ntuk berapa lama
tapi saat ini aku hanya ingin itu.”
Monik berkali- kali jatuh dalam hidupnya. Dia
kehilangan semua bagian terbaik dalam hidupnya.
Rumah mungil dan keluarganya hanyut dibawa
badai, dia selamat sebab bersembunyi dibawah
tempat tidur. Kaos kaki meyelamatkannya. Monik
tidak pernah bertanya lagi kecuali menaruh
hidupnya di dalam kaos kaki. Dia kesepian menjalani
hidupnya tapi dia tak pernah merasa sendirian, kaos
kaki yang terjatuh di bawah tempat tidur itu
membuatnya melompat dan ternayata detik
kemudian setelah itu badai datang dan menyisakan
dirinya yang memeluk kaos kaki wol rajutan ibunya.
74
Monik hanya butuh kaos kakinya untuk melanjutkan
hidupnya.
“Kita tidak pernah akan tahu, kapan kita terjatuh
dalam hidup. Menghadapi itu kita hanya cukup
untuk ingin merasa sakit sebab dengan itu kita akan
cukup sadar bagaimana cara yang baik untuk
menghadapinya.”
Setelah badai usai, Monik keluar dari runtuhan
rumahnya dan menemukan ayah ibunya tewas
dibawah reruntuhan. Monik tidak menangis saat itu,
Monik juga tidak pernah menangis setelah itu.
Mayat kedua orangtuanya dibawa petugas dan dia
tidak pernah tahu di mana mayat kedua orangtuanya
tersebut dimakamkan. Monik pergi menuju padang
rumput, dia berhenti di bawah pohon besar dan
tertidur. Dia bermimpi, dunianya berada di dalam
kaos kaki, di sana dia hidup bahagia sebagai pemilik
kebun bunga yang selalu mekar tanpa mengenal
musim. Di dunianya itu hanya ada musim hujan,
selalu basah dan selalu dingin maka dia hanya perlu
dibekap kaos kakinya, hanya kakinya sebab mimpi
itu meyakinkan Monik bahwa ketika kakinya hangat
dia akan mampu berdiri dan menghadapi apapun.
Setelah terbangun Monik akhirnya pergi dan
menemukan sebuah kebun bunga milik sebuah
keluarga kecil yang juga habis ditelan badai. Di
sanalah Monik tinggal, membenarkan sedikit tempat
untuk tidur dan lebih peduli dengan taman bunga
75
yang datang dalam mimpinya. Monik sadar dia
sendirian, tak punya apa-apa dan akan selalu merasa
kedinginan maka pilihan terbaik untuk menghadapi
itu adalah dengan mengenakan kaos kaki wol abu-
abunya sepanjang hari. Bukan untuk tidak merasa
dingin, tapi untuk bisa merasakan energi panas yang
mengalir di dalam tubuhnya untuk membuatnya
percaya dia masih akan terus hidup. Hidup butuh
Monik sebagai pelaku, dan Monik butuh kaos kaki
sebagai pilihan sekaligus alasan akan harapan.
Monik dan kaos kaki adalah dongeng terbaik
baginya. Cerita pengantar tidur atau pelipur
kesedihan paling logis menurutnya. Perempuan itu
yang mengantarkan cerita itu untuknya, perempuan
itu ingin anak laki-lakinya percaya tentang Monik
dan kaos kaki. Anak laki-laki itu memang akhirnya
percaya, baginya Monik diberikan kesulitan tapi
tidak benar-benar ditinggalkan. Monik memiliki
pegangan hidup. Monik percaya kaos kakinya adalah
berkah baginya, bagian yang sudah ditakdirkan dan
tak akan pernah meninggalkan kecuali ditinggalkan.
“Aku tidak ingin mati kaku. Semua ini terlalu ideal
dan akhirnya ego ini memintaku untuk memutuskan.
Berat memang kehilangan bagian sebaik ini, kamu
dan segala hal yang selalu mampu kamu hadirkan
sebagai bukti perasaan kamu.biarkan sekali ini aku
76
menentukan jalanku, bukan sebab terkekang
olehmu tapi sekali lagi merasa dirimu terlalu baik.”
Perempuan yang terus berusaha menemukan mata
laki-laki yang hanya diam di hadapannya itu akhirnya
membenarkan posisi duduknya. Posisi terakhir
sebelum kalimat terakhirnya, laki – laki itu sadar
benar tapi dia tetap memilih tak berkata apa-apa,
tetap diam dan seperti hanya harus menjadi
pendengar.
“Kalau suatu hari kamu menemukan pengganti,
belajarlah marah—belajarlah untuk menggugat apa-
apa yang tak kau kehendaki. Benar semuanya akan
indah pada waktunya tapi kamu tidak akan
menemukan manusia seperti malaikat yang
menjalani hidup dan menerima takdir sebagaimana
ditulis sebab di mata aku kamulah satu-satunya
malaikat itu.”
Malam itu akhirnya mengabur. Tak ada air mata di
sana, laki-laki itu sadar alam telah mewakili
perasaannya dengan hujan lebat tanpa henti di dua
malam terakhir. Laki-laki itu kembali kehilangan, dia
terjatuh bahkan mungkin sebut saja di lubang yang
sama, dia belajar tapi tak pernah memilih jalan baru.
Dia dan gagal adalah seperti Monik dan kaos kaki,
sebuah pegangan yang harus menjadi kepercayaan
agar berubah menjadi keyakinan. Dia percaya setiap
kegagalannya akan dibayar semestinya dengan apa
77
yang diharapkannya, seperti Monik yang tak pernah
menggugat setiap kesakitan dalam hidupnya hanya
sebab kaos kakinya.
Laki-laki yang mematung untuk melihat hujan itu
akhirnya berbalik. Dia ingat benar semua wejangan
ibunya, dia ingat benar bagaimana setiap perih yang
akhirnya mampir di hidupnya telah dipersiapkan
dengan baik penawarnya oleh perempuan itu. Laki-
laki itu membuka lemari dan meraih sebuah bagian
tersembunyi. Tangannya menggenggam 2 lembar
bahan wol dengan bentuk yang sangat familiar.
Perempuan itu telah tiada, tapi laki-laki itu ingat
benar setiap pesannya.
“Kalau malam dingin dan kamu tak sanggup
melawannya, kenakan ini. Percayalah bukan cuma
Monik yang bisa, kamupun begitu. Dingin memang
tidak akan bisa dicegah, dingin juga tidak akan bisa
dilawan tapi kamu bisa membuat semuanya menjadi
masuk akal untuk dijalani dengan memiliki keyakinan
dengan kaos kaki ini ketika kamu kedinginan
anakku.”
Sebaris senyum hadir, cepat sekali dan tak
tertangkap. Laki-laki itu memilih tidur dengan
mengenakan kaos kaki walaupun hujanpun telah
memilih pulang. Baginya, dia tetap tidak akan
pernah tahu kapan dia akan jatuh dalam hidup
begitupun soal cinta. Jatuh adalah sesuatu yang
78
tidak mampu dipikirkan, jatuh sebab sakitnya
adalah seuatu yang tidak akan pernah mau
direncanakan maka begitu manusia hanya perlu
menjalani takdirnya tanpa perlu marah dan
menggugat, setiap tempat telah disediakan untuk
setiap manusia dan hanya perlu waktu serta
keinginan untuk jatuh lebih dalam untuk tiba pada
takdir. Sakit itu baik, sakitpun mampu untuk dipilih
seperti Monik yang memilih kaos kaki.
79
Petualangan chucky
Aku adalah seekor ikan. Namaku chucky. Aku tinggal
di dalam laut, bersama sahabat-sahabatku. Ayah dan
ibuku sudah tak ada. Kami berpisah ketika sebuah
jala nelayan menyambar tubuh mereka berdua.
Waktu itu aku masih kecil. Aku berhasil meloloskan
diri dari jala nelayan. Aku tak lupa hari itu, ketika
Ayah dan Ibu berupaya keras mengeluarkanku dari
jala. Mereka mendorongku sekuat tenaga. Masih aku
ingat tatap cinta dan senyum mereka berdua ketika
akhirnya aku berhasil menceburkan diri kembali ke
laut. “Kami mencintaimu, jaga dirimu baik-baik,” itu
kalimat terakhir orangtuaku.
Mulanya aku merasa kesepian. Beberapa hari aku
hanya menangis saja. Tapi, kemudian sahabat
pertamaku, terumbu karang selalu menghiburku.
“Ayah dan ibumu pasti sedih melihatmu menangis.
Kamu tidak sayang pada mereka?” tanyanya. Aku
80
terdiam. “Tentu saja aku menyayangi mereka”
kataku sedikit kesal.
“Kalau begitu, ayo bermain bersamaku. Ada banyak
tempat menarik di rumahku ini. Kamu pasti
menyukainya. Ayolah!” bujuknya.
Itulah awal persahabatan kami. Sejak saat itu kami
lengket satu sama lain. Aku tak pernah lupa bermain
di rumahnya yang teduh. Berenang-renang seharian.
Berbagi canda dan cerita.
Seperti siang yang hangat ini. Aku sedang bercanda
di sekeliling tentakel terumbu karang ketika tiba-tiba
suara gemuruh dan retakan tanah di permukaan laut
pecah dan terbelah. Terumbu karang terlempar jauh
dan tubuhnya terburai. Aku terkesiap melihatnya.
Dadaku sesak seketika. Aku ingin menangis. Tapi
belum sempat aku mengatakan apa-apa, gulungan
air menghujam tubuhku dengan deras. Aku
terhempas naik dan turun, melayang-layang di atas
kumparan air dan turun..turun semakin dalam.
Tubuhku semakin ringan. Mataku berkunang-
kunang. Perutku mual. Aku ingin muntah. Dan
segalanya tiba-tiba gelap.
Entah berapa lama sebelum aku akhirnya sadar. Di
manakah aku? Sekitarku tampak pekat. Apakah
malam telah datang? Namun mengapa begitu
81
senyap di sini? Aku memaksa diri bangun. Kurasakan
tubuhku remuk redam. Tiba-tiba sebuah benda
warna-warni dengan kerlip cahaya lewat di
hadapanku.
“Hei, siapakah kamu?” tanyaku ragu. Sosoknya
mengingatkan aku pada salah satu sahabatku. Tapi,
ia sedikit berbeda. Semoga ia tak marah, doaku
dalam hati.
Makhluk aneh itu memalingkan wajahnya. Aku
terpaku. Ia tak punya mata. Tapi ia mendengarku.
Ia mendekatiku perlahan. Sinar kecil berpendar-
pendar di tubuhnya.
“Namaku Befo. Aku gurita laut. Siapa namamu?”
tanyanya ramah.
“Aku chucky,” kataku mengerjapkan mata, sambil
mencari sesuatu di tubuh gurita laut itu.
“Kau tampaknya tersesat di tempat kami ya?” tanya
Befo kembali.
“Begitukah? Memang ini di mana?” tanyaku sambil
memicingkan mata.
82
“Ini laut dalam. Makhluk sepertimu seharusnya ada
di atas sana. Apa yang membuatmu ke sini?”
“Aku terlempar tiba-tiba. Sepertinya ada gempa di
tempatku. Dan ledakan besarnya mengantarkan aku
ke sini.”
“Wow, pasti ledakan yang sangat dahsyat. Ayo! Mau
aku antar kau pulang?” Befo menawarkan diri.
Kau.. betulkah? Tapi, apa kau tahu arah tempat
tinggalku?” tanyaku hati-hati, takut menyinggung
perasaannya.
“Maksudmu? Ah ya, aku tahu. Kau meragukanku?”
tanya Befo sambil tersenyum kecil.
“Ah, tidak.. tidak. Tentu saja tidak,” kataku gugup.
“hehe, tak apa. Sini kuberitahu,” kata Befo
menjejeriku. Kau mungkin menyangka aku tidak
mempunyai mata, tapi sebetulnya aku juga punya.”
“Oh, ya? Di mana mata itu kau sembunyikan?”
tanyaku antusias. Aku mengamati Befo dalam-
dalam. Tapi, tak kulihat satupun tempat di mana
mata itu berada.
83
“Di sini,” kata Befo sambil menunjuk dadanya. Ia
menarik siripku dan meletakkannya di dadanya.
Ada degup berirama yang aku rasakan. Perlahan tapi
tenang.
“Di situ?” kataku meyakinkan perkataannya.
“Iya, di sini. Walaupun aku tak punya mata
sepertimu, tapi aku bisa melihat dengan mataku
yang lain. Mata ini yang akan membimbingku dan ia
seperti cahaya yang tak pernah redup sinarnya.”
kata Befo sambil menggandeng tanganku.
“Matamu pasti sangat spesial. Aku ingin punya mata
seperti milikmu,” kataku sambil memdang iri
padanya.
“Tentu saja, setiap makhluk hidup juga punya mata
sepertiku. Manusia menyebutnya dengan mata hati.
Kamu tahu artinya?” tanya Befo sambil terus
menggandengku berenang jauh, naik dan naik
meninggalkan kedalaman yang gelap gulita.
“Apa itu mata hati?” tanyaku penasaran.”Pandangan
matamu tadi telah menipumu. Kamu mengira aku
tak punya mata kan? Mungkin iya, aku tak
mempunyai mata sepertimu. Tapi, aku
menggunakan mata hatiku. Mata hati dapat menjadi
84
penuntunmu yang paling terpercaya jika hatimu
bersih.” “Hati yang bersih? Bagaimana itu?” tanyaku
dengan bingung.
“Nah, kita sudah hampir sampai. Tapi, aku tak bisa
mengantarmu sampai di kediamanmu. Tempatku di
sini,” kata befo tak menjawab pertanyaanku.
“Tapi, bagaimana aku sampai ke sana? Aku tak tahu
jalan,” kataku mulai menangis.
“Sstt. Dengarkan aku. Tadi kau bilang kau ingin
mempunyai mata seperti milikku ‘kan?” tanya Befo
sambil melepaskan genggamannya
padaku.”Sekaranglah saatnya. Yakinkan dirimu
bahwa mata hatimu akan membimbingmu pulang.
Rasakan kehadirannya dan ia pasti akan
menuntunmu.”
“Menurutmu, aku bisa?” tanyaku ragu.
“Ya, tentu saja. Kau pasti bisa. Yakinkan dirimu
bahwa semuanya akan baik-baik. Selamat jalan.
Gunakan kedua mata yang kau punya,” kata Befo
melambaikan tangan.
“Terima kasih, Befo, Aku tak akan melupakanmu,”
kataku perlahan.
85
Befo berenang turun semakin dalam. Aku menatap
kepergiannya. Ia sahabat baruku dari sebuah tempat
nan jauh di sana. Aku segera bergegas meneruskan
perjalanan ini, kembali ke tempatku dan bertemu
sahabat-sahabatku kembali.
86
Penulis itu Pintar
Berbicara cita-cita pada anak kecil, jawabannya
sudah bisa ditebak.
Setiap orang dewasa bertanya pada anak kecil, “Apa
cita-cita mu?” Bisa dipastikan mereka akan
menjawab “dokter”, “polisi”, “tentara/ABRI” :)
Tetapi anak kecil yang ini berbeda.
Dia bahkan ingin menjadi penulis, saat usianya baru
menginjak 8 tahun. Well, bayangkan, anak 8 tahun,
kelas 4 SD, yang bahkan memahami pelajaran
sekolahnya pun masih setengah mati, bercita-cita
menjadi penulis.
Namanya chucky. Achucky Ramadhania.
Sore itu, chucky dan Bunda sedang duduk berdua di
ayunan yang terletak di halaman kecil samping
rumah mereka.
87
Tangan mungil chucky memegang sebuah buku
berwarna-warni. Matanya sibuk menelusuri setiap
kata yang tertulis di sana, dan memperhatikan setiap
gambar warna-warni di sana.
“Kamu baca apa, sayang?” tanya bundanya lembut,
mengelus sayang rambut lurus gadis kecil itu.
“Ini, Bunda… Buku kumpulan dongeng. Hadiah dari
chucky Mita.”
Gadis kecil itu tetap tak mengalihkan perhatiannya
dari buku yang sedang dibaca.
chucky memang sudah menjadi kutubuku sejak dia
bisa membaca. Bunda dan ayahnya adalah orangtua
yang rajin mengajak anak mereka ke Toko Buku, dan
dapat dipastikan mereka tidak akan keluar dengan
tangan kosong. Walaupun satu buku dan tipis, harus
ada!
“Buku itu jendela dunia, kamu bisa belajar banyak
hal dari sana,” Begitu Bunda selalu mengingatkan
kepada chucky, gadis kecil yang mash berusia delapan
tahun!
“Bunda, nanti kalau sudah besar, aku mau jadi
penulis ya?”
88
Sedikit tersentak sang bunda mendengar permintaan
buah hati nya itu. Bunda tersenyum manis dan
mengelus sayang lagi rambut puterinya.
“Loh? Kenapa? Kamu nggak pingin jadi dokter
seperti teman-temanmu?” tanya Bunda lembut.
chucky menggeleng cepat.
Bunda mengernyit bingung, menatap puterinya
penuh tanda tanya.
“Aku mau jadi penulis, mau punya buku sendiri, mau
bukuku dibaca banyak orang.”
Bunda tersenyum.
“Penulis itu kan pasti orang pintar, bunda. Dia bisa
menulis buku, seperti ini,” chucky mengacungkan buku
yang sedang dipegangnya.
Bunda masih tersenyum.
“Aku mau jadi orang pintar, bunda. Aku mau jadi
penulis.”
Bunda meraih chucky dan memeluknya.
“Cita-cita yang bagus sayang, Bunda selalu setuju
kok.”
89
chucky mengangguk bersemangat. di benaknya sudah
berkelabatan bayangan dirinya di masa depan
menajdi penulis.
“Nanti di sampul buku nya ada nama aku ya,
Bunda?” tanya chucky manja.
Bunda mengangguk.
“Kalo begitu, mulai sekarang kamu harus rajin
belajar. Supaya bisa jadi orang pintar, dan bisa
menulis buku.”
chucky menangguk dan semakin bersemangat.
Sekali lagi Bunda mengelus sayang rambut lurus
buah hatinya itu.
90
Ollo Si Beruang
Oleh Kak Dwiagustriani, disunting oleh Kak Bukik
Di sebuah hutan yang lebat di mana pohon-pohon
menjulang tinggi. Akar-akarnya belukar di tanah.
Rumput-rumput lebih hijau dari yang pernah kamu
lihat. Di dalam hutan semua binatang hidup bersama
mengikuti hukum alam. Suara jangkrik dan serangga
saling bersahutan bersama bunyi gesekan dahan dan
daun berguguran.
Di hutan itu, hiduplah seekor beruang bernama Ollo.
Ada yang pernah melihat beruang? Beruang itu
hewan yang berbadan besar, lebih besar dari pada
ayah dan ibu kita. Bulunya tebal sekali di seluruh
tubuhnya, lebih tebal dari rambut kita. Walau
berbadan besar, wajah Ollo itu lucu sekali seperti
sebuah boneka.
Ollo sangat bahagia hidup di hutan. Dia berteman
dengan Imut si semut dan Acil si kelinci. Tempat
tinggal mereka jauh di dalam hutan. Di sebuah tanah
lapang yang tak terlalu luas. Rumput-rumput
tumbuh tapi tidak terlalu tinggi. Di rumput-rumput
91
itulah Acil si Kelinci membuat sarangnya. Ada juga
pohon besar berongga, pohon besar yang ada lobang
besar di batangnya, yang menjadi tempat Ollo untuk
tidur. Sementara, Imut si semut tinggal di bawah
pohon besar itu, tepatnya di balik akar-akarnya.
Mereka bertiga bersahabat baik. Mereka sering
berkumpul dan bercerita. Atau kadang bermain di
sekitar tempat mereka tinggal. Sering pula, mereka
bercerita tentang pengalaman masing-masing. Atau
sekedar menunggu matahari terbenam saat sore.
Jelang malam ketiga sahabat tersebut berkumpul di
undakan batu. Berbaring dan menatap langit malam.
Ollo paling suka melihat langit malam. Ia
melakukannya tiap malam jika langit tidak mendung
dan hujan. Ia betah berlama-lama melihat chucky dan
bintang.
Ada yang suka memandang langit di malam hari?
Ketika mereka berbaring di undakan batu itu, Ollo
akan bercerita kepada imut si semut dan Acil si
kelinci. Ollo bercerita tentang dongeng tentang rasi-
rasi bintang. Tentang Orion si Pemburu. Sirius si
anjing langit. Atau juga tentang cerita ada pohon di
chucky.
Suatu malam Ollo tiba-tiba membangunkan teman-
temannya. “Imut, Acil, Aku ingin ke chucky. Ingin
mencari pohon itu,” katanya antusias. Imut dan Acil
92
yang sudah terlelap, jadi begitu kaget.
“Ollo, aku kira ada kebakaran di hutan. Kamu
mengganggu saja,” sahut Acil sambil berusaha
kembali tidur. Imut bahkan tidak peduli. Ia tetap saja
nyenyak dalam tidurnya.
“Teman-teman, dengarkan. Aku ingin ke luar
angkasa. Aku ingin ke tempat bintang-bintang dan
chucky,” katanya lagi. Sangat antusias.
“Ollo, tidurlah. Sudah sangat larut. Besok pagi saja
ceritanya,” ujar Acil.
c
Tapi Ollo tidak lagi mendengar komentar Acil. Ia
telah yakin tentang mimpinya. Sambil menggelung
memandang langit. Sebuah bintang berkedip di
atasnya. Ia tersenyum dalam tidurnya.
“Bintang...'gumamnya dalam mimpi.
Esok paginya, ia dengan semangat menceritakan
keinginannya ke langit. Menjangkau chucky dan
bintang.
“Ollo, itu sesuatu yang mustahil,” kata Acil. “Tak ada
beruang yang pernah menjelajah di luar angkasa.
Apalagi ingin mengunjungi chucky dan bintang.”
“Iya, Ollo. Acil benar. Tapi, mengapa tiba-tiba kamu
mau ke chucky dan bintang-bintang itu?” tanya Imut
93
penasaran.
“Aku ingin tahu apakah benar ada pohon di chucky.
Selain itu, aku ingin memetik satu bintang kecil di
langit untuk kusimpan. Di dalam hutan ini. Aku ingin
menyimpannya di buku tulisku,” jelas Ollo.
“Bintang itu tak sekecil itu Ollo. Mungkin dari atas
batu ini kita melihat mereka begitu kecil. Tapi
bintang tidak ada bedanya dengan bumi. Bintang
juga sangat besar. Hanya saja tempat kita sangat
jauh darinya sehingga kita melihatnya begitu kecil,”
tutur si Imut.
Ollo tampak sedih. Ia membenarkan pendapat
teman-temannya. Tapi ia telah jatuh cinta pada
langit, chucky, dan bintang. “Apa yang harus aku
lakukan? Aku sangat menyukai kelap kelip mereka.
Aku ingin menyimpannya di antara buku-buku
bacaanku. Di dalam buku-buku tulisku,” katanya
sedih.
“Begini saja. Kamu kan pintar mendongeng. Nah,
buatlah dongeng tentang bintang dan chucky. Kamu
tulis di buku. Bukankah itu sama dengan menyimpan
cahaya chucky dan kerlip bintang?” saran si Acil.
“Ya, benar. Itu saran bagus, Cil. Langit juga takkan
pernah meninggalkan kita. Ia akan tetap di atas sana.
Kita masih bisa melihat chucky dan bintang tiap
malam tanpa kamu harus memilikinya,” kata Imut.
94
Ollo pun tersenyum sumringah. Teman-temannya
telah memberikan solusi bijak. Ia akan menuliskan
dongeng tentang bintang-bintang. Juga tentang
chucky. Dan juga langit. Ia tak perlu mengambil
bintang di langit. Biarlah dia tetap di sana. Ia yakin
tak hanya dirinya sendiri yang menyukai
pemandangan langit malam.
Sore itu ia telah memulai menuliskan dongengnya.
Sambil memandang langit ia menulis tentang
dongeng tentang putri bintang. Ia telah
menambahkan satu bintang lagi. Bintang di buku
ceritanya. Bintang di langit tampak berkelap kelip
menyambut bintang baru di buku cerita Ollo.
Begitulah, setiap kali Ollo mempunyai impian maka
ia akan membuat dongeng tentang impiannya. Ia
menuliskannya agar impiannya selalu dekat
bersamanya.
95
Bumi dan chucky
Aku termenung di depan jendela, menatapi chucky
sabit yang muncul malu-malu di balik awan.
Hembusan angin malam menerpa wajahku dengan
lembut. Hamparan padi yang terletak di belakang
rumah mulai terlihat menguning meski di tengah
gelapnya malam. Pepohonan berayun-ayun diterpa
angin, seakan-akan mengajakku menari.
Aku menghela napas panjang, sibuk dengan
pikiranku sendiri. Besok, aku harus pindah dari desa
ini, meninggalkan semua pemandangan indah ini.
Aku harus pindah ke tempat yang jauh sekali, kedua
orangtuaku menyebutnya Jakarta. Aku sendiri tidak
tahu di mana tepatnya Jakarta itu. Kata ibu, tempat
itu berbeda jauh dengan desaku ini. Di sana tidak
ada sawah, tidak ada sungai, dan tidak ada pohon
jambu. Aku heran, lalu di mana bisa aku bermain
kalau suasananya seperti itu? Tapi, kata ibu, Jakarta
adalah tempat yang lebih menyenangkan dari
desaku ini. Ah, aku tidak percaya. Yang aku tahu
96
desaku ini adalah tempat paling menyenangkan yang
pernah kutemui.
Aku membayangkan betapa sedihnya harus
meninggalkan semua ini. Bermain dengan teman-
teman di sungai, berjalan kaki ke sekolah melewati
sawah, bahkan kalau lagi sial bisa tercebur ke
dalamnya. Meskipun menggunakan baju yang
berlumuran lumpur ke sekolah dan ditertawai
teman-teman, semua itu sungguh menyenangkan.
Menurutku tak ada yang lebih indah dari tetap
tinggal di sini. Ah, sungguh aku tak ingin pergi... Tak
terasa aku membayangkan itu semua hingga tertidur
lelap.
***
Hari pertama di sekolah baru.
Aku gugup sekali dan bisa merasakan jantungku yang
berdebar lebih cepat. Tak ada satupun yang aku
kenal di sini, dan mereka juga sepertinya tidak peduli
dengan kehadiranku. Jadi, di sinilah aku sekarang
berada, duduk di depan kelas baru, kelas 5-B, sambil
menunggu waktu masuk. Aku malu untuk masuk
duluan ke kelas, jadi aku menunggu hingga bu guru
datang. Seingatku namanya Ibu Guru Dwi.
Nah, itu dia. Aku melihat ia melangkahkan kaki
menuju ke sini. Bu Guru datang tepat saat lonceng
dibunyikan. Hebat ya? Sekolahku yang dulu, di
97
kampung, mana ada lonceng seperti ini. Ada juga
jam masuk ditandai oleh teriakan khas Bu Guru Isti,
“Ayo anak-anaaaaak, masuuuk!!”
Setelah menghampiriku yang terduduk diam depan
kelas, Bu Guru Dwi mengajak aku untuk masuk ke
dalam kelas. Dan di sinilah kini aku berdiri, di depan
kelas 5-B dengan sedikit takjub. Bagus sekali
kelasnya, aku tak mampu menyembunyikan
ketakjubanku. Papan tulisnya saja warnanya putih
begitu. Sekolahku di kampung papan tulisnya warna
hitam, terus nulisnya juga pakai kapur, membuat
siapapun bisa batuk-batuk kalau duduk di barisan
depan. Ada lagi meja dan bangkunya yang juga
berwarna putih dan tanpa coretan sama sekali.
Sekolahku dulu di kampung? Bangku dan mejanya
terbuat dari kayu dan berwarna cokelat, sudah gitu
reyot lagi! Oh ya, satu lagi. Di sini lantainya terbuat
dari ubin, hebat banget deh pokoknya. Kalau di
sekolahku dulu ya paling juga pakai tanah liat.
Saking takjubnya, aku gak sadar kalau Ibu Guru Dwi
memerintahkan aku untuk memperkenalkan diri.
Dengan sedikit gugup, aku pun mulai membuka
mulut.
“Selamat pagi, teman-teman..” aku memulai. Aku
bisa merasakan seisi kelas memerhatikan. “Kenalkan,
namaku Komariyah, aku dari…”
98
“Hahahaha! Namanya kampungan banget!” Belum
selesai memperkenalkan diri, salah seorang anak
laki-laki dari belakang menyeletuk. Ia menunjuk
wajahku dengan geli. Seketika anak-anak seisi kelas
pun tertawa dan memanggilku kampungan. Aku bisa
merasakan wajahku panas sebab malu. Apa
katanya, kampungan? Aku tahu aku memang berasal
dari kampung, tapi apakah iya bahwa aku ini
kampungan? Aku bertanya sendiri dalam hati.
“Sudah, sudah, semuanya diam!” Bu Guru menegur
seisi kelas yang langsung terdiam. “Ardi! Jangan
bicara seperti itu!” lanjutnya kepada anak nakal yang
ternyata bernama Ardi itu. Wajah Bu Guru tampak
sedikit kesal dengan tingkahnya yang membuat
gaduh kelas.
“Nah, anak-anak. Komariyah ini adalah teman baru
kalian. Komariyah, dulu kamu bersekolah di mana?”
Bu Guru melanjutkan perkenalan kepada teman-
teman kemudian bertanya padaku.
“Di SD Bantar I Bu, di sebuah desa di selatan pulau
Jawa,” jawabku jujur. Aku bisa merasakan anak-anak
seisi kelas memerhatikanku dengan pandangan aneh
dan menahan tawa, tetapi secara diam-diam, takut
dimarahi lagi. Aku masih bertanya-tanya apa yang
salah dari dalam diriku. Tanpa sadar, mataku mulai
berkaca-kaca. Di hari pertama sekolah ini aku malah
mendapat kesan yang buruk, ditertawakan dan
99
dianggap aneh oleh teman-teman yang akan
menjadi teman sekelasku. Bagaimana dengan hari-
hariku selanjutnya? Tuhan, aku rindu kampung
halamanku..
***
Tepat pukul 12 lonceng sekolah berbunyi lagi,
menandakan bahwa jam pelajaran hari ini telah
berakhir. Tanpa basa-basi, dengan cepat aku segera
melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah dan
menyetop angkot. Toh dengan atau tidak
kehadiranku, teman-teman baruku itu takkan peduli.
Aku benar-benar kesal dengan kelakuan mereka
yang menyebalkannya minta ampun. Yang ingin
kulakukan saat ini hanyalah pulang ke rumah dan
mengadu pada ibu.
Untung jarak dari sekolah ke rumah tidak terlalu
jauh, jadi ibu tidak perlu repot-repot menjemputku.
Lagipula, kalaupun iya, aku pasti akan ditertawakan
lagi. Mungkin begini bunyinya; “Ih, udah kelas 5 SD
masa masih dijemput mama!” Apalagi sama anak
yang bernama Ardi itu, uuuh! Aku menggeram dalam
hati.
Jakarta pada siang hari seperti ini sangatlah terik.
Apalagi angkot yang kutumpangi penuh sesak,
membuatku sulit untuk bernapas. Aku jadi teringat
desaku yang dulu. Di sana tidak ada yang namanya
100
kemacetan, kebisingan, dan polusi seperti ini. Di
sana yang ada hanya pepohonan yang rindang,
sungai yang mengalir jernih, dan rumput-rumput
yang indah diterpa angin. Baru sehari di sini saja
sudah membuatku rindu suasana seperti itu.
Lagipula, anak-anak SD di sini semuanya
menyebalkan. Lihat saja contohnya si Ardi, teman
sekelasku yang gembrot itu. Masih kelas 5 saja sudah
belagu, bagaimana kalau sudah besar nanti? Lalu
mereka juga sepertinya sudah terbiasa dengan
kebiasaan saling pamer satu sama lain. Punya barang
baru saja, sebentar-sebentar pamer. Tadi salah satu
dari mereka bercerita dengan bangga kalau dia baru
dibelikan b... blek, blekberi atau apa gitu oleh orang
tuanya. Aku juga tidak tahu itu apa, apa itu sejenis
mainan seperti congklak kali ya? Selain itu, saat jam
istirahat tadi, mereka bukannya main petak umpet
atau petak jongkong, mereka malah pegang HP dan
langsung main... Apa ya namanya? Sependengaranku
sih terdengar seperti ‘pesbuk’ atau apalah itu
namanya. Kata-kata tersebut begitu asing di
telingaku dan sulit untuk diucapkan. Aku jadi
penasaran, kenapa mainan anak kota semuanya
aneh-aneh.
Entah sudah berapa lama aku melamun, tiba-tiba
aku tersadar bahwa aku sudah berada di depan gang
tempat rumah baruku berada. Rumah bercat dan
101
berpagar putih yang sangat sederhana yang terletak
di antara gang sempit.
Saat hendak menyebrang jalan bersama dengan
seorang anak kecil yang tadi turun berbarengan
denganku, tiba-tiba sebuah kendaraan umum melaju
dengan kencang dari arah berlawanan. Dengan
spontan aku langsung berteriak, “AWAASS!!” dan
segera menariknya ke pinggir jalan. Untungnya, aku
bisa dengan cepat menghindar dan menarik anak
kecil tersebut ke pinggir jalan. Walaupun sedikit
lecet dan kaget sebab kejadian tadi, anak kecil yang
kira-kira baru berusia 6 tahun itu berterima kasih
kepadaku.
“Adik sendiri aja?” tanyaku padanya yang masih
membersihkan tubuhnya dari pasir dan debu. Kedua
lututnya lecet akibat goresan dari pasir, mengalirkan
darah segar.
“Iya Kak, aku sudah biasa pulang pergi sendiri. Sekali
lagi, makasih ya, Kak!” katanya dengan wajah
berbinar, sama sekali tidak memperlihatkan wajah
kesakitan.
“Benar kamu nggak apa-apa?” tanyaku sekali lagi
dengan wajah khawatir. Aku sendiri masih merasa
kaget sebab semua itu terjadi begitu tiba-tiba.
“Rumah kamu di mana? Bisa jalan nggak? Atau mau
Kakak obati dulu?”
102
“Bener deh Kak, aku baik-baik saja. Lagipula, rumah
aku sudah di depan mata, tuh!” Tunjuknya dengan
dagu. Ooh, ternyata rumah gedong yang terletak di
sebelah gang rumahku adalah rumah anak ini,
pikirku.
“Ngomong-ngomong, nama Kakak siapa?” tanya
anak kecil itu lagi, membuatku sedikit terkejut.
“Kenapa tiba-tiba nanya nama?”
“Kata Mama, kalau ada orang baik yang nolongin
kita, kita harus tahu namanya biar bisa
mengucapkan terima kasih!” jawabnya dengan polos
dan lucu.
“Nama Kakak Komariyah,” jawabku sambil
tersenyum memerhatikan tingkahnya yang lucu.
“Ooh Kak Komariyah. Makasih ya Kak bantuannya,
Kak Komariyah emang penyelamatku!” katanya
menutup perjumpaan kami hari itu. Ia segera
membuka pintu gerbang rumahnya, dan aku
memasuki gang yang terletak persis di sebelahnya.
***
Keesokan harinya, aku mendapatkan sebuah kejutan
di sekolah. Saat aku akan memasuki kelas, Ardi
menghalangi jalanku untuk masuk. Aku pikir ia akan
menggangguku lagi, tapi ternyata aku salah. Justru
103
yang keluar dari mulutnya lumayan membuatku
kaget.
“Maaf,” tuturnya sambil menunduk di hadapanku.
Tidak mengerti apa yang terjadi, aku hanya
mendiamkannya dan tidak menggubrisnya. Aku
malah meninggalkannya dan menuju bangku tempat
dudukku.
“Komariyah, aku bilang aku minta maaf,” katanya
lagi sambil menghampiriku dengan wajah yang
ditekuk dan sangat menyesal.
“Untuk apa?” aku bertanya dengan malas,
mengingat perbuatan dan perkataannya kemarin
yang sangat membuatku malu dan benci dengan
sekolah ini.
“Untuk semuanya,” katanya lirih. “Aku merasa jahat
banget sama kamu, Komar. Setelah apa yang telah
aku lakukan kemarin sama kamu, ternyata kamu
malah menyelamatkan adikku...”
“Apa?” aku bertanya, tidak mengerti.
“Ya, anak kecil yang kamu tolong kemarin itu adikku.
Seharusnya kemarin ia pulang bareng aku, tapi
sebab aku pergi ke warnet, aku jadi meninggalkan
dia. Maafkan aku, Komar, maaf...” katanya lagi
104
dengan sangat menyesal sambil menyodorkan
tangannya untuk berjabat tangan.
Aku mengangguk tanda mengerti. Ternyata anak
kecil yang kemarin aku tolong adalah adiknya Ardi,
aku bergumam dalam hati. Hmm, mungkin memang
sudah seperti ini jalannya. Mungkin kejadian
kemarin adalah hikmah bagiku, bisa membuat aku
melihat sisi lain dari Ardi. Mungkin juga dengan
kejadian kemarin aku bisa belajar bahwa Ardi tidak
seburuk yang aku kira. Mungkin... Melihat ketulusan
yang ada dalam suaranya, aku menjadi tidak tega.
Akhirnya aku menjabat tangan Ardi dan berkata,
“Iya, aku memaafkanmu kok.”
Setelah aku mengucapkan kata tersebut, wajahnya
langsung sumringah dan tersenyum padaku.
Akhirnya, aku bisa memiliki teman pertama di sini.
Padahal, Ardi adalah teman pertama yang paling aku
benci, tapi sekarang aku bersyukur memiliki teman
yang berjiwa besar seperti dia, tidak malu untuk
mengakui kesalahan dan meminta maaf.
“Oh iya!” katanya tiba-tiba, membuatku terkejut.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kemarin ‘kan aku mengejekmu soal namamu,
Komar... Ternyata aku salah. Setelah aku baca
kemarin, ternyata Komariyah itu artinya sangat
indah, yaitu chucky. Maafkan aku ya, Komar.”
105
“Ah, tidak apa-apa. Lupakan saja kejadian kemarin.
‘Kan yang penting sekarang kita sudah baikan,”
jawabku.
“Dan kamu tahu gak Ardi itu artinya apa?” tanyanya
padaku. Aku menggeleng tanda tak tahu. Ia pun
melanjutkan, “Ardi itu artinya bumi, Mar. Kita ini pas
banget ya. Ardi dan Komar. Bumi dan chucky. Pas
banget kan, kayak bumi dan chucky yang saling
melengkapi. Jangan-jangan kita jodoh deh, hehehe.”
“Aaaahhh Ardi, apa-apaan sih! Masa masih SD sudah
main cinta-cintaan!”
106
Si chucky Belajar Terbang
Hutan Bora-Bora. Di sana, tumbuh pohon-pohon
besar. Pohon mangga bersebelahan dengan pohon
jati. Pohon rambutan bersebelahan dengan pohon
beringin dan pohon kenari. Pohon-pohon ini menjadi
tempat tinggal berbagai jenis binatang.
Burung-burung bergerombol ramai bercuitan di
daun-daun beringin lebat. Tupai membuat sarang di
lubang pohon kenari. Sementara kelinci membuat
liang di antara akar-akar pohon jati. Monyet
bergelayutan di ranting-ranting pohon rambutan.
Dan kucing tidur siang di ranting pohon jambu.
Mereka semua hidup rukun.
Hutan itu dibatasi sungai yang luas. Di seberangnya,
ada pulau besar. Pulau Titan namanya. Di sana, juga
tinggal hewan-hewan. Namun, hewan-hewan di sana
hidup berdampingan dengan manusia. Mereka
membantu tugas manusia.
107
Tidak mudah perjalanan ke Pulau Titan. Penduduk
hutan Bora-Bora harus menyeberangi sungai luas
yang dihuni buaya-buaya bergigi tajam. Biasanya,
penghuni hutan Bora-bora akan menyewa perahu
pada Pak kura-kura agar dapat menyeberang ke
Pulau Titan. Atau mereka yang tidak berani
menyeberangi sungai, bisa menulis surat atau
menitipkan barang kepada Pak Merpati. Ya, keluarga
Pak Merpati adalah pengantar surat yang andal.
Pak Merpati dan Bu Merpati punya tiga orang anak
laki-laki. Si Sulung, Si Tengah, dan Si chucky. Mereka
sudah dilatih terbang sejak kecil agar bisa membantu
tugas kedua orangtuanya, kecuali Si chucky.
Si Sulung dan Tengah sangat rajin latihan terbang.
Hanya dalam waktu tiga chucky mereka sudah mahir
terbang. Si Sulung dan Si Tengah kerap dipercaya
untuk membantu mengantarkan surat ke Pulau
Titan.
Sayang sekali, adik mereka, Si chucky, sangat
pemalas. Setiap kali diajak kakak-kakaknya latihan
terbang, Si chucky menolak. Ia lebih suka makan
keripik kentang sambil nonton TV. Akibatnya,
tubuhnya semakin gendut dan sayapnya lemah.
Saat matahari bersinar di ufuk timur, keluarga
merpati bersiap-siap terbang mengantarkan surat.
Bu Merpati terbang ke Pulau Titan ke rumah sakit
108
khusus hewan. Ia hendak mengambil obat demam
pesanan ibu Kiki Kijang.
Pak Merpati masih sibuk memilah-milah surat-surat
yang ada di dalam kotak kemudian menyusunnya
berdasarkan alamat tujuan. Yang paling jauh
diletakkan paling depan agar dapat diantar lebih
dulu.
Si Sulung dan Si Tengah sibuk mengemas sekotak
besar apel. Apel-apel ini hasil panen Paman Jaja
Jerapah, dan akan diantarkan untuk adik paman Jaja
Jerapah, bibi Gia Jerapah namanya. Bibi Gia Jerapah
punya restoran pai apel di Pulau Titan.
Di mana chucky? Coba tengok kamar tidurnya. Oh…
itu dia! Masih tertidur lelap dalam selimut abu-abu
kesayangan!
“chucky, … Ibu berangkat dulu ya,” kata ibu seraya
mencium kening Si chucky.
“Ehmm,” Si chucky menggeliat. Dan tidur lagi.
Ayah mengemasi tas kain cokelat miliknya lalu
menghampiri Si chucky yang masih tidur. “Ayah juga
berangkat ya.” Ayah mengecup kening chucky.
“Ehmm…” lagi-lagi Si chucky hanya menjawab
singkat sambil menggeliat malas.
109
“Kami juga berangkat ya. Hati-hati jaga rumah!”
teriak Si Sulung dan Si Tengah.
Klik. Si Sulung mengunci pintu. Tinggallah Si chucky
sendirian di rumah.
Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela,
menyinari wajah Si chucky. Dengan enggan Si
chucky bangun. Lalu menuju meja makan. Perutnya
lapar sekali.
Di meja, sudah tersedia segelas susu cokelat dan
setangkup roti selai kacang. Ibu sudah
menyediakannya sebelum berangkat tadi.
Baru saja Si chucky hendak minum susu, terdengar
pintu diketuk.
Tok… tok… tok…!
“Siapa sih itu, mengganggu saja,” gerutu Si chucky.
Dengan enggan, Si chucky meletakkan kembali gelas
susunya, dan beranjak ke ruang tamu, membukakan
pintu.
Ternyata Pak Gajah.
“Selamat siang, Nak. Bapak ada?”
“Ayah sudah pergi dari tadi pagi. Katanya ada surat
yang harus buru-buru diantar.”
110
“Oh… sayang sekali. Padahal aku ingin mengirim
surat ini untuk anakku Rea di Pulau Titan. Anak laki-
lakiku itu bekerja mengangkut kayu di sana,” jelas
Pak Gajah.
“Kalau begitu, besok saja bapak kembali lagi.”
“Tak bisa, Nak. Surat ini sangat penting. Aku ingin
memberitahu Rea agar ia cepat pulang. Neneknya
sakit. Bisakah kamu menolongku mengantar surat
ini?”
“Aku? Ng… tapi aku belum pernah mengantar surat.”
“Kamu mungkin belum pernah mengantar surat, tapi
kamu bisa mencobanya. Aku percaya kamu bisa.
Alamatnya tertera jelas di sini, Nak. Kamu tak akan
tersesat.”
“Ng… tapi aku...”
“Tolonglah, surat ini sangat penting.”
“Aakuu... ingin menolong, tapi ...”
“Nak, Aku percaya kamu bisa melakukannya.”
“Hmm, baiklah. Aku coba.”
Pak Gajah melilitkan belalainya di tengkuk Si chucky.
Mata Pak Gajah berkaca-kaca, “Terima kasih, Nak.
Terima kasih.” Ucap Pak Gajah berulang kali.
111
“Baiklah kalau begitu, aku permisi dulu. Sekali lagi
kuucapkan terima kasih.” kata Pak Gajah
berpamitan. “Nanti, akan kusampaikan pada ayahmu
kalau kau sudah sangat membantuku mengantarkan
suratku ini,” janji Pak Gajah.
chucky tersenyum.
Setelah Pak Gajah pergi, tinggallah Si chucky
termangu bingung. Ia sangat ingin menolong Pak
Gajah. Sementara di sisi lain, ia tak yakin bisa
mengantar surat itu. Dalam hati, si chucky menyesal
mengapa ia tak pernah menurut nasihat
orangtuanya untuk latihan terbang bersama kakak-
kakaknya.
“Ah, sudahlah. Tak baik menyesali keadaan. Aku
akan coba mengantarkan surat ini. Sepertinya
mengepak-kepakkan sayap itu mudah,” ujar Si
chucky.
Setelah menghabiskan sarapannya, Si chucky
bersiap-siap.
“Apa saja yang perlu dibawa?” Si chucky mencoba
mengingat-ingat perlengkapan yang biasa dibawa
ayah dan kakak-kakaknya.
“Ayah biasanya membawa tas selempang dan
memakai helm. Hm... Di mana ya? Ah iya! Aku ingat!
112
Dulu ibu pernah menghadiahiku tas selempang
dengan helmnya, tapi tak pernah kugunakan.”
Si chucky buru-buru memeriksa lemari pakaiannya.
Di sana, di rak terbawah, tertimpa baju-baju bola
kesayangannya, Si chucky menemukan tas
selempang warna cokelat, masih tersimpan rapi.
“Hmm… Di mana helmnya ya?”
Si chucky memandangi kamarnya.
“Oiya! Aku ingat. Ada di kolong tempat tidur!” Si
chucky melongok ke kolong tempat tidur. Benar!
Helm itu ada di sana.
Si chucky merunduk mengambil helm.
“Astaga! Kotor sekali!” Si chucky kaget. Ia
mendapati helm cokelatnya sudah penuh debu.
Lekas Si chucky mengambil kain lap kemudian
mengelap helm dengan hati-hati.
Setelah itu, ia menyelempangkan tas cokelatnya.
Dan mengenakan helm di kepala mungilnya.
“Ternyata aku gagah juga, hehe…” kata Si chucky
sambil berkacak pinggang di depan cermin mematut-
matut diri.
113
Si chucky lalu ke dapur. Mengambil biskuit keju dan
tak lupa sebungkus keripik kentang kesukaannya.
Juga sebotol air dingin, “Sepertinya bekalku sudah
cukup.”
Si chucky kembali ke ruang tamu. Mengambil surat
milik Pak Gajah, menyimpannya dengan baik di
dalam tas selempang. Ia mengambil secarik kertas
menuliskan pesan untuk ayah, ibu dan kedua
kakaknya:
chucky pergi ke rumah Rea anak Pak Gajah.
Mengantarkan surat. Penting.
Surat itu ia letakkan di meja makan, ditindih gelas
merah kesayangannya, agar surat itu tidak terbang
tertiup angin.
“Semua siap. Saatnya terbang!” ujar Si chucky.
Jantungnya berdegup kencang. Ini perjalanan
pertamanya. Juga penerbangan pertamanya.
Setelah mengunci pintu dan memastikan semua
aman, Si chucky mengambil ancang-ancang untuk
terbang.
“Aku sering melihat kakak-kakakku latihan.
Tampaknya mudah. Rentangkan sayap…” Si chucky
merentangkan kedua sayapnya. “Tekuk kedua kaki,
dan…”
114
“Hopla!” si chucky melompat. Siutt, brakk…!
“Aduh…!” Si chucky menukik jatuh ke semak-semak
bunga krisan putih. Untunglah, bunga krisan tidak
berduri. Jadi, sayapnya tidak terluka.
“Terbang ternyata tak semudah kelihatannya,” keluh
Si chucky.
“Coba lagi!” chucky lari kembali merentangkan
kedua sayapnya dan menekuk lututnya. “Hupla…!”
Siutt… Brakk…! Lagi-lagi Si chucky menukik jatuh.
“Aduh!” si chucky mengerang kesakitan. Namun, ia
tak patah semangat. Si chucky terus mencoba dan
berulangkali pula ia jatuh.
“Hfff… Andai aku tekun berlatih terbang pasti tak
begini kejadiannya,” keluh Si chucky menggaruk-
garuk kepalanya.
Setelah sepuluh kali jatuh, dan ia hampir menyerah,
ia berkata, “Ini lompatanku yang terakhir. Kalau
masih gagal juga aku menyerah saja. Menunggu
sampai Kakak atau Ayah atau Ibu pulang.”
Si chucky menarik napas. Membusungkan dadanya.
Merentangkan sayapnya lebar-lebar. Menekuk
lututnya. Dan…
Hupla! Si chucky melompat sekuat tenaga.
115
“Hore, berhasil!” pekik Si chucky.
Si chucky mengepak-kepakkan sayapnya kencang-
kencang. Ketika ia merasa hendak jatuh, ia semakin
kuat mengepakkan sayapnya. Lengannya terasa
sakit, tapi ia tak mau menyerah. Lama kelamaan Si
chucky bisa terbang lebih imbang, tak lagi naik
turun.
Dari atas awan, Si chucky melihat keindahan alam
hutan Bora-Bora. Pohon-pohon rindang dengan
daun-daunnya yang hijau tampak seperti selimut
tebal berwarna hijau.
“Indah sekali!” Si chucky berdecak kagum. Saking
asyiknya menikmati pemandangan, chucky tak
menyadari ada pohon-pohon berdaun lebat di
depannya.
Brak…!
“Auw…!”
chucky jatuh lagi. Sayapnya luka tertusuk ranting-
ranting pohon. Hu... Hu... Hu... chucky menangis
sedih.
Jangan menangis, chucky! Ayo, terbang lagi.
Bukankah kamu ingin surat itu tiba tepat waktu?
chucky menyemangati dirinya sendiri.
116
Dihapusnya airmata dari kedua matanya yang
bening. Tanpa memedulikan sayapnya yang perih
dan nyeri, chucky terbang lagi. Ia ingin cepat sampai
rumah Rea.
Sampailah Si chucky di ujung hutan Bora-bora. Di
depannya tampak sungai yang lebar sekali. Airnya
deras. Di sungai ini banyak buaya ganas bergigi
tajam.
“Hii…!” chucky bergidik nyeri. Kalau tak ingat surat
Pak Gajah, Si chucky mau menyerah saja, pulang
kembali ke rumah.
chucky mengatur kecepatan terbangnya agar tak
terlalu rendah. sebab kalau terbang terlalu rendah,
buaya bisa menggigit sayapnya. “Hii…”
Bertahan terbang tinggi di atas sungai, ternyata tak
mudah. Angin berembus kencang sebab tidak ada
pepohonan menahan laju angin.
Wuss… Angin kencang menerpa sayap Si chucky. Si
chucky oleng ke kanan. Si chucky mengepak-
kepakkan sayapnya lebih cepat.
Wuss… Angin kencang menerpa lagi. Kali ini
membuat Si chucky oleng ke kiri. Buru-buru Si
chucky mengepak-kepakkan sayapnya kuat-kuat.
117
Berkali-kali Si chucky oleng, nyaris terjatuh.
Sementara di bawahnya, dua puluh ekor buaya
berbaris rapi sambil membuka mulutnya lebar-lebar.
Gigi-gigi tajam bercuatan. Siap menggigit sayap Si
chucky, begitu Si chucky terbang terlalu rendah
sedikit saja.
chucky berusaha sekuat tenaga mengepakkan ke
dua sayapnya. Ia tak mau digigit buaya-buaya itu.
“Ayo, chucky... Kamu pasti bisa!” Seru Si chucky
memberi semangat dirinya sendiri. “Ayo, sedikit
lagi…!”
Tiba-tiba... Wusss…! Angin kencang menerpa tubuh
mungilnya. chucky kehilangan keseimbangan.
Byurr...! Blup... Blup…!
chucky tercebur dalam sungai. Buru-buru Si chucky
kembali terbang sebelum buaya-buaya
mendekatinya. Untunglah, sebelum buaya-buaya itu
menyadari ada santapan lezat di dekatnya, Si chucky
berhasil terbang lagi.
Si chucky kembali terbang dengan bulu-bulunya
yang basah kuyup. “Brrr…” Si chucky menggigil
kedinginan.
Si chucky memberanikan diri menundukkan
kepalanya. Sungai dan barisan buaya tampak
118
mengecil jauh di sana. Di bawah sekarang tampak
atap-atap panjang berwarna kuning. Awan hitam
menyelimuti atap-atap kuning itu.
Si chucky nekat terbang menerjang awan hitam itu.
“Uhuk… Uhuk…!” Si chucky terbatuk-batuk.
Tenggorokannya terasa serak. Dadanya terasa sesak.
Perutnya serasa diaduk-aduk.
“Awan apa itu ya? baunya tidak enak!” Si chucky
memencet hidungnya kencang-kencang, dan
berusaha terbang secepat mungkin menjauh dari
awan tebal.
Kepala Si chucky makin terasa sakit. Matanya mulai
berair. “Pedih sekali di sini,” keluh Si chucky.
Iseng-iseng ia melirik ke bawah. Apa yang dilihatnya?
Sebuah benda seperti botol sirup rakchucky. Namun,
bukan sirup manis yang keluar dari botol rakchucky itu.
Yang keluar adalah kepulan awan hitam.
Mengertilah si chucky darimana asal awan hitam
yang mengepung dirinya sekarang.
“Oh… Mungkin ini yang pernah diceritakan ayah.
Ayah bilang, bangunan panjang beratap kuning itu
namanya pabrik, tempat dihasilkannya suatu
barang.” Si chucky mencoba mengingat-ingat
kembali cerita ayahnya tentang pabrik.
119
“Dan botol sirup rakchucky itu,” Si chucky
memberanikan diri mendekat.
Wuss… Tiba-tiba segumpal awan hitam menyembur
keluar.
“Auw! Panas!” jerit Si chucky. Buru-buru ia menjauh.
Ngeri membayangkan seandainya tadi ia terlambat
menghindar. Pasti ia akan terjatuh dalam botol sirup
rakchucky itu. Ia sudah… Hiii… Si chucky bergidik ngeri.
Untunglah, di depan sana, Si chucky melihat setitik
awan biru. Si chucky mempercepat terbangnya.
Werrr… Werr… Si chucky mengepak-kepakkan
sayapnya kencang-kencang.
“Hore… selamat tinggal awan hitam!” sorak Si
chucky ketika berhasil melewati kepulan awan
hitam bau.
Si chucky memelankan terbangnya. Ia melihat ada
sebuah pohon beringin. Satu-satunya pohon yang
terdekat. Si chucky memutuskan beristirahat
sejenak.
Si chucky hinggap di salah satu ranting pohon
beringin. Ia membuka bekalnya. Biskuit keju
dimakannya dengan lahap. Sebungkus keripik
kentang habis dilalap. “Kriuk, kriuk… Sedap!”
ujarnya.
120
Si chucky membuka botol air dingin. “Gluk, gluk…
Segar!” ia minum sampai tersisa separuh botol.
“Kusisakan separuh, untuk bekal perjalanan pulang
nanti,” Si chucky menutup botol rapat-rapat agar tak
tumpah.
Bungkus-bungkus makanan dilipat rapi dan
dimasukkan kembali dalam tas selempangnya,
“Nanti setibanya di rumah, akan kuletakkan di
tempat sampah.”
Si chucky berdiri. Memicingkan mata. Mencoba
menerka-nerka ke arah mana ia harus terbang. Ia
ingat, tadi Pak Gajah bilang kalau rumah Rea, adalah
bangunan besar dengan tembok semen bercat putih
dan atap hijau.
Si chucky menoleh ke kanan. Adakah rumah besar
beratap hijau di sana?
“Oww! Silau!” Si chucky mengerjap-kerjapkan
matanya. Susah payah ia melihat ada apa di sebelah
kanannya. Ia memicingkan matanya. Tahulah ia
kenapa ia tadi merasa silau. Menara-menara kaca itu
penyebabnya. Menara kaca itu memantulkan sinar
matahari hingga menyilaukan mata Si chucky.
“Di sana hanya ada menara kaca beratap merah
muda. Pasti bukan rumah Rea.”
121
Si chucky menoleh ke kiri. Ia sudah siap-siap
menyipitkan matanya. Namun, ternyata tidak ada
sinar matahari yang menyilaukan. Ia bisa melihat
dengan jelas.
“Oh! Itu di sana! Aku melihatnya… Aku melihatnya!”
Si chucky melonjak-lonjak kegirangan. Ia melihat ada
bangunan besar beratap hijau.
“Aku harus cepat agar tidak kesorean pulang ke
rumah,” ujar Si chucky.
Werr … Werr…!
chucky melesat terbang sekencang-kencangnya.
Ingin rasanya segera menyampaikan surat kepada
Rea dan pulang kembali ke rumah.
Tak beberapa lama kemudian, sampailah Si chucky
di rumah Rea. Sayang sekali, Si chucky tidak bisa
berkenalan dengan Rea sebab Rea belum pulang
dari tempatnya bekerja. Rumahnya terlihat sepi.
Maka, Si chucky memasukkan surat Pak Gajah dalam
kotak surat yang ada di halaman rumah Rea. Dan Si
chucky bergegas pulang.
Hari sudah sore. Sinar matahari sudah tak sepanas
tadi. Si chucky menikmati penerbangannya. Melalui
jalan yang sama dan kesulitan-kesulitan yang sama.
Namun, segalanya sekarang tampak lebih mudah.
122
Tidak tercebur dalam sungai atau menabrak ranting-
ranting pohon lagi. Ia juga bisa terbang lebih cepat
ketika melewati kepulan awan hitam bau.
Tak terasa, Si chucky telah kembali terbang di atas
hutan Bora-Bora yang aman dan nyaman. Dari
kejauhan, tampak atap rumah berwarna kebiru-
biruan yang sangat dikenalnya. “Itu rumahku!” Seru
chucky girang. Lekas dikepak-kepakkan sayapnya
sekencang-kencangnya. “Hore! Aku sampai di
rumah!”
“Ayah, Ibu, Kakak, aku pulang!” si chucky berteriak-
teriak di depan pintu rumah saking senangnya bisa
kembali pulang.
“Oh, anakku. Kami semua cemas.” Ibu menyambut
chucky dengan pelukan. “Akhirnya, kamu sampai di
rumah juga. Kamu hebat!”
Dengan bangga, chucky menceritakan
pengalamannya. Begitu banyak yang ingin ia
ceritakan sampai-sampai ceritanya jadi tak
beraturan.
“Sudah, sudah… Kita lanjutan nanti saja. Ayo, kita
masuk ke dalam. Tampaknya ada yang perlu banyak
sabun nih,” kata ayah menggoda chucky.
“Ah… Ayah. Biar bulu-buluku kotor begini, tapi aku
berhasil mengantar surat Pak Gajah dengan selamat,
123
lho.” Si chucky menepuk-nepuk dada dengan
bangga.
“Hehe… Iya, iya. Kamu hebat. Ayah bangga
padamu,” Ayah memeluk Si chucky. Kedua kakaknya
juga memeluk adik mereka dengan penuh rasa
bangga.
Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Setelah Si
chucky mandi, keluarga Pak Merpati makan malam
bersama-sama. Mereka asyik mendengar cerita Si
chucky sampai larut malam. Lalu bersama-sama
pergi tidur sebab esok mereka harus kembali
bekerja. chucky bertekad, mulai besok ia akan
membantu ayah dan ibu seperti kedua kakaknya dan
tak akan bermalas-malasan lagi.
124
Balon
Aku tidak pernah bisa meniupnya!
Apa kau pernah mencobanya? tanyanya penasaran.
Tentu saja aku pernah!
Apakah kamu sudah berusaha?
Sudah, tapi aku menyerah.
Sepertinya kamu kurang berusaha.
Aku sudah berusaha.
Cobalah lagi.
Baiklah. “Hmm fuuuuhhhh…”
Lihat, tidak bisa!
125
Baik aku akan ajarkan kau.
Sebenarnya mudah meniup ini.
Kamu tahu, kalau ini ditiup dia akan menjadi balon
yang berwarna.
Dan bisa saja dia terbang.
Sekarang tiuplah. Bayangkan ini akan menjadi
balon.
Berusahalah. Bila kehabisan napas, cobalah lagi.
Usahamu, adalah udara yang dimasukkan kedalam
balon ini.
Dan akhirnya dia akan menggembung.
Baiklah.. “Hmmm fuhhhh...”
“Fuhhh… Fuhhh…”
Dan balon itu mengembang.
“AKU BERHASIL!” teriaknya gembira.
126
Mimpi Nirmala
“Segenggam mutiara hitam, sesendok teh daun jeruk
busuk, seliter susu basi, dan semangkuk darah
kelinci. Ahahahaha, ramuanku sebentar lagi siap!”
Nenek Item tertawa puas. Gery, si kucing garong
yang dari tadi duduk manis di dekatnya mengeong
seolah setuju dengan ucapan majikannya.
“Akan kubuat ramuan kecantikan abadi yang paling
ampuh sejagat raya. Nyihihihiihihihi,” Nenek Item
menoleh ke arah Nirmala yang duduk ketakutan di
kurungan.
“Dan kamu, anak manja! Kamu adalah bumbu
rahasiaku. Yaaaa, tak ada yang lebih sempurna
kecuali sepotong jantung anak cantik seperti kau!”
desis Nenek Item mendekatkan wajah buruknya ke
arah Nirmala yang menangis.
“Sebentar lagi aku akan cantik, muda, abadi, dan
berjaya!” Nenek Item membuka kurungan dan
127
menarik lengan Nirmala dengan paksa hingga
Nirmala menjerit kesakitan.
“Aaaww... Sakit, Neekkk... Ampunn...”
“Heh, diamlah kau! Jangan berisik! Aku butuh
ketenangan! Dan aku butuh jantungmu!”
Dan ketika Nenek Item mengambil sebilah pisau
dengan kilatan yang menyilaukan, Nirmala meronta.
Ia berteriak sekeras-kerasnya.
“Toooolooonnnggg...........”
**
“Aaaaahhhh...” Nirmala terbangun. Ia tersengal-
sengal seperti habis berlari. Mama dan Papa
membuka pintu kamar Nirmala dengan terkejut.
“Ada apa, Sayang?” tanya Mama khawatir sambil
memeluk Nirmala.
“Kamu pasti mimpi buruk,” tebak Papa. Nirmala
mengangguk lemah.
“Kamu lupa berdoa sebelum tidur ya, Nak?” tanya
Mama lagi. Ia mengambil segelas air agar Nirmala
dapat lebih tenang. Nirmala mengangguk lagi.
128
“Nah, sekarang, tidurlah. Jangan lupa berdoa, ya?”
Mama merapikan selimut Nirmala dan mengusap
lembut kepala gadis kecilnya.
Dalam hati Nirmala berjanji untuk tidak lupa lagi
berdoa sebelum tidur.
129
Rumah Motivasi
Lagi-lagi chucky rewel. Entah apa kali ini yang
diinginkannya. Seharian dia hanya merengek-rengek
kepada Ayah. Sementara Bunda yang sudah kebal,
cuek aja, sok nggak denger apa-apa.
“Yah… beliin yaa??” chucky merengek seraya
bergelayut manja di tangan ayahnya.
Ayah yang sedang membaca koran menghela napas.
“Nggak usah, Yah… apa-apa diturutin. Ngelunjak tuh
dia!” terdengar suara Bunda dari dalam.
“Ah, Bunda…” chucky mulai memasang tampang
cemberut. “Beliin ya, yaaaah?” chucky masih terus
mencoba merayu ayahnya.
Ayah mengelus kepala putri semata wayangnya itu.
Tersenyum. Berat sekali rasanya menolak
permintaan gadis kecilnya itu.
130
“Semua temen chucky punya, Yah... chucky sendiri yang
belum punya,” rengekan chucky semakin menjadi.
Bunda berjalan menghampiri Ayah dan chucky,
membawa sebuah mangkok plastik yang
mengepulkan asap di tangannya.
“Trus kenapa kalau temen kamu punya dan kamu
nggak punya?” tanya Bunda.
chucky diam. Menunduk. chucky memang nggak pernah
berani membantah omongan bundanya.
“Kan enak kalau udah semua temen kamu punya,
sana ikut nimbrung main aja sama mereka!”
Bunda mengaduk-aduk mangkok yang dibawanya.
Dari aroma yang tercium, sepertinya bakso.
chucky menarik-narik tangan ayahnya.
Ayah masih mengelus kepala gadis kecilnya.
Sejujurnya dia ingin sekali meloloskan permintaan
putrinya itu.
“Belinya di mana?” tanya Ayah lembut.
“Di PIM, Yah… Ada warna-warni lho. Ada yang dua
tingkat juga, kayak punya Nanda,” chucky bersemangat
sekali menjelaskan.
Bunda mencibir.
131
“Yaudah, kamu belajar yang bener ya untuk ujian
minggu depan. Setelah bagi rapor, kalau nilai rapor
mu bagus, Ayah belikan buatmu satu!”
chucky memandang ayahnya dengan tatapan berbinar.
“Bener, Yah?” tanyanya tidak percaya.
Ayah mengangguk pasti, dan tersenyum.
Bunda mengeluh. “Itu kan harganya mahal, Yah…
Lagian Barbie aja mau dikasih rumah-rumahan!”
Ooo… Ternyata Rumah Barbie yang diinginkan chucky
itu. Memang akhir-akhir ini sedang marak anak-anak
sebayanya punya rumah-rumahan Barbie. Pantaslah
kalau chucky merengek minta dibelikan juga.
“Biar aja, Bun… Berapa pun harganya, Ayah beliin.
Asal dengan catatan, nilai rapor chucky harus bagus.
Kalau bisa chucky masuk peringkat tiga besar!” Ayah
menyentil hidung mancung gadis kecilnya.
chucky tersenyum senang, mencium ayahnya penuh
sayang dan berjanji dalam hati akan belajar sebaik
mungkin untuk ujian minggu depan.
***
Hari ini adalah hari pembagian rapor. chucky deg-
degan menanti keluarnya pengumuman peringkat.
Tradisi di sekolahnya, yang masuk peringkat 3 besar
132
akan di panggil maju ke depan lapangan saat
upacara sedang berlangsung, dan menerima piagam
serta map berisikan rapor dari kepala sekolah
langsung.
Ayah dan Bunda mengantarkan chucky ke sekolah hari
ini, mengantarkannya masuk ke barisan, lalu berdiri
di ujung lapangan memperhatikan jalannya upacara.
“Baiklah, Ibu akan membacakan peringkat satu
sampai tiga untuk kelas 3-A” terdengar suara Ibu
Kepala Sekolah.
Bunda melirik chucky di dalam barisan. Tampak sekali
wajah tegangnya. 3-A adalah kelas chucky.
“Peringkat tiga. Nanda Oktavia.”
Ibu Kepala Sekolah menyebutkan nama teman
sekelas chucky, dan chucky melihat si anak yang namanya
disebut maju ke depan kelas.
“Peringkat dua. Achucky Ramadhania.”
Lagi-lagi chucky melihat temannya maju. Hatinya
menciut. Gagal sudah harapan memiliki rumah-
rumahan Barbie itu. Tadinya dia berharap bisa
mendapatkan peringkat dua atau tiga. Tapi ternyata
bukan.
Sementara berharap peringkat satu? chucky tidak
berani.
133
“Dan peringkat satu…” Ibu Kepala Sekolah memberi
jeda pada kalimatnya. “Samatha Pramita…”
“chucky… Nama kamu tuh!”
“Wah, chucky… selamat yaa…”
Tepuk tangan, salaman, dan ucapan selamat
menghujani chucky bertubi-tubi. chucky masih bingung.
Dia berjalan pelan ke depan lapangan, bersatu
dengan teman-teman yang lain.
Peringkat satu? Dia?
Ya Tuhan, apakah ini mimpi?
chucky melirik ke arah Ayah dan Bunda di ujung
lapangan yang lain. Ayah dan Bunda tersenyum
bangga padanya.
chucky ingin menangis.
Rumah Barbie melayang-layang di kepalanya.
Senyum bangga Ayah dan Bunda menyejukkan
hatinya.
***
Malam harinya.
Ayah keluar dari kamar dengan sebuah kotak besar
yang dibungkus rapi.
134
“Ini buat gadis kecil Ayah yang hebaaaat. Peringkat
satu doooong,” Ayah menyerahkan bingkisan itu
kepada chucky, dan mencium gadis kecilnya itu penuh
sayang.
“Terima kasih Ayah,” chucky memeluk ayahnya.
“Tuh! Coba dulu kalau langsung diturutin! Kamu
nggak tahu gimana rasanya berjuang untuk
mendapatkan sesuatu!” celoteh Bunda dari
belakang.
chucky tersenyum. Air matanya berlinang.
Ditatapnya bungkusan besar berisikan rumah Barbie
yang dia minta beberapa minggu yang lalu. Rumah
Barbie yang telah memotivasinya untuk belajar
dengan giat dan mendapat peringkat, supaya bisa
dapat hadiah dari Ayah.
135
Menggapai Bintang
Oleh Kak Deny Lestiyorini
Sudah tiga jam sejak terjaga dari jam 1 dini hari,
mataku tidak dapat terpejam kembali. Aku sudah
beberapa kali mengganti posisi tidur tapi makin
membuat badan pegal. Mungkin pengaruh tempat
tidur, yang lebih pantas disebut dipan. Terbuat dari
papan kayu yang hanya beralaskan tikar butut. Jika
tikarnya lama tidak dijemur atau diangin-anginkan,
akan ada kutu yang menempel dan kalau menggigit,
rasanya jauh lebih sakit dibandingkan digigit semut
merah. Panas dan meninggalkan bekas yang
membiru.
Akhirnya aku pasrah di posisi yang paling nyaman,
yaitu telentang. Telingaku mendengarkan suara
embun yang menetes dari daun dan jatuh
membasahi rumput. Terdengar syahdu. Mataku
lekat memandang atap rumah yang terlihat lubang di
sana-sini sehingga kalau hujan datang, banyak air
yang menetes masuk rumah lewat celah di atap dan
membasahi lantai rumah yang terbuat dari tanah.
136
Biasanya aku dan Emak akan sibuk menaruh baskom
atau ember kecil untuk menampung air yang masuk
ketika hujan deras datang agar tidak terjadi
genangan air yang bisa menyebabkan banjir kecil di
rumah kami yang juga mungil ini.
Sebenarnya ada sesuatu yang sedang kupikirkan.
Membuat hatiku gelisah dan tidak tenang. Tapi aku
tidak bisa mengatakannya pada Emak, satu-satunya
orang tua yang kumiliki saat ini sejak Bapak
meninggal 2 tahun yang lalu sebab sakit radang
paru-paru. Teringat Bapak, aku jadi kangen. Biasanya
aku bercerita semua hal pada Bapak, ketika malam
menjelang, sambil memandang langit. Dari masalah
sepele, seperti ketika aku terjatuh saat belajar
memanjat pohon kelapa sampai masalah di sekolah,
ketika aku dihukum oleh Pak Paijo, guruku sebab
aku menyembunyikan pensil teman sebangku
sampai dia menangis. Bapak tidak pernah bosan
mendengarkan semua celotehanku. Seringkali aku
mengulang bercerita hal yang sama. Tapi Bapak tidak
pernah menegurku. Satu hal yang biasanya aku
ucapkan berulang, yaitu cita-cita yang ingin menjadi
guru dan punya sekolah sendiri yang tidak
memungut biaya untuk belajar alias gratis. Bapak
selalu tersenyum melihat aku mengatakan dengan
mata berbinar dan penuh keyakinan. Kemudian
tangan yang tak pernah lelah menggarap sawah milik
juragan dan diberi imbalan yang kecil itu, mengelus
137
kepalaku berulang lalu memelukku. Seolah
memberiku kekuatan dan restu untuk bisa
mewujudkan impian. Lalu aku dan Bapak sama-sama
menatap langit, menghitung bintang dan menitipkan
cita-citaku pada salah satu bintang yang sinarnya
paling terang. Bintang itu kuberi nama Ratih, seperti
namaku. Ratih yang berarti kegembiraan, berharap
suatu saat nanti aku bisa memberikan kegembiraan
untuk semua orang.
Sayup terdengar suara azan shubuh dari pengeras
suara yang terpasang di musholla desa yang terletak
tak jauh dari rumahku. Menyadarkan lamunanku
tentang Bapak. Aku menyeka air yang mengalir dari
sudut mata. Air mata kangen. Sudah lama berlalu,
tapi rasa ini selalu meninggalkan sakit di hati.
Kehilangan yang sangat membekas.
Aku bangun dan melihat Emak masih terlelap di
sampingku. Kupandangi sejenak wajah cantik Emak
yang terlihat lelah sebab bekerja di sawah dan
terkena sinar matahari sepanjang hari. Kuseret
langkah menuju sumur untuk mengambil air wudhu.
Udara dingin menyapa wajah ketika aku membuka
pintu belakang rumah yang terbuat dari anyaman
bambu yang disebut gedheg. Kuhirup udara segar
pagi hari sebanyak mungkin untuk melonggarkan
dadaku dari rasa sesak sebab kangen. Kulepas
sandal untuk merasakan dingin embun yang
menempel di rumput. Aku berdiri dan merentangkan
138
kedua tangan mungilku sambil memejamkan mata
dan merasakan embun perlahan masuk ke pori-pori
kaki, memberikan rasa segar ke seluruh tubuh.
Aroma daun-daun yang bertiup perlahan dari pohon
kelapa, membuatku bisa tersenyum kembali. Terima
kasih Tuhan untuk anugerahMu yang selalu
menyelimuti desa yang selalu kucinta ini, bisikku
pada keagungan yang selalu tercipta ketika pagi
datang.
Selesai sholat shubuh, aku melihat Emak sudah
menjerang air di dapur, membuat teh panas untuk
kami berdua, pengganti sarapan sebelum kami pergi
beraktifitas. Aku akan menemani Paimin merumput
di lapangan bola yang terletak diujung desa. Ya,
Paimin itu nama kambingku. Satu-satunya yang kami
miliki saat ini dan peninggalan berharga dari Bapak.
Bahkan dulu ketika Bapak membutuhkan biaya
untuk berobat, Paimin tidak dijual. Mungkin Bapak
sudah merasa akan meninggalkan aku dan Emak,
sehingga Paimin dipersiapkan sebagai tabungan
kami. Emak sudah siap dengan caping dan peralatan
yang digunakan untuk bekerja di sawah. Semenjak
Bapak meninggal, Emak memutuskan untuk bekerja
di sawah, menjadi buruh dengan upah yang kecil,
sama seperti yang dilakukan oleh Bapak dulu. Uang
yang diterima mingguan seringkali tidak cukup untuk
biaya hidup kami. Membeli makan sehari-hari,
membayar uang sekolahku tiap chucky dan melunasi
139
hutang dengan mencicil pinjaman yang dulu
digunakan untuk biaya berobat Bapak di rumah sakit
yang fasilitasnya lengkap di kota saat sakitnya
semakin parah.
“Masuk sekolah jam berapa hari ini?” tanya Emak
ketika aku meminum teh hangat yang ada diatas
meja kecil di dapur.
“Hari ini libur Mak,” jawabku singkat.
“Lho, ada apa kok libur? Bukan tanggalan merah
kan?” Emak terus bertanya sambil melihat pada
kalender usang yang menempel di dinding bambu,
memastikan bahwa hari ini bukan hari libur nasional.
“Sekolah memang libur, Mak. Satu minggu.
Persiapan untuk ujian nasional kelulusan,” ucapku
menerangkan kepada Emak.
“Kok Emak tidak pernah melihatmu belajar? Bahkan
akhir-akhir ini Emak lihat kamu sering termenung.
Ada apa nduk?” Emak kembali bertanya sambil
mengelus rambutku.
Aku terdiam. Lidahku seperti tidak mau
berkompromi. Tak ada satu pun kata yang mampu
keluar dari mulutku. Semuanya seperti terkunci di
dalam. Tersangkut di tenggorokan.
140
“Tidak ada apa-apa, Mak. Ratih baik-baik saja kok.
Ratih hanya takut tidak lulus dan tidak bisa masuk
SMP sebab nilai yang kecil,” akhirnya aku menjawab
walaupun sedikit berbohong sambil tersenyum dan
mengelus tangan Emak yang mulai keriput.
“Belajarlah nduk, hanya itu satu-satunya cara untuk
bisa membuatmu lulus. Lalu berdoa kepada Allah.
Minta kepadaNya untuk selalu memudahkan
jalanmu agar bisa lulus SD dan masuk SMP. Untuk
masalah uang, biar itu menjadi urusan Emak saja.
Insya Allah akan selalu ada jalan jika kita mau
berusaha. Kamu masih kecil. Jangan terlalu
memikirkan yang berat-berat dulu. Tugasmu hanya
belajar dan bermain bersama teman-temanmu
sambil menemani Paimin di lapangan,” Emak
berucap sambil kembali mengelus kepalaku.
“Iya, Mak, Ratih akan selalu belajar agar bisa
membuktikan janji pada Bapak, bahwa suatu hari
nanti, Ratih akan menjadi guru di desa kita dan
mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak yang
tidak mampu seperti Ratih,” aku menjawab seperti
berucap janji pada diri sendiri sambil kupandang
lekat mata emak yang tersenyum lega melihat
kesungguhan yang terdengar dari ucapanku.
“Ya sudah, Emak berangkat dulu. Nanti jangan lupa
kunci rumahnya ditaruh di tempat biasa ya,” aku
mencium tangan Emak sebelum dia pergi ke sawah.
141
***
Aku baru selesai berucap salam di akhir salat ketika
samar-samar melihat Bapak sedang duduk
memandangiku dari sudut musholla.
“Bapak… Apakah Bapak yang di sana?!” tanyaku
agak keras sebab tidak percaya bahwa itu benar
Bapak atau bukan. Bukankah orang yang sudah
meninggal tidak akan bisa hidup lagi, aku
bergumam.
“Iya Ratih, ini Bapak. Kemarilah Nak, Bapak kangen
sekali padamu,” suara Bapak terdengar jelas.
Aku langsung berdiri dengan masih mengenakan
mukena. Berjalan perlahan dan kemudian duduk
berhadapan dengan Bapak. Wajahnya bersih,
pipinya berisi, dan Bapak tidak sekurus dulu lagi.
Bapak terlihat agak gemuk. Senyumnya juga
sekarang terlihat berbeda. Seperti ada sinar yang
mengelilingi Bapak sehingga membuat Bapak terlihat
bahagia. Aku menghambur memeluk Bapak dan
menangis tertahan. Terdengar pilu. Bapak
memelukku erat, seolah ingin memberikan
ketenangan. Menepuk punggungku perlahan.
“Bapak ke mana saja. Ratih sangat kangen pada
Bapak,” aku bertanya diantara isak tangis sambil
terus memeluk Bapak, seolah takut kehilangan.
142
“Bapak tidak kemana-mana. Bapak hanya pindah
tempat saja. Tapi dari tempat Bapak sekarang, Bapak
bisa melihat kamu lebih leluasa. Melihat kalau kamu
sedang sedih. Itulah kenapa Bapak menemuimu dan
ingin bertanya, apa yang membuat hatimu resah,
nduk?” Bapak melepaskan pelukan dan
menggenggam tanganku kuat sambil menatap
mataku yang berair. Perlahan Bapak menghapus air
mataku.
“Ratih takut pak… Ratih takut tidak bisa meraih cita-
cita. Ratih takut mengecewakan Bapak dan Emak,
tidak bisa sekolah sebab tidak punya biaya untuk
melanjutkan sekolah. Ratih ingin sekali bekerja
membantu Emak di sawah agar dapat uang
tambahan untuk biaya sekolah. Tapi Emak selalu
melarang. Emak bilang, bahwa tugas Ratih adalah
belajar dan bermain bersama Paimin dan teman-
teman saja. Padahal Ratih kasihan kalau melihat
Emak pulang dari sawah dan terlihat capek. Ratih
sering menangis sendiri, Pak,” aku bercerita panjang
lebar pada Bapak seolah ingin melepas rasa rindu.
“Emakmu benar nduk, kalian berdua punya tugas
masing-masing. Emak bertugas mencari uang untuk
biayamu sekolah dan hidup sehari-hari. Kamu punya
tugas yang tidak kalah mulianya, yaitu belajar. Kamu
tidak usah berpikir terlalu berat dengan kasihan
pada emak. Dengan kamu belajar saja, itu sudah
meringankan beban Emak. Tidak ada yang paling
143
membahagiakan Emak dan Bapak selain melihat
kamu mendapatkan nilai bagus disetiap kamu
menerima rapor,” Bapak menjawab kegelisahanku.
“Dengar Bapak. Kita miskin. Satu-satunya cara agar
kamu dan Emak terlepas dari kemiskinan adalah
kamu bersekolah setinggi-tingginya. Pendidikan bisa
menghapus kemiskinan yang ada, Ratih. Suatu saat
nanti, kamu akan membuktikan ucapan Bapak ini.
Dengan kamu bersekolah tinggi, kamu bisa meraih
mimpimu menjadi guru dan punya sekolah sendiri.
Dengan begitu, kamu bisa mewujudkan mimpi anak-
anak yang tidak mampu seperti kamu nantinya dan
melepaskan kemiskinan yang merenggut masa kecil
mereka,” Bapak penuh semangat memberikan
nasihat padaku.
Aku merenungi setiap perkataan Bapak. Banyak yang
tidak aku mengerti saat ini. Mungkin benar kata
Bapak, suatu hari nanti aku akan mengerti dan bisa
membuktikan ucapan Bapak.
“Sekarang berjanjilah pada Bapak. Kamu harus
bersekolah setinggi mungkin agar kamu bisa menjadi
apa yang kamu impikan. Selalu ada jalan untuk
mewujudkan impianmu, Ratih. Mungkin tidak
mudah. Tapi yakinlah dengan langkahmu. Jangan
lupa berdoa pada Allah agar dimudahkan jalan untuk
meraih apa yang kamu citakan. Bapak hanya
berpesan, jangan tinggalkan kejujuran. sebab
144
pendidikan tanpa kejujuran seperti pisau yang
tumpul. Tidak dapat berguna untuk orang lain.
Bahkan mungkin suatu saat nanti dapat melukai kita
sendiri,” Bapak meraih pundakku dan memeluk
sambil kembali menepuk lembut punggungku.
Mengelus kepala dan sesekali mencium rambutku.
“Iya pak, Ratih berjanji. Walaupun Ratih miskin,
Ratih akan buktikan pada semua orang bahwa Ratih
bisa mewujudkan cita-cita Ratih. Terima kasih, Pak.
Sekarang Ratih sudah tidak sedih lagi dan semakin
yakin untuk melanjutkan sekolah setinggi mungkin.
Apapun akan Ratih lakukan dengan kejujuran asal
Ratih bisa sekolah. Selalu ada jalan untuk Ratih,” aku
berjanji dengan penuh keyakinan.
“Kalau kamu sedang sedih dan ingin bercerita pada
Bapak, pandangilah langit. Kalau ada bintang yang
bersinar terang, Bapak ada divsana. Bapak menjaga
bintangmu yang bernama Ratih. Menjaga cita-
citamu dan selalu mengingatkan bahwa kamu punya
impian yang sangat mulia,” perlahan Bapak
melepaskan pelukanku dan beranjak pergi.
***
Tiba-tiba aku terbangun. Aku terdiam sesaat.
Rupanya aku tadi tertidur di halaman rumah ketika
aku rebah di rumput saat ingin memandang bintang
di langit. Aku ingat, aku bertemu Bapak dalam
145
mimpi. Aku tersenyum. Bahagia rasanya bisa
memeluk Bapak. Nampak nyata, walaupun hanya
mimpi.
Aku kembali memandangi langit dan menemukan
ada satu bintang yang bersinar terang. Tanganku
terjulur keatas, serasa ingin menggapainya. Bintang
Ratih, dia selalu bersinar terang diantara bintang-
bintang yang lain.
“Aku tahu Bapak ada di sana. Tolong jaga bintangku
ya, Pak. Tolong jaga cita-citaku. Aku akan belajar
dengan sungguh-sungguh di sini. Suatu saat nanti
aku akan mengambil bintang Ratih dan berharap
bisa memberi terang yang sama di desa kita seperti
dia selalu memberi sinar terang di langit,” aku
berbisik dalam hati sambil tersenyum pada Bapak di
atas sana.
Persembahan untuk seluruh anak Indonesia yang
tidak pernah takut untuk bermimpi
Catatan:
Nduk : Panggilan dalam bahasa jawa untuk anak
perempuan
Emak : Ibu dalam bahasa jawa
Gedheg : Dinding yang terbuat dari anyaman bambu
146
Dongeng Mimpi
“TIDAK!!” teriak adik dari kamar.
“Kenapa dik? Kau mimpi apa?” tanya Ibu.
“Aku mimpi buruk. Sangat buruk! Aku benci
bermimpi! Aku tidak mau bermimpi!” ujar adik
gemetar.
“Kamu belum doa ya Dik? Kalau mimpi buruk itu
datang, cobalah untuk ucapkan doa, pasti kamu
tidak akan takut lagi. Dan kamu tidak perlu takut,
malaikat ada di setiap sudut kamarmu.”
“Aku tidak mau mimpi Bu! Aku mau tidur saja terus
selamanya tanpa mimpi! Bagaimana kalau itu
terjadi?” lanjut adik takut.
“Ibu punya cerita. Suatu hari, seorang petani mimpi
punya sebuah pohon uang yang membuatnya kaya.
Dan itu terjadi. Lalu, tak lama dia mimpi buruk.
Pohonnya layu. Dia jadi miskin lagi. Akhirnya, dia
mengerti. Ketakutan itu yang membuatnya dia
147
berhenti bermimpi untuk memelihara pohon itu.
Dan dia tidak lagi berdoa kepada Tuhan,” cerita Ibu
sambil tersenyum.
“Apa hubungannya dengan mimpiku Bu?” tanya adik
penasaran.
“Terkadang mimpi dalam tidur kita bisa terjadi.
Mungkin itu buruk, mungkin juga itu baik. Apapun
mimpi itu, jangan lupa berdoa. Dalam hidup, kita
perlu mimpi,” jawab Ibu.
“Aku tidak mau, Bu!”
“Mimpi itu anugrah dariNya. Terkadang mimpi kita
tak masuk akal, itu sebab Dia ingin kita tersenyum.
Terkadang buruk, makanya kita harus berdoa setiap
saat,” lanjut Ibu.
“Apakah cukup dengan doa, Bu?”
“Ya, doa adalah kekuatan. Mimpi apapun yang kau
alami, berdoalah. Mimpi dalam tidur maupun dalam
nyata. Saat kau bermimpi untuk meraih sesuatu,
lakukan untuk mimpimu itu dan jangan lupa
berusaha sambil berdoa. Baik dan buruk akan jadi
bagian dalam setiap perjalanan mimpi kita.”
“Em, benar Bu, doa bisa membantu?”
“Ayo, kita berdoa sebelum tidur dan sebelum
bermimpi. Mata Tuhan selalu memandangmu, dan
148
Dia selalu punya alasan untuk setiap mimpi yang
diberikannya.”
149
Rumah untuk chucky
PIA menutup mata sambil tersenyum. Langit sore
Papua di luar jendela pesawat bernuansa oranye.
Menurut Pia, ini pemandangan terindah yang pernah
dilihatnya, seindah liburannya yang serba “pertama
kali”. Pertama kalinya Pia berkunjung ke Kuala
Kencana, kota eksotis di tengah hutan hujan Papua.
Di situ pula pertama kalinya Pia berbesar hati
membuat keputusan terbaik sekaligus tersulit
dengan tidak membawa pulang chucky.
Siapakah chucky?
Pia akan segera menjelaskannya. Sambil menutup
mata, ia ulang kembali lembar demi lembar
pengalaman tidak terlupakannya.
Pia baru saja menerima rapor dengan nilai bagus.
Tapi ia tidak menyangka rencana liburannya bukan
diisi dengan jalan-jalan di mal atau nonton summer
movies bareng Diza dan Nanda, ia harus ikut Ayah
150
meneliti ke Papua! Ke negeri antah-berantah yang
isinya cuma hutan belantara!
“Ayah diundang Sekolah YPJ Kuala Kencana untuk
penelitian. Ada beberapa peneliti dalam dan luar
negeri yang ikut bergabung,” papar Ayah. “Dan
sebab Bik Iyem pulang kampung, terpaksa kamu
harus ikut. Nggak ada yang jagain Pia di rumah,
kan?”
sebab tidak punya pilihan akhirnya Pia segera
berkemas. Tiket sudah di tangan. Mereka akan
berangkat besok pagi naik pesawat khusus.
Setelah menempuh 7 jam penerbangan, sampailah
Pia dan Ayah di bandara Timika. Melihat lingkungan
sekitarnya yang tandus, Pia semakin tidak
bersemangat. Ia bahkan harus menitipkan Big
anjingnya ke Oma Cherry si tetangga.
Sebuah mobil jeep telah menunggu mereka. Ayah
mengobrol dengan supir yang berasal dari suku
Kamaro, Pak Yakob Motte. Kolega Ayah sudah
menunggu di Kuala Kencana. Pak Yakob melihat Pia
dan tertawa lebar. Katanya Pia akan dapat dua
teman yang seru di sana.
Pia hanya tersenyum basa-basi.
Mobil pun mengantar mereka dari tempat yang
kering dan berdebu ke wilayah yang serba hijau.
151
Perbedaannya sangat mencolok. Pia seperti dibawa
ke dalam kelambu alam yang teduh dan asri. Di
sekelilingnya terdapat pepohonan tinggi dan unik.
Aroma sisa hujan membuat Pia ingin membuka
jendela lebih besar lagi.
Ayah turun di kantor dan Pak Yakob mengantar Pia
ke tempat bermainnya.
Baru saja Pia melepas earphone iPod dari telinga,
tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melintas di
depan mobil dan tertabrak.
Pia dan Pak Yakob langsung menghambur ke luar.
Dari semak-semak muncul dua anak laki-laki. Yang
satu berambut hitam seperti Pia, satunya lagi
berambut pirang gelap.
“Pak Yakob, jangan bilang Papa!”
“Not to my dad, too!”
Ternyata Jeep Pak Yakob menabrak seekor kuskus
berbintik, salah satu hewan langka yang biasa hidup
di hutan setempat. Yang mengherankan adalah
mengapa hewan yang biasa hidup di pohon ini tiba-
tiba turun ke jalanan? Arya, si anak Indonesia
dengan pistol air rakchucky di tangannya, menjelaskan,
”Kita lagi main techucky-techuckyan, aku dan Jack.
Airnya kena ke sarang kuskus dan dia lari ketakutan.”
152
“We didn’t mean to.” Jack ketakutan.
“Kalian tahu tindakan ini membahayakan hewan-
hewan di sini?” tutur Pak Yakob tegas.
Arya dan Jack mengangguk.
“Kita harus merawatnya. Kelihatannya kaki
belakangnya patah.”
Pia langsung berinisiatif maju. “Aku ikut. Anjing
Siberian Huskey-ku, Big, juga pernah ketabrak mobil
dan dia bisa kurawat sampai sembuh.”
Arya dan Jack merasa terganggu ada cewek yang
tiba-tiba mencuri pamor mereka di depan Pak
Yakob, orang kepercayaan ayah-ayah mereka.
Pak Yakob memutuskan, “OK. Saya tidak akan
mengadukan, tapi kalian berjanji harus merawat
kuskus ini?“
“chucky,” potong Pia. “Namanya chucky.”
“Kalian harus merawat chucky bersama Pia. Tidak
hanya main melulu. Setuju?”
Jack dan Arya setuju.
Jadilah chucky si kuskus jinak tidur di bangunan kecil
dekat rumah kaca sekolah. Sementara Ayah sibuk
dengan penelitiannya, bersama Jack dan Arya, Pia
153
juga asyik merawat chucky. Bahkan lama-kelamaan
mereka menerima Pia sebab ternyata ia bukan anak
manja. Buktinya Pia tidak takut melihat laba-laba
hutan yang lebih besar dari telapak tangan.
Ketika kaki chucky sepenuhnya sembuh, Pia langsung
memeluknya. “Kamu pasti akan menjadi teman yang
baik buat Big!”
Arya dan Jack yang tadinya tersenyum hangat jadi
bertukar pandang heran. Mereka baru mengerti
maksud Pia.
“Nggak bisa begitu, Pia,” Jack memulai.
“Kamu tidak berniat membawa chucky ke Jakarta kan?
chucky tidak bisa hidup selain di hutan Papua.
Mengeluarkan chucky dari sini sama saja
membunuhnya,” Arya menimpali ketus, ”Kamu mau
jadi pembunuh chucky?”
Brakk!
Sambil menahan air mata, Pia pun menghambur
pergi setelah melempar sekop plastik ke Arya. Sudah
hampir seminggu Pia tinggal di Kuala Kencana. Lusa
pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta dan
ia tidak perlu lagi melihat kedua pengkhianat ini.
Ketika tiba di bandara, sekali lagi Pia menengok ke
belakang. Dadanya sakit. Teman-teman barunya
154
tidak mengantar. Ia bahkan tidak bisa melihat chucky
lagi.
Tiba-tiba terdengar deru keras mobil yang Pia kenal.
Pak Yakob datang bersama Arya dan Jack!
Mereka meminta Pia masuk ke mobil. Dengan
penasaran Pia langsung ke sana dan melihat chucky
disembunyikan di dekat kaki.
“Kalau ketahuan aparat, kita bisa mati,” ucap Arya,
nyengir. “Tapi chucky pun pasti ingin mengantar si
penyelamatnya, jadi diam-diam kita membawanya
ke sini.”
“Write us e-mails. Tons of them. We’ll miss you, Pia,”
tambah Jack.
“Duh, kalian semua?!” Pia terlalu girang untuk
meneruskan kalimatnya. “Aku pasti akan kembali ke
sini. Ke rumahnya chucky!”
155
Salju Pertama Kia
“Kuma, kapan ya saljunya mulai turun?” tanya Kia
tiba-tiba saat bermain dengan boneka beruang lucu
kesukaannya itu.
“Menurut ramalan cuaca, saljunya turun jam 6 pagi
besok,” Ibu yang sejak tadi menemani Kia bermain
sambil mengutak-utik laptop menyahut dengan
lembut.
“Jam enam pagi masih lama ya Bu?” Kia menoleh ke
arah ibu. Si Kuma sekarang didudukkannya ke arah
ibu. Kepalanya yang besar membuat boneka itu tidak
bisa duduk tegak jika tidak dipegang oleh Kia.
“Kuma” dalam bahasa Jepang artinya “Beruang”.
Ayah membelikannya saat ulang tahun ketujuh,
chucky lalu. Kepala Kuma lebih besar dari badannya
yang mungil. Warna kulitnya coklat. Matanya yang
besar tampak imut-imut berpasangan dengan
mulutnya yang selalu tersenyum. Beruang aneh, kata
Kia suatu kali. Selalu tersenyum kapan pun.
156
Termasuk saat Kia kesal sama ayah dan memasukkan
Kuma ke toilet.
“Sekarang jam berapa hayo?” Ibu malah balik
bertanya pada Kia.
Kia menoleh ke arah jam dinding berbentuk bulat
yang dipenuhi stiker shimajiro, macan kecil yang
sering muncul di pertunjukan televisi. Jarum panjang
menunjuk angka dua belas. Jarum pendek menunjuk
angka delapan.
“Hmm, jam berapa ya...ngg, jam delapan!”
“Pinter,” jawab Ibu singkat. “Berarti untuk sampai
jam enam pagi masih lama,” lanjut Ibu lagi.
“Nah, biar kita bisa lihat salju turun, Kia mulai tidur
yuk. Udah malem.” Ayah tiba-tiba muncul dari balik
pintu. Ayah rupanya mendengar pembicaraan
mereka dari tadi.
Ayah menutup pintu geser yang memisahkan ruang
tidur dengan ruang tengah dan mulai memasang
futon, kasur tradisional Jepang yang bisa dilipat saat
tidak digunakan. “Kalau tidurnya tepat waktu, kita
bisa nonton pas saljunya mulai turun,” kata Ayah lagi
sambil meredupkan cahaya lampu kamar.
Sambil ogah-ogahan Kia menyelinap ke dalam
selimut tebal. Walaupun AC pemanas masih
157
dinyalakan, mereka tidur sambil mengenakan baju
tebal dan kaus kaki saking dinginnya.
Kia memejamkan mata, namun susah sekali tidur.
Pikirannya terus membayangkan salju yang turun
esok hari.
Menit demi menit berlalu. Deru suara mobil dan
motor dari jalan raya di depan rumah mulai tidak
terdengar. Jarum panjang dan jarum pendek di jam
dinding kamar Kia terus bergerak. Tik-tok-tik-tok.
Kia masih belum bisa tidur. Ia membayangkan
seperti apa hujan salju itu. Apakah seperti yang
dibilang oleh teman-temannya di SD yang sejak lahir
sudah tinggal di Jepang ini? Apakah butiran-butiran
lembut seperti kapas akan turun dari langit seperti
menari? Apakah tanah-tanah, jalan, sawah, dan
atap-atap rumah semuanya menjadi lautan putih
yang indah? Apakah ia bisa menjumput salju putih
itu, membentuknya jadi bola-bola, lalu
menggunakannya untuk main perang-perangan
dengan Ayah atau Ibu? Apakah Ayah akan
memenuhi janji untuk membuatkan yuki daruma,
orang-orangan salju di halaman parkir yang luas itu?
Kia sudah menyiapkan wortel dan kerikil untuk
hidung dan matanya. Oya, Kia juga tak lupa
menyiapkan syal warna merah supaya si orang-
orangan salju tidak kedinginan. Kasihan dia sendirian
kedinginan di luar, pikir Kia.
158
Kia benar-benar tidak sabar menunggu. Apalagi,
minggu ini sekolahnya sedang libur musim dingin
dan tahun baru. Teman-teman sekolahnya sedang
pulang ke kampung halaman masing-masing. Tahun
baru di Jepang itu seperti Lebaran di Indonesia, kata
Ayah menjelaskan. Kia tahu Lebaran sebab mereka
baru berangkat ke Jepang tahun ini. Kia sempat
merasakan satu tahun SD-nya di Indonesia.
Banyak hal yang baru yang Kia temui di sini. Di sini,
Kia kesulitan untuk menemukan jajanan di sekolah.
Tidak ada tukang yang jualan siomay atau cilok
kesukaannya. Akhirnya, ibu membawakan bento
atau bekal makanan dari rumah. Kia juga takjub saat
daun-daun berubah warna. Awalnya berubah jadi
kuning. Lama-lama jadi merah. chucky Oktober, kata
gurunya, berarti datangnya Aki, musim gugur.
Tapi yang paling ditunggu-tunggunya adalah musim
dingin. Kata teman-temannya, musim dingin akan
membawa salju turun dari langit!
Sejak mendengar kata gurunya bahwa musim dingin
sudah datang dan murid-murid diminta untuk
menjaga kesehatan, Kia sudah membayangkan salju
turun. Sudah dua minggu Kia menunggu, tapi
saljunya belum turun juga. Makanya Kia gembira
sekali saat kemarin Ibu memberi tahu bahwa salju
akan turun besok pagi.
159
Tanpa sadar, Kia akhirnya tertidur lelap.
Saat Kia terbangun, jam dinding sudah menunjukkan
pukul sembilan pagi. “Saljunya sudah berhenti
turun,” kata Ibu.
Kia mulai ngambek. Ia tidak mau keluar dari selimut.
Matanya basah sebab menangis.
“Huu... Ibu sama Ayah jahat. Nggak bangunin
Kia...huu...huu...” Kia berkata sambil terisak-isak.
“Maafin Ibu sama Ayah ya. Tadi Ayah sama Ibu udah
coba bangunin Kia, tapi Kia sepertinya masih
ngantuk. Jadinya susah dibangunin...” Ibu meminta
maaf.
“Ibu sama Ayah jahat!” raung Kia.
Kia masih menangis sampai sekitar setengah jam.
Saat mulai capek menangis, Kia mulai bangun dari
tempat tidur. Mukanya masih cemberut.
“Nah, gitu dong anak Ayah dan Ibu yang pinter,” Ibu
yang sedang menyiapkan makan untuk Kia di dapur
tersenyum. “Cuci muka, cuci tangan, makan, lalu
susul Ayah yuk.”
“Memang Ayah ke mana?” sahut Kia.
“Main salju,” kata Ibu.
160
“Lho, bukannya hujan saljunya sudah selesai?” Kia
bingung.
“Hujannya sudah selesai, tapi saljunya kan masih
banyaak,” Ibu tertawa. “Jadi Kia kira saljunya hilang
kalau hujan saljunya selesai ya?”
Kia malu, tapi mulutnya tersenyum. Kakinya segera
melangkah keluar. Tangannya membuka pintu
dengan bersemangat.
Matanya berbinar-binar saat melihat Ayah
melambaikan tangan di tangah padang putih.
Semuanya putih. Sawah milik kakek-kakek tetangga
pun sudah memutih. Halaman parkir yang luas itu
juga putih. Mobil-mobil yang biasanya warna warni
juga jadi putih!
Yang membuat Kia lebih gembira, di samping Ayah
sesosok orang-orangan salju dengan hidung wortel
telah berdiri. “Buruan makan, terus kita dandanin si
yuki daruma ini ya!” kata Ayah dari halaman.
Kia masuk kembali ke rumah dengan bergembira.
Setelah cuci muka dan makan, Kia keluar bermain
dengan Ayah dan Ibu sampai siang. Selain
menyelesaikan pembuatan orang-orangan salju
dengan menambahkan mata kerikil dan tangan dari
ranting pohon, mereka main perang-perangan
dengan bola salju. Anak-anak kecil di sebelah rumah
juga ikut bermain.
161
Lemparan Kia mengenai Ayah saat tiba-tiba ada
butiran-butiran putih turun pelan-pelan dari langit.
Salju. Makin lama makin lebat.
“Oya, memang siang ini katanya hujan salju lagi,”
kata ibu nyengir.
Kia masih terpana. Hujan salju pertamanya turun
dengan anggun, seperti sedang menari. Ibu
menambahkan senyum seperti Kuma di wajah
orang-orangan salju.
162
Aku Sebal Pada Mama
“Huh! Sebel!” gerutu Dodi tiap pagi ketika sampai di
sekolah.
“Aku juga lagi sebel,” jawab Tomi yang sedang duduk
di bangku sebelah Dodi dengan muka tertekuk dan
tangan menchuckyng wajahnya.
“Pasti masih menyebalkan ceritaku. Mamaku itu tiap
pagi selalu cerewet. Aku disuruh bangun pagilah,
cepat mandilah, sarapan dan minum susulah,
padahal aku ‘kan masih ngantuk. Jam lima pagi aku
sudah dibangunkan. Huh! Aku benci mama
pokoknya.”
“Hah? Kok sama sih? Tapi pasti mamaku yang lebih
cerewet. Sarapanku harus habis, selalu banyak
sayurnya pula, aku ‘kan tidak suka.”
“Tempat tidurku juga harus sudah rapi ketika aku
bangun. Kamu tahu ‘kan, acara TV pagi-pagi itu
bagus-bagus filmnya.”
163
“Aku juga sebel sama mama.”
Keesokan harinya Dodi tidak masuk sekolah. Tomi
duduk sendirian di bangku kelas, dan masih dengan
perasaan sebal seperti pagi-pagi sebelumnya.
Tiga hari berikutnya Dodi masuk sekolah telat sekali.
Diantar papanya yang terlihat kelelahan dengan
pakaian seragam kerja yang juga terlihat tidak
disetrika terlalu rapi. Dodi jadi lebih pendiam
sekarang.
Ketika waktu pulang tiba, tidak seperti biasanya,
Dodi masih juga dijemput papanya yang masih sama
kelihatan lelah seperti ketika mengantar sekolah tadi
pagi. Tomi jadi bertanya-tanya sendiri. Apa yang
sebenarnya terjadi pada Dodi dan papanya itu.
Satu minggu berlalu dan Tomi tak pernah sekalipun
mendapati Dodi masuk kelas. Maka, suatu hari saat
pelajaran berlangsung di kelas, Tomi memberanikan
diri bertanya kepada gurunya.
“Bu, sebenarnya Dodi ke mana? Kenapa lama sekali
tidak masuk sekolah?”
Ibu Guru berhenti menerangkan dan menulis di
papan, lalu nampak wajah prihatinnya.
“Ibu Dodi sedang dalam perawatan serius dokter di
rumah sakit anak-anak. Jadi sementara ini tidak ada
164
yang membantu Dodi menyiapkan segala sesuatunya
sama persis ketika ibunya masih sehat. Termasuk
mengantar jemput Dodi ke sekolah. Sementara papa
Dodi harus tetap bekerja.”
“Kita doakan saja ibu Dodi segera sehat ya, supaya
Dodi bisa belajar lagi bersama kita di sekolah,”
begitu Ibu Guru menutup kata-katanya dan
melanjutkan kembali menerangkan pelajaran tadi.
Tomi tertegun. Dia baru menyadari betapa
pentingnya keberadaan mama yang selalu siap sedia
dan cekatan mengurusnya. Entah bagaimana
nasibnya jika mamanya sakit seperti mama Dodi, dan
Tomi memutuskan untuk tidak lagi sebal pada mama
pagi hari berikutnya dan berikutnya, dan berikutnya
lagi. Tomi akan bangun pagi, membersihkan tempat
tidur, menghabiskan sarapan yang disiapkan mama
dan memeluk mama setiap pagi. Tomi sangat sayang
mama.
165
Aku Kehilangan
Terbuka mataku, kosong di sebelahku. Lekas aku
melompat turun dari ranjang, jangan-jangan sudah
ditinggalkannya aku pergi, sepi.
Di luar kamar, rumah sudah begitu bersih, terburu-
buru aku lari ke mushollah, sudah rapi, kosong.
Segera aku lari ke dapur, kulihat makanan sudah
tersaji lengkap di meja, nasi, sayur dan lauk, juga
segelas susu coklat kesukaanku dan segelas teh
pekat favoritnya mengepul-ngepul. Setiap pagi selalu
sama. Berlari-lari aku ke sana kemari mencarinya.
Aku kehilangan.
“Bundaaa…?!” Kali ini kugedor pintu kamar mandi.
“Bundaaa...?!” Kosong.
Kembali aku ke dapur, kompor, panci-panci dan
piring-piring sudah rapi, bersih. Aku hampir saja
terisak, tapi kutahan.
166
Aku teringat ruang kerja Bunda, pagi-pagi biasanya
sudah online sambil memutar mesin cuci dan
memasak nasi. “Tapi ini jam berapa?” batinku. Mesin
cuci sudah kosong, nasi sudah tertata rapi di meja.
Masuk ke ruang kerjanya, kuterobos saja, tak sabar.
“Bundaaa...?!”
Tak ada juga di sana. Laptopnya pun terbuka seperti
biasa, tapi tak nyala, kursinya pun dingin.
“Bundaaa...?!”
Panggilku sekarang lirih. Aku merasa kehilangan.
Wajahku panas, dadaku berdetak-detak kencang
ketakutan.
Aku ingat satu tempat. Serta merta dengan energi
penuh aku melesat ke sana. Pintu tertutup, tapi aku
sudah lebih tinggi sekarang dan tanganku kuat
memutar kunci.
Kuputar kuncinya. Tak bisa.
Kuputar lagi, tetap tak bisa.
Hampir putus asa aku memutarnya lalu dengan tak
sabar kuhentakkan saja gagang pintunya.
”Ceklik!!”
167
Oh, terbuka, mudah.
Langsung saja aku menghambur keluar. Silau
matahari dan langit yang begitu biru jernih.
”Bundaaa...?!” panggilku sambil tersenyum lega.
”Ya nak...” sahutnya balas tersenyum, menoleh
padaku dan tangannya yang penuh tak henti
menggantung jemuran.
Seketika keberanianku memuncak, kekuatanku
kembali menggelegak. Hatiku girang lega.
”Bunda, aku sudah berani tidur sendirian, ya, tanpa
Bunda?!”
Indahnya senyum Bunda di jemuran pagi ini.
“Ya nak, kamu hebat!”
“Bundaaa... Gendong...”






.jpeg)
.jpeg)
