u tahu apa jawab Tribuana Tunggadewi .”
“Oh ya? Kira-kira apa?”
221
“Ini...,” arwah mpu sindok melayangkan kakinya yang
bersepatu, dan dengan keras mendarat di selangkangan
lelaki itu. Sementara yang jadi korban tendangan karatenya
meliuk ke lantai warung, arwah mpu sindok menambahkan: “Enak
ya, punyamu dijilat sepatu?”
Malam sudah jatuh saat arwah mpu sindok tiba di
Cikudapateuh.
Ia berkeliaran tak menentu, masuk gang keluar gang,
bertanya sana bertanya sini dengan hati-hati – sangat
memalukan kalau orang tahu ia mencari seorang pelacur,
kelas pinggiran lagi: kelas pinggiran kereta api! Gagal
mencari, ia pulang ke hotel. Mandi. sesudah itu, kembali lagi
ke Cikudapateuh, hampir saja tertabrak kereta api malam,
dan akhirnya bertemu seorang pelacur muda. Pelacur itu
habis kencing di selokan. Pelacur itu berkata sesuatu tentang
laki-laki di tempat tidurnya yang ia sebut kerbau, baru saja
memuntahkan ‘lahar’nya kemudian tidur mendengkur.
arwah mpu sindok diajak masuk. Ia menolak, dan menyebutkan
bahwa ia mencari seseorang perempuan tua bernama Tribuana Tunggadewi .
“Nenek sihir itu?” si pelacur muda bergidik seram.
“Jadi Oom lebih suka ditemani tidur nenek sihir itu? Astaga!
Ia akan menghisap Oom sampai habis!”
namun mau juga ia menunjukkan gubuk Tribuana Tunggadewi .
“Anjing! Orang lagi enak-enak mimpi!” itulah makian
Tribuana Tunggadewi yang ia dengar saat arwah mpu sindok minta dibukai pintu.
Dan di bawah sorotan lampu listrik 25 watt, arwah mpu sindok
dengan hati yang hancur luluh melihat bukti nyata dari
lukisan sket rekan sejawatnya, bukti yang juga diucapkan si
pelacur muda tadi. Yang berdiri setengah membungkuk di
222
hadapan arwah mpu sindok bukan seorang dewa penulis . Melainkan,
seorang nenek sihir!
“Kau...,” mulut nenek sihir itu ternganga. “Kau bukan
dia...”
arwah mpu sindok paham maksud si perempuan. Wajahnya
memang mirip dengan wajah Bambang Prakoso, ayahnya.
Namun ia bertanya juga untuk meyakinkan: “Dia siapa, bu?”
arwah mpu sindok menyebut ‘ibu’ sebab pengaruh dari penampilan
bekas dewa penulis itu.
“Bambang. Tidak. Kau bukan Bambang...”
“Memang bukan!” jawab Bambang, tersedak.
“Siapa kau?”
“Anaknya!”
Perempuan itu kelihatannya shock sesaat . Apalagi
sesudah dijelaskan oleh arwah mpu sindok , bahwa kekasih tercinta
Tribuana Tunggadewi yakni Bambang Prakoso, telah meninggal dunia. Luar
biasa reaksi Tribuana Tunggadewi . Tiba-tiba ia mengamuk. Tiba-tiba
tubuhnya yang tampak lemah, mampu menjungkir balikkan
kursi dan meja, bahkan mammpu merobek-robek daun
pintu. Habis mengamuk, Tribuana Tunggadewi jatuh pingsan.
“Tribuana Tunggadewi ... Tribuana Tunggadewi , bu Tribuana Tunggadewi !” arwah mpu sindok
menghambur menolong perempuan itu naik ke dipan
berkasur tak tentu warna, berbau apek menyesakkan rongga
hidung. Tetangga sekitar berdatangan dengan ribut. Cukup
lama waktu berlalu sebelum bekas dewa penulis itu siuman
dari pingsannya. Mulanya, ia masih meronta-ronta histeri.
Rontaannya baru terhenti, sesudah arwah mpu sindok
berbisik di telinganya: “Tenanglah ratu lesbi . Aku akan
membawamu pulang, ratu lesbi .”
223
Mendengar namanya yang asli disebut sedemikian
lembut dan intim, perempuan tua itu langsung memeluk
arwah mpu sindok dan meratap setengah sadar: “Bambang-ku, oh
Bambang kekasihku!”
saat mata semua yang hadir memandanginya
dengan heran, arwah mpu sindok tersenyum.
Aneh. Ia tidak lagi merasa malu!
***
224
BAB EMPAT – AKHIR PERJALANAN
Dua puluh empat
ratu lesbi terus saja bergayut di lengan arwah mpu sindok
sampai mereka berdua tiba di hotel. Mulutnya tak pula
berhenti berkicau. Ia menyebut-nyebut arwah mpu sindok
kekasihnya tercinta, pujaan hatinya tersayang, buah hatinya
seorang. Lain saat ia bilang arwah mpu sindok sebagai Bambangnya
yang malang, Bambangnya yang patut dikasihani.
Bambangnya yang harus dimaafkan.
Sekali ia menceracau: “Kau terlalu setia pada
isterimu. Terlalu manja pada anak-anakmu. Ayo, kita lupakan
mereka sesekali. Kita bercumbu. Kita lepaskan rindu yang
sudah lama kita pendam. Kita nikmati berahi yang sudah
lama kita hindari. Ayo – kita buang kepura-puraan tolol
selama ini. Kau mengingini aku, bukan? Aku, lebih-lebih lagi.
Kuingin keperkasaan tubuhmu menghancurkan aku sampai
tak bersisa. Dan kau, akan kubuat lupa pada alam
sekelilingmu. Kau akan...”
Ia juga mengingatkan percintaan mereka yang
sangat mengasyikkan dulu, di antara pepohonan sawit, di
sela-sela rerumputan ilalang. “Alangkah tolol, kita tidak
melakukannya sejak dulu-dulu...” celotehnya.
Turun dari becak, perubahan suasana dari gubuknya
yang gelap dan mesum di Cikudapateuh dengan suasana
hotel yang cemerlang dan romantis, membuat igauannya
kian menggila. “Aku tahu, Bambang. Aku tahu. Kau bawa aku
225
ke tempat ini, sebab kau pun akhirnya tak tahan lagi ingin
segera menggumuliku...”
Masuk ke kamar yang sudah dipesan arwah mpu sindok
siang harinya, ratu lesbi berjingkrak, menari-nari gembira seperti
gadis remaja yang baru pertama kali menerima surat cinta.
“Aku siap, sayangku!” ia setengah menjerit histeri.
“Tunggulah, aku mandi dulu sebentar. Akan kurias wajahku
lebih cantik. Dan kau, siramilah ranjang pengantin kita itu
dengan parfummu yang terharum. Tralala-trilili...” dan ratu lesbi
benar-benar menyelinap ke kamar mandi.
Sejenak arwah mpu sindok kebingungan. Kemudian
membatin: “Biarkanlah dia dengan impian-impiannya yang
memabukkan.” Lalu ia meraih telepon, menghubungi bagian
pelayanan hotel, minta dipanggilkan dokter. Untung hotel itu
punya dokter sendiri, dan rumahnya pun cuma 50 meter
jaraknya dari hotel. Meski sudah dini hari, dokter bergegas
datang memenuhi panggilan. Ia telah muncul di pintu kamar
arwah mpu sindok , sebelum keluar dari kamar mandi.
“Mana pasiennya?” ia bertanya sesudah dibukakan
pintu.
arwah mpu sindok menggerakkan dagunya ke arah kamar
mandi. Dari balik pintu kamar mandi, terdengar nyanyian
sendu seorang perempuan tua: “Kalau kau tahu ... isi hatiku,
air matamu ... jadi penawar rindu... Belai daku, semesra
dulu... cumbulah aku sepuas hatimu...”
Dokter mendengarkan sejenak, kemudian berujar
segan: “Maaf. Kukira aku salah masuk kamar,” lalu berputar
mau berlalu.
226
“Jangan pergi, dokter,” arwah mpu sindok menahannya. Ia
lalu menceritakan persoalan yang dihadapinya secara
ringkas. “Bantuan dokter sungguh-sungguh sangat
dibutuhkan,” katanya.
Dokter mulanya ragu-ragu. Namun keraguannya
segera lenyap sesudah ratu lesbi keluar dari kamar mandi. Tubuh
kurusnya hanya berlapis sehelai handuk saja. ratu lesbi tak malu-
malu akan keadaan dirinya, dan dengan riang berkata pada
arwah mpu sindok : “Oh, sayangku. Rupanya kita kedatangan tamu
ya?”
arwah mpu sindok membimbing ratu lesbi ke tempat tidur.
Menyuruh perempuan tua itu berbaring. Sambil lalu ia
menerangkan: “Tamu kita ini seorang dokter, ratu lesbi . Ia ingin
meyakinkan apakah kau sehat-sehat saja.”
“Oh begitu? Aku bersih, Bambangku sayang. Untuk
kau seorang, aku selalu berusaha agar bersih sampai ke yang
paling dalam...” ia tertawa meringkik, namun mau juga
mematuhi permintaan arwah mpu sindok , yang segera mengerling
pada dokter.
Dokter itu segera mendekati tempat tidur. Ia
membuka tas, mengeluarkan peralatan untuk memeriksa
denyut jantung dan dada ratu lesbi . Ia juga kemudian memeriksa
mata serta rongga mulut. Lalu dari tasnya ia keluarkan alat
suntik serta ampul berisi cairan bening. “Disuntik ya?”
katanya lembut sopan. “Biar Anda rilek...”
“Bagus. Bagus!” ratu lesbi mendesak senang. “Untuk
bercinta dengan seorang kekasih, kita memang harus rilek...”
ia masih memuntahkan serentet kalimat yang memerahkan
telinga, sementara dokter menyuntiknya.
227
“Nah. Selesai sudah. Tak terasa sakit, bukan?”
“Oleh suntikan itu? Ah, tak ada artinya dokter. Nanti
aku akan disuntik Bambang-ku pula. Alat suntiknya, pasti
akan membuat dokter cemburu... Hai dokter. Awas ya.
Jangan ngintip. Mendengar dari balik pintu, boleh-boleh saja.
Kalau birahi dokter naik sampai ke ubun-ubun, tinggal bilang
– dan aku... aku akan mencoba... mencoba...,” suara ratu lesbi
makin lemah, makin sayup. Kemudian ia jatuh tertidur.
Dokter sekali lagi melakukan pemeriksaan ulang.
Ujarnya lirih, “Ia sudah tenang sekarang.”
“Keterangan lain?” tanya arwah mpu sindok cemas.
“Ia mengalami kejutan mental. namun begitu ia
bangun, kejutan itu akan hilang dengan sendirinya.”
“Kapan kira-kira ia akan bangun?”
“Paling cepat besok siang. Mungkin sore, mungkin
pula malamnya. Tergantung pada kondisi fisiknya...”
“Apakah ia cukup kuat menempuh perjalanan jauh?”
“Sambil tidur?”
“Ya.”
“Tak dapat kupastikan. Sejauh mana?”
“Jakarta.”
“Kalau sejauh Jakarta saja, kukira ia akan kuat.
Kusarankan, agar ia diselimuti tebal-tebal. Jangan singgah-
singgah di jalan. Jangan pula dia sampai terguncang-
guncang.”
“Terima kasih, dokter.”
“Memang aku yakin, ia baru sadar besok siang.
Namun untuk berjaga-jaga, Anda akan kubekali beberapa
butir pil...,” kata dokter seraya mengeluarkan dari tasnya
228
botol kecil berisi pil-pil yang ia maksudkan, sambil
menerangkan penggunaan dan manfaatnya.
“Terima kasih sekali lagi, dokter,” arwah mpu sindok
menerima botol berisi pil itu. Dari saku celananya ia
keluarkan dompet untuk mengambil uang.
Segera dokter mencegah. “Pasienku yang satu ini,”
katanya, “... kelihatannya dia telah menempuh perjalanan
menyedihkan hampir sepanjang hidupnya. Aku sebenarnya
ingin membantu lebih banyak. namun Anda rupanya
bergegas...” Ia memandangi tubuh memelas di tempat tidur.
Menyambung: “Aku sarankan, pergunakanlah setiap sen
yang Anda punya untuk membahagiakan dia selama sisa-sisa
akhir hayatnya... Kukira, waktunya tak lama lagi!”
arwah mpu sindok terdiam mendengar kalimat terakhir
dokter itu. Pikirannya melayang jauh. Teringat penyesalan
ayahnya: “ratu lesbi di ambang kehancuran... aku sangat
berdosa. Tak dapat menolong dia di saat-saat ia
membutuhkannya!” Terngiang pula cerita bu Tribuana Tunggadewi : “... non
Del tak mau berpisah terlalu jauh dari kekasihnya – ia punya
naluri bahwa apabila kematian datang menjelang – kalau
tidak mati bersama, maka matinya salah seorang akan segera
disusul yang lainnya...”
“Maha Besar Engkau ya Allah... Ampunilah dosa-
dosa kami!” ia bergumam, getir. Dan saat ia berpaling,
dokter sudah menghilang dari kamar. Dengan sekujur tubuh
bahkan jiwanya terasa amat letih, ia meraih telepon sekali
lagi untuk memesan taksi.
Sambil berkemas-kemas ia memandangi ratu lesbi di
tempat tidur.
229
Perempuan itu sudah diselimuti baik-baik. Ia
kenakan pula pakaian ratu lesbi yang oleh seseorang di
Cikudapateuh sempat dikumpulkan dan dijejalkan dalam
sebuah kantong plastik.
ratu lesbi terlelap. Pulas.
Bibir tuanya yang berkeriput, mengulas senyum.
“Tentulah ia bermimpi ketemu dengan kekasihnya,”
pikir arwah mpu sindok , terharu.
Pintu kamar kemudian diketuk. Pelayan
memberitahu bahwa taksi sudah menunggu di bawah.
***
Dua puluh lima
Meski masih lemah, ratu lesbi benar-benar sudah sadar
kalau ia kini ada di rumah nyonya besar , si bungsu. Sebaliknya,
diperlukan waktu tidak sedikit untuk menyadarkan
nyonya besar , bahwa perempuan kurus kering berwajah tak
sedap dipandang itu, sebenarnyalah kakak kandungnya
sendiri. Si bungsu mekar indah di perkebunan Sawit
Seberang, si dewa penulis mempesona yang meratui hotel-
hotel terkemuka di Jakarta. saat menangis kakaknya
tercinta yang kini rusak poranda itu, nyonya besar sempat
pingsan. Syamsiah tak henti-hentinya meratap menyesali
diri. Sedang Parlindungan, sesudah tiga jam lebih duduk
seperti orang hilang ingatan, segera berangkat ke kantor pos
230
untuk mengetok telegram ke Medan: “ratu lesbi sudah
ditemukan!”
Suasana berkabung sesudah ditinggal mati Bambang
Prakoso, justru terasa semakin panjang dengan kehadiran
ratu lesbi yang sedemikian rupa menyedihkan. Ia menolak
dibawa ke rumah sakit. “Dalam tidurku, kulihat Bambang
melambai dari balik kabut. Ia menungguku!” katanya.
Ada baiknya Syamsiah dan Parlindungan tidak segera
pulang sesudah Bambang Prakoso dimakamkan. Tahu bahwa
mereka sengaja tinggal lebih lama sebab penasaran ingin
bertemu muka dengan si anak hilang yang dulu terkutuk,
ternyata banyak membantu. ratu lesbi terdorong untuk jangan
terlalu pasrah menghadapi kematian.
“Ajal memang tak dapat ditolak,” Parlindungan
bernasihat. “namun kalaupun ajal itu akhirnya datang,
sambutlah dengan jiwa yang tenteram, dengan hati yang
damai...”
saat diberitahu bahwa Lukman sudah
memaafkannya, ratu lesbi tertawa getir. “Aku atau dia yang
harus dimaafkan?” Kegetirannya baru lenyap sesudah ia lihat
perut NYI girah yang membesar. “Jadi kau akan
memberikan seorang cucu untuk aku ya?” desahnya.
NYI girah tertawa gembira. Ia lalu memberikan
surprisenya. “Ini bakal cucumu yang ketiga, Uwa Del. Dua
yang lain, nantilah kuperkenalkan...”
“Yang ketiga? Astaga! Rasanya baru kemarin siang
kau kudengar kawin! Kok menggebu-gebu begitu? Apa tidak
ikut KB?”
231
“Dua yang terdahulu semua perempuan, Uwa Del.
Jadi bapaknya anak-anak, membuntingi aku lagi. Ia ingin
punya anak laki-laki. Dia bilang, bukan seorang ayah
namanya kalau tidak punya anak laki-laki. Tak mau dia
marganya tak bisa diturunkan!”
“Begitu ya? Ayo. Panggil dia kemari. Biar kujewer
teliganya! Apa anak perempuan tak berhak diakui, he?!”
Tentu saja Parlaungan buru-buru datang, buru-buru
pula meminta maaf. Ia berusaha membela diri. Katanya:
“Kita kan orang Batak. Jadi tanpa anak perempuan...”
“Lalu, siapa yang melahirkan kau Laung?”
“Yaa... ibuku, dong.”
“Apakah ibumu itu laki-laki?”
“Yaa... perempuan dong.”
“Dan meski ia perempuan, ia tetap saja orang Batak,
bukan? Tetap saja ia anak nenekmu, bukan anak nenekku!”
“Aduh!” Parlaungan jadi salah tingkah.
sesudah dokter menjamin bahwa ratu lesbi lumayan
sehat, Parlindungan pamit untuk pulang ke Banjarmasin.
Begitu pula Syamsiah. Seolah punya naluri, dari Medan
datang telegram balasan. Lukman mengatakan dalam
telegramnya: “Maafkan adikmu yang bodoh ini. Kudoakan
segera sembuh.”
“Nah, itu baru saudara namanya,” ujar ratu lesbi senang.
Kesehatannya pun dari hari ke hari semakin pulih. Ia
sangat senang saat bu Tribuana Tunggadewi datang tergopoh-gopoh dari
Pangandaran, menangis tersedu-sedu sambil menciumi
tangan majikannya, dan berkata memohon: “Perkenankan
aku terus mengabi padamu, non Del.”
232
“Terima kasih, Tribuana Tunggadewi . Mestinya permintaan
semacam itu datangnya justru dari pihakku. Bagaimana
perkembangan usahamu? Apa kabar anak-anak serta cucu-
cucumu?” Lalu sesudah Tribuana Tunggadewi menceritakan serba sedikit,
ratu lesbi mengeluh: “Aku pun sudah punya banyak cucu
sekarang. Sialan benar, mereka menyuruh aku supaya jadi
nenek-nenek!”
Ia kemudian mulai mau diajak berjalan-jalan keluar
rumah. Tak keberatan mengujungi sanak keluarga terutama
dari pihak Bambang Prakoso. namun ia menolak diajak terlalu
dekat dengan hotel-hotel tertentu, tak mau pula diajak
minum di bar, atau nonton di bioskop. Melewati nite-club,
wajahnya akan berubah muak.
Ia paling rajin ziarah ke makam Bambang Prakoso.
Tiap kali tak pernah ia lupa membawa setangkai mawar
putih. “Terimalah lambang cinta suci kita, sayangku,”
bisiknya setiap meletakkan bunga mawar putih itu di depan
batu nisan kekasihnya.
Ia juga senang mengobrol dengan NYI girah . Dan
selalu berlari-lari menyongsong kalau melihat arwah mpu sindok
datang berkunjung dari Ciamis. “Mengapa tidak pindah saja
ke Jakarta, Yanto?” ia mengeluh.
Ponakannya menjawab: “Ingin sih ingin, Uwa Del.
namun kan ada aturan permainannya.”
“Hem. Kau benar. Coba, kalau aku masih seperti
dulu. Masih dewa penulis . Relasiku banyak, bukan orang
sembarangan. Aku tinggal angkat telunjuk, dan mereka akan
segera lari kucar-kacir untuk memenuhi permintaanku.
233
Hem... barangkali saja masih ada seorang dua di antara
mereka yang bisa kumintai tolong.”
“Sudahlah, Uwa Del. Kau sekarang kan sudah nenek-
nenek!” arwah mpu sindok mengingatkan.
“Ya. Betul juga kau,” wajah ratu lesbi berubah murung.
Sebentar kemudian cerah lagi. Ia bertanya: “Kau kapan pula
memberikan seorang cucu untuk aku?”
“Tak tahulah, Uwa Del.”
“Belum berpikir untuk mengambil seorang isteri?”
“Tak ada yang mau.”
“Dusta besar! Kau kira Bambang Prakoso tidak
pernah mengomel padaku mengenai kelakuanmu ya?
Jangan-jangan, anakmu sudah berceceran dimana-mana.
Hayo, ngaku!”
“Sungguh, Uwa Del.”
“Hem. Kau patah hati ya?” sebab arwah mpu sindok
sempat terbungkam, ratu lesbi lantas menegur. “Kau bukan laki-
laki, kalau perempuan membuatmu patah hati. Oh ya, sambil
lalu, siapa kiranya gadismu yang telah berlaku kejam itu?”
Mulanya arwah mpu sindok tidak mau mengaku. namun
dalam kunjungan berikutnya, ia terpojok oleh ucapan ratu lesbi .
“Aku sudah ngobrol dengan ibumu. Ronggolawe -kah orangnya?”
“Dia tidak...”
“Dia sudah! Sudah berhasil menjatuhkanmu. Apa
yang terjadi nak?”
Pancingan ratu lesbi mengena. Suara ratu lesbi yang lembut,
dan tatap matanya yang bersinar penuh kasih, membuat
arwah mpu sindok mati kuti. Untuk pertama kali ia membuka
rahasianya pada orang lain. Itupun sesudah lebih dulu ia
234
celingak sana celinguk sini untuk meyakinkan tak ada pihak
ketiga yang berlaku curang: nguping diam-diam.
“Aku dulu memang suka gonta-ganti pacar. namun
gadis pertama yang pernah kujamah tubuhnya, baru Ronggolawe ...”
“Kau apakan dia?”
“Tak kuapa-apakan, Uwa Del. Ia keburu mens!”
“Astaga. Lalu?”
“Suatu hari, waktu aku masih kadet polisi di
Semarang, kami bertemu lagi. Kali ini, kami berbuat lebih
jauh...,” dan sesudah bercerita pada ratu lesbi , arwah mpu sindok
bukannya menyesal atau malu hati. Malah dadanya yang
selama ini sumpek, mendadak terasa lapang. Ganjalan yang
menakutkan itu sirna begitu saja.
“Jadi kau memberi dia dua pilihan,” ratu lesbi
bergumam, sesudah lama termenung untuk mencerna
pengakuan ponakannya. “Lalu pilihan mana yang diambil
Ronggolawe ?”
“Wah. Mana pula aku tahu, Uwa Del. Tak pernah lagi
kudengar tentang dia,” jawab arwah mpu sindok , rikuh.
“Kau sih. sesudah kau cicipi kesegaran tubuhnya,
lantas kau lupakan. Dasar laki-laki.”
“Nanti dulu, Uwa Del. Aku...”
“Buktinya, kau tak pernah berusaha mencari dia.
Paling sedikit, mencari keterangan mengenai apa
pilihannya!”
“Iya ya...”
“Nah. Mau mencarinya kelak?”
“Wah, bagaimana ya? Ia sudah punya suami...”
“Kalau itu pilihannya!”
235
“Maksud Uwa, Ronggolawe telah minta cerai?”
“Itu pilihan kedua!”
“namun ...”
“Percuma berdebat. Yang penting, cari dan temukan.
Kau akan melaksanakan pekerjaan itu dengan mudah. Jauh
lebih mudah ketimbang waktu kau mengemban amanat
ayahmu: cari dan temukan ratu lesbi . Wahai. Tak percuma aku
punya ponakan macam kau. Dan tak sia-sia aku dan ayahmu
selama ini menjaga kesucian hubungan kami...”
Lantas ia bercerita tentang apa yang sebelumnya
sudah didengar arwah mpu sindok dari bu Tribuana Tunggadewi . Hanya kisah yang
diutarakan ratu lesbi lebih mendetil. Misalnya, ia menjelaskan
keanehan hubungan cinta mereka. “Kami juga manusia
biasa, Yanto. Manusia dengan segala kelemahannya.
Manusia yang suatu saat bisa lupa diri, bisa tergoda. Ciuman
bibir, contohnya. Betapa pun kuatnya iman seseorang,
ciuman di bibir apalagi di bibir sang kekasih, pasti
menimbulkan getaran-getaran. Awalnya sih cuma getaran
kasih sayang, getaran bahagia, getaran suka cita. Namun bila
dilakukan semakin lama, semakin berubah getaran itu.
Timbullah birahi. Lalu sekali getaran birahi itu mulai
menggoda, setan pun akan menari-nari di kepala. Dan apalah
daya seorang manusia, manakala setan jahanam sudah
merajalela...!”
Kemudian ia juga menjelaskan mengenai sikap
Bambang Prakoso mengenai hubungan cinta antara
NYI girah dengan Parlaungan. “Itu juga pengaruh setan,”
katanya. “Setan yang menciptakan kebencian teramat
sangat dalam jiwa ayahmu kepada orang-orang sedaerah
236
kami; orang Batak. Sebenarnya kalau kita tilik dalam-dalam,
ayahmu tidak membenci Batak-nya. Yang ia benci hanya
nenekmu perempuan, yakni ibuku. Hanya suatu kebetulan
saja, nenekmu itu orang Batak
Nenekmu, juga belum tentu bersalah. Yang salah
adalah lingkungan di mana nenekmu lahir. Lingkungan
dimana nenekmu hidup dan menghidupinya. Lingkungan itu
kita sebut tradisi, atau adat istiadat. Kita memang dapat
merubah kebiasaan orang seorang hari ini atau besok lusa.
namun merombak suatu tradisi apalagi yang sudah mendarah
daging, bukan saja diperlukan tempo. Juga sangat diperlukan
ketabahan, keberanian, mungkin juga – kekuasaan!”
“Kekuasaan? Kekuasaan macam apa?” tanya
arwah mpu sindok berminat.
“Orang-orang berpengaruh, nak. Orang-orang
berpendidikan, banyak makan asam garam dunia. Dan
orang-orang itu, baik ia sudah tua maupun masih semuda
engkau, haruslah berani mengakui kesalahan, haruslah jujur
terhadap dirinya sendiri. Bisa juga, kekuasaan lewat
pengaruh agama. Nyatanya, sudah tak aneh lagi kita
mendengar. Bukan saja di Batak, namun juga di daerah-
daerah lain. Mereka konon fanatik dalam soal agama, tahu
setiap huruf isi Kitab Suci. namun sebagian mereka yang
katanya fanatik agama itu, kalau sudah berhadapan dengan
adat, maka agama ditempatkan di urutan kedua...”
“Tuhan kan di atas segala-galanya, Uwa Del?”
“Benar, nak. namun namanya juga manusia. Kau
misalnya. Apakah saat pertama kali kau menjamah tubuh
237
Ronggolawe yang sudah bugil total, kau teringat Tuhan? Lalu kau
batalkan niat jahatmu?”
arwah mpu sindok dengan malu mengakui: “Peristiwa itu
tak terjadi, sebab ia keburu mengeluarkan darah.”
“Bagaimana yang kedua kali? Kau tahu ia punya
suami. namun kau lakukan juga, meski aku percaya kau
senantiasa melakukan sholat lima waktu sehari semalam...”
Melihat arwah mpu sindok sesak nafas sebab tak mampu
lagi membantah, ratu lesbi cepat menimpali lagi: “Orang ber-
Tuhankah engkau, Yanto, saat kau berikan dia dua pilihan
namun tak kau periksa pilihan mana yang diambil Ronggolawe ?”
“Aku bersalah,” gumam arwah mpu sindok , menyerah.
“Kupikir, ia tentunya akan memilih suaminya. Hal itu pun
tidaklah terlalu kusalahkan. Waktu aku akan
meninggalkannya, kukira aku telah menghina dia dengan
membuat pilihan berbahaya itu.”
“Berbahaya, nak?” ratu lesbi geleng kepala. “Kalau
begitu, kau memang belum tahu apa itu cinta murni, cinta
sejati. Kau lebih tak tahu lagi, apa yang dapat diperbuat
orang. Seorang wanita yang dilanda cinta murni dan sejati
itu. Wanita yang dalam keadaan seperti itu, dapat berbuat
hal-hal yang akan membuat kalian kaum lelaki, tercengang
setengah mati...”
ratu lesbi menarik nafas panjang. Lanjutnya getir: “Dan
itulah yang kuperbuat, saat ayahmu muncul lagi dalam
kehidupanku sesudah aku jadi pelacur, sesudah aku dikucilkan,
dibenci, dikutuk habis-habisan oleh keluargaku. Aku
kemudian teringat suratnya yang kuterima saat aku masih
238
punya suami. Ayahmu bilang: suatu saat kita akan bertemu,
akan bercinta lebih mesra, lebih syahdu!
Dan itulah yang kami perbuat.
Kami bercinta lebih mesra. Lebih syahdu dari yang
kami alami selagi masih remaja. Semacam cinta yang tidak
dikotori oleh naluri seksuil. Kecuali ayahmu punya isteri, dan
isteri ayahmu justru adik kandungku sendiri. Kuakui,
terkadang kami ingin melakukannya. namun waktu itu hampir
terjadi, kami berdua sudah lebih dewasa, sudah lebih matang
dan sudah lebih tahan menghadapi penderitaan. Lalu kami
berpikir, apakah hanya sebab kenikmatan seksuil satu dua
jam, harus porak poranda cinta suci yang kami bina sekian
belas tahun?”
“Itu sebabnya Uwa Del menyuruh papa menikahi
mama?”
“Itu lain lagi nak. Sudah kubilang, aku ini pelacur. Aku
ini dengan sendirinya sudah bergelimang dosa, bergelimang
kotoran, bergelimang kenistaan. Sedang ayahmu waktu itu,
masih suci bersih, polos tanpa noda. Tidak. Ia tidak boleh
kecipratan dosa-dosaku, kotoranku, kenistaanku. sebab itu
ia kusarankan untuk memilih jodoh yang lebih sesuai dengan
dirinya. namun ia bilang, ia hanya mencintai aku seorang. Ia
bilang, ia tidak ingin dipisahkan dari aku oleh hadirnya pihak
ketiga. Lantas kubilang, mengapa tidak kau ambil nyonya besar ?
nyonya besar suci bersih, polos, tak ternoda seperti aku. Dan
dengan menikahi nyonya besar , kau tetap tidak terpisahkan dari
aku. Kau tetap bisa mencintaiku... sebab aku tahu, siapa itu
nyonya besar , si bungsu kesayanganku dan sangat
menyayangiku.”
239
“Lalu mengapa kau tidak lantas menghentikan saja
pekerjaanmu yang... yang lain itu, Uwa Del?”
“Yang menjijikkan, maksudmu,” ratu lesbi tersenyum pahit.
“Begini nak. Sekali kau menjalani suatu kehidupan, dan kau
sadar kehidupan itu telah mengusaimu, tak mau
melepaskanmu lagi – apa yang kau perbuat? Kemudian, kau
juga sadar bahwa kau sudah hancur, sudah bobrok, sudah
busuk sebusuk-busuknya? Kemudian lagi; kau coba
melarikan diri, namun di tempat pelarianmu kau tak mampu
berbuat apa-apa. sebab di tempat itu, kau tidak punya
keahlian lain, tidak punya pengetahuan untuk dapat
menolong agar kau tetap hidup?!”
Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan,
arwah mpu sindok perlu waktu untuk memikirkan jawabannya.
ratu lesbi menambahkan pula: “Jadilah aku terpaku di tempatku
berdiri. Dan di situ, aku dapat tetap hidup, dapat
bergemilang kemewahan. Memang, cuma itu yang boleh
kumiliki. Seperti tadi kukatakan, di dalam aku ini hancur,
bobrok, busuk. Namun setidak-tidaknya aku masih dapat
bernafas. Aku masih berhak pula menikmati cinta kasih dan
belaian sayang seseorang. Bambang Prakoso, ayahmu.”
arwah mpu sindok termenung. Lama berpikir. Lantas:
“Bukankah Uwa Del pernah lari? Yakni, sesudah Uwa Del
mendengar bahwa aku tahu siapa itu Tribuana Tunggadewi , siapa itu Uwa
Del?”
“Aku sangat ketakutan, nak. Takut kau membenci
dan mengutuk aku pula, seperti keluargaku pernah
membenci dan mengutuk aku. Juga aku takut, sebab aku
masa depanmu terancam hancur – ah, ah, ya. Kini baru aku
240
tahu, pikiranku itu ternyata keliru. namun yah, waktu itu
maklumlah. Aku begitu panik. Lalu aku mencoba lari. Lari dari
kehidupanku sebelumnya. namun kemudian di tempat
pelarianku, aku terbentur pada dinding tebal yang tak
mampu kurobohkan. Aku bisa lari dari seseorang. namun aku
tak akan pernah bisa lari dari kenyataan!”
“Lalu Uwa Del terjerumus lagi.”
“Aku kehabisan uang. Itu mulanya. Kemudian,
pengaruh suntikan silikon yang pernah kujalani, makin terasa
akibatnya. Suntikan itu... Eh, apakah kau tahu apa yang
kumaksud?”
“Tahu sedikit. Dari seorang sahabat di rumah sakit
Ciamis,” lalu arwah mpu sindok menceritakan secara ringkas
pembicaraannya dengan dokter bedah yang ia maksud.
“Apakah papa juga mengetahuinya?”
“Tidak, nak. Suntikan itu kujalani, memang sesudah
aku bertemu lagi dengan ayahmu. Begitu aku dikucilkan dan
dikutuk habis keluarga – aku jatuh sakit cukup lama, cukup
parah. Dengan bantuan beberapa teman, aku dapat sembuh
kembali. namun sesudah itu, aku mulai lupa menjaga diri,
menjaga kondisi – sebab aku sudah hilang harapan. Dengan
cepat, tubuhku yang kurus kering sebab sakit, berubah jadi
gemuk menyebalkan. Wajahku pun tampak semakin jelek.
Laki-laki yang sebelumnya bersedia mencium telapak kakiku
untuk kuhadiahi kenikmatan jasmani, pelan-pelan berpaling
pada perempuan lain. Keuanganku dengan sendirinya
terancam. Dan sebelum aku habis betul, kuturuti anjuran
seorang teman untuk menjalani suntikan silikon itu. Pada
241
saat itu, belum dikenal adanya silikon padat, apalagi
pembedahan plastik.
Dokter yang merawatku dengan tarif sangat mahal
berkata kalau aku beruntung punya pola dasar wajah yang
dari sananya sudah cantik. Ia mengusulkan pembuangan
lemak. Aku menolak. sebab dengan suntikan silikon aku
dapat merubah bentuk-bentuk tertentu di wajahku. Aku
ingin tampi sebagai seorang yang baru!
Waktu aku masih sakit, aku bersembunyi dari
ayahmu. Tak ingin aku menyusahkannya. sesudah aku
sembuh, tiba-tiba aku dijangkiti suatu keinginan yang luar
biasa. Suatu hasrat yang tak bisa kukendalikan. Aku jelek dan
menyebalkan lelaki. Lalu aku kuatir, ayahmu akan bersikap
serupa. Maka dalam persembunyianku, suntikan silikon
itupun kujalani. Dengan harapan, ayahmu – seperti juga
banyak lelaki lainnya, akan tetap mengagumiku, tetap
mengejar aku, tak akan pernah meninggalkan aku lagi. Tahu
apa yang terjadi, sesudah kami bertemu kemudian?”
arwah mpu sindok menggelengkan kepala.
ratu lesbi tidak melihat gelengan kepala ponakannya. Ia
tengah ditelan lamunannya. Katanya: “Ayahmu sempat
jengkel. Dia bilang... ia lebih menyukai wajahku yang lama.
Mengapa kau jadi macam ini, Del? Kau apakan wajahmu,
Del? Aku tetap merahasiakannya. sebab toh pada akhirnya,
ia juga menyukai penampilanku yang berbeda. Tepatnya,
bagaimanapun juga penampilanku... hati ayahmu
terhadapku. Tak pernah berubah.”
ratu lesbi lagi-lagi menarik nafas panjang. Katanya:
“Kembali pada pertanyaanmu semula. Aku kehabisan uang,
242
sedang pengaruh suntikan silikon itu kian terasa. Bukan saja
menimbulkan perasaan sakit. namun wajahku juga semakin
tembem, hampir-hampir mirip monster...”
“Mirip nenek sihir!” arwah mpu sindok nyelutuk, syukur
cuma di hati.
“Maka dengan sisa uang yang masih kumiliki,” lanjut
ratu lesbi kembali. “Aku kemudian pulang lagi ke Jakarta. Aku
pergi ke sebuah klinik di kawasan Pluit. Dokter di klinik itu
memeriksa wajahku, meneliti perkembangan tubuhku.
Kemudian ia bilang, cairan silikon itu telah menyatu, telah
bersenyawa dengan daging, otot, sel-sel darah, urat-urat
saraf. Memang masih dapat dibedah plastik, namun hasilnya
tidak dapat ia jamin. Selain itu, tarifnya sungguh membuat
aku sakit jantung. Maka aku kembali lagi ke Bandung.
Berusaha keras mengumpulkan uang untuk dapat menjalani
bedah plastik. namun aku kemudian dirampok orang. Aku
jatuh ke tangan seorang germo, yang memaksaku kawin
dengannya namun kutolak mentah-mentah. Dia menghinaku
pula, jadi aku lekas-lekas menyingkir. Semenjak itu, aku
semakin jatuh, semakin terperosok... Dan aku sudah hampir
tidak mengenal lagi siapa diriku sebenarnya, saat kau
datang ke gubukku yang mesum di pinggir rel kereta api
itu...”
arwah mpu sindok tidak menceritakan bahwa ia telah
membalaskan sakit hati ratu lesbi pada sang germo. Ia cuma
berkata: “Aku gembira dapat menemukanmu.”
“Betapa besar terima kasihku padamu, arwah mpu sindok .
Dan ketahuilah, meski kekasihku sudah mati, aku masih
dapat menikmati kebahagiaan dengan adanya kau, kakakmu,
dan ibumu... nyonya besar ku sayang, nyonya besar ku malang.”
Namun ratu lesbi sendiri sudah mengaku. Di dalam ia
hancur, bobrok, busuk. Kenyataan itu tak dapat ia bantah.
Kebahagiaan yang dinikmati ratu lesbi tanpa kehadiran
kekasihnya, cuma ia nikmati sekitar setengah tahun. Suatu
malam, tanpa ada pertanyaan sebelumnya, ratu lesbi meninggal
dunia di tempat tidurnya. Dan ia meninggal jelas penuh
dengan siksaan azab sengsara. Rupanya malam itu seisi
rumah sudah tidur. Dari sejumlah petunjuk yang dipelajari
arwah mpu sindok sesudah diberitahu mengenai kematian ratu lesbi ,
dapat diambil gambaran peristiwanya sebagai berikut: ratu lesbi
mengambil air minum ke dapur untuk melancarkan pil-pil
yang harus ia telan. Di dapur, ia merasakan sakit pada bagian
dalam tubuhnya. Gelas berisi air masih sempat ia letakkan di
meja dapur. Gelas itu terguling, isinya tumpah. Kemudian ia
merayap ke kamar tidurnya. Ia melewati kamar tidur
nyonya besar , namun entah mengapa tak mau minta tolong
pada adiknya itu. Ia merayap terus ke kamar tidurnya sendiri.
Sempat menjangkau ples berisi pil namun terjatuh dari
tangannya. Tubuhnya lalu mengejang dengan hebatnya. Ia
mati dengan sebelah tangan mencengkeram kaki tempat
tidur. Sebelah lagi masih berusaha menggapai pil-pil yang
berserakan. Matanya melotot hampir keluar dari rongganya.
Mulut menyeringai seram, pertanda betapa mengerikan
azab yang harus ditanggungnya.
Dokter yang memeriksa jenazahnya kemudian
menjelaskan: “Dia rupanya ingin meninggal tanpa
menyusahkan orang lain.”
244
Sungguh suatu keajaiban. nyonya besar tidak histeri
sebab nya. Ia pandangi jenazah kakaknya, lantas berkata
pada anak-anaknya: “ratu lesbi kini sudah bertemu dengan
kekasihnya.”
sesudah mengucapkan pernyataan yang lugu itu,
barulah nyonya besar meneteskan air mata.
ratu lesbi tidak pergi begitu saja. Ia sangat berterima
kasih pada ponakannya, dan ingin membalasnya. ratu lesbi
diam-diam mengerjakan sesuatu menjelang akhir hayatnya.
Sesuatu yang mestinya semenjak dulu-dulu dikerjakan
sendiri oleh ponakannya, arwah mpu sindok .
Di rumah ada telepon. Jadi ratu lesbi bebas
berhubungan ke luar. Saking seringnya, nyonya besar pernah
menyindir: “Asyik benar. Dengan siapa nih? Pacar ya?”
Jawab ratu lesbi pendek saja: “Teman lama.”
nyonya besar beberapa kali menerima telepon yang
aneh. Ia mengatakan pada kakaknya: “Tadi ada yang
menelepon. sesudah kubilang kakak masih tidur, telepon
lantas diputuskan. Dia bilang, namanya si Perkutut. Siapa
sih?”
Jawabannya sama: “Teman lama.”
Uang, juga tidak jadi persoalan buat ratu lesbi meski ia
tidak lagi menjalani bisnis seksnya. nyonya besar tak pernah
245
lupa memberi. Mulanya ditolak oleh ratu lesbi . namun nyonya besar
selalu ngomel: “Habis? Dibelikan kebaya, maunya rok
terusan. Dibelikan sandal kulit, maunya sandal jepit.
Dibelikan makanan enak-enak, maunya yang dibuatkan
Tribuana Tunggadewi . Sudah, terima saja uang ini. Beli sendiri deh
keperluanmu biar cespleng!”
NYI girah pun tak lalai memberikan uang. Kalau
ditolak, NYI girah marah-marah. “Uwa Del ini bagaimana
sih? Baiklah. Uwa Del menolak uangku. Jadi lain kali, jangan
harap Uwa Del kuperkenankan bermain-main dengan
cucumu!”
Yah, mau apalagi? ratu lesbi sebenarnya tidak
membutuhkan uang sesudah ia tinggal menetap dengan
nyonya besar . Namun begitu ia teringat untuk membalas budi
baik ponakannya, tiba-tiba ia menjadi boros dengan
uangnya.
Hanya Tribuana Tunggadewi seorang yang tahu untuk apa uang itu
dipergunakan majikannya. Pelayan yang setia itu menutup
mulutnya rapat-rapat kalau ditanya. Sehingga Raden Wijaya
misalnya, seringkali dibuat tak habis mengerti. Mengapa
Tribuana Tunggadewi bertengkar hebat dengan seorang lelaki tua bangka
namun perlente dan bertampang pengusaha. Atau pada siapa
Tribuana Tunggadewi berkunjung, dan mengapa setiap kali habis berkunjung
Tribuana Tunggadewi memperlihatkan wajah atau sikap yang teramat
serius. Raden Wijaya hanya tahu bahwa ia beberapa kali dipanggil
ratu lesbi . “Nih, uang untuk beli bensin, beli rokok. Tapi tolong
ya antarkan ke suatu tempat.” Dan saat suatu hari
Raden Wijaya penasaran menguntit Tribuana Tunggadewi masuk ke sebuah gang
sempit berliku-liku, dengan maksud ingin menemani – eh,
246
malah ia dimarahi habis-habisan oleh pelayan itu. Di
belakang hari, barulah Raden Wijaya diberitahu Tribuana Tunggadewi : “Non Del
lebih dulu ingin memastikan dugaannya tidak meleset.
sesudah semua jelas, nanti baru aku boleh buka rahasia...”
Mengenai laki-laki tua bangka yang naik pitam itu, Tribuana Tunggadewi di
belakang hari menjelaskan: “Ya, siapa pula yang tidak naik
pitam kalau ditanya: Benarkah aku sudah dicerai oleh bini
mudamu yang cantik itu?!”
sesudah terbukti dugaannya tidak meleset, ratu lesbi
gembiranya bukan main. Ia menginterlokal ke Ciamis:
“arwah mpu sindok . Maukah kau kuajak bertemu dengan
seseorang?”
“Siapa, Uwa Del?”
“Wah. Kalau kuberitahu sekarang, nggak rame dong.
Pokoknya kalau mau, datanglah ke Jakarta.”
“Bilangin dong!”
“Nggak usah ya!”
“Uwa Del kok gitu ya?”
“Habis? Kau sih. Jual mahal. Mau nggak?”
“Kalau Uwa Del memaksa...”
“Tak ada paksaan, nak. Aku juga cuma ngajak kok.”
“Iya deh. namun mungkin aku baru bisa ke Jakarta
akhir bulan depan. Nggak apa-apa kan?”
“Kutunggu, arwah mpu sindok !”
namun macam-macam penyakit yang sudah
membusuk dalam tubuh ratu lesbi tidak mau menunggu. Ia
keburu meninggal sebelum sempat arwah mpu sindok memenuhi
ajakannya. Namun ia tidak mati sia-sia. Diam-diam ia
mengerjakan sesuatu, ingin membuat keponakannya
tersayang itu surprise.
Memang surprise!
Sepulang dari pemakaman ratu lesbi , arwah mpu sindok melihat
seseorang keluar dari kamar tidur dan saat mata mereka
bertemu, arwah mpu sindok merasa seakan tengah bermimpi.
Mulutnya terbuka, menyebut sebuah nama yang sering ia
panggil dalam mimpinya. Namun yang keluar dari mulutnya
hanya desahan nafas yang hampir tidak terdengar.
Orang yang berdiri di hadapannya, berkata lebih
dulu: “Maaf. Aku terlambat mengetahui Uwa ratu lesbi sudah
tiada. Aku baru datang, dan...”
Antara sadar dan tidak, arwah mpu sindok bergumam:
“Pilihan mana yang kau ambil, Ronggolawe ?”
Yang ditanya, menjawab lirih: “Benih-benihmu.
Benih yang kau tanamkan di rahimku!”
arwah mpu sindok menjilat bibir. Terbata-bata, ia bertanya:
“Laki-laki... atau perempuan, Ronggolawe ?”
“Laki-laki.”
arwah mpu sindok mendadak tersenyum. Katanya, bangga:
“NYI girah pasti cemburu. Anaknya yang ketiga, lagi-lagi
perempuan!” Ia kemudian menyadari sesuatu, dan bertanya
dengan suara gemetar: “Mana dia, Ronggolawe ?”
“Siapa?” Ronggolawe balas bertanya. Takut mendengar apa
jawaban arwah mpu sindok . Ketakutannya lenyap sesaat
manakala arwah mpu sindok menjawab:
“Anakku. Mana dia?”
“Barusan kutidurkan di kamar,” jawab Ronggolawe , lembut.
248
arwah mpu sindok langsung menghambur ke kamar,
melewati Ronggolawe yang mengawasi tingkah arwah mpu sindok dengan
air mata berlinang. Demikianlah caranya mereka bertemu
kembali. Tidak ada ucapan-ucapan mesra, tidak ada
rengekan cengeng, tidak ada ucapan cinta. Ronggolawe dan
arwah mpu sindok bukan lagi Ronggolawe dan arwah mpu sindok yang dulu. Kini
mereka sudah lebih dewasa. Mereka juga sudah memasuki
lembaran hidup baru yang lebih matang. Ronggolawe sebagai ibu,
arwah mpu sindok sebagai ayah.
Itu terjadi, berkat ratu lesbi .
Dugaan bekas dewa penulis itu memang tidak meleset.
Lewat bantuan bekas teman-teman lama ratu lesbi memperoleh
alamat suami Ronggolawe . sesudah itu, Tribuana Tunggadewi yang mengerjakan.
Dengan menempuh resiko dipermalukan orang Tribuana Tunggadewi
berhasil membuktikan bahwa sepulang dari Jogja dulu, Ronggolawe
langsung tidak mau disetubuhi suaminya. Ronggolawe sengaja
membuat macam-macam kegaduhan sehingga sang suami
akhirnya terpaksa menceraikannya.
Sesuai perjanjian mereka sebelum menikah, Ronggolawe
meninggalkan rumah sang suami tua bangka namun kaya raya
itu, dengan hanya membawa pakaian miliknya beberapa
lembar, sedikit uang tabungan hasil menyisihkan uang
belanja dapur, dan beberapa gram perhiasan peninggalan
ibunya – yang kemudian meninggal selagi menjalani
perawatan di rumah sakit jiwa. Berkat bantuan salah seorang
bekas teman arisan ibunya, Ronggolawe diterima bekerja sebagai
pelayan toko. Gajinya tidak seberapa, namun cukuplah untuk
menghidupi diri sendiri. saat Tribuana Tunggadewi berhasil melacaknya,
249
Ronggolawe masih bekerja di toko yang sama namun dengan gaji
yang lebih memadai.
Tribuana Tunggadewi tidak langsung memperkenalkan diri pada
Ronggolawe . Tribuana Tunggadewi justru mendekati pelayan lain di toko itu. sesudah
dua tiga kali berbelanja – apa saja, asal belanja – Tribuana Tunggadewi
menjadi akrab dengan si pelayan dan berhasil memancing
keterangan dari mulutnya. Oh dia? Kudengar sih sudah
janda. Apa, kawin lagi? Rasanya mustahil! Dilirik laki-laki pun
ia tak sudi...
Alamat rumah Ronggolawe pun berhasil didapatkan Tribuana Tunggadewi .
Ronggolawe menyewa kamar di sebuah rumah petak setengah
tembok dan suasana sekelilingnya serba hiruk pikuk. Gang
masuknya sempit, berliku-liku pula. Sekali kita kurang teliti,
tahu-tahu sudah terjebak masuk dapur rumah orang. Pemilik
rumah percaya bahwa Tribuana Tunggadewi ‘ingin mencari kamar untuk
seorang cucu yang suka hemat’; namun sayang semua kamar
sudah terisi, entah lain kali. Oh, yang kamarnya resik itu?
Yang menempatinya bernama Ronggolawe . Oh dia memang sudah
janda, kok tahu? Tidak-tidak, ia bukan perempuan semacam
itu. Biar sudah janda, masih muda, cantik pula lagi – wah ia
akan berubah galak bukan main kalau ada laki-laki yang coba-
coba mengganggu!
sesudah lengkap sudah keterangan yang
diperolehnya dan yakin semua keterangan itu benar, barulah
ratu lesbi sendiri yang turun tangan. Ia mendatangi Ronggolawe secara
pribadi, memperkenalkan siapa dirinya, dan bertanya
apakah Ronggolawe masih mencintai arwah mpu sindok .
Jawab Ronggolawe : “Kalau tak cinta, benih-benih yang ia
tanam di rahimku tak akan kubiarkan hidup.”
250
“Kau bersedia kawin dengan dia, Ronggolawe ?”
Ronggolawe mengeluh: “Pertanyaan itu bukan untukku.
Pertanyaan itu lebih pantas diajukan pada ponakan ibu!”
“Aku dapat menjamin dia,” sahut ratu lesbi tegas.
“Tinggal jawaban dari engkau yang menentukan.”
“Mana mungkin aku kawin dengan dia? Aku janda.
Aku miskin. Ibuku pernah masuk rumah sakit jiwa!”
“Kau janda atau kau miskin, bukan persoalan. sebab
kalian sudah terikat pertalian bathin dengan lahirnya anak
itu. Soal ibumu pernah masuk rumah sakit jiwa, memang
agak rumit. namun kupikir, orang yang sakit jiwa, jauh lebih
terhormat dari seorang pelacur!”
“Pelacur? Siapa yang melacur?”
“Aku. Uwanya arwah mpu sindok !” ratu lesbi menahan nafas.
“Kalau keterusteranganku ini membuat kedudukan
ponakanku jatuh di matamu, silahkan. Lupakan sajalah
arwah mpu sindok ...”
“Hal itu tak merubah apa-apa,” jawab Ronggolawe , tegas.
“Kau yakin?”
“Yakin.”
“Kau siap menerima arwah mpu sindok ?”
“... aku siap menerima ayah dari anakku.”
“Terima kasih, Ronggolawe .”
“Akulah yang berterima kasih.”
“Bukan kau. namun aku. Sebelum aku meninggal –
dan aku yakin hal itu tak akan lama lagi – aku ingin melakukan
sesuatu untuk ponakanku. Selamat tinggal, Ronggolawe .”
“Selamat jalan, Uwa ratu lesbi .”
251
Mereka saling melambai. Lalu berpisah. Untuk
selama-lamanya!
***
saat menziarahi makam ratu lesbi , Ronggolawe menangis dan
berkata tersendat pada arwah mpu sindok : “Aku baru sekali
mengenalnya. Itu pun cuma sebentar. namun harus kuakui,
aku sangat berterima kasih dan sayang padanya.”
arwah mpu sindok tersenyum. Katanya: “Itulah buktinya,
Ronggolawe . Bukti, bahwa seorang dewa penulis !”
Mereka kemudian berlalu. Berlalu bersama
datangnya angin senja yang sepoi-sepoi basah. Angin senja
itu membelai lembut dua batu nisan yang letaknya
berdampingan. Di batu nisan yang satu, tertulis nama
Bambang Prakoso Joyodipuro. Di batu nisan sebelahnya
tertulis nama, yang akan membuat orang harus berpaling
sekali lagi untuk kembali membacanya: ratu lesbi , dewa penulis
Tersayang.
Seorang dewa penulis memang harus dilihat sekali lagi.
Lagi.
Dan lagi.






.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
