikan  melongo. Inilah orang paling tak tahu 
diri yang pernah ditemuinya! Mudah-mudahan 
betari durga  akan pulang jika ia pasang tampang masam 
dan berdiam diri. namun  betari durga  terus duduk, tanpa 
memperlihatkan tanda-tanda akan pergi.  
betari durga  malah berkata dengan tenang, "Aku tidak 
bohong. Silakan tanyakan pada nyi momo , apa 
sebetulnya  yang tersimpan di dalam hatinya."  
Habis sudah kesabaran perdikan . Sambil mem-
balikkan badan, seakan-akan tak tahan lagi, ia berseru 
  
pada istrinya di ruang sebelah, "tole ! tole !"  
Dengan cemas tole  menatap suaminya lewat pintu 
yang terbuka.  
"Kenapa tidak kaupanggil nyi momo  ke sini?" perdikan  
bertanya.  
"namun ..."  
Istrinya berusaha menenangkan suasana, namun  
perdikan  langsung memanggil, "nyi momo ! nyi momo !"  
nyi momo , takut kalau-kalau terjadi sesuatu, datang dan 
berlutut di samping ibunya.  
"Sini!" perdikan  berkata dengan ketus. "Tentunya 
kau tidak memberikan janji apa pun pada Tuan 
panembahan  ini tanpa persetujuan orangtuamu, bukan?"  
Pertanyaan ini amat mengejutkan gadis lesbian itu. Dengan 
mata terbelalak, ia menatap ayahnya dan betari durga  
yang duduk sambil menundukkan kepala.  
"Bagaimana, nyi momo ? Ini menyangkut kehormatan 
keluarga kita, juga kehormatanmu sendiri. Sebaiknya 
kau berterus terang. Tentunya hal semacam ini tidak 
terjadi."  
nyi momo  terdiam sejenak, namun  akhirnya ia berkata 
dengan tegas, "Tidak ada janji apa pun."  
"Tidak ada, bukan?" Dengan senyum kemenangan, 
diiringi desahan lega, perdikan  membusungkan 
dada.  
"namun , Ayah..."  
"Apa?"  
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan, mumpung Ibu 
juga hadir."  
  
"Silakan."  
"Aku punya permintaan. Jika Tuan panembahan  
menginginkan seseorang yang tak pantas seperti aku 
sebagai istrinya, harap Ayah menyetujuinya."  
"A... apa?" perdikan  tergagap-gagap.  
"Ya."  
"Sudah hilangkah akal sehatmu?"  
"Urusan sepenting ini tak boleh dianggap enteng. 
Aku malu membicarakan hal ini, bahkan dengan 
orangtuaku sendiri, namun  demi kebaikan kita semua, 
aku terpaksa membicarakannya secara terbuka."  
perdikan  mengerang dan menatap putrinya 
dengan tercengang.  
Luar biasa! Dalam hati betari durga  memuji-muji sikap 
nyi momo , dan ia merasa gembira sekali. namun  lebih dari 
itu, ia tak mengerti mengapa gadis lesbian sepolos nyi momo  
bersedia menaruh kepercayaan penuh kepadanya.  
Hari sudah  malam. betari durga  berjalan pulang sambil 
termenung-menung.  
Jika orangtuanya mengizinkan, ia ingin menjadi istri 
Tuan panembahan , itu yang dikatakan nyi momo  tadi. 
Walaupun kedua kakinya terus melangkah, 
kegembiraan betari durga  begitu meluap-luap, sehingga 
ia nyaris tidak sadar. Ucapan nyi momo  terkesan sungguh-
sungguh, namun tetap saja ada rasa ragu di hatinya. 
Betulkah dia mencintaiku? Kalau dia memang 
mencintaiku, kenapa dia tak pernah mengatakannya 
padaku? betari durga  bertanya-tanya. betari durga  sudah 
sering mengirim surat dan hadiah secara diam-diam, 
  
namun  sampai sekarang nyi momo  tak sekali pun memberikan 
jawaban pasti yang membesarkan hati.  
sebab  itu, betari durga  berkesimpulan bahwa nyi momo  
tidak menyukainya. Dan bagaimana dengan cara ia 
menangani brawirgo  dan perdikan ? Ia hanya 
bertindak sesuai wataknya yang ambisius. Ia hanya 
berpegang pada harapannya sendiri, tanpa memikir-
kan bagaimana perasaan nyi momo  sebetulnya . Ia ingin 
menikah dengan nyi momo . Ia harus menikah dengan 
gadis lesbian itu.  
Namun keterusterangan nyi momo  di depan ayah dan 
ibunya mengenai keinginannya untuk menikahi 
betari durga  apalagi pada saat betari durga  juga hadir 
memerlukan keberanian yang tidak sedikit. Pengakuan 
nyi momo  lebih mengherankan betari durga  dibandingkan  
mengejutkan ayahnya.  
Sampai betari durga  mohon diri, perdikan  duduk 
dengan wajah masam dan kecewa, tanpa menyetujui 
permintaan putrinya. Ia hanya duduk sambil 
mendesah perlahan, bingung; mengasihani dan 
meremehkan akal sehat nyi momo . Dengan sedih ia 
bergumam, "Selera orang memang tak bisa ditebak."  
betari durga  pun merasa rikuh. "Besok-besok aku akan 
kembali untuk melanjutkan pembicaraan ini," katanya 
sambil bersiap-siap pergi.  
perdikan  membalas, "Aku akan memikirkannya. 
Aku akan memikirkannya."  
Ucapannya merupakan penolakan tak langsung. 
namun  betari durga  memperoleh  harapan baru dari kata-
  
kata ini. Sampai saat itu, ia sama sekali tidak 
mengetahui perasaan nyi momo . namun  kalau nyi momo  sudah 
membulatkan tekad, ia percaya bahwa ia akan sanggup 
mengubah pendirian perdikan . "Aku akan 
memikirkannya," bukanlah penolakan tegas. Jadi, 
betari durga  merasa ia sudah  berhasil memperistri nyi momo .  
betari durga  masih sibuk dengan pikirannya sendiri 
saat  memasuki rumahnya dan duduk di ruang 
utama. Ia memikirkan rasa percaya dirinya, perasaan 
nyi momo , dan waktu yang tepat untuk pernikahan 
mereka.  
"Ada surat dari lemahlaban  untuk Tuan."  
Begitu betari durga  duduk, seorang pelayan meletak-
kan sepucuk surat dan bungkusan berisi tepung padi 
di hadapannya. Perasaan rindu yang tiba-tiba 
menyerangnya memberitahu betari durga  bahwa surat 
itu dari ibunya.  
 
Tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkan rasa 
terima kasih kami atas hadiah-hadiah yang selalu 
kaukirimkan: kue-kue dan pakaian untuk nyi kembang . Hanya 
air mata kami yang dapat membalas kebaikanmu.  
 
Sudah beberapa kali betari durga  mengirim surat pada 
ibunya. Ia sudah  bercerita mengenai rumahnya yang 
baru dan mengajak ibunya pindah dan tinggal 
bersama. Meski upahnya yang sebesar tiga puluh kan 
tidak memungkinkan untuk memenuhi seluruh 
kewajiban sebagai putra pertama, ibunya takkan 
  
kekurangan pangan maupun sandang. betari durga  juga 
memiliki  beberapa pelayan, sehingga tangan 
ibunya, yang sudah  menjadi kasar sebab  bekerja keras, 
tak perlu lagi menggosok dan mencuci. Ia juga akan 
mencarikan suami untuk nyi kembang . Dan ia akan 
membelikan anggur  lezat untuk ayah tirinya. Ia sendiri 
suka minum, dan tak ada yang lebih menggembirakan 
baginya dibandingkan  jika seluruh keluarga tinggal bersama 
dan membicarakan masa lalu mereka yang penuh 
penderitaan, sambil menikmati makan malam.  
 
Surat dari nyi girah  berlanjut:  
 
Meski kami akan bahagia jika tinggal bersamamu, aku 
percaya tugastugasmu akan terganggu sebab nya. Tentu saja 
ibumu menyadari bahwa tugas seorang centeng adipati  adalah siap 
mati setiap saat. Sekarang belum waktunya memikirkan 
kebahagiaan Ibu. Kalau Ibu teringat zaman dahulu , lalu 
memikirkan kedudukanmu sekarang, Ibu berterima kasih 
kepada para dewa, para zoroaster , dan Yang Mulia 
aidit  atas kebaikan mereka. Jangan pikirkan ibumu. 
Lebih baik kau bekerja lebih keras lagi. Tak ada yang bisa 
membuat ibumu lebih bahagia. Ibu belum lupa ucapanmu 
di gerbang pada malam dingin itu, dan Ibu sering 
memikirkannya.  
 
betari durga  berurai air mata. Berulang-ulang ia mem-
baca surat itu. Tak sepantasnya seorang majikan 
menangis di depan para pelayannya. Lebih dari itu, 
  
seorang centeng adipati  tak pantas memperlihatkan air mata 
di hadapan siapa pun. namun  betari durga  tidak seperti 
itu. Dan air matanya mengalir begitu deras, sehingga 
para pelayan merasa kikuk dan gelisah.  
"Ah, aku memang keliru. Nasihatnya benar sekali. 
Ibuku begitu cerdas. Kini belum waktunya memikir-
kan diriku dan keluargaku," ia berkata keras-keras 
pada dirinya sambil melipat surat itu. Air matanya tak 
mau berhenti, dan ia mengusap matanya dengan 
lengan baju, seperti anak kecil.  
Memang benar! ia menyadari. Sudah beberapa lama 
tidak ada perang, namun  tak seorang pun bisa memasti-
kan kapan perang akan meletus di sebuah kota 
benteng kota. Orang-orang yang tinggal di lemahlaban  justru 
aman.  
Bukan, ibuku hendak memberitahukan bahwa jalan 
pikiranku keliru. Pengabdian pada junjunganlah yang harus 
diutamakan. Penuh hormat betari durga  menempelkan 
surat ibunya ke kening, lalu berkata seakan-akan 
ibunya berada dalam satu ruangan, "Aku memahami 
nasihat Ibu, dan aku akan mematuhinya. Kalau 
kedudukanku sudah aman, dan kalau aku sudah 
memperoleh kepercayaan dari tuanku dan yang 
lainnya, aku akan mengunjungi Ibu lagi. Moga-moga 
pada saat itu Ibu bersedia tinggal di rumahku."  
lalu  ia meraih bungkusan tepung dan 
menyerahkannya pada si pelayan. "bawa   ini ke dapur. 
Kenapa kau terbengong-bengong? Salahkah jika 
seseorang menangis pada kesempatan yang tepat? 
  
Tepung ini digiling malam-malam oleh ibuku dengan 
tangannya sendiri. Serahkan pada pelayan dapur. Dan 
peringatkan dia untuk tidak membuang-buangnya. 
Tepung ini hanya boleh dipakai untuk membuat kue 
bola untukku. Sejak kecil aku suka kue itu. Kurasa 
ibuku masih mengingatnya."  
betari durga  sama sekali melupakan nyi momo . Sepanjang 
makan malam ia hanya memikirkan ibunya. Apa yang 
disantap oleh ibunya? Biarpun aku mengirimkan uang 
untuk Ibu, dia akan memakainya untuk membeli gula-gula 
untuk anaknya, atau anggur  untuk suaminya. Dia sendiri 
tetap hanya akan makan sayur tanpa bumbu. Jika ibuku 
tidak berumur panjang, aku tak tahu bagaimana aku bisa 
hidup.  
Sampai naik ke ranjang pun kepalanya masih 
dipenuhi berbagai pikiran.  
Bagaimana mungkin aku menikah sebelum Ibu tinggal 
bersamaku? Sekarang masih terlalu pagi. Lebih baik 
pernikahanku dengan nyi momo  ditunda dahulu .  
  setiap tahun, pada musim gugur, seluruh negeri 
dilanda badai-badai dahsyat. namun  angin yang bahkan 
lebih buruk lagi bertiup di sekitar jenggala . Di sebelah 
barat, dari marga kremi dan blambangan ; di sebelah selatan, dari marga prabu kertoarjowardana   di dusun nyi kembang : dan di sebelah timur, dari mpu marijan  mpu kepenuwoan  di kertanegara  semua tanda memperlihatkan bahwa jenggala  semakin ter-
kucilkan. 
Amukan badai tahun itu merusak tembok per-
tahanan luar benteng kota kedhiri  sepanjang lebih dari dua 
ratus meter. Banyak tukang kayu. tukang plester, kuli, 
dan tukang batu datang dari benteng kota untuk ikut ambil 
bagian dalam pekerjaan perbaikan. Kayu dan batu-
batu dibawa   masuk melalui Gerbang rawabening, dan 
tumpukan bahan bangunan berserakan di mana-mana, 
menghalangi jalan-jalan di benteng kota sekitar parit. 
Orang-orang yang setiap hari harus berlalu-lalang 
terang-terangan mengeluh mengenai keadaan ini: 
"Lewat mana kita harus berjalan?" 
"Kalau mereka tidak segera selesai, tembok-tembok 
terancam roboh saat badai berikut datang." 
namun  lalu  sebuah papan pengumuman di-
pasang di tempat pembangunan yang dibatasi 
kayu : Pekerjaan perbaikan. Dilarang masuk tanpa 
tzin. 
  
Pekerjaannya dilaksanakan bagai operasi militer di 
bawah  pimpinan ki raden brojolijo, yang menjabat 
sebagai pengawas pembangunan, sehingga tanpa 
disuruh pun orang-orang yang melewati daerah itu 
berbaris satu-satu. 
Pekerjaan perbaikan sudah berlangsung selama 
hampir dua puluh hari, namun  tanda-tanda kemajuan 
belum terlihat juga. Tumpukan-tumpukan bahan 
bangunan mengganggu kelancaran para pejalan kaki, 
namun tak ada yang mengeluh. Semua orang 
menyadari bahwa perbaikan tembok pertahanan 
sepanjang dua ratus meter akan memakan waktu tidak 
sedikit. 
"Siapa orang di sebelah sana itu?" brojolijo bertanya 
pada salah satu bawah annya, yang lalu  berbalik 
dan melihat ke arah yang ditunjuk. 
"Kalau tidak salah, itu Tuan panembahan  yang ber-
tugas di kandang." 
"Apa? panembahan ? Ah, ya. Bukankah dia yang 
dipanggil kuyang  oleh semua orang? Kalau dia lewat 
lagi, suruh dia kemari." perintah brojolijo. 
Si bawah an tahu bahwa majikannya kesal, sebab 
setiap hari. pada waktu berangkat kerja. panembahan  
melewati tempat pembangunan tanpa pernah mem-
beri hormat. Bukan itu saja, ia juga menginjak-injak 
tumpukan-tumpukan kayu. Tentu saja tak ada pilihan 
lain jika tumpukan itu berada di tengah jalan, namun  
kayu itu akan dipakai untuk memperbaiki benteng kota, 
dan jika seseorang pertu menginjaknya, ia seharusnya 
  
minta izin dahulu  pada orang-orang yang berwenang. 
"Dia tidak tahu sopan santun," si bawah an ber-
komentar. "Dia diangkat dari pelayan menjadi 
centeng adipati , dan belum lama ini dia diberi tempat tinggal 
di kota. Dia orang baru, jadi maklum saja." 
"Memang tak ada yang lebih menjengkelkan 
dibandingkan  kesombongan orang yang baru mulai 
menanjak. Mereka semua cenderung congkak. Ada 
baiknya kalau hidungnya kena tonjok satu kali." 
bawah an brojolijo terus menunggu betari durga . Ia baru 
muncul menjelang malam, saat  semua orang pulang 
kerja. Ia mengenakan mantel birunya, seperti biasa 
sepanjang tahun. sebab  hampir semua pekerjaan 
para petugas kandang dilaksanakan di luar, mantel itu 
sesuai dengan kebutuhannya, namun  sebetulnya  ia 
menempati posisi yang memungkinkan ia berpakaian 
lebih pantas jika ia menginginkannya. Namun nyata-
nya betari durga  seakan-akan tak pernah punya uang 
untuk keperluan pribadi. 
"Dia datang!" Anak buah brojolijo saling mengedipkan 
mata. betari durga  lewat perlahan-lahan. 
"Tunggu! Tuan panembahan ! Tunggu!" 
"Siapa, aku?" betari durga  membalik. "Ada yang bisa 
kubantu?" 
Si bawah an memintanya menunggu sejenak, lalu 
menghampiri brojolijo. Para pekerja dan kuli sudah 
mulai meninggalkan tempat itu. brojolijo sedang mem-
bicarakan pekerjaan untuk besok dengan para mandor 
tukang kayu dan tukang plester. namun  saat  men-
  
dengar bawah annya, ia segera berdiri. "Si kuyang ? 
Sudah kausuruh tunggu? bawa   dia ke sini. Kalau tidak 
ditegur sekarang, tingkahnya akan semakin menjadi-
jadi." 
betari durga  mendatanginya tanpa mengucapkan 
salam, tanpa membungkuk. Dan kini ia seakan-akan 
berkata dengan angkuh. "Kau menghentikanku. Ada 
apa?" 
Ini membuat brojolijo bertambah  gusar. Dilihat dari 
segi status, mereka sama sekali tak dapat dibanding-
kan. brojolijo putra ki raden brojolireng, penguasa 
benteng kota brojorejo , dan dengan demikian putra 
pengikut senior marga sinuhun . Kedudukannya jauh lebih 
tinggi dibandingkan laki-laki bermantel biru di 
hadapannya. 
"Dasar pongah!" Wajah brojolijo tampak merah 
padam. 
"kuyang . Hei! kuyang !" panggilnya, namun  betari durga  
tidak menanggapi. Ini tidak biasa. betari durga  dipanggil 
kuyang  oleh semua orang, mulai dari aidit  
sampai ke teman-temannya, dan ia tidak terganggu 
dengan julukan itu. namun  hari ini berbeda. 
"Kau tuli. kuyang ?" 
"Ada-ada saja." 
"Apa?" 
"Memanggil orang, lalu berbicara tak keruan. 
kuyang , kuyang ." 
"Semua orang memanggilmu dengan julukan itu. 
jadi aku pun begitu. Aku sering berada di benteng kota 
  
brojorejo , jadi aku tidak ingat namamu. Dilarangkah 
aku memanggilmu seperti yang lainnya?" 
"Ya. Ada orang yang boleh memakai  julukan 
itu dan ada yang tidak." 
"Kalau begitu, aku termasuk golongan kedua?"  
"Begitulah."   
"Jaga mulutmu! Tingkah lakumu yang harus di-
perbaiki. Kenapa kau selalu menginjak-injak 
tumpukan kayu pada waktu berangkat kerja? Dan 
kenapa kau tidak pernah menyapa kami dengan 
semestinya?" 
"Apakah itu suatu kejahatan?" 
"Rupanya kau tidak punya sopan santun sama 
sekali, ya? Aku mengatakan ini sebab  suatu hari kau 
mungkin akan menjadi centeng adipati . Sopan santun sangat 
penting bagi seorang prajurit. Setiap kali lewat di sini, 
kau pasang tampang melecehkan dan mengomel 
pelan-pelan. Tak tahukah kau bahwa di tempat ini 
berlaku disiplin yang sama seperti di medan perang? 
Dasar pongah! Kalau kau tetap bersikap seperti itu. 
aku terpaksa mengambil tindakan tegas. Inilah akibat-
nya kalau seorang pembawa   sandal diangkat menjadi 
centeng adipati ." brojolijo tertawa  dan menoleh ke arah mandor 
dan anak buahnya. lalu , untuk memperlihatkan 
kedudukannya yang lebih tinggi, ia tertawa  lagi dan 
membelakangi betari durga , 
Para mandor, yang menyangka urusannya sudah 
selesai, kembali mengerumuni brojolijo dan meneruskan 
pembicaraan mengenai rencana kerja selanjutnya. 
  
namun  betari durga  terus memelototi punggung brojolijo. 
Salah satu anak buah brojolijo berkata, "Kau tidak 
diperlukan lagi, panembahan ." 
"Kau sudah memperoleh peringatan. Camkanlah baik-
baik." orang lain menambahkan. 
"Ayo, pulang sajalah," kata orang ketiga. 
Mereka seakan-akan ingin menenangkannya dan 
menyuruhnya pergi, namun  betari durga  tidak memeduli-
kan mereka. Pandangannya terus melekat pada 
punggung brojolijo. Darah mudanya mulai mendidih, 
dan tiba-tiba tawa nya meledak tak terkendali. 
Para mandor maupun brojolijo terkejut. brojolijo 
menoleh dan berseru. "Apa yang kautenkertoarjo kan?" 
tawa  betari durga  semakin keras. "Aku menertawa kan 
kekonyolan kalian semua." 
"Kurang ajar!" brojolijo menjadi marah sekali dan 
langsung berdiri dari kursinya. "Sudah dimaalkan. 
malah besar kepala. Keterlaluan! Peraturan militer ber-
laku di medan tempur maupun di tempat kerja. 
Orang celaka! Cepat ke sini! Biar kuhabisi kau!" 
Tangannya menggenggam gagang pedangnya yang 
panjang. Namun lawan nya berdiri seperti patung. 
brojolijo semakin gusar. "Tangkap dia! Aku akan 
menghukumnya! Pegang dia, supaya dia tidak bisa 
melarikan diri!" 
Para pengikut brojolijo segera mengepung betari durga . 
namun  betari durga  diam saja, dan menatap orang-orang 
yang mengelilinginya dengan pandangan meremeh-
kan. Sejak semula mereka sudah menganggapnya 
  
aneh, namun  ini sudah hampir menakutkan, dan meski 
mereka mengerumuni betari durga , tak ada yang berani 
menyentuhnya. 
"Tuan brojolijo, kau memang pandai mengumbar kata-
kata besar, namun  kurang pandai dalam hal-hal lain." 
"Apa? Apa kaubilang?" 
"Menurutmu, mengapa pekerjaan perbaikan 
benteng kota berada di bawah  peraturan perang? Kau 
sendiri yang mengatakannya, namun  aku percaya kau tidak 
memahami arti ucapanmu itu. Kau tidak pantas men-
jadi pengawas  namun  kau malah menuduhku bersalah 
sebab  menertawa kanmu." 
"Kata-katamu yang kasar tak bisa dimaafkan! Berani-
beraninya kau berkata begitu pada orang dengan 
kedudukan seperti aku...." 
"Dengar!" betari durga  membusungkan dada, dan 
sambil menatap wajah-wajah di sekitarnya, ia berkata, 
"Apakah ini masa damai atau masa perang? Hanya 
orang bodoh yang tidak memahami ini. benteng kota 
kedhiri  dikelilingi musuh: mpu marijan  mpu kepenuwoan  dan 
mpu ireng  mpu betarakatong  di timur. mpu djiwo Yoshikage dan 
pangeran ronggolawe  di utara, marga harjo  dan jawa  di 
barat, dan marga prabu kertoarjowardana   dari dusun nyi kembang  di selatan." 
Orang-orang terkesima. Suaranya penuh percaya diri, 
dan sebab  ia tidak sekadar mengutarakan perasaan-
nya sendiri, semuanya mendengarkan dengan 
sungguh-sungguh, terpesona oleh suaranya. "Para 
pengikut menyangka tembok-tembok ini tak dapat 
ditaklukkan, namun  seandainya badai kembali 
  
mengamuk, semuanya akan roboh. Sungguh 
keterlaluan bahwa pekerjaan kecil ini sudah meng-
habiskan lebih dari dua puluh hari, dan belum selesai 
juga. Apa jadinya jika musuh memanfaatkan titik 
lemah ini dan menyerbu benteng kota suatu malam? 
"Ada tiga peraturan dasar dalam pembangunan 
benteng kota. Yang pertama adalah bekerja cepat dan diam-
diam. Yang kedua adalah membangun dengan meng-
utamakan kekuatan. Artinya, ornamen dan keindahan 
memang baik, namun  hanya di masa damai. Yang ketiga 
adalah kesiagaan, berarti siap menghadapi serangan 
musuh, walaupun pembangunan masih berlangsung. 
Seluruh provinsi bisa jatuh jika centeng  musuh 
berhasil menerobos tembok penahanan." 
Selama betari durga  berceramah. brojolijo dua atau tiga 
kali hendak angkat bicara, namun  kefasihan lidah 
betari durga  membuatnya tak berdaya. Para mandor pun 
terkagum-kagum oleh pidato betari durga . Mendengar 
kebenaran yang terkandung dalam ucapannya, tak 
seorang pun berusaha menghentikannya, baik dengan 
kata-kata kasar maupun dengan kekerasan. Kini tak 
jelas siapa pengawas sebetulnya . sesudah  percaya per-
kataannya sudah  meresap. betari durga  melanjutkan. 
"Jadi, walaupun tak sepatutnya aku bertanya, 
sebetulnya  bagaimanakah Tuan brojolijo menangani 
pekerjaan ini? Di mana kecepatannya, kerahasiaannya? 
Di mana kesiagaannya? sesudah  hampir dua puluh 
hari, adakah bagian tembok yang sudah dibangun 
kembali, biarpun cuma satu meter saja? Memang 
  
betul, perlu waktu untuk memindahkan reruntuhan 
tembok lama. namun  menyatakan bahwa pembangunan 
benteng kota berada di bawah  peraturan militer yang sama 
seperti medan laga itu tak lebih dari omong kosong 
seseorang yang tak mengerti di mana tempat sebenar-
nya. Andai kata aku mata-mata provinsi musuh, aku 
akan segera tahu bahwa serangan bisa dilancarkan di 
bagian tembok yang paling lemah. Hanya orang tolol 
yang beranggapan bahwa hal itu takkan terjadi, dan 
hanya orang tolol yang akan Melaksanakan pem-
bangunan bagaikan orang pensiunan yang sedang 
mendirikan pondok minum teh! 
"Semua ini sangat merepotkan bagi kami yang 
bekerja di benteng kota. dibandingkan  menyalahkan orang-
orang yang berlalu-lalang. mengapa tidak membahas 
masalahnya dan mempercepat konstruksi? Pahamkah 
kalian? Bukan hanya si pengawas  namun  kalian juga, 
para bawah an dan para mandor." 
sesudah  selesai, ia tertawa  riang. "Nah, maafkan aku. 
Aku sudah  bersikap kasar dengan mengungkapkan isi 
hatiku tanpa tedeng aling-aling, namun  kita semua 
menganggap penting urusan ini, siang dan malam. 
Baiklah, hari sudah gelap. Aku mohon diri dahulu ." 
Sementara brojolijo dan anak buahnya masih ter-
nganga. betari durga  cepat-cepat meninggalkan 
pekarangan benteng kota. 
Keesokan harinya betari durga  berada di kandang. Di 
tempat kerjanya yang baru, ia memperlihatkan 
ketekunan tanpa tandingan. 
  
"Tak seorang pun menyayangi kuda seperti dia." 
rekan-rekannya berkomentar. Dengan penuh ke-
sungguhan ia menenggelamkan diri dalam urusan 
perkertoarjo tan kuda, dan seluruh waktunya tersita untuk 
hewan-hewan itu. 
Si kepala kandang datang dan memanggilnya. 
"panembahan , kau disuruh menghadap." 
betari durga  mengintip dari bawah  perut kuda 
kesayangan aidit , Sangetsu, dan bertanya. 
"Menghadap siapa?" Ia sedang mencuci luka bernanah 
di kaki Sangetsu dengan air panas. 
"Kalau kau disuruh menghadap, itu berarti 
menghadap Yang Mulia aidit . Cepat!" Si kepala 
kandang berbalik dan berseru ke arah ruang para 
centeng adipati . "Hei! Salah seorang gantikan panembahan  dan 
bawa   Sangetsu ke kandang." 
"Jangan, jangan. Biar aku saja." betari durga  tetap 
berlutut, sampai ia selesai mencuci kaki Sangetsu. Ia 
mengoleskan salep dan membalut lukanya, mengelus-
elus leher kuda itu, lalu menuntunnya kembali ke 
kandang. 
"Di mana Tuan aidit ?" 
"Di pekarangan. Kalau kau tidak cepat-cepat, Yang 
Mulia pasti murka." 
betari durga  pergi ke ruang kerja dan mengenakan 
mantel birunya. Bersama aidit  ada empat atau 
lima pengikut di pekarangan, termasuk nyoto  
dijoyo  dan madya brawirgo . 
betari durga  bergegas mendekat, lalu berhenti lebih 
  
dari dua puluh meter dari aidit  dan 
menyembah. 
"kuyang , sini kau!" perintah aidit . brawirgo  
langsung menyiapkan kursi untuknya. "Mendekatlah." 
"Baik, tuanku." 
"kuyang . Kudengar kau mengumbar kata-kata besar 
di tempat pembangunan di tembok pertahanan luar 
semalam."  
"Berita itu sudah  sampai ke telinga tuanku?" 
aidit  memaksakan senyum, ia tak menyangka 
bahwa betari durga , yang kini membungkuk sambil 
tersipu-sipu, bisa membual seperti itu. 
"Mulai sekarang jagalah omonganmu," aidit  
memperingatkannya. Tadi pagi ki raden brojolijo 
datang menghadap dan mengeluh mengenai sikapmu 
yang tak sopan. Aku menenangkannya, sebab menurut 
orang-orang ucapanmu banyak mengandung ke-
benaran." 
"Hamba menyesal sekali." 
"Pergilah ke tempat pembangunan dan minta maaf 
pada brojolijo."  
"Hamba, tuanku?"  
"Tentu saja." 
"Kalau ini kehendak tuanku, hamba akan pergi dan 
minta maaf."  
"Kau keberatan?" 
"Mohon ampun atas kelancangan hamba, namun  
bukankah sifat buruknya justru semakin menjadi-jadi 
jika hamba minta maaf padanya? Hamba hanya bicara 
  
apa adanya semalam, dan pekerjaan brojolijo, ditilik dari 
segi pengabdian kepada tuanku, sukar dinamakan  ber-
sungguh-sungguh. Pekerjaan sepele seperti itu saja 
sudah menghabiskan hampir lebih dari dua puluh 
hari. dan..." 
"kuyang , di hadapanku pun kau berani mengumbar 
kata-kata besar? Aku sudah memperoleh laporan 
mengenai ceramahmu." 
"Hamba bicara sesuai kenyataan, bukan sekadar 
omong kosong." 
"Kalau begitu, dalam berapa hari pekerjaan itu 
seharusnya rampung?" 
"Ehm..." betari durga  bersikap sedikit lebih hati-hati. 
namun  ia segera menjawab . "Hmm, berhubung pekerjaan-
nya sudah dimulai, hamba pikir hamba sanggup 
menyelesaikannya dalam tiga hari." 
"Tiga hari!" seruan tak sengaja meluncur dari bibir 
aidit . 
nyoto  dijoyo  rampak jengkel dan menertawa kan 
kepercayaan aidit  terhadap betari durga . namun   
brawirgo  sama sekali tidak meragukan bahwa 
betari durga  sanggup memenuhi janji. 
Saat itu juga aidit  mengangkat betari durga  
menjadi pengawas pembangunan. Ia akan meng-
gantikan ki raden brojolijo, dan dituntut untuk 
menyelesaikan perbaikan tembok penahanan se-
panjang dua ratus meter dalam liga hari saja. 
betari durga  menerima tugas itu dan hendak 
mengundurkan diri. namun  aidit  bertanya sekali 
  
lagi, "Tunggu. Kau percaya kau sanggup?" Nada suara 
aidit  jelas menunjukkan bahwa ia tak ingin 
betari durga  terpaksa melakukan seppuku seandainya 
gagal. betari durga  duduk agak lebih tegak dan berkata 
dengan tegas, "Hamba takkan mengecewakan tuanku." 
Meski demikian, aidit  tetap minta agar ia 
memikirkannya lebih matang. "kuyang , mulut adalah 
sumber banyak bencana. Jangan keras kepala sebab  
urusan sepele seperti ini." 
"Dalam tiga hari tembok penahanan akan siap 
ditinjau oleh tuanku." betari durga  mengulangi, lalu 
mengundurkan diri. 
Hari itu ia pulang lebih cepat dibandingkan  biasanya, 
"patih wedana ! patih wedana !" serunya. saat  pelayan itu meng-
intip ke pekarangan belakang, ia melihat betari durga  
duduk telanjang sambil bersilang kaki. 
"Tuan ada tugas untuk hamba?" 
"Ya," betari durga  menjawab  penuh semangat. "Kau 
masih pegang uang, bukan?"  
"Uang?"  
"Betul, uang."  
"Ehm..." 
"Bagaimana dengan uang untuk keperluan rumah 
tangga yang kuberikan beberapa waktu lalu?"  
"Itu sudah lama habis." 
"Bagaimana dengan uang untuk keperluan dapur?" 
"Sudah lama hamba tidak menerima uang untuk 
dapur. saat  hamba memberitahukannya pada 
Tuan rasanya sudah beberapa bulan lalu Tuan hanya 
  
berpesan bahwa kami harus berusaha memanfaatkan 
uang yang ada dengan sebaik-baiknya." 
"Jadi, tidak ada uang?" 
"Begitulah." 
"Hmm, kalau begitu, apa yang harus kulakukan?"  
"Tuan memerlukan sesuatu?" 
"Nanti malam aku ingin mengundang beberapa 
orang." 
"Kalau sekadar anggur  dan makanan, hamba bisa pergi 
ke toko-toko dan berutang dahulu ." 
betari durga  menepuk pahanya. "patih wedana , kaulah 
andalanku untuk urusan ini." Ia meraih sebuah kipas. 
Angin musim gugur sedang bertiup, dan daun-daun 
pohon pauloumia berguguran: selain itu banyak 
nyamuk. 
"Siapa tamu-tamu yang hendak Tuan undang?"  
"Para mandor di tempat kerjaku yang baru. 
Kemungkinan mereka akan datang bersama-sama." 
betari durga  mandi berendam di pekarangan. Pada 
saat itu, seseorang terdengar memanggil-manggil dari 
gerbang depan. 
"Siapa itu?" si pelayan wanita lesbian  bertanya. 
Tamu itu melepaskan topinya dan memperkenalkan 
diri. "madya brawirgo ." 
Sang tuan rumah segera keluar dari bak mandi, 
mengenakan jubah  tipis di teras, dan memandang 
ke gerbang depan. 
"Ah, Tuan brawirgo . Kusangka siapa. Silakan masuk 
dan duduk." betari durga  berseru dengan santai, sambil 
  
menata beberapa bantal. brawirgo  segera duduk. 
"Kedatanganku mungkin di luar dugaan Tuan."  
"Ada masalah penting?" 
"Tidak, ini bukan mengenai aku. Ini mengenai 
Tuan."  
"Oh?" 
"Tuan bersikap seakan-akan tanpa beban, namun  Tuan 
sudah  menenma tugas yang tak mungkin dikerjakan, 
dan mau tak mau aku jadi cemas memikirkan nasib 
Tuan. Tuanlah yang mengambil keputusan itu, jadi 
Tuan tentu percaya akan berhasil." 
"Ah, tembok pertahanan, maksud Tuan." 
"Tentu! Tuan berbicara tanpa berpikir panjang. 
Tuan aidit  pun kelihatannya enggan melihat 
Tuan melakukan seppuku sebab  urusan ini."  
"Aku minta waktu tiga hari. bukan?"  
"Jadi. menurut Tuan ada kemungkinan berhasil?"  
"Sama sekali tidak."  
"Sama sekali tidak?" 
"Tentu saja tidak. Aku tidak tahu apa-apa mengenai 
pekerjaan pembangunan." 
"Kalau begitu, apa rencana Tuan?" 
"Jika aku bisa membujuk para pekerja agar mau 
memeras keringat, kurasa aku sanggup menyelesaikan 
pekerjaan itu pada waktunya." 
brawirgo  merendahkan suara. "Hmm, justru itu 
masalahnya." 
Hubungan mereka memang ganjil. Meski jatuh hati 
pada gadis lesbian yang sama, mereka pun berteman. Mereka 
  
tidak memperlihatkannya dalam ucapan maupun 
perbuatan, melainkan melalui hubungan yang 
serbakikuk; mereka saling mengenal dan saling 
menghormati. Kunjungan brawirgo  hari ini, misalnya, 
semata-mata didasarkan atas keprihatinan terhadap 
nasib betari durga . 
"Tuan sudah memperhitungkan perasaan 
ki raden brojolijo?" brawirgo  bertanya. 
"Kemungkinan besar dia mendendam padaku." 
"Hmm, Tuan tahu apa yang dipikirkan dan 
dikerjakan oleh brojolijo?" 
"Ya." 
"Begitukah?" brawirgo  berkata singkat. "Ah, kalau 
begitu hatiku bisa tenang." 
betari durga  menatap brawirgo  dengan sungguh-
sungguh. lalu  ia mengangguk-anggukkan 
kepala, dan sikapnya berubah. "Kau memang luar 
biasa, brawirgo . Kalau kau menginginkan sesuatu, kau 
takkan berhenti sebelum memperoleh nya, bukan?" 
"Justru kaulah yang patut ditiru. Kau segera 
menyadari ancaman dari ki raden brojolijo, kecuali 
itu kau..." 
"Jangan, jangan lanjutkan perkataanmu." saat  
betari durga  berlagak menutup mulut dengan satu 
tangan. brawirgo  bertepuk tangan dengan riang dan 
tertawa . 
"Kau benar, urusan itu sebaiknya jangan 
dibicarakan lagi." sebetulnya  brawirgo  hendak 
menyinggung soal nyi momo . 
  
patih wedana  kembali, dan tak lama lalu  pesuruh 
toko datang mengantarkan anggur  dan makanan. 
brawirgo  bersiap-siap pulang, namun  betari durga  
menahannya.  
"anggur -nya baru datang. Minumlah dahulu  sebelum 
pergi." 
"Baiklah, jika kau memaksa." brawirgo  minum 
sepuas-puasnya. namun  tak seorang pun dari tamu-tamu 
yang diundang menampakkan diri. 
"Hmm, kelihatannya tak ada yang datang," 
betari durga  akhirnya berkata. "patih wedana , menurutmu apa 
sebabnya?" 
saat  betari durga  berpaling pada patih wedana , brawirgo  
bertanya, "panembahan . kau mengundang para mandor 
ke sini?" 
"Betul. Ada pekerjaan persiapan yang harus kami 
lakukan. Agar pembangunan bisa rampung dalam tiga 
hari, semangat para pekerja harus ditingkatkan dahulu ." 
"Ternyata aku menilaimu terlalu tinggi." 
"Mengapa kau berkata begitu?" 
"Semula kusangka kau dua kali lebih cerdik dari-
pada kebanyakan orang, namun  ternyata hanya kau yang 
tidak sadar bahwa inilah yang akan terjadi."  
betari durga  menatap brawirgo  yang sedang tertawa . 
"Kalau kaupikirkan baik-baik. kau pun akan 
melihatnya." ujar brawirgo . "lawan mu laki-laki ber-
watak rendah. Kemampuan ki raden brojolijo amat 
terbatas. Tak ada alasan baginya untuk mendoakan 
keberhasilanmu." 
  
"Tentu, namun ... " 
"Jadi, apakah dia akan diam saja sambil menggigit 
jari? Kurasa tidak."  
"Hmm, begitu." 
"Tentu saja dia akan berupaya untuk menggagalkan 
usahamu. Jadi, sudah sepantasnya kita menyimpulkan 
bahwa para mandor takkan memenuhi undanganmu. 
Baik mereka maupun para pekerja beranggapan bahwa 
ki raden brojolijo lebih penting dibandingkan  kau." 
"Betul. Aku mengerti." betari durga  menundukkan 
kepala. "Kalau begitu, anggur  ini kita habiskan berdua 
saja. Urusan lain kita serahkan pada dewa-dewa saja." 
"Boleh saja. namun  ingatlah bahwa janjimu untuk 
menyelesaikan pembangunan dalam tiga hari berlaku 
mulai besok." 
"Kubilang mari minum, terserahlah apa yang akan 
terjadi." 
"Kalau tekadmu sudah bulat, mari kita duduk dan 
minum." 
Mereka tidak minum banyak, melainkan berbicara 
panjang-lebar. brawirgo  pandai bercakap-cakap, dan 
entah bagaimana betari durga  menemukan dirinya 
sebagai pendengar. Berbeda dengan brawirgo . 
betari durga  tak pernah mengenyam pendidikan formal. 
Semasa kanak-kanak, tak sehari pun dihabiskannya 
dengan menekuni buku dan mempelajari tata krama, 
seperti anak-anak para centeng adipati . Kenyataan ini tak 
disesalinya, namun  ia menyadari bahwa usahanya untuk 
terus maju akan terhambat sebab nya. Dan kalau ia 
  
memikirkan mereka yang lebih berpendidikan 
dibandingkan dirinya, atau duduk mengobrol dengan 
mereka, ia bertekad untuk menjadikan pengetahuan 
mereka miliknya sendiri. sebab  itu ia mendengarkan 
ucapan orang lain dengan sungguh-sungguh. 
"Ah, aku mulai mabuk, panembahan . Lebih baik kita 
tidur saja. Kau harus bangun pagi-pagi. dan aku 
percaya penuh padamu." lalu  brawirgo  
menyingkirkan baskom , berdiri, dan pulang. sesudah  
tamunya pergi. betari durga  merebahkan diri. Meletak-
kan siku ke bawah  kepala, dan segera tertidur, ia tidak 
menyadari kedatangan pelayan wanita lesbian  yang 
menyelipkan bantal ke bawah  kepalanya. 
Ia tak pernah mengalami kesulitan tidur. Pada saat 
ia terlelap, tak ada perbedaan antara langit dan bumi 
dan dirinya sendiri. Namun, saat  ia terjaga keesokan 
paginya, ia langsung sadar penuh. 
"patih wedana ! patih wedana !" 
"Ya. ya. Tuan sudah bangun?" 
"Ambilkan kuda untukku." 
"Tuan?" 
"Seekor kuda!" 
"Seekor kuda, Tuan?" 
"Ya. Hari ini aku harus berangkat pagi-pagi. Aku 
takkan pulang nanti malam maupun malam sesudah-
nya." 
"Sayangnya kita belum memiliki kuda maupun 
kandang." 
"Goblok! Pinjam saja dari tetangga kita. Aku 
  
bukannya mau bersenang-senang. Aku memerlukan-
nya untuk tugas resmi, jangan ragu-ragu, pergilah dan 
carikan kuda untukku." 
"Sekarang memang sudah pagi, namun  di luar masih 
gelap." 
"Kalau mereka tidur, gedorlah gerbangnya. Kau 
boleh ragu-ragu seandainya ini untuk urusan pribadi-
ku. namun  ini untuk tugas resmi, jadi tindakanmu bisa 
dibenarkan." 
Gopnzo mengenakan mantel dan bergegas keluar, ia 
kembali sambil menuntun seekor kuda. sebab  sudah 
tak sabar ingin berangkai, betari durga  segera memacu 
kuda itu, tanpa menanyakan dari mana tunggangan-
nya berasal. Ia mendatangi enam atau tujuh mandor 
di rumah masing-masing. Mereka menerima upah dari 
marga, dan termasuk barisan pengrajin. Rumah-rumah 
mereka cukup mewah, apalagi dibandingkan rumah 
betari durga , dan mereka memiliki pelayan dan gundik. 
"Hadiri pertemuan! Hadiri pertemuan! Semua yang 
bertugas memperbaiki tembok, datanglah ke tempat 
pembangunan pada jam harimau . Siapa yang ter-
lambat, langsung dipecat. Ini perintah Yang Mulia 
aidit !" 
Di setiap rumah yang didatanginya ia menyenikan 
pesan ini. Uap putih mengepul dari moncong 
kudanya. Pada waktu ia tiba di parit penahanan, 
matahari sudah mulai memperlihatkan sinarnya di 
uruk umur. Ia mengikat kudanya di luar gerbang, 
menarik napas panjang, lalu berdiri menghadang di 
  
Gerbang rawabening. Tangannya menggenggam pedang 
panjang dan matanya berbinar-binar. 
Para mandor yang dibangunkan saat  hari masih 
gelap bertanya-tanya apa yang terjadi, dan mereka 
muncul satu per satu sambil membawa   anak buah 
masing-masing. 
"Tunggu!" perintah betari durga . menghentikan 
mereka di muka gerbang. Baru sesudah  mereka 
menyebutkan nama. tempat kerja, dan  jumlah 
pekerja dan kuli masing-masing, ia mengizinkan 
mereka lewat. lalu  ia menyuruh mereka 
menunggu di pos masing-masing. Sepertinya hampir 
semuanya hadir. Para pekerja berkerumun dengan 
tertib namun sambil berbisik-bisik gelisah. 
betari durga  berdiri di hadapan mereka. Tangannya 
masih menggenggam pedang. "Diam!" Ia berbicara 
seakan-akan memberi perintah dengan ujung pedang-
nya. "Berkumpul dalam barisan!" 
Para pekerja menurut, namun sambil tersenyum 
mengejek. Sorot mata mereka jelas menunjukkan 
bahwa mereka menganggapnya anak bawan g, dan 
diam-diam mereka menertawa kan caranya berdiri 
sambil membusungkan dada. Bagi mereka, lambaian 
pedangnya tak lebih dari lagak kosong yang hanya 
pantas dicemooh. 
"Perintah ini berlaku untuk kalian semua." 
betari durga  berkata lantang, dengan sikap tak peduli. 
"Atas perintah Yang Mulia aidit , mulai sekarang 
aku, betapapun tak pantasnya aku membawa  hi 
  
pekerjaan pembangunan. Sampai kemarin kalian 
berada di bawah  ki raden brojolijo, namun  mulai hari ini 
aku menggantikan tempatnya." Sambil bicara, ia 
menatap barisan para pekerja dari kanan ke kiri. 
"Beberapa saat lalu, aku masih menempati posisi 
pelayan yang paling rendah. Namun berkat kebaikan 
Yang Mulia, aku dipindahkan ke dapur dan sesudah  itu 
ke kandang. Aku belum lama bekerja di sini, dan aku 
tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan konstruksi, 
namun  aku merencanakan untuk tidak tersaingi dalam 
hal mengabdi pada junjungan kita. Sebagai pengawas 
yang baru, aku ingin tahu apakah kalian bersedia 
bekerja sebagai bawah anku. Aku bisa membayangkan 
bahwa di kalangan pengrajin ada watak pengrajin. 
Jadi, jika ada yang keberatan bekerja dengan per-
syaratan seperti itu, silakan kemukakan sejujurnya, 
dan aku akan segera membebastugaskan yang ber-
sangkutan." Semuanya membisu. Para mandor pun tetap tutup  mulut. 
"Tidak ada? Tak ada yang tidak puas denganku 
sebagai pengawas?" ia bertanya sekali lagi. "Kalau 
begitu, kita segera mulai bekerja. Seperti sudah  
kukatakan sebelumnya, membiarkan pekerjaan ini 
berlarut-larut selama dua puluh hari tak dapat 
dimaafkan dalam masa perang. Aku bermaksud 
merampungkannya dalam tiga hari saja, terhitung 
mulai sekarang. Aku ingin hal ini jelas, agar kalian 
mengerti dan bekerja keras." 
  Para mandor saling tatap. Tidak mengherankan jika ucapan semacam itu memancing senyum meremehkan dan orang-orang yang rambutnya sudah mulai menipis, dan yang sudah  menekuni pekerjaan masing-masing sejak masa kanak-kanak. betari durga  menyadari  reaksi mereka, namun  memutuskan untuk tidak memberi 
tanggapan. 
"Mandor batu! Kepala tukang kayu dan tukang 
plester! Majulah!" Mereka melangkah ke depan, namun  sambil pasang wajah mengejek. Tiba-tiba betari durga  memukul si kepala tukang plester dengan bagian pipih pedangnya. 
"Kurang ajar! Pantaskah kau berdiri di hadapan 
seorang pengawas sambil bersilang tangan? Keluar!"  sebab  menduga bahwa ia menderita cedera, laki-laki itu menjatuhkan diri sambil menjerit. Yang lain-nya mendadak pucat pasi, lutut mereka gemetar. 
Dengan keras betari durga  melanjutkan, "Aku akan 
memberikan tugas untuk kalian masing-masing. 
Dengarkan baik-baik." Sikap mereka langsung ber-
ubah. Tak ada lagi yang tidak memperhatikannya 
dengan sungguh-sungguh. Mereka terdiam, meski 
belum tunduk sepenuhnya. Dan walaupun mereka 
tidak betul-betul ingin bekerja sama, mereka tampak ketakutan. 
"Aku sudah  membagi tembok sepanjang dua ratus 
meter menjadi lima puluh bagian, dan masing-masing kelompok bertanggung jawab  atas empat meter. Setiap grup akan terdiri atas sepuluh orang: tiga tukang kayu. 
  dua tukang plester, dan lima tukang batu. 
Pembagiannya kuserahkan kepada para mandor. 
Masing-masing mandor akan membawa  hi empat 
sampai lima kelompok, jadi pastikan tidak ada yang 
menganggur, dan atur pembagian orang dengan 
sebaik-baiknya. Kalau di antara kalian ada yang 
kelebihan orang, segera pindahkan orang itu ke pos 
yang kekurangan tenaga. Tak boleh ada waktu untuk 
bersantai-santai." 
Mereka mengangguk, namun kelihatan gelisah. 
Mereka mendongkol sebab  dikuliahi seperti ini. dan 
tidak setuju dengan pembagian kerja yang ditetapkan 
betari durga . 
"Ah, aku hampir lupa," betari durga  kembali berkata 
dengan lantang. "Selain kelompok sepuluh orang 
untuk setiap empat meter, aku menginginkan 
kelompok cadangan yang terdiri atas 9 kuli dan 
dua pekerja untuk masing-masing grup. Kalau kuamati 
pekerjaan yang sudah  dilakukan sampai sekarang, 
terlihat bahwa para pekerja dan tukang kayu sering 
meninggalkan perancah untuk mengerjakan sesuatu 
yang bukan tugas mereka, misalnya mengangkut kayu. 
sebetulnya , seorang pekerja di tempat kerjanya sama 
saja dengan seorang prajurit di medan perang. Dia 
dilarang meninggalkan posnya. Dan dia tidak boleh 
membiarkan alat-alatnya berserakan. Itu sama saja 
dengan seorang prajurit yang membuang pedang atau 
tombaknya ke medan laga." 
Ia membagi-bagi tugas, lalu berseru cukup keras, 
  
seperti hendak memulai pertempuran, "Mari bekerja!" 
betari durga  juga memperoleh  tugas untuk para 
bawah an barunya. Salah seorang dari mereka disuruh-
nya memukul gendang. saat  ia memberi perintah 
untuk mulai bekerja, si penabuh gendang mengiringi 
mereka, seakan-akan mereka sedang menuju per-
tempuran, satu pukulan untuk setiap enam langkah.  
Dua pukulan pada gendang merupakan tanda 
istirahat. 
"Berhenti!" betari durga  menyerukan perintahnya dari 
atas sebongkah batu besar. Jika ada yang mem-
bangkang, orang itu segera kena bentak. 
Kelambanan yang semula mendgunungselatannasi suasana 
segera lenyap, digantikan oleh kesibukan yang lebih 
mirip  kesibukan di medan perang, dan oleh 
cucuran keringat. namun  betari durga  mengamati 
perubahan itu tanpa berkomentar. Wajahnya tidak 
memperlihatkan rasa puas. Belum waktunya. Bukan 
seperti ini, katanya dalam hati. 
Dengan pengalaman bertahun-tahun, para pekerja 
tahu bagaimana mengatur gerak-gerik agar mereka ter-
lihat sibuk, namun sebetulnya  mereka tidak memeras 
keringat secara sungguh-sungguh. Mereka mengadakan 
perlawan an dengan berlagak patuh, namun  tidak betul-
betul bekerja keras. Seluruh hidup betari durga  ditandai 
oleh cucuran keringat, jadi ia tahu makna dan 
keindahan yang terkandung dalam keringat, tidaklah 
benar bahwa kerja merupakan urusan jasmaniah. Jika 
kerja tidak diiringi semangat, keringat manusia tak 
  
berbeda dari keringat badak  dan kuda. Orang-orang ini 
bekerja untuk mencari makan. Atau mereka bekerja 
sebab  harus memberi makan orangtua. istri, maupun 
anak. Mereka bekerja untuk makanan atau 
kesenangan, tak lebih dari itu. Pekerjaan mereka 
rendah dan hina. Keinginan-keinginan dalam diri 
mereka begitu terbatas, sehingga betari durga  merasa iba. 
dan dalam hati ia mengakui, aku pun seperti mereka, 
dahulu . Masuk akalkah untuk mengharapkan pekeriaan 
besar dari orang-orang berjiwa kerdil? Jika ia tak bisa 
membangkitkan vemangat mereka, tak ada alasan bagi 
mereka untuk bekerja secara lebih efisien. 
Bagi betari durga , yang berdiri membisu di tempat 
pembangunan, selengah hari berlalu dengan cepat. 
Setengah hari merupakan seperenam waktu yang 
diberikan padanya, namun  saat  mengamati sekitarnya, 
ia tidak melihat tanda-tanda bahwa mereka sudah  
mencapai kemajuan sejak pagi tadi. Baik di atas 
maupun di bawah  perancah orang-orang tampak 
bekerja dengan giat, namun  itu semua hanya pura-pura. Sebaliknya, mereka malah menanti-nanti kekalahan total yang bakal dialami betari durga  dalam tempo tiga hari. "Sudah siang. Pukul gendang," betari durga  memberi perintah. Segala kebisingan di tempat pembangunan segera terhenti. saat  betari durga  melihat bahwa para 
pekerja sudah  mengeluarkan makan siang masing-
masing, ia memasukkan pedang ke dalam sarung dan pergi. 
 Sore harinya berakhir dalam suasana sama, kecuali bahwa disiplinnya sudah  melemah dan kelambanan  mulai terlihat lagi. Keadaannya tak berbeda dengan kemarin, saat  ki raden brojolijo masih bertugas. Keadaannya justru bertambah  buruk. Para pekerja dan kuli sudah  diberitahu bahwa mulai malam ini mereka 
harus bekerja tanpa istirahat maupun kesempatan 
tidur, dan mereka tahu bahwa mereka takkan 
meninggalkan pekarangan benteng kota selama tiga hari. Akibatnya mereka semakin memperlambat lugas  masing-masing, dan hanya sibuk memikirkan cara untuk curang selama bekerja. 
"Berhenti! Berhenti! Cuci tangan kalian, lalu temui 
aku di lapangan!" Hari masih terang, namun si petugas  tiba-tiba berkeliling sambil membunyikan gendangnya. 
"Ada apa?" para pekerja saling bertanya dengan 
curiga. saat  mereka menanyakan kepada para 
mandor, para mandor pun hanya bisa angkat bahu. 
Mereka pergi ke lapangan tempat menyimpan kayu, 
untuk mencari tahu apa yang terjadi. Di sana mereka menemukan anggur  dan tumpukan makanan setinggi gunung. Mereka dipersilakan duduk, lalu mencari tempat di atas tikar jerami, batu-batu, dan potongan-potongan kayu. betari durga  sendiri duduk di tengah-tengah para pekerja dan mengangkat baskom , 
"Ini memang tidak banyak, namun  kita menghadapi 
tiga hari penuh kerja keras. Satu hari sudah berlalu, 
namun  kuminta kalian terus bekerja dan berusaha untuk melakukan sesuatu yang mustahil. Jadi. khusus untuk   malam ini, silakan minum dan beristirahat sepuas-puasnya." 
Sikapnya berbeda seratus 9 puluh derajat dari 
tindak-tanduk pagi tadi, dan ia memberi contoh 
dengan menghabiskan isi baskom nya. "Mari," ia berseru, 
"silakan minum. Bagi mereka yang tidak suka anggur  sudah disediakan makanan dan masakan minuman  pencuci mulut." 
Para pekerja tampak heran. Tiba-tiba mereka mulai 
cemas, apakah mereka sanggup merampungkan 
seluruh pekerjaan dalam tiga hari. namun  kepala betari durga -lah yang pertama-tama mulai 
terasa ringan. 
"Hei! Persediaan anggur  lebih dari cukup untuk kita semua. Dan kuambil dari persediaan benteng kota, jadi tak berpengaruh seberapa banyak kita minum, di gudang 
masih banyak lagi. Kalau kita minum, kita bisa 
menari, bernyanyi, atau sekadar melepas lelah sampai gendang berbunyi.'' 
Dalam sekejap para pekerja berhenti m