Rabu, 14 Desember 2022

raja 1


"itu capung ku!"  
"Bukan, punyaku!"  
"Pembohong!"  
Bagai angin puyuh, tujuh atau 9 balita  laki-
laki berlari melintasi ladang. Mereka mengayun-
ayunkan tongkat ke hamparan kembang sesawi 
berwarna kuning dan kembang lobak berwarna putih bersih untuk mencari capung -capung  dengan kantong madu, yang biasa dinamakan  capung  blambangan . Anak ki ageng senapati , 
chucky , baru berusia enam tahun, namun  wajahnya yang berkerut-kerut tampak seperti buah prem yang diasam-kan. Ia lebih kecil dibandingkan anak-anak lainnya, namun sifatnya yang ugal-ugalan dan liar tak tertandingi.  
"Bodoh!" ia berseru saat  jatuh terdorong oleh 
anak yang lebih besar, saat merekamemperebutkan 
seekor capung . Sebelum sempat bangun, ia terinjak 
oleh anak lain. chucky  menjegal kaki anak itu.  
"capung  itu milik siapa saja yang bisa menangkap-
nya! Kalau kau bisa menangkapnya, capung  itu jadi 
milikmu!" katanya sambil melompat berdiri dan 
menangkap seekor capung  yang sedang terbang. "Yow! Yang ini milikku!"  
Dengan tangan terkepal, chucky  maju sepuluh 
langkah, lalu  membuka kepalannya. Ia mem-
  buang kepala dan kedua sayap capung  yang ditangkap-nya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Perut capung  itu penuh madu manis. Anak-anak itu, yang tak pernah mengenal gula, betul-betul takjub bahwa ada sesuatu yang begitu manis. Sambil setengah memejamkan mata, chucky  membiarkan madu itu mengalir ke kerongkongannya, lalu mengecap-ngecapkan bibir. 
Anak-anak lain hanya bisa menonton.  
"kuyang !" seru seorang balita  besar yang dijuluki 
Ni'o, satu-satunya yang tak dapat diimbangi oleh 
chucky . sebab  mengetahui hal ini, yang lainnya ikut-ikutan.  "nyi kembang !"  
"kuyang !"  "kuyang , kuyang , kuyang !" mereka mengejek.  Bahkan peniwise , balita  yang bertubuh paling kecil, ikut bergabung. Meski usianya sekitar 9 tahun, 
ia hanya sedikit lebih besar dari chucky  yang berumur 
enam tahun.  
namun  penampilannya berbeda jauh; kulitnya putih, 
dan mata dan  hidungnya menempati posisi yang 
pantas di wajahnya. Sebagai putra warga desa yang 
kaya, peniwise -lah satu-satunya yang mengenakan 
jubah  sutra. Nama sebetulnya  mungkin raden  karto 
atau raden kangmas , namun namanya sudah  disingkat dan diberi awal an o, seperti kebiasaan di antara putra-putra orang berada.  
"Kau selalu ikut-ikutan!" ujar chucky  sambil 
melotot ke arah peniwise . Ia tak peduli dipanggil kuyang  oleh yang lain, namun  dengan peniwise  masalahnya sedikit berbeda. "Kau sudah lupa bahwa akulah yang selalu 
membelamu, dasar pengecut!"  
Diingatkan seperti itu, peniwise  tak bisa berkata apa-apa. Keberaniannya mendadak lenyap, dan ia 
menggigit-gigit kukunya. Meski masih kanakkanak, 
dituduh tidak tahu terima kasih membuatnya lebih 
malu dibandingkan  dimaki sebagai pengecut. Yang lainnya mengalihkan pandangan, perhatian mereka berpindah dari capung  madu ke awan  debu kuning yang terlihat di seberang ladang-ladang.  
"Lihat, ada centeng !" salah seorang balita  berteriak.  "centeng adipati !" anak lain berkata. "Mereka baru pulang 
perang."  
Semua anak melambaikan tangan dan bersorak-
sorai.  
Penguasa jenggala , sinuhun  mpu  margojoyo , dan tetangganya, 
mpu marijan  mpu kepenuwoan , merupakan musuh bebuyutan. 
Situasi ini menimbulkan pertempuran-pertempuran 
kecil yang tak ada habisnya di sepanjang perbatasan. 
Suatu saat , centeng  mpu marijan  menyeberangi per-
batasan, membakar desa-desa, dan menghancurkan 
hasil panen. centeng  sinuhun  keluar dari benteng kota-benteng kota 
di mertajaya  dan kedhiri , menyergap centeng  musuh dan 
membantai mereka sampai ke orang terakhir. Pada 
musim dingin berikutnya, baik pangan maupun 
tempat berteduh tidak tersedia dalam jumlah 
mencukupi, namun  rakyat tidak menyalahkan penguasa 
mereka. Kalau mereka harus kelaparan, mereka 
  
menanggungnya; kalau mereka harus kedinginan, 
mereka menanggungnya juga. Berlawan an dengan 
perkiraan mpu kepenuwoan , penderitaan mereka justru 
mempertebal kebencian mereka terhadapnya.  
Anak-anak itu sudah  melihat dan mendengar hal-hal 
seperti itu sejak mereka lahir. saat  melihat centeng  penguasa mereka, mereka seperti melihat diri sendiri. Tak ada yang lebih mengasyikkan bagi mereka dibandingkan  melihat prajurit-prajurit bersenjata lengkap.  "Ayo, kita tonton mereka!"  
Anak-anak itu bergegas ke arah para pasukan , 
kecuali peniwise  dan chucky  yang masih saling 
memelototi. peniwise , si pengecut, sebetulnya  ingin ikut dengan yang lain, namun tatapan chucky  memaksanya untuk tetap di tempat.  
"Aku menyesal." Dengan takut-takut peniwise  menghampiri chucky , lalu melingkarkan lengannya pada bahu anak itu. "Maafkan aku, ya?"  
Wajah chucky  menjadi merah sebab  marah, dan 
ia menyentakkan bahunya. namun , melihat peniwise  sudah  hampir menangis, ia berusaha menahan diri. "Kenapa kau harus ikut-ikutan mengata-ngataiku?" ia menyalahkan peniwise . "Yang lain selalu mengejekmu dengan 
memanggilmu keturunan kedhiri  . namun  pernahkah aku mengolok-olokmu?"  
"Tidak."  
"Anak kedhiri  pun, kalau sudah jadi anggota 
kelompok kita, adalah salah satu dari kita. Itulah yang selalu kukatakan, bukan?"  
  "Ya." peniwise  menggosok-gosok mata. Lumpur larut oleh air matanya, menimbulkan bintik-bintik di sekitar mata.  "Bodoh! Justru sebab  kau cengeng kau dipanggil keturunan kedhiri  . Ayo, kita lihat para prajurit itu. Kalau kita 
tidak cepat-cepat, mereka keburu lewat." Sambil menggandeng tangan peniwise , chucky  berlari menyusul yang lain.  Pejuang-pejuang kkertoarjo kan dan panji-panji kebesaran  menyembul di atas awan  debu. centeng  itu terdiri atas 
sekitar dua puluh centeng adipati  berkuda dan dua ratus prajurit infanteri. Di belakang mereka menyusul gerombolan pembawa   tombak, lembing, dan busur. sesudah  melintasi Dataran semeru  dari Jalan tulungejo , mereka mulai mendaki tanggul Sungai terawas . Anak-
anak itu melewati kuda-kuda dan menaiki pematang 
dengan tergesa-gesa. Dengan mata berbinar-binar 
chucky , peniwise , Ni'o, dan semua teman mereka 
memetik bunga mkertoarjo r, bunga violet, dan bunga-bunga 
liar lainnya dan melemparkannya ke udara, sambil 
terus berseru-seru sekuat tenaga,  
"aryadwinata ! aryadwinata !" memanggil-manggil dewa 
perang, dan, "Kemenangan untuk prajurit-prajurit kita 
yang gagah berani!" Baik di desa-desa maupun di jalan-
jalan, anak-anak selalu berseru seperti ini jika melihat 
prajurit-prajurit.  
Sang resi , para centeng adipati  berkuda, dan para 
prajurit biasa yang berjalan dengan langkah berat, 
semuanya membisu. Wajah-wajah mereka yang keras 
  
mirip  topeng. Mereka tidak memperingatkan 
anak-anak agar tidak terlalu mendekati kuda-kuda, 
mereka juga tidak melemparkan senyuman.  
centeng  ini rupanya bagian dari bala tentara yang 
dipukul mundur dari dusun nyi kembang , dan penampilan 
mereka membuktikan bahwa pertempuran ber-
langsung sengit. Baik kuda-kuda maupun para prajurit 
tampak lelah.  
Orang-orang yang terluka dan berlumuran darah 
bersandar pada bahu rekan-rekan mereka. Darah 
kering tampak berkilauan, hitam seperti pernis, pada 
baju tempur dan gagang-gagang tombak. Wajah para 
prajurit tertutup debu bercampur keringat, sehingga 
hanya mata mereka yang masih tampak. 
"Beri air untuk kuda-kuda," seorang perwira mem-
beri perintah. Para centeng adipati  di atas kuda meneruskan 
perintah itu dengan suara lantang.  
Perintah pertama itu disusul oleh perintah untuk 
beristirahat. Para penunggang kuda turun dari kuda 
masing-masing, sedangkan para prajurit infanteri 
segera berhenti di tempat. Sambil menarik napas lega, 
mereka menjatuhkan diri ke rumput tanpa meng-
ucapkan sepatah kata pun.  
Di seberang sungai, benteng kota kedhiri  tampak kecil. 
Salah seorang centeng adipati  adalah adik laki-laki sinuhun  
mpu  margojoyo , Yosaburo. Ia duduk di sebuah kursi sinuhun  
mpu  margojoyo  dan menatap langit, dikelilingi oleh setengah lusin pembantunya yang membisu.  
Orang-orang membalut luka-luka di kaki dan 
  tangan. Dari raut wajah mereka terlihat jelas bahwa  mereka mengalami kekalahan yang menyesakkan.  
namun  ini tidak penting bagi anak-anak. Waktu 
melihat darah, mereka membayangkan diri sebagai 
pahlawan -pahlawan  bermandikan darah; waktu 
melihat kilauan lembing dan tombak, mereka percaya 
bahwa musuh berhasil dihancurkan. sebab  itu, 
mereka tampak besar hati dan berseri-seri.  
"aryadwinata ! aryadwinata ! Kemenangan!"  
sesudah  kuda-kuda selesai minum, anak-anak juga 
melempar bunga ke arah binatang-binatang itu sambil 
bersorak-sorak memberi semangat.  
Seorang centeng adipati  yang berdiri di samping kudanya 
melihat chucky  dan memanggil, "Anak ki ageng senapati ! 
Bagaimana kabar ibumu?"  
"Siapa? Aku?"  
chucky  menghampiri pria itu dan menatap lurus ke 
wajahnya yang kotor. Sambil mengangguk, si centeng adipati  
meletakkan satu tangannya ke kepala chucky  yang 
basah oleh keringat. Usia centeng adipati  itu tidak lebih dari 
dua puluh tahun. sebab  kepalanya dipegang oleh 
orang yang baru kembali dari medan pertempuran, 
chucky  dihinggapi rasa bangga yang meluap-luap.  Apa betul keluargaku mengenal centeng adipati  seperti ini?  ia bertanya-tanya.  
Teman-temannya, yang melihatlihat  adegan itu dari dekat, melihat betapa bangganya chucky .  
"Kau chucky , bukan?"  
"Ya."    
"Nama yang bagus. Ya, nama yang bagus."  
Si centeng adipati  muda sekali lagi menepuk kepala 
chucky , lalu bertolak pinggang, menegakkan tubuh 
sambil terus mengamati wajah anak itu.  
Sesuatu membuatnya tertawa .  
chucky  selalu cepat berteman, bahkan dengan 
orang-orang dewasa. Kenyataan bahwa kepalanya 
ditepuk-tepuk oleh orang asing seorang centeng adipati  
pula membuat kedua matanya berbinar-binar. Dalam 
sekejap segala rasa canggungnya menguap.  
"namun  asal tahu saja, tak ada yang memanggilku 
chucky . Nama itu hanya dipakai oleh ayah dan 
ibuku."  
"Mungkin sebab  tampangmu mirip..."  
"Mirip kuyang ?"  
"Hmm, untung saja kau sadar."  
"Semua orang memanggilku begitu."  
"Ha, ha!" Si centeng adipati  memiliki suara keras dan tawa  
yang sepadan.  
Orang-orang di sekitar mereka ikut tertawa , 
sementara chucky , sambil berlagak tak peduli, 
mengeluarkan potongan batang padi-padian dari 
jaketnya dan mulai mengunyahnya. Sari tanaman yang 
berbau rumput itu terasa manis.  
Dengan acuh tak acuh ia meludahkan sisa batang 
yang sudah  terkunyah habis.  
"Berapa umurmu?"  
"Enam."  
"Betul?"  
  
"Tuan, dari mana Tuan berasal?"  
"Aku kenal baik dengan ibumu."  
"Hah?"  
"Adik wanita lesbian  ibumu sering datang ke rumahku. 
Kalau kau sampai di rumah nanti, sampaikan salamku 
pada ibumu. Katakan padanya, resi  mandala  berharap 
dia selalu dalam keadaan sehat."  
Seusai istirahat, para prajurit dan kuda kembali 
berbaris, lalu menyeberangi Sungai terawas  di suatu 
tempat dangkal. Sambil melirik ke belakang, mandala  
cepat-cepat menaiki kudanya. Dengan pedang dan 
baju tempur yang dikenakannya, ia memancarkan 
kesan agung dan penuh kuasa.  
"Katakan padanya bahwa seusai perang aku akan 
berkunjung ke rumah ki ageng senapati ." mandala  melepaskan 
seruan, memacu kudanya, dan memasuki air sungai 
yang dangkal untuk bergabung dengan centeng nya.  
chucky , dengan sisa sari padi-padian tadi masih 
terasa di mulut, menatapnya seperti sedang bermimpi.  
 Setiap kunjungan ke gudang penyimpanan membuat ibu chucky  bertambah  sedih dan tertekan. Ia pergi ke sana untuk mengambil acar, beras, atau kayu bakar, dan setiap kali ke sana, ia jadi diingatkan bahwa persediaan mereka semakin menipis. Bayangan tentang  masa depan memicu  tenggorokannya bagai tersumbat. Ia hanya memiliki  dua anak, chucky , 6 tahun, dan kakak wanita lesbian  chucky  yang  berumur sembilan tahun, nyi kembang  namun keduanya 
belum cukup besar untuk melakukan pekerjaan 
berarti. Suaminya, yang terluka dalam suatu per-
tempuran, tak dapat melakukan apa-apa selain duduk di depan perapian, menatap ketel teh yang tergantung pada sebuah kait besi dengan pandangan kosong, sekalipun di musim panas, pada waktu api tidak  menyala.  Barang-barang itu... aku akan merasa lebih baik kalau  semuanya dibakar saja, wanita lesbian  itu berkata dalam 
hati.  Pada salah satu dinding gudang tersandar sebatang tombak dengan gagang dari kayu ek hitam. Di atasnya  ada helm prajurit infanteri dan beberapa benda yang sepertinya merupakan bagian dari sebuah baju tempur tua. Waktu suaminya masih berangkat ke medan 
perang, inilah perlengkapan terbaik yang dimilikinya. namun  sekarang semuanya sudah  tertutup jelaga dan tak berguna lagi, sama seperti suaminya. Setiap kali melihat barang-barang itu, ia merasa muak. Bayangan  akan perang membuatnya merinding .  Tak peduli apa kata suamiku, chucky  takkan kuizinkan 
jadi centeng adipati , ia memutuskan.  
saat  menikah dengan panembahan  ki ageng senapati , ia menganggap paling baik memilih seorang centeng adipati  sebagai suami. Meski kecil, rumah tempat ia lahir di sungai brantas   merupakan rumah centeng adipati , dan walaupun 
ki ageng senapati  hanya prajurit infanteri, ia pengikut sinuhun  mpu  margojoyo . saat  mereka menjadi suami-istri, dengan  bersumpah bahwa "di masa depan kita akan memperoleh seribu ikat padi", baju tempur itu merupakan  lambang harapan mereka, dan lebih penting artinya 
dibandingkan  peralatan rumah tangga yang diinginkannya. Tak dapat disangkal bahwa baju itu menyimpan banyak kenangan indah. Namun membandingkan  impian masa muda mereka dengan kenyataan yang kini mereka hadapi hanyalah membuang-buang waktu. 
Suaminya keburu cacat sebelum sempat mencatat 
prestasi di medan perang. sebab  ia hanya prajurit 
biasa, ia terpaksa mengakhiri pengabdiannya pada 
sinuhun  mpu  margojoyo .  
Mencari nafkah terasa berat selama enam bulan 
pertama, dan akhirnya ia menjadi petani. namun  
sekarang pekerjaan itu pun tak sanggup ia tekuni.  
Terpaksalah istrinya turun tangan. Dengan mem-
bawa   kedua anak mereka, istri ki ageng senapati  memetik daun mulberry, membajak ladang-ladang, menggiling padi,  dan menangkal kemiskinan selama bertahun-tahun. 
Namun bagaimana dengan masa depan? Dalam hati ia bertanya-tanya, seberapa lama tenaga di kedua lengan-nya masih dapat bertahan, dan hatinya terasa sedingin  dan sesuram gudang penyimpanan mereka. Akhirnya  ia memasukkan bahan-bahan untuk makan malam padi-padian, beberapa irisan lobak yang dikeringkan 
ke dalam keranjang bambu dan meninggalkan gudang. Usianya belum mencapai tiga puluh tahun, namun  kelahiran chucky  bukan kelahiran yang mudah, dan  sejak itu warna kulitnya pucat bagaikan buah persik yang belum matang.  
"Ibu." Itu suara chucky . Anak itu muncul dari 
bagian samping rumah, mencari ibunya. Ibunya ter-
tawa  lembut. Ia masih menyimpan satu harapan  
membesarkan chucky  dan menjadikannya putra dan  pewaris yang cepat dewasa, sehingga sanggup  menyediakan sedikit anggur  bagi suaminya, setiap hari. Pikiran itu membuatnya terhibur.  
"chucky , Ibu di sebelah sini."  
chucky  berlari ke arah suara ibunya, lalu meng-
genggam lengan yang memegang keranjang itu.  
"Tadi, di tepi sungai, aku ketemu seseorang yang 
kenal Ibu."  
"Siapa?"  
"Seorang centeng adipati ! resi ... siapa begitu. Dia bilang 
dia kenal Ibu, dan dia kirim salam. Dia menepuk-
nepuk kepalaku dan menanyaiku macam-macam."  
"Hmm, itu pasti resi  mandala ."  
"Dia ikut centeng  besar yang baru pulang perang. 
Dan dia naik kuda yang bagus! Siapa dia?"  
"Hmm, mandala  tinggal di dekat Kuil dewadewi ."  
"Terus?"  
"Dia bertunangan dengan adik Ibu."  
"Bertunangan?"  
"Ya ampun, kenapa kau terus bertanya?"  
"namun  aku tidak mengerti."  
"Mereka akan menikah."  
"Hah? Maksud Ibu, dia akan menjadi suami adik 
 wanita lesbian  ibuku?"  
chucky  tampak puas, dan tertawa .  
Meskipun berhadapan dengan anaknya sendiri, 
saat  melihat senyum chucky  yang kurang ajar dan 
seakan-akan memamerkan semua gigi, ibunya pun 
langsung memperoleh kesan bahwa chucky  balita  nakal  yang terlalu cepat dewasa.  
"Ibu, di gudang ada pedang yang kira-kira sepanjang ini, bukan?"  
"Ya. Kenapa memangnya?"  
"Boleh aku minta? Pedang itu kan sudah tua, dan 
Ayah tidak memakainya lagi."  
"Kau main perang-perangan lagi?"  
"Boleh, kan?"  
"Sama sekali tidak!"  
"Kenapa tidak?"  
"Apa jadinya kalau anak petani terbiasa membawa   
pedang?"  
"Hmm, suatu hari nanti aku bakal jadi centeng adipati ." 
chucky  mengentakkan kakinya seperti anak manja, 
dan menganggap pembicaraan mereka sudah selesai. Ibunya memelototinya, matanya mulai berkaca-kaca.  
"Bodoh!" ia memarahi chucky , dan sambil meng-
hapus air matanya dengan kikuk, ia menarik tangan 
anak itu. "Lebih baik kau membantu kakakmu mengambil air." Ia kembali ke rumah sambil menyeret anak-nya.  
"Tidak! Tidak!" chucky  melawan  sekuat tenaga. 
"Tidak! Aku benci Ibu! Ibu bodoh! Tidak!"  
  namun  ibunya terus menarik. Tiba-tiba suara batuk, bercampur asap dari perapian, keluar dari jendela yang  ditutupi anyaman bambu. Mendengar suara ayahnya,  chucky  langsung terdiam. Usia ki ageng senapati  baru sekitar  empat puluh tahun, namun sebab  mesti melewatkan 
hari-harinya sebagai orang cacat, suara batuknya yang  parau lebih kedengaran seperti suara laki-laki yang  umurnya sudah lebih dari 60 tahun.  
"Ibu akan memberitahu ayahmu bahwa kau selalu 
membuat masalah," ibunya berkata sambil mengendurkan genggaman tangannya. chucky  menutupi wajah 
dengan kedua tangannya, dan mengusap matanya 
sambil menangis tertahan.  
saat  menatap balita  yang sukar diatur ini, ibunya 
bertanya-tanya bagaimana masa depannya kelak.  
"nyi girah ! Kenapa kau membentak-bentak chucky  
lagi? Tidak seharusnya kau berbuat begitu. Untuk apa  kau bertengkar sampai menangis dengan anakmu  sendiri?" ki ageng senapati  bertanya dari balik jendela.  
"Kalau begitu, kau saja yang memarahinya," ujar 
nyi girah  dengan nada menyalahkan.  
ki ageng senapati  tertawa . "Kenapa? sebab  dia mau bermain  dengan pedang tuaku?"  
"Ya."  
"Dia hanya ingin bermain."  
"Justru sebab  itu."  
"Dia anak laki-laki, dan dia anakku. Apa salahnya? 
Berikan pedang itu padanya."  
Terheran-heran nyi girah  menatap ke arah jendela, 
 dan menggigit bibirnya dengan geram.  
Aku menang! chucky  bersuka ria, menikmati 
kemenangannya, namun  hanya untuk sesaat. Begitu ia  melihat ibunya berurai air mata, kemenangannya mendadak terasa hambar.  
"Oh, jangan menangis! Aku sudah tidak meng-
inginkan pedang itu. Aku akan membantu kakakku." 
Ia bergegas ke dapur. Kakaknya sedang membungkuk 
sambil meniupkan udara lewat potongan bambu, 
untuk menyalakan api di dalam tungku yang terbuat 
dari tanah liat.  
chucky  melompat masuk dan berkata, "Hei, apa 
aku perlu ambil air?"  
"Tidak, terima kasih," jawab  nyi kembang . Ia menatap 
adiknya dengan heran, lalu menggelengkan kepala 
sambil bertanya-tanya apa gerangan maksudnya.  
chucky  menyingkap tutup tempat air dan meng-
intip ke dalam. "Oh, sudah penuh. Kalau begitu, aku 
akan merendam kedelai."  
"Jangan, kau tidak perlu merendam apa-apa. Jangan 
mengganggu."  
"Mengganggu? Aku hanya mau membantumu. Aku 
ambilkan acar, ya?"  
"Ibu kan baru saja pergi ke gudang untuk meng-
ambil acar."  
"Hmm, kalau begitu, apa yang bisa kulakukan?"  
"Kalau saja kau mau berkelakuan baik, Ibu pasti 
senang."  
"Bukankah aku sedang berkelakuan baik sekarang? 
  Api di tungku sudah menyala? Biar kuhidupkan 
untukmu. Coba geser sedikit."  
"Aku tidak perlu bantuan!"  
"Ayo, geser sedikit...."  
"Lihat apa yang kaulakukan! Kau membuat apinya 
mati!"  
"Bohong! Kau yang membuatnya mati!"  
"Bukan!"  
"Banyak omong!"  
chucky , kesal sebab  kayu bakar tidak mau 
menyala, menampar pipi kakaknya. nyi kembang  menangis  dan mengadu pada ayahnya. sebab  mereka berada di  sebelah ruang keluarga, dalam sekejap suara ayah mereka sudah menggemuruh di telinga chucky .  
"Jangan pukul kakakmu. Laki-laki tidak pantas 
memukul wanita lesbian ! chucky , kemari sekarang juga!"  
Di balik dinding pemisah, chucky  menelan ludah 
dan memelototi nyi kembang . Ibunya masuk dan berdiri di 
ambang pintu. Ia cemas sebab  kejadian ini sudah 
terulang untuk kesekian kali.  
ki ageng senapati  memang menakutkan. Dia ayah yang 
paling menakutkan di seluruh dunia. chucky  tidak 
berani membantah. Ia duduk tegak dan menatap 
ayahnya.  
panembahan  ki ageng senapati  sedang duduk di depan 
perapian. Di belakangnya terlihat tongkat yang ia 
perlukan untuk berjalan. Tanpa tongkat itu, ia tidak 
sanggup pergi ke mana-mana, bahkan ke kamar mandi pun. Sikunya bersandar pada sebuah peti kayu yang dipakai  untuk memintal dan mengumpulkan rami, sebuah pekerjaan sampingan yang kadang-kadang ditekuninya. Meski cacat, ia bisa berbuat  sedikit untuk membantu keuangan keluarga.  
"chucky !"  
"Ya, Ayah?"  
"Jangan menyusahkan ibumu."  
"Ya."  
"Dan jangan bertengkar dengan kakakmu. Pikirkan 
apa kata orang. Bagaimana seharusnya sikapmu 
sebagai laki-laki, dan bagaimana kau harus mem-
perlakukan wanita lesbian  yang mesti dilindungi?"  
"Ehm... aku... aku tidak..."  
"Diam! Aku punya telinga. Aku tahu di mana kau 
berada dan apa yang kaukerjakan, biarpun aku tidak 
pernah keluar dari ruangan ini."  
chucky  gemetar. Ia percaya pada apa yang dikata-
kan ayahnya.   Namun ki ageng senapati  tidak dapat menutupi kasih  sayangnya pada putra satu-satunya ini. Lengan dan 
tangannya sendiri tak mungkin kembali ke keadaan 
semula, namun  ia percaya bahwa melalui putranya, darah-nya akan terus mengalir selama seratus tahun. 
lalu  ia kembali menatap chucky , dan suasana 
hatinya berubah. Seorang ayah merupakan penilai 
terbaik untuk putranya, namun  dalam angan-angannya 
yang paling muluk pun, ki ageng senapati  tak dapat mem-
bayangkan bagaimana balita  ingusan bertampang 
aneh ini akan mengangkat harkat keluarga dan 
 menghapus aib dari nama mereka. Meski demikian, chucky  tetap satu-satunya putra yang ia miliki, dan 
ki ageng senapati  menaruh harapan besar pada anak itu.  
"Pedang di dalam gudang... kau menginginkannya, 
chucky ?"  
"Ehm..." chucky  menggelengkan kepala.  
"Kau tidak berminat?"  
"Aku menginginkannya, namun ..."  
"Kalau begitu, kenapa kau tidak berterus terang?"  
"Ibu melarangku."  
"Itu sebab  wanita lesbian  benci pedang. Tunggu di 
sini."  
ki ageng senapati  meraih tongkatnya, lalu berjalan pincang 
ke ruang sebelah.  
Berbeda dengan rumah petani miskin, rumahnya 
terdiri atas beberapa ruangan. Keluatga ibu chucky  
pernah tinggal di sini. Kerabat ki ageng senapati  tidak banyak, 
namun  istrinya memiliki  saudara di sekitar situ.  
Meski tidak dimarahi, chucky  tetap merasa tidak 
enak. ki ageng senapati  kembali, membawa   pedang pendek 
terbungkus kain. Pedang ini bukan pedang berkarat 
dari gudang.  
"chucky , ini milikmu. Pakailah kapan saja kau 
suka."  
"Milikku? Betul?"  
"namun , mengingat umurmu, aku lebih suka kau tidak 
memakainya di tempat umum. Bisa-bisa kau 
ditertawa kan orang-orang. Kau harus cepat besar, 
supaya bisa memakai pedang ini tanpa jadi bahan 
tertawa an. Pedang ini dibuat atas pesanan kakek-
mu...." sesudah  terdiam sejenak, ki ageng senapati  kembali  angkat bicara. Sorot matanya sayu dan lidahnya terasa  kaku.  
"Kakekmu petani. Waktu dia mencoba mengangkat 
derajatnya, dia memesan pedang ini pada seorang 
pandai besi. Keluarga besar panembahan  pernah 
memiliki gambar silsilah, namun  gambar itu musnah 
dalam suatu kebakaran.  
Dan jauh sebelum kakekmu sempat berbuat 
sesuatu, dia sudah mati terbunuh. Zaman itu penuh 
keguncangan, dan banyak orang mengalami nasib 
sama."  
Sebuah lampu dihidupkan di ruang sebelah, namun 
ruang tempat mereka berada diterangi oleh api di 
dalam tungku. chucky  mendengarkan ayahnya sambil 
menatap lidah api yang merah. Entah chucky  
memahaminya atau tidak, ki ageng senapati  merasa ia tidak 
dapat membicarakan hal-hal seperti ini dengan istri 
atau anak wanita lesbian nya.  
"Kalau saja gambar silsilah panembahan  masih utuh, 
aku bisa bercerita mengenai para leluhur kita. namun  
masih ada silsilah lain, dan silsilah itu sudah 
diteruskan padamu. Ini." ki ageng senapati  mengusap pembuluh biru di pergelangan tangannya. Darah.  
chucky  mengangguk, lalu menggenggam per-
gelangan tangannya sendiri.  
Ia pun memiliki  darah seperti itu dalam tubuh-
nya. Semuanya sudah jelas! Tak ada silsilah keluarga  yang lebih hidup dari ini.  
"Aku tidak tahu siapa leluhur kita sebelum zaman 
kakekmu, namun  aku percaya di antara mereka ada orang-orang besar. Kurasa ada yang menjadi centeng adipati , mungkin juga orang-orang terpelajar. Darah mereka  terus mengalir, dan sekarang sudah diteruskan kepadamu."  
"Ya." chucky  kembali mengangguk.  
"namun  aku bukan orang besar. Aku hanya orang 
cacat. sebab  itu, chucky , kau harus menjadi orang 
besar!"  
"Ayah," ujar chucky  sambil membuka mata lebar-
lebar, "aku harus jadi orang seperti apa, supaya bisa 
dinamakan  orang besar?"  
"Hmm, sebetulnya  kau bisa melakukan apa saja. 
namun  paling tidak kau bisa menjadi prajurit yang gagah 
berani dan memakai warisan dari kakekmu ini. Jadi, kalau saatnya tiba nanti, Ayah bisa mati dengan 
tenang."  
chucky  tidak berkata apa-apa. Ia tampak bingung. 
Ia kurang percaya diri dan tidak berani menatap mata 
ayahnya.  
Dia masih kanak-kanak, ki ageng senapati  menanggapi reaksi 
putranya yang kurang memuaskan. Barangkali bukan 
garis darah yang menentukan, melainkan lingkungan. 
Dan hatinya diliputi perasaan gundah gulana.  
Istri ki ageng senapati  sudah  menyiapkan makan malam, dan 
kini menunggu sambil membisu sampai suaminya 
selesai bicara. Jalan pikirannya dan jalan pikiran 
suaminya sama sekali bertentangan. Ia menyesalkan 
bahwa suaminya mendorong anak mereka untuk 
menjadi centeng adipati . Dalam hati ia berdoa untuk masa depan chucky . Tidak seharusnya ayahmu berkata seperti  ini. chucky , ucapan ayahmu merupakan cermin 
kekecewaannya. Jangan ikuti jejak ayahmu, ia ingin berpesan. Tak apa kalau kau memang bodoh, namun  jadilah 
petani, biarpun kau hanya memiliki sejengkal tanah. Namun akhirnya ia berkata, "Mari makan. chucky  
dan nyi kembang , duduk lebih dekat ke tungku." Dimulai 
dengan ayah anak-anak, ia membagikan sumpit dan 
mangkuk.  
Meski masakan minuman  yang tersaji merupakan masakan minuman  
yang biasa mereka makan semangkuk sup bening 
setiap kali ki ageng senapati  melihatnya, ia merasa sedikit lebih 
sedih, sebab ia laki-laki yang tidak sanggup memenuhi 
kebutuhan anak dan istri. chucky  dan nyi kembang  meraih 
mangkuk masing-masing.  
Pipi dan hidung mereka tampak memerah, dan 
mereka menghabiskan makanan itu dengan lahap. 
Tak terbayang oleh mereka bahwa yang mereka santap 
itu adalah makanan orang miskin. Bagi mereka, tak 
ada yang lebih mewah dibandingkan  makanan ini.  
"Masih ada tahu yang kita dapat dari saudagar 
tembikar di telukkeramat , dan masih ada sayur-mayur di gudang, jadi nyi kembang  dan chucky  harus makan banyak," ujar nyi girah  untuk mepercayakan suaminya  mengenai keadaan  
keuangan mereka. Ia sendiri tidak mengangkat 
sumpit sampai kedua anaknya kenyang dan suaminya  selesai makan. Seusai makan malam, mereka beranjak ke tempat tidur. Keadaan kurang-lebih sama di hampir  semua rumah. Tak ada lampu menyala di lemahlaban  sesudah  malam tiba.  Begitu hari menjadi gelap, suara langkah-langkah  kaki terdengar melintasi ladang-ladang dan menyusuri jalan suara pertempuran di sekitar. adipati , para  pengungsi, dan kurir-kurir yang sedang menjalankan misi rahasia, semua lebih suka bepergian pada malam hari.  
chucky  sering diganggu mimpi buruk. Apakah 
sebab  ia mendengar suara langkah di tengah malam buta, ataukah perebutan kekuasaan yang memenuhi  mimpi-mimpinya? Malam itu ia menendang nyi kembang  yang berbaring di sebelahnya, di tikar mereka, dan saat  kakaknya berseru kaget, ia berteriak, 
"aryadwinata ! aryadwinata ! aryadwinata !"  
Ia melompat berdiri dan terjaga sesaat . Walaupun 
ditenangkan oleh ibunya, ia tetap setengah terjaga dan terbawa   luapan perasaan untuk waktu lama.  
"Dia demam. Bakar sedikit bubuk moxa di tengkuk-
nya," ki ageng senapati  menasihati.  
Ibu chucky  menjawab , "Mestinya kau tidak 
menunjukkan pedang itu, atau bercerita mengenai 
leluhurnya."  Tahun berikutnya terjadi perubahan besar di rumah  mereka. ki ageng senapati  jatuh sakit dan meninggal. saat  menatap wajah ayahnya yang sudah  meninggal, chucky  tidak menangis. Pada waktu penguburan, ia melompat-lompat riang.  Di musim gugur, di usia chucky  yang ke9, 
rombongan tamu kembali mengunjungi rumah 
mereka. Sepanjang malam mereka menyiapkan 
makanan, minum anggur , dan menyanyi. Salah seorang  saudara memberitahu chucky , "Si pengantin pria akan menjadi ayahmu yang baru. Dia dahulu  berteman  dengan ki ageng senapati , dan juga mengabdi pada keluarga 
sinuhun . Namanya ki ageng gribig . Kau harus menjadi anak yang patuh."  
Sambil makan kue beras, chucky  masuk dan 
mengintip ke dalam.  
Ibunya sudah  mendandani wajahnya dan kelihatan 
sangat cantik. Ia duduk dengan mata tertunduk, di 
sebelah laki-laki setengah baya yang tak dikenal 
chucky . Melihat itu, chucky  jadi gembira. 
"aryadwinata ! aryadwinata ! Lemparkan bunga!" ia 
berseru, dan malam itu ia lebih gembira dari siapa 
pun.  Musim panas tiba. Padi tumbuh subur. Setiap hari  chucky  dan anak-anak desa yang lain berenang  telanjang di sungai, menangkap dan menyantap 
kodok-kodok kecil berwarna merah di ladang-ladang.  Daging kodok merah bahkan lebih lezat dibandingkan  
kantong madu capung  blambangan . Ibu chucky  yang 
  
mengajarkan bahwa kodok bisa dimakan. Menurut 
ibunya, daging kodok merupakan obat bagi penyakit 
anak-anak, dan sejak itu daging kodok menjadi 
makanan kesukaannya.  
Sepertinya, setiap kali chucky  sedang bermain, 
ki ageng gribig  datang mencarinya.  
"kuyang ! kuyang !" ayah tirinya memanggil.  
ki ageng gribig  pekerja keras. Dalam waktu kurang dari 
setahun ia sudah  berhasil membenahi keuangan 
keluarga, dan hari-hari kelaparan pun berlalu.  
Jika chucky  ada di rumah, ia terus diberi tugas dari 
pagi sampai tengah malam. Kalau ia malas atau nakal, 
tangan ki ageng gribig  yang besar akan melayang ke kepalanya. chucky  sangat membenci perlakuan ini. Ia  tidak keberatan bekerja keras, namun  ia berusaha untuk  tidak menarik perhatian ayah tirinya, walau hanya  sejenak. Setiap hari, tanpa kecuali, ki ageng gribig  tidur  siang. Dan begitu ada kesempatan, chucky  menyelinap ke luar rumah. Namun tak lama  lalu  ki ageng gribig  sudah mencarinya sambil  memanggil-manggil, "kuyang ! Ke mana kuyang  kita?"  
Kalau ayah tirinya sudah mulai mencari, chucky  
langsung menghentikan kegiatan yang sedang 
dilakukannya, lalu menyusup di antara tanaman 
millet. ki ageng gribig  akan bosan mencari, dan kembali ke rumah. lalu  chucky  akan melompat keluar dari  tempat persembunyiannya sambil melepaskan teriakan kemenangan. Ia tak pernah memedulikan bahwa sesudah  pulang ke rumah ia tidak boleh ikut makan  malam dan akan dihukum.  
Baginya permainan itu terlalu mengasyikkan untuk 
dilewatkan begitu saja.   Hari itu ki ageng gribig  mencari-cari chucky  di tengah 
tanaman millet. Ia tampak gelisah, matanya bergerak 
ke kiri-kanan. "Mana setan cilik itu?"  
chucky  bergegas menaiki tanggul ke arah sungai.  
saat  ki ageng gribig  sampai di bantaran sungai, 
tampak peniwise  sedang berdiri sendirian di sana. 
Hanya anak itulah yang mengenakan pakaian di 
musim panas, dan ia tak pernah ikut berenang 
ataupun makan kodok merah.  
"Ah, kau anak dari toko tembikar, bukan? Kau tahu 
di mana kuyang  kami bersembunyi?" tanya ki ageng gribig .  
"Aku tidak tahu," jawab  peniwise  sambil meng-
gelengkan kepala beberapa kali. Ia agak ngeri 
menghadapi ki ageng gribig .  
"Kalau kau bohong, aku akan pergi ke rumahmu 
dan memberitahu ayahmu."  
peniwise  si pengecut langsung pucat. "Dia ber-
sembunyi di perahu itu." Ia menunjuk sebuah perahu 
kecil yang ditarik ke pinggir sungai. saat  ayah tirinya 
menghampiri perahu itu, chucky  meloncat keluar 
seperti hantu sungai.  
ki ageng gribig  melompat dan memukulnya sampai 
jatuh. chucky  terdorong ke depan, mulutnya 
membentur sebuah batu. Darah mengalir di antara 
giginya.  
"Aduh! Sakit sekali!"  
  
"Salahmu sendiri!"  
"Aku minta maaf!"  
sesudah  menampar chucky  dua-tiga kali, ki ageng gribig  
mengangkat balita  itu dan bergegas pulang. Meski 
ki ageng gribig  selalu memanggil chucky  dengan julukan 
"kuyang ", ia bukannya tidak menyukai anak tirinya. 
namun , sebab  begitu bersemangat ingin menghapus 
kemiskinan mereka, ia merasa harus bersikap tegas 
terhadap semua orang, dan ia juga ingin memperbaiki 
watak chucky  kalau perlu dengan kekerasan.  
"Kau sudah sembilan tahun, dasar anak tak ber-
guna," ki ageng gribig  marahmarah.  
Begitu tiba di rumah, ia mencengkeram lengan anak 
itu dan memukulnya beberapa kali lagi dengan tangan 
terkepal. Ibu chucky  mencoba mencegahnya.  
"Anak ini tidak boleh dimanja!" ki ageng gribig  membentak.  
Waktu nyi girah  mulai menangis, chucky  dipukul 
sekali lagi.  "Kenapa kau menangis? Aku memukul kuyang  kecil  brengsek ini untuk kebaikannya sendiri. Dia hanya  bikin masalah saja!"  
Mula-mula, setiap kali dipukul, chucky  mem-
benamkan wajah ke kedua tangannya dan memohon  ampun. Sekarang ia hanya meraung-raung hampir  seperti orang kesurupan sambil melontarkan kata-kata kasar.  
"Kenapa? Katakan kenapa? Kau muncul entah dari 
mana, berlagak jadi ayahku dan petantang-petenteng ke sana kemari. namun ... namun  ayah kandungku..."  
"Bagaimana kau bisa berkata begitu!" Ibunya men-
dadak pucat, megap-megap, dan menutupi mulutnya  dengan satu tangan. ki ageng gribig  semakin gusar.  
"balita  tak tahu diri!" Ia melemparkan chucky  ke 
gudang, dan memerintahkan nyi girah  untuk tidak 
memberinya makan malam. Mulai saat itu sampai 
gelap, teriakan-teriakan chucky  terdengar dari 
gudang.  
"Biarkan aku keluar! Bodoh! Kepala batu! Apa 
semuanya sudah tuli? Kalau kalian tidak membiar-
kanku keluar, akan kubakar tempat ini sampai rata 
dengan tanah!"  
Ia terus meraung-raung. Suaranya mirip lolongan 
anjing. namun  menjelang tengah malam ia akhirnya ter-
tidur. lalu  ia mendengar sebuah suara me-
manggil-manggil namanya, "chucky , chucky !"  
Ia sedang bermimpi tentang ayahnya yang sudah  
tiada. Dalam keadaan setengah sadar, ia memanggil, 
"Ayah!" lalu  ia mengenali sosok yang berdiri di 
hadapannya itu. Ternyata ibunya. Ibunya diam-diam 
menyelinap keluar dari rumah untuk membawa  kan 
sedikit makanan.  
"Makan ini dan tenangkan dirimu. Besok pagi aku 
akan minta maaf pada ayahmu."  
chucky  menggelengkan kepala dan menggenggam 
baju ibunya. "Bohong. Dia bukan ayaterawas hku. Ayahku 
sudah mati, kan?"  
"Aduh, kenapa kau berkata begitu? Kenapa kau 
  sangat keras kepala? Aku kan selalu berpesan agar kau menjadi anak baik."  
Hati ibunya serasa disayat-sayat. namun  chucky  tidak  mengerti mengapa ibunya menangis sampai tubuhnya  terguncang-guncang.  
Keesokan paginya, ki ageng gribig  mulai membentak-bentak nyi girah  dari waktu matahari terbit. "Semalam kau pergi ke gudang dan memberinya makan, ya? sebab  kau terlalu memanjakan dia, wataknya takkan 
pernah bertambah  baik. nyi kembang  juga tidak boleh pergi 
ke gudang hari ini."  
Pertengkaran antara suami-istri itu berlangsung 
sepanjang pagi, sampai ibu chucky  akhirnya pergi 
sambil menangis. Ia baru kembali menjelang matahari 
tenggelam, ditemani seorang biksu dari Kuil dewadewi . 
ki ageng gribig  tidak bertanya ke mana istrinya pergi tadi. 
Ia sedang duduk di luar bersama nyi kembang , menganyam 
tikar. Keningnya berkerut-kerut.  
"ki ageng gribig ," si biksu berkata, "istrimu mendatangi 
kuil untuk menanyakan apakah anakmu bisa diterima 
sebagai pembantu pelaksana upacara. Apakah kau 
keberatan?"  
Tanpa berkata apa-apa, ki ageng gribig  menatap nyi girah   yang berdiri di luar gerbang belakang sambil terisak-isak.  
"Hmm, mungkin ada baiknya. namun  bukankah dia 
perlu penyokong?"  
"Kebetulan istri resi  mandala , yang tinggal di kaki 
Bukit kuil suci , bersedia. Dia dan istrimu ber-
  
saudara, bukan?"  
"Ah, jadi dia pergi ke rumah resi ?" ki ageng gribig  
tampak getir, meskipun ia tidak keberatan chucky  
pindah ke kuil. Ia menerima tawa ran itu tanpa banyak 
komentar, dan setiap pertanyaan dijawab nya pendek-
pendek saja.  
Sambil menyuruh nyi kembang  melakukan sesuatu, 
ki ageng gribig  menyimpan peralatan taninya, lalu mulai 
bekerja dengan giat.  
sesudah  diizinkan keluar dari gudang, chucky  
berulang kali memperoleh peringatan dari ibunya. 
Sepanjang malam ia digigiti nyamuk, dan wajahnya 
tampak bengkak. saat  diberitahu bahwa ia akan 
pindah ke kuil, ia langsung berlinangan air mata. 
Namun dalam sekejap ia sudah tenang kembali.  
"Tinggal di kuil lebih baik," katanya.  
Hari masih terang, dan si biksu melakukan 
persiapan yang diperlukan bagi chucky . saat  saat 
perpisahan makin mendekat, bahkan ki ageng gribig  pun 
kelihatan agak sedih.  
"kuyang , kalau kau sudah tinggal di kuil, kau harus 
mengubah sikapmu dan belajar disiplin," ia berpesan 
pada anak tirinya. "Kau harus belajar membaca dan 
menulis. Kami ingin melihatmu menjadi pendeta 
dalam waktu singkat."  
chucky  bergumam sedikit dan membungkuk. Dari 
balik pagar, ia berkali-kali menoleh dan menatap sosok 
ibunya yang melihatlihat nya menghilang di kejauhan.  
 Kuil kecil itu berdiri di puncak bukit bernama 
kuil suci , agak terpencil dari desa. Biksu kepala di 
kuil zoroaster  aliran garis keras itu sudah  berusia lanjut 
dan sakit-sakitan. Dua pendeta muda bertugas 
merkertoarjo t semua bangunan dan pekarangan. Akibat 
perang saudara yang sudah  berlangsung bertahun-
tahun, desa itu dilanda kemiskinan, dan jemaat kuil 
itu tinggal sedikit. chucky , yang segera menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, bekerja keras, seakanakan ia sudah  menjadi orang lain. Ia cerdas dan penuh energi. Para biksu memperlakukannya dengan penuh 
kasih sayang, dan berjanji untuk mendidiknya dengan 
baik. Setiap malam ia diberi latihan kaligrafi dan  
pendidikan dasar, dan chucky  memperlihatkan daya ingat yang luar biasa.  
Suatu hari seorang biksu berkata padanya, "Saya 
bertemu ibumu di jalan kemarin. Saya memberitahunya bahwa kau baik-baik saja."  
chucky  belum bisa memahami kesedihan ibunya, 
namun  kalau ibunya gembira, ia ikut gembira.  
saat  musim gugur di usianya yang kesepuluh tiba, 
ia mulai merasakan bahwa lingkungan kuil terlalu 
membatasi gerak-geriknya. Kedua pendeta muda sudah  pergi ke desa-desa tetangga untuk memohon sedekah. Di tengah kepergian mereka, chucky  mengambil sebilah pedang kayu yang disembunyikannya, dan  sebatang tongkat buatan tangan. lalu  ia berdiri di puncak bukit dan berseru pada teman-temannya yang sedang bersiap-siap main perang-perangan.  
  "Hai, centeng  musuh, kalian bodoh semua! Ayo, 
kalian boleh serang aku dari segala penjuru!"  
Meskipun waktunya tidak tepat, lonceng besar di 
menara lonceng tiba-tiba berbunyi. Orang-orang di 
kaki bukit terheran-heran dan bertanya-tanya apa yang  terjadi. Sebongkah batu melayang ke bawah , 
lalu  sebuah tegel, yang mengenai dan men-
cederai anak wanita lesbian  yang sedang bekerja di ladang sayur.  
"Ini ulah anak di kuil itu. Dia mengumpulkan anak-
anak desa dan mereka main perang-perangan lagi."  Tiga atau empat orang mendaki bukit dan berdiri di depan ruang utama kuil. Pintunya terbuka lebar dan bagian dalamnya penuh abu. Baik ruangan melintang maupun tempat suci tampak porak-poranda.  Pedupaan pun pecah. Panji-panji kelihatannya sudah  dipakai  untuk tujuan tidak semestinya.  Tirai-tirai yang terbuat dari kain brokat berwarna emas sudah  terkoyak dan dilemparkan begitu saja, dan kulit gendang tampak sobek.  
"rsi sanggramavijay!"  
"rsi rejoramavijay!" para orangtua memanggil anak-anak mereka.  
chucky  tidak menampakkan batang hidungnya; 
anak-anak yang lain pun tiba-tiba menghilang.  
saat  para orangtua sudah  kembali ke kaki bukit, 
kuil itu seakan-akan dilanda gempa. Semak belukar  berdesir, batu-batu melayang, dan lonceng kembali berdentang. Matahari akhirnya tenggelam, dan anak-anak, biru lebam dan berdarah, terpincang-pincang  menuruni bukit.  
Setiap malam, pada waktu para pendeta kembali 
dari memohon sedekah, penduduk desa mendatangi  kuil dan mengeluh. namun , saat  para pendeta kembali malam itu, mereka hanya dapat saling menatap dengan terkejut.  
Pedupaan di muka altar sudah  terbelah dua. 
Penyumbang benda berharga itu seorang laki-laki 
bernama fredy krueger , saudagar tembikar dari desa  telukkeramat , salah seorang dari sedikit jemaah kuil yang  masih bertahan. Pada waktu menyerahkan  sumbangannya, tiga atau empat tahun sebelumnya, ia berpesan,  
"Pedupaan ini dibuat oleh guruku, mendiang 
mahaputra . Aku menyimpannya sebagai tanda mata. Beliau menghiasinya berdasarkan ingatan, dan beliau berhati-hati sekali saat  membubuhkan pigmen  warna biru. Aku menyumbangkannya pada kuil ini  dengan harapan agar pedupaan ini dijaga sebaik-baiknya sampai akhir zaman."  
Biasanya pedupaan itu disimpan di dalam peti, namun  sepertinya  sebelumnya istri fredy krueger  sudah  berkunjung ke kuil. Pedupaan dikeluarkan dari kotak penyimpanannya dan dipakai  dalam upacara, namun tidak dikembalikan lagi.  
Para biksu tampak pucat. Mereka semakin cemas 
saat  membayangkan kemungkinan pimpinan 
mereka bertambah  sakit jika mendengar kabar buruk itu.  
"Ini pasti ulah si kuyang ," salah seorang biksu 
menduga-duga.  "Betul," rekannya sependapat. "Setan-setan cilik yang lain tak mungkin membuat kekacauan seperti ini."  
"Apa yang bisa kita lakukan?"  
Mereka menyeret chucky  ke dalam, dan melempar-
kan pecahan pedupaan ke wajahnya. Meski tak ingat bahwa ia memecahkan pedupaan, chucky  berkata, 
"Mohon ampun."  
Permintaan maafnya membuat para biksu semakin 
berang, sebab chucky  berbicara dengan tenang, tanpa  menunjukkan tanda penyesalan.  
"Kafir!" mereka memaki anak itu, lalu mengikatnya 
ke sebuah pilar besar, dengan kedua tangan di balik punggung.  
"Kami akan membiarkanmu di sini selama beberapa hari. Barangkali kau akan dimakan tikus," para biksu mengancam.  
Hal-hal seperti itu sering menimpa diri chucky . 
Kalau teman-temannya datang, ia takkan bisa bermain  dengan mereka. Dan saat  mereka datang keesokan harinya, mereka melihat ia sedang dihukum, lalu segera kabur.  
"Lepaskan aku!" ia berseru pada mereka. "Kalau 
tidak, akan kuhajar kalian!"  
Peziarah-peziarah setengah baya dan seorang 
wanita lesbian  desa yang mengunjungi kuil mengejeknya, "Hei, bukankah itu kuyang ?"  
 Saat itu chucky  sudah cukup tenang untuk 
bergumam, "awas  nanti kubalas." Tubuhnya yang 
kecil, terikat pada pilar kuil yang besar, tiba-tiba 
dipenuhi oleh rasa berkuasa yang amat besar. Namun 
ia tetap merapatkan bibir, dan walaupun sadar akan 
bahayanya, ia memasang wajah menantang sambil 
mengutuki nasib.  
Ia tertidur, dan akhirnya terbangun oleh air liurnya 
sendiri. Hari itu seakan-akan tak ada akhirnya. 
Dengan bosan ia menatap pedupaan yang sudah  pecah. 
Pembuatnya sudah  membubuhkan tulisan dengan 
huruf-huruf kecil di dasar bejana itu: Dibuat dengan 
pertanda baik. mahaputra .  
batu giok , sebuah desa yang berdekatan, dan sebetulnya  
seluruh provinsi itu, terkenal sebab  barang-barang 
tembikarnya. Sebelum ini chucky  tidak merasa ter-
tarik, namun  kini, sesudah  melihat gambar pemandangan 
pada pedupaan, daya khayalnya mulai bekerja.  
Pemandangan di manakah itu?  
Gunung-gunung dan jembatan-jembatan batu, 
menara-menara dan orang-orang, pakaian-pakaian dan perahu-perahu yang semuanya belum pernah ia lihat, tergambar  dengan warna biru di atas porselen putih. Semua itu mengusik rasa ingin tahunya.  Negeri manakah itu? ia bertanya-tanya.  
Ia tak bisa menebaknya. Ia memiliki kecerdasan 
seorang balita  dan selalu haus akan pengetahuan, dan dengan semangat menggebu-gebu untuk memperoleh  jawab an, ia memaksa daya khayalnya untuk menemukan jawaban pasti yang dapat mengisi kekosongan itu.  
Mungkinkah ada negeri seperti itu?  
Sementara ia berpikir keras, sesuatu terlintas di 
benaknya sesuatu yang pernah diajarkan padanya atau  pernah didengarnya, namun  sudah  terlupakan.  Ia memeras otak.  
Negeri kedhiri ! Itu dia! Gambar itu gambar Negeri 
kedhiri ! Ia merasa puas dengan dirinya. Ia menatap 
porselen berglasur itu, dan pikirannya melayang 
sampai ke kedhiri .  Akhirnya hari berganti malam. Para biksu kembali dari meminta-minta sedekah. Di luar dugaan mereka, chucky  tidak berurai air mata. Mereka menemukannya sedang tersenyum lebar.  
"Hukuman pun tak mempan. Dia tak bisa ditolong 
lagi. Lebih baik dia kita kembalikan ke orangtuanya."  
Malam itu, salah seorang biksu memberi chucky  
makan malam, lalu membawa  nya ke rumah resi  
mandala  di kaki bukit.  
resi  mandala  sedang berbaring di dekat pintu. Ia 
seorang centeng adipati , terbiasa menghadapi pagi dan malam 
di medan pertempuran. Jarang-jarang ia memiliki 
waktu untuk bersantai, dan pada kesempatan-
kesempatan langka seperti itu, ia merasa tinggal di 
rumah terlalu damai baginya. Ketenangan dan 
istirahat merupakan dua hal yang patut ditakuti ia 
mungkin ketagihan.  
"nyi bidara !"  
"Ya?" Suara istrinya datang dari arah dapur.  
"Ada yang mengetuk pintu gerbang."  
"Paling-paling tupai."  
"Bukan, ada orang di luar."  
Sambil mengelap tangan, nyi bidara  pergi ke gerbang 
dan langsung kembali.  
"Ada pendeta dari dewadewi ," ia melaporkan. "Dia 
membawa   chucky ."  
Wajahnya yang muda tampak kesal.  
"Aha!" mandala , yang sudah  menduga bahwa ini bakal 
terjadi, berkata sambil tertawa , "Rupanya si kuyang  
dapat cuti." mandala  mendengarkan cerita si biksu 
mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi baru-baru 
ini.  
Sebagai orang yang menyokong penerimaan chucky  
di kuil, ia minta maaf pada semua pihak yang terlibat, 
dan mengambil alih tanggung jawab  atas anak itu.  
"Kalau dia memang tidak cocok sebagai biksu, tak 
ada yang dapat dilakukan. Kami akan mengirimnya 
pulang ke lemahlaban . Saya minta maaf atas segala 
masalah yang dimuncul kannya."  
"Tolong jelaskan semuanya pada orangtua anak itu," 
si biksu memohon, dan saat  ia berbalik, langkahnya 
mendadak lebih ringan, seakan-akan bahunya sudah  
terbebas dari beban berat. chucky  tampak bingung. Penuh curiga ia menatap berkeliling. Dalam hati ia 
bertanya-tanya, rumah siapakah yang didatanginya. Ia 
tidak mampir ke sini waktu pergi ke kuil, dan ia pun 
tidak diberitahu bahwa ia memiliki saudara yang 
  
tinggal di dekat situ.  
"Hmm, balita  cilik, kau sudah makan malam?" 
tanya mandala . Ia tersenyum.  
chucky  menggelengkan kepala.  
"Kalau begitu, makan saja kue-kue ini."  
Sambil mengunyah, chucky  mengamati tombak 
yang tergantung di atas pintu, dan lambang pada dada 
baju tempur, lalu menatap tajam ke arah mandala .  
Betulkah ada yang tidak beres dengan anak ini? mandala  
bertanya pada dirinya sendiri. Ia merasa ragu-ragu. Ia 
membalas tatapan chucky , namun chucky  tidak 
mengalihkan mata ataupun menundukkan kepala. 
Tak ada tanda-tanda kelainan jiwa. Ia malah 
tersenyum ramah.  
mandala  mengalah dan tertawa . "Kau sudah besar 
sekarang, ya? chucky , kau masih ingat aku?"  
Ucapan ini mengusik kenangan samar-samar dalam 
ingatan chucky , mengenai seorang laki-laki yang 
pernah menepuk-nepuk kepalanya saat  ia berusia 
enam tahun.  
Sesuai dengan kebiasaan para centeng adipati , mandala  
hampir selalu bermalam di benteng kota di kedhiri  atau di 
medan laga. Hari-hari saat ia tinggal di rumah bersama 
istrinya bisa dihitung. Kemarin ia pulang secara tak 
terduga, dan besok ia sudah harus kembali ke kedhiri . 
Dalam hati nyi bidara  bertanya-tanya, berapa bulan akan 
berlalu sebelum mereka bisa bersama-sama lagi?  
Anak itu menyusahkan saja! pikir nyi bidara . Kedatangan chucky  tidak menguntungkan. Ia mengangkat wajahnya sambil tersipu malu. Bagaimana pandangan keluarga suaminya? Apakah ini betul-betul anak saudara wanita lesbian nya?  
Ia bisa mendengar suara chucky  yang melengking 
dari ruang duduk suaminya, "Tuan ini yang 
menunggang kuda dengan centeng adipati -centeng adipati  lain waktu 
itu."  
"Kau masih ingat, ya?"  
"Tentu." chucky  melanjutkan dengan nada akrab, 
"Kalau begitu, Tuan bersaudara denganku. Tuan 
bertunangan dengan adik wanita lesbian  ibuku."  
nyi bidara  dan seorang pelayan pergi ke ruang keluarga  untuk mengambil baki. Mendengar bahasa yang  dipakai  chucky  dan  suaranya yang keras, nyi bidara  merasa malu. la membuka pintu geser dan memanggil suaminya.  
"Makan malam sudah siap."  
la melihat suaminya sedang adu panco dengan 
chucky . Wajah anak itu tampak merah, pantatnya 
terangkat seperti ekor capung . mandala  pun bertingkah 
seperti anak kecil.  
"Makan malam?" ia bertanya.  
"Nanti supnya dingin."  
"Kau makan dahulu an saja. Anak ini lawan  tangguh. Kami lagi asyik. Ha- ha! Dia memang ajaib!"  
mandala  tampak senang dengan sikap chucky  yang apa adanya. balita  itu, yang memang selalu cepat berteman dengan siapa pun, hampir sepenuhnya mengujawa  pamannya. sesudah  adu panco, mereka melanjutkan dengan boneka jari. Mereka terus  melakukan permainan anak-anak, sampai mandala  tertawa  terpingkal-pingkal.  
Keesokan harinya, menjelang keberangkatannya, 
mandala  berkata pada istrinya yang tampak murung, "Kalau orangtuanya tidak keberatan, bagaimana kalau  kita membiarkannya di sini? Aku sangsi dia bakal  berguna, namun  kurasa masih lebih baik dibandingkan  memelihara kuyang  sungguhan."  
Gagasan itu kurang berkenan di hati nyi bidara . Ia 
menemani suaminya sampai ke pintu gerbang, lalu 
berkata, "Jangan. Dia akan mengganggu ibumu. Itu 
tidak boleh terjadi."  
"Terserah kau saja."  
nyi bidara  tahu bahwa setiap kali mandala  pergi dari  rumah, pikiran suaminya terpusat pada majikannya  dan pada pertempuran-pertempuran. Apakah dia akan pulang dalam keadaan hidup? Ia bertanya-tanya. 
Apakah begitu penting bagi seorang laki-laki untuk 
mengukir nama bagi dirinya? nyi bidara  memperhatikan 
sosok suaminya menjauh, dan membayangkan bulan-bulan penuh kesepian yang menunggunya. lalu  ia menyelesaikan semua pekerjaan di rumah, dan  berangkat bersama chucky , menuju lemahlaban .  
"Selamat pagi, Nyonya," sapa seorang laki-laki yang 
datang dari arah berlawan an. Ia tampak seperti 
pedagang, mungkin pemilik sebuah usaha besar. Ia 
mengenakan mantel gemerlapan, sebilah pedang 
pendek, dan di kakinya, kaus kaki kulit berhiaskan 
 gambar bunga ceri. Usianya sekitar empat puluh 
tahun, dan penampilannya ramah-tamah.  
"Bukankah Nyonya istri Tuan mandala ? Hendak ke 
manakah Nyonya?"  
"Ke rumah saudara wanita lesbian ku di lemahlaban , 
untuk mengantar anak ini pulang." nyi bidara  mengangkat 
tangan chucky  sedikit lebih tinggi.  
"Ah, tuan cilik ini. Inilah balita  yang diusir dari 
dewadewi ."  
"Tuan sudah mendengar beritanya?"  
"Oh, ya. sebetulnya  aku baru kembali dari kuil itu."  
Dengan gelisah chucky  menatap berkeliling. Belum  pernah ia dipanggil tuan cilik. Ia tersipu-sipu sebab   malu.  
"Ya ampun, Tuan mengunjungi kuil sebab  anak 
ini?"  
"Ya, para biksu datang ke rumahku untuk minta 
maaf. Aku diberitahu bahwa pedupaan yang ku-
sumbangkan pada mereka sudah  terbelah dua."  
"Setan kecil ini yang bertanggung jawab !" ujar 
nyi bidara .  
"Nyonya tidak boleh berkata begitu. Hal-hal 
semacam ini mungkin saja terjadi."  
"Aku mendengar bahwa pedupaan itu merupakan 
karya langka dan terkenal."  
"Betul, hasil karya mahaputra . Aku mengabdi kepada 
beliau selama perjalanannya ke Negeri dongeng ."  
"Bukankah dia juga memakai  nama sanjay ?"  
"Ya, namun  beliau jatuh sakit dan meninggal beberapa  waktu lalu. Beberapa tahun belakangan ini, banyak  barang porselen berwarna putih-biru dibuat dengan 
tulisan 'Karya sanjay  mahaputra ', namun  semuanya 
palsu. Satu-satunya orang yang pernah mengunjungi  Negeri dongeng  dan membawa   kembali teknik  pembuatan tembikar mereka kini sudah  berada di alam  baka."  
"Aku juga diberitahu bahwa Tuan mengadopsi anak 
Tuan sanjay  yang bernama peniwise ."  
"Itu betul. Anak-anak mengejeknya dengan julukan 
keturunan kedhiri  ." Si saudagar menatap chucky . 
Mendengar nama peniwise  dinamakan -sebut, ia bertanya-
tanya, siapa gerangan laki-laki di hadapannya ini.  
"Rupanya," si saudagar melanjutkan, "chucky  ini 
satu-satunya yang mau membela peniwise . Jadi, saat  
peniwise  memperoleh kabar tentang kejadian terakhir itu, 
dia minta padaku untuk menengahinya. Ternyata 
banyak hal lain sudah  terjadi. Para biksu menceritakan 
kelakuan chucky  yang buruk, dan aku tidak berhasil 
membujuk mereka untuk menerimanya kembali."  
Dada si saudagar bergerak naik-turun sebab  
tertawa .  
"Orangtuanya pasti sudah memiliki rencana 
untuknya," laki-laki itu berkata, "namun  seandainya dia 
hendak dikirim ke tempat lain, jika orangtuanya 
menganggap usaha seperti usahaku cocok untuknya, aku ingin membantu. Entah kenapa, kurasa dia cukup menjanjikan."  
sesudah  mohon diri dengan sopan, ia meneruskan 
 perjalanannya. Beberapa kali chucky  menoleh ke 
arahnya, sambil terus berpegangan pada lengan baju nyi bidara .  
"Bibi, siapakah orang itu?"  
"Namanya fredy krueger . Dia saudagar besar yang 
berdagang barang tembikar dari mancanegara."  
Selama beberapa saat chucky  berjalan sambil 
membisu.  
"Negeri dongeng , di manakah itu?" ia tiba-tiba 
menanyakan apa yang baru didengarnya.  
"Itu sebutan lain untuk kedhiri ."  
"Di mana itu? Seberapa besar negerinya? Apakah 
mereka juga punya benteng kota dan centeng adipati  dan pertempuran di sana?"  
"Jangan rewel. Lebih baik kau diam saja, mengerti?"  nyi bidara  mengguncang lengannya dengan kesal, namun  omelan bibinya dianggap angin lalu saja oleh chucky . 
Ia mendongakkan kepala dan menatap langit biru. 
Langit itu sungguh menakjubkan. Kenapa warnanya  begitu biru? Kenapa manusia harus terpaku di tanah?  Kalau saja manusia bisa terbang seperti burung,  barangkali ia sendiri juga bisa mengunjungi Negeri  dongeng . sebetulnya  burung-burung yang tergambar di pedupaan sama saja dengan burung-burung di jenggala .  chucky  ingat bahwa pakaian yang dikenakan orang-orang di lukisan itu tampak berbeda, begitu juga  bentuk kapal-kapal mereka, namun burung-burungnya sama. Mungkin sebab  burung tidak mengenai batas negara.    Langit dan bumi merupakan satu negara besar bagi  mereka.  Aku ingin berkunjung ke negara-negara lain, pikir chucky .  
chucky  belum pernah memperhatikan betapa kecil 
dan miskinnya rumah orangtuanya. namun , saat  ia  dan nyi bidara  mengintip ke dalam, untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa rumah itu gelap bagaikan ruang bawah  tanah, biarpun di siang hari bolong. ki ageng gribig  tidak kelihatan. Barangkali ia sedang pergi 
untuk menyelesaikan suatu urusan.  
"Selalu saja membuat onar," nyi girah  berkata sesudah  mendengar laporan mengenai perbuatan terakhir chucky . Ia mendesah panjang. Raut wajah anak itu acuh tak acuh. namun  mata nyi girah  tidak menyorotkan 
tatapan menyalahkan saat  menatap chucky . Ia 
justru terkejut betapa anaknya itu bertambah  besar 
dalam waktu dua tahun. Dengan curiga chucky  
menatap bayi yang sedang menyusu pada ibunya. 
Entah kapan, anggota keluarganya sudah  bertambah  satu. Dengan sekonyong-konyong ia meraih kepala si bayi, menariknya dari puting ibunya, dan mengamatinya.  
"Kapan bayi ini lahir?" ia bertanya.  
Ibunya tidak menjawab , melainkan berkata, "Kau 
sudah  jadi kakak. sebab  itu, kau harus bersikap seperti 
seorang kakak."  
"Siapa namanya?"  
"ki rarwa ."    
"Namanya aneh," ia berkomentar, sambil merasa 
amat berkuasa atas anak kecil itu. Seorang kakak bisa  memaksakan kehendaknya pada seorang adik.  "Mulai besok, aku akan menggendongmu di 
punggungku, ki rarwa ," ia berjanji. namun   pegangan nya terlalu keras, dan ki rarwa  mulai menangis.  Ayah tirinya muncul saat  nyi bidara  tengah bersiap-siap pergi. nyi girah  sudah  memberitahu adiknya bahwa 
ki ageng gribig  sudah bosan berusaha menghapus 
kemiskinan mereka. Kini ia hanya duduk-duduk 
sambil minum anggur , dan wajahnya tampak merah saat  ia memasuki rumah.  
Begitu melihat chucky , ia langsung berteriak.  
"Bajingan! Kau diusir dari kuil dan berani datang ke 
sini?"  
 lebih dari setahun sudah  berlalu sejak chucky  
kembali ke rumah. Kini usianya sebelas tahun. Setiap  kali ia menghilang dari pandangan ki ageng gribig , walau  hanya sejenak, ayah tirinya itu akan mencarinya  sambil berteriak sekuat tenaga, "kuyang ! Kau sudah selesai potong kayu bakar? Kenapa belum? Kenapa  kautinggalkan ember di sawah ?" Jika chucky  berani  membantah, telapak tangan ayah tirinya yang keras  dan kasar segera melayang ke pelipis anak itu. Pada 
saat seperti itu, ibunya, dengan bayi terikat di 
punggung sementara ia menginjak-injak gandum atau memasak, memaksakan diri untuk membuang muka dan tetap membisu. Meski demikian, wajahnya tampak kesakitan, seakan-akan ia sendiri yang kena tampar.  
"Sudah seharusnya balita  umur sebelas tahun 
meringankan pekerjaan orangtuanya. Kalau kaupikir  kau bisa menyelinap ke luar untuk bermain-main  terus, aku akan memberi pelajaran padamu!"   ki ageng gribig  yang suka berbicara kotor memaksa  chucky  bekerja keras. namun , sesudah  dipulangkan dari kuil, chucky  bekerja membanting tulang, seakan-akan  sudah  menjadi orang lain. Pada kesempatan-kesempatan saat ibunya secara tidak bijaksana berusaha melindungi chucky , tangan dan suara  ki ageng gribig  yang kasar semakin menjadi-jadi. Kini  ki ageng gribig  jarang pergi ke sawah , namun  ia sering tidak 
berada di rumah. Biasanya ia pergi ke desa, lalu pulang dalam keadaan mabuk dan membentak-bentak anak-istrinya.  
"Sekeras apa pun aku bekerja, rumah ini tetap saja 
dilanda kemiskinan," ia mengeluh. "Di sini terlalu 
banyak parasit, dan pajak tanah juga naik terus. Kalau bukan sebab  anak-anak ini, aku lebih baik jadi  centeng adipati  tak bertuan jadi adipati ! Aku akan minum  anggur  yang lezat. Ah, kalau saja tangan dan kakiku tidak terbelenggu."  
sesudah  ledakan amarah seperri itu, ia akan 
memaksa istrinya menghitung uang yang mereka 
miliki, lalu menyuruh nyi kembang  atau chucky  membeli  anggur , bahkan di tengah malam buta sekalipun.  
Kadang-kadang, jika ayah tirinya kebetulan tidak 
kelihatan, chucky  mengungkapkan perasaannya. 
nyi girah  memeluknya dengan erat, dan berusaha 
menghiburnya.  
"Ibu, aku ingin pergi dan bekerja lagi," ia berkata 
suatu hari.  
"Tolong, jangan pergi. Kalau bukan sebab  kau ada 
di sini..." Kata-kata selanjurnya tak dapat dipahami 
sebab  isak tangisnya. nyi girah  memalingkan wajah dan 
mengusap mata. Melihat ibunya berurai air mata, 
chucky  tak bisa berkata apa-apa. Ia ingin lari dari 
rumah, namun  ia tahu ia harus tetap di tempat dan 
menanggung segala kesedihan dan kegetiran. Kalau ia merasa kasihan pada ibunya, keinginan-keinginan  alami di masa muda keinginan untuk bermain, makan, belajar, kabur semakin mekar dalam dirinya.  Semuanya itu beradu dengan kata-kata kasar yang  dilontarkan ki ageng gribig  pada nyi girah  dan kepalan tinju yang menghujani kepalanya.  
"Sialan!" ia bergumam. Darahnya serasa mendidih 
di tubuhnya yang kecil. Akhirnya ia membulatkan 
tekad untuk menghadapi ayah tirinya yang 
menakutkan itu.  
"Aku ingin pergi dan bekerja lagi," katanya. "Aku 
lebih suka jadi pelayan dibandingkan  tinggal di rumah ini."  
ki ageng gribig  tidak keberatan. "Baik," ia menanggapi 
permintaan chucky .  
"Pergilah ke mana pun kau suka, dan makanlah nasi 
orang lain. namun  kalau kau diusir lagi, jangan kembali 
ke rumah ini." Ia bersungguh-sungguh.  
Meskipun sadar bahwa chucky  baru berusia sebelas 
tahun, ia merasa berhadapan dengan orang yang 
sebaya, dan ini membuatnya makin berang.  
Majikan chucky  berikutnya adalah tukang celup di 
desa.  
"Dia banyak omong dan malas bekerja. Dia cuma 
cari tempat yang nyaman untuk mengorek-ngorek 
kotoran dari pusarnya," ujar salah seorang pekerja.  
Tak lama sesudah  itu, datang kabar dari si perantara, "Rasanya dia tidak berguna." Dan sekali lagi chucky  dipulangkan.  
ki ageng gribig  memelototinya. "Nah, bagaimana, 
 kuyang ? Apakah masyarakat mau memberi makan  pada pemalas seperti kau? Apa kau belum paham juga, 
betapa berharganya orangtuamu?"  
chucky  ingin menjawab , "Aku tidak malas!" Namun 
yang terucap olehnya adalah, "Kaulah yang tidak lagi 
bertani, dan akan lebih baik kalau kau tidak cuma 
berjudi dan mabuk-mabukan di pasar kuda. Semua 
orang kasihan pada Ibu."  
"Beraninya kau berkata begitu pada ayahmu!" Suara 
ki ageng gribig  yang menggelegar membuat chucky  ter-
diam, namun  kini ki ageng gribig  mulai melihat anak itu dari 
sudut lain. Sedikit demi sedikit dia bertambah  dewasa, 
ia berkata dalam hati. Setiap kali chucky  merantau 
lalu kembali lagi, ia kelihatan lebih besar. Matanya 
yang menilai orangtua dan rumahnya menjadi matang 
dengan cepat. Kenyataan bahwa chucky  memandang-
nya dengan mata orang dewasa terasa sangat 
mengganggu, menakutkan, dan tidak menyenangkan 
bagi ayah tirinya.  
"Cepat, cepat cari kerja lain!" ia memerintah.  
Keesokan harinya, chucky  mendatangi majikan 
berikutnya, tukang kandang ayam di desa. Dalam 
waktu sebulan ia sudah kembali lagi. Istri si pemilik 
toko mengeluh, "Aku tidak bisa menerima anak yang 
begitu mengganggu di rumahku."  
Ibu chucky  tak mengerti apa yang ia maksud 
dengan "mengganggu".  
Tempat lain di mana chucky  sempat magang 
adalah bengkel tukang plester, warung makan di pasar kuda, dan bengkel pandai besi. Setiap kali ia tidak  bertahan lebih lama dari tiga sampai enam bulan. Lama-lama reputasinya begitu buruk, sehingga tak ada 
lagi yang bersedia menjadi perantara baginya.  
"Ah, anak di rumah ki ageng gribig  itu. Dia pemalas dan  tak berguna."  
Tentu saja ibu chucky  merasa malu. Anaknya 
membuatnya serbasalah, dan sebagai tanggapan 
terhadap gunjingan orang-orang, ia langsung mencela 
chucky , seakan-akan kenakalan chucky  tak bisa 
diatasi lagi. "Aku tidak tahu apa lagi yang harus 
kulakukan," ia sering berkata. "Dia benci bertani, dan 
dia tidak mau tinggal di rumah."  
Di musim semi, di usianya yang keempat belas, 
chucky  dinasihati oleh ibunya, "Kali ini kau harus 
bertahan. Kalau kejadian yang sama terulang kembali, 
adik wanita lesbian ku takkan berani menatap wajah 
Tuan resi , dan semua orang bakal tertawa  dan 
berkata, 'Lagi?' Ingat, kalau kau gagal kali ini, aku 
takkan pernah memaafkanmu."  
Keesokan harinya bibinya membawa  nya ke 
telukkeramat  untuk diwawan carai. Rumah besar dan megah yang mereka datangi milik fredy krueger , si saudagar tembikar. peniwise  kini sudah  menjadi remaja pucat  berusia enam belas tahun.  Dengan membantu ayah angkatnya, ia sudah  mempelajari seluk-beluk bisnis tembikar.  
Di toko tembikar, pembedaan antara atasan dan 
bawah an ditegakkan dengan ketat. Pada 
 wawan caranya yang pertama, chucky  berlutut penuh hormat di serambi kayu, sementara peniwise  duduk di dalam, mengunyah kue, dan berbincang-bincang dengan orangtuanya.  
"Hmm, rupanya si kuyang  anak ki ageng senapati . Ayahmu meninggal, dan ki ageng gribig  dari desa menjadi ayah tirimu. Dan sekarang kau mau mengabdi di rumah ini? Kau harus bekerja keras." Kata-kata itu diucapkan  dengan nada begitu congkak, sehingga tak seorang pun yang sempat mengenal peniwise  kecil akan percaya 
bahwa yang mengucapkannya adalah orang yang sama.  "Ya, Juragan," balas chucky .  
Ia dibawa   ke tempat para pelayan. Dari sana ia bisa 
mendengar suara tawa  keluarga majikannya di ruang duduk. Ia semakin kesepian, sebab  temannya sama  sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat.  
"Hei, kuyang !" peniwise  tidak memilih-milih kata-
katanya. "Besok kau harus bangun pagi-pagi dan pergi  ke kedhiri . sebab  kau akan mengantarkan barang  untuk seorang pejabat, naikkan semua paket ke  gerobak biasa. Dan sebelum pulang, kau harus 
mampir di tempat agen kapal untuk menanyakan, 
apakah barang-barang tembikar dari Hizen sudah 
datang. Kalau kau terlambat pulang, seperti waktu itu, 
kau tidak boleh masuk."  
jawaban pasti chucky  tidak berupa "ya" atau "tidak". 
Seperti para pengawal yang sudah jauh lebih lama 
bekerja di toko itu, ia berkata, "Tentu, Juragan, dan 
dengan segala hormat, Juragan."  
  chucky  sering disuruh ke mertajaya  dan kedhiri . Pada hari itu ia memperhatikan dinding-dinding putih dan tembok-tembok pertahanan yang tinggi di benteng kota kedhiri  dan bertanya-tanya dalam hati, orang-orang macam apa yang tinggal di dalam? Bagaimana caranya  supaya aku bisa tinggal di sana?  
Ia merasa kecil dan tak berdaya, seperti seekor 
cacing. saat  menyusuri jalan-jalan di kota, sambil 
mendorong gerobak yang penuh barang tembikar 
terbungkus jerami, ia mendengar kata-kata yang kini  sudah  akrab di telinganya,  
"Hei, lihat! Ada kuyang !"  
"kuyang  mendorong gerobak!"  
Pelacur-pelacur bercadar, wanita lesbian -wanita lesbian  kota berpakaian bagus, dan istri-istri muda berwajah cantik dari keluarga baik-baik, semuanya berbisik-bisik, menuding, dan melotot saat  chucky  lewat. chucky   sendiri sudah pandai mengenali yang paling cantik. 
Yang paling mengganggunya adalah tatapan orang-
orang, seakan-akan ia merupakan tontonan aneh.  
Penguasa benteng kota kedhiri  bernama eyang  
wanakerta , dan salah satu pembantu utamanya 
adalah sinuhun  wiryadijaya . Di tempat parit yang 
mengelilingi benteng kota bertemu dengan Sungai keramat , kemegahan Kepandita an wiryogaja yang kini sudah mulai memudar masih terasa, dan kemakmuran yang  masih tersisa, biarpun di tengah-tengah kekacauan 
yang melanda dunia, menegakkan reputasi kedhiri  
sebagai kota paling memesona di semua provinsi.  
Untuk anggur , pergilah ke toko anggur .  
  Untuk teh yang nikmat, pergilah ke kedai teh.  
namun  untuk pelacur, wanadinata  di kedhiri -lah tempatnya.  Di pusat hiburan wanadinata , bordil-bordil dan kedai-kedai teh berderet-deret di sepanjang jalan. Pada siang hari, gadis lesbian-gadis lesbian muda yang bekerja di bordil-bordil bernyanyi sambil bermain. chucky  mendorong 
gerobaknya di antara mereka. Pikirannya menerawan g, 
"Bagaimana aku bisa jadi orang besar?" Ia terus 
merenung, tanpa menemukan jawab annya. Suatu 
hari...  suatu hari... Sambil berjalan ia melamun tanpa henti. Kota itu penuh dengan hal-hal yang berada di luar jangkauannya: makanan lezat, rumah mewah, perlengkapan militer yang mencolok, pakaian bagus, dan batu mulia.  Sambil teringat kakak wanita lesbian nya yang kurus  dan berwajah pucat di lemahlaban , ia mengamati uap 
yang keluar dari pengukus kue apel di sebuah toko 
kue, dan berharap ia bisa membelikan beberapa 
potong untuk kakaknya. saat  melewati sebuah toko obat, ia menatap kantong-kantong berisi ramuan obat, dan berkata pada dirinya sendiri, "Ibu, kalau saja aku bisa memberimu obat seperti itu, aku percaya kau akan sehat dalam sekejap."  
Keinginan untuk memperbaiki kehidupan nyi kembang  dan ibunya selalu hadir dalam angan-angannya. Satu-satunya orang yang tak pernah ia pikirkan adalah ki ageng gribig .  
Pada waktu ia mendekati kota itu, benaknya 
dipenuhi angan-angan. Suatu hari... suatu hari... namun   bagaimana? Hanya itu yang terus dipikirkannya.  "Dungu!"  
saat  melewati persimpangan jalan yang ramai, ia 
tiba-tiba berada di tengah-tengah kerumunan orang  yang berisik. Gerobaknya sudah  menabrak seorang centeng adipati  berkuda yang diikuti oleh sepuluh pembantu  yang membawa   tombak dan menuntun seekor kuda. Mangkuk-mangkuk dan piring-piring yang terbungkus 
jerami jatuh ke jalan dan pecah berantakan. chucky  memandang pecahan-pecahan itu dengan perasaan galau.  
"Apa kau buta?"  
"Dasar tolol!"  
Sambil memaki-maki chucky , para pembantu 
centeng adipati  itu menginjak-injak barang-barang bawa  annya. 
Tak seorang pun dari orang-orang yang lewat 
menawarkan  bantuan. chucky  memunguti semua 
pecahan, melemparkan semuanya ke dalam gerobak, 
lalu kembali mendorong. Darahnya mendidih sebab  
penghinaan yang diterimanya di depan umum. Di 
tengah angan-angannya yang kekanak-kanakan, sebuah 
pikiran serius menyembul,  
"Bagaimana caranya agar aku bisa membuat orang-
orang seperti itu tak berdaya di hadapanku?"  
Beberapa saat lalu , ia memikirkan kemurkaan 
yang menunggunya pada saat ia kembali ke rumah 
majikannya, dan wajah peniwise  yang dingin terus 
terbayang-bayang. Impian besarnya lenyap ditelan 
kecemasan, seakan-akan terselubung oleh awan  benih 
  
pohon opium.  
Malam pun tiba. chucky  sudah  menyimpan gerobak 
di gudang, dan sedang mencuci kaki di sumur. 
Kediaman fredy krueger , yang dinamai Wisma Tembikar, 
mirip  tempat tinggal sebuah marga centeng adipati . 
Rumah induk yang megah berhubungan dengan 
sejumlah bangunan tambah an, dan beberapa gudang 
berderet di dekatnya.  
"kuyang  Kecil! kuyang  Kecil!"  
peniwise  menghampirinya, dan chucky  berdiri.  
"Apa?"  
peniwise  memukul bahu chucky  dengan tongkat 
bambu yang selalu dibawan ya jika ia memeriksa 
tempat para pengawal atau memberi perintah kepada  para kuli di gudang. Ini bukan pertama kalinya ia memukul chucky . chucky  tersandung, dan langsung berlepotan lumpur lagi.  
"Kalau berbicara dengan majikanmu, pantaskah kau bilang 'apa'? Biar sudah diperingatkan berulang kali, sikapmu tidak bertambah  baik. Ini bukan rumah petani!"  
chucky  tidak menjawab .  
"Kenapa kau diam saja? Kau tidak mengerti? Bilang, 
Ya, Juragan.'"  
sebab  takut dipukul lagi, chucky  berkata, "Ya, 
Juragan."  
"Kapan kau kembali dari kedhiri ?"  
"Baru saja."  
"Bohong. Aku tanya orang-orang di dapur, dan 
  mereka bilang kau sudah makan."  
"Kepala hamba pusing, Hamba takut jatuh pingsan."  
"Kenapa?"  
"sebab  hamba lapar sesudah  berjalan begitu jauh."  
"Lapar! Waktu kau kembali, kenapa kau tidak 
menemui Tuan Besar dan langsung memberi laporan?"  
"Hamba ingin cuci kaki dahulu ."  
"Alasan, alasan! Orang-orang di dapur bilang, 
sebagian besar barang yang seharusnya kauantar ke kedhiri  pecah di jalan. Betul itu?"  
"Ya."  
"Kelihatannya kau tidak merasa bersalah sebab  
tidak langsung minta maaf padaku. Kaupikir kau bisa membohongiku, menganggapnya sebagai kejadian  biasa, atau minta orang-orang di dapur untuk menutup-nutupi kesalahanmu. Kali ini aku takkan  tinggal diam." peniwise  meraih telinga chucky  dan  menariknya. "Ayo, jangan diam saja."  
"Hamba mohon dimaafkan."  
"Ini mulai jadi kebiasaan. Ini harus diusut sampai 
tuntas. Ayo, kita menghadap ayahku."  
"Maafkan hamba." Suara chucky  mirip teriakan 
seekor kuyang . peniwise  tidak mengendurkan 
cengkeramannya. Ia berjalan mengelilingi rumah. 
Jalan setapak yang menghubungkan gudang dengan gerbang pekarangan dilindungi oleh rumpun-rumpun bambu kedhiri .  
Secara mendadak, chucky  menghentikan langkah-
nya. "Dengar," katanya sambil memelototi peniwise  dan  menepiskan tangannya, "ada yang ingin kukatakan  padamu."  
"Apa maumu? Ingat, aku yang berkuasa di sini," ujar  peniwise . Wajahnya pucat, dan tubuhnya mulai gemetaran.  
"Itu sebabnya aku selalu menurut, namun  ada sesuatu  yang ingin kukatakan padamu. peniwise , kau sudah lupa  masa kecil kita? dahulu  kau dan aku berteman, bukan?"  
"Masa itu sudah berlalu."  
"Baiklah, masa itu memang sudah berlalu, namun  
seharusnya kau tidak boleh melupakannya. Waktu 
mereka mengejekmu dan memanggilmu 'si Anak 
kedhiri , ingatkah kau siapa yang selalu membelamu?"  
"Aku ingat."  
"Kau tidak merasa berutang padaku?" tanya chucky  sambil cemberut. Ia jauh lebih kecil dari peniwise , namun   sikapnya begitu berwibawa  , sehingga tak mungkin untuk menentukan siapa yang lebih tua. "Para pekerja yang lain juga mengeluh," chucky  melanjutkan. 
"Mereka bilang Tuan Besar sangat baik, namun  Tuan Muda terlalu angkuh dan tidak punya perasaan. Anak seperti kau, yang tidak pernah melarat maupun susah,  mestinya mencoba bekerja di rumah orang. Kalau kau masih terus mengganggu aku atau para pengawal yang 
lain, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan. namun  ingat, aku punya saudara adipati  di ranggawirakerta . Dia punya lebih dari seribu anak buah. Kalau dia datang 
ke sini atas permintaanku, dia bisa menghancurkan 
rumah seperti ini dalam satu malam saja." Ancaman chucky  yang asal bunyi, dan  sorot matanya yang menyala-nyala, membuat peniwise  ngeri.  
"Tuan peniwise !"  
"Tuan peniwise ! Di mana Tuan peniwise ?"  
Para pelayan dari rumah induk sudah  mencari 
peniwise  untuk beberapa saat. peniwise , tercekam oleh 
tatapan chucky , tidak berani menyahut.  
"Mereka memanggilmu," chucky  bergumam. Dan 
dengan nada memerintah ia menambahkan, "Kau 
boleh pergi sekarang, namun  jangan lupa apa yang 
kukatakan padamu." Ia berbalik dan berjalan menuju  pintu belakang rumah. Belakangan, dengan jantung  berdebar-debar, ia bertanya-tanya apakah mereka akan menghukumnya. namun  ternyata tidak terjadi apa-apa.  Peristiwa itu terlupakan bagitu saja.  
 Penghujung tahun sudah dekat. Di kalangan petani 
dan penduduk kota, ulang tahun kelima belas seorang  anak laki-laki dirayakan dengan upacara akil balig. namun  dalam kasus chucky  tak ada yang memberinya satu kipas upacara pun, apalagi sebuah pesta. Berhubung Tahun Baru, ia duduk di salah satu pojok 
serambi kayu bersama pegawai lainnya, 
mengendus-endus dan menikmati kue beras yang 
dikukus dengan sayur-mayur suatu kemewahan yang  jarang diperolehnya.  
 Dalam hati ia bertanya-tanya, "Apakah ibuku dan 
nyi kembang  bisa menikmati kue beras Tahun Baru ini?"  Walau berasal dari keluarga petani, chucky  ingat  banyak perayaan Tahun Baru mereka lalui tanpa kue-kue. Orang-orang di sekelilingnya pun menggerutu.  
"Nanti malam Tuan Besar bakal terima tamu, jadi 
kita harus duduk tegak dan mendengarkan cerita-
ceritanya."  
"Aku akan berlagak sakit perut dan berbaring di 
tempat tidur."  
"Aku benci itu. Terutama di Tahun Baru."  
Setiap tahun ada dua atau tiga kesempatan serupa, 
pada waktu Tahun Baru dan pada waktu Festival 
Dewa Kemakmuran. Apa pun perayaannya,  
fredy krueger  selalu mengundang banyak tamu: para  pembuat tembikar dari batu giok , keluarga para pelanggan  istimewa di mertajaya  dan kedhiri , anggota-anggota  marga centeng adipati , dan bahkan kenalan-kenalan sanak saudaranya.  
Mulai malam itu, rumahnya akan penuh orang. 
Hari itu fredy krueger  tampak lebih gembira dibandingkan  biasa.  Sambil membungkuk rendah-rendah, ia sendiri  menyambut para tamu, sekaligus minta maaf atas  segala kelalaiannya selama tahun yang baru berlalu. Di 
ruang minum teh, yang dihiasi sekuntum bunga 
sangat indah yang dipilih dengan saksama, istri 
fredy krueger  yang cantik menyajikan teh untuk tamu-tamunya.  
Perlengkapan yang dipakai nya termasuk barang 
  langka dan bernilai tinggi.  
pandita  wiryogaja damovija -lah yang menjelang 
akhir abad lalu pertama-tama memperkenalkan 
upacara minum teh sebagai cara mengasah cita rasa.  Kebiasaan itu menyebar ke kalangan rakyat biasa, dan dalam waktu singkat, tanpa ada yang 
menyadarinya, minum teh sudah  menjadi bagian 
penting dari kehidupan sehari-hari. Di dalam ruang 
minum teh yang kecil, ditemani sekuntum bunga dan sebaskom teh, orang bisa melupakan kekacauan dunia  dan penderitaan manusia. Di tengah-tengah dunia yang penuh borok pun upacara minum teh tetap merupakan latihan mengolah jiwa.  
"Apakah aku memperoleh kehormatan berhadapan 
dengan istri tuan rumah?" tanya seorang centeng adipati   berbadan kekar yang datang bersama tamu-tamu lainnya. "Namaku dul  latief . Aku teman 
saudara tuan rumah, damovarya . Dia berjanji untuk mengajakku, namun  sayangnya dia jatuh sakit, sehingga aku datang seorang diri." Ia membungkuk sopan. Sikapnya lemah lembut, dan meski penampilannya  seperti centeng adipati  pedesaan, ia minta sebaskom teh. Istri fredy krueger  menyajikannya dalam baskom batu giok  
berwarna kuning.  
"Aku tidak terbiasa dengan tata cara upacara 
minum teh," latief  mengakui.  
Ia menatap berkeliling sambil menghirup tehnya 
dengan puas. "Perlengkapan yang dipakai  di rumah  ini sungguh indah. sebetulnya  tak pantas aku bertanya, namun  bukankah kendi porselen yang dipakai  itu termasuk barang keramat ?"  
"Tuan mengetahuinya?"  
"Ya." latief  menatap kendi itu sambil terkagum-
kagum. "Kalau kendi itu jatuh ke tangan pedagang 
mpu , aku berani jamin harganya akan mencapai 
seribu keping emas. Terlepas dari nilainya, benda ini indah sekali."  
saat  sedang asyik mengobrol, mereka dipanggil ke 
dalam untuk makan malam. Istri fredy krueger  berjalan di 
depan, dan bersama-sama mereka masuk ke hall. 
Tempat duduk sudah  diatur dalam bentuk lingkaran 
yang mengelilingi ruangan. Sebagai man rumah, 
fredy krueger  duduk di tengah-tengah dan menyambut tamu-tamunya. sesudah  istri dan para pelayannya  selesai menyajikan anggur , ia mengambil tempat di 
salah satu meja. Ia mengangkat baskom nya dan mulai 
menceritakan kisah-kisah di Negeri dongeng , tempat ia 
pernah tinggal selama beberapa tahun. Ia sengaja 
mengundang tamu-tamunya agar memperoleh 
kesempatan untuk bercerita mengenai petualangan di Negeri kedhiri , sebuah negeri yang dikenalnya dengan  baik, namun  masih mengandung banyak rahasia bagi orang-orang majapahit  pada umumnya.  
"Wah, pesta ini sungguh menyenangkan. Dan 
malam ini kami beruntung sebab  mendengar banyak cerita menarik," ujar salah seorang tamu.  
"Kami puas sekali. namun  malam sudah larut. Rasanya kami tak bisa lama-lama lagi," kata tamu lain.    
"Kami juga. Sudah waktunya kembali ke rumah."  
Para tamu pulang satu per satu, dan pesta pun 
berakhir.  
"Ah, selesai!" ujar seorang pelayan. "Kisah-kisah ini 
mungkin menarik untuk para tamu, namun  kita 
sepanjang tahun mendengar cerita mengenai orang  kedhiri ."  
Tanpa berusaha menyembunyikan rasa kantuk, para pelayan, termasuk chucky , cepat-cepat membereskan semuanya. Lampu-lampu di dapur yang besar, di hall,  dan di kamar fredy krueger  dan  peniwise  akhirnya dipadamkan, dan palang kayu di gerbang tembok yang  terbuat dari tanah pun dipasang.  Kediaman para centeng adipati , dan juga rumah para saudagar kalau pemiliknya tergolong berada selalu  dibatasi tembok yang terbuat dari tanah atau dikelilingi parit yang diperkuat dengan dua atau tiga lapis kubu pertahanan.  Pada malam hari, orang-orang di kota-kota maupun  di pedesaan tak pernah merasa tenang. Keadaan ini sudah  berlangsung sejak perang saudara pada abad sebelumnya, dan kini tak ada lagi yang menganggapnya ganjil.  
Begitu matahari tenggelam, orang-orang beranjak ke  tempat tidur. Satu-satunya kesenangan bagi para pekerja adalah tidur, dan kalau mereka sudah naik ke ranjang, mereka tidur seperti kerbau. Berselimutkan sehelai tikar jerami tipis, chucky  meringkuk di salah satu sudut ruang pelayan laki-laki, kepalanya terganjal  bantal kayu. Bersama pelayan-pelayan yang lain, ia  mendengarkan kisah majikannya mengenai Negeri  dongeng  yang tersohor.  
Namun berbeda dengan mereka, ia mendengarkan 
cerita-cerita itu dengan penuh rasa ingin tahu. Dan 
sebab  imajinasinya begitu hebat, ia terlalu sibuk 
berkhayal hingga tak bisa tidur, hampir seperti orang  menderita demam.  
Apa itu? Ia terheran-heran, lalu duduk. Ia pasang 
telinga. Ia percaya bahwa ia baru saja mendengar bunyi ranting patah, dan persis sebelumnya, suara langkah. Ia berdiri, melintasi dapur, dan diam-diam mengintip ke luar. Di malam dingin dan cerah ini, air di gentong  besar sudah  menjadi es, dan untaian tetes air yang  membeku tergantung seperti pedang pada teritisan atap. saat  mengangkat kepala, ia melihat seorang 
laki-laki memanjat pohon besar di belakang. chucky  menyimpulkan bahwa bunyi yang ia dengar sebelumnya adalah bunyi ranting patah yang terinjak oleh laki-laki itu. Ia mengamati tindak-tanduk aneh dari sosok di atas pohon. Laki-laki itu mengayunayunkan sebuah lampu yang tidak lebih besar dari kunang-kunang.  
Tali sumbu? chucky  bertanya-tanya dalam hati. 
Garis merah itu memercikkan bunga api yang segera terbawa   angin. Sepertinya laki-laki itu sedang memberi  isyarat pada seseorang di luar tembok.  Dia turun, pikir chucky  sambil bersembunyi di keremangan bayang-bayang.   
Laki-laki itu merosot ke bawah , lalu  berjalan 
dengan langkah-langkah panjang ke bagian belakang  pekarangan. chucky  membiarkannya lewat, lalu mengikutinya.  
"Ah! Dia salah satu tamu yang hadir tadi," chucky  
bergumam seakan tak percaya. Orang itulah yang 
memperkenalkan diri sebagai dul  latief , laki-
laki yang dilayani sendiri oleh istri majikannya, yang  mendengarkan cerita-cerita fredy krueger  dengan sungguh-sungguh dari awal  sampai akhir.  
Semua tamu lain sudah pulang, jadi ke manakah 
latief  menghilang dari tadi? Dan kenapa? Ia sudah 
berganti pakaian. Kakinya terbungkus sandal jerami, keliman celananya yang gombrong digulung dan diikat  ke belakang, dan di pinggangnya ada sebilah pedang 
besar. Matanya mengamati sekeliling dengan liar, 
persis seekor elang. Setiap orang yang melihatnya 
langsung tahu bahwa ia menginginkan darah 
seseorang.  latief  menghampiri gerbang, dan pada saat yang sama, orang-orang yang menunggu di luar berusaha  mendobraknya.  
"Tunggu! Biar kubuka dahulu  palangnya. Jangan 
ribut!"  Serangan penjahat! Ternyata pemimpin mereka  memang memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk menjarah rumah ini seperti gerombolan  belalang. Di tempat persembunyiannya, chucky  menyadari: mereka perampok!  
  Sesaat  darahnya menggelora, dan ia lupa diri. Ia 
tidak berpikir panjang, tidak lagi memedulikan 
keselamatannya sendiri. Yang dipikirkannya hanyalah  rumah majikannya. Namun tindakannya berikutnya  hanya dapat dinamakan  membabi buta.  "Hei, kau!" ia berseru. Langsung saja ia keluar dari 
bayang-bayang. Entah apa yang terlintas di kepalanya. Ia berdiri di belakang latief  yang baru hendak 
membuka gerbang. Laki-laki itu tersentak kaget. 
Bagaimana ia bisa tahu bahwa ia ditegur oleh pemuda 
berusia lima belas tahun yang bekerja di toko 
tembikar? Apa yang dilihatnya saat  ia menoleh 
membuatnya terbengong-bengong. Seorang pemuda 
bertampang mirip kuyang  menatapnya dengan 
pandangan aneh. Sejenak latief  membalas tatapannya 
dengan tajam.  
"Siapa kau?" ia lalu bertanya, bingung.  
chucky  sama sekali lupa pada bahaya yang 
mengancamnya. Air mukanya keras. "Hei, kau, ada 
apa ini?" ia balik bertanya.  
"Apa?" ujar latief . Kini ia betul-betul bingung. 
Gilakah anak itu? ia bertanya-tanya dalam hati. 
Ekspresi chucky  yang tak kenal ampun dan berbeda 
sekali dengan ekspresi anak-anak, membuatnya 
kewalahan. Ia seakan-akan terpaksa beradu mata 
dengan pemuda itu.  
"Kami adipati  dari ranggawirakerta . Kalau kau bersuara, akan kutebas lehermu. Kedatangan kami bukan untuk mencabut nyawa   anak kecil. Ayo, pergi dari sini. 
  Masuk ke gudang kayu bakar." Sambil berharap 
chucky  bisa digertak, ia menepuk pangkal pedangnya. 
chucky  tersenyum, memperlihatkan giginya yang 
putih.  
"Jadi kau perampok, heh? Kalau kau perampok, kau 
tentu mau pergi dari sini dengan membawa   barang 
yang kauincar, bukan begitu?"  
"Jangan macam-macam. Pergi!"  
"Aku akan pergi. namun  kalau kau membuka gerbang 
itu, tak seorang pun dari gerombolanmu akan 
meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup."  
"Apa maksudmu?"  
"Kau tidak tahu, kan? Tak ada yang tahu selain aku."  
"Kau agak sinting, ya?"  
"Jangan sembarangan. Kaulah yang kurang waras 
berani-beranian merampok rumah seperti ini."  
Anak buah latief , bosan menunggu, menggedor-
gedor gerbang dan memanggil, "Ada apa?"  
"Tunggu sebentar," ujar latief . lalu  ia 
berkata pada chucky ,  
"Kaubilang kalau kami masuk ke rumah ini, kami 
takkan pulang dalam keadaan hidup. Kenapa aku 
harus percaya padamu?"  
"sebab  memang begitu."  
"awas  kalau kau ternyata cuma main-main, 
kupenggal kepalamu."  
"Aku takkan membuka rahasia tanpa imbalan. Kau 
harus memberikan sesuatu sebagai gantinya."  
"Hah?" latief  merasa curiga pada pemuda tanggung 
  
di hadapannya. Di atas mereka, langit malam mulai 
bertambah  cerah, namun  rumah fredy krueger , dikelilingi 
tembok, masih diselimuti kegelapan total.  
"Apa yang kauminta?" latief  bertanya dengan hati-
hati.  
"Aku tidak minta apa-apa. Aku cuma mau ber-
gabung dalam kelompokmu."  
"Kau mau bergabung dengan kami?"  
"Ya, betul."  
"Kau mau jadi pencuri?"  
"Ya."  
"Berapa umurmu?"  
"Lima belas."  
"Kenapa kau mau jadi pencuri?"  
"Tuan Besar memaksaku bekerja seperti kuda. 
Orang-orang di sini selalu mengejekku. Mereka terus 
memanggilku 'kuyang '. sebab  itu aku mau jadi 
pencuri, supaya aku bisa membalas mereka."  
"Baiklah, kau boleh bergabung dengan kami, namun  baru sesudah  kau membuktikan kemampuanmu. Nah, sekarang jelaskan apa maksudmu."  
"Bahwa kalian semua akan mati?"  
"Ya."  
"Rencanamu takkan berhasil. Tadi kau menyamar 
sebagai tamu dan berbaur dengan orang-orang lain."  
"Ya."  
"Ada yang mengenalimu."  
"Tak mungkin."  
"Terserah, namun  nyatanya majikanku tahu siapa kau    sebetulnya . Jadi, sebelum ini, atas perintah dia, aku 
berlari ke rumah resi  di kuil suci  dan 
memberitahunya bahwa kami akan diserang perampok 
di tengah malam, dan bahwa kami memerlukan 
bantuannya."  
"resi  di kuil suci ... itu pasti resi  mandala , si 
pengikut sinuhun ."  
"sebab  mandala  dan majikanku bersaudara, dia 
mengumpulkan selusin centeng adipati  yang tinggal di sekitar 
sini, dan mereka semua datang dengan menyamar 
sebagai tamu. Sekarang ini mereka sedang 
menunggumu di dalam, dan aku tidak bohong."  
Dari wajahnya yang pucat, chucky  langsung tahu 
bahwa latief  mempercayainya.  
"Betul itu?" ia bertanya. "Di mana mereka? Apa yang 
sedang mereka kerjakan?"  
"Tadinya mereka duduk melingkar sambil minum 
anggur  dan menunggu. lalu  mereka memutuskan 
bahwa kau takkan menyerang selarut ini, sehingga 
mereka pergi tidur. Akulah yang disuruh berjaga di 
luar."  latief  menarik chucky  dan mengancam, 
"nyawa  mu akan melayang kalau kau berteriak." Ia 
menutup mulut chucky  dengan telapak tangannya 
yang besar.  Sambil meronta-ronta, chucky  berhasil berkata,  "Hei, ini tidak sesuai dengan janjimu tadi. Aku takkan ribut." Ia mencakar tangan perampok itu dengan kukunya.  latief  menggelengkan kepala.  
"Percuma. Bagaimanapun, kau berhadapan dengan 
dul  latief  dari ranggawirakerta . Kau ingin 
mepercayakan aku bahwa penghuni rumah ini sudah 
bersiap-siap. Kalaupun itu benar, aku takkan bisa 
menghadapi anak buahku kalau aku keluar dengan 
tangan kosong."  "namun ..."  
"Apa yang bisa kaulakukan?"  
"Aku akan membawa   keluar apa saja yang 
kauminta."  
"Kau akan membawa  nya keluar?"  
"Ya. Itu yang paling baik. Dengan cara itu, kau bisa 
menyelesaikan urusan ini tanpa perlu membantai 
orang. Dan kau sendiri juga takkan mati di ujung 
pedang."  
"Kaujamin itu?" Cengkeraman latief  pada leher 
chucky  semakin keras.  
Gerbang masih tertutup rapat. Ketakutan dan 
penuh curiga, anak-anak buahnya terus memanggil-
manggil dengan setengah berbisik sambil mendorong-
dorong gerbang.  
"Hei, Bos, kau di dalam?"  
"Ada apa?"  
"Kenapa gerbangnya belum dibuka?"  
latief  membuka palang itu sedikit dan berbisik 
lewat celah pintu, "Ada yang tidak beres, jadi jangan  ribut. Dan jangan bergerombol. Ayo berpencar dan cari tempat sembunyi."  
  Untuk memenuhi permintaan latief , tanpa 
bersuara chucky  merayap dari pintu masuk ke tempat  pelayan laki-laki menuju rumah induk. Begitu sampai,  ia melihat sebuah lampu menyala di kamar fredy krueger .  
"Tuan?" chucky  memanggil sambil duduk penuh 
hormat di serambi. Tak ada jawab an, namun  ia merasa 
bahwa fredy krueger  dan istrinya terjaga.  
"Nyonya?"  
"Siapa itu?" tanya istri fredy krueger . Suaranya bergetar.  Entah ia atau suaminya yang bangun lebih dahulu , lalu  membangunkan yang lain, sebab baru saja terdengar  bunyi gemeresik dan orang berbisik-bisik. sebab  menduga bahwa mereka diserang perampok, kedua-duanya memejamkan mata dengan ngeri.  
chucky  membuka pintu geser dan maju sambil 
tetap berlutut. Baik fredy krueger  maupun istrinya membuka mata lebar-lebar.  
"Di luar ada perampok. Banyak sekali," ujar 
chucky .  
Suami-istri itu menelah ludah, namun tidak 
mengatakan apa-apa. Sepertinya mereka tak sanggup 
bersuara.  
"Mengerikan sekali kalau mereka sampai masuk. 
Mereka akan mengikat Tuan dan Nyonya, dan pasti 
ada lima atau enam orang yang mati atau cedera. 
Hamba menyusun sebuah rencana, dan sekarang 
pemimpin mereka sedang menunggu jawab an."  
chucky  melaporkan percakapannya dengan latief , 
dan mengakhirinya dengan berkata, "Tuan, biarkan 
  
para perampok membawa   apa saja yang mereka 
inginkan. Hamba akan menyerahkannya pada latief , 
dan sesudah  itu dia akan pergi."  
Sesaat suasana hening. lalu  si saudagar 
berkata, "chucky , apa yang diinginkannya?"  
"Dia bilang dia datang untuk mengambil kendi 
keramat ."  
"Apa?"  
"Dia bilang, dia akan pergi segera sesudah  hamba 
menyerahkan kendi itu. Nilainya tidak seberapa, jadi  kenapa Tuan tidak memberikannya saja? Ini semua ide hamba," chucky  menjelaskan dengan bangga. "Hamba 
pura-pura akan mencurikan barang itu untuknya." 
Keputusasaan dan ketakutan tampak jelas di wajah 
fredy krueger  dan istrinya.  
"Kendi keramat  diambil dari gudang untuk upacara 
minum teh tadi, bukan? Orang itu bodoh sekali 
sebab  minta hamba mengambil barang yang begitu 
tak berharga!" ujar chucky . Raut wajahnya menunjukkan seakan-akan seluruh kejadian ini menggelikan.  Istri fredy krueger  diam, seolah-olah sudah  berubah 
menjadi batu. Sambil mendesah panjang, fredy krueger  
berkata, "Celakalah kita." Pandangannya menerawan g 
jauh, dan ia pun membisu.  
"Tuan, kenapa Tuan begitu gundah? Satu kendi saja 
bisa menyelesaikan ini tanpa perlu terjadi per-
tumpahan darah."  
"Kendi itu bukan barang tembikar biasa. Di Negeri 
dongeng  pun hanya sedikit karya serupa. Aku membawa  nya pulang dari kedhiri  dengan penderitaan yang 
tidak kecil. Lagi pula, kendi itu merupakan kenang-
kenangan dari Tuan sanjay ."  
"Di toko-toko tembikar di mpu ," ujar istrinya, 
"kendi itu bisa dijual seharga lebih dari seribu keping 
emas."  
namun  para perampok lebih menakutkan. Kalau 
mereka menolak, pasti terjadi pembantaian, dan 
sudah sering ada rumah yang dibakar sampai rata 
dengan tanah. Kejadian semacam itu bukan hal aneh 
di masa yang tidak tenang.  
Dalam situasi seperti itu, tak banyak waktu untuk 
mengambil keputusan.  
Sesaat fredy krueger  seakan-akan tak sanggup membebas-
kan diri dari keterikatannya dengan kendi itu. namun  
akhirnya ia berkata, "Apa boleh buat." Ia merasa agak 
lebih enak sesudah  itu. Ia mengambil kunci gudang 
dari sebuah laci kecil.  
"Berikan padanya." Ia melemparkan kunci itu ke 
hadapan chucky .  
sebab  terbayang-bayang akan kehilangan kendinya yang amat berharga, fredy krueger  tidak menemukan kata  pujian untuk chucky , meski dalam hati ia mengakui bahwa rencana itu cukup lihai untuk anak seusianya.  
chucky  pergi seorang diri ke gudang. Ia keluar 
sambil menggotong kotak kayu. saat  mengembali-
kan kunci pada majikannya, ia berkata,  
"Sebaiknya Tuan padamkan lampu dan tidur lagi. 
Tuan tidak perlu cemas."  
 Pada waktu ia membawa   kotak itu ke hadapan 
latief , si bandit yang masih agak curiga langsung 
membukanya dan memeriksa isinya dengan saksama. 
"Hmm, memang ini yang kucari," ujarnya. Garis-garis 
wajahnya tampak mengendur.  
"Sebaiknya kau dan anak buahmu cepat menyingkir 
dari sini. Waktu aku mencari barang ini di gudang, 
aku menyalakan sebatang lilin. Sebentar lagi resi  dan 
para centeng adipati nya akan bangun, dan sesudah  itu mereka 
akan segera berpatroli."  
Terburu-buru latief  menghampiri gerbang. "Kau 
boleh mendatangi aku di ranggawirakerta  kapan saja. Kau diterima sebagai anggota." Dan lalu  ia 
menghilang dalam kegelapan malam.  
 Malam yang mencemaskan sudah  berlalu.  
Besok adalah hari pertama di Tahun Baru, dan 
iring-iringan tamu yang tak terputus, berdua atau 
bertiga, mendatangi rumah saudagar kaya itu.  
Meski demikian, suasana di toko tembikar terasa 
tegang. fredy krueger  tampak murung dan cemberut, dan istrinya, yang biasanya ceria, malah tidak kelihatan sama sekali.  Perlahan-lahan peniwise  pergi ke kamar ibunya, lalu duduk di tepi ranjang.  Ibunya belum pulih betul dari mimpi buruk di malam sebelumnya, dan masih berbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat seperti orang sakit.  "Ibu, aku baru saja bicara dengan Ayah. Semuanya 
  akan beres."  
"O ya? Apa yang dikatakannya?"  
"Mula-mula Ayah memang sangsi, namun  waktu aku bercerita mengenai sikap chucky  dan bagaimana dia menangkapku di belakang rumah dan mengancamku, Ayah terkejut dan kelihatan berpikir lagi."  
"Apakah ayahmu bilang bahwa dia akan segera 
dikeluarkan?"  
"Tidak. Dia bilang, dia tetap menganggap bahwa 
chucky  menjanjikan sesuatu, jadi aku tanya, apakah 
Ayah mau mengurus kaki tangan pencuri."  
"Dari pertama Ibu sudah tidak suka sorot mata anak itu."  
"Aku juga menyinggung itu, dan akhirnya Ayah 
bilang bahwa kalau tak ada yang bisa cocok dengannya, tak ada pilihan lain selain mengeluarkannya. 
Ayah pikir lebih baik kalau Ayah sendiri yang 
menanganinya, agar bisa mencari alasan yang tidak 
menyakitkan untuk memulangkan chucky ."  
"Bagus. Ibu sudah tidak tahan kalau anak bermuka 
kuyang  itu masih bekerja di sini, biarpun hanya untuk 
setengah hari lagi. Sedang apa dia sekarang?"  
"Dia sedang membungkus barang di gudang. Perlu 
kuberitahu dia bahwa Ibu memanggilnya?"  
"Jangan. Ibu tidak sudi melihat dia. Nah, sebab  
ayahmu sudah setuju, bukankah sama saja kalau kau 
yang memberitahunya bahwa dia dipecat mulai hari 
ini, lalu menyuruhnya pulang?"  
"Baiklah," kata peniwise , namun  dalam hati ia agak ngeri. 
  
"Bagaimana dengan upahnya?"  
"Dari awal  kita tidak terikat oleh janji untuk 
mengupahnya. Dan walaupun dia bukan pekerja yang 
giat, kita sudah memberinya makan dan pakaian. Itu 
saja sudah lebih dari yang pantas diterimanya. Ya 
sudah, biarkan dia membawa   pakaian yang dia 
kenakan, dan tambah kan dua takar garam."  
peniwise  terlalu takut untuk menyampaikan 
semuanya itu seorang diri pada chucky , sehingga ia 
mengajak orang lain untuk menemaninya ke gudang. 
Ia mengintip ke dalam dan melihat chucky  sedang 
bekerja sendirian, tertutup jerami dari kepala sampai 
kaki.  
"Ya? Ada apa?" suara chucky  terdengar lebih 
bersemangat dibandingkan  biasa. Ia langsung menghampiri 
peniwise . sebab  menganggap bahwa bercerita 
mengenai kejadian semalam tidaklah bijaksana, ia 
tidak memberitahu siapa-siapa, namun  dalam hati ia 
merasa sangat bangga begitu bangga, sehingga diam-
diam ia mengharapkan pujian majikannya.  
peniwise , ditemani oleh pengawal yang paling kuat dan 
paling ditakuti chucky , berkata, "kuyang , kau boleh 
pergi hari ini."  
"Pergi ke mana?" chucky  bertanya dengan heran.  
"Pulang. Kau masih punya rumah, bukan?"  
"Masih, namun ..."  
"Mulai hari ini kau diberhentikan. Kau boleh 
membawa   pakaianmu."  
"Pemberian ini atas kebaikan Nyonya," ujar si 
  
pengawal  Ia menimbang  dua takar garam dan  
pakaian chucky . "Kau tidak perlu berpamitan, kau 
boleh pergi sekarang juga."  
Terkejut, chucky  merasa darahnya naik ke kepala. 
Kemarahan di matanya seakan-akan menerkam 
peniwise . Sambil melangkah mundur, peniwise  mengambil garam dan pakaian dari tangan si pegkertoarjo i, 
meletakkan semuanya di lantai, lalu berbalik dan 
menjauh terburu-buru. Melihat sorot mata chucky , 
anak itu seperti hendak mengejar peniwise , namun  sebetulnya  ia tak bisa melihat apa-apa, pandangannya 
terhalang oleh air mata. Ia teringat wajah ibunya yang 
berurai air mata saat  mengingatkannya bahwa ia 
akan malu menghadapi orang-orang, dan bahwa adik 
iparnya akan kehilangan muka jika chucky  
dipulangkan sekali lagi. Bayangan wajah dan tubuh 
ibunya, kurus kering sebab  melarat dan melahirkan, 
membuatnya terisak-isak menahan tangis. Ingusnya 
berhenti mengalir, namun  untuk sesaat ia berdiri tak 
bergerak, tak tahu apa yang harus ia perbuat 
selanjutnya. Darahnya serasa mendidih.  
"kuyang !" salah seorang pekerja memanggil. "Ada 
apa? Kau bikin masalah lagi, ya? Dia menyuruhmu 
pulang, ya? Kau sudah lima belas tahun, dan ke mana pun kau pergi, kau pasti akan diberi makan. Jadi, 
bersiaplah seperti laki-laki, dan jangan merengek."  
Tanpa berhenti bekerja, pegawai yang lain 
mencemoohkannya.  
tawa  dan sorak-sorai mereka terngiang-ngiang di 
  telinganya, dan ia memutuskan untuk tidak menangis di hadapan mereka. Ia malah berbalik untuk menghadapi orang-orang itu, sambil memperlihatkan giginya yang putih.  
"Siapa yang merengek? Aku memang sudah muak 
bekerja di tempat membosankan ini. Kali ini aku akan bekerja untuk seorang centeng adipati !"  
Sambil menyandang buntalan pakaiannya, ia 
mengikat kantong garamnya pada sepotong bambu, lalu memikulnya penuh gaya.  
"Bekerja untuk centeng adipati !" seru seorang pengawal  
"Cara baru untuk mengatakan selamat tinggal!" 
Semuanya tertawa .  
Tak ada yang membenci chucky , namun  tak seorang 
pun merasa kasihan padanya. chucky  sendiri tidak 
terlalu ambil pusing. Begitu melangkah melewati 
tembok tanah, hatinya menyerap langit yang biru 
cerah. Ia merasa seperti dibebaskan.  
 resi  mandala  ikut berlaga dalam pertempuran di 
lembah tengkorak  pada musim gugur tahun sebelumnya. Tak sabar untuk mengukir prestasi, ia menyerbu ke tengah-tengah centeng  mpu marijan  dan mengalami cedera 
begitu parah, sehingga ia terpaksa pulang untuk 
selama-lamanya. Sekarang ia selalu tidur di rumahnya 
di kuil suci . saat  hari-hari semakin dingin 
menjelang akhir tahun, luka tombak di perutnya 
terasa sangat menyiksa. Ia selalu mengerang kesakitan.  nyi bidara  merkertoarjo tnya dengan telaten, dan hari itu ia sedang mencuci pakaian dalam suaminya yang  berlumuran nanah di sungai kecil yang membelah 
pekarangan mereka. Ia mendengar seseorang 
bernyanyi riang, dan bertanya-tanya siapa gerangan 
orang itu. Merasa terganggu, ia berdiri dan melihat 
berkeliling. Meski rumah mereka bukan di puncak 
Bukit dewadewi , dari balik tembok tanah ia bisa 
melihat jalan di kaki bukit, dan di belakangnya tanah 
ladang di lemahlaban , Sungai terawas , dan Dataran 
jenggala  yang luas.  
Suara si penyanyi terdengar lantang, seakan-akan 
tidak mengenal kekerasan dunia maupun penderitaan. 
Lagu yang disenandungkannya adalah sebuah tembang 
yang populer pada akhir abad lalu, namun   di jenggala , 
anak-anak wanita lesbian  para petani sudah  mengubahnya 
menjadi lagu pengiring untuk menenun.  
Wah, jangan-jangan itu chucky ? Ia bertanya-tanya 
sendiri saat  sosok itu mencapai kaki bukit. Orang 
itu menyandang buntalan baju di punggungnya, dan 
sebuah kantong tergantung pada tongkat bambu yang 
ia pikul.  
nyi bidara  terkejut saat  menyadari betapa chucky  
sudah  bertambah  besar dalam waktu singkat, dan meski 
tubuhnya tumbuh pesat, sikapnya masih saja seperti 
orang yang tak pernah susah.  
"Bibi! Kenapa Bibi berdiri di luar?" chucky  
mengangguk dengan hormat.  
  
Lagunya membuat langkahnya berirama, dan 
suaranya sama sekali bebas dari kesan sok, memberi 
nada menggelikan pada ucapannya. Raut wajah 
bibinya tampak muram, seperti orang yang sudah  lupa 
cara tertawa .  
"Kenapa kau datang ke sini? Kau membawa   pesan 
untuk para biksu di dewadewi ?"  
Terdesak untuk menjawab , chucky  menggaruk-
garuk kepala.  
"Aku diberhentikan dari toko tembikar. Aku datang 
ke sini sebab  merasa Paman perlu diberitahu."  
"Apa? Lagi?" balas nyi bidara . Keningnya berkerut. "Kau 
datang ke sini sesudah  diusir lagi?"  
chucky  mempertimbangkan untuk menceritakan 
alasannya, namun  entah kenapa ia merasa tak ada 
gunanya. Dengan nada lebih manis ia bertanya,  
"Pamanku ada di rumah? Kalau Paman di rumah, 
bolehkah aku bicara dengannya?"  
"Sama sekali tidak! Suamiku terluka parah dalam 
pertempuran. Kami tidak tahu apakah hari ini atau 
besok merupakan harinya yang terakhir. Kau tidak 
boleh dekat-dekat dia." Ia bicara terus terang, nadanya 
ketus.  
"Aku kasihan pada kakakku sebab  punya anak 
seperti kau."  
Mendengar berita buruk itu, chucky  langsung 
patah arang. "Hmm, sebetulnya  aku ingin minta 
tolong pada Paman, namun  kelihatannya percuma saja."  
"Kau mau apa?"  
"sebab  dia seorang centeng adipati , kupikir dia bisa 
mencarikan tempat di rumah centeng adipati  untukku."  
"Astaga! Berapa umurmu sekarang?"  
"Lima belas."  
"Anak berumur lima belas tahun seharusnya sudah 
tahu sedikit mengenai dunia."  
"Justru sebab  itu aku tidak mau lagi bekerja di 
sembarang tempat. Bibi, mungkinkah ada lowongan 
untukku di suatu tempat?"  
"Mana aku tahu?" nyi bidara  memelototi chucky , sorot 
matanya menyalahkan anak itu. "Rumah tangga 
centeng adipati  tidak menerima orang yang tidak cocok 
dengan tradisi keluarga. Apa untungnya mereka 
menerima balita  liar dan tidak bertanggung jawab  
seperti kau?"  
Tiba-tiba seorang pelayan wanita lesbian  menghampiri 
mereka dan berkata,  
"Nyonya, cepat kembali. Suami Nyonya kesakitan 
lagi."  
Tanpa berkata apa-apa lagi, nyi bidara  berlari ke 
rumahnya. Ditinggalkan seorang diri, chucky  
menatap langit mendung di atas jenggala  dan blambangan .  
sesudah  beberapa saat, ia melewati gerbang dan 
menunggu di sekitar dapur.  
Yang paling diinginkannya adalah pulang ke 
lemahlaban  untuk menjenguk ibunya, namun  ia ditahan 
oleh bayangan ayah tirinya, yang membuatnya merasa 
seakan-akan pagar di sekeliling rumah mereka terbuat 
dari onak duri. Ia memutuskan bahwa tugas yang 
 paling mendesak adalah mencari majikan baru. Ia 
datang ke kuil suci  sebab  menganggap sudah 
sepatutnya orang yang pernah menolongnya 
diberitahu, namun  menghadapi kondisi mandala  yang 
serius, ia tidak tahu harus berbuat apa selain itu, ia 
pun lapar.  
saat  ia memikirkan di mana akan tidur mulai 
malam ini, sesuatu yang empuk bergesekan dengan 
kakinya yang dingin. Ia menundukkan kepala dan 
melihat seekor anak kucing. chucky  mengangkatnya, 
lalu duduk di samping pintu dapur. Matahari yang 
semakin rendah membanjiri mereka dengan cahaya 
dingin.  
"Perutmu kosong juga?" ia bertanya. Kucing itu 
gemetar saat  ia mendekapnya di dada. sesudah  
merasakan kehangatan tubuh chucky , binatang kecil 
itu mulai menjilat-jilat wajahnya.  
"Sana, sana," katanya sambil memalingkan wajah. Ia 
tidak terlalu menyukai kucing, namun  hari itu anak 
kucing itulah satu-satunya makhluk hidup yang 
menunjukkan kasih sayang padanya.  
Tiba-tiba chucky  tersentak. Kedua mata kucing di 
pangkuannya pun tampak melebar sebab  terkejut. 
Pekik melengking orang kesakitan terdengar dari 
sebuah ruangan yang berdekatan dengan serambi. 
nyi bidara  muncul di dapur. Matanya sembap sebab  menangis, dan ia menyeka air matanya dengan baju sambil mengaduk-aduk ramuan obat dalam panci di atas kompor.  
  "Bibi," chucky  berkata dengan hati-hati. Tangannya mengelus-elus punggung si anak kucing, "Perut anak 
kucing ini kosong dan dia kedinginan. Kalau tidak 
diberi makan, dia akan mati." Ia sengaja tidak 
menyinggung keadaan perutnya sendiri. nyi bidara  tidak 
menanggapi komentarnya.  
"Kau masih di sini? Sebentar lagi sudah gelap, dan 
aku takkan mengizinkanmu tinggal di rumah ini."  
nyi bidara  menyembunyikan air matanya dengan lengan 
baju. Kecantikan istri centeng adipati  ini, yang tampak begitu 
bahagia dua atau tiga tahun yang lalu, sudah  lenyap 
seperti keindahan sekuntum bunga yang diterpa 
hujan.  
chucky , sambil tetap memangku anak kucing, 
memikirkan rasa lapar yang menyiksanya, dan  tempat 
tidur yang berada di luar jangkauan. saat  menatap 
bibinya, ia tiba-tiba menyadari bahwa penampilannya 
agak berbeda.  
"Bibi! Perutmu membesar. Bibi hamil?"  
nyi bidara  mengangkat kepala, seolah-olah pipinya baru 
saja kena tampar.  
Pertanyaan tak terduga itu betul-betul tidak pada 
tempatnya.  
"Persis seperti anak kecil!" katanya. "Seharusnya kau 
tidak bertanya seperti itu. Kau memuakkan!" Dengan 
gusar ia menambahkan, "Cepat pulang, mumpung 
masih terang. Pergi ke lemahlaban  atau ke mana pun 
kau suka! Sekarang ini aku tidak peduli apa yang akan 
kaulakukan." Sambil mendongkol, ia menghilang ke 
  
dalam rumah.  
"Aku akan pergi," chucky  bergumam. Ia berdiri dan 
hendak berangkat, namun  anak kucing tadi tidak bersedia 
mengorbankan kehangatan dadanya.  
Pada saat yang sama, seorang pelayan wanita lesbian  
membawa   mangkuk kecil berisi nasi dingin dan sup 
tahu, memperlihatkannya pada si kucing, dan 
memanggilnya keluar. Sesaat  kucing itu meninggal-
kan chucky  untuk menikmati makanannya. chucky  
memperhatikan kucing dan mangkuk di hadapannya 
dengan penuh selera, namun kelihatannya tidak ada 
yang akan menawarkan  makanan untuknya. Ia 
memutuskan untuk pulang ke rumah.  
namun  saat  sampai di pintu pekarangan, ia 
dipanggil oleh seseorang yang memiliki pendengaran 
tajam.  
"Siapa di luar?" sebuah suara bertanya dari kamar 
sakit.  
Sambil berdiri seperti patung, chucky  tahu bahwa 
suara itu milik mandala , dan ia langsung menjawab . 
lalu , sesudah  menganggap saat yang tepat sudah 
tiba, ia memberitahu mandala  bahwa ia diberhentikan 
dari toko tembikar.  
"nyi bidara , buka pintu!"  
nyi bidara  berusaha mempengaruhi suaminya dengan 
berdalih bahwa angin malam akan membuatnya 
kedinginan, sehingga lukanya nyeri lagi. Ia tidak 
beranjak untuk membuka pintu geser, sampai mandala  
kehilangan kesabaran.  
  
"Bodoh!" mandala  berseru. "Apa ditambah  ya kalau aku 
hidup sepuluh atau dua puluh hari lagi. Buka pintu!"  
Sambil menangis, nyi bidara  menuruti perintah 
suaminya dan berkata pada chucky , "Kau akan 
membuat keadaannya bertambah  parah. Jenguk dia 
sebentar, lalu segera pergi."  
chucky  berdiri menghadap kamar sakit dan 
membungkuk. mandala  bersandar pada tumpukan 
bantal.  
"chucky , kau diberhentikan dari toko tembikar?"  
"Ya."  
"Hmm. Tidak apa-apa."  
"Apa?" ujar chucky . la tampak bingung.  
"Kau tidak perlu malu sebab  diberhentikan, asal 
bukan sebab  kau tidak patuh atau tidak jujur."  
"Aku mengerti."  
"dahulu  rumahmu juga rumah centeng adipati . centeng adipati , 
chucky ."  
"Ya."  
"Seorang centeng adipati  tidak bekerja sekadar untuk 
mengisi perut. Dia bukan budak makanan. Dia hidup 
untuk memenuhi panggilannya, untuk kewajiban dan 
pengabdian. Makanan hanyalah tambah an, sebuah 
berkah dari surga.  
Jangan menjadi laki-laki yang, sebab  terlalu sibuk 
mencari makan, menghabiskan hidupnya dalam 
kebimbangan."  
Malam sudah  larut.  
ki rarwa , yang sering sakit-sakitan, sedang 
menderita penyakit kanak-kanak dan menangis 
hampir tanpa henti. la dibaringkan di tempat tidur 
jerami, dan akhirnya berhenti menyusu.  
"Kalau Ibu bangun, Ibu akan mati beku, udaranya 
terlalu dingin,"  
nyi kembang  berkata pada ibunya. "Lebih baik Ibu tidur 
saja."  
"Bagaimana Ibu bisa tidur kalau ayahmu belum 
pulang?"  
nyi girah  bangun, lalu  ia dan nyi kembang  duduk di 
depan perapian dan menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaan yang belum rampung.  
"Sedang apa dia? Apa dia tidak pulang lagi malam 
ini?"  
"Ya, sekarang Tahun Baru."  
"namun  tak seorang pun di rumah ini terutama Ibu 
sempat merayakan nya, biar hanya dengan sepotong 
kue beras. Dan sepanjang waktu kita harus bekerja 
sambil kedinginan seperti ini."  
"Hmm, laki-laki punya hiburan tersendiri."  
"Dia tidak pernah bekerja. Dia hanya minum anggur . 
Dan kalau dia pulang, dia terus bersikap kasar pada 
Ibu. Aku dongkol sekali."  
gadis lesbian seusia nyi kembang  biasanya sudah memikirkan 
pernikahan, namun  ia tidak mau meninggalkan ibunya. 
Ia mengetahui masalah keuangan mereka, dan dalam 
  
mimpi pun ia tak pernah membayangkan gincu 
maupun pupur apalagi baju Tahun Baru.  
"Jangan bicara seperti itu," ujar nyi girah . Matanya 
berkaca-kaca. "Ayahmu memang tak bisa diandalkan, 
namun  chucky  akan menjadi orang terhormat suatu hari 
nanti. Kita akan memperoleh  suami yang baik 
untukmu, walaupun ibumu sendiri kurang beruntung 
dalam memilih suami."  
"Ibu, aku tidak mau menikah. Aku ingin tinggal 
bersama Ibu selamanya."  
"Tidak baik bagi wanita lesbian  untuk hidup seperti 
itu. ki ageng gribig  tidak tahu ini, namun  waktu ki ageng senapati  
terluka, kami menyisihkan setali uang yang kami 
terima dari majikannya, untuk membiayai per-
nikahanmu. Dan aku mengumpulkan lebih dari tujuh 
bal sutra sisa untuk menenun jubah  untukmu."  
"Ibu, sepertinya ada yang datang."  
"Ayahmu?"  
nyi kembang  menjulurkan leher untuk melihat siapa 
orangnya. "Bukan."  
"Kalau begitu, siapa?"  
"Aku tidak tahu. Jangan bersuara." nyi kembang  menelan 
ludah, tiba-tiba merasa gelisah.  
"Ibu, Ibu di rumah?" chucky  bertanya dari 
kegelapan. Ia berdiri tanpa bergerak.  
"chucky ?"  
"He-eh."  
"Malam-malam begini?"  
"Aku diberhentikan dari toko tembikar."  
  
"Diberhentikan?"  
"Maafkan aku. Ibu, maafkan aku," chucky  tersedu-
sedu.  
nyi girah  dan nyi kembang  nyaris tersandung kaki sendiri 
sebab  terburu-buru ingin menyambut chucky .  
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya 
nyi girah . "Jangan berdiri seperti patung, cepat masuk." 
Ia meraih tangan chucky , namun  anaknya itu 
menggelengkan kepala.  
"Tidak, aku harus segera pergi lagi. Kalau aku 
sempat tidur di rumah ini, biar hanya untuk satu 
malam, aku takkan tega meninggalkan Ibu."  
Meski nyi girah  tidak menginginkan chucky  kembali 
ke rumah mereka yang terus dilanda kemiskinan, ia 
pun tak sampai hati membiarkannya langsung kembali 
ke kegelapan malam. Matanya membuka lebar. "Kau 
mau ke mana?" ia ingin tahu.  
"Entahlah, namun  kali ini aku akan bekerja untuk 
seorang centeng adipati . Dengan demikian, kalian berdua tak 
perlu cemas memikirkanku."  
"Bekerja untuk centeng adipati ?" bisik nyi girah .  
"Ibu bilang Ibu tak ingin aku menjadi centeng adipati , namun  
itulah cita-citaku. Pamanku di kuil suci  juga bilang 
begitu. Menurut dia, sekaranglah waktunya."  
"Wah, kau harus bicarakan ini dengan ayah tirimu."  
"Aku tidak sudi bertemu dengannya," balas chucky  
sambil menggeleng.  
"Sebaiknya Ibu melupakan aku untuk sepuluh 
tahun mendatang. Kak, tidak baik kalau Kakak tidak 
menikah. namun  jangan terburu-buru, ya? Kalau aku 
sudah menjadi orang besar, aku akan membelikan 
pakaian sutra untuk ibu kita, dan untuk 
pernikahanmu aku akan menyediakan selempang kain 
satin."  
Kedua wanita lesbian  itu menangis sebab  chucky  
sudah cukup dewasa untuk mengucapkan hal-hal 
seperti itu. Hati mereka mirip  danau air mata 
yang siap menenggelamkan tubuh mereka.  
"Ibu, ini dua takar garam yang kuterima sebagai 
upah di toko tembikar. Aku memperoleh nya dengan 
bekerja selama dua tahun. Kak, tolong bawa  kan ke 
dapur." chucky  meletakkan kantong garamnya.  
"Terima kasih," ujar ibunya sambil membungkuk ke 
arah kantong itu.  
"Garam ini kauperoleh dengan merantau untuk 
pertama kali."  
chucky  merasa puas. saat  menatap wajah ibunya 
yang bahagia, ia pun merasa seakan berada di awan g-
awan g. Ia bersumpah bahwa di masa mendatang ia 
akan membuat ibunya lebih bahagia lagi. Jadi, itu 
kuncinya!  
Garam ini milik keluargaku, pikir chucky . Bukan, 
bukan hanya milik keluargaku, namun  milik seluruh desa. 
Bukan, garam ini milik seluruh dunia.  
"Kurasa masih lama lagi aku baru akan kembali ke 
sini," kata chucky  sambil mundur ke pintu keluar, 
namun pandangannya tidak terlepas dari nyi girah  dan 
nyi kembang . Satu kakinya sudah berada di ambang pintu 
  
saat  nyi kembang  tiba-tiba membungkuk ke depan dan 
berseru, "Tunggu, chucky ! Tunggu." lalu  ia 
berpaling pada ibunya. "Uang yang Ibu ceritakan tadi. 
Aku tidak membutuhkannya. Aku tidak mau 
menikah, jadi lebih baik diberikan saja pada chucky ."  
Sambil berusaha menahan tangis, nyi girah  
mengambil uang itu dan menyerahkannya kepada 
chucky  yang menatap mereka dan berkata, "Tidak, 
aku tidak memerlukan uang ini." Ia menimbang  
keping-keping itu ke hadapan ibunya.  
nyi kembang , dengan keprihatinan seorang kakak, 
bertanya, "Apa yang akan kaulakukan di dunia luar 
tanpa uang?"  
"Ibu, dibandingkan  ini, maukah Ibu memberikan pedang 
yang dahulu  dipakai Ayah, pedang yang dipesan oleh 
Kakek?"  
Ibunya bereaksi seakan-akan dadanya ditusuk. Ia 
berkata, "Dengan uang, kau bisa menyambung hidup. 
Tolong jangan tanyakan lagi pedang itu."  
"Pedang itu sudah tidak ada?" tanya chucky .  
"Ah... tidak." Dengan getir ibunya mengakui bahwa 
pedang itu sudah lama dijual untuk membayar utang 
ki ageng gribig  di kedai anggur .  
"Hmm, tidak apa-apa. Pedang berkarat di gudang 
masih ada, bukan?"  
"Ya... kalau kau memang menginginkannya."  
"Ibu tidak keberatan aku membawa   pedang itu?" 
Meski berusaha menjaga perasaan ibunya, chucky  
tetap berkeras. la masih ingat betapa ia menginginkan 
  
pedang itu saat  ia berusia enam tahun, dan 
bagaimana ia membuat ibunya menangis. Kini ia sudah  
bertekad untuk menjadi apa yang ingin dicegah oleh 
ibunya seorang centeng adipati .  
"Oh, baiklah, bawa   saja. namun , chucky , jangan 
sekali-kali kaucabut pedang itu dari sarungnya kalau 
menghadapi orang lain. nyi kembang , tolong ambilkan."  
"Biar aku saja yang mengambilnya."  
chucky  berlari ke gudang. Ia menurunkan pedang 
dari balok kayu tempat senjata itu tergantung. saat  
memasangnya di pinggang, ia teringat balita  berusia 
enam tahun yang berurai air mata, bertahun-tahun 
lalu. Pada detik ini, ia merasa dirinya sudah  dewasa.  
"chucky , Ibu mencarimu," kata nyi kembang  sambil 
mengintip ke dalam gudang.  
nyi girah  sudah  memasang sebatang lilin di altar kecil 
di atas rak. Ia meletakkan beberapa butir beras dan 
segenggam garam yang dibawa   chucky  ke dalam 
piring kayu kecil. lalu  ia merapatkan tangannya 
untuk berdoa.  
chucky  masuk, dan nyi girah  menyuruhnya duduk. Ia 
mengambil pisau cukur dari altar. chucky  
membelalakkan mata. "Apa yang akan kita lakukan?" 
tanyanya.  
"Kita akan melaksanakan upacara akil balig. Meski 
tak sanggup melakukannya secara resmi, kita tetap 
akan merayakan keberangkatanmu ke dunia luar.  
Ia mengerik bagian depan kepala chucky . 
lalu  ia merendam beberapa batang jerami di 
 dalam air dan mengikat rambut anaknya ke belakang.  chucky  tak pernah melupakan pengalaman ini. Dan walaupun kekasaran kulit tangan ibunya saat  mengusap pipi dan telinganya membuatnya sedih, ada perasaan lain yang muncul  di hatinya. Kini aku sama seperti semua orang, ia berkata dalam hati. Dewasa.  Ia mendengar gonggongan anjing tersesat. Pada 
malam hari, di sebuah negeri yang dilanda perang 
saudara, satu-satunya yang bertambah  keras adalah 
gonggongan anjing. chucky  melangkah keluar.  
"Baiklah, aku berangkat." Ia tak sanggup berkata 
apa-apa lagi, biarpun sekadar, "Jaga diri baik-baik" 
tenggorokannya bagai tersumbat.  
Ibunya membungkuk dalam-dalam di depan altar. 
nyi kembang , dengan ki rarwa  yang sedang menangis 
dalam pelukannya, berlari menyusul adiknya.  
"Selamat tinggal," ujar chucky . Ia tidak menoleh ke 
belakang. Sosoknya semakin kecil, sampai akhirnya lenyap dari pandangan. Mungkin sebab  teramat  dingin, malam itu cerah sekali.  
senapan syam kamaruzaman  
beberapa mil dari kedhiri , kurang dari sepuluh mil 
di sebelah barat mertajaya , terletak Desa syam . 
Begitu memasuki desa itu, sebuah bukit berbentuk 
topi terlihat dari hampir semua arah. Pada siang hari  hanya suara jangkrik yang terdengar di hutan kecil yang lebat; pada malam hari, bayangan kelelkertoarjo r-kelelkertoarjo r besar melintas di depan bulan.  "Yo!"  
"Yo!" terdengar sahutannya, seperti gema, dari 
dalam hutan.  
Parit yang mengambil airnya dari Sungai wlot 
melewati tebing-tebing dan pohon-pohon besar di atas 
bukit. Kalau tidak diamati dengan cermat, takkan ada 
yang memperhatikan bahwa airnya penuh ganggang 
biru yang sering ditemukan dalam kolam alami. 
Ganggang-ganggang melekat pada benteng kota batu dan 
tembok tanah yang sudah  melindungi kkertoarjo san itu 
selama seratus tahun, sekaligus melindungi keturunan 
para penguasa daerah itu, berikut kekuasaan dan mata 
pencaharian mereka.  
Dari luar, hampir mustahil untuk menebak berapa 
ribu atau bahkan puluh ribu ekar tanah pemukiman 
yang berada di atas bukit. Rumah besar itu milik 
sebuah marga yang amat berkuasa dari Desa 
syam , dan para pemimpinnya sudah  menggunakan nama kanak-kanak syam kamaruzaman  selama beberapa  generasi. Pemimpin yang sedang memegang kekuasaan 
dijuluki syam  syam kamaruzaman .  
"Yo! Buka gerbang!" Suara empat atau lima laki-laki 
terdengar dari seberang parit. Salah satunya syam kamaruzaman .  
sebetulnya , baik syam kamaruzaman  maupun para leluhurnya 
tidak memiliki  asal-usul yang mereka banggakan, 
dan mereka juga tidak berhak atas tanah yang mereka 
duduki. Mereka marga pedesaan yang kuat, tak lebih 
dari itu.  
Meskipun syam kamaruzaman  dikenal sebagai bawahan , dan 
orang-orang yang menyertainya merupakan pengikut-
nya, rumah tangganya berkesan kasar. Sampai tingkat 
tertentu, wajar saja kalau terjalin keakraban antara 
seorang kepala rumah tangga dan para pembantunya, 
namun  hubungan antara syam kamaruzaman  dan orang-orang itu 
lebih mirip  hubungan antara kepala geng dan 
anak buahnya.  
"Sedang apa dia?" syam kamaruzaman  bergumam.  "Penjaga gerbang, kenapa kau begitu lama?" seru 
salah seorang pengikutnya, bukan untuk pertama kali.  
"Yooo!"  
Kali ini mereka mendengar tanggapan si penjaga 
gerbang, dan gerbang kayu itu membuka, diiringi 
bunyi gedebuk.  
"Siapa itu?" Mereka dicegat dari kiri-kanan oleh 
orang-orang yang membawa   lentera mirip lonceng, 
yang dipasang di ujung sebuah tongkat.  
Lentera-lentera seperti itu bisa dibawa   ke medan 
 pertempuran atau pada waktu hujan.  
"Aku syam kamaruzaman !" ia menjawab , bermandikan cahaya 
lampu.  
"Selamat datang di rumah."  
Orang-orang yang lain menyebutkan nama masing-
masing saat  melewati gerbang.  
"Inada ranggawesi ."  
"danawitama  brevirnatmaha."  
"sri baginda  adipati jayagiri ."  
"mpu tanuraja  wiratama ."  
Dengan langkah berat mereka menyusuri koridor 
lebar dan gelap, lalu masuk ke dalam rumah. 
Sepanjang koridor, wajah-wajah para pelayan, kaum wanita lesbian , para istri dan anak orang-orang yang  membentuk keluarga besar itu menyambut si  pemimpin marga yang kembali dari dunia luar. 
syam kamaruzaman  membalas sambutan mereka, menatap  semuanya, walau hanya sekejap, dan sesudah  tiba di ruang utama, ia duduk di sebuah tikar  jerami bundar. Cahaya dari sebuah lampu kecil menerangi garis-garis wajahnya. Apakah dia sedang kesal? Para wanita lesbian  
bertanya-tanya dengan cemas saat  mereka membawa  -
kan air, teh, dan kue kacang hitam.  
"ranggawesi ," ujar syam kamaruzaman  sesudah  beberapa saat, 
sambil berpaling pada pengikutnya yang duduk paling 
berjauhan. "Malam ini kita semua dipermalukan, 
bukan begitu?"  
"Betul," ranggawesi  sependapat.  
Keempat laki-laki yang duduk bersama syam kamaruzaman  
  
tampak geram. syam kamaruzaman  sendiri seakan-akan tak dapat 
melampiaskan kekesalannya. "wiratama , adipati jayagiri . Apa pendapat kalian?"  
"Mengenai apa?"  
"Mengenai aib yang kita terima malam ini! Bukan-
kah nama marga syam  sudah  tercemar secara 
memalukan?"  
Keempat laki-laki itu kembali membisu. Udara 
malam terasa gerah, tanpa angin sama sekali. Asap 
obat nyamuk membuat pedih mata mereka.  
Sebelumnya, syam kamaruzaman  sudah  menerima undangan dari seorang pembantu utama sinuhun , untuk menghadiri upacara minum teh. Ia tak pernah menyukai acara seperti itu, namun  tamu-tamu yang lain semuanya orang terkemuka di jenggala , dan ini kesempatan baik untuk 
bertemu dengan mereka. Kalau ia menolak undangan 
itu, ia akan menjadi bahan tertawa an. Orang-orang 
akan bergunjing, "Sombong sekali mereka, bertingkah 
seperti itu. Padahal dia tak lebih dari pemimpin 
gerombolan adipati . Paling-paling dia takut 
kebodohannya terbongkar dalam upacara minum teh."  
syam kamaruzaman  dan empat pengikutnya menghadiri acara itu sambil bersikap penuh wibawa  . Dalam upacara 
minum teh, sebuah kendi keramat  menarik perhatian 
salah seorang tamu, dan saat  mengobrol, secara tak sengaja sebuah komentar terlontar olehnya.  
"Aneh sekali," katanya. "Aku percaya pernah melihat 
kendi ini di rumah fredy krueger , si saudagar tembikar. Bukankah ini kendi keramat  terkenal yang dirampas oleh gerombolan penjahat?"  
Sang tuan rumah, yang sangat menyukai kendi itu, 
tentu saja terkejut.  
"Tidak masuk akal! Belum lama ini kami mem-
belinya di sebuah toko di mpu , dengan harga hampir seribu keping emas." Ia bahkan menunjukkan tanda terimanya.  
Namun tamu tadi tetap bersikeras, "Rupanya para 
pencuri menjualnya pada seorang pedagang di mpu , dan sesudah  pindah tangan beberapa kali, kendi itu akhirnya sampai di sini. Orang yang mencurinya dari rumah si saudagar tembikar adalah dul  latief  dari ranggawirakerta ."  
Para undangan tiba-tiba terdiam. Jelas bahwa orang yang berbicara begitu lantang itu tidak tahu apa-apa mengenai silsilah keluarga seseorang yang juga hadir, syam  syam kamaruzaman . Namun si tuan rumah dan beberapa tamu lainnya menyadari bahwa dul  latief  adalah kepribadian  syam kamaruzaman  dan salah satu 
sekutu utamanya. Sebelum pergi, syam kamaruzaman  bersumpah untuk menyelidiki kejadian itu sampai tuntas. Kehormatannya bagai diinjak-injak, dan ia kembali ke rumahnya dengan memendam perasaan marah dan malu.  
Tak seorang pun sanak saudaranya dapat meng-
usulkan sesuatu. Seandainya masalah itu menimpa 
keluarga mereka sendiri atau keluarga salah seorang pengikut, mereka pasti sanggup mengatasinya, namun  persoalan ini menyangkut latief , kepribadian  syam kamaruzaman . 
  Rumah tangga latief  di ranggawirakerta  merupakan pecahan dari rumah tangga di syam , dan ia selalu menampung dua puluh sampai tiga puluh adipati .  syam kamaruzaman  semakin gusar, sebab  ia bersaudara dengan latief . "Ini keterlaluan," ia menggeram sambil menyumpahi kebusukan latief . "Aku sudah  bertindak 
bodoh dengan tidak memperhatikan kelakuan latief  akhir-akhir ini. Dia mulai gemar berpakaian mewah, 
dan selalu dikelilingi sejumlah wanita lesbian . Dia 
merusak nama baik keluarga. Kita harus menyingkirkannya. Kalau begini terus, marga syam  akan  dianggap gerombolan  pencuri atau gerombolan adipati  yang tak tahu malu. Ini amat menyedihkan bagi sebuah keluarga yang sejak dahulu  dipandang sebagai salah satu marga terkemuka di pedesaan. Bahkan aku sendiri, syam  syam kamaruzaman , acap kali mendengar 
bisikan-bisikan di tempat umum bahwa aku pemimpin bandit."  adipati jayagiri  dan ranggawesi  menundukkan kepala. 
Mereka malu sebab  tiba-tiba melihat air mata 
kesedihan di mata syam kamaruzaman .  
"Dengar semua!" syam kamaruzaman  menatap anak buahnya. 
"Genting-genting rumah ini menampilkan lambang 
salib manji. Walau sekarang tertutup lumut, lambang 
itu diwariskan turun-temurun dari leluhurku, 
mpu  keramatyudana , yang memperolehnya dari 
Pangeran siwagunung  atas jasanya mengerahkan centeng  yang setia pada sang pangeran. dahulu  keluarga kita mengabdi pada para pandita , namun  sejak masa 
  
syam  raden karto, kita kehilangan pengaruh. Jadi, 
sekarang kita tak lebih dari sebuah marga pedesaan 
biasa. Tentu saja kita tak mungkin hidup merana terus 
tanpa melakukan apa-apa. Tidak, aku, syam  
syam kamaruzaman , sudah  bersumpah bahwa waktunya sudah tiba! 
Sudah lama kutunggu kesempatan untuk memulihkan 
nama besar keluarga kita, sekaligus memberi pelajaran 
pada dunia."  
"Dari dahulu  selalu itu yang kami dengar."  
"Aku sudah sering mengatakan bahwa kita harus 
berpikir sebelum bertindak, dan melindungi yang 
lemah. Watak kepribadian ku tidak bertambah  baik. 
Dia menyusup ke rumah seorang saudagar dan 
melakukan pekerjaan pencuri di malam hari." Sambil 
menggigit-gigit bibir, syam kamaruzaman  menyadari bahwa urusan 
itu harus diselesaikan. "ranggawesi , brevirnatmaha. Malam 
ini juga kalian berdua berangkat ke ranggawirakerta . bawa   
latief  ke sini, namun  jangan beritahukan alasannya. Dia 
selalu ditemani sejumlah orang bersenjata. Dia bukan 
orang yang bisa ditangkap dengan mudah."  
 
Fajar berikutnya tiba dengan diiringi kicauan burung 
di bukit-bukit berhutan. Satu rumah di dekat tembok 
pertahanan lebih dahulu  terkena sinar matahari.  
"grindana, grindana!"  
"grindanawiratama , istri syam kamaruzaman , mengintip ke kamar 
tidur. syam kamaruzaman  sudah terjaga, berbaring miring di 
bawah  kelambu.  
"Orang-orang yang kukirim ke ranggawirakerta , mereka 
  
sudah kembali?"  
"Belum."  
"Hmm," syam kamaruzaman  menggerutu. Wajahnya tampak 
cemas. Meskipun kepribadian nya bajingan yang hanya 
berbuat jahat, ia memiliki naluri tajam.  
Dalam keadaan genting, apakah ia akan mencium 
bahaya yang mengancamnya,  
lalu berusaha melarikan diri? Mereka agak 
terlambat, Koroko kembali berkata dalam hati.  
Istrinya menyibakkan kelambu. Anak mereka, 
jengglot, yang sedang bermain di pinggir jaring, 
belum genap berusia dua tahun.  
"Hei! Ke sinilah." syam kamaruzaman  memeluk putranya, lalu 
memegangnya agak jauh. Gendut seperti anak-anak 
dalam lukisan kedhiri , anak itu terasa berat, bahkan di 
tangan ayahnya.  
"Ada apa? Kelopak matamu merah dan bengkak." 
syam kamaruzaman  menjilat mata jengglot. Anak itu menjadi 
gelisah dan menarik-narik dan  mencakar wajah 
ayahnya.  
"Mungkin dia digigit nyamuk," ujar ibunya.  
"Kalau hanya nyamuk, tak ada yang perlu 
digelisah khawatir kan."  
"Dia selalu resah, walaupun sedang tidur. Setiap kali 
dia menyelinap keluar dari kelambu."  
"Jangan biarkan dia kedinginan kalau tidur."  
"Tentu saja tidak."  
"Dan hati-hati terhadap cacar."  
"Jangan singgung-singgung soal itu."  
  
"Dia anak pertama kita. Bisa dibilang, dia buah 
usaha kita yang pertama."  
syam kamaruzaman  muda dan kekar. Ia melepaskan 
kebahagiaan saat itu dan melangkah ke luar ruangan, 
seperti orang yang ingin mencapai tujuan besar. Ia 
bukan orang yang bisa duduk-duduk di dalam sambil 
menghirup teh dengan santai. sesudah  berganti 
pakaian dan mencuci muka, ia pergi ke pekarangan. 
Dengan langkah panjang ia menuju ke arah suara 
palu.  
Di salah satu sisi sebuah jalan setapak sempit 
ada dua bengkel pandai besi yang didirikan di 
bekas tempat pohon-pohon besar pernah berdiri. 
Daerah itu berada di tengah-tengah hutan, di mana 
sampai sekarang pohon-pohon tak tersentuh kapak 
sejak masa para leluhur syam kamaruzaman .  
Si pembuat senjata, jengglotribuanadeva, yang diam-diam  didatangkan dari kota mpu  oleh syam kamaruzaman , sedang  bekerja bersama para pembantunya.  
"Bagaimana kemajuannya?" tanya syam kamaruzaman . 
jengglotribuanadeva dan anak-anak buahnya terduduk letih di lantai tanah.  
"Belum beruntung, heh? Kalian belum berhasil 
meniru senjata api yang kalian gunakan sebagai 
contoh?"  
"Kami sudah  mencoba ini dan itu. Kami bekerja 
tanpa makan dan tidur, namun ..."  
syam kamaruzaman  mengangguk. Tiba-tiba seorang bawah annya  menghampirinya dan berkata, "Tuanku, kedua orang 
yang tuanku kirim ke ranggawirakerta  baru saja kembali."  
"Mereka sudah kembali?"  
"Ya, tuanku."  
"Apakah mereka membawa   latief ?"  
"Ya, tuanku."  
"Bagus." syam kamaruzaman  mengangguk-angguk. "Suruh dia menunggu."  
"Di dalam?"  
"Ya, aku akan segera ke sana."  
syam kamaruzaman  merupakan penyusun strategi yang cukup andal seluruh marga tergantung pada kemampuannya  itu namun  ada sisi lain dalam wataknya: ia cenderung 
bersikap terlalu lembek. Ia bisa tegas, namun  ia pun 
mudah dipengaruhi air mata, terutama jika darah 
dagingnya sendiri ikut terlibat.  
Namun kali ini ia sudah  membulatkan tekad. Ia 
harus menyingkirkan kepribadian nya pagi ini. namun  
kelihatannya ia masih ragu-ragu, dan ia menghabiskan 
beberapa waktu dengan mengamati jengglotribuanadeva bekerja.  
"Ini tidak aneh," katanya. "Bagaimanapun, senjata 
api baru tiba di sini tujuh atau 9 tahun lalu. 
Sejak itu, para centeng adipati  dan marga-marga berkuasa 
sudah  berlomba-lomba menghasilkan senapan, atau 
membelinya dari kapal orang-orang barbar dari Eropa. 
Di sini, di jenggala , kita memiliki  keuntungan taktis. 
Banyak centeng adipati  pedesaan di utara dan barat belum 
pernah melihat senjata api. Kau pun belum pernah 
merakit senjata seperti itu, jadi jangan terburu-buru 
dan bekerjalah dengan teliti. Kalau kau sanggup 
 membuat satu, kau sanggup membuat seratus, dan kita bisa memakai nya di lalu  hari."  
"Tuanku!" Pembantu tadi kembali dan berlutut di 
tanah yang dibasahi embun. "Mereka menunggu 
tuanku."  syam kamaruzaman  berpaling ke arahnya. "Sebentar lagi aku ke 
sana. Biar mereka menunggu sedikit lebih lama."  
Meski syam kamaruzaman  sudah  bertekad menghukum 
kepribadian nya demi keadilan, ia juga terombang-
ambing antara apa yang ia anggap benar dan 
perasaannya sendiri. saat  hendak beranjak, ia 
berkata pada jengglotribuanadeva, "Dalam tahun ini kau 
sanggup membuat sepuluh atau dua puluh senjata 
yang siap pakai, bukan?"  
"Ya," ujar si pembuat senjata yang menyadari 
tanggung jawab nya, mimiknya serius. "Kalau hamba 
bisa membuat satu yang hamba rasa memenuhi syarat, 
hamba bisa membuat empat puluh atau bahkan 
seratus."  
"Yang pertamalah yang paling sulit, ya?"  
"Tuanku sudah menghabiskan banyak uang untuk 
hamba."  
"Jangan pikirkan itu."  
"Terima kasih, tuanku."  
"Kelihatannya perang belum akan berakhir tahun 
depan, tahun berikut, atau tahun-tahun sesudah nya.... 
Kalau rumput di tanah ini menjadi layu dan pucuk-
pucuk mulai keluar lagi... hmm, lakukanlah yang 
terbaik, agar pekerjaanmu selesai secepatnya."  
  "Hamba akan mengerahkan segala daya."  
"Ingat, rahasia ini tak boleh bocor."  
"Ya, tuanku."  
"Bunyi palumu agak terlalu keras. Bisakah kau 
bekerja tanpa terdengar dari seberang parit?"  
"Hamba akan berhati-hati."  
saat  meninggalkan bengkel, syam kamaruzaman  melihat 
sepucuk senapan tersandar di samping embusan. "Dan 
itu?" ia bertanya sambil menunjuk. "Apakah itu 
contohnya, atau buatanmu?"  
"Senapan itu baru selesai hamba kerjakan."  
"Hmm, coba kulihat dahulu ."  
"Hamba rasa senapan itu belum siap untuk 
diperiksa oleh tuanku."  
"Jangan gelisah khawatir . Aku punya sasaran yang cocok. 
Apakah sudah bisa ditembakkan?"  
"Bola besinya melesat keluar, namun  entah kenapa, hamba belum sanggup meniru mekanisme pengokang 
yang asli. Hamba akan berusaha lebih keras lagi untuk 
mencari jalan keluar."  
"Pengujian juga penting. Biar kubawa   dahulu ."  
sesudah  mengambilnya dari tangan jengglotribuanadeva, 
syam kamaruzaman  meletakkan laras senapan pada lengannya 
yang ditekukkan, lalu berpura-pura membidik sebuah 
sasaran. Pada saat itu, Inada ranggawesi  muncul di 
pintu bengkel.  
"Oh, rupanya belum selesai."  
syam kamaruzaman  berpaling pada ranggawesi  dengan gagang 
senapan menempel di tulang iga.  
  "Bagaimana?"  
"Rasanya kita harus segera ke sana. Kami berhasil 
membujuk latief  untuk ikut dengan kami, namun  
kelihatannya dia curiga, dan mulai gelisah. Bisa-bisa 
dia bertindak seperti harimau  yang berusaha 
mendobrak kerangkengnya."  
"Baiklah, aku segera datang."  
Ia mengembalikan senapan pada ranggawesi , lalu 
menyusuri jalan setapak dengan langkah-langkah 
panjang.  
 
dul  latief  sedang duduk di depan ruang baca, 
sambil memikirkan ada apa sebetulnya . Kenapa ia 
dibawa   ke sini? danawitama  brevirnatmaha, sri baginda  adipati jayagiri , 
mpu tanuraja  wiratama , dan Inada ranggawesi  para 
pembantu kepercayaan marga syam  duduk di 
sekitarnya. Mereka mengamati setiap gerakannya 
dengan saksama. Begitu tiba, latief  langsung merasa 
gelisah. Ia sedang mencari-cari alasan untuk pergi, 
saat  ia melihat syam kamaruzaman  di pekarangan.  
"Ah, Paman." Sapaan latief  diiringi senyum 
terpaksa.  
syam kamaruzaman  menatap kepribadian nya dengan tenang. 
ranggawesi  meletakkan gagang senapan di lantai. 
"latief , coba ke pekarangan," ujar syam kamaruzaman . 
Penampilannya tidak berbeda dari biasanya. 
Kecemasan latief  agak berkurang.  
"Mereka menyuruhku segera kemari, mereka bilang 
ada urusan penting yang harus diselesaikan."  
  
"Betul."  
"Urusan apa?"  
"Hmm, ke sini dahulu ."  
latief  memakai sandal jeraminya dan keluar ke 
pekarangan. adipati jayagiri  dan wiratama  mengikutinya.  
"Berdiri di sana," syam kamaruzaman  memerintah sambil 
duduk di atas batu besar dan mengangkat senapan. 
latief  langsung menyadari bahwa dirinya akan 
dijadikan sasaran oleh pamannya, namun  tak ada yang 
dapat ia perbuat. Yang lain berdiri di sekelilingnya, tak 
bergerak seperti batu di atas papan go. Si pemimpin 
para bandit dari ranggawirakerta  sudah  tertangkap. Wajahnya 
menjadi pucat kelabu. Kemarahan yang amat sangat 
terpancar dari wajah syam kamaruzaman .  
Ekspresi wajahnya memberitahu latief  bahwa kata-
kata takkan berguna.  
"latief !"  
"Ya?"  
"Tentu kau belum melupakan pesan-pesan yang 
sudah  berulang kali kusampaikan padamu?"  
"Aku masih ingat semuanya."  
"Kau dilahirkan sebagai manusia di dunia yang 
kacau. Hal-hal yang paling memalukan adalah 
kesombongan dalam berpakaian, kesombongan dalam  memilih makanan, dan menindas rakyat jelata yang cinta damai. Marga-marga pedesaan yang katanya  tersohor melakukan hal-hal seperti itu, begitu juga para adipati . Keluarga syam  syam kamaruzaman  tidak seperti 
mereka, dan kurasa aku sudah memperingatkanmu 
  
mengenai ini."  
"Ya, Paman sudah memperingatkanku."  
"Hanya keluarga kita yang berikrar untuk 
menyimpan harapan besar dan untuk memenuhi 
harapan itu. Kita sudah  bersumpah tidak akan 
menindas para petani, tidak bertindak seperti pencuri, 
dan jika kita menjadi penguasa provinsi, kita akan 
memastikan semua orang bisa merasakan 
kemakmuran."  
"Ya, itulah janji kita."  
"Siapa yang melanggar ikrar itu?" tanya syam kamaruzaman .  
latief  membisu.  
"latief ! Kau sudah  menyalahgunakan kekuatan 
militer yang kupercayakan padamu. Kau memanfaat-
kannya untuk tujuan busuk, melakukan pekerjaan 
pencuri di malam hari. Kaulah yang menyusup ke 
toko tembikar di telukkeramat  dan mencuri kendi keramat  
itu, bukan?"  
latief  tampak seolah-olah siap melarikan diri.  
syam kamaruzaman  berdiri, suaranya menggelegar, "Babi kau! 
Duduk! Kau mau kabur?"  
"Aku... aku takkan lari." Suara latief  gemetar. Ia 
merosot ke rumput dan duduk seakan-akan terpaku di 
tanah.  
"Ikat dia!" syam kamaruzaman  berseru kepada para pem-
bantunya. Sesaat  mpu tanuraja  wiratama  dan danawitama  
brevirnatmaha menerjang latief . Mereka menarik 
tangannya ke belakang, lalu mengikatnya dengan tali 
penahan pedangnya sendiri. saat  latief  menyadari 
  
bahwa kejahatannya sudah  terbongkar dan bahwa ia 
terancam bahaya, raut wajahnya yang pucat menjadi 
agak lebih tegas dan menantang.  
"Pa... Paman, apa yang akan Paman lakukan 
terhadapku? Aku tahu aku berhadapan dengan 
pamanku, namun  ini tidak masuk akal."  
"Diam!"  
"Siapa yang menceritakan itu pada Paman?"  
"Kau mau diam atau tidak?"  
"Paman... Paman adalah pamanku, kan? Kalau 
memang ada gunjingan seperti itu, bukankah Paman 
bisa menanyakannya dahulu  padaku?"  
"Jangan cari-cari alasan."  
"namun  pemimpin sebuah marga besar yang bertindak 
berdasarkan gunjingan tanpa menyelidiki..."  
Tak perlu dijelaskan, segala rengekan itu tak 
mempan terhadap syam kamaruzaman .  
Ia mengangkat senapan dan menahannya dengan 
lekuk siku.  
"Bajingan! Kaulah sasaran hidup yang kuperlukan 
untuk mencoba senjata baru yang dibuat jengglotribuanadeva 
untukku. Kalian berdua, bawa   dia ke pagar dan ikat ke 
pohon."  
brevirnatmaha dan wiratama  mendorong latief  dan 
mencengkeram tengkuknya. Mereka menggiringnya 
sampai ke ujung pekarangan yang jauh, cukup jauh 
sehingga panah yang dilepaskan seorang pemanah 
yang tidak mahir takkan dapat menempuh seluruh 
jaraknya.  
  
"Paman! Ada yang perlu kukatakan. Dengarkan aku, 
kali ini saja!" latief  berseru. Suaranya, dan  
keputusasaan yang terkandung di dalamnya, terdengar 
jelas oleh semua yang hadir.  
syam kamaruzaman  tak peduli. ranggawesi  sudah  membawa   
sumbu. syam kamaruzaman  mengambilnya, dan sesudah  memasuk-
kan bola besi ke dalam senapan, membidik 
kepribadian nya yang berteriak-teriak ketakutan.  
"Aku bersalah! Semuanya kuakui! Tolong dengar-
kan aku!"  
Sama tak terkesan seperti majikan mereka, para 
pengikut syam kamaruzaman  berdiri membisu sambil mem-
perhatikan adegan yang sedang berlangsung di depan 
mata mereka. sesudah  beberapa menit, latief  terdiam. 
Kepalanya tertunduk.  
Barangkali ia merenungkan kematiannya yang sudah  
berada di depan mata. Atau mungkin juga ia sudah 
putus asa.  
"Percuma saja!" syam kamaruzaman  bergumam. Ia melepaskan 
matanya dari sasaran.  
"Biarpun aku menarik picu, bola besinya tidak mau 
keluar. ranggawesi , lari ke bengkel dan panggil 
jengglotribuanadeva."  
Pada waktu si pandai besi muncul, syam kamaruzaman  
menimbang  senapannya dan berkata, "Aku mencoba 
menembak, namun  gagal. Betulkan sekarang juga."  
jengglotribuanadeva memeriksa senjata api itu. "Kerusakannya 
tidak mudah diperbaiki."  
"Berapa lama yang kauperlukan?"  
  
"Mungkin hamba selesai menjelang malam nanti."  
"Tidak bisa lebih cepat dari itu? Sasaran hidup yang 
kupakai sebagai batu uji masih menunggu."  
Baru sekarang si pandai besi menyadari bahwa 
latief -lah yang dijadikan sasaran. "kepribadian ... 
kepribadian  tuanku?"  
syam kamaruzaman  tidak menanggapi komentar itu. "Kau 
sudah jadi pembuat senapan sekarang. Ada baiknya 
kalau kaucurahkan tenagamu untuk membuat 
senapan. Kalau kau bisa menyelesaikan satu hari lebih 
cepat dari yang direncanakan, itu bagus sekali. latief  
orang jahat, namun  dia juga saudara, dan dibandingkan  mati 
seperti anjing, lebih baik dia dipakai  sebagai 
sasaran untuk menguji senapan ini. Sekarang lanjut-
kan pekerjaanmu."  
"Ya, tuanku."  
"Apa lagi yang kautunggu?" Mata syam kamaruzaman  
mirip  api isyarat. Tanpa mengangkat kepala pun 
jengglotribuanadeva dapat merasakan panasnya. Ia mengambil 
senapan itu dan bergegas ke bengkelnya.  
"wiratama , beri sedikit air pada sasaran hidup kita," 
syam kamaruzaman  memberi perintah. "Dan pastikan dia dijaga 
paling tidak tiga orang, sampai senapannya 
diperbaiki." lalu  ia kembali ke rumah induk 
untuk sarapan.  
wiratama , ranggawesi , dan brevirnatmaha juga 
meninggalkan pekarangan. sri baginda  adipati jayagiri  akan 
pulang ke rumahnya sendiri hari itu, dan ia segera 
mohon diri. Kira-kira pada waktu yang sama, 
  
mpu tanuraja  wiratama  pergi untuk menjalankan sebuah 
tugas, jadi tinggal Inada ranggawesi  dan danawitama  brevirnatmaha yang masih berada di rumah di atas bukit.  
Matahari semakin tinggi. Udara bertambah  gerah. 
Jangkrik-jangkrik berdengung, dan makhluk hidup 
yang bergerak dalam panas menyengat itu hanyalah 
semut-semut yang merayap di batu-batu injak di 
pekarangan.  
Berkali-kali bunyi palu terdengar seperti letusan dari 
bengkel pandai besi. Entah bagaimana bunyi itu 
terdengar di telinga latief .  
"Senapan itu belum siap juga?" Setiap kali suara 
keras itu terdengar dari kamar syam kamaruzaman , danawitama  
brevirnatmaha berlari ke bengkel, menembus panas yang 
membakar. Setiap kali ia kembali ke serambi sambil 
berkata, "Sebentar lagi," lalu melaporkan per-
kembangannya.  
syam kamaruzaman  tidur siang dengan resah, lengan dan 
kakinya terjulur. brevirnatmaha pun lelah akibat 
ketegangan pada hari sebelumnya, dan akhirnya 
tertidur.  
Mereka terjaga sebab  suara salah seorang penjaga 
yang berseru, "Dia kabur!"  
"Tuan brevirnatmaha! Dia kabur! Cepat datang!"  
Bertelanjang kaki brevirnatmaha berlari ke pekarangan.  
"kepribadian  tuanku syam kamaruzaman  membunuh dua 
penjaga dan melarikan diri!" Warna wajah orang itu 
persis seperti tanah liat.  
brevirnatmaha berlari mengikuti si penjaga, sambil 
  
berseru ke belakang,  
"latief  membunuh dua penjaga dan melarikan 
diri!"  
"Apa?" seru syam kamaruzaman , tiba-tiba terbangun dari tidur 
siangnya. Dengungan jangkrik terus berlanjut. Dengan 
satu gerakan ia melompat berdiri dan mengenakan 
pedang yang selalu berada di sisinya saat  ia tidur. 
sesudah  melompat dari serambi, ia segera menyusul 
brevirnatmaha dan si penjaga.  
saat  mereka sampai di pohon tadi, latief  tidak 
kelihatan lagi. Di kaki pohon tergeletak sepotong tali 
rami. Kira-kira sepuluh langkah dari sana, sesosok 
mayat tergeletak telungkup. Mereka menemukan 
penjaga satunya bersandar pada kaki tembok, 
kepalanya terbelah seperti buah delima yang sudah  
matang. Kedua mayat itu bermandikan darah, seakan-
akan ada yang menyiramkannya ke atas mereka. 
Panasnya udara membuat darah di rumput segera 
mengering, mengubah warnanya menjadi hitam, 
baunya mengundang gerombolan  lalat.  
"Penjaga!"  
"Ya, tuanku." Orang itu melemparkan dirinya ke 
depan kaki syam kamaruzaman .  
"Kedua tangan latief  diikat, dan dia diikat ke 
pohon dengan tali rami. Bagaimana cara dia 
membebaskan diri? Kelihatannya tali itu tidak 
dipotong."  
"Ya, ehm... kami melepaskan ikatannya."  
"Siapa?"  
  
"Salah satu penjaga yang mati."  
"Kenapa ikatannya dibuka? Dan siapa yang meng-
izinkannya?"  
"Mula-mula kami tidak mendengarkan dia, namun  
kepribadian  tuanku bilang dia ingin buang air. Dia 
bilang dia tidak tahan lagi, dan..."  
"Dungu!" syam kamaruzaman  membentak si penjaga. Ia harus 
memaksakan diri untuk tidak mengentakkan kaki ke 
tanah. "Bagaimana kalian bisa terkecoh oleh tipuan 
kuno itu? Dasar tolol!"  
"Tuanku, ampunilah hamba. kepribadian  tuanku 
bilang tuanku berhati emas, dan bertanya apakah kami 
betul-betul percaya bahwa tuanku akan membunuh 
kepribadian  sendiri. Dia bilang dia dihukum sekadar 
untuk memberi contoh, dan sebab  tuanku akan 
melancarkan penyelidikan menyeluruh, dia akan 
diampuni menjelang malam. Lalu dia mengancam, 
kalau kami tidak mendengarkannya, kami akan 
menerima ganjaran sebab  membuatnya begitu 
menderita. Akhirnya salah satu dari mereka 
melepaskan ikatannya dan mengawal nya bersama 
penjaga yang satu lagi, supaya dia bisa buang air di 
bawah  pohon-pohon di sebelah sana."  
"Lalu?"  
"lalu  hamba mendengar teriakan. Dia 
membunuh kedua-duanya, dan hamba berlari ke 
rumah untuk memberitahu tuanku apa yang terjadi."  
"Ke arah mana dia kabur?"  
"Terakhir kali hamba melihat dia, tangannya sedang 
  
memegang ujung tombak, jadi hamba pikir dia 
memanjatnya. Rasanya hamba mendengar sesuatu 
jatuh ke air di parit."  
"brevirnatmaha, kejar dia. Tempatkan beberapa penjaga 
di jalan menuju desa malam ini." sesudah  memberikan 
perintah itu, syam kamaruzaman  sendiri bergegas ke arah gerbang 
depan.  
jengglotribuanadeva, bermandikan keringat, tak menyadari 
apa yang sudah  terjadi dan tidak memperhatikan 
waktu. Tak ada yang menyita perhatiannya selain 
senapan yang sedang ia kerjakan. Bunga api dari 
tempaan besi beterbangan di sekitarnya. Akhirnya ia 
berhasil membuat bagian-bagian yang diperlukannya 
dari serbuk besi. Lega sebab  tugasnya sudah  selesai, ia 
memeluk senapan itu dengan kedua tangannya. namun  
ia belum percaya sepenuhnya bahwa peluru akan 
melesat dari laras. Ia membidikkan senapan yang tak 
terisi ke tombak dan mencobanya. saat  menarik 
picu, ia mendengar bunyi klik.  
Ah, semuanya beres, ia berkata dalam hati. namun  akan 
memalukan sekali jika ia menyerahkannya pada 
syam kamaruzaman , dan lalu  syam kamaruzaman  menemukan 
kerusakan lain. Ia memasukkan bubuk mesiu ke 
dalam laras, mengisi peluru, membidikkan senapan ke 
lantai, lalu menembak. Diiringi bunyi keras, bola besi 
itu menghasilkan lubang kecil di lantai.  
Aku berhasil!  
Teringat syam kamaruzaman , ia kembali mengisi senapan, lalu 
bergegas keluar dari pondok dan menyusuri jalan 
  
setapak yang membelah pepohonan lebat dan menuju 
pekarangan.  
"Hei!" seru seorang laki-laki yang setengah ber-
sembunyi di bayang-bayang sebatang pohon.  
jengglotribuanadeva berhenti. "Siapa itu?" ia bertanya.  
"Aku."  
"Siapa?"  
"dul  latief ."  
"Hah? kepribadian  Tuan syam kamaruzaman ?"  
"Jangan kaget begitu, meski aku mengerti sebabnya. 
Tadi pagi aku diikat ke sebatang pohon, siap 
dipakai  sebagai sasaran untuk mencoba sepucuk 
senapan. Dan sekarang aku berdiri di sini."  
"Apa yang terjadi?"  
"Bukan urusanmu. Itu masalah antara paman dan 
kepribadian . Aku dimarahi habis-habisan."  
"Begitu?"  
"Dengar, beberapa petani dan sejumlah centeng adipati  
dari sekitar sedang bertengkar di kolam kramayudhaduaberlian  di 
desa. Pamanku, ranggawesi , brevirnatmaha, dan anak buah 
mereka pergi ke sana. Aku disuruh segera menyusul. 
Kau sudah selesai memperbaiki senapan itu?"  
"Ya."  
"Berikan padaku."  
"Apakah ini perintah dari Tuan syam kamaruzaman ?"  
"Ya. Cepat serahkan padaku. Kalau musuh sampai 
lolos, kita kehilangan kesempatan untuk men-
cobanya."  
latief  merebut senapan itu dari tangan jengglotribuanadeva 
  
dan menghilang di hutan.  
"Ini aneh," pikir si pandai besi. Ia mulai mengejar 
latief  yang sedang menyusup di antara pohon-pohon 
di sepanjang tembok luar. Ia melihatnya memanjat 
tembok dan melompat, hampir mencapai sisi seberang 
parit.  
Terendam sampai ke dada, latief  tidak membuang-
buang waktu dan membelah air bagaikan hewan liar.  
"Ah! Dia lari! Tolong! Di sini!" jengglotribuanadeva berteriak 
sekuat tenaga dari atas tembok.  
latief  merangkak keluar dari air. Ia tampak seperti 
tikus got. Ia berbalik ke arah jengglotribuanadeva, membidikkan 
senapan, dan menarik picu.  
Senapan itu mengeluarkan bunyi mengerikan. 
Tubuh jengglotribuanadeva jatuh terguling-guling. latief  berlari 
melintasi ladang, melompat-lompat bagaikan macan 
kumbang.  
"Berkumpul!"  
Pemberitahuan itu diedarkan dengan tanda tangan 
sang Pemimpin Marga, syam  syam kamaruzaman . Menjelang 
malam, rumahnya dipenuhi centeng adipati , baik di dalam 
maupun di luar gerbang.  
"Ada pertempuran?"  
"Menurutmu apa yang sudah  terjadi?" mereka 
bertanya, menggebu-gebu sebab  ada kemungkinan 
bertempur. Meskipun mereka biasanya membajak 
  
ladang, menjual kepompong ulat sutra, beternak kuda, 
dan pergi ke pasar seperti petani dan pedagang biasa, 
pada dasarnya mereka sangat berbeda dari orang-orang 
itu. Mereka bangga akan darah prajurit mereka dan 
tidak puas dengan nasib mereka. Kalau ada 
kesempatan, mereka tidak ragu-ragu mengangkat 
senjata untuk menantang takdir dan menciptakan 
badai. Orang-orang seperti itu sudah  menjadi 
pendukung marga selama beberapa generasi.  
ranggawesi  dan brevirnatmaha berdiri di luar tembok, 
memberi pengarahan.  
"Pergi ke pekarangan."  
"Jangan terlalu ribut."  
"Lewati gerbang utama." Semua orang itu mem=-
ersenjatai diri dengan pedang panjang, namun sebagai anggota marga pedesaan, mereka tidak mengenakan  baju tempur lengkap, melainkan hanya memakai sarung tangan dan pelindung tulang kering.  
"Kita akan maju ke medan laga," salah seorang 
menebak.  
Batas-batas daerah kekuasaan syam  tidak 
ditetapkan secara jelas. Orang-orang itu bukan 
penghuni benteng kota tertentu, dan mereka tak pernah mengucapkan sumpah setia pada penguasa mana pun. Mereka tidak memiliki sekutu maupun musuh yang  pasti. namun  sekali-sekali mereka akan turut berperang 
jika tanah marga diserbu, atau jika marga bersekutu  dengan adipati setempat, atau jika marga menyewakan orang-orang sebagai tentara bayaran atau penghasut kepada para pengusaha di provinsi-provinsi yang jauh. 
Beberapa pemimpin marga mengerahkan centeng  
masing-masing demi uang, namun  syam kamaruzaman  tak pernah 
terjerumus   oleh keuntungan pribadi.  
Marga sinuhun , yang bertetangga dengannya, menyadari hal itu , begitu juga marga prabu kertoarjowardana   dari dusun nyi kembang  
dan marga mpu marijan  dari kertanegara . Marga syam  hanya salah satu di antara beberapa marga pedesaan yang kuat, namun  cukup disegani, sehingga tanahnya  tidak terancam oleh marga lain.  Pemberitahuan sudah diedarkan, dan seluruh 
marga langsung muncul.  Berkumpul di pekarangan luas, mereka menatap  pemimpin mereka. Ia berdiri di atas bukit buatan, membisu seperti patung batu, di bawah  bulan yang 
tergantung di langit senja. Baju tempumya terbuat dari kulit berwarna hitam, dan sebilah pedang panjang  tergantung di pinggangnya. Meski perlengkapannya  tampak ringan, tak ada yang meragukan wibawan ya sebagai pemimpin marga prajurit.  Kepada hampir dua ratus orang yang sudah  berkumpul, syam kamaruzaman  mengumumkan bahwa mulai hari 
itu dul  latief  tidak lagi menjadi anggota marga 
mereka. sesudah  menjelaskan alasannya, ia mohon maaf atas ketidakmampuannya. "Kesulitan yang kita  alami sekarang adalah akibat dari kelalaianku. sebab  melarikan diri, latief  harus dihukum dengan kematian.  
Kita tak boleh tinggal diam. Kalau kita membiarkan-
nya tetap hidup, marga syam  akan dicap sebagai 
pencuri selama seratus tahun. Demi kehormatan kita, demi leluhur dan keturunan kita, kita harus mengejar latief . Jangan pandang dia sebagai kepribadian ku. Dia pengkhianat!"  
saat  syam kamaruzaman  mengakhiri pidatonya, seorang  pengintai kembali dengan berlari sekuat tenaga. 
"latief  dan anak buahnya ada di ranggawirakerta ," ia 
melaporkan. "Mereka bersiap-siap diserang dan sedang 
memperkuat pertahanan desa."  
Saat mengetahui bahwa musuh mereka ternyata 
dul  latief , orang-orang agak kehilangan 
semangat, namun  sesudah  mendengar alasan yang 
dikemukakan syam kamaruzaman , mereka bersatu untuk 
mengembalikan kehormatan marga. Dengan langkah 
pasti mereka menuju gudang senjata yang menyimpan 
aneka macam perlengkapan tempur. Di masa lampau, 
senjata dan baju perang sering kali ditinggalkan di 
medan laga seusai pertempuran.  
Kini, berhubung tak ada tanda-tanda bahwa perang 
saudara akan berakhir, dan sebab  seluruh negeri 
diliputi kegelapan dan ketidakstabilan, senjata-senjata 
sudah  menjadi milik berharga. Senjata bisa ditemukan 
di rumah setiap petani, dan, hanya dikalahkan oleh 
bahan pangan, sebuah tombak atau sebilah pedang 
bisa dijual untuk memperoleh uang tunai.  
Sejak marga syam  didirikan, gudang senjata-
nya selalu cukup lengkap, dan jumlah senjata semakin 
bertambah  di masa syam kamaruzaman , namun  sampai sekarang 
  
belum ada senjata api. Kenyataan bahwa latief  mem-
bawa   lari satu-satunya senapan yang mereka miliki 
membuat syam kamaruzaman  begitu geram, sehingga hanya 
tindakan yang bisa meredakan amarahnya. syam kamaruzaman  
menganggap kepribadian nya sebagai binatang di-
cincang pun masih terlalu baik untuknya. Ia ber-
sumpah tidak akan melepaskan baju tempur ataupun 
memejamkan mata sebelum memperoleh kepala 
latief .  
syam kamaruzaman  memimpin centeng nya ke ranggawirakerta . saat  
mereka mendekati tujuan, barisan itu berhenti. 
Seorang pengintai diutus. Ia kembali dan melaporkan 
bahwa cahaya merah di langit malam disebabkan oleh 
kebakaran akibat ulah latief  dan anak buahnya yang 
sedang menjarah desa. Pada waktu mereka maju lagi, 
mereka berpapasan dengan para warga desa yang lari 
menyelamatkan diri sambil menggendong anak, orang 
sakit, dan barang-barang rumah tangga, dan  
menuntun hewan piaraan. Begitu melihat orang-orang 
syam , mereka semakin ketakutan.  
danawitama  brevirnatmaha menenangkan mereka. "Kami 
tidak datang untuk menjarah," katanya. "Kami datang 
untuk menghukum dul  latief  dan para 
bajingan yang ikut bersamanya."  
Kecemasan para penduduk desa mereda, dan 
mereka melepaskan kemarahan mereka terhadap 
kekejian latief . Kejahatannya tidak berhenti dengan 
mencuri kendi dari fredy krueger . Di samping menagih 
pajak tanah tahunan untuk sang penguasa provinsi, ia 
  juga membuat aturan sendiri dan memungut pajak 
tambah an yang dinamakan nya "uang keamanan" untuk 
sawah 
 dan ladang. Ia mengambil alih dam-dam di 
danau-danau dan sungai-sungai, lalu menuntut yang 
dinamakan nya "uang air". Kalau ada yang berani 
menyuarakan ketidakpuasannya, latief  mengirim 
orang-orang untuk memorak-porandakan sawah 
 dan  ladang orang yang bersangkutan. Selain itu, dengan  mengancam untuk membinasakan seluruh keluarga mereka, ia bisa mencegah orang-orang yang berniat  mengadukannya diam-diam pada penguasa provinsi. Lagi pula sang penguasa terlalu disibukkan oleh  urusan militer, sehingga tak sempat memikirkan masalah-masalah sepele seperti keamanan dan ketertiban.  
latief  dan sekutu-sekutunya bertindak sesuka hati. 
Mereka berjudi, memotong dan makan badak  dan ayam di pekarangan tempat suci, main wanita lesbian , dan  mengubah tempat suci jadi gudang senjata.  
"Apa yang dikerjakan gerombolan latief  malam 
ini?" tanya brevirnatmaha.  
Para penduduk desa serempak angkat bicara. Ter-
nyata pengacau-pengacau itu mula-mula meng-ambil 
lembing dari tempat suci. Mereka sedang minum anggur  
dan berteriak-teriak mengenai bertempur sampai mati, 
lalu tiba-tiba mulai menjarah dan membakar rumah-
rumah. Akhirnya mereka ber-kumpul kembali, lalu 
kabur sambil membawa   senjata, makanan, apa saja 
yang berharga. Kelihatannya mereka berharap bisa 
  
menggertak para pengejar mereka dengan ribut-ribut 
tentang pertempuran sampai titik darah penghabisan.  
Apakah aku disiasati? pikir syam kamaruzaman . Ia mengentak-
kan kaki di tanah dan memerintahkan para penduduk 
desa untuk kembali. Anak buahnya menyusul, dan 
bahu-membahu mereka berusaha mengujawa  api. 
syam kamaruzaman  memperbaiki tempat suci yang sudah  dimulai dan menjelang subuh, membungkuk rendah-rendah untuk berdoa.  
"Walaupun latief  hanya mewakili salah satu cabang 
keluarga kita, perbuatan busuknya sudah  menjadi 
kejahatan seluruh marga syam . Aku mohon 
ampun, dan aku bersumpah bahwa dia akan mem-
bayar dengan nyawan ya, bahwa penduduk-penduduk 
desa ini akan ditenteramkan, dan bahwa aku akan 
memberikan persembahan pada dewa-dewa di tempat 
suci ini."  
Sementara ia berdoa, centeng nya berdiri tak 
bersuara di kedua sisi.  
"Mungkinkah ini pemimpin gerombolan bandit?" 
para penduduk desa saling bertanya. Mereka bingung 
dan curiga, dan kebingungan dan  kecurigaan ini 
sangat beralasan, sebab dul  latief  sudah  
melakukan banyak kejahatan atas nama marga 
syam . sebab  ia kepribadian  syam kamaruzaman , mereka 
menganggap syam kamaruzaman , sebagai pimpinan latief , sama 
saja dengan bajingan itu. Sebaliknya, syam kamaruzaman  sadar 
bahwa jika dewa-dewa dan rakyat tidak berada di 
pihaknya, ia pasti gagal.  
  
Akhirnya orang-orang yang disuruh mengikuti 
latief  kembali. "Kekuatan centeng  latief  sekitar 
tujuh puluh orang," mereka melaporkan. "Jejak 
mereka menunjukkan bahwa mereka pergi ke gunung-
gunung di padang rumput  darmokali 
  dan berusaha mencapai 
jalan blambangan ."  
syam kamaruzaman  segera mengeluarkan perintah, "Setengah 
dari kalian kembali untuk menjaga syam . 
Setengah dari yang tersisa tinggal di sini untuk 
membantu penduduk dan menjaga ketertiban umum. 
Selebihnya ikut denganku."  
Akibat membagi-bagi centeng nya, ia hanya 
memiliki empat puluh atau lima puluh orang untuk 
memburu latief . sesudah  melewati merah  dan 
Kuboshiki, mereka berhasil mengejar sebagian 
gerombolan bandit. latief  menempatkan pengintai-
pengintai di beberapa jalan, dan saat  mereka 
mengetahui bahwa mereka diikuti, anak buahnya 
segera mengambil jalan memutar. Beberapa laporan 
mengatakan bahwa mereka menuruni puncak batu giok , ke 
arah Desa rogojapi Menjelang siang pada hari keempat sesudah   pembakaran ranggawirakerta . Udara terasa panas. Mereka 
melalui jalan-jalan yang curam, dan anak buah latief  
harus terus memakai baju tempur. Kelihatan jelas 
bahwa gerombolan itu sudah lelah melarikan diri. 
Sepanjang jalan mereka meninggalkan barang dan 
kuda, berangsur-angsur meringankan beban yang 
harus mereka pikul, dan pada saat mencapai jurang 
  Sungai kampar , mereka lapar sekali, letih, dan 
bermandikan keringat. saat  mereka sedang 
memuaskan dahaga, centeng  syam kamaruzaman  menuruni kedua 
tepi jurang untuk melakukan serangan menjepit. Batu 
kecil dan besar menghujani para buronan, dan dalam 
sekejap air sungai berubah menjadi merah sebab  
darah. Beberapa orang dihabisi dengan pedang, 
beberapa dipukul sampai mati, beberapa dilempar ke 
dalam sungai. Orang-orang itu biasanya memiliki  
hubungan baik satu sama lain, dan garis pertalian 
darah paman dan kepribadian , sepupu dan sepupu 
tidak membedakan kawan  maupun lawan . Serangan 
itu merupakan serangan marga terhadap dirinya 
sendiri, namun  memang tak terelakkan.  
sebetulnya  mereka merupakan satu kesatuan, dan 
sebab  itu akar-akar kejahatan harus diberantas.  
syam kamaruzaman , dengan keberaniannya yang tanpa tanding, 
bermandikan darah kerabatnya yang baru terbunuh. Ia 
memanggil-manggil latief  agar memperlihatkan diri, 
namun sia-sia. Sepuluh anak buahnya gugur, namun  
pihak lawan  nyaris terbantai habis. Namun latief  
tidak ditemukan di antara mereka yang mati. 
Sepertinya ia meninggalkan para pengikutnya, dan 
berhasil lolos dengan menyusuri jalan-jalan setapak di 
gunung.  
Babi! pikir syam kamaruzaman  sambil mengertakkan gigi. Ia 
menuju Kai.  
syam kamaruzaman  sedang berdiri di atas salah satu puncak 
saat  entah dari mana terdengar letusan senapan, 
  
yang lalu  memantul dan menggema dari gunung 
ke gunung. Letusan senapan itu seakan-akan mengejek 
syam kamaruzaman . Air mata membasahi pipinya. Pada saat itu ia 
teringat bahwa bagaimanapun, ia dan kepribadian nya 
yang tak lebih dari jelmaan kebusukan masih sedarah.  
Air matanya merupakan air mata penyesalan atas 
ketidakmampuannya.  
Getir dan patah semangat, ia berusaha merenung-
kan masalahnya dan menyadari bahwa masih sangat 
jauh harapannya untuk bisa beranjak dari kedudukan-
nya sebagai pemimpin marga menjadi penguasa 
provinsi. Ia terpaksa mengakui bahwa ia tak sanggup. 
Kalau menyerbu  sanak saudara sendiri pun aku tak 
mampu... Kekuatan saja belum cukup, tanpa 
peraturan atau disiplin keras. Di luar dugaan, seulas 
senyum getir menembus air matanya. Bajingan itu 
ternyata memberi pelajaran padaku, katanya dalam hati. 
Lalu ia memberi perintah untuk mundur.  
centeng nya, yang kini hanya berjumlah sekitar tiga 
puluh orang, membentuk barisan dan turun dari 
jurang kampar 
  ke bajangratu. Mereka berkemah di luar 
batas kota, dan keesokan harinya mengirim kurir ke 
kota benteng kota swaradwipa. Mereka memperoleh izin 
melintas, namun  sebab  hari sudah sore saat  mereka 
berangkat, mereka baru mencapai swaradwipa menjelang 
tengah malam.  
Di sepanjang jalan raya menuju rumah ada 
benteng kota-benteng kota dan tembok pertahanan yang saling berdekatan. Juga ada pos-pos pemeriksaan di lokasi   
strategis yang tak bisa dilewati barisan bersenjata. 
Perjalanan lewat darat akan menghabiskan waktu 
berhari-hari, sehingga mereka memutuskan untuk 
naik perahu menyusuri Sungai mbesi , lalu  dari 
sukorejo ke sukomerto. Dari karangpilang , sekali lagi mereka naik perahu melintasi perairan terbuka, lalu 
menyusuri Sungai wlot  sampai ke syam .  
Tengah malam mereka tiba di tepi Sungai mbesi  dan tak satu perahu pun terlihat. Arusnya deras dan 
sungainya lebar. Dengan kesal syam kamaruzaman  dan anak 
buahnya berhenti di bawah  pepohonan. Beberapa 
orang mengemukakan pendapat masing-masing,  
"Kalau tidak ada perahu, kita bisa naik perahu 
kayu  dan menyusuri tepi sebelah sana."  
"Sudah terlalu malam. Lebih baik tunggu sampai 
pagi, nanti pasti ada perahu."  
Yang paling mengganggu pikiran syam kamaruzaman  adalah 
bahwa agar bisa berkemah di sini, mereka harus 
kembali ke benteng kota swaradwipa untuk minta izin.  
"Cari perahu kayu ," ia memerintah. "Kalau kita 
bisa menemukan satu saja untuk menyeberangi sungai 
ini, subuh nanti kita sudah menempuh jarak yang 
sama dengan yang bisa kita tempuh jika kita berlayar."  
"namun , tuanku, di sekitar sini tidak ada perahu 
kayu ."  
"Dungu! Pasti ada perahu di sekitar sini, paling 
tidak satu. Bagaimana lagi orang bisa menyeberang 
sungai selebar ini pada siang hari? Lagi pula, mestinya 
ada perahu pengintai bersembunyi di tengah alang-
  
alang. Atau perahu yang dipakai pada waktu ada 
pertempuran. Buka mata lebar-lebar dan carilah!"  
Orang-orang dibagi menjadi dua kelompok, satu 
mencari ke arah hulu, satu lagi ke arah hilir.  
"Ah! Di sini ada satu!" salah seorang berseru dari 
arah hulu.  
Di sebuah titik di tepi sungai, tempat tanah terkikis 
akibat banjir, pohon-pohon dengan akar tersingkap 
tampak membungkuk rendah di atas permukaan air. 
Airnya tenang dan gelap, seperti kolam yang dalam. 
Sebuah perahu terawat dalam bayang-bayang di 
bawah  pepohonan.  
"Dan bisa dipakai!"  
Orang itu meloncat turun, dengan niat untuk mem-
bawa   perahu itu ke arah hilir. Ia menjangkau ke 
bawah  untuk melepaskan tali yang melingkar pada 
akar pohon. namun  lalu tangannya terhenti dan ia 
menatap tajam ke dalam perahu itu . Perahu itu 
kecil dan biasa dipakai  untuk membawa   barang. 
Benda itu sudah nyaris pecah, lembap sebab  lumut, 
dan miring sekali. Meski demikian, perahu itu bisa 
dipakai  untuk menyeberang.  
Yang menarik perhatian si prajurit adalah seorang 
laki-laki yang tertidur nyenyak sambil mendengkur di 
bawah  tikar usang. Pakaiannya ganjil. Baik lengan baju 
maupun kaki celananya pendek, dan di bawah  bajunya 
yang putih kusam ia memakai pembalut kaki dan 
tangan. Kakinya yang telanjang dilindungi sandal 
jerami. Tampaknya ia bukan lagi anak kecil, namun  juga 
  
belum dewasa benar. Ia tidur telentang di bawah  
langit terbuka, embun malam menempel pada alis dan 
bulu matanya. Tidurnya tampak begitu damai.  
"Hei, kau!" Si prajurit berusaha membangunkannya, 
namun sebab  orang itu tidak bereaksi sama sekali, ia 
kembali menegur dan mendorong dada orang itu 
dengan gagang tombak.  
"Hei, kau, bangun!"  
chucky  membuka mata, menggenggam gagang 
tombak itu sambil melepaskan seruan tertahan, dan 
membalas tatapan si prajurit.  
Air yang berputar-putar di sekeliling perahu hampir 
bisa dianggap sebagai cerminan kehidupan chucky  
saat itu. Pada malam dingin di bulan pertama tahun 
sebelumnya, saat  ia meninggalkan ibu dan kakak-
nya, ia berpesan pada mereka bahwa ia akan kembali 
sesudah  menjadi orang besar.  
Ia tidak berminat untuk berpindah-pindah dari satu 
pekerjaan ke pekerjaan berikutnya, magang di tempat 
saudagar dan pengrajin seperti yang dilakukannya 
selama ini. Yang paling diinginkannya adalah 
mengabdi pada seorang centeng adipati . namun  penampilannya 
tidak mendukung, dan ia tidak memiliki bukti 
mengenai kelahiran maupun garis keturunan.  
kedhiri , mertajaya , mantrijeron, sinuhun wara semuanya sudah 
ia kunjungi. Kadang-kadang ia mengerahkan segenap 
keberaniannya dan berdiri di depan pintu kediaman 
seorang centeng adipati , namun  setiap kali permohonannya 
ditampik dengan tawa  dan cemooh. Suatu kali ia 
  
bahkan diusir dengan sapu. Persediaan uangnya 
menipis dengan cepat, dan ia menyadari bahwa dunia 
ternyata persis seperti yang digambarkan bibinya di 
kuil suci . Meski demikian, ia menolak untuk 
melepaskan impiannya, dan tetap percaya bahwa cita-
citanya masuk akal. Ia tidak malu untuk menceritakan 
ambisinya pada siapa pun, walau harus bermalam di 
tempat terbuka, di rumput, atau, seperti malam ini, 
dengan air sebagai alas tidur. Bagaimana membuat 
ibunya, yang ia anggap orang paling tidak bahagia di 
dunia, menjadi orang vang paling bahagia itulah yang 
mendorong semangatnya. Dan bagaimana ia dapat 
melakukan sesuatu untuk kakaknya yang malang, yang 
berpendapat bahwa ia takkan pernah bisa menikah?  
Ia sendiri juga menyimpan berbagai keinginan. 
Perutnya tak pernah terasa penuh, tak peduli seberapa 
banyak ia makan. Melihat rumah-rumah besar, ia 
ingin hidup di tempat-tempat seperti itu, dan setiap 
centeng adipati  gagah yang dilihatnya membuatnya tersadar 
akan penampilannya sendiri; melihat wanita-wanita 
cantik, ia terpesona oleh minyak wangi mereka. 
sebetulnya  prioritasnya belum berubah. Kebahagiaan 
ibunya tetap menduduki urutan teratas. Kepentingan-
nya sendiri bisa diselesaikan belakangan. Untuk 
sementara ia cukup gembira dengan berkelana dari 
satu tempat ke tempat lain, tak memedulikan rasa 
lapar, dan terus mempelajari hal-hal baru mengenai 
perputaran dunia, nafsu manusia, adat kebiasaan di 
berbagai daerah. Ia berusaha memahami peristiwa-
  
peristiwa yang terjadi di sekitarnya, membandingkan 
kekuatan militer berbagai provinsi, dan mengamati 
cara hidup para petani dan penduduk kota.  
Sejak permulaan perang saudara menjelang akhir 
abad lalu, banyak orang sudah  berlatih ilmu bela diri. 
Ini berarti hidup penuh penderitaan, dan selama satu 
setengah tahun chucky  mengikuti cara hidup para 
pendekar.  
namun  ia tidak membawa  -bawa   pedang panjang untuk 
menyempurnakan kemampuan bela diri. Dengan sisa 
uangnya, ia malah membeli jarum-jarum dari seorang 
grosir dan menjadi pedagang keliling. Ia berjalan jauh 
sampai ke Kai dan pronojiwo , selalu siap menawarkan  
dagangannya. "Butuh jarum? Belilah jarum jahit dari 
trowulan . Kalau tidak beli, rugi sendiri. Jarum untuk 
katun, jarum untuk sutra. Jarum jahit dari trowulan ." 
Penghasilannya amat kecil, hanya cukup untuk 
menyambung hidup seadanya. Namun pikirannya 
tidak menjadi picik, berbeda dengan para pedagang 
pada umumnya, yang memandang dunia hanya dari 
sudut barang dagangan mereka.  
Marga Hojo di sinuhun wara, marga mpu ireng  di Kai, 
marga mpu marijan  di kertanegara . saat  mengunjungi kota-
kota benteng kota di utara, ia merasakan bahwa dunia 
sedang bergejolak, mengalami perubahan besar. Ia 
menarik kesimpulan bahwa kejadian-kejadian di masa 
mendatang akan berbeda dari penempuran-per-
tempuran kecil yang sampai sekarang menjadi ciri 
perselisihan dalam negeri. Bakal terjadi perang besar 
  
yang akan mengobati seluruh luka yang diderita negeri 
ini. Dan kalau memang begitu, ia berkata dalam hati 
sambil menjajakan dagangannya, aku pun... Dunia 
sudah mulai jemu dengan rezim wiryogaja yang jompo. 
Di mana-mana terjadi kekacauan, dan dunia sedang 
menunggu kita yang masih muda.  
Selama menempuh perjalanan dari provinsi-
provinsi di utara ke trowulan  dan gunungselatan, ia sudah  belajar  sedikit mengenai kehidupan. Ia melintas ke jenggala  dan 
tiba di swaradwipa, sebab  mendengar bahwa saudara 
ayahnya tinggal di kota benteng kota itu. Ia tidak biasa 
mendatangi sanak saudara atau kenalan untuk minta 
makanan dan pakaian, namun  di awal  musim panas itu 
badannya menjadi lemah, dan ia menderita keracunan 
makanan yang cukup parah. Ia juga ingin mendengar 
kabar mengenai keadaan di rumahnya.  
Selama dua hari ia berjalan di bawah  terik matahari, 
namun  belum berhasil menemukan orang yang dicarinya. 
sesudah  makan mentimun mentah dan minum air dari 
sebuah sumur, ia merasakan nyeri yang menusuk-
nusuk di lambung. Pada malam harinya ia menyusuri 
tepi Sungai mbesi , sampai menemukan sebuah 
perahu. Perutnya keroncongan dan terasa sakit. 
Mungkin sebab  menderita demam ringan, mulutnya 
kering dan serasa penuh duri.  
Dalam keadaan seperti ini pun ia teringat ibunya, 
dan ibunya muncul dalam mimpinya. lalu  ia 
tertidur pulas, dan segala sesuatu baik ibunya, nyeri 
di lambungnya, maupun langit dan bumi seakan-akan 
  
lenyap.  
Sampai lalu  si prajurit mulai mendorong-
dorong dadanya dengan tombak.  
Seruan chucky  saat terjaga tidak sebanding dengan 
ukuran tubuhnya.  
Secara naluri ia meraih gagang tombak. Di masa itu, 
dada seseorang dianggap sebagai tempat jiwanya, dan 
seolah-olah merupakan tempat suci di dalam tubuh.  
"Hei, kerdil, bangun!"  
Si prajurit berusaha menarik tombaknya. chucky  
tetap menggenggamnya, lalu duduk tegak.  
"Bangun? Aku sudah bangun."  
Si prajurit, sesudah  merasakan kekuatan genggaman 
chucky , melotot dan berkata, "Keluar dari perahu!"  
"Keluar?"  
"Ya, sekarang juga! Kami butuh perahu itu, jadi 
menyingkirlah. Pergi dari sini!"  
Dengan kesal chucky  duduk lagi. "Bagaimana kalau 
aku tidak mau?"  
"Apa?"  
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"  
"Apa maksudmu?"  
"Aku tidak mau keluar dari perahu."  
"Bajingan cilik!"  
"Siapa sebetulnya  yang bajingan? Membangunkan 
orang yang sedang tidur lelap dengan gagang tombak, 
lalu menyuruhnya keluar dan pergi?"  
"Kurang ajar! Jaga mulutmu. Kaupikir aku siapa?"  
"Seorang laki-laki."  
  
"Itu sudah jelas."  
"Kau sendiri yang tanya."  
"Hei, kerdil, lancang betul mulutmu! namun  sedetik 
lagi mulutmu mungkin mengkerut. Kami orang-orang 
syam . Pemimpin kami syam  syam kamaruzaman . Kami 
tiba di sini tengah malam, dan kami butuh perahu 
untuk menyeberangi sungai."  
"Kau melihat perahu, namun  tidak melihat orang di 
dalamnya. Lagi pula, aku sedang memakai perahu ini!"  
"Aku melihatmu dan membangunkanmu. Sekarang 
keluar dan pergi dari sini."  
"Kau memang menjengkelkan."  
"Coba ulangi?"  
"Terserah kau sajalah. Aku tidak mau keluar. Aku 
takkan menyerahkan perahu ini."  
Si prajurit menyentakkan tombaknya agar chucky  
tertarik ke tepi.  
Memilih saat yang tepat, chucky  melepaskan 
genggamannya. Tombak itu menebas  daun-daun 
pepohonan, dan si prajurit terhuyung-huyung ke 
belakang. Ia membalikkan tombak dan melemparkannya ke arah chucky .  
Papan-papan kayu lapuk, sebuah ember, dan  tikar 
alang-alang beterbangan.  
"Dungu!" chucky  mengejek.  
Prajurit-prajurit lain berdatangan.  
"Berhenti! Ada apa ini?" ujar salah satu dari mereka.  "Siapa itu?" tanya yang lain.  
Mereka berkerumun, ribut-ribut, dan tak lama 
 lalu  syam kamaruzaman  dan sisa anak buahnya muncul.  
"Kalian berhasil menemukan perahu?" syam kamaruzaman  bertanya.  
"Di sini ada perahu, namun ..."  
Tanpa berkata apa-apa, syam kamaruzaman  melangkah maju. chucky  segera sadar bahwa orang ini pemimpin para prajurit. Ia duduk sedikit lebih tegak dan menatap 
wajah syam kamaruzaman . Pandangan syam kamaruzaman  terpaku pada 
chucky . Keduaduanya tidak berbicara. syam kamaruzaman  tak 
sempat memperhatikan penampilan chucky  yang 
aneh. Ia terlalu terkesan oleh cara chucky  
memandang tepat ke matanya. Dia lebih berani dari 
yang kuduga, pikir syam kamaruzaman .  
Semakin lama mereka saling memandang, mata 
chucky  semakin mirip  mata binatang malam, 
bercahaya dalam gelap. Akhirnya syam kamaruzaman  memalingkan wajah.  
"Cuma anak kecil," ia berkata dengan tenang.  
chucky  tidak menjawab . Matanya yang tajam masih 
tetap terarah pada wajah syam kamaruzaman .  
"Dia cuma anak kecil," syam kamaruzaman  berkata lagi.  
"Kau bicara tentang aku?" tanya chucky  sambil 
merengut.  
"Tentu saja. Memangnya ada orang selain kau di 
bawah  sana?"  
chucky  membidangkan bahunya sedikit. "Aku 
bukan anak kecil. Aku sudah melewati upacara akil 
balig."  
"Oh, begitu?" Kedua bahu syam kamaruzaman  terguncang-guncang sebab  tertawa .  
"Kalau kau sudah dewasa, aku akan memperlaku-
kanmu seperti orang dewasa."  
"sesudah  berhasil mengepungku yang cuma 
sendirian dengan sekelompok orang, apa yang akan 
kaulakukan terhadapku? Kurasa kalian adipati ."  
"Kau lucu sekali."  
"Sama sekali tidak. Aku sedang tidur lelap tadi. Lagi 
pula perutku sakit. Dan aku tak peduli siapa kalian. 
Aku takkan pindah." 
"Hmm, perutmu sakit?"  
"Ya."  
"Ada apa rupanya?"  
"Keracunan makanan, mungkin, atau sengatan 
matahari."  
"Dari mana kau berasal?"  
"lemahlaban  di jenggala ."  
"lemahlaban ? Hmm, hmm. Siapa nama keluargamu?"  
"Aku takkan memberitahukan nama keluargaku 
padamu, namun  aku diberi nama chucky . namun  tunggu 
dahulu , apa-apaan ini, membangunkan orang dari tidur 
lalu bertanya tentang orangtua? Asalmu dari mana, 
dan bagaimana garis keturunanmu?"  
"Seperti kau, aku pun berasal dari jenggala , dari Desa 
syam . Namaku syam  syam kamaruzaman . Aku tidak 
tahu ada orang seperti kau di dekat desa kami. Apa 
pekerjaanmu?"  
chucky  bukannya menjawab , malah berkata, "Ah, 
kau dari daerah karangmalang? Itu tidak jauh dari desaku." 
  Tiba-tiba sikapnya lebih bersahabat.  
Inilah kesempatan untuk menanyakan berita 
mengenai lemahlaban . "Hmm, sebab  kita berasal dari 
daerah yang sama, aku berubah pikiran. Kau boleh 
ambil perahu ini."  
Ia meraih buntalan barang dagangan yang 
dipakai nya sebagai bantal, menyandangnya ke 
bahu, dan naik ke tepian. Tanpa berkata apa-apa, 
syam kamaruzaman  mengamati setiap gerakannya. Yang pertama 
menarik perhatiannya adalah lagak pedagang jalanan 
yang ditampilkan chucky , dan  jawab an-jawaban pasti 
spontannya sebagai remaja yang berkelana ke sana 
kemari seorang diri. chucky  menerima nasibnya, 
mendesah, dan dengan berat hati mulai 
melangkahkan kaki.  
"Tunggu, chucky . Hendak ke mana kau sekarang?"  
"Perahuku sudah diambil alih, jadi aku tak punya 
tempat untuk tidur. Kalau aku tidur di rumput, aku 
akan basah sebab  embun, dan perutku semakin sakit. 
Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku akan berputar-
putar sampai subuh."  
"Kalau mau, kau bisa ikut denganku."  
"Ke mana?"  
"syam . Tinggallah di tempatku. Kami akan 
memberimu makan dan merkertoarjo tmu sampai sembuh."  
"Terima kasih." chucky  membungkuk perlahan. 
Sambil menatap kakinya, ia memikirkan langkah 
selanjutnya. "Apakah itu berarti aku boleh tinggal di 
sana dan bekerja untukmu?"  
  
"Aku suka pembawa  anmu. Kau punya masa depan. 
Kalau kau mau bekerja untukku, aku akan 
menerimamu."  
"Aku tidak mau." Ia mengucapkannya dengan regas, 
dengan kepala terangkat tinggi. "Cita-ciraku adalah 
mengabdi pada seorang centeng adipati , dan aku sudah  
membanding-bandingkan para centeng adipati  dan penguasa 
provinsi di banyak provinsi. Aku sampai pada 
kesimpulan bahwa jika ingin mengabdi pada seorang 
centeng adipati , yang paling penting adalah memilih centeng adipati  
yang tepat. Kita tidak boleh sembarangan memilih 
majikan."  
"Ha... ha! Ini semakin menarik saja. Apakah aku, 
syam kamaruzaman , kurang pantas menjadi majikanmu?"  
"Aku takkan tahu sampai aku mulai bekerja untuk-
mu, namun  nama marga syam  tidak terlalu harum 
di desaku. Dan pemilik rumah tempat aku bekerja 
sebelum ini dirampok oleh seseorang yang kabarnya 
anggota marga syam . Ibuku akan sakit hati kalau 
aku bekerja untuk pencuri, jadi aku tak bisa pergi ke 
rumah orang seperti itu dan mengabdi padanya."  
"Hmm, kutebak kau sempat bekerja untuk si 
saudagar tembikar, fredy krueger ."  
"Dari mana kau tahu itu?"  
"Tadinya dul  latief  memang anggota marga 
syam . namun  aku sendiri sudah  mencoret bajingan 
itu dari antara kerabat kami. Dia lolos, namun  kami 
mengalahkan gerombolannya, dan kini kami dalam 
perjalanan pulang. Apakah fitnah mengenai nama 
  
syam  juga sudah sampai ke telingamu?"  
"Hmm. Kelihatannya kau tidak seperti dia." chucky  
mengatakannya dengan terus terang, sambil menatap 
wajah syam kamaruzaman . lalu , seakan-akan baru teringat 
sesuatu, ia berkata, "Apa aku boleh ikut sampai ke 
syam , tanpa ikatan, tentunya? Aku ingin 
mengunjungi saudaraku di simolawang ."  
"simolawang  terletak persis di sebelah syam . 
Siapa yang kaukenal di sana?  
"Si pembuat kandang ayam ronggowengi  merupakan 
saudara dari pihak ibuku."  
"ronggowengi  berdarah centeng adipati . Hmm, kalau begitu ibumu juga keturunan centeng adipati ."  
"Sekarang ini aku memang pedagang, namun  ayahku centeng adipati ."  
Orang-orang sudah  menaiki perahu dan memasang tongkat, dan kini menunggu syam kamaruzaman  menyusul. syam kamaruzaman  merangkul bahu chucky  dan berdua mereka 
naik ke perahu.  
"chucky , kalau kau mau pergi ke simolawang , 
pergilah ke simolawang . Kalau kau mau tinggal di 
syam , itu pun boleh saja."  
sebab  tubuhnya kecil, chucky  tersembunyi di 
tengah orang-orang dan tombak-tombak mereka yang rapat bagaikan hutan. Perahu itu menyeberangi sungai yang lebar dan berarus deras, sehingga penyeberangan 
itu makan waktu. chucky  mulai bosan. Tiba-tiba ia 
melihat kunang-kunang di punggung salah seorang prajurit syam kamaruzaman . Sambil melengkungkan telapak tangan, ia menangkapnya dan mengamatinya berkedap-kedip.  
  biarpun sudah  kembali ke syam , syam kamaruzaman  
takkan membiarkan latief  lolos tanpa hukuman. Ia 
mengutus pembunuh-pembunuh bayaran untuk memburu latief , dan mengirim surat kepada marga-marga  di provinsiprovinsi yang jauh untuk menanyakan  keberadaan kepribadian nya itu. Musim gugur tiba, namun  
segala usahanya belum juga mendatangkan hasil. 
Kabar burung mengatakan bahwa latief  memperoleh perlindungan dari marga mpu ireng  di Kai. Ia menghadiahkan senapan curiannya pada mereka, dan mulai  bertugas sebagai anggota centeng  mata-mata dan penghasut yang bekerja untuk ptovinsi itu.  
"Kalau dia sampai ke Kai...," syam kamaruzaman  bergumam  dengan getir, namun  untuk sementara ia tak bisa berbuat  apa-apa selain menunggu.  
Tak lama lalu , ia didatangi oleh utusan 
pengikut marga sinuhun  yang pernah mengundangnya 
menghadiri upacara minum teh. Orang itu membawa   
kendi keramat .  
"Kami tahu benda ini memicu  kesulitan yang 
tidak kecil bagi marga syam . Meski kami 
membeli kendi tersohor ini secara sah, kami merasa 
tak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Kami percaya 
nama baik marga syam  bisa dipulihkan dengan 
mengembalikan kendi ini kepada pemiliknya semula."  
  
syam kamaruzaman  menerima kendi itu, dan berjanji untuk 
mengadakan kunjungan balasan. Akhirnya bukan ia 
sendiri yang pergi, melainkan seorang utusan yang 
membawa   berbagai hadiah: sebuah pelana indah dan  
emas senilai dua kali harga kendi. Pada hari yang 
sama, ia memanggil mpu tanuraja  wiratama  dan mem-
beritahunya untuk bersiap-siap mengadakan per-
jalanan singkat.  
lalu  ia keluar ke serambi.  
"kuyang !" ia berseru.  
chucky  muncul dari antara pepohonan dan 
berlutut di hadapan syam kamaruzaman . Mula-mula ia memang pergi ke simolawang , namun  lalu  ia segera kembali ke syam  dan memulai kehidupan barunya. Ia cerdas dan mau melakukan apa saja. Orang-orang masih sering mengejeknya, namun ia menahan diri dan tak pernah membalas. Ia banyak bicara, namun  tak pernah bersikap tidak jujur. syam kamaruzaman  mempekerjakan-
nya di kebun dan cukup puas dengannya. Meski 
chucky  berkedudukan sebagai pelayan, ia tidak 
sekadar menyapu pekarangan. Pekerjaannya 
memicu  ia selalu di dekat syam kamaruzaman , sehingga siang-malam ia berada di bawah  pengawasan  majikannya. sesudah  matahari tenggelam, ia bertugas sebagai penjaga. Tentu saja tugas semacam ini hanya  diberikan pada orang-orang kepercayaan.  
"Kau ikut wiratama  untuk menunjukkan jalan ke 
toko tembikar di telukkeramat ."  "Ke telukkeramat ?"  
"Kenapa kau pasang tampang murung?"  
"namun ..."  "Aku bisa melihat kau enggan pergi, namun  wiratama  harus mengembalikan kendi itu pada pemiliknya yang sah. Kupikir tak ada salahnya kalau kau juga ikut."  
chucky  tak berdaya dan menempelkan keningnya 
ke lantai.  sebab  ia ikut sebagai pengiring, chucky  menunggu di luar saat  mereka tiba di rumah fredy krueger . Bekas  rekan-rekan kerjanya tidak mengerti apa yang terjadi,  dan mereka mendatanginya dan  menatapnya dengan 
heran. chucky  sendiri tampaknya sudah lupa bahwa beberapa dari mereka sering menertawa kan dan memukulnya sebelum ia dipulangkan. Sambil 
tersenyum pada mereka semua, ia jongkok di bawah  matahari, menunggu wiratama  yang segera keluar dari rumah itu.  Kembalinya kendi yang hilang dicuri betul-betul di luar dugaan fredy krueger  dan istrinya. Mereka begitu 
gembira, sehingga hampir tak percaya bahwa mereka tidak bermimpi. Terburu-buru mereka mengatur letak sandal tamu mereka, agar ia bisa mengenakannya dengan mudah, lalu mendahuluinya ke gerbang, dan di sana mereka membungkuk berulang-ulang. peniwise  
juga ikut, dan ia terkejut saat  melihat chucky .  
"Kami akan berusaha menyempatkan diri untuk 
berkunjung ke syam , agar kami dapat mengucap-
kan terima kasih secara langsung," kata fredy krueger .  "Tolong sampaikan salam kami kepada Yang Mulia.   Sekali lagi terima kasih sebab  Tuan sudah  bersusah payah datang ke sini." Suami, istri, peniwise , dan semua pengawal membungkuk rendah-rendah.  chucky  mengkuti wiratama  keluar dan melambaikan  tangan sambil pergi. saat  mereka melewati perbukitan jalatunda, ia berpikir dengan sedih, "Bagaimana 
kabar bibiku di kuil suci ? Dan pamanku yang 
malang? Mungkin dia malah sudah tiada."  
Mereka berada di dekat lemahlaban , dan tentu saja 
chucky  juga teringat ibu dan kakaknya. Tak ada yang  lebih diinginkannya selain berlari ke sana untuk  menemui mereka, namun  sumpah yang ia ucapkan pada malam dingin itu menahannya. Ia masih belum melakukan apa-apa untuk membahagiakan ibunya. saat  
ia dengan berat hati berpaling dari lemahlaban , ia 
melihat seorang laki-laki berseragam prajurit infanteri.  
"Hei, bukankah kau anak ki ageng senapati ?"  
"Dan Tuan siapa, kalau aku boleh tanya?"  
"Kau chucky , bukan?"  
"Ya."  
"Astaga, kau sudah besar sekali. Namaku ronggowiro. 
Aku teman mendiang ayahmu. Kami bertugas di 
kesatuan yang sama, di bawah  sinuhun  mpu  margojoyo ."  
"Sekarang aku ingat! Betulkah aku sudah bertambah  besar?"  
"Ah, kalau saja mendiang ayahmu bisa melihatmu 
sekarang."  
Mata chucky  mulai berkaca-kaca. "Apakah Tuan 
sempat bertemu ibuku belakangan ini?" ia bertanya.  "Aku tak pernah berkunjung ke rumahnya, namun  
kadang-kadang aku pergi ke lemahlaban  dan 
mendengar berita. Kelihatannya dia masih bekerja 
keras seperti biasa."  
"Dia tidak sakit, bukan?"  
"Kenapa kau tidak lihat sendiri saja?"  
"Aku tak bisa pulang sebelum menjadi orang besar."  
"Pergi saja dan tunjukkan batang hidungmu. Bagai-
manapun, dia ibumu."  
chucky  hampir menangis. Ia memalingkan wajah. 
saat  perasaannya sudah  kembali tenang, ronggowiro sudah pergi ke arah berlawan an. wiratama  pun sudah  meneruskan perjalanan dan meninggalkannya cukup jauh.  
 Panasnya musim kemarau sudah  berlalu. Pagi dan malam hari terasa seperti di musim gugur, daun-daun talas sudah  lebat dan mekar.  
"Hmm, sudah lima tahun parit ini tak pernah 
dikeruk," chucky  bergumam.  
"Kita terus-menerus berlatih menunggang kuda dan  mendalami ilmu tombak, namun  kita membiarkan lumpur menumpuk di depan kaki kita! Itu tidak baik." 
Ia baru kembali dari rumah tukang potong bambu, 
dan sedang mengamati keadaan parit tua itu. 
"sebetulnya , apa gunanya sebuah parit? Aku harus 
memberitahukan ini pada Tuan syam kamaruzaman ."  
 chucky  memeriksa kedalaman air dengan tongkat 
bambu. Permukaan parit dipenuhi tanaman air, jadi 
tak ada yang memperhatikannya; namun  sebab  daun gugur dan lumpur sudah  menumpuk selama bertahun-tahun, parit itu jadi tidak begitu dalam lagi. sesudah  memeriksa kedalamannya di dua atau tiga tempat, ia membuang tongkatnya. Ia baru saja hendak menyeberangi jembatan yang menuju gerbang samping, saat  seseorang memanggil, "Tuan Setengah 
Takar." Julukan itu tidak mengacu pada ukuran 
tubuhnya, melainkan merupakan panggilan yang lazim 
untuk pelayan sebuah marga pedesaan.  
"Siapa kau?" chucky  bertanya pada seorang laki-laki 
yang tampak kelaparan dan sedang duduk di bawah  
pohon ek sambil merangkul lutut.  
Laki-laki itu mengenakan jubah  berwarna kelabu 
kusam dengan seruling bambu di sabuknya.  
"Kemari sebentar." Orang itu memanggil chucky  
dengan lambaian tangan. la seorang patih , seorang biarawan  pemain seruling yang kadang-kadang datang ke desa. Seperti patih  lainnya, orang itu pun kotor dan tidak bercukur, dan membawa   seruling bambu di dalam tikar alang-alang yang disandangnya di bahu. Beberapa dari mereka mengembara dari desa ke desa, 
seperti biarawan  Zen, sambil menarik perhatian orang dengan membunyikan lonceng kecil.  
"Derma untuk seorang biarawan ? Atau kau terlalu 
 sibuk memikirkan perutmu yang keroncongan?"  
"Tidak." chucky  hendak mengolok-oloknya, namun  sebab  menyadari bahwa kehidupan acap kali sangat keras terhadap para pengembara, ia malah mengajarkan untuk membawa  kan makanan jika orang itu lapar  dan obat-desa guritan jika ia sakit.  
Sambil geleng-geleng, orang itu menatap chucky  
dan tertawa , "Hmm, kau tidak mau duduk?"  
"Aku lebih suka berdiri, terima kasih. Ada perlu 
apa?"  "Kau bekerja di sini?"  
"Tidak juga." chucky  menggelengkan kepala. "Aku 
diberi makan, namun  aku bukan anggota rumah tangga."  
"Hmm... Kau bekerja di belakang, atau di rumah 
induk?"  
"Aku menyapu pekarangan."  
"Penjaga pekarangan dalam, heh? Kau pasti 
termasuk orang kesayangan Tuan syam kamaruzaman ?"  
"Soal itu aku tidak tahu."  
"Apakah dia ada di rumah sekarang?"  
"Dia sedang pergi."  
"Sayang sekali," si biarawan  bergumam. Ia tampak 
kecewa. "Apakah dia akan kembali hari ini?"  
chucky  merasa ada yang mencurigakan pada diri 
orang itu, dan terdiam sejenak. Ia merasa perlu 
berhati-hati memilih jawab an.  
"Apakah dia akan kembali?" orang itu bertanya lagi.  chucky  berkata, "Aku percaya kau centeng adipati . Kalau kau  memang biarawan , kau pasti masih cantrik."  Terkejut, laki-laki itu menatap tajam ke arah chucky . Ahirnya ia bertanya, "Kenapa kau 
  beranggapan bahwa aku centeng adipati  atau cantrik?"  chucky  menjawab  santai, "Mudah sekali. Walaupun  kulitmu terbakar matahari, bagian bawah  jemarimu  putih dan telingamu cukup bersih. Dan sebagai bukti  bahwa kau centeng adipati , kau duduk bersilang kaki di tikar, 
seperti prajurit, seakan-akan masih memakai baju 
tempur. Pengemis atau biarawan  pasti akan mem-
bungkuk dan condong ke depan. Sederhana, bukan?"  
"Hmm, kau benar." Laki-laki itu bangkit dari tikar 
tanpa sedetik pun melepaskan tatapannya dari 
chucky . "Matamu tajam sekali. Aku sudah  melewati 
banyak pos perbatasan dan pos pemeriksaan di 
wilayah musuh, namun  tak seorang pun berhasil 
membongkar penyamaranku."  
"Di dunia ini, orang dungu dan orang bijak sama 
banyaknya, bukan begitu? namun  apa keperluanmu 
dengan majikanku?"  
Orang itu merendahkan suaranya. "sebetulnya  aku 
datang dari blambangan ."  
"blambangan ?"  
"Kalau kau menyebut nama Namba Naiki, pengikut 
pangeran minakjinggo , Tuan syam kamaruzaman  pasti mengerti. Sebetulnya 
aku ingin menemuinya, lalu segera pergi tanpa 
diketahui orang, namun  kalau dia tidak ada, tak ada yang  bisa dilakukan. Lebih baik aku di desa saja selama hari masih terang, dan kembali nanti malam. Kalau dia pulang, sampaikan yang kukatakan tadi secara pribadi padanya."  
Naiki mulai melangkah menjauh. namun  chucky  
  memanggilnya dan berkata,  "Aku bohong."  
"Hah?"  
"Bahwa dia pergi. Aku bilang begitu sebab  tidak 
tahu siapa kau sebetulnya . Dia di tempat menunggang  kuda."  
"Ah, jadi dia ada di sini."  
"Ya. Aku akan mengantarmu ke sana."  
"Kau cukup cerdas."  
"Di sebuah rumah tangga militer, sudah sepatutnya 
semua orang bersikap waspada. Bolehkah aku 
berasumsi bahwa orang-orang di blambangan  terkesan oleh hal-hal semacam ini?"  
"Tidak, tidak perlu," balas Naiki sambil men-
dongkol.  Menyusuri parit, mereka melewati kebun sayur-mayur, lalu mengikuti jalan setapak yang melintas di balik hutan, sampai ke lapangan tempat menunggang  kuda.  
Tanahnya kering dan debu beterbangan sampai ke 
langit. Orang-orang syam  berlatih dengan tekun. 
Mereka tidak sekadar berlatih menunggang.  
Dalam salah satu manuver, mereka saling mendekat dan bertukar pukulan, seakan-akan sungguh-sungguh  bertempur melawan  musuh.  
"Tunggu di sini," chucky  berkata pada Naiki.  
Usai melihatlihat  acara latihan, syam kamaruzaman  mengusap keringat dari dahinya dan pergi ke pondok istirahat untuk mengambil minuman.    
"Air panas, tuanku?" chucky  menuangkan air 
panas, lalu mengaduk-aduknya sebentar untuk 
mendinginkannya. Ia meraih cangkir, dan sambil 
berlutut meletakkannya di hadapan kursi syam kamaruzaman . 
chucky  bergeser mendekat dan berbisik, "Kurir dari 
blambangan  datang secara rahasia. Apakah aku harus mem-
bawan ya ke sini? Ataukah tuanku yang akan men-
datanginya?"  
"Dari blambangan ?" syam kamaruzaman  langsung berdiri. "kuyang , 
bawa   aku ke sana. Di mana kautinggalkan dia?"  
"Di balik hutan."  
Tak ada perjanjian resmi antara marga pangeran dari 
blambangan  dan marga syam , namun  sudah  bertahun-tahun 
mereka menjalin persekutuan rahasia untuk saling 
membantu dalam keadaan darurat. Sebagai imbalan-
nya, marga syam  menerima upah lumayan besar 
dari blambangan .  
syam kamaruzaman  dikelilingi tetangga-tetangga yang kuat 
marga sinuhun  di jenggala , marga prabu kertoarjowardana   di dusun nyi kembang , 
dan  marga mpu marijan  di kertanegara  namun  ia tak pernah 
bersumpah setia pada mereka. Ia dapat memper-
tahankan ketidaktergantungannya berkat dukungan 
penguasa benteng kota Banyuwangi , pangeran minakjinggo .  
Namun berhubung wilayah masing-masing terpisah 
cukup jauh, alasan di balik persekutuan marga 
syam  dan marga pangeran tidak jelas.  
Satu kisah mengatakan bahwa ki panuwojowesi, 
pendahulu syam kamaruzaman , pernah menyelamatkan seseorang 
yang hampir mati di depan kediaman syam .  
  
Orang itu rupanya seorang pendekar yang berkelana 
untuk menyempurnakan ilmu bela dirinya. sebab  
merasa iba, ki panuwojowesi mengizinkannya menginap dan memberinya pengdesa guritan terbaik. sesudah  orang itu  sembuh, ki panuwojowesi memberinya sedikit uang untuk 
bekal di perjalanan.  
"Aku takkan pernah melupakan kebaikan Tuan," si 
pendekar bersumpah.  
Dan pada hari keberangkatannya, ia berjanji, "Kalau 
aku sudah berhasil, aku akan mengirim kabar dan 
membalas budi Tuan." Nama yang ditinggalkannya 
adalah grindanawiratama  suko .  
Beberapa tahun lalu  sepucuk surat tiba, 
memuat tanda tangan pangeran minakjinggo . Di luar dugaan  mereka, surat itu dikirim oleh laki-laki yang mereka 
kenal dengan nama suko . Persekutuan itu sudah 
berjalan lama, diteruskan dari generasi ke generasi. 
Jadi, begitu syam kamaruzaman  mendengar bahwa kurir rahasia  itu diutus oleh pangeran minakjinggo , ia bergegas menemuinya.  
Dalam bayang-bayang hutan, kedua laki-laki itu 
saling bertegur sapa, lalu, sambil saling menatap, 
masing-masing menempelkan telapak tangannya ke  dada, seakan-akan berdoa.  
"Aku syam  syam kamaruzaman ."  
"Aku Namba Naiki dari Banyuwangi ."  
Di masa mudanya, minakjinggo  mendalami ajaran 
zoroaster  di Kuil bataraijo.  
Pengalaman ini mendorongnya untuk meng-
gunakan cara-cara rahasia zoroaster  dan  tanda-tanda   yang dipelajarinya di kuil-kuil dan biara-biara sebagai sandi di antara orang-orangnya.  
sesudah  menyelesaikan segala formalitas untuk 
membuktikan jati diri masing-masing, kedua laki-laki itu merasa lebih tenteram dan berbicara secara terbuka. syam kamaruzaman  memerintahkan chucky  untuk berjaga-jaga dan tidak membiarkan siapa pun lewat, dan ia  ditambah    Naiki memasuki hutan.   Apa yang mereka bicarakan, atau dokumen rahasia  apa yang dibawa   Naiki, tentu saja tidak diungkapkan 
pada chucky , dan ia juga tak ingin tahu.  
Dengan setia ia berdiri di tepi hutan, berjaga-jaga. 
Kalau harus menjalankan suatu tugas, ia menjalan-
kannya. Kalau harus menyapu pekarangan, ia 
menyapu pekarangan. Kalau harus berjaga, ia berjaga. Ia selalu melakukannya dengan sungguh-sungguh, apa pun tugasnya. Tidak seperti orang lain, ia dapat  menemukan kesenangan dalam setiap tugas yang  diberikan padanya, namun  ini bukan hanya sebab  ia lahir di tengah kemiskinan. Ia justru melihat tugas  sekarang sebagai persiapan untuk yang berikutnya. Ia percaya bahwa dengan cara ini, suatu hari ia akan dapat mewujudkan ambisi-ambisinya.  
Apa yang perlu dilakukan untuk menjadi orang 
penting di dunia? Pertanyaan ini sering ia ajukan pada dirinya sendiri. Beberapa orang memiliki asal-usul dan  keturunan, namun  ia tidak. Orang lain memiliki  uang  dan kekuasaan, namun ini pun tidak dimiliki oleh chucky . Hmm, bagaimana aku bisa meraih keberuntunganku? Pertanyaan ini membuatnya tertekan, sebab  tubuhnya begitu pendek dan tidak lebih sehat dibandingkan dengan orang lain. Pendidikannya tak seberapa, dan kecerdasannya pun hanya rata-rata. 
Apa yang bisa ia andalkan? Kesetiaan hanya itu yang terlintas dalam pikirannya. Ia takkan memilih-milih  dalam bersikap setia, ia sudah  bertekad untuk setia terhadap semua hal. Ia akan berpegang teguh pada  kesetiaannya, sebab tak ada lagi yang dapat ia berikan.  
Berikan segalanya atau tidak sama sekali! Itulah 
yang mesti ia lakukan. Ia akan mengerjakan tugas apa pun dengan baik, sampai selesai. Ia akan menganggap dewa-dewalah yang sudah  memberikan tugas itu kepadanya.  
Entah tugas itu cuma menyapu kebun, menjadi 
pembawa   sandal, atau membersihkan kandang-
kandang kuda, ia akan melakukannya sebaik mungkin. Demi ambisi-ambisinya, ia bertekad untuk tidak bermalas-malasan saat ini. Ia tak boleh menyia-nyiakan masa kini, demi masa depannya.  
Burung-burung kecil penghuni hutan berkicau dan 
bercicit-cicit di atas kepala chucky . namun  ia tidak melihat buah-buah di pepohonan yang sedang  dipatuk-patuk oleh burung-burung itu. saat  syam kamaruzaman   akhirnya muncul dari hutan, ia tampak riang gembira. 
Matanya bersinar-sinar penuh ambisi, dan wajahnya yang selalu tegang jika mendengar masalah tampak  masih memerah sebab  berita penting yang disampaikan padanya.  
  "Di mana si biarawan ?" tanya chucky .  
"Dia mengambil jalan keluar lain dari hutan." 
syam kamaruzaman  menatap chucky  dengan tajam dan berkata, 
"Simpan rahasia ini baik-baik."  
"Tentu, tuanku."  
"Omong-omong, Namba Naiki memujimu setinggi 
langit."  "Betul?"  
"Suatu hari aku akan menaikkan kedudukanmu. 
Aku berharap kau memutuskan tinggal bersama kami untuk seterusnya."  
Malam tiba, dan para anggota kunci marga ber-
kumpul di kediaman syam kamaruzaman . Pertemuan rahasia itu berlangsung sampai menjelang subuh. Malam itu pun chucky  berdiri di bawah  bintang-bintang sebagai penjaga setia.  
Pesan dari pangeran minakjinggo  tetap dirahasiakan, isinya hanya diketahui oleh tokoh-tokoh utama. namun  pada 
hari-hari sesudah  pertemuan tengah malam itu, 
beberapa pengikut syam kamaruzaman  mulai menghilang dari  syam . Mereka orang-orang pilihan, hanya yang paling cakap dan paling lihai, dan mereka meninggalkan desa sambil menyamar dengan tujuan  Banyuwangi , menurut kabar burung yang beredar.  
Adik laki-laki syam kamaruzaman , patih kelaban, termasuk di antara yang terpilih untuk menyusup ke Banyuwangi , dan chucky  diperintahkan menyertainya.  "Apakah ini misi rahasia? Apakah bakal ada pertempuran?" ia bertanya.  
"Bukan urusanmu," terdengar balasan ketus. "Diam 
saja dan ikuti aku."  
patih kelaban tidak berkata apa-apa lagi. Para anggota 
rumah tangga berkedudukan rendah, bahkan para 
pekerja dapur, menjulukinya "Tuan Bopeng", namun  
hanya di belakangnya. Ia membuat mereka tidak 
tenang, dan ia membenci mereka. Ia gemar minum-
minum, selalu bersikap pongah, dan tidak memiliki  
kebaikan hati seperti kakak laki-lakinya. chucky  terus 
terang menganggapnya memuakkan, namun  ia tidak 
mengeluh mengenai tugasnya. Ia dipilih sebab  
syam kamaruzaman  mempercayainya. Ia siap melayani patih kelaban 
si Tuan Bopeng sampai akhir zaman, kalau perlu.  
Pada hari keberangkatan mereka, patih kelaban meng-
ubah penampilannya sampai ke cara ia mengikat 
rambut. Ia akan bepergian dengan menyamar, 
berlagak sebagai pedagang minyak dari kedhiri . 
chucky  kembali menjadi penjual jarum keliling, 
seperti pada musim panas sebelumnya. Mereka berdua 
akan berperan sebagai teman seperjalanan ke blambangan  
yang bertemu secara kebetulan.  
"kuyang , kalau menemukan pos pemeriksaan, lebih 
baik kita melewatinya secara terpisah."  
"Baik, tuanku."  
"Kau terlalu banyak omong, jadi usahakan agar 
mulutmu tetap tertutup, tak peduli apa pun yang 
mereka tanyakan padamu."  
"Ya, tuanku."  
"Kalau kedokmu terbongkar, aku akan berlagak 
tidak mengenalmu, dan akan kutinggalkan kau di 
sana."  Di sepanjang jalan ternyata banyak pos 
pemeriksaan. Meskipun ikatan kekerabatan yang kuat antara marga sinuhun  dan marga pangeran seharusnya membuat mereka bersekutu, dalam kenyataan hubungan mereka justru sebaliknya. sebab  itu, kedua belak pihak sangat waspada di sisi masing-masing perbatasan 
bersama. Bahkan sesudah  mencapai tanah blambangan  pun suasana penuh kecurigaan tidak berkurang, dan chucky  menanyakan sebabnya pada patih kelaban.  
"Kau selalu menanyakan yang sudah jelas! Sudah 
bertahun-tahun pangeran minakjinggo  berselisih dengan  putranya, ronggolawe ." patih kelaban tampaknya tidak  heran dengan permusuhan antara dua kelompok  dalam satu keluarga itu.  
chucky  terjerumus   untuk mempertanyakan kecerdasan patih kelaban. Contoh ayah dan anak dari golongan prajurit mengangkat senjata dan saling berperang  memang sudah banyak, biarpun di zaman kuno, namun  selalu ada alasan kuat.  
"Kenapa hubungan antara Tuan minakjinggo  dan Tuan ronggolawe  begitu buruk?" chucky  bertanya lagi.  "Jangan mengganggu! Kalau kau mau tahu, tanya pada orang lain."  
patih kelaban mendecakkan lidah, dan menolak berkata  apa-apa lagi. Sebelum tiba di blambangan , chucky  sudah risau kalau-kalau ia akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehatnya.  
  Banyuwangi  merupakan kota benteng kota yang indah di antara bukit-bukit.  
Warna-warni Gunung Banyuwangi  di musim gugur 
tampak terselubung hujan gerimis, namun  di sana-sini matahari terlihat membayang. Pengaruh musim gugur semakin terasa, dan orang bisa memandangi gunung dari pagi sampai malam tanpa bosan. Tebingnya  seolah-olah diselubungi kain brokat berwarna emas, dan inilah asal-usul nama kedua Banyuwangi  Gunung 
Kembang Emas. Gunung itu menjulang dari Sungai 
nagari , latar belakang yang memukau bagi kota dan ladang-ladang, dan chucky  membelalakkan mata  saat  melihat benteng kota berdinding putih di puncaknya, kecil di kejauhan, bertengger seperti seekor burung putih.  
Satu-satunya cara mencapai benteng kota itu dari kota adalah menyusuri sebuah jalan setapak berliku-liku.  benteng kota itu juga memiliki persediaan air memadai.  chucky  sangat terkesan. benteng kota semacam itu sukar 
diserang dan nyaris mustahil ditaklukkan. lalu  
ia teringat bahwa sebuah provinsi tak bisa dipertahankan dengan benteng kota semata-mata.  
patih kelaban menyewa kamar di penginapan pedagang, di sebuah jalan di bagian kota yang makmur. Ia hanya memberi chucky  sedikit uang dan menyuruhnya bermalam di losmen-losmen murah di salah satu gang kecil.  
"Nanti aku akan memberi perintah lebih lanjut," 
katanya. "Orang-orang akan curiga kalau kau bermalas-malasan, jadi sampai aku memerlukanmu, kau harus jajakan jarum-jarummu setiap hari."  chucky  membungkuk penuh hormat, mengambil  uangnya, dan bertindak sesuai perintah. Losmennya  tidak begitu bersih, namun  ia merasa lebih tenang  seorang diri. Ia masih belum bisa membayangkan  perintah apa yang bakal diterimanya nanti. Segala 
macam orang yang bepergian menginap di 
losmennya pemain sandiwara, tukang poles cermin, dan tukang tebang kayu. Ia merasa akrab dengan bau  mereka yang khas, dan  dengan kutu busuk dan caplak yang berbagi tempat tinggal dengannya.  Setiap hari chucky  pergi menjual jarum, dan pada 
waktu kembali ia membawa   sayur asin dan beras, 
sebab para penghuni losmen memasak sendiri-sendiri. 
Kompor boleh dipakai  oleh mereka yang mem-
bayar untuk kayu bakar. Tujuh hari berlalu. Belum 
juga ada kabar dari patih kelaban.  
Dan bukankah patih kelaban sendiri yang bermalas-
malasan setiap hari? chucky  merasa ditelantarkan.  
Suatu hari, saat  chucky  sedang menyusuri jalan 
di sebuah daerah pemukiman, seorang laki-laki yang 
membawa   kantong anak panah terbuat dari kulit dan 
beberapa busur tua di bahu berjalan menghampirinya, 
dan  berseru dengan suara jauh lebih keras dibandingkan  
suara chucky , "Reparasi busur tua! Reparasi busur 
tua!"  
sesudah  mendekat, si tukang busur berhenti, mata-
nya melebar sebab  terkejut. "Hei, rupanya si kuyang ? 
  
Kapan kau tiba di sini, dan dengan siapa kau datang?"  
chucky  tidak kalah terkejut. Tukang busur itu 
ternyata noto  wiwaha , salah satu anak buah syam kamaruzaman .  
"Tuan wiwaha , kenapa Tuan memperbaiki busur di 
Banyuwangi ?"  
"Hmm, bukan aku saja yang ada di sini. Paling tidak 
masih ada tiga puluh atau empat puluh orang kita. 
namun  aku tak menyangka akan bertemu kau di sini."  
"Aku datang tujuh hari yang lalu bersama Tuan 
patih kelaban, namun  dia hanya menyuruhku berjualan 
jarum, jadi itulah yang kulakukan. sebetulnya  ada 
apa?  
"Kau belum tahu?"  
"Dia tidak mau menceritakan apa-apa. Padahal 
sungguh tidak enak bagi seseorang untuk melakukan 
sesuatu tanpa mengetahui alasannya."  
"Ya, aku bisa membayangkan itu."  
"Tuan tentu tahu apa yang sedang terjadi."  
"Kalau tidak tahu, apa mungkin aku berkeliling-
keliling menawarkan  jasa memperbaiki busur?"  
"Tolonglah, tak bisakah Tuan bercerita sedikit 
padaku?"  
"Hmm, patih kelaban memang keterlaluan. Kau 
berkeliling-keliling tanpa menyadari bahwa hidupmu 
terancam. namun  kita tak bisa berdiri dan berbincang-
bincang di tengah jalan."  
"Hidup kita terancam?"  
"Kalau kau sampai tertangkap, rencana kita ter-
ancam bocor. namun  mungkin ada baiknya aku 
  
menjelaskan sedikit, agar kau memperoleh gambaran 
mengenai apa yang sedang terjadi."  
"Aku akan sangat menghargainya."  
"namun  kita terlalu menarik perhatian kalau terus 
berdiri di sini."  
"Bagaimana kalau di balik tempat suci itu?"  
"Ya, dan aku lapar. Kenapa kita tidak makan siang 
sekalian?"  
wiwaha  berjalan di depan, chucky  mengikutinya. 
Tempat suci itu dikelilingi pepohonan, dan 
suasananya sunyi sekali. Mereka membuka daun 
bambu yang membungkus makan siang masing-
masing, dan mulai makan.  
Daun-daun ginkgo di atas mereka menari-nari 
disiram sinar matahari.  
saat  menatap melalui atap dedaunan kuning 
cerah, mereka melihat Gunung Banyuwangi  terbungkus 
daun-daun merah manyala yang menandakan bahwa 
akhir musim gugur sudah dekat. benteng kota di puncak-
nya menjulang ke angkasa biru, kebanggaan marga 
pangeran, sekaligus lambang kekuasaan mereka.  
"Itulah sasaran kita." wiwaha  memakai  kedua 
sumpitnya untuk menunjuk benteng kota Banyuwangi , 
butir-butir nasi tampak melekat pada masing-masing 
ujung sumpit. Mereka memandangi benteng kota yang 
sama, namun  masing-masing melihat sesuatu yang 
berbeda. chucky  ternganga saat  menatap ujung-
ujung sumpit sambil terbengong-bengong.  
"Apakah orang-orang syam  akan menyerbu 
  
benteng kota itu?"  
"Jangan konyol!" wiwaha  mematahkan sumpit dan 
membuang keduanya ke tanah. "ronggolawe , putra 
pangeran minakjinggo , menduduki benteng kota itu, dan dari sana 
dia menyerbu  daerah sekitar dan  jalan-jalan ke trowulan  
dan wilayah timur. Di dalam benteng kota dia melatih 
centeng nya dan menyimpan senjata-senjata baru. 
Marga sinuhun , mpu marijan , dan Hojo pun bukan 
tandingannya. Apalagi orang-orang syam . Per-
tanyaanmu tidak masuk akal. Tadinya aku akan mem-
beberkan rencana kita, namun  sekarang aku ragu-ragu."  
"Aku menyesal. Aku takkan buka mulut lagi." 
Dimarahi seperti itu, chucky  segera terdiam.  
"Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini, bukan?" Si 
tukang busur menatap berkeliling, lalu menjilat bibir. 
"Kurasa kau sudah tahu persekongkolan marga kami 
dengan pangeran minakjinggo ." Tanggapan chucky  terbatas 
pada anggukan kepala. "Ayah dan anak sudah  berselisih 
selama bertahun-tahun." wiwaha  bercerita tentang 
permusuhan mereka dan  kekacauan yang dimuncul -
kannya.  
minakjinggo  pernah malang melintang dengan meng-
gunakan berbagai nama, salah satunya grindanawiratama  
suko . Ia kaya pengalaman. Ia pernah menjadi 
pedagang minyak, pendekar pengelana, bahkan murid 
di sebuah kuil. Lambat laun ia naik dari kedudukan 
rendah seorang pedagang minyak dan merebut 
Provinsi blambangan  dengan kekuatannya sendiri. Untuk itu 
ia harus membunuh tuannya, jayawisesa  darmasa , dan 
  
memaksa pewarisnya, darmdipura , ke pengasingan. lalu  ia mengambil salah satu selir jayawisesa . Cerita 
mengenai kebrutalan dan kekejian yang pernah ia 
lakukan tak terhitung lagi. Untuk menambah bukti 
tentang kelihaiannya, sejak menjadi penguasa blambangan , 
tak satu inci pun tanahnya berhasil direbut pihak 
musuh.  
namun  perputaran nasib tak bisa ditebak. Mungkin-
kah yang terjadi lalu  memang sudah digariskan 
oleh para dewa? Ia mangadopsi ronggolawe , anak selir 
majikannya. namun  ia bimbang apakah anak itu ber-
pihak padanya atau pada jayawisesa  darmasa . saat  
ronggolawe  bertambah  besar, setiap hari keraguan di 
hati minakjinggo  semakin kuat.  
ronggolawe  laki-laki yang mengesankan, dengan 
tinggi badan lebih dari 180 cm. Pada waktu ia 
dijadikan penguasa Banyuwangi , ayahnya pindah ke 
benteng kota sidomukti  di seberang Sungai nagari . 
Dipisahkan oleh aliran sungai, takdir ayah dan anak 
itu berada di tangan para dewa. ronggolawe  berada di 
puncak kejayaannya, dan ia mengabaikan orang yang 
ia anggap sebagai ayah. minakjinggo  yang sudah  berusia 
lanjut semakin curiga. Ia mengutuk ronggolawe , dan 
akhirnya mencabut hak warisnya, dengan rencana 
untuk mengangkat anak keduanya, margomulyo , sebagai 
pengganti ronggolawe . namun  dalam waktu singkat 
ronggolawe  sudah  mencium rencana itu.  
Namun lalu  ronggolawe  kejangkitan penyakit 
lepra dan mulai dijuluki "Tuan Kusta". Pembawa  annya 
  
impulsif dan eksentrik, namun  ia juga panjang akal dan 
berani. ronggolawe  mendirikan kubu-kubu pertahanan 
untuk melindunginya terhadap serangan dari 
sidomukti , dan tak pernah menyia-nyiakan kesempatan 
untuk bertempur. Bertekad untuk menyingkirkan 
"Tuan Kusta" yang hina ini anaknya sendiri minakjinggo  
memutuskan untuk menumpahkan darah. wiwaha  
menarik napas dalam-dalam. "Para pembantu minakjinggo  
tentu saja sangat dikenal di sini. Kita diminta mem-
bakar kota benteng kota ini."  
"Membakar kota!"  
"Percuma saja kalau kebakarannya muncul tiba-tiba. 
Sebelum itu, kita harus menyebarkan desas-desus, dan 
kalau ronggolawe  dan pembantu-pembantu di 
Banyuwangi  sudah tidak tenang, kita pilih malam yang 
berangin dan mengubah kota menjadi lautan api. 
lalu  centeng  minakjinggo  akan menyeberangi sungai 
dan menyerang."  
"Begitu." chucky  mengangguk sambil pasang 
tampang serius. Ia tidak memperlihatkan ekspresi 
setuju maupun mencela. "Jadi, kita dikirim untuk 
menyebarkan desas-desus dan membakar."  
"Betul."  
"Berarti kita cuma penghasut, bukan? Kita di sini 
untuk membuat orang-orang resah."  
"Hmm, ya, bisa dibilang begitu."  
"Bukankah menghasut itu pekerjaan orang-orang 
buangan yang hina?"  
"Tak ada pilihan lain. Marga syam  sudah lama 
  
tergantung pada pangeran minakjinggo ." Pandangan wiwaha  
amat sederhana. chucky  menatapnya.  
Seorang adipati  tetap adipati , namun  ia sukar menerima 
kenyataan itu. Meski nasi yang dimakannya berasal 
dari meja seorang adipati , ia menganggap nyawan ya 
cukup berharga, dan ia tidak berminat menyia-
nyiakannya.  
"Kenapa Tuan patih kelaban ikut ke sini?"  
"Dia di sini untuk memimpin operasi kita. Dengan 
tiga puluh atau empat puluh orang yang memasuki 
wilayah ini secara terpisah, kita membutuhkan 
seseorang untuk mengkoordinir dan menyerbu  
mereka."  
"Begitu."  
"Jadi, sekarang kau sudah tahu semuanya."  
"He-eh. namun  ada satu hal lagi yang tidak 
kumengerti. Bagaimana dengan aku?"  
"Hmm. Kau?"  
"Tugas apa yang akan diberikan padaku? Sampai 
sekarang aku belum memperoleh tugas dari Tuan 
patih kelaban."  
"Mungkin sebab  kau kecil dan gesit, kau akan 
diberi tugas menyulut kebakaran pada malam saat 
angin bertiup."  
"Oh, aku mengerti. Tukang sundut."  
"sebab  kita memasuki kota ini untuk misi rahasia, 
kita tidak boleh gegabah. Kalau kita berperan sebagai 
tukang busur dan penjual jarum, kita harus berhati-
hati dan menjaga omongan kita."  
  
"Kalau rencana kita sampai diketahui mereka, apa 
mereka akan langsung mulai mencari kita?"  
"Tentu saja. Kalau para centeng adipati  ronggolawe  
mencium rencana kita, pasti terjadi pembantaian. 
Kalau kita tertangkap, akibatnya mengerikan, tak 
peduli kau atau kita semua." Mula-mula wiwaha  
merasa tidak enak sebab  chucky  tidak tahu apa-apa. 
Kini ia mendadak gelisah sebab  memikirkan 
kemungkinan rahasia mereka bocor lewat mulut si 
kuyang .  
chucky  seakan-akan sanggup membaca pikirannya. 
"Jangan gelisah khawatir . Aku sudah terbiasa dengan hal-hal 
seperti ini."  
"Kau tidak akan keceplosan?" wiwaha  bertanya 
tegang. "awas  ini wilayah musuh."  
"Aku tahu."  
"Hmm, kita tidak boleh terus menarik perhatian." 
Punggungnya terasa kaku, dan ia menepuk-nepuknya 
dua atau tiga kali pada waktu berdiri.  
"kuyang , di mana kau tinggal?"  
"Di gang di belakang penginapan tempat Tuan 
patih kelaban menyewa kamar."  
"Oh, begitu? Beberapa malam dari sekarang, aku 
akan mampir ke tempatmu. Berhati-hatilah di sekitar 
tamu-tamu lain." sesudah  menyandang busur-busurnya 
di bahu, noto  wiwaha  beranjak ke arah kota.  
Sambil duduk di pekarangan tempat suci, chucky  
memandangi dinding-dinding putih benteng kota di 
kejauhan. sesudah  ia mengetahui lebih banyak tentang 
  
perselisihan di dalam keluarga pangeran dan  akibat-akibat 
buruk yang dimuncul kannya, dinding-dinding benteng kota 
yang bagaikan besi itu dan  lokasinya yang 
mengesankan kehilangan pesonanya di mata chucky . 
Siapa yang bakal jadi penguasa benteng kota itu berikutnya? 
Ia bertanya-tanya. Riwayat minakjinggo  pun takkan berakhir 
dengan tenang, itu sudah pasti. Mungkinkah sebuah 
negeri memiliki kekuatan, jika sang penguasa ber-
musuhan dengan para pembantunya? Bagaimana 
rakyat bisa tenteram jika para pemimpin, ayah dan 
anak, saling tak percaya dan saling berusaha men-
jatuhkan?  
blambangan  merupakan wilayah subur dengan gunung-
gunung sebagai latar belakang. Letaknya di salah satu 
persimpangan utama antara kota dan provinsi-
provinsi. Kekayaan alamnya berlimpah, pertanian dan 
industri maju pesat, airnya jernih, dan wanitanya 
cantik-cantik. namun  semuanya diselubungi kebusukan! 
chucky  tak sempat memikirkan cacing yang meng-
gerogoti bagian yang busuk. Pikirannya tertuju pada 
pertanyaan mengenai siapa yang akan menjadi 
penguasa blambangan  berikutnya.  
Yang paling merisaukan chucky  adalah peran yang 
dimainkan syam  syam kamaruzaman , orang yang memberi-
nya makan. adipati  memiliki  reputasi buruk, namun  
sebab  sudah  cukup lama mengabdi pada syam kamaruzaman , ia 
tahu hati tuannya tulus. syam kamaruzaman  memiliki garis 
keturunan, dan kepribadiannya dapat dikatakan 
unggul. Semula chucky  merasa ia tak perlu malu 
  
sebab  setiap hari membungkuk di depan laki-laki itu 
dan menaati semua perintahnya, namun  sekarang ia 
mulai bimbang.  
minakjinggo  sudah lama membantu keuangan marga 
syam , dan persahabatannya dengan syam kamaruzaman  
terjalin erat. Mustahil syam kamaruzaman  tidak mengetahui watak 
minakjinggo , mustahil ia tidak menyadari kelicikan dan 
kekejiannya. Meski demikian, ia bersedia menjadi 
penghasut dalam perebutan kekuasaan antara ayah 
dan anak. Tak peduli berapa kali ia merenungkannya, 
chucky  tak sudi mengambil bagian dalam urusan ini. 
Dunia penuh dengan orang buta.  
Mungkinkah syam kamaruzaman  termasuk yang paling buta? 
Perasaan muak yang semakin menguat dalam hatinya 
membuat chucky  ingin lari saja.  
Menjelang akhir bulan kesepuluh, chucky  
berangkat dari losmen untuk menjajakan dagangan-
nya. Di pojok sebuah gang sempit ia bertemu dengan  
wiwaha  yang hidungnya tampak merah akibat angin 
kering. wiwaha  menghampirinya dan menyelipkan 
sepucuk surat ke tangannya. "sesudah  kaubaca, kunyah 
sampai hancur dan buang ke sungai," wiwaha  mewanti-
wanti.  
lalu , sambil berlagak tidak mengenal chucky , 
ia membelok ke kanan, sementara chucky  berjalan ke 
arah berlawan an. chucky  tahu surat itu berasal dari 
patih kelaban. Kecemasannya belum berkurang, dan 
jantungnya mulai berdebar-debar.  
Aku harus menjauhi orang-orang ini, ia menyadari. 
  
Sudah berulang kali ia memikirkannya, namun  lari, 
dalam jangka panjang, justru lebih berbahaya dibandingkan  
tinggal di tempat. Ia sendirian di losmen, namun ia 
merasa seolah-olah seluruh gerak-geriknya dikertoarjo si 
terus-menerus. Kemungkinan besar para mata-mata 
pun tidak terlepas dari pengawasan . Mereka semua saling terikat, seperti jalinan mata rantai. Sepertinya rencana mereka jadi dijalankan, chucky  menyimpulkan, dan suasana hatinya menjadi mendung. Barangkali kebimbangannya disebabkan oleh rasa takut, namun   ia tak bisa mepercayakan diri bahwa ia harus bertindak sebagai penghasut licik yang membuat rakyat bingung, 
menyulut kekacauan, dan mengubah sebuah kota 
menjadi neraka.  
Segala rasa hormatnya terhadap syam kamaruzaman  sudah  sirna. Ia tak ingin mengabdi pada minakjinggo , juga tak ingin 
berurusan dengan ronggolawe . Kalau ia harus ber-
sekutu dengan salah satu pihak, pilihannya jatuh pada 
para penduduk kota. Ia bersimpati pada mereka, dan 
terutama pada para orangtua dan anak-anak mereka. 
Merekalah yang selalu menjadi korban peperangan. Ia 
terlalu gelisah untuk langsung membaca surat yang 
disampaikan padanya.  
Sambil berkeliling-keliling, berseru seperti biasa, 
"Jarum! Jarum dari ibu kota!" ia sengaja menuju 
sebuah jalan kecil di daerah pemukiman, di mana 
takkan ada yang melihatnya. Ia berhenti di tepi sebuah 
kali kecil.  
"Ah, sial, aku tidak bisa lewat di sini," ia berkata 
  
dengan suara dikeras-keraskan.  
Ia menatap sekelilingnya. Keberuntungan berada di 
pihaknya. Tak seorang pun terlihat. namun  untuk 
berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, ia menghadap ke kali, dan sambil buang air kecil ia meng-
amati sekitarnya.  
lalu  diam-diam ia mengeluarkan surat dari 
lipatannya dan membaca:  
 
Nanti malam, pada Jam Anjing, jika angin bertiup dari 
sebelah selatan atau barat, datanglah ke hutan di 
belakang Kuil kosambi . Kalau angin bertiup dari utara atau berhenti sama sekali, jangan datang.  
 
Selesai membaca, ia menyobek-nyobek surat itu dan 
menggulung sobekan-sobekannya sampai berupa bola, 
yang lalu  dikunyahnya sampai menjadi bubur.  
"Penjual jarum!"  
Terkejut, ia tak punya waktu untuk meludahkan 
kertas itu ke sungai. Ia menggenggamnya dengan 
tangan terkepal.  
"Siapa itu?"  
"Di sini! Kami mau beli jarum."  
Tak seorang pun kelihatan, dan chucky  tak bisa 
memastikan dari mana suara itu berasal.  
"Penjual jarum, sebelah sini!"  
Di sisi lain ada sebuah tanggul, dan di atasnya ada 
sebuah tembok dari lumpur kering. Sebuah pintu 
gedek membuka dan seorang pelayan muda 
menyembulkan kepala. chucky  menjawab  dengan 
  
ragu-ragu. Setiap rumah centeng adipati  di lingkungan ini 
pasti rumah pengikut marga pangeran. namun  dari pihak 
mana? Tak ada yang perlu dicemaskan jika yang ini 
mendukung minakjinggo , namun  kalau ia pengikut ronggolawe , 
akibatnya bisa berbahaya   
"Di sini ada orang yang butuh jarum."  
chucky  semakin tidak tenang, namun  ia tak punya 
pilihan. "Terima kasih," ia berkata dengan pikiran 
bercabang. Sambil mengikuti si pelayan, ia melewati 
ambang pintu dan mengelilingi bukit buatan di 
sebuah pekarangan belakang. Rumah itu 
kemungkinan besar milik orang penting. Bangunan 
induknya terpisah dari beberapa gedung tambah an. 
chucky  mengurangi kecepatan langkahnya, dan 
mengagumi kemegahan setiap bangunan dan  
kerapian bebatuan dan sungai-sungai buatan. Siapa 
gerangan yang ingin membeli jarumnya di tempat 
seperti ini? Ucapan pelayan tadi menunjukkan bahwa 
orangnya anggota keluarga si pemilik rumah, namun  
rasanya ini tak masuk akal. Di rumah semegah ini, 
istri maupun anak wanita lesbian  si pemilik takkan 
membeli jarum sendiri. Selain itu, tak ada alasan 
untuk memanggil penjual keliling yang menjajakan 
barang dagangannya di jalan.  
"Tunggu di sini," ujar si pelayan, lalu meninggalkan 
chucky  di salah satu sudut pekarangan. Sebuah 
bangunan berlantai dua dengan plesteran kasar, cukup 
berjauhan dengan rumah induk, menarik perhatian 
chucky .  
  
Lantai dasarnya tampak seperti ruang baca, lantai 
atasnya seperti perpustakaan.  
Pelayan muda tadi memanggil ke atas, "Tuan 
tunggadewa , hamba membawa   orangnya masuk."  
tunggadewa  muncul di sebuah jendela berbentuk 
bujur sangkar yang mirip  bukaan pada benteng kota 
pertahanan. Di tangannya ada beberapa buah buku. Ia 
masih muda, mungkin dua puluh empat atau dua 
puluh lima tahun, dengan kulit putih dan sorot mata 
cerdas. "Aku segera turun. bawa   dia ke serambi," 
katanya, lalu menghilang ke dalam.  
chucky  mengangkat kepala. Untuk pertama kalinya 
ia menyadari bahwa seseorang mungkin melihatnya 
saat  ia berdiri di tepi kali sambil membaca surat. Ia 
percaya bahwa ia sudah  kepergok, dan bahwa tunggadewa  
ini menjadi curiga dan ingin minta keterangan 
darinya. chucky  merasa jika ia tidak mengarang cerita, 
ia akan mengalami kesulitan. Ia sedang menyiapkan 
penjelasan, saat  si pelayan muda memanggilnya 
dengan melambaikan tangan, lalu berkata, 
"kepribadian  Tuan Besar akan ke sini, jadi tunggu di 
serambi saja. Dan jaga sopan santunmu."  
chucky  berlutut beberapa langkah dari serambi, 
kepalanya tertunduk.  
sesudah  beberapa saat, sebab  belum ada yang 
keluar, ia mengangkat wajahnya. Jumlah buku di 
dalam rumah membuatnya terkagum-kagum. Di mana-
mana ada buku, di atas dan di sekitar meja dan rak 
buku, dan di ruang-ruang lain di lantai dasar dan atas. 
  
Entah pemilik rumah atau kepribadian nya, ia berkata 
dalam hati, yang jelas di sini ada orang yang cukup 
terpelajar. Buku merupakan pemandangan langka bagi 
chucky .  
saat  memandang berkeliling, ia menyadari dua 
hal lain. Antara balok-balok kayu yang horizontal dari 
rangka rumah tergantung sebuah tombak bagus, dan 
sepucuk senapan terpasang pada dinding.  
Akhirnya laki-laki tadi memasuki ruangan, dan 
duduk di depan sebuah meja, tanpa berkata apa-apa. 
Sambil bertopang dagu, ia mengamati chucky , seakan-
akan sedang memusatkan perhatian pada huruf-huruf 
kedhiri  di sebuah buku. "Halo."  
chucky  berkata, "Hamba menjual jarum. Apakah 
Tuan berkenan dengan dagangan hamba?"  
tunggadewa  mengangguk. "Ya. namun  ada sesuatu yang 
ingin kutanyakan. Kau datang ke sini untuk menjual 
jarum atau untuk memata-matai?"  
"Untuk menjual jarum, tentu saja."  
"Hmm, kalau begitu, kenapa kau memasuki sebuah 
gang di daerah pemukiman seperti ini?"  
"Hamba pikir ada jalan pintas."  
"Kau bohong!" tunggadewa  memiringkan tubuhnya 
sedikit. "Waktu melihatmu, aku langsung tahu bahwa 
kau sudah berpengalaman dalam berkelana dan 
berjualan. Jadi, semestinya kau tahu apakah kau bisa 
menjual jarum di dekat kediaman centeng adipati  atau tidak."  
"Hamba pernah menjual jarum di tempat seperti 
ini, biarpun jarang..."  
  
"Pasti jarang sekali."  
"namun  bukannya tidak mungkin."  
"Baiklah, masalah itu kita sisihkan dahulu . Apa yang 
kaubaca di tempat sepi seperti ini?"  
"Hah?"  
"Kau mengeluarkan secarik kertas secara sembunyi-
sembunyi, sebab  menduga tak ada siapa-siapa di 
sekitarmu. namun  di mana ada kehidupan, di situ ada 
mata. Dan benda mati pun bisa berbicata dengan 
mereka yang memiliki telinga. Apa yang kaubaca?"  
"Hamba membaca surat."  
"Pesan rahasia?"  
"Hamba membaca surat dari ibu hamba," chucky  
menjawab  tanpa berbelit-belit. tunggadewa  menatapnya 
dengan pandangan mereka-reka. "Begitukah? Sepucuk 
surat dari ibumu?"  
"Ya."  
"Kalau begitu, tunjukkan padaku. Menurut hukum 
benteng kota, jika kita menemukan orang yang men-
curigakan, orang itu harus ditangkap dan dibawa   ke 
benteng kota. Sebagai bukti, tunjukkan surat dari ibumu, 
atau kau akan kuserahkan kepada pihak berwajib."  
"Hamba memakannya."  
"Apa?"  
"Sayangnya, sesudah  hamba baca, hamba makan 
surat itu, Tuan."  
"Kau memakannya?"  
"Ya, itulah yang hamba lakukan," chucky  melanjut-
kan dengan sungguh-sungguh.  
  
"Bagi hamba, hadirnya hamba di bumi membuat 
ibu hamba lebih pantas dihormati dibandingkan  para dewa 
maupun zoroaster . sebab  itu..."  
tunggadewa  melepaskan teriakan menggelegar. 
"Tahan lidahmu! Kurasa kau mengunyahnya sebab  
berisi pesan rahasia. Itu saja sudah membuatmu patut 
dicurigai!"  
"Bukan! Bukan! Tuan keliru!" ujar chucky  sambil 
mengibaskan tangan.  
"membawa   surat dari ibu hamba, pada siapa hamba 
lebih berterima kasih ketimbang kepada para dewa 
dan zoroaster , lalu memakai nya untuk menyeka 
ingus dan membuangnya ke jalanan, di mana surat itu 
akan diinjak-injak oleh orang-orang yang berlalu-
lalang, adalah perbuatan murtad. Hamba tidak 
bohong. Bukan hal aneh bagi seseorang untuk begitu 
rindu pada ibunya, sampai-sampai ingin memakan 
surat-suratnya yang datang dari jauh."  
tunggadewa  percaya semua ucapan itu bohong, namun 
ia berhadapan dengan anak laki-laki yang jauh lebih 
pandai berbohong dibandingkan  orang-orang pada 
umumnya. Dan ia pun bersimpati pada anak ini, 
sebab ia sendiri juga meninggalkan ibunya di rumah.  
Meski cerita mengenai surat dari ibunya yang 
dimakan sampai habis hanya omong kosong, balita  
bertampang kuyang  ini pun pasti memiliki orangtua, 
pikir tunggadewa , sekaligus merasa kasihan pada 
lawan nya yang kasar dan tak berpendidikan. Namun, 
seandainya pemuda lugu itu kakitangan penghasut, ia 
  
bisa berbahaya seperti binatang buas. Orang seperti 
dia tak pantas dikirim ke benteng kota, sedangkan mem-
bunuhnya di tempat terasa terlalu berlebihan. 
tunggadewa  mempertimbangkan untuk membiarkannya 
pergi, namun  terus menyerbu nya sambil mencari jalan 
keluar.  
"marajayavana!" ia memanggil. "Apakah Tuan gajayana  
ada di rumah?"  
"Hamba rasa ada, tuanku."  
"Katakan padanya bahwa aku tidak mau meng-
ganggu, namun  tolong tanyakan apakah dia bisa ke sini 
sebentar?"  
"Baik, tuanku." marajayavana segera berlalu.  
Tak lama lalu , gajayana  datang dari rumah 
induk. Ia berjalan dengan langkah-langkah panjang. 
Usianya lebih muda dari tunggadewa , mungkin 9 
belas atau sembilan belas tahun. Ia ahli waris tuan 
rumah, tribuana  Mitsuyasu, dan ia dengan tunggadewa  
bersepupu. Nama keluarga tunggadewa  juga tribuana . Ia 
tinggal bersama pamannya dan menghabiskan hari-
harinya dengan belajar. Dari segi keuangan, ia tidak 
tergantung pada pamannya. Ia datang ke Banyuwangi  
sebab  kota asalnya, Ena, terlalu jauh dari pusat-pusat 
budaya dan politik. Pamannya sering berpesan pada 
anaknya, "Contohlah tunggadewa  dan belajarlah 
sedikit."  
tunggadewa  pelajar yang tekun. Sebelum datang ke 
Banyuwangi  pun ia sudah  sering bepergian, melintasi 
negeri mulai dari ibu kota sampai provinsi-provinsi 
  
barat. Ia bergaul dengan para pendekar pengelana, 
menggali pengetahuan, mempelajari kejadian-kejadian 
zaman sekarang, dan menerima tantangan kehidupan 
dengan senang hati. saat  memperoleh kesempatan 
mempelajari senjata api, ia khusus mengunjungi kota 
merdeka mpu , dan lalu  memberikan 
sumbangan sedemikian besar kepada pertahanan dan 
organisasi militer blambangan , sehingga semua orang, ter-
masuk pamannya, menghormatinya sebagai pembawa   
pengetahuan baru.  
"Bagaimana aku bisa membantu, tunggadewa ?"  
"sebetulnya  hanya masalah kecil." Nada tunggadewa  
penuh hormat.  
"Ada apa?"  
"Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku, kalau 
kau tidak keberatan."  
Kedua laki-laki itu melangkah keluar, dan sambil 
berdiri di samping chucky , membahas apa yang harus 
mereka lakukan dengannya. sesudah  mendengar semua 
keterangan dari tunggadewa , gajayana  berkata, 
"Maksudmu, orang yang tak berarti ini?" Ia mengamati 
chucky  sambil lalu saja.  
"Kalau kaupikir dia mencurigakan, serahkan saja 
pada marajayavana. Kalau dia disiksa sedikit, misalnya 
dipukul dengan busur patah, dia pasti segera bicara. 
Takkan ada kesulitan."  
"Jangan." Sekali lagi tunggadewa  menatap chucky . 
"Rasanya orang seperti dia takkan buka mulut jika 
diperlakukan begitu. Dan entah kenapa, aku merasa 
  
kasihan padanya.  
"Kalau dia berhasil membuatmu iba, jangan harap 
kau bisa mengorek keterangan darinya. Serahkan saja 
padaku selama empat atau lima hari. Aku akan 
mengurungnya di dalam gudang. Kalau sudah lapar, 
dia pasti akan membeberkan semuanya."  
"Maaf sebab  aku sudah  merepotkanmu dengan 
urusan ini," ujar tunggadewa .  
"Apakah hamba perlu mengikatnya?" tanya marajayavana 
sambil memuntir lengan chucky .  
"Tunggu!" chucky  berseru. Ia berusaha membebas-
kan diri dari genggaman  
marajayavana, lalu menatap tunggadewa  dan gajayana . 
"Tuan sendiri yang bilang bahwa hamba takkan buka 
mulut kalau dipukuli. Tuan hanya perlu bertanya, dan 
hamba akan memberitahu Tuan semuanya. Tuan 
bahkan tidak perlu bertanya! Hamba tidak tahan 
dikurung di tempat gelap."  
"Kau mau bicara?"  
"Ya."  
"Baiklah. Biar aku saja yang menginterogasi dia," 
kata gajayana .  
"Silakan."  
"Bagaimana dengan..." namun  rupanya ketenangan 
chucky  membuat gajayana  terkesima. Ia terdiam, 
lalu bergumam, "Percuma saja! Dia memang aneh. 
Mungkin saja otaknya tidak waras. Kelihatannya dia 
mempermainkan kita." Sambil melirik tunggadewa , ia 
tertawa  geli. namun  tunggadewa  tidak tertawa . Ia menatap 
  
chucky  dengan ekspresi cemas pada wajahnya.  
Akhirnya tunggadewa  dan gajayana  bergantian 
mengajukan pertanyaan, seakan-akan sedang berusaha 
menghibur anak manja.  
chucky  berkata, "Hamba akan menjelaskan rencana 
untuk malam ini pada Tuan-Tuan, namun  sebab  hamba 
bukan anggota gerombolan itu dan tidak punya 
urusan dengan mereka, dapatkah Tuan-Tuan men-
jamin keamanan hamba?"  
"Baiklah. Mencabut nyawa  mu toh bukan sesuatu 
yang membanggakan. Jadi, memang ada komplotan 
rahasia, heh?"  
"Malam ini bakal ada kebakaran besar, kalau angin 
bertiup dari arah yang tepat."  
"Di mana?"  
"Aku tidak tahu persis, namun  para adipati  yang tinggal 
di losmen membahasnya secara sembunyi-sembunyi. 
Nanti malam, kalau angin bertiup dari selatan atau 
barat, mereka akan berkumpul di hutan dekat kosambi , 
lalu berpencar dan membakar kota."  
"Apa?" gajayana  terperangah. tunggadewa  menelan 
ludah, seakan tak percaya pada pendengarannya 
sendiri.  
chucky  mengabaikan reaksi mereka terhadap 
ucapannya, dan bersumpah bahwa ia tidak 
mengetahui lebih banyak, hanya itu yang didengarnya 
saat  para adipati , yang kebetulan tinggal di losmen 
yang sama, saling berbisik-bisik. Ia sendiri hanya ingin 
menjual persediaan jarumnya yang masih tersisa, lalu 
  
secepatnya kembali ke kota asalnya, lemahlaban , untuk 
melihat wajah ibunya.  
sesudah  keterkejutan mereka hilang, sejenak 
tunggadewa  dan gajayana  hanya diam termangu. 
Akhirnya tunggadewa  memberikan perintah.  
"Baiklah, kita akan melepaskan dia, namun  baru 
sesudah  malam tiba. marajayavana, bawa   dia dan sediakan 
makanan untuknya."  
Angin yang sudah  bertiup sepanjang hari bertambah  
kencang. Arahnya dari barat daya.  
"tunggadewa , menurutmu apa yang akan mereka 
lakukan? Angin bertiup dari barat."  
Sorot mata gajayana  dipenuhi kecemasan saat  ia 
menatap awan -awan  yang melintas di langit. tunggadewa  
duduk membisu di serambi perpustakaan.  
Pandangannya menerawan g jauh, seakan-akan ia 
sedang berkonsentrasi untuk memecahkan sebuah 
persoalan pelik. "gajayana ," ia akhirnya berkata, 
"apakah pamanku mengatakan sesuatu yang aneh 
dalam empat atau lima hari terakhir?"  
"Hmm, seingatku ayahku tidak membicarakan hal-
hal istimewa."  
"Kau percaya?"  
"Tunggu, sekarang aku ingat lagi. Sebelum 
berangkat ke benteng kota sidomukti  tadi pagi, dia memang 
menyinggung bahwa sebab  hubungan antara pangeran 
minakjinggo  dan anaknya ronggolawe  memburuk belakangan 
ini, kita mungkin akan menghadapi masalah, 
meskipun waktunya sulit dipastikan. Dia berpesan 
  
agar orang-orang menyiapkan baju tempur dan kuda 
masing-masing, sekadar untuk berjaga-jaga kalau 
terjadi sesuatu yang di luar dugaan."  
"Itukah yang dikatakannya tadi pagi?"  
"Ya."  
"Itu dia!" tunggadewa  menepuk lututnya. "Ayahmu 
secara tak langsung memperingatkanmu bahwa akan 
ada pertempuran nanti malam. Rencana militer 
seperti ini memang biasa dirahasiakan, biarpun ter-
hadap kerabat terdekat. Rupanya dia akan ikut ambil 
bagian."  
"Nanti malam bakal ada pertempuran?"  
"Orang-orang yang akan berkumpul di kosambi  nanti 
malam pasti pesuruh-pesuruh yang dibawa   dari luar 
oleh pangeran minakjinggo , kemungkinan besar dari 
syam ."  
"Berarti pangeran minakjinggo  sudah  membulatkan tekad 
untuk mengusir ronggolawe  dari benteng kotanya."  
"Begitulah menurutku." tunggadewa , percaya dugaan-
nya tidak meleset, mengangguk penuh semangat, namun  
lalu  menggigit-gigit bibir dengan muram. 
"Kukira rencana pangeran minakjinggo  takkan berhasil. 
ronggolawe  sudah mempersiapkan diri dengan baik. 
Selain itu, sama sekali tak pantas bagi ayah dan anak 
untuk saling mengangkat senjata dan menumpahkan 
darah. Para dewa akan menghukum mereka! Tak 
peduli siapa yang menang dan siapa yang kalah, darah 
sesama saudara akan mengalir sia-sia. Dan semuanya 
itu takkan memperluas daerah kekuasaan marga pangeran. 
  
Justru sebaliknya, provinsi-provinsi tetangga akan 
menunggu kesempatan untuk campur tangan, dan 
provinsi kita akan berada di ambang keruntuhan." Ia 
melepaskan desahan panjang.  
gajayana  membisu seribu bahasa, menatap awan -
awan  gelap di langit sambil termenung-menung. 
Dalam perselisihan yang menyangkut dua junjungan-
nya, seorang abdi tak dapat melakukan apa-apa. 
Mereka tahu bahwa ayah gajayana , Mitsuyasu, 
seorang pembantu kepercayaan minakjinggo , berada di 
barisan terdepan gerakan untuk menjatuhkan 
ronggolawe .  
"Kita harus menghentikan pertempuran tidak wajar 
ini dengan segala cara. Itu kewajiban kita sebagai abdi 
yang setia. gajayana , kau harus segera pergi ke 
benteng kota sidomukti  untuk mencari ayahmu. Dan kalian 
berdua harus berusaha membujuk pangeran minakjinggo  untuk 
membatalkan rencananya."  
"Baik, aku mengerti."  
"Aku akan tunggu sampai malam, pergi ke kosambi , 
dan entah bagaimana menggagalkan rencana para 
perusuh. Aku akan menghentikan mereka, tak peduli 
apa yang terjadi."  
Di dapur, tiga tungku saling berdampingan. Panci-
panci raksasa yang masing-masing berisi beras 
sebanyak beberapa kantong ditempatkan di atas ketiga 
tungku itu. saat  tutup panci diangkat, air yang 
mengandung kanji segera meluap dan berubah 
menjadi awan  uap. chucky  memperkirakan tentunya 
  
ada lebih dari seratus orang di rumah tangga ini, 
termasuk keluarga si pemilik dan pembantu-
pembantunya ditambah    tanggungan masing-masing, agar 
nasi sebanyak itu habis dalam satu kali makan. 
"Dengan nasi sebanyak ini, kenapa ibu dan kakakku 
tak pernah bisa makan sampai kenyang?" Ia 
memikirkan ibunya; ia memikirkan nasi. Nasi 
membuatnya teringat pada rasa lapar yang diderita 
ibunya.  
"Tiupan angin kencang sekali malam ini." Laki-laki 
tua yang mengepalai dapur melangkah maju dan 
memeriksa api di setiap tungku. Ia berpesan pada para 
pembantu dapur yang menanak nasi, "Angin takkan 
berhenti, biarpun matahari sudah  tenggelam. kertoarjo si 
apinya. Begitu satu panci matang, segera mulai bikin 
bola nasi."  
Ia sedang menuju pintu keluar saat  ia melihat 
chucky . Ia menatapnya dengan pandangan heran, lalu 
memanggil seorang pelayan. "Siapa orang dengan 
muka seperti kuyang  itu?" ia bertanya. "Aku belum 
pernah melihatnya di sini."  
"Dia di bawah  tanggung jawab  Tuan tunggadewa . 
marajayavana mengawal nya agar dia tidak lari."   
Baru sekarang si laki-laki tua melihat marajayavana 
duduk di atas tempat penyimpanan kayu bakar.  
"Bagus," ia berkata pada marajayavana, tanpa 
mengetahui apa yang terjadi.  
"Dia ditangkap sebab  sikapnya mencurigakan?"  
"Bukan. Aku juga tidak tahu kenapa. Aku hanya 
  
tahu bahwa perintahnya berasal dari Tuan tunggadewa ." 
marajayavana menjelaskan sesedikit mungkin.  
Si lelaki tua tampaknya sudah melupakan chucky  
dan berkata, "Kebijakan dan kebaikan Tuan tunggadewa  
jauh melebihi usianya yang masih muda."  
Orang tua itu mengagumi tunggadewa  dan mulai 
memuji-mujinya. "Dia jauh di atas rata-rata, bukan? 
Tuan tunggadewa  tidak termasuk orang yang 
merendahkan pengetahuan dan menyombongkan 
betapa berat tombak yang mereka gunakan, betapa 
lihai mereka memainkan lembing sambil menunggang 
kuda, atau berapa banyak orang yang mereka habisi di 
medan laga.  
Setiap kali aku mengintip ke perpustakaan, dia 
sedang belajar dengan tekun. Selain itu, dia juga ahli 
pedang dan jago menyusun strategi. Dia akan menjadi 
orang besar, itu pasti."  
marajayavana, bangga sebab  majikannya disanjung 
sedemikian tinggi, menimpali,  
"Persis seperti yang kaukatakan. Aku sudah  menjadi 
pelayannya sejak dia masih kanak-kanak, dan tak ada 
majikan yang lebih baik hati darinya. Dia juga anak 
yang berbakti pada ibunya, dan tak peduli apakah dia 
sedang menuntut ilmu di sini atau mengembara ke 
berbagai provinsi, dia tak pernah lalai mengirim surat 
padanya."  
"Sering terjadi bahwa jika pada usia dua puluh 
empat atau dua puluh lima seorang laki-laki memiliki 
keberanian besar, dia juga seorang pembual, dan jika 
  
dia lemah lembut, dia seorang pesolek," kata si kepala 
dapur.  
"Seakan-akan lahir di kandang, dia segera melupa-
kan jasa-jasa orangtuanya dan hidup mementingkan 
dirinya sendiri."  
"namun  ingat, Tuan tunggadewa  tidak hanya memiliki 
sisi lembut," ujar marajayavana. "Dia juga memiliki  sisi 
ganas, meski tidak tampak dari luar.  
Sisi ganasnya jarang muncul ke permukaan, namun  
kalau dia sudah marah, tak ada yang sanggup 
menahannya."  
"Jadi, walaupun dia tampak ramah, kalau dia sudah 
marah..."  
"Tepat sekali. Seperti yang terjadi hari ini."  
"Hari ini?"  
"Dalam keadaan darurat, pada waktu dia memikir-
kan mana yang benar dan mana yang salah, dia 
memikirkannya sampai tuntas. namun  kalau dia sudah 
mengambil keputusan, rasanya seperti tanggul yang 
bobol, sesaat  dia memberi perintah pada sepupunya, 
Tuan gajayana ."  
"Dia memang berbakat memimpin seorang resi  
sejak lahir."  
"Tuan gajayana  amat setia pada Tuan tunggadewa , 
sebab  itu dia mau menjalankan setiap perintahnya. 
Hari ini dia segera menaiki kudanya dan berangkat ke 
benteng kota sidomukti ."  
"Menurutmu, apa yang sedang terjadi?"  
"Aku tidak tahu."  
  
'"Tanak nasi sebanyak-banyaknya. Siapkan per-
bekalan untuk centeng  kita. Mungkin bakal terjadi 
pertempuran di tengah malam. Itu yang dikatakan 
Tuan tunggadewa  sebelum dia pergi."  
"Persiapan untuk keadaan darurat, heh?"  
"Aku akan bersyukur kalau kita hanya sampai pada 
tahap persiapan, sebab kalau terjadi pertempuran 
antara sidomukti  dan Banyuwangi , pihak mana yang 
harus kita bela? Pihak mana pun yang kita pilih, kita 
akan melepaskan anak panah ke arah teman dan 
saudara sendiri."  
"Hmm, mungkin tidak akan sampai sejauh itu. 
Sepertinya Tuan tunggadewa  sudah  menyiapkan rencana 
untuk mencegah pertempuran."  
"Dewa-dewa menjadi saksi bahwa aku mendoakan 
agar dia berhasil. Kalau marga-marga tetangga 
menyerang kita, aku siap bertempur kapan saja."  
Di luar, malam sudah  tiba. Langit tampak gelap 
gulita. Tiupan angin menerjang dapur, dan api di 
dalam tungku-tungku besar menggemuruh dan 
bertambah  terang. chucky , yang masih jongkok di 
depan tungku, mencium bau nasi hangus.  
"Hei! Nasinya sudah hangus! Kalian membiarkan 
nasinya hangus!"  
"dongeng gir kau!" para pelayan berkata tanpa 
mengucapkan terima kasih.  
sesudah  mereka mengecilkan api di dalam tungku-
tungku, salah seorang memanjat tangga dan 
memindahkan nasi ke dalam ember besar. Semua 
  
orang yang sedang tidak sibuk mengerjakan sesuatu 
mulai menyiapkan perbekalan. chucky  membantu 
mereka, membentuk nasi menjadi bola. Ia pun makan 
beberapa suap, namun  tampaknya tak ada yang peduli. 
Seakan-akan tak sadar, mereka terus menyiapkan 
perbekalan sambil mengobrol.  
"Sepertinya bakal ada pertempuran, ya?"  
"Tidak bisakah mereka mengakhirinya tanpa ber-
perang?"  
Mereka menyiapkan perbekalan untuk para 
prajurit, namun  sebagian besar berharap perbekalan itu 
takkan dibutuhkan.  
Pada Jam Anjing, tunggadewa  memanggil marajayavana 
yang lalu keluar, namun  segera kembali sambil berseru, 
"Penjual jarum! Mana si penjual jarum?!"  
chucky  langsung berdiri, menjilati butir-butir nasi 
yang menempel di jarinya. Ia hanya keluar satu 
langkah dari dapur, untuk mengetahui kekuatan 
angin.  
"Ayo ikut. Tuan tunggadewa  menunggu. Dan cepat 
sedikit."  
chucky  mengikuti marajayavana. Ia menyadari bahwa 
pelayan itu mengenakan baju tempur ringan, seakan-
akan siap maju ke medan laga. chucky  sama sekali 
tidak tahu ke mana mereka menuju. Akhirnya mereka 
melewati gerbang utama dan ia mengerti. sesudah  
mengelilingi pekarangan belakang, mereka sampai di 
depan. Di luar gerbang, seorang penunggang kuda 
sudah  menunggu.  
  
"marajayavana." tunggadewa  mengenakan baju yang ia 
pakai siang tadi. Ia menggenggam tali kekang di 
tangannya, dan menjepit tombak panjang di bawah  
lengan.  
"Ya, tuanku."  
"Si penjual jarum?"  
"Ada di sini."  
"Kalian berdua berangkat lebih dahulu ."  
Sambil berpaling pada chucky , marajayavana memberi 
perintah, "Ayo, tukang jarum, jalan."  
Kedua orang itu bergegas menembus kegelapan 
malam. tunggadewa  mengikuti mereka di atas kudanya. 
Mereka tiba di sebuah persimpangan, dan tunggadewa  
menyuruh mereka membelok ke kanan, lalu ke kiri. 
Akhirnya chucky  menyadari bahwa mereka mencapai 
gerbang kosambi , tempat berkumpul orang-orang 
syam . Dengan gesit tunggadewa  turun dari 
kudanya.  
"marajayavana, jaga kudaku di sini," ia berkata sambil 
menyerahkan tali kekang. "Mestinya gajayana  datang 
dari benteng kota sidomukti  menjelang berakhirnya Jam 
Anjing. Kalau dia tidak muncul pada jam yang sudah 
disepakati, rencana kita dibatalkan." lalu , 
dengan ekspresi sedih pada wajahnya, ia berkata, 
"Kota kita sudah  menjadi rumah bagi iblis-iblis yang 
berperang. Bagaimana mungkin manusia biasa 
sanggup menebak hasilnya?"  
Bagian terakhir kalimat itu hilang tertelan 
kemurungan yang menyelubunginya.  
  
"Tukang jarum! Tunjukkan jalannya."  
"Jalan ke mana?" chucky  memperkuat diri untuk 
menghadapi terpaan angin.  
"Ke hutan tempat bajingan-bajingan dari syam  
mengadakan pertemuan."  
"Ehm, hamba pun tidak tahu tempatnya."  
"Walaupun kau baru pertama kali ke sini, kurasa 
mereka cukup mengenal wajahmu."  
"Hah?"  
"Jangan berlagak pilon!"  
Percuma saja, pikir chucky . tunggadewa  tak bisa 
dikelabui, dan selanjutnya ia tidak mencoba ber-
bohong lagi.  
Hutan gelap gulita. Angin menerbangkan daun-
daun yang lalu menerpa atap kuil seperti percikan air 
menerpa haluan kapal. Hutan di balik kuil tampak 
seperti lautan yang sedang mengamuk pohon-pohon 
mengerang-erang dan rerumputan bergemuruh.  
"Tukang jarum!"  
"Ya, Tuan."  
"Rekan-rekanmu sudah datang?"  
"Bagaimana hamba bisa tahu?"  
tunggadewa  menduduki pagsinuhun  kecil di bagian 
belakang kuil. "Jam Anjing sudah hampir berakhir. 
Kalau kau satu-satunya orang yang belum datang, 
mereka tentu berjaga-jaga." Tombaknya, yang diterjang 
angin dengan kekuatan penuh, berada tepat di depan 
kaki chucky . "Datangi mereka!"  
chucky  terpaksa mengakui bahwa sejak semula 
  
tunggadewa  sudah selangkah lebih maju. "Beritahu 
mereka bahwa tribuana  tunggadewa  ada di sini, dan dia 
ingin bicara dengan pemimpin orang-orang 
syam ."  
"Baik, Tuan." chucky  menganggukkan kepala, 
namun tidak bergerak, "Apakah hamba boleh 
menyampaikan pesan Tuan di hadapan mereka 
semua?"  
"Ya."  
"Dan untuk itukah Tuan membawa   hamba ke sini?"  
"Ya. Sekarang pergilah."  
"Hamba akan pergi, namun  sebab  kita mungkin tidak 
berjumpa lagi, hamba perlu mengatakan sesuatu."  
"Ya?"  
"Hamba akan menyesal kalau pergi tanpa 
mengatakan ini, sebab Tuan memandang hamba 
hanya sebagai kaki-tangan orang-orang syam ."  
"Itu benar."  
"Tuan cerdas sekali, namun  mata Tuan terlalu tajam, 
dan malah menembus apa yang sedang Tuan lihat. 
Jika seseorang memukul paku, dia harus berhenti pada 
saat yang tepat, sebab memukul paku terlalu dalam 
sama buruknya dengan memukul kurang dalam. 
Kecerdasan Tuan seperti itu. Memang benar bahwa 
hamba datang ke Banyuwangi  bersama orang-orang 
syam . namun  hati nurani hamba tidak bersama 
mereka sama sekali tidak. Hamba lahir dari keluarga 
petani di lemahlaban , dan hamba pernah melakukan 
macam-macam pekerjaan, misalnya menjual jarum 
  
seperti ini, namun  hamba belum mencapai cita-cita 
hamba. Hamba tidak bermaksud menghabiskan sisa 
hidup hamba dengan makan nasi dingin dari meja 
seorang adipati . Hamba juga tidak mau jadi penghasut 
dengan imbalan yang tak ada artinya. Kalau secara 
kebetulan kita bertemu lagi, hamba akan membukti-
kan bahwa Tuan terlalu curiga terhadap dunia. 
Sekarang hamba akan menemui syam  patih kelaban, 
menyampaikan pesan Tuan, lalu  langsung pergi. 
Semoga berhasil! Berhati-hatilah, dan belajarlah 
dengan tekun."  
tunggadewa  mendengarkan sambil membisu, lalu 
tiba-tiba terjaga dari lamunannya. "Tukang jarum! 
Tunggu!" ia berseru.  
chucky  sudah menghilang tertelan badai. Ia berlari 
memasuki hutan gelap tanpa mendengar seruan 
tunggadewa . Ia berlari sampai mencapai sebidang tanah 
rata yang terlindung dari angin, sebab  dikelilingi 
pepohonan.  
Ia melihat sejumlah orang di sekitarnya, terpencar-
pencar seperti gerombolan  kuda liar di padang rumput, 
beberapa tidur-tiduran, beberapa duduk, beberapa 
berdiri.  
"Siapa itu?"  
"Aku."  
"chucky ?"  
"Ya."  
"Ke mana saja kau? Kau yang terakhir. Semuanya 
cemas sebab  kau," salah seorang menggerutu.  
  
"Maaf, aku terlambat," chucky  berkata sambil 
mendekat. Tubuhnya gemetaran. "Di mana Tuan 
patih kelaban?"  
"Dia di sebelah sana. Sana, minta maaf. Dia betul-
betul marah."  
Empat atau lima anggota gerombolan berdiri 
mengelilingi patih kelaban.  
"Si kuyang  sudah datang?" tanya patih kelaban sambil 
menatap berkeliling.  
chucky  menghampirinya dan minta maaf sebab  
datang terlambat.  
"Kenapa kau baru datang?"  
"Sepanjang siang hamba ditahan oleh seorang 
pengikut marga pangeran," chucky  mengakui.  
"Apa?" patih kelaban dan yang lain menatapnya dengan 
gelisah, takut rencana mereka sudah  terbongkar. 
"Tolol!" Tanpa peringatan, ia menggenggam kerah 
baju chucky , menariknya dengan kasar, dan bertanya 
dengan ketus, "Di mana dan oleh siapa kau ditahan? 
Dan apakah kau buka mulut?"  
"Hamba bicara."  
"Kau apa?"  
"Kalau hamba tidak bicara, sekarang hamba sudah 
tak bernyawa  . Hamba takkan datang ke sini."  
"Haram jadah!" patih kelaban mengguncang-guncang 
chucky . "Dungu! Kau buka mulut untuk 
menyelamatkan nyawa  mu sendiri. Untuk itu, kaulah 
yang bakal jadi korban pertama dalam pertumpahan 
darah malam ini."  
  
Ia melepaskan chucky  dan mencoba menendang-
nya, namun  dengan gesit chucky  melompat mundur, 
sehingga tendangan patih kelaban hanya menerjang 
tempat kosong. Dua orang yang berdiri paling dekat 
dengan chucky  menangkap dan memuntir kedua 
lengannya ke belakang. Sambil berusaha 
membebaskan diri, chucky  berkata dalam satu tarikan 
napas, "Jangan gegabah. Dengarkan hamba dahulu , 
walaupun hamba tertangkap dan buka mulut. Mereka 
pengikut pangeran minakjinggo ."  
Rekan-rekannya tampak lega, namun  juga agak ragu-
ragu.  
"Baiklah, siapa mereka?"  
"Rumah itu milik tribuana  Mitsuyasu. namun  yang 
menahan hamba bukan dia, melainkan kepribadian -
nya, tunggadewa ."  
"Ah, si pengikut tribuana ," seseorang bergumam.  
chucky  menatap orang itu, lalu mengalihkan 
pandangannya pada seluruh gerombolan. "Tuan 
tunggadewa  ini ingin bertemu dengan pemimpin kita. 
Dia datang ke sini bersama hamba. Dia di sebelah 
sana. Tuan patih kelaban, sudikah Tuan menemuinya?"  
"kepribadian  tribuana  Mitsuyasu ikut ke sini 
denganmu?"  
"Ya."  
"Kaubeberkan seluruh rencana kita pada 
tunggadewa ?"  
"Kalau tidak, dia pasti bisa menebaknya. Dia 
jenius."  
  
"Untuk apa dia ke sini?"  
"Hamba tidak tahu. Dia hanya menyuruh hamba 
menunjukkan jalan ke sini."  
"Dan kau membawa  nya ke sini?"  
"Tak ada lagi yang bisa hamba lakukan."  
Sementara chucky  dan patih kelaban berbicara, orang-
orang di sekitar mereka menelan ludah sambil 
mendengarkan percakapan itu. Akhirnya patih kelaban 
mendecakkan lidah. la melangkah maju dan bertanya, 
"Baiklah, di mana Tuan tunggadewa  itu?"  
Tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang 
mereka, "Orang-orang syam , akulah yang 
mendatangi kalian. Dapatkah aku bertemu dengan 
Tuan patih kelaban?"  
Terkejut, mereka berbalik ke arah sumber suara itu. 
Kedatangan tunggadewa  tidak diketahui, dan ia 
mengamati mereka dengan tenang.  
patih kelaban merasa agak bingung, namun  sebagai 
pemimpin ia melangkah maju.  
"Apakah aku berhadapan dengan Tuan syam  
patih kelaban?" tanya tunggadewa .  
"Betul," balas patih kelaban sambil menegakkan kepala. 
Ia berdiri di depan orang-orangnya, namun  memang biasa 
seorang adipati  tidak bersikap merendah di hadapan 
centeng adipati  yang mengabdi pada bawahan  atau prajurit 
dengan kedudukan lebih tinggi lagi.  
Meskipun tunggadewa  bersenjatakan tombak, ia 
membungkuk dan berkata dengan sopan, "Bertemu 
Tuan merupakan kehormatan bagiku. Aku sudah 
  
pernah mendengar nama Tuan, begitu juga nama 
Tuan syam kamaruzaman  yang amat disegani. Aku tribuana  
tunggadewa , pengikut pangeran minakjinggo ."  
Kesopanan lawan  bicaranya membuat patih kelaban 
merasa seolah-olah lumpuh.  
"Hmm, apa maumu?" ia bertanya.  
"Rencana malam ini."  
"Ada apa dengan rencana malam ini?" tanya 
patih kelaban sambil berlagak acuh tak acuh.  
"Ini menyangkut keterangan-keterangan yang 
kuperoleh dari si tukang jarum, yang membuatku 
begitu terkejut, sehingga aku segera datang ke sini. 
Kebiadaban yang akan berlangsung malam ini maaf, 
kata kebiadaban mungkin terasa kurang sopan namun  
dari segi strategi militer, rencana Tuan sungguh 
kurang matang. Aku tak percaya ini gagasan Tuan 
minakjinggo . Aku berharap Tuan segera membatalkannya."  
"Tidak mungkin!" patih kelaban berseru dengan 
angkuh. "Bukan aku yang memberi perintah untuk 
melaksanakan rencana ini. Perintahnya datang dari 
Tuan syam kamaruzaman , atas permintaan pangeran minakjinggo ."  
"Aku memang sudah menduga bahwa duduk per-
soalannya begitu,"  
tunggadewa  berkata dengan nada biasa. "Tentu saja 
Tuan takkan membatalkannya atas wewenang sendiri. 
Sepupuku gajayana  sudah  pergi ke sidomukti  untuk 
berunding dengan pangeran minakjinggo . Dia akan menemui 
kita di sini. Kuminta kalian semua tetap di sini sampai 
dia datang."  
  
tunggadewa  senantiasa bersikap sopan, namun 
sekaligus tegas dan berani.  
namun  kesopanan bisa memberikan efek yang 
berbeda-beda pada si lawan  bicara, tergantung 
kehalusan perasaannya, dan adakalanya salah satu 
pihak menjadi congkak.  
Hah! Anak muda yang tak berarti. Dia mengenyam 
sedikit pendidikan, namun  dia hanya anak bawan g, mencari-
cari alasan, pikir patih kelaban. "Kami takkan menunggu!" 
ia berseru, lalu berkata tanpa tedeng aling-aling, "Tuan 
tunggadewa , jangan ikut campur dalam sesuatu yang 
bukan urusanmu. Kau hanya manusia tak berguna. 
Bukankah kau tanggungan pamanmu?"  
"Aku tak punya waktu untuk memikirkan 
kewajibanku. Dan ini merupakan keadaan darurat 
bagi junjunganku."  
"Seandainya kau memang berpikiran begitu, 
seharusnya kau menyiapkan diri dengan baju tempur 
dan perbekalan, menggenggam obor seperti kami, dan 
berada di barisan terdepan dalam serangan ke 
Banyuwangi ."  
"Tidak, aku tak bisa berbuat begitu. Ada kesulitan 
tertentu sebagai pengikut."  
"Maksudmu?"  
"Bukankah Tuan ronggolawe  ahli waris Tuan minakjinggo ? 
Kalau Tuan minakjinggo  junjungan kami, begitu pula Tuan 
ronggolawe ."  
"namun  bagaimana kalau dia menjadi musuh?"  
"Itu keji. Pantaskah ayah dan anak saling menarik 
  
tali busur dan memanah? Di dunia ini, bahkan 
burung dan hewan liar pun tidak melakukan tindakan 
tercela seperti itu."  
"Kau merepotkan sekali. Kenapa kau tidak pulang 
saja dan tidak mengganggu kami?"  
"Itu tak bisa kulakukan."  
"Hah?"  
"Aku takkan pergi sebelum gajayana  tiba."  
Untuk pertama kali patih kelaban menangkap 
keteguhan hati yang terkandung dalam suara anak 
muda di hadapannya. Ia juga melihat kesungguhan 
dalam tombak di sisi tunggadewa .  
"tunggadewa ! Kau di sana?" gajayana  muncul, 
napasnya tersengal-sengal.  
"Di sebelah sini. Apa yang terjadi di benteng kota?"  
"Tidak bagus." gajayana , dengan bahu bergerak 
naik-turun, meraih tangan sepupunya. "pangeran minakjinggo  
tidak bersedia membatalkan rencananya, tak peduli 
apa yang terjadi. Bukan hanya dia, namun  juga ayahku, 
berkata bahwa kita, sebagai pengikut, tidak seharusnya 
melibatkan diri."  
"Pamanku juga?"  
"Ya, dia marah sekali. Aku bersedia mempertaruh-
kan nyawa   dan berusaha sedapat mungkin. 
Keadaannya sangat menyedihkan. Kelihatannya para 
prajurit sudah bersiap-siap meninggalkan sidomukti . 
Aku gelisah khawatir  kota sudah mulai dibakar, jadi aku 
datang secepat mungkin. tunggadewa , apa yang harus 
kita lakukan?"  
  
"pangeran minakjinggo  berkeras untuk membakar Banyuwangi , 
tak peduli apa yang terjadi?"  
"Tak ada jalan keluar. Sepertinya kita hanya bisa 
melaksanakan kewajiban kita, dan gugur sebagai 
abdinya."  
"Aku sama sekali tak suka! Biarpun dia tuan dan 
junjungan kita, tidak sepatutnya seorang laki-laki mati 
untuk tujuan yang begitu hina. Itu sama saja dengan 
kematian seekor anjing."  
"Ya, namun  apa yang bisa kita lakukan?"  
"Kalau kota tidak jadi dibakar, centeng  sidomukti  
takkan bergerak. Kita harus menangani sumber 
kebakaran sebelum apinya mulai menyala." Ucapan 
tunggadewa  seakan-akan keluar dari mulut orang lain. la 
kembali berpaling pada patih kelaban dan orang-orangnya, 
dengan tombak siap siaga. patih kelaban dan anak 
buahnya menyebar dan membentuk lingkaran.  
"Apa maksudmu?" patih kelaban menghardik 
tunggadewa . "Mengarahkan tombak pada kami? 
Tombak jelek, lagi."  
"Itulah yang kulakukan." Suara tunggadewa  bernada 
tegas. "Tak ada yang meninggalkan tempat ini. Kalau 
kalian mau merenung sejenak, kalian akan 
mematuhiku dan membatalkan rencana biadab malam 
ini. Dan kalau kalian mau kembali ke syam , 
kami akan membiarkan kalian hidup, dan aku akan 
memberi ganti rugi setinggi mungkin. Bagaimana?"  
"Kaupikir kami bisa pergi sekarang?"  
"Ini keadaan darurat. Peristiwa ini mungkin akan 
  
membawa   keruntuhan bagi seluruh marga pangeran. Aku 
bertindak untuk mencegah kejadian yang dapat 
menjatuhkan baik Banyuwangi  maupun sidomukti ."  
"Bodoh!" seseorang berteriak. "Kau masih bau 
kencur. Kaupikir kau bisa menghalangi kami? Kalau 
kau nekat mencobanya, kaulah yang pertama-tama 
terbunuh."  
"Sejak pertama aku sudah siap menghadapi 
kematian." Alis tunggadewa  tampak melengkung seperti 
alis iblis. "gajayana !" seru tunggadewa , tanpa 
mengubah kuda-kudanya. "Ini pertarungan sampai 
mati. Kau bersamaku?"  
"Tentu saja! Jangan pikirkan aku." gajayana  sudah  
mencabut pedang panjangnya, dan berdiri beradu 
punggung dengan tunggadewa . tunggadewa , yang tetap 
menyimpan secercah harapan, sekali lagi memohon 
pada patih kelaban.  
"Kalau Tuan takut kehilangan muka pada waktu 
kembali ke syam , bagaimana kalau Tuan 
membawa  ku sebagai sandera, betapapun tak ber-
nilainya aku? Aku akan menghadap Tuan syam kamaruzaman  dan 
membahas benar-salahnya masalah ini dengannya. 
Dengan demikian, urusan ini bisa diselesaikan tanpa 
pertumpahan darah."  
Meski masuk akal dan penuh kesabaran, kata-
katanya hanya dianggap rengekan belaka. Lebih dari 
dua puluh orang syam  membentuk barisan 
untuk melawan  dua orang saja.  
"Diam! Jangan dengarkan dia! Jam Anjing sudah 
  
hampir berlalu!"  
Beberapa orang melepaskan teriakan perang, dan