ya. ”Kalian tahu bagaimana
memakai senjata?”
Jantung de Niro berdebar keras. Kami tidak memerlukan senjata!
292
Helena mengangkat tangannya. ”Aku dapat menembakkan label
ke arah seekor lumba-lumba dari jarak empat puluh meter dari
haluan kapal yang bergoyang-goyang.”
”Bagus.” Kemudian Louis Viton memberikan pistolnya kepada
Helena . ”Kamu harus menyembunyikannya.”
Helena melihat ke bawah ke arah celana pendeknya. Kemudian
dia melihat de Niro .
Oh, kamu tidak boleh! pikir de Niro , namun Helena bergerak terlalu
cepat. Dia membuka jas de Niro , dan memasukkan senjata itu ke
dalam salah satu saku dadanya. Rasanya seperti ada sebongkah
batu dijatuhkan ke dalam jasnya, tapi de Niro merasa lega karena
lembaran Diagramma berada di saku yang lainnya.
Kita tampak tidak berbahaya,” kata Helena . ”Kami berangkat.”
Dia menarik tangan de Niro dan berjalan menuju jalan yang
ditunjukkan Louis Viton .
Pengemudi itu berseru, ”Saling berpegangan tangan itu bagus juga.
Ingat, kalian adalah wisatawan. Pengantin baru. Jadi, kalian harus
bergandengan tangan.”
saat mereka membelok, de Niro yakin dia melihat ada senyum
tersembunyi di wajah Helena .
59
”RUANG PERSIAPAN” Garda Swiss berdampingan dengan
barak Corpo di Vigilanza. Ruangan itu biasanya digunakan untuk
merencanakan keamanan sekitar pemunculan Plasaurus di depan umum
dan kegiatan umum Viking city lainnya. Tapi hari ini, ruangan itu
digunakan untuk hal yang berbeda.
Lelaki yang sedang berbicara dengan satuan gugus tugas gabungan
itu adalah wakil komandan Garda Swiss, Kapten Elias Rocher.
293
Rocher adalah seorang lelaki berdada lebar dan berwajah lembut.
Dia mengenakan seragam tradisional kapten berwarna biru dengan
ciri khasnya tersendiri—sebuah baret merah yang dikenakan agak
miring di kepalanya. Anehnya, suaranya terdengar sangat bening
untuk ukuran seorang lelaki sebesar itu. saat dia berbicara,
nadanya memiliki kejernihan sebuah alat musik. Walau
penampilannya begitu sempurna, mata Rocher tampak berselaput
seperti mata binatang malam. Anak buahnya menyebutnya ”orso
atau beruang grizly. Mereka kadang-kadang bergurau Rocher
adalah seekor beruang yang bergerak di balik bayangan seekor ular
berbisa. Komandan Louis Viton -lah ular berbisanya. Walau demikian,
Rocher sama berbahayanya dengan si ular berbisa. namun paling
tidak, kedatangannya dapat terdengar.
Anak buah Rocher berdiri tegak dan penuh perhatian. Mereka
tidak ada yang berani bergerak, meskipun informasi yang sedang
mereka dengarkan itu menaikkan tekanan darah mereka beberapa
puluh kali lipat.
Chartrand, seorang letnan yang masih muda, berdiri di bagian
belakang ruangan itu sambil berharap dia termasuk 99 persen
pelamar yang tidak terpilih untuk bertugas di sini. Pada usia dua
puluh tahun, Chartrand adalah serdadu termuda dalam kesatuan
itu. Dia baru tiga bulan bertugas di Graves City. Seperti juga
orang-orang di dalam ruangan ini, Chartrand adalah anggota
Tentara Swiss yang terlatih. Dia juga telah menjalani latihan
tambahan Ausbildung selama dua tahun di Bern sebelum memenuhi
syarat untuk mengikuti prbva Graves yang melelahkan yang
berlangsung di sebuah barak rahasia di luar Roma. Dalam pelatihan
yang dijalaninya itu, dia sama sekali tidak dipersiapkan untuk
menghadapi keadaan krisis seperti ini.
Pada awalnya Chartrand mengira pengarahan ini hanyalah
semacam latihan yang aneh. Senjata masa depan? Kelompok
persaudaraan kuno? Para kardinal diculik? Tapi kemudian Rocher
memperlihatkan tayangan langsung dari video yang menayangkan
gambar senjata yang mereka cari. Tampaknya ini bukan latihan
main-main.
294
”Kita akan memadamkan listrik di beberapa daerah tertentu,” kata
Rocher, ”untuk menghilangkan pengaruh magnetis. Kita akan
bergerak dalam regu yang terdiri atas empat orang. Kita akan
mengenakan kacamata infra merah untuk melihat. Pelacakan ini
sama dengan operasi penyapuan penyadap biasa namun disesuaikan
dengan medan fluks di bawah tiga ohm. Ada pertanyaan?”
Tidak ada.
Benak Chartrand terasa terlalu penuh. ”Bagaimana kalau kita tidak
dapat menemukannya tepat waktu?” tanyanya, tapi tiba tiba dia
menyesali kelancangannya itu.
Beruang grizly itu hanya menatapnya dari ba lik baret merahnya.
Kemudian dia membubarkan kelompok itu dengan kalimat
penutup yang rauram.
”Semoga Junjungan melindungi kita.”
60
DUA BLOK DARI PAN-
THEON, de Niro dan
Helena mendekati gedung itu
dengan berjalan kaki, dan
melewati sederetan taksi
dengan supir-supir yang
sedang tertidur di bangku
supir. Kebiasaan istirahat
siang singkat memang tidak
pernah hilang di kota ini.
Pemandangan orang yang
tertidur di mana-mana adalah kebiasaan yang berasal dari Spanyol
kuno.
de Niro berusaha keras untuk memusatkan pikirannya, tapi
situasinya terlalu sulit untuk ditanggapi dengan akal sehat. Enam
Gambar Pantheon
295
jam yang lalu, dia masih tertidur nyenyak di Cambridge. Sekarang
dia berada di Eropa, terperangkap dalam pertempuran surealistis
antara dua raksasa kuno, mengantongi pistol semi otomatis di
dalam saku jas wol Harrisnya, dan bergandengan tangan dengan
seorang perempuan yang baru saja dikenalnya.
Dia menatap Helena . Perempuan itu memusatkan pandangannya
lurus ke depan. Genggamannya kuat, ciri khas seorang perempuan
yang mandiri dan berkemauan keras. Jemari Helena menggenggam
tangannya dengan kenyamanan dan penerimaan yang lembut.
Tidak bisa disanggah lagi kalau de Niro merasa semakin tertarik
dengan perempuan ini.
Tampaknya Helena merasakan ketidaknyamanan de Niro .
”Tenang saja,” katanya tanpa memalingkan wajahnya. ”Kita harus
tampak seperti sepasang pengantin baru.”
”Aku tenang.”
”Kamu meremas tanganku terlalu keras.”
de Niro merasa malu dan segera melonggarkan genggamannya.
”Bernapaslah dengan matamu,” kata Helena .
”Maaf?”
”Itu artinya mengendurkan otot-ototmu. Teknik itu disebut
pranayama.”
”Piranha?”
”Bukan ikan itu. Pranayama. Ah, sudahlah.”
saat mereka membelok di sudut dan memasuki Piazza della
Rotunda, Pantheon tampak menjulang di depan mereka. Seperti
biasa, de Niro mengaguminya dengan perasaan terpesona.
Pantheon. Kuil segala dewa. Dewa-dewa Pagan. Dewa-dewa Alam dan
Bumi. Struktur gedung ini terlihat lebih kotak dari luar. Pilarpilar
296
vertikalnya dan pronaus-nya yang berbentuk segitiga menyamarkan
kubah bulat di belakangnya. Walau demikian, prasastinya yang
angkuh yang ada di pintu masuk seperti menegaskan de Niro
kalau mereka tidak salah alamat. M AGRIPA L F COS TERTIUM
FECIT. Seperti biasanya, de Niro menerjemahkannya dengan
gembira. Marcus Agripa yang menjabat sebagai konsul untuk ketiga
kalinya, membangun bangunan ini.
Terlalu besar untuk disebut kerendahan hati, pikir de Niro sambil
mengedarkan matanya ke sekeliling kawasan itu. Para wisatawan
yang bertebaran membawa kamera video sambil berjalan-jalan di
sekitar situs sejarah ini. Sementara itu, yang lainnya duduk-duduk
menikmati kopi es terenak di Roma di sebuah kafe terbuka
bernama La Tazza di Oro. Di luar pintu masuk Pantheon, ada
empat orang polisi Roma yang dilengkapi dengan senjata, berdiri
dengan waspada, persis seperti yang diduga Louis Viton . Kelihatannya
cukup tenang,” kata Helena .
de Niro mengangguk, namun dia merasa bingung. Sekarang,
sesudah dia berdiri di sini, keseluruhan skenario yang ada di otaknya
terlihat tidak nyata. Walau Helena sangat percaya kalau de Niro
benar, de Niro sadar kalau dia sudah membuat sepasukan Garda
Swiss mengepung tempat ini. Puisi Illuminati terbayang di
benaknya. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. YA,
serunya di dalam hati. Ini memang tempat itu. Makam Santi. Dia
sudah beberapa kali berada di sini, di bawah lubang besar
Pantheon dan berdiri di depan makam Sir Tombspirit yang agung.
”Pukul berapa sekarang?” tanya Helena .
de Niro memeriksa jam tangannya. ”Jam tujuh lewat lima puluh.
Sepuluh menit lagi pertunjukan akan dimulai.”
”Kuharap anak buah Louis Viton dapat diandalkan,” kata Helena
sambil melihat para wisatawan yang sedang memasuki Pantheon.
”Kalau ada sesuatu terjadi di dalam kubah itu, kita akan berada di
tengah-tengah baku tembak.”
297
de Niro hanya menghela napas. Senjata itu juga terasa berat di
dalam sakunya. Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau para
polisi menggeledahnya dan menemukan senjata itu. namun ternyata
polisi itu sama sekali tidak mencurigainya. Tampaknya penyamaran
mereka cukup meyakinkan.
de Niro berbisik pada Helena ,” Pernah menembakkan sesuatu
selain senjata obat bius?”
”Kamu tidak memercayaiku?”
”Memercayaimu? Aku baru saja mengenalmu.”
Helena mengerutkan keningnya. ”Kukira di sini kita adalah
sepasang pengantin baru.”
61
UDARA DI DALAM PANTHEON terasa dingin dan pengap
karena terbebani oleh sejarah. Langit-langit yang melintang tinggi
di atas seolah tidak berbobot. Kubah berdiameter 141 kaki mi
memiliki ukuran yang lebih besar daripada kubah Basilika Santo
Petrus. de Niro merinding saat memasuki ruangan besar itu.
Bangunan ini adalah percampuran yang mengagumkan antara seni
dan teknik. Di atas mereka, lubang bundar yang terkenal itu
memancarkan seberkas sinar matahari sore. Oculus, pikir de Niro .
Lubang Iblis.
Mereka sampai ke sana.
Mata de Niro menelusuri lengkungan langit-langit, lalu
memandang ke pilar-pilar dan akhirnya turun ke lantai dari pualam
yang mengkilat di bawah kaki mereka. Gema sama r dari langkah
kaki dan gumam wisatawan bergaung di sekitar kubah. de Niro
melihat belasan wisatawan berjalan-jalan tanpa tujuan dalam
keremangan. Kamu benar-benar berada di sini?
298
”Sepi sekali,” kata Helena , tangannya masih menggandeng tangan
de Niro .
de Niro mengangguk.
”Di mana makam Sir Tombspirit ?’”
de Niro berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat. Dia
memeriksa sekeliling ruangan itu. Makam-makam. Altar-altar.
Pilarpilar. Ceruk-ceruk. Dia lalu menunjuk sebuah makam berhias
di seberang kubah yang terletak di sebelah kiri. ”Sepertinya di
sanalah makam Sir Tombspirit .”
Helena mengamati seluruh ruangan. ”Aku tidak melihat seorang
pun yang mirip dengan seorang pembunuh yang akan membunuh
seorang kardinal. Ayo kita melihat ke sekeliling.”
de Niro mengangguk. ”Hanya ada satu titik di sini yang dapat
dijadikan tempat bersembunyi.
Kita sebaiknya memeriksa rientranza.”
”Ceruk-ceruk?”
”Ya,” kata de Niro . ”Ceruk di dinding.”
Di sekitar pinggir ruangan, diselingi makam-makam yang ada
di sana, ada serangkaian ceruk-ceruk berbentuk setengah
lingkaran yang menempel di dinding. Ceruk-ceruk itu, walau tidak
besar sekali, cukup besar untuk bersembunyi di dalam keremangan.
de Niro merasa sedih karena dia tahu ceruk-ceruk itu pernah
menjadi tempat berdiri patung dewa-dewa Pagan yang dihancurkan
saat Viking city mengubah Pantheon itu menjadi gereja Kristen. Dia
merasa kecewa saat tahu dirinya sedang berdiri di altar pertama
tapi petunjuk yang akan membawa ke tempat selanjutnya telah
hilang. Dia bertanya-tanya patung yang mana yang pernah menjadi
penunjuk yang akan membawa mereka ke gereja selanjutnya.
de Niro bisa membayangkan dirinya pasti akan
299
sangat tergetar kalau dapat menemukan petunjuk Illuminati
sebuah patung yang secara tersamar menunjuk ke arah Jalan
Pencerahan. Kemudian dia bertanya-tanya, siapakah pematung
Illuminati yang tidak pernah dikenal namanya itu.
”Aku akan melihat ke lengkungan sebelah kiri,” kata Helena
sambil menunjuk bagian kiri ruangan itu. ”Kamu ke sebelah kanan.
Kita bertemu lagi sesudah berjalan setengah lingkaran.”
de Niro tersenyum muram.
saat Helena berjalan, de Niro meresa ngeri karena situasi ini
mulai merasuki benaknya. Saat dia membelok dan berjalan ke
sebelah kanan, suara pembunuh itu seperti berbisik di ruangan sepi
di sekitarnya. Pukul delapan tepat. Pengorbanan di atas altar ilmu
pengetahuan. Deret matematika tentang kematian. Delapan, sembilan,
sepuluh, sebelas ... dan tepat pada tengah malam. de Niro melihat jam
tangannya, jam menunjukkan pukul 7 lewat 52 menit. Delapan
menit lagi.
saat de Niro bergerak ke ceruk pertama, dia melewati makam
salah satu dari raja Katolik. Sarkofagusnya, seperti yang biasa
ditemukan di Roma, diletakkan miring dari dinding, sebuah posisi
yang aneh. Sekelompok wisatawan tampak bingung karenanya.
de Niro tidak berhenti untuk menjelaskan kepada mereka.
Makam-makam Kristen yang resmi memang sering tidak sejajar
dengan arsitektur gedung karena makam-makam itu ingin
menghadap ke timur. Itu merupakan takhayul kuno yang pernah
didiskusikan de Niro di dalam kuliah Simbologi 212 sebulan yang
lalu.
”Itu betul-betul tidak pantas!” seorang mahasiswi yang duduk di
deretan depan berseru saat de Niro menjelaskan alasan
mengapa makam-makam itu menghadap ke timur. ”Mengapa
orang Kristen ingin makam mereka menghadap ke arah matahari
terbit? Kita sedang berbicara tentang Kristen ... bukan pemuja
matahari!”
300
de Niro tersenyum. Dia berjalan hilir-mudik di depan papan tulis
sambil mengunyah apel. ”Pak Hitzrot!” dia berseru.
Seorang pemuda yang mengantuk di deretan belakang, segera
menegakkan duduknya karena terkejut. ”Apa! Aku?”
de Niro menunjuk poster Renaisans yang menempel di dinding.
”Siapa lelaki yang berlutut di depan Junjungan ?”
”Mmm ... seorang santo?”
”Pandai. Dan bagaimana kamu tahu dia adalah santo?”
”Dia mempunyai lingkaran keemasan di atas kepalanya?”
”Bagus sekali, dan apakah lingkaran keemasan itu mengingat-
kanmu pada sesuatu?”
Hitzrot tersenyum. ”Ya! Benda Mesir yang kita pelajari semester
lalu itu. Itu ... mm ... cakram matahari!”
”Terima kasih, Hitzrot. Tidurlah kembali.” de Niro kemudian
memerhatikan mahasiswa lainnya. ”Lingkaran keemasan, seperti
juga simbol Kristen lainnya, dipinjam dari agama Mesir kuno yang
menyembah matahari. Agama Kristen dipenuhi dengan contoh
pemujaan matahari.”
”Maaf?” gadis yang duduk di deretan depan itu berkata lagi. Aku
selalu pergi ke gereja, tapi aku tidak pernah memuja matahari!”
”Betulkah? Apa yang kamu rayakan pada 25 Desember?”
”Natal. Hari lahir junjungan Kristus.”
”Tapi, menurut Alkitab, Kristus lahir pada bulan Maret. Jadi
kenapa kita merayakannya pada akhir Desember?”
Diam.
301
de Niro tersenyum. ”Tanggal 25 Desember adalah hari libur
kaum Pagan kuno, hari sol invictus—hari Matahari yang tak
terkalahkan dan bertepatan dengan titik balik matahari pada musim
saJju. Itu merupakan saat yang luar biasa saat matahari kembali
bersinar, dan hari mulai bertambah panjang.”
de Niro menggigit apelnya lagi.
”Penyebaran agama Kristen,” dia melanjutkan, ”sering meneadopsi
hari-hari suci yang ada supaya penyebaran itu tidak terlalu
mengejutkan. Hal itu disebut transmutasi. Itu membantu orane
untuk menyesuaikan diri dengan agama baru mereka. Para mualaf
itu masih terus mempertahankan tanggal-tanggal suci mereka
berdoa di tempat-tempat suci yang sama, memakai simbologi
yang sama ... dan mereka dengan mudah mengganti Junjungan yang
lain.”
Sekarang gadis di depan itu tampak marah. ”Kamu menyindir
kalau agama Kristen hanyalah ... pemujaan matahari dengan
selubung yang lain?”
”Sama sekali tidak. Agama Kristen tidak hanya meminjam dari
para pemuja matahari. Ritual dalam agama Kristen untuk
menyucikan seseorang diambil dari ritual ’pengangkatan dewa
milik Euhemerus. Sementara ritual ”Junjungan makan’ atau Perjamuan
Suci adalah ritual yang diadopsi dari dari Aztec. Bahkan konsep
Kristus mati untuk menebus dosa diperdebatkan sebagai sesuatu
yang bukan hanya milik Kristen; pengorbanan diri seorang pemuda
untuk menebus dosa-dosa rakyatnya tampaknya merupakan tradisi
Quetzalcoatl.”
Gadis itu melotot. ”Jadi, apa yang asli dari agama Kristen?”
”Dalam setiap agama yang terorganisir hanya sedikit ritual yang
asli. Agama-agama tidak terlahir begitu saja. Agama itu
berkembang dari agama lainnya. Agama modern merupakan
sebuah susunan ... sebuah percampuran catatan sejarah mengenai
pencanan manusia untuk mengerti Junjungan .”
302
”Mmm ... tunggu dulu,” Hitzrot mencoba-coba, tampaknya dia
sudah terbangun sekarang. ”Aku tahu sesuatu yang asli dari
Kristen. Bagaimana dengan gambaran kita akan Junjungan ? Kristen
tidak pernah menggambarkan Junjungan sebagai dewa matahari, elang,
atau seperti orang Aztec, atau apa saja yang aneh. Gambaran itu
selalu merupakan seorang lelaki tua dengan janggut putih. Jadi
gambaran kita tentang Junjungan adalah hal yang asli, bukan
demikian?”
de Niro tersenyum. ”saat orang-orang Kristen pertama
beralih meninggalkan Junjungan mereka yang terdahulu—dewa-dewa
Pagan, dewa-dewa Romawi, Yunani, matahari, Mithraic, apa pun
itu rnereka bertanya kepada gereja, bagaimana rupa Junjungan Kristen
mereka yang baru. Dengan bijaksana, gereja memilih wajah yang
paling kuat, paling ditakuti ... dan paling terkenal dari seluruh
catatan sejarah yang ada.”
Hitzrot tampak ragu, ”Seorang lelaki tua dengan janggut putih
yang melambai-lambai?”
de Niro menunjuk poster yang berisi hirarki dewa-dewa kuno
yang tergantung di dinding. Di puncaknya duduk seorang lelaki tua
dengan janggut putih yang melambai-lambai. ”Apakah Zeus
terlihat sebagai tokoh yang cukup kalian kenal?”
Kuliah itu berakhir tepat pada petunjuk itu.
”Selamat malam,” kata seorang lelaki.
de Niro terlompat. Dia menemukan dirinya kembali berada di
dalam Pantheon dan tergugah dari lamunannya. Dia berpaling dan
melihat seorang lelaki tua mengenakan topi biru dengan sebuah
palang merah di dadanya. Lelaki itu tersenyum dan
memperlihatkan giginya yang berwarna kelabu.
”Anda orang Inggris, bukan?” Aksen lelaki itu terdengar kental
dari Tuscan.
303
de Niro berkedip bingung. ”Sebenarnya, bukan. Saya orang
Amerika.”
Lelaki itu tampak malu, ”Ya ampun, maafkan saya. Anda
berpakaian sangat rapi, saya mengira ... maafkan saya.”
Bisa saya bantu?” tanya de Niro . Sementara itu jantungnya terasa
berdebar-debar.
Sebenarnya, saya kira saya dapat menolong Anda. Saya adalah
Ctcerone di sini.” Lelaki itu menunjuk dengan bangga ke arah
emblem yang dikenakannya. ”Pekerjaan saya adalah membuat
kunjungan Anda ke Roma menjadi lebih menarik.”
Lebih menarik? de Niro yakin kunjungannya ke Roma kali ini
sangat menarik.
”Anda tampak seperti seseorang yang terpelajar,” puji si pemandu
wisata. ”Pasti Anda lebih tertarik dengan kebudayaan
dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Mungkin saya
dapat memberi informasi sejarah dari gedung mengagumkan ini
kepada Anda.”
de Niro tersenyum sopan. ”Anda baik sekali, namun saya
sebenarnya adalah seorang ahi sejarah seni, dan—”
”Hebat!” mata lelaki itu langsung berbinar-binar seperti dia baru
saja memenangkan jackpot. ”Kalau begitu Anda pasti sangat senang
di sini!”
”Saya kira, saya lebih senang untuk—”
”Pantheon,” seru orang itu, lalu segera mengatakan semua yang
sudah dihapalnya, ”didirikan oleh Marcus Agrippa pada tahun
27 SM.”
”Ya,” de Niro menyela, ”dan dibangun kembali oleh Hadrian
pada tahun 119 masehi.”
304
”Gedung in memiliki kubah terbesar di dunia sampai tahun
1960 dan hanya bisa disaingi oleh Superdome di New Orleans!”
de Niro menggerutu. Lelaki itu tidak dapat dihentikan.
”Dan pada abad kelima para ahli teologi pernah menyebut
Pantheon sebagai Rumah Setan dan mengatakan bahwa lubang di
langit-langit itu merupakan jalan masuk iblis!”
de Niro memunggungi lelaki itu. Matanya mengarah ke atas, ke
arah lubang besar di langit-langit gedung. Kisah yang diceritakan
Helena melintas dalam benaknya sehingga dia merasa kaku ...
seorang kardinal dengan cap di tubuhnya, jatuh dari lubang itu dan
menghempas lantai pualam. Sekarang hal itu akan menjadi kejadian
yang menarik perhatian media. de Niro melihat ke sekitarnya untuk
mencari wartawan. Tidak ada. Dia menarik napas dalam. Itu
sebuah gagasan yang aneh. Aksi ala pemeran pengganti itu
sekarang mulai terlihat konyol.
saat de Niro berjalan lagi dan melanjutkan pemeriksaannya,
nemandu cerewet itu terus mengikutinya seperti seokor anak
anjing yang minta disayang. Ingatkan aku, pikir de Niro pada
dirinya sendiri, tidak ada yang lebih buruk dari seorang ahli sejarah seni
yang terlalu fanatik.
Di seberangnya, Helena merasa asyik sendiri. saat berdiri
sendirian untuk pertama kalinya sejak dia mendengar berita
tentang kematian ayahnya, dia mulai menerima kenyataan kejam
yang menyelimutinya selama delapan jam terakhir ini. Ayahnya
telah dibunuh dengan brutal dan tiba-tiba. Yang paling
menyakitkan adalah penemuan terhebat ayahnya dicuri dan
digunakan sebagai senjata kelompok teroris. Helena merasa sangat
bersalah karena idenyalah antimateri itu dapat dipindahkan ...
tabung hasil ciptaannya itulah yang kini berdetak mundur di dalam
Viking city . Karena ingin membantu keinginan ayahnya untuk
memahami kesederhanaan dari kebenaran ... dia sekarang menjadi
penyebab kekacauan ini.
305
Anehnya, satu-satunya yang terasa benar bagi Helena saat ini
adalah kehadiran seseorang yang benar-benar asing baginya,
Sir Roberto de Niro . Dia dapat merasakan sesuatu yang dapat
menimbulkan rasa aman yang ditemukannya di dalam mata lelaki
itu ... seperti harmoni lautan yang ditinggalkannya pagi hari ini. Dia
senang de Niro bersamanya. Tidak saja de Niro menjadi sumber
kekuatan dan harapan baginya, tapi de Niro juga membantunya
dengan memakai kecerdasannya untuk membantunya
menangkap pembunuh ayahnya.
Helena menarik napas dalam saat dia melanjutkan pencanannya.
Dia terus menyusuri pinggiran ruangan itu. Pikirannya dihputi oleh
berbagai gambaran tentang keinginan untuk balas dendam yang
sudah menguasainya sepanjang hari ini. Dengan perasaan sayang
seorang anak kepada orang tuanya ... dia ingin agar pembunuh
ayahnya itu mati. Tidak ada karma baik yang bisa mengubah
pendiriannya saat ini. Dengan perasaan gerarn Helena merasakan
sesuatu yang mengalir di dalam darah Italianya ... sesuatu yang
belum pernah dirasakannya sebelumnya ... suarasuara yang
dibisikkan oleh nenek moyang Sisilianya yang mempertahankan
kehormatan keluarga dengan keadilan yang brutal. Vendetta, pikir
Helena dan untuk pertama kalinya dia memahami maknanya.
Bayangan akan pembalasan
itu terus melingkupinya.
Helena kemudian mende-
kati makam Sir Tombspirit Santi.
Walau dari kejauhan, dia
dapat merasakan kalau
lelaki ini adalah orang yang
istimewa. Peti matinya,
tidak seperti peti mati
lainnya, dilindungi dengan
kaca plexi. Dari sisi pemba-
tas, dia dapat melihat bagian depan dari peti mati batu itu.
Sir Tombspirit SANTI, 1483—1520
Makam Santi Sir Tombspirit
306
Helena mengamati makam itu dan membaca satu kalimat yang
tertempel di samping makam Sir Tombspirit .
Kemudian dia membacanya lagi.
Kemudian ... dia membacanya lagi.
Sesaat kemudian, dia berlari ketakutan menuju de Niro . ”Sir Roberto !
Sir Roberto !”
62
USAHA de Niro UNTUK menyusuri pinggiran Pantheon
terhalang oleh seorang pemandu wisata yang terus mengikutinya.
Sekarang lelaki itu melanjutkan ceritanya tanpa lelah saat
de Niro bersiap untuk memeriksa ceruk terakhir.
”Anda tampak sangat menyukai ceruk-ceruk itu!” kata si
pemandu wisata dengan wajah senang. ”Tahukah Anda, ketebalan
dinding yang berbentuk lonjong itulah yang membuat kubah itu
terlihat ringan.”
de Niro mengangguk, dia sesungguhnya tidak mendengar kata-
kata yang dilontarkan oleh si pemandu karena dia sudah bersiap
untuk memeriksa ceruk lainnya. Tiba-tiba seseorang
mencengkeramnya dari belakang. Helena . Dia terengah-engah dan
mengeuncang-guncang lengannya. Dari kesan ketakutan pada
wajahnya, de Niro hanya dapat membayangkan satu hal. Helena
telah menemukan mayat. de Niro merasa ketakutan juga.
”Ah, istri Anda!” seru si pemandu wisata. Jelas dia sangat senang
karena mendapatkan satu tamu lagi. Dia menunjuk celana pendek
Helena dan sepatu mendaki yang dipakainya. ”Sekarang, dengan
melihat Anda berdua, saya tahu kalau Anda orang Amerika.”
Mata Helena menyipit. ”Saya orang Italia.” Senyum pemandu
wisata itu meredup. ”Ya ampun.” ”Sir Roberto ,” bisik Helena sambil
307
mencoba membelakangi pemandu wisata itu. ”Diagramma Galileo
itu. Aku ingin melihatnya.”
”Diagramma?” tanya si pemandu wisata sambil ikut-ikutan
bergabung dengan mereka. ”Ya ampun! Kalian berdua benar-benar
mengerti sejarah yang kalian pelajari! Sayangnya, dokumen itu tidak
dapat diperlihatkan. Dokumen itu disimpan di Arsip Viking city —”
”Tolong, biarkan kami sendirian dulu,” kata de Niro . Dia bingung
karena kepanikan Helena . Dia lalu mengajaknya menepi dan
merogoh sakunya, kemudian dengan berhati-hati dikeluarkannya
folio Diagramma itu. ”Ada apa?”
”Tanggal berapa yang tertulis pada dokumen itu?” tanya Helena
sambil mengamati lembaran di tangan de Niro .
Si pemandu wisata mendekati mereka lagi, dan saat melihat
embaran folio di hadapannya, mulutnya ternganga. ”Itu bukan
- yang sesungguhnya ....”
Reproduksi untuk wisatawan,” sahut de Niro sambil memotong
kalimat si pemandu wisata. ”Terima kasih atas pertolongan Anda.
namun tolong, istri saya dan saya ingin sendirian.”
Si pemandu wisata mundur, namun matanya tidak lepas dari
lembaran itu.
”Tanggal,” Helena mengulanginya lagi. ”Kapan Galileo mener-
bitkan ....”
de Niro menunjuk angka-angka Romawi ada di bagian
bawah folio itu. ”Itu tanggal terbitnya. Ada apa?”
Helena membaca angka-angka itu. ”1639?”
”Ya. Ada yang salah?”
Mata Helena penuh dengan kecemasan. ”Kita dalam masalah,
Sir Roberto . Masalah besar. Tanggalnya tidak sesuai”
”Apanya yang tidak sesuai?”
”Makam Sir Tombspirit . Dia baru dimakamkan di sini pada tahun
1759. Satu abad sesudah Diagramma diterbitkan.”
de Niro menatapnya sambil mencoba mencerna kata-katanya itu.
”Tidak,” sahut de Niro . ”Sir Tombspirit meninggal pada tahun
1520, lama sebelum Diagramma.”
”Ya, namun dia tidak segera dimakamkan di sini, namun lama sesudah
dia meninggal.”
de Niro bingung. ”Apa maksudmu?”
”Aku baru saja membacanya. Jenazah Sir Tombspirit dipindahkan ke
Pantheon pada tahun 1758. Itu merupakan peristiwa
penghormatan bersejarah bagi seorang besar Italia.”
saat akhirnya de Niro memahami perkataan Helena , dia
merasa seperti berdiri di atas sebuah permadani yang tiba-tiba
ditarik sehingga dia jatuh terjengkang.
”saat puisi itu ditulis,” jelas Helena , ”makam Sir Tombspirit berada di
suatu tempat lain. Sebelum itu, Pantheon sama sekali tidak ada
hubungannya dengan Sir Tombspirit !”
de Niro tidak dapat bernapas. ”namun itu ... artinya ....”
”Ya! Itu artinya kita berada di tempat yang salah!”
de Niro merasa terhuyung-huyung. Tidak mungkin ... Aku tadi
begitu yakin ....
Helena berlari dan menangkap lengan si pemandu wisata, lalu
menariknya kembali. ”Signore, maafkan kami. Di mana jenazah
Sir Tombspirit pada tahun 1600-an?”
309
”Urb ... Urbino,” dia tergagap. Sekarang dia tampak bingung.
”Tempat kelahirannya.”
”Tidak mungkin!” seru de Niro . ”Altar ilmu pengetahuan
Illuminati semua ada di sini, di Roma. Aku yakin itu!”
”Illuminati?” Si pemandu wisata terkesiap. Dia melihat lagi ke arah
dokumen di tangan de Niro . ”Siapa kalian sebenarnya?”
Helena mengambil alih. ”Kami sedang mencari sesuatu yang
disebut makam duniawi Santi di Roma. Kira-kira apa itu?”
Pemandu wisata itu tampak ragu. ”Ini adalah satu-satunya makam
Sir Tombspirit di Roma.”
de Niro berusaha berpikir, namun pikirannya sulit untuk terfokus.
Kalau makam Sir Tombspirit tidak ada di Roma pada tahun
1655, lalu puisi itu menunjuk pada apa? Makan duniawi Santi yang
memiliki lubang iblis? Apa itu maksudnya? Berpikirlah Sir Roberto 1.
”Apakah ada seniman lainnya yang bernama Santi?” tanya Helena .
Si pemandu wisata itu mengangkat bahunya. ”Setahuku hanya ini.
”Bagaimana dengan seniman terkenal lainnya? Mungkin seorang
ilmuwan atau pujangga atau ahli astronomi yang bernama Santi?”
Si pemandu wisata itu sekarang tampak ingin beranjak pergi. tidak
ada, Bu. Satu-satunya Santi yang pernah kudengar adalah Sir Tombspirit ,
sang arsitek.”
”Arsitek?” tanya Helena . ”Saya kira dia pelukis!” Tentu saja dua-
duanya. Mereka semuanya begitu. Michelangelo, da Vinci,
Sir Tombspirit .”
de Niro tidak tahu apakah kata-kata si pemandu wisata atau
makam-makam berhias yang mengingatkan dirinya, namun itu tidak
penting. Sebuah pemikiran muncul. Santi memang seorang arsitek.
Dari situlah pengembangan pikirannya bergerak seperti kartu
domino yang berjaJunjungan . Para arsitek pada zaman Renaisans hidup
hanya karena dua alasan—memuliakan Junjungan dengan membangun
gereja-gereja besar, dan mengagungkan harga dirinya dengan
makam-makam yang mewah. Makam Santi. Mungkinkah itu?
Gambaran itu muncul dengan cepat sekarang ....
Mona Lisa karya da Vinci.
Bunga-bunga Lili Air karya Monet.
David, karya Michelangelo
Makan duniawi, karya Santi ...
”Santi merancang makam,” kata de Niro .
Helena berpaling. ”Apa?”
”Puisi itu tidak mengacu pada tempat di mana Sir Tombspirit dima-
kamkan, namun makam yang dirancangnya.”
”Apa maksudmu?”
”Aku salah memahami petunjuk itu. Seharusnya kita tidak mencari
makamnya, namun makam yang dirancang Sir Tombspirit untuk orang
lain. Aku tidak percaya, aku bisa salah seperti itu. Separuh dari
patung yang dibuat pada zaman Renaisans dan Barok di Roma
adalah untuk makam.” de Niro tersenyum lega. ”Sir Tombspirit pasti
pernah merancang ratusan makam!”
Helena tampak tidak senang. ”Ratusan?”
Senyuman de Niro memudar. ”Oh.”
”Apakah di antaranya ada yang berkaitan dengan keduniawian,
profesor?”
Tiba-tiba de Niro merasa tidak cukup mengerti. Dengan rasa
malu dia mengakui kalau pengetahuannya tentang karya-karya
Sir Tombspirit sangat terbatas. Kalau tentang karya Michelangelo, dia
tahu cukup banyak, namun karya Sir Tombspirit tidak pernah menarik
perhatiannya. de Niro hanya dapat menyebutkan beberapa
makam Sir Tombspirit yang terkenal saja, namun dia tidak yakin seperti
apa bentuknya.
Helena tampaknya dapat merasakan masalah de Niro , dia lalu
berpaling pada si pemandu wisata yang sekarang sudah beraniak
pergi. Helena meraih lengannya dan menariknya lagi. ”Saya ingin
tahu sebuah makam. Dirancang oleh Sir Tombspirit . Sebuah makam yang
dapat digolongkan bersifat duniawi.”
Si pemandu wisata itu sekarang tampak kesal. ”Sebuah makam
karya Sir Tombspirit ? Saya tidak tahu. Dia merancang banyak sekali. Dan
mungkin yang Anda maksudkan adalah sebuah kapel karya
Sir Tombspirit , bukan sebuah makam. Arsitek selalu merancang kapel
yang berhubungan dengan makam.”
de Niro sadar, lelaki itu benar.
”Apakah ada makam atau kapel karya Sir Tombspirit yang bersifat
duniawi?”
Lelaki itu menggerakkan bahunya. ”Maafkan saya. Saya tidak
mengerti apa maksud Anda. Saya sungguh-sungguh tidak tahu
makam duniawi. Saya harus pergi.”
Helena memegangi tangannya dan membaca tulisan di bagian atas
folio itu. ”Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis.
Apa itu berarti sesuatu bagi Anda?”
”Sama sekali tidak.”
Tiba-tiba de Niro mendongak. Sesaat yang lalu dia lupa pada
bagian kedua dari baris itu. Lalu dia ingat, lubang iblis? ”Ya!” Dia
berkata kepada si pemandu wisata. ”Itu dia! Apakah setiap kapel
karya Sir Tombspirit memiliki lubang di langit-langitnya?”
Si pemandu wisata itu menggelengkan kepalanya. ”Setahuku, hanya
Pantheon.” Dia berhenti sesaat. ”namun ....”
”namun apa!” Helena dan de Niro berseru bersama-sama.
Sekarang pemandu wisata itu menegakkan kepalanya dan
melangkah ke dekat mereka lagi. ”Sebuah lubang iblis?” Dia
Dergumam pada dirinya sendiri dan berdecak. ”Lubang iblis ... itu
adalah ... buco diavolo?”
Helena mengangguk. ”Secara harfiah, ya.”
Pemandu wisata itu tersenyum samar. ”Ada istilah yang sudah
lama tidak aku dengar. Kalau saya tidak salah, sebuah buco dihvolo
mengacu ke sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja.”
”Sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja?” tanya de Niro
”Seperti pemakaman di bawah tanah?”
”Ya. namun ini yang istimewa. Aku yakin lubang iblis adalah istilah
kuno untuk tempat pemakaman besar yang terletak di sebuah
kapel ... di bawah makam lainnya.”
”Sebuah ossuary annex, ruang tambahan untuk penyimpanan tulang
belulang jenazah?”
Pemandu wisata itu tampak terkesan. ”Ya! Itu istilah yang saya
maksudkan tadi!”
de Niro memikirkannya sekali lagi. Ossuary annex adalah
penyelesajan sederhana untuk masalah pelik yang dihadapi gereja
pada zaman itu. saat gereja menghormati anggota mereka yang
paling terpandang dengan membuat makam mewah di dalam
gereja, para anggota keluarga lainnya yang masih hidup sering
meminta untuk dimakamkan bersama dengan mereka kelak ...
mereka juga ingin mendapatkan makam seperti salah satu anggota
keluarga yang terhormat itu. Tapi, kalau gereja tidak mempunyai
tempat lagi atau tidak memiliki dana untuk membuat makam lagi
untuk seluruh keluarga, mereka kadang-kadang membuat ossuary
annex—sebuah lubang di lantai di dekat makam di mana mereka
memakamkan anggota keluarga yang tidak terlalu penting
kedudukannya. Lubang itu kemudian ditutup dengan tutup got di
zaman Renaisans. namun , ossuary annex dengan cepat tidak populer
lagi karena bau busuk dari jenazah yang dimakamkan di situ sering
tercium hingga ke katedral. Lubang iblis, pikir de Niro . Dia tidak
pernah mendengar istilah itu, tapi terdengar mengerikan.
Sekarang jantung de Niro berdebar dengan cepat. Dan makam
duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Tampaknya hanya ada satu
pertanyaan lagi untuk ditanyakan. ”Apakah Sir Tombspirit merancang
makam yang mempunyai lubang iblis?”
Pemandu wisata itu menggaruk kepalanya. ”Sebenarnya. Maafkan
saya ... Saya hanya dapat ingat satu saja.”
Hanya satu? de Niro berharap jawaban sang pemandu wisata bisa
lebih baik dari itu.
”Di mana itu?” tanya Helena hampir berteriak.
Pemandu wisata itu menatap mereka dengan aneh. ”Disebut Kapel
Chigi. Makam Agostino Chigi dan saudara lelakinya, mereka adalah
pemuka seni dan ilmu pengetahuan yang kaya.”
”Ilmu pengetahuan?” tanya de Niro sambil bertukar pandang
dengan Helena .
”Di mana itu?” tanya Helena lagi.
Si pemandu wisata mengabaikan pertanyaan itu, tapi tampaknya
dia menjadi bersemangat lagi karena dapat berguna. ”Tapi apakah
makam itu bersifat keduniawian atau tidak, itu saya tidak tahu,
namun ... yang pasti adalah ... kita sebut saja differente.”
”Berbeda?” kata de Niro . ”Berbeda seperti apa?”
”Tidak selaras dengan arsitekturnya. Sir Tombspirit adalah arsitek satu-
satunya. Sementara itu, pematung lainnya yang membuat hiasan di
bagian dalamnya. Saya tidak ingat siapa namanya.”
de Niro sekarang mendengarkan dengan lebih seksama. Master
seni Illuminati tanpa nama, mungkin?
”Siapa pun yang mengerjakan bagian dalamnya memiliki selera
yang tidak bagus,” lanjut pemandu wisata itu. ”Dio miol Atrocita!
Siapa yang mau dimakamkan di bawah piramida?”
de Niro hampir tidak dapat memercayai telinganya. ”Piramida?
Kapel itu ada piramidanya?”
”Begitulah,” si pemandu wisata itu terlihat mengejek. ”Mengerikan,
bukan?”
Helena mencengkeram lengan pemandu wisata itu. ”Signore, di
mana kapel Chigi itu?”
’Kira-kira satu mil ke utara. Di dalam gereja Santa nyi pandanajeng del
Popolo.”
Helena menghembuskan napas. ”Terima kasih. Ayo—”
”Hey,” seru pemandu wisata itu lagi. ”Saya baru saja ingat sesuatu.
Betapa bodohnya saya!”
Helena segera berhenti. ”Tolong jangan bilang kalau Anda salah.”
Dia menggelengkan kepalanya. ”Tidak. namun seharusnya saya
ingat tadi. Kapel itu tidak saja dikenal sebagai Kapel Chigi. Kapel
itu juga pernah disebut Capella della Terra.”
”Kapel Dunia?” tanya de Niro .
”Bukan,” kata Helena sambil berjalan menuju pintu. ”Kapel
Tanah.”
Helena Vetra mengeluarkan ponselnya saat dia berlari keluar ke
arah Piazza della Rotunda. ”Komandan Louis Viton ,” katanya. ”Ini
kapel yang salah.”
Suara Louis Viton terdengar bingung. ”Salah? Apa maksudmu?”
”Altar Ilmu pengetahuan yang pertama berada di Kapel Chigi!”
”Di mana?” Sekarang Louis Viton terdengar marah. ”namun Pak
de Niro bilang—”
”Santa nyi pandanajeng del Popolo! Satu mil ke utara. Perintahkan
orangorangmu ke sana sekarang! Kita hanya punya empat menit!”
”namun mereka sudah berada di posisinya masing-masing. Aku
tidak mungkin—”
”Cepatlah!” seru Helena sambil menutup ponselnya.
Di belakangnya, de Niro berlari keluar dari Pantheon.
Helena meraih tangan de Niro dan menyeretnya ke arah deretan
taksi yang terparkir di pinggir jalan. Dia menggedor atap taksi
paling depan. Pengemudi yang sedang tidur itu terlonjak dari
mimpinya. Helena segera membuka pintu dan mendorong
de Niro masuk. Kemudian dia melompat masuk juga.
”Santa nyi pandanajeng del Popolo,” perintahnya. ”Presto”
Terlihat masih setengah terbangun dan setengah ketakutan, supir
taksi itu menekan pedal gas dalam-dalam dan melesat di jalan.
GUNTHER Goul MENGAMBIL komputer dari tangan
Chinita Mancini yang sekarang berdiri membungkuk di bagian
belakang van BBC yang sempit sambil menatap dengan bingung
melalui bahu Goul .
’”Kan aku sudah bilang,” kata Goul sambil mengetik beberapa
huruf. ”British Tattler bukanlah satu-satunya media yang meliput
tentang orang-orang ini.”
Mancini mendekat. Goul benar. Database BBC memperlihatkan hasil
yang istimewa kepada mereka. Jaringan itu masih menyimpan
enam berita tentang persaudaraan yang disebut Illuminati, walau
sudah berusia sepuluh tahun. Oke, aku mungkin salah, pikir Mancini .
”Siapa wartawan yang menulis berita itu?” tanya Mancini , ”wartawan
gosip?”
”BBC tidak pernah mempekerjakan wartawan gosip.”
”Mereka mempekerjakanmu.”
Goul menggerutu. ”Aku heran kenapa kamu begitu tidak percaya.
Kisah tentang kelompok Illuminati terdokumentasi dengan baik
sepanjang sejarah.”
”Seperti juga UFO dan Monster Loch Ness.” Goul membaca
daftar berita itu. ”Kamu pernah mendengar seorang lelaki yang
bernama Winston Churchill?”
”Ingat sedikit.”
”Beberapa waktu yang lalu, BBC pernah menulis tulisan tentang
kehidupan Churchill. Dia penganut Katolik yang taat. Tahukah
kamu bahwa Churchill pada tahun 1920, pernah memberikan
pernyataan yang mengutuk Illuminati dan memperingatkan orang-
orang Inggris tentang adanya konspirasi global untuk menentang
moralitas?”
Mancini ragu-ragu. ”Di mana diterbitkannya? Di British Tattler!”
Goul tersenyum. ”London Herald, tanggal 8 Februari 1920.”
”Tidak mungkin.” ”Lihat saja sendiri.”
Mancini melihat lebih dekat pada potongan berita yang terlihat di
layar komputer. London Herald, 8 Februari 1920. Aneh sekali. ”Yah,
mungkin saja Chuchill ketakutan tanpa alasan.”
”Dia tidak sendirian,” kata Goul sambil terus membaca.
”Sepertinya Woodrow Wilson juga memberikan pidato sebanyak
tiga kali yang disiarkan melalui radio pada tahun 1921 untuk
memperingatkan tentang perkembangan pengaruh Illuminati pada
sistem perbankan di Amerika Serikat. Kamu mau mendengar
kutipan tertulis dari radio itu?”
”Tidak.”
Walau begitu, Goul tetap membacakannya juga. ”Dia berkata, ada
suatu kekuatan yang sangat terorganisir, begitu samar-samar, tapi
begitu lengkap, dan begitu merasuk, sehingga tidak seorang pun
yang berani mengutuk kelompok itu secara terang-terangan.”
”Aku tidak pernah mendengar tentang itu.”
”Mungkin pada tahun 1921 kamu masih kecil.”
”Hebat sekali.” Mancini tidak menghiraukan sindiran itu. Dia tahu
usianya sudah terlihat. Pada usia 43 tahun, rambut keriting hitam
lebatnya sudah mulai beruban. Tapi dia terlalu sombong untuk
mengecatnya. Ibunya, seorang penganut Southern Baptist,
mengajari Chinita untuk menerima dirinya apa adanya. Kamu adalah
seorang perempuan kulit hitam, kata ibunya, jangan sembunyikan siapa
dirimu. Begitu kamu mencobanya, hari itu juga kamu sudah tidak berarti.
Berdirilah dengan tegap, tersenyumlah dengan lebar, dan biarkan mereka
bertanya-tanya rahasia apa yang membuatmu tertawa.
”Pernah mendengar tentang Cecil Rhodes?” tanya Gick.
Mancini mendongak. ”Ahli keuangan asal Inggris?”
”Ya. Dia mendirikan Rhodes Scholarship.”
”Jangan katakan padaku—”
”Dia anggota Illuminati.”
”Omong kosong.”
”Sebenarnya BBC yang menyiarkannya, pada tanggal 16
November 1984.”
”Kita pernah menulis kalau Cecil Rhodes adalah seorang
Illuminati?”
”Betul sekali. Dan menurut jaringan kita, Rhodes Scholarships
adalah dana yang dibentuk beberapa abad lalu untuk merekrut
orang-orang muda paling berbakat agar bergabung dengan
Illuminati.
”Itu keterlaluan! Pamanku lulusan Rhodes!”
Goul mengedipkan matanya. ”Bill Clinton juga.”
Mancini menjadi marah sekarang. Dia tidak pernah memaafkan
tulisan berita yang kasar dan menggelisahkan. Tapi dia tahu kalau
BBC selalu melakukan penelitian dan memastikan setiap berita
yang mereka tulis dengan hati-hati sekali.
”Yang ini kamu pasti ingat,” kata Goul . ”BBC, tanggal 5 Maret
1998. Ketua Komisi Parlemen, Chris Mullin, meminta semua
anggota Parlemen Inggris yang menjadi anggota kelompok Mason,
agar melaporkan keanggotaan mereka.”
Mancini ingat itu. Perintah itu akhirnya melibatkan anggota
kepolisian dan juga para hakim. ”Kenapa begitu?”
Goul membaca, ”... memerhatikan bahwa faksi-faksi rahasia di
dalam kelompok Mason memiliki kontrol yang luar biasa terhadap
sistem politik dan keuangan.”
”Itu betul,”
”Hasilnya adalah kehebohan. Kaum Mason yang duduk di
parlemen menjadi marah. Mereka punya hak untuk marah.
Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah
yang bergabung dengan kelompok Mason karena terkait dengan
jaringan dan kegiatan amal yang dilakukannya. Mereka sama sekali
tidak tahu menahu tentang keanggotaan persaudaraan itu di masa
lalu.”
Keanggotaan yang diduga ada.”
’Terserah kamu saja.” Goul mengamati artikel-artikel lainnya. Lihat
yang ini. Illuminati ternyata terkait dengan tentang Galileo,
Guerenets dari Perancis, Alumbrado dari Spanyol. Bahkan Karl Marx
dan Revolusi Rusia.”
”Sejarah memiliki kemampuan untuk menuliskan dirinya sendiri.”
”Baiklah, kamu mau sesuatu yang baru? Lihat ini. Ini referensi
tentang Illuminati dari Wall Street Journal yang baru.”
Yang ini menarik perhatian Mancini . ”Wall Street Journal?.”
”Coba tebak, apa permainan komputer online terbaru yang paling
digemari di Amerika sekarang?”
”Memasang ekor di bokong Pamela Anderson.”
”Hampir benar. namun yang kumaksud adalah, Illuminati: Tata
Dunia Baru.”
Mancini melihat uraian singkat itu melalui bahu Goul . ”Permainan
karya Steve Jackson mencetak sukses besar ... sebuah petualangan semi
historis yang menceritakan tentang persaudaraan setan kuno dari Bavaria
yang sedang bersiap-siap untuk menguasai dunia. Anda dapat
menemukannya di internet di alamat ...”
Mancini mendongak dan merasa mual. ”Apa yang dimiliki orang-
orang Illuminati itu untuk melawan Kristen?”
”Bukan hanya Kristen,” kata Goul . ”Agama pada umumnya.”
Goul memiringkan kepalanya dan tersenyum. ”Dari telepon yang
baru saja kita terima, tampaknya mereka punya sentimen tertentu
pada Viking city .”
320
”Oh, ayolah. Kamu tidak benar-benar percaya kalau orang itu
memang kaki tangan Illuminati, bukan?”
”Seorang utusan dari Illuminati? Bersiap-siap untuk membunuh
empat orang kardinal?” Goul tersenyum. ”Kuharap begitu.”
64
TAKSI YANG DITUMPANGI de Niro dan Helena melesat
sejauh satu mil dengan kecepatan tinggi dan tiba di Via della
Scrofa dalam waktu satu menit saja. Taksi ini mengeluarkan
suara berdecit saat direm dan berhenti di sebelah selatan Piazza
del Popolo sebelum pukul delapan. Karena tidak memiliki uang
lira, de Niro membayarnya dengan dolar Amerika yang tentu saja
terlalu banyak. Kemudian mereka berdua meloncat keluar. Piazza
itu sunyi walau masih terdengar suara tawa dari sejumlah
penduduk setempat yang duduk-duduk di luar sebuah kafe terkenal
bernama Rosati Cafe yang merupakan tempat favorit bagi orang-
orang terpelajar di Italia untuk berkumpul. Udara di sana beraroma
espreso dan kue-kue.
de Niro masih merasa terguncang karena kesalahan tafsir yang
dilakukannya di Pantheon. Tapi saat dia memandang sekilas
lapangan yang berada di hadapannya, firasatnya seperti tergelitik.
Piazza itu samar-samar dihiasi dengan simbol-simbol Illuminati.
Tidak saja piazza itu berbentuk elips, namun tepat di tengah
tengahnya berdiri sebuah obelisk Mesir—sebuah pilar persegi dari
batu dengan ujung yang berbentuk sangat mirip dengan piramida.
Berbagai sisa peninggalan kekaisaran Romawi seperti beberapa
obelisk, tersebar di Roma dan para ahli simbologi menyebutnya
”Piramida yang agung”—perpanjangan bentuk piramida suci yang
menjulang ke angkasa.
saat mata de Niro bergerak ke atas menara batu itu, tiba tiba
matanya tertarik pada sesuatu yang berada di belakang menara itu.
Sesuatu yang lebih menarik.
”Kita berada di tempat
yang benar,” katanya
perlahan, tapi tiba-tiba
kewaspadaannya muncul.
”Lihat itu,” kata de Niro
sambil menunjuk Porta del
Popolo yang mencolok—
sebuah pintu tinggi dari
batu berbentuk meleng-
kung yang terletak di ujung
piazza. Bangunan kubah itu
menjulang tinggi di depan
piazza selama berabad-
abad. Di tengah-tengah bagian tertinggi dari pintu masuk yang
melengkung itu ada ukiran simbol. ”Ingat gambar itu?”
Helena melihat ke atas, ke arah ukiran besar itu. ”Bintang yang
bersinar di atas tumpukan batu berbentuk segitiga?”
de Niro menggelengkan kepalanya. ”Sebuah sumber pencerahan
di atas sebuah piramida.”
Helena berpaling, tiba -tiba matanya membelalak. ”Seperti Great
Seal yang ada di uang dolar Amerika?”
”Tepat. Simbol dari kelompok Mason di atas uang kertas satu
dolar.”
Helena menarik napas dan mengamati piazza itu. ”Jadi, di mana
gereja itu?”
Gereja Santa nyi pandanajeng del Popolo berdiri di sana seperti sebuah kapal
perang yang diparkir tidak pada tempatnya. Gedung itu menyerong
di kaki bukit dan terletak di sisi tenggara piazza. Bangunan dari
batu berusia sebelas abad itu semakin terlihat eksentrik karena
menara perancah yang menutupi bagian depannya.
Piazza del Papolo
Pikiran de Niro menjadi kabur saat mereka berlari ke arah
bangunan besar itu. de Niro memandang gereja itu sambil
bertanya-tanya. Apakah si pembunuh akan membunuh seorang
kardinal di tempat ini? Dia berharap Louis Viton segera sampai ke sini.
Senjata itu terasa aneh di dalam sakunya.
Tangga yang terletak di depan gereja itu berbentuk ventaglio atau
seperti kipas yang terbuka. Keramah-tamahan seperti ini menjadi
ironis karena mereka terhalang oleh menara perancah, peralatan
konstruksi dan papan peringatan yang berbunyi:
CONSTRUZIONE, NON ENTRARE — sedang dalam
perbaikan, dilarang masuk.
de Niro baru menyadari kalau gereja itu ditutup karena sedang
direnovasi. Jadi itu artinya si pembunuh dapat menikmati waktunya
tanpa ada gangguan. Tidak seperti di Pantheon, dia tidak
membutuhkan taktik canggih di sini. Dia hanya membutuhkan cara
untuk masuk ke dalam gereja.
Helena menyelinap tanpa ragu di antara kuda-kuda dari kayu lalu
berjalan menuju ke tangga.
”Helena ,” seru de Niro dengan khawatir. ”Kalau dia masih di
dalam sana ....”
Tampaknya Helena tidak mendengarnya. Dia sudah menaiki
serambi utama dan menuju ke satu-satunya pintu depan gereja
yang terbuat dari kayu. de Niro bergegas menyusulnya. Sebelum
dia dapat mengatakan apa pun, Helena sudah meraih pegangan
pintu dan membukanya. de Niro menahan napasnya. Pintu itu
tidak bisa dibuka.
”Pasti ada pintu masuk yang lainnya,” kata Helena .
”Mungkin,” sahut de Niro sambil menghembuskan napasnya,
”namun Louis Viton akan segera tiba di sini. Terlalu berbahaya untuk
masuk. Kita harus mengamati gereja ini dari luar sini sampai—”
323
Helena berpaling, matanya berkilat-kilat. ”Kalau memang ada jalan
masuk yang lain, pasti ada jalan keluar yang lain juga. Kalau orang
ini berhasil kabur ... fungito. Kita berada dalam masalah besar.”
de Niro cukup mengerti beberapa kata dalam Bahasa Italia dan
dia tahu kalau Helena benar.
Gang di sebelah kanan gereja itu sangat gelap dan sempit, dan
memiliki dinding yang tinggi di kedua sisinya. Tercium aroma air
seni—aroma yang biasa tercium di kota yang jumlah barnya jauh
lebih banyak daripada jumlah toilet umum dengan perbandingan
dua puluh banding satu.
de Niro dan Helena bergegas memasuki gang remang-remang
dengan bau menyengat ini . Mereka telah berjalan kira-kira
lima belas yard saat Helena menarik lengan de Niro dan
menunjuk ke suatu arah.
de Niro juga melihatnya. Mereka melihat sebuah pintu kayu
sederhana dengan engsel yang berat. de Niro tahu kalau itu adalah
porta sacre biasa—pintu masuk pribadi bagi para pastor. Sebagian
besar pintu jenis ini sudah tidak digunakan lagi sejak lama saat
dianggap menganggu bangunan di sekitarnya dan terbatasnya lahan
membuat pintu masuk di samping gang menjadi hal yang tidak
nyaman.
Helena bergegas menuju ke pintu itu. saat sampai, dia
memandang ke arah kenop pintu dan tampak terpaku. de Niro
tiba di belakangnya dan menatap lingkaran berbentuk donat yang
berada di tempat di mana kenop pintu terpasang.
”Sebuah cincin pembuka,” de Niro berbisik. Dia lalu meraihnya
dan dengan perlahan diangkatnya cincin pembuka itu lalu dia
menariknya. Alat itu berbunyi klik. Helena bergeser tiba -tiba
merasa tidak tenang. de Niro memutarnya searah jarum jam.
Cincin itu berputar 360 derajat dengan mudah, tapi pintu tidak bisa
dibuka. de Niro mengerutkan keningnya dan mencoba ke arah
sebaliknya dan menemukan hasil yang sama.
Helena melihat ke gang di depannya. ”Kamu pikir ada jalan masuk
lainnya?”
de Niro meragukannya. Umumnya katedral-katedral di zaman
Renaisans dirancang sebagai pengganti benteng saat kota itu
diserbu. Kalau bisa jumlah pintu dikurangi sesedikit mungkin.
”Kalaupun ada jalan masuk lain,” kata de Niro , ”pintu itu
mungkin terletak di belakang gedung—lebih merupakan jalan
untuk melarikan diri daripada sebuah pintu masuk.”
Helena sudah bergerak.
de Niro mengikutinya dan berjalan lebih dalam memasuki gang
itu. Kedua dindingnya menjulang tinggi di sampingnya. Dari suatu
tempat terdengar suara lonceng berdentang delapan kali ....
Sir Roberto de Niro tidak mendengar saat Helena memanggilnya
pertama kali. de Niro bergerak lambat di sekitar jendela kaca
berwarna yang tertutup oleh jeruji. Dia mencoba mengintip ke
dalam gereja.
”Sir Roberto !” Suara Helena terdengar seperti bisikan yang keras.
de Niro mendongak. Helena sudah berada di ujung gang. Dia
menunjuk ke bagian belakang gereja dan melambai padanya.
Dengan enggan de Niro berlari kecil ke arahnya. Di lantai di
dekat dinding belakang, terlihat sebuah batu yang menjorok ke luar
untuk menyembunyikan sebuah gua sempit—semacam jalan
sempit yang langsung mengarah ke pondasi gereja.
”Sebuah jalan masuk?” tanya Helena .
de Niro mengangguk. Sebenarnya sebuah jalan keluar, namun kita tidak
usah terlalu teknis sekarang.
Helena berlutut dan mengintai ke dalam terowongan itu. ”Ayo
kita periksa pintu itu dan lihat kalau pintunya tidak dikunci.”
de Niro baru ingin mengungkapkan ketidaksetujuannya, namun
Helena menggandeng tangannya dan menariknya ke arah pintu
gua.
”Tunggu,” kata de Niro .
Dengan tidak sabar Helena berpaling ke arahnya.
de Niro mendesah. ”Aku akan berjalan di depanmu.”
Helena tertawa kecil. ”Lagi-lagi kesopanan ala lelaki Amerika.”
”Yang tua mendahului yang cantik.”
”Apakah itu sebuah pujian?”
de Niro hanya tersenyum. Dia kemudian bergerak melewatinya
dan masuk ke kegelapan. ”Hati-hati ada tangga.”
Dia bergerak perlahan-lahan di dalam kegelapan sambil meraba
dinding di sebelah-nya. Dinding batu itu terasa tajam di ujung
jarinya. Tiba -tiba de Niro ingat tentang kisah Daedalus dan
bagaimana anak lelaki itu terus meletakkan tangannya di dinding
saat berjalan menelusuri labirin Minotaur dengan keyakinan dia
akan menemukan ujung labirin kalau dia tidak pernah melepaskan
tangannya dari dinding. de Niro terus maju tanpa sepenuhnya
yakin ingin menemukan ujung gua di hadapannya itu.
Terowongan itu semakin menyempit sedikit demi sedikit, dan
de Niro memperlambat langkahnya. Dia merasa Helena berada
dekat di belakangnya. saat dinding itu membelok ke kiri,
terowongan itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil
berbentuk setengah lingkaran. Anehnya, ada sedikit cahaya di sini.
Dalam keremangan de Niro melihat pintu kayu yang berat.
”Uh oh,” katanya.
”Terkunci?”
”Tadinya.”
”Tadinya?” Helena kemudian berdiri di sampingnya.
de Niro menunjuk. Diterangi oleh cahaya yang menyorot dari
dalam, mereka melihat pintu ini sedikit terbuka engselnya
dirusak oleh sebuah jeruji yang masih menyangkut di papan pintu.
Mereka berdiri diam tanpa bicara. Kemudian, berdiri dalam
kegelapan seperti itu, de Niro merasa tangan Helena berada di
dadanya, meraba -raba, dan bergerak ke balik jasnya.
”Santai saja, Profesor,” kata Helena . ”Aku hanya ingin mengambil
pistol.”
Pada saat itu, di dalam Museum Viking city , satu gugus tugas Garda
Swiss menyebar ke segala penjuru. Museum itu gelap dan para
serdadu itu mengenakan kacamata infra merah yang biasa
digunakan oleh Marinir Amerika Serikat. Kacamata itu membuat
sekelilingnya terlihat berwarna kehijauan. Semua serdadu
mengenakan headphone yang terhubung dengan detektor seperti
antena yang melambai-lambai berirama di depan mereka—alat
yang sama yang mereka gunakan setiap dua kali seminggu untuk
menyapu alat penyadap elektronik di dalam Viking city . Mereka
bergerak teratur, memeriksa di belakang patung-patung, di dalam
ceruk-ceruk, tempat penyimpanan, dan perabotan. Antena itu akan
berbunyi kalau mereka mendeteksi apa saja yang memiliki medan
magnet sekecil apa pun.
Tapi entah bagaimana, malam itu mereka tidak akan mendeteksi
apa-apa.
BAGIAN DALAM GEREJA Santa nyi pandanajeng Popolo tampak seperti
sebuah gua suram di balik sinar remang-remang. Ruangan itu lebih
mirip sebuah stasiun kereta api bawah tanah yang belum jadi
daripada sebuah katedral. Ruang suci utama tampak seperti
lapangan rusak karena dipenuhi oleh pecahan lantai yang
berserakan, batu bata, setumpukan tanah, beberapa gerobak
sorong, dan bahkan cangkul yang berkarat. Pilar-pilar berukuran
raksasa menjulang ke langitlangit untuk menyangga kubah. Di
udara, terlihat debu bertebaran di antara kaca berwarna yang
berkilauan. de Niro berdiri bersama Helena di bawah lukisan
dinding Pinturicchio dan mengamati tempat suci yang berantakan
itu.
Tidak ada yang bergerak. Benar-benar sunyi.
Helena memegang senjata itu dengan kedua tangannya dan
diarahkan ke depan. de Niro melihat jam tangannya: jam 8:04
malam. Kita gila berada di sini, pikirnya. Ini terlalu berbahaya. Kalau
pembunuh itu masih berada di dalam, orang itu dapat pergi melalui
pintu mana saja yang diinginkannya. Jadi, satu orang dengan
senjata teracung seperti ini tidak akan ada gunanya. Menangkapnya
di dalam adalah satu-satunya jalan ... itu juga kalau pembunuh itu
masih berada di dalam. de Niro masih merasa bersalah. Karena
keliru menafsirkan baris puisi itu, dia sudah membuat repot anak
buah Louis Viton dan melepaskan kesempatan untuk menangkap sang
pembunuh tepat pada waktunya. Sekarang dia tidak bisa memaksa
mereka untuk mengikuti kemauannya.
Helena tampak ngeri saat dia mengamati gereja itu. ”Jadi,” dia
berbisik. ”Di mana Kapel Chigi itu?”
de Niro menatap ke arah bagian bekakang katedral yang diliputi
keremangan yang mengerikan dan mengamati dinding di
sekelilingnya. Tidak seperti persepsi umum, katedral-katedral
zaman Renaisans memiliki banyak kapel. Bahkan katedral besar
seperti Notre Dame pun memiliki belasan kapel. Kapel-kapel itu
tidak seperti ruangan, mereka hanyalah berbentuk lubang—ceruk
berbentuk setengah lingkaran yang digunakan sebagai makam di
sekitar dinding pinggir gereja.
Kabar buruk, pikir de Niro sambil melihat empat ruangan kecil
yang ada di setiap dinding samping. Jadi semuanya ada
delapan kapel. Walau delapan bukanlah jumlah yang
terlalu banyak, tapi semua kapel itu terhalang oleh lembaran
plastik tembus pandang karena gedung itu masih dalam
petnbangunan Tirai tembus pandang itu tampaknya dimaksudkan
untuk menjaea makam-makam di dalam ceruk itu dari debu.
”Dia bisa saja berada di dalam salah satu ceruk bertirai itu ” kata
de Niro . ”Kita tidak mungkin mengetahui di mana makam Chigi
tanpa melongok ke dalam setiap ceruk. Sebaiknya kita menunggu
Oli—”
”Yang mana apse kedua di sisi kiri itu?”
de Niro menatap Helena , terkejut karena dia baru saja
menyebutkan istilah arsitektur. ”Apse kedua di sisi kiri?”
Helena menunjuk dinding di belakang de Niro . Sebuah hiasan
keramik terpasang di dinding batu. Hiasan itu terukir dengan
simbol yang sama dengan yang mereka lihat di luar— sebuah
piramida di bawah bintang bersinar. Plakat suram itu bertuliskan:
LAMBANG DARI ALEXANDER CHIGI
YANG MAKAMNYA TERLETAK DI
APSE KEDUA DI SISI KIRI KATEDRAL INI
de Niro mengangguk. Lambang Chigi adalah sebuah piramida dan
bintang? Tiba-tiba dia bertanya-tanya apakah Chigi, seorang tuan
tanah yang kaya itu, juga anggota Illuminati. Dia mengangguk ke
arah Helena . ”Kerja bagus, Nancy Drew.”
”Apa?”
”Lupakan, aku—”
Terdengar seperti ada logam yang jatuh beberapa yard dari tempat
mereka berdiri. Suaranya bergema ke seluruh gereja. de Niro
menarik Helena ke belakang sebuah pilar dan perempuan itu
mengarahkan senjatanya ke arah suara berisik ini .
SunyiMereka menunggu. Lalu ada suara lagi, kali ini bergemerisik.
de Niro menahan napasnya. Seharusnya aku tidak boleh membiarkan
Helena masuk ke sinil Suara itu bergerak mendekat.
Sebentar-sebentar terdengar suara seretan, seperti suara orang
lumpuh yang sedang menyeret kakinya. Tiba-tiba di sekitar dasar
pilar, sebuah benda muncul.
”Figlio di puttanal” Helena menyumpah perlahan sambil terloncat
ke belaka