Rabu, 14 Desember 2022

rakyat 5

diri ? Dan bukankah setiap negeri di Nusantara ini 
kerajaan jenggala ? Kecuali pajang bintoro , dan sebab nya menyerbu 
suryabuaya   untuk jadi kerajaan jenggala seperti yang lain-lain? 
sebab  kerajaan yang bukan kerajaan jenggala tidak pernah 
masuk hitungan? Kalau semua kerajaan bersikap seperti 
kediri , seluruh Nusantara pasti jatuh dalam kekuasaan 
nyi kanjeng blora. Kalian mengerti?” 
Dan semua pendengar menjawab mengerti. 
“Syukur Alhamdulillah.”.  
“Syukur Alhamdulillah,” semua menggemakan. “Maka 
semua kerajaan jenggala yang tidak melawan nyi kanjeng blora 
adalah musuh kita,” ia terbatuk-batuk. Badannya 
melengkung, kepala  nya diletakkan di atas meja rendah di 
hadapannya. Dan para kepala  tak berani memijitinya. Hanya 
adipati  pralaya  yang berani lakukan itu, namun   ia tak ada. 
“namun   ingat-ingat, tidak semua yang memusuhi 
nyi kanjeng blora adalah sahabat kita. Orang-orang Tionghoa juga 
tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu 
juga tidak suka. pajang bintoro  yang katanya arca    itu juga tidak 
suka itu. Dan mereka semua bukan sahabat kita,” ia angkat 
tangannya untuk mepercaya kan. “Semua itu memang bisa 
bersatu melawan nyi kanjeng blora, termasuk kita   Perbegu, 
Tionghoa dan arca   . namun  ingat-ingat hanya jayawisesa  kerajaan 
arca    pertama-tama bila kediri  jatuh.” Ia terengah-engah 
kehabisan nafas. 
“Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa 
Semarang dan pajang bintoro  itu satu. Maka itu juga kalian lantas 
jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai pajang bintoro . Kita 
lebih maju dibandingkan  pajang bintoro …. sebab  apa yang kita 
kerjakan selama ini ada di jalan kediri , bukan di jalan 
Dampo Awang.” 
“Kanjeng adipati ”, seseorang menyela, “putra mahkota 
pajang bintoro , Pangeran Sabrang Lor, sekarang adiputro  tumenggung dijoyo  
suryabuaya  , sudah  menyerang nyi kanjeng blora di jayamahanaya . Kita sendiri 
belum pernah berbukti menghadapinya. Bukankah itu 
pertanda mereka jauh lebih maju dibandingkan  kita?” adipati  
jayawisesa  tertawa melecehkan. 
“Mari aku ceritai kau, hai bekas musafir pajang bintoro . 
Bukankah kau sudah tahu kanjeng sinuhun  pajang bintoro  Syah Sri Alam 
Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa? 
Bukankah kau juga tahu, permaisurinya bukan orang Jawa 
sebetulnya ?   anak wanita lesbian  patih  Ampel. Apakah 
belum pernah aku ceritai kalian siapa patih  Ampel?” 
“Belum, Kanjeng adipati ”. 
“Baik. patih  Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti 
kanjeng sinuhun  pajang bintoro . adipati  jayawisesa  ini lebih tahu, sudah  bicara 
dalam Jawa pada kalian selama ini. Dia tak tahu. patih  
Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam jawadwipa  
pasuruan . Dia orang seberang, orang Campa mengakunya, 
orang Campa yang sudah lama tinggal di jayamahanaya . Anak 
wanita lesbian nya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga 
bukan orang Jawa. Nah, mengapa tumenggung dijoyo  itu memakai  
mpu wungubhumi  Jawa adiputro  dan dinamakan  Kanjeng baginda tuanku raja ? sebab , 
walaupun pajang bintoro  mengaku kerajaan arca    pertama-tama di 
Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot 
lagi jadi kerajaan Jawa biasa dengan segala mpu wungubhumi  dan 
keprajaannya.” 
“Biar begitu nyi kanjeng blora sudah  dihadapinya, dilawannya.” 
“Nanti dahulu , kau, mpu  jayamuseswa  yang 
berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. Dengarkan 
baik-baik. Patah ini menamakan diri Khalifah pertama di 
Jawa. mpu wungubhumi  yang dia memakai  mpu wungubhumi  Parsi, dan nama 
ibukotanya sama sekali tak berbau arca   : Glagah Wangi, 
Bintoro pajang bintoro . Bagaimana bisa begitu? sebab  memang 
tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas 
utamanya. Kalian tentu masih ingat tugas utama pajang bintoro : 
melindungi Semarang dari serbuan dari timur. Jadi di luar 
tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para 
wali, para adipati  yang itupun sekarang sudah bertentangan 
satu sama lain. Salah seorang di antara mereka sudah  
mereka bunuh bebetari i-betari i sebab  perselisihan berebut 
pengikut. Dan adipati  Kalijaga cucu Babah Bantong itu, 
putra adiputro  kediri , kabarnya sudah menghilang entah ke 
mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa. 
Boleh jadi ia tak mampu mengatasi perpecahan.” 
“Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih maju dibandingkan  
pajang bintoro . Bila kita sudah  berhasil memperoleh kan kediri , segera 
akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh Nabi: 
Yathrib. Dan pajang bintoro  akan kita majukan jangan sampai 
terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang pemberontak . lalu , anak-
anakku, jayamahanaya  pun insya sang hyang Widhi  akan dijadikan oleh sang hyang Widhi  
akan jatuh ke tangan kita. Jadi…” 
Belum lagi selesai wejangan itu, seseorang datang 
padanya dan berbisik pada kupingnya. adipati  jayawisesa  
mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu  tertawa 
dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh 
semuanya bubar. 
Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal 
adipati  jayawisesa  dan pembisiknya. lalu  tertawa 
meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah, 
menuju ke sesuatu tempat. Dan mulut adipati  berkomat-
kamit aneh: “nyi girah , nyi girah ! Kau juga, kau!” 
wah 
 
adipati  pralaya  sudah  memutuskan mengerahkan 
seluruh para bala tentara  jayawisesa  untuk memasuki kediri  dengan 
menempuh jalan-jalan yang belum dikuasai prajurit kerajaan  
kediri . 
Saran patih  Benggala adipati  jayawisesa  sudah  ia pelajari, dan 
kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik, 
dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan 
musuhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa 
perlawanan. 
Dengan menembusi rimba prajurit kerajaan  jayawisesa , termasuk 
gada rujakpolo nya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka 
yang bukan kekuatan perang mengikuti garis berat dan jauh 
itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang 
membawa perbekalan dan alat-alat sendiri. 
Hujan dan dingin tak mereka hiraukan. 
“sang hyang Widhi  bersama kita,” adipati  jayawisesa  merestui. “Hanya 
sang hyang Widhi  yang menentukan. Nasib kita semua berada di 
tangan-Nya”. 
Maksud pralaya  tahu benar, belum seluruh kekuatan 
prajurit kerajaan  kediri  sudah  dikerahkan oleh raden panji  gelang-gelang . 
Walau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu, 
kediri  dalam keadaan kosong. Orang akan dapat 
berlenggang-kangkung memasukinya, langsung masuk ke 
dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi. 
Ia pun mengetahui pasukan musuh yang bersenjatakan 
cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran 
pelabuhan. Cetbang tak dapat dipakai  untuk setiap 
keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipakai  bertahan 
terhadap setiap macam serangan. Ia sudah  temukan cara 
untuk menumpasnya. 
Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang 
dicadangkan oleh kediri . Hanya di mana cadangan itu 
ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya 
tak tahu. Dari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu 
ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengira-
ngira kan. 
Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa 
menjadi sumber bencana. namun   menunggu lebih lama 
adalah kehancur an…. 
O0-dw-oO 
 
Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu 
menerobosi mendung putih itu. 
Dua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang 
bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak 
pohon tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu 
panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri 
lebih dari tiga rangkulan manusia. 
Sesampainya di puncak mereka segera dapat melihat 
pemandangan luas di bawahnya: padang rumput, hutan, 
sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis 
putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan 
jalan desa. 
“Ha! itu mereka!” pengintai pertama berseru terangsang.  
“Berhari-hari ditunggu…,” yang kedua menambahi.  
“Berminggu!” yang pertama membetulkan.  
“Berminggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa? Lihat! 
Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk 
ke kediri . Bahaya! Sedang kita masih sibuk mencari-cari”.  
‘Turun! Cukup! Jangan sampai ketinggalan waktu”.  
“Nampaknya mereka berangkat malam,” kata pengintai 
kedua. Ia bercepat-cepat menuruni tangga batang bambu. 
“Bagaimana pun kita akan lebih dahulu  sampai,” jawabnya 
sambil juga menuruni tangga. 
“Jangan meremehkan,” pengintai kedua 
memperingatkan, “biarpun kita berkuda”. 
Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masing-
masing yang selama itu gelisah diserang nyamuk. Mereka 
berpacu. Di sebuah padang rumput pengintai pertama 
berpesan: “Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda 
Maesa Wulung. Terus menghadap panembahan senapati ki ageng  dan sekalian 
hormatku”. 
Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung 
ke kota. Pengintai ke dua mencambuk kuda, membelok ke 
kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padang ilalang. 
Sesudah  padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil, 
lalu  sampai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang 
centeng . Seseorang sudah  mengganti kudanya dengan yang 
baru. Selama memasang abah-abah pengintai kedua itu 
berkata pada seorang centeng  yang datang menghampiri. 
“Sampaikan pada pasukan kuda Maesa Wulung: Mereka 
bergerak untuk langsung memasuki kediri  dari jalan negeri. 
Setiap orang membawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari. 
Teruskan, aku akan menghadap panembahan senapati ki ageng ”. 
“Berapa kekuatan mereka?” 
“Membeludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan 
memasuki kota pada waktu matahari tenggelam”. 
Ia melompat ke atas kudanya dan hilang di antara 
rimbunan pepohonan buah. 
centeng  yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada 
dua orang centeng  lainnya, lalu  berpacu mengikuti 
pengintai kedua. Dan kedua orang centeng  itu berpacu pula 
ke jurusan lain. 
centeng  pengintai pertama yang menuju ke kota itu 
disambut oleh dua orang centeng  yang sudah siap dengan 
kudanya. Ia menyampaikan perintah pada mereka, 
lalu  ketiganya berangkat, menempuh jalan berlain-
lainan, semua dengan satu tujuan menghadap kepala   
pasukan pengawal, Braja. 
Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri. 
Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar 
meminggir. Beberapa desa sudah  dilewatinya tanpa 
menengok. Desa-desa hilang berganti dengan hutan tipis 
yang rimbun dengan semak-semak petai cina. 
“Brenti!” sayup-sayup ia dengar kata an dari hadapan. 
Ia tak dapat menembusi semak-semak petai cina itu 
dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada 
punggung kuda. Tangan kirinya memeluk batang leher 
kuda dan tangan kanan mencambuki hewan  itu. agar 
berpacu terus, lebih cepat. 
“Tombak!” ia dengar lagi kata an lain. 
Bersamaan dengan itu beterbangan tombak dari hadapan 
menyambar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah 
kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tombak. 
Sebilah sudah  mengenai pinggang hewan  itu, tembus 
sampai ke dada. hewan  itu terhenti pada suatu jarak. 
Dengan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras. 
kepala  nya menengok ke kiri lalu  ke kanan, mencoba 
melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia 
melonjak sambil menjerit. 
Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke 
tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya 
yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium 
mukanya. Sebatang tombak lain melayang dan 
menyerompat iganya. hewan  itu memekik dan melarikan 
diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggul. 
Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan 
mulai bermunculan. Tak kurang dari 30 . Mereka 
kumpulkan kembali tombak-tombak yang luput. 
“Berpacu secepat itu pasti membawa berita,” seorang di 
antaranya memberikan pendapat sambil menembuskan 
tombak dalam tubuh pengintai dan memalui tembusan itu 
mencabutnya. “Dalam lodong pelupuknya ada lontar,” 
katanya lagi sembari membersihkan tombak berdarah itu 
dengan daun-daunan. 
“Lebih baik lagi,” sambung yang lain. “Lisan maupun 
tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!” 
Mayat pengintai pertama dilemparkan ke pinggir jalan, 
lalu  mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina 
di kanan dan kiri jalan. 
wah 
 
Kedai minuman mpu jahalodang pagi itu kedatangan banyak 
langganan seperti kemarin atau kemarin dahulu . Pertama-
tama sebab  peluru-peluru kanjuruhan  yang sudah  
dikumpulkannya ia pajang di warungnya jadi tontonan. Ke-
dua orang ingin mendengar cerita dari mulut pertama 
bagaimana warungnya dirusak oleh peluru kanjuruhan  itu. 
Ketiga, berita-berita yang disiarkan olehnya bersama raden  
sanggabuana  bumikerta  tentang bakal datangnya banyak, terlalu 
banyak kapal nyi kanjeng blora, bukan untuk berperang, namun  
berdagang. 
Sambil melayani mpu jahalodang berkicau terus-menerus. Penutup 
dari semua tetap sama: betapa hebatnya gada rujakpolo  kanjuruhan  
itu. Juga pada pagi ini. 
Dan pagi itu raden  sanggabuana  juga sudah menduduki 
bangkunya, sebuah tempat penghormatan untuknya di 
pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia 
bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan 
mpu jahalodang. 
Warung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari. 
Sejak itu seorang langganan baru, selalu berpakaian 
seberang, berkumis bapang tanpa jenggot, selalu mengambil 
tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia 
tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau jawadwipa . 
Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan 
bersarung tenunan desa yang dinila. Langganan baru itu tak 
lain dibandingkan  Braja. 
“Sungguh berbahaya bermain-main dengan nyi kanjeng blora,” 
raden  sanggabuana  mengegongi. “Kerajaan-kerajaan besar 
ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia 
dibikin marah”. 
“Memang begitu.” mpu jahalodang meneruskan. Tak ada yang 
dapat menahan mereka, Tuan patih wirabuana . Lihat saja 
pelurunya. Seratus gada rujakpolo  bisa gugurkan gunung yang 
setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging 
dan tulang. Sungguh menakutkan”. 
“Setidak-tidaknya, baginda tuanku raja  Tuan patih wirabuana ,” seorang 
langganan lain di dekat Braja menyela, “di kediri  dia 
pernah dihina dan dihalau”. 
“Apa? Dihina dan dihalau?” seru mpu jahalodang, “dihina dan 
dihalau katanya, Tuan patih wirabuana . Janganlah itu dinamakan  
lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! Dan 
nyi kanjeng blora tak akan lupakan itu. Sungguh mati”. 
“nyi kanjeng blora takkan pernah melupakan sesuatu,” raden  
sanggabuana  mengegongi lagi. 
“Dihina dan dihalau!” langganan itu berkukuh. 
“Dihina dan dihalau katanya mpu jahalodang”, patih wirabuana  itu 
berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai 
tongkatnya. ‘Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu 
betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datang?” ia 
mendelik pada langganan di samping Braja. 
“Yang akan datang?” Braja ikut campur, dalam jawadwipa  
  bicara untuk pertama kali, “dihancur kan sama sekali”. 
“Puh! Berapa lama jayamahanaya  jatuh? Berapa bentar panarukan  
dikuasai? Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa 
Tenggara? Dan terlalu banyak takluk sebelum dikelahi: 
jenggala , Ambon, madura , penanggungan , Kei, merapi ….” 
Semua mata tertuju pada Braja. Dan orang 
mengawasinya baik-baik, dan tahulah orang, pedagang 
serba wulung nila itu tak lain dibandingkan  Braja, kepala   
pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-angguk tak 
acuh. mpu jahalodang dan patih wirabuana  terperanjat. 
Suasana yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh 
datangnya seorang penunggang kuda. Dengan masih 
menuntun kudanya ia masuk ke dalam warung, 
memperoleh kan Braja. 
Semua mata mengikuti kepala   pasukan pengawal yang 
sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda. 
lalu  kedua-duanya meninggalkan warung. 
“Bukankah itu Braja?” seorang langganan berbisik. 
“Bukan!” seorang langganan lain yang juga belum 
dikenal namanya membantah. “Bukan Braja. Braja aku 
kenal, dahulu  pernah aku jadi pelayannya, lima tahun”. 
Kata-kata itu menenangkan mpu jahalodang dan raden  sanggabuana . 
“Tuh! Orang tak tahu persoalan,” langganan yang duduk di 
dekat Braja tadi mengulas, “pedagang biasanya lebih tahu 
dari petani, ini lebih dungu,” ia tatap raden  sanggabuana  untuk 
memberi simpati. “Tak pernah ada memang nyi kanjeng blora 
dihancur kan. Apalagi dengan sama sekali”. 
“Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya,” raden  
sanggabuana  mulai hidup kembali. 
Dan pengagungan terhadap kanjuruhan  mulai lagi. Orang di 
dekat Braja tadi juga ikut mebetari ikan, tak lagi membantah. 
Semua ikutserta  membenarkan, menggarami, membubui. 
patih wirabuana  dan mpu jahalodang semakin bersemangat. Langganan 
itu pun minum lebih banyak walaupun hanya tuak murah 
bukan arak. 
Dan mpu jahalodang dan patih wirabuana  nampaknya kurang cermat 
memperhatikan mereka. Mereka adalah centeng -centeng  
pengawal. 
Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseorang berdiri 
terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat 
ke jurusan jalan raya. Dan mereka melihat pemandangan 
ajaib. 
Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya, 
dengan sebatang tombak tertancap pada pinggul dan darah 
meleleh dari bawah mata tombak, sedang berjalan payah 
terpincang-pincang kesakitan entah ke tujuan mana. 
Tombak itu jelas bukan milik para bala tentara  kediri . “adipati  jayawisesa  
sudah mendekati kota,” seseorang memastikan. Semua 
langganan keluar dari warung untuk dapat memperhatikan 
tombak dan hewan  itu. 
“Itu kuda para bala tentara  kediri . Lihat tanda pada kupingnya!” 
“Ya, memang kuda para bala tentara  kediri ,” orang membenarkan. 
Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mulai kelihatan 
rombongan petani tanpa barisan membawa gada  dan 
tombak para bala tentara  kediri , juga busur dan perisai. 
“Itulah para bala tentara  jayawisesa ”, bisik raden  sanggabuana  megap-
megap. Tak ada yang menanggapi. 
Sebentar lalu  menyusul pemikul-pemikul cetbang 
di belakang rombongan kacau itu. 
“Bukan prajurit kerajaan  kediri ”, raden  sanggabuana  
mepercaya kan, “jelas para bala tentara  adipati  jayawisesa . Mereka sedang 
memasuki kota.” 
“syang  hyang Widhi , Tuan patih wirabuana !” sebut mpu jahalodang, “kita 
tutup kedai dengan lupa membayar minuman….” 
Segera sesudah  menerima laporan, Braja mengerahkan 
pasukan pengawal. Daerah pelabuhan dikosongkannya, dan 
diarahkannya kekuatan-nya ke luar kota, melalui jalan-jalan 
yang bakal ditempuh oleh para bala tentara  jayawisesa . 
Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari centeng -
centeng  pilihan yang diambil dari pasukan-pasukan lain 
sebab  keberanian dan ketangkasan dan kecerdasannya. 
Setiap di antara mereka dapat memmemakai  semua 
macam senjata dan penunggang kuda yang mahir. 
Sesudah  pulih dari kekecilan hati mereka menerima 
balasan dari raden panji  gelang-gelang , dengan pasukannya yang kecil 
ia bertekad untuk menghancurkan para bala tentara  jayawisesa  dengan 
berondongan cetbang sambil menunggu sampai pasukan-
pasukan kediri  lainnya datang membantu. 
kediri  yang kebetari t tidak boleh dijamah oleh tangan 
pemusuh ia bersumpah. 
Sesudah  sampai di luar kota cetbang-cetbang dipasang, 
dihadapkan ke arah musuh akan datang. centeng -centeng  
selebihnya diperintahkannya membiak ke kiri dan ke kanan 
jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan 
meninjau ke seluruh medan. 
wah 
 
adipati  pralaya  sudah  memerintahkan agar para bala tentara nya 
tidak bersorak sama sekali, tidak membunyikan gendang 
dan gong, tidak memakai  umbul-umbul ataupun panji-
panji, sebelum berhasil memasuki kediri . 
Ia pun sudah  memberikan perintah, begitu memasuki kota 
semua centeng nya harus menyebar ke sana-sana. 
Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan 
melalui jalan belok dan akan memasuki kediri  melalui 
pesisir sebelah timur kota, dan akan menyelesaikan segala 
kesulitan dengan cetbang. 
Maesa Wulung pada mulanya tidak percaya, musuh 
sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada 
pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah aman 
selama ini. Juga centeng -centeng nya mengikuti sikap 
pemimpinnya. 
Waktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata 
separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke 
mana mereka pergi. Dan dengan hanya separah kekuatan ia 
berangkat ke medan pertempuran. 
Waktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di 
bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di 
depannya, barisan musuh yang terlalu besar jumlahnya. 
Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam 
seperti barisan pengantar mayat. Seumur hidup ia tak 
pernah melihat barisan demikian. Dan ia merasa ngeri. 
Dihentikannya pasukan itu dan diperintahkannya 
berlindung di balik pepohonan. Tak tahu ia apa yang harus 
diperbuat. 
Padang ilalang itu akan membuat  pasukannya terbuka 
dari serangan panah dan tombak, dan musuh sudah  
memperoleh  posisi lebih dahulu. Untuk membentuk formasi 
apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini 
pun akan membuat  kuda-kuda cepat lelah, dan dalam 
melakukan serangan nyamuk menggigit kuping hewan  
itu. 
Ia ragu-ragu. 
Seorang centeng  keluar dari balik pepohonan dan 
melewatinya. Ia tak menegurnya. Dan centeng  itu langsung 
berpacu ke jurusan musuh, dengan membawa tombak. 
Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi. 
Maesa Wulung merasa menghalangi jalanan, dan ia pun 
berangkat maju. 
Pasukan kuda yang kecil itu mulai bersorak-sorak maju 
dan menyerang. Dan tombak-tombak berlayangan jatuh di 
tengah-tengah laskar musuh yang membalas dengan anak 
panah. Pasukan kuda itu tak berani mendekat-dekat. Medan 
tak memungkinkan. Setiap habis melempar mereka 
menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. Sesudah  
lemparan yang ke empat mereka sudah  kehabisan tombak 
dan mengundurkan diri untuk memperoleh kan yang baru. 
Tombak-tombak itu mengenai sasaran, namun para bala tentara  
musuhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota 
dengan meninggalkan korban di jalanan. 
Waktu pasukan kaki cadangan datang dalam jumlah 
yang cukup besar, barulah Maesa Wulung memperoleh kan 
kepribadiannya kembali. Dengan Danang, pemimpin 
pasukan kaki cadangan, diperoleh  kesepakatan untuk 
menggunting putus para bala tentara  jayawisesa  dengan memakai  
baris lebar. 
Maka gabungan pasukan kuda dan kaki mulai menyerbu 
dengan formasi lebar, formasi ombak laut. namun   itu pun 
tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki kediri  yang lari 
menyerbu dengan telapak kaki berdarah-darah tercucuki 
dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh daun 
rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti 
untuk mengurus    tunas alang-alang yang patah dalam 
telapak kaki itu, lalu  lari lagi. Dan tak kurang-
kurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincang-
pincang. Namun mereka bersorak gegap gempita. 
para bala tentara  jayawisesa  tetap tak bersuara. Anak panah dan 
tombaknya berterbangan mengusir para penyerang. Dan 
para penyerangnya menyerbu terus. Perkelahian seorang 
lawan seorang sudah mulai terjadi. Barisan para bala tentara  jayawisesa  
terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan 
barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejar-
kejaran, bertarung. Dan barisan yang putus itu bersambung 
dengan laskar di belakangnya, meninggalkan mereka yang 
sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah kediri . 
Demikian seterusnya, terputus bila terpm&m serangan yang 
melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke 
keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban 
pada ke dua belah pihak. 
Antara sebentar Danang memaki-maki sebab  Maesa 
Wulung tak dapat mengatur pasukannya sehingga tak 
menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi 
gusar, sebab  dalam prajurit kerajaan , kedudukan pasukan kuda 
berada di atas pasukan kaki, demikian pula dengan perwira-
perwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih 
berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan 
gabungan. 
Ketidakserasian itu sementara menguntungkan para bala tentara  
jayawisesa . Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya 
dapat terus berjalan masuk ke kota, namun banyak juga 
antara musuhnya yang dapat dirobohkan. 
wah 
 
raden panji  gelang-gelang  menerima berita tentang gerakan para bala tentara  
jayawisesa  yang menuju ke kota di tempat lain pada siang hari. 
ki glodog ireng  yang nampak sudah kurus itu 
diperintahkannya mengejar dan menyerang dari belakang 
sesudah  dapat menjejak jalan mereka. 
Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda. 
Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus 
menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali 
memasuki kediri  bersama dengan seluruh pasukan gajah. 
Duduk di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala 
chucky : “Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dapat 
dikerjakan. Jangan ada yang menghadap baginda tuanku raja  adiputro ”. 
Dan ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan 
ki glodog ireng  yang sudah  memasuki hutan. 
Jalan yang habis ditempuh oleh para bala tentara  jayawisesa  itu tak 
lama lalu  dapat ditemukan. Jalanan baru yang habis 
dibikin nampak terbuka, dan lebih lebar sesudah  kena 
terjangan para bala tentara  jayawisesa . Di kiri dan di kanannya berkaparan 
bekas tebangan. Dibawa lumpur sudah  bercampur dengan 
dedaunan dan kayu-kayuan busuk, ranting, batang kayu 
melintang, yang hanya bisa dilalui dari bawah atau atasnya. 
Di mana-mana bagian air menggenang sampai ke paha 
berwarna kelabu. Hutan itu mengembangkan bau daun 
kayu busuk. Potongan berduri tak jarang ikut terpendam 
dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang 
terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda, 
dan hanya dapat dihindari dengan membuat jalan belok. 
Dan pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan 
perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara sebab  
sulitnya medan. 
Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri 
yang terbuka dan terpelihara. Dan kuda-kuda itu pun 
terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus 
mesanggrah di udara terbuka. 
Jalanan negeri itu kini sudah  rusak permukaannya sebab  
sudah  jadi bubur. namun   untuk pasukan kuda tak ada suatu 
rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu 
matahari mulai condong, buntut pasukan jayawisesa  sudah  
nampak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di 
atas padang rumput hijau. 
Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk 
perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak 
bumi lagi. Mereka mulai menyusul dan melewati barisan 
musuhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan. 
Bila pinggiran mulai kacau dalam usaha untuk dapat 
mempertahankan diri. centeng -centeng  kuda lainnya 
menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran 
gada . Maka laskar terakhir para bala tentara  jayawisesa  adalah laksana 
buntut seekor ulat putih yang diserang oleh serombongan 
semut. Ia meliuk-liuk namun  perasaannya tidak menjalar ke 
seluruh tubuhnya. Dan waktu laskar buntut itu menjadi 
bubar torobrak-abrik terjadilah perkelahian dengan medan 
lebar. 
ki glodog ireng  dan raden panji  gelang-gelang  berpacu terus untuk 
dapat mencapai kepala   barisan musuh. Sampai pada 
pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda kediri  
di bawah Maesa Wulung dan pasukan kaki di bawah 
Danang sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling 
untuk ditumpas. 
Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran. 
panembahan senapati ki ageng  melihat Maesa Wulung keluar dari medan 
pertempuran dan menghadap padanya. 
“Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok!” 
tegur ki glodog ireng , tanpa memperhatikan bawahannya 
dan terus mengawasi jalannya pertempuran. 
Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di 
seberang daerah pertempuran sana serombongan centeng  
jayawisesa  tampak sedang mengangkuti sesuatu. 
“Ya, itulah gada rujakpolo nya!” seru raden panji  gelang-gelang . “Maesa 
Wulung, tinggalkan gelanggang. Kerahkan seluruh 
pasukanmu, sergap rombongan sana itu!” 
Maesa Wulung berbalik, langsung turun ke medan 
pertempuran, dengan cambuk perang menggeletar di udara, 
memekik: “Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!” 
Tinggsang hyang Widhi  pasukan kaki mengamuk di tengah-tengah 
barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa 
Wulung datang dan langsung masuk ke tengah medan 
menggantikan yang pergi. 
wah 
 
Regu pengangkut dan pengawal gada rujakpolo  itu sedang 
menuju ke arah setumpuk tanah kubah ketinggian untuk 
tempat memasang gada rujakpolo nya guna menembaki kediri . 
Melihat datangnya limabelas centeng  kuda musuh mereka 
meletakkan beban masing-masing dan melindungkan diri 
dalam lingkaran pasukan pengawal. 
Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu. 
“Ganggu mereka!” perintah Maesa Wulung. “Jangan 
beri kesempatan!” 
Panah dan tombak mulai beterbangan. Pasukan kuda itu 
meledek menjauh dan mendekat sambil memaki dan 
menghina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung 
cambuk itu menyambar dan menyobeki daging dan kulit 
dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan 
lawannya. Mereka berputar-putar dan menari-nari 
mengelilingi musuhnya. 
“Bantuan!” kata  fredy krueger  alias Manan dari tengah-
tengah lingkaran. 
namun   suaranya tenggelam dalam keriuhan orang 
berperang tanding. 
“Lingkar! Kepung!” perintah Maesa Wulung. 
“Lingkar! Kepung! Hore!” sambut anakbuahnya. 
“Babat begundal Rangga jatayuwesi !” 
“Musafir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Robohkan!” 
“Lingkar! Kepung! Hore! Hore!” 
Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran 
kepungan makin lama makin menyempit. 
“Tombak!” perintah Maesa Wulung. 
“Tombak! Tombak! Tombak!” seru anakbuahnya 
mengulangi. 
Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam 
selipan pinggang, dan tombak pun mulai dimain-mainkan 
di udara. 
“Lepas!” dan tombak pun belepasan dari atas kuda. 
centeng -centeng  dari regu pengawal dan pelayan gada rujakpolo  
mulai bergelimpangan. 
Dan lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit 
jua. 
fredy krueger  dan penywise tak pernah berperang tanpa 
senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan 
cambuk ia menjadi kecil hati Dan bantuan yang 
diperlukan nya tak juga datang. Dua orang itu bersiap-siap 
dengan gada  dan berlindung di balik peti-peti obat. 
Regu pengangkut dan pengawal gada rujakpolo  itu semakin 
tipis. Tombak dan cambuk kediri  sudah  menyarangkan 
mereka. 
“gada !” perintah Maesa Wulung. 
“gada ! gada !” anakbuahnya menyambut. 
gada  pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan 
berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. Dan senjata itu 
mulai membabat dan menyambar, digerakkan oleh tangan-
tangan ahli dan terlatih. 
Dan regu pengawal dan pengangkut gada rujakpolo  yang sudah  
digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan 
sekarang gada  itu menjadi semakin tipis, mulai berlarian 
mencoba meloloskan diri dari kepungan. 
Melihat bahaya yang semakin mendesak, fredy krueger  dan 
penywise melompat ke atas peti untuk memperoleh kan 
tempat ketinggian. gada  mereka berputar-putar di udara 
menunggu serangan. 
“Lari, ayolah , lari!” Maesa Wulung berseru pada 
musuhnya. 
“Lari, ayolah , lari!” sorak anakbuahnya. 
Mereka lari dan tidak dikejar. 
Pertahanan gada rujakpolo  itu semakin tipis juga. Semua tinggal 
bersenjatakan gada . 
“gada  di tangan kiri!” perintah Maesa Wulung. 
“Kiri! Kiri!” sorak sambutan anakbuah dari atas kuda. 
“Cambuk di tangan kanan!” 
“Kanan! Kanan!” 
Kecuali cambuk bergeletar memerahi kulit yang terkena 
dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran 
darah terputus. 
“Terjang!” 
‘Terjang! Terjang!” sorak-sorai. 
fredy krueger  dan penywise kehilangan akal berhadapan 
dengan cambuk yang menyambar-nyambar bergelataran 
yang memekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya 
di Asia dan Afrika tak pernah mereka menghadapi 
sejenis  ini. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi 
cambuk. 
‘Tombak!” penywise menyarani fredy krueger . Ia 
menyambar sebatang tombak dari tangan seorang 
pengawalnya yang sudah  rebah. 
Terpengaruh oleh saran itu fredy krueger  pun membungkuk 
mengambil sebatang. namun  ujung cambuk bergerigi baja itu 
sudah  menyambar mukanya, bahu dan punggungnya. Darah 
menutupi pemandangannya. Tombak dan gada  di tangan 
tiada berguna. 
Sebuah cambuk yang menggeletar sudah  merenggutkan 
tombak dari tangan penywise, mengelupas 
pergelangannya. Ia terkata  dan cambuk lain sudah  hujan 
pula pada mukanya. 
“Panglima! Panglima!” fredy krueger  memekik. 
“Keparat!” sumpah penywise. 
Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini 
berdiri di atas peti, sibuk menyeka muka dari darah. 
“Tangkap hidup-hidup!” teriak Maesa Wulung. 
Tubrukan kuda membuat  fredy krueger  dan penywise yang 
setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti 
ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka 
sudah  terikat ke belakang. 
Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatang 
pohon punggung-memunggung, di bawah pengawalan 
seorang centeng  kuda 
Sisa regu pengawal dan pengangkut gada rujakpolo  sudah  lenyap 
dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan 
gada rujakpolo  yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal 
berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai 
dalam keadaan setengah mati 
Dan pasukan kuda kecil yang sudah  berkurang jumlahnya 
itu balik dan turun lagi ke medan pertempuran. 
para bala tentara  jayawisesa  tak berkesempatan lagi untuk 
menyelamatkan gada rujakpolo  mereka dan penembak-
penembaknya. Medan pertempuran makin lama makin 
meluas, sebab  pasukan kuda kediri  di bawah ki glodog 
ireng  sesudah  mengobrak-abrik buntut barisan musuhnya 
lalu  berpacu ke depan dan membuat  medan 
pertempuran jadi semakin lebar. Matahari mulai tenggelam. 
Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentuman 
cetbang. Pertempuran di pinggiran kota juga sudah  dimulai. 
Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun. 
Bahkan bulan muda sudah mulai nampak di langit cerah. 
wah 
 
23. nyi girah  Jadi Sandera 
Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi 
melihat dan melihat nya. Ia pun belum lagi bisa 
menelungkup. Baru belajar miring. 
Sesudah  melahirkannya nyi girah  merasa sangat berbahagia. 
Bayi ini tidak seperti mpu wungubhumi . Wajahnya cerah seperti 
ayahnya dan hidungnya seperti ibunya. 
Setiap han penduduk desa ada saja yang memerlukan 
datang untuk melihat  dan untuk ikut merawat. Semua di 
antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang 
Patih panembahan senapati ki ageng  kediri . Maka kebesaran pun sudah mulai 
dipersembahkan kepada sang bayi. 
Tidak lain dari kepala   desa itu juga yang paling kerta -
kerta  mengurus    kesejahteraan dan kebusang yang betari durga   si ibu dan 
anaknya. Dan semua itu disambut dengan kewaspadaan 
oleh nyi girah . 
Dan tidak lain dari kepala   desa itu juga yang sering 
menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah 
sebab  kebijaksanaannya mengirimkan nyi girah  dan raden gelang-gelang  
ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu. 
Kebahagiaan meliputi hati nyi girah . Bayi itu adalah 
segalanya. 
Dan datanglah satu regu centeng , yang dengan sopannya 
memberitahukan: atas perintah Sang Patih panembahan senapati ki ageng  kediri , 
nyi girah  dan anaknya dan Nyi kembang  Kati harus diboyong dari 
hutan  larangan  ke kediri  Kota; anakbuah adipati  jayawisesa  sudah  
bersebaran di mana-mana; mereka bertiga harus 
diselamatkan. 
Di bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuanya 
mereka berangkat meninggalkan hutan  larangan : nyi girah  
dengan menggendong si bayi, Nyi kembang  Kati yang 
membawa popok bayi dan menggandeng mpu wungubhumi . Barang-
barang lain diangkat oleh centeng -centeng . Mereka berjalan 
pelan-pelan. 
Baik nyi girah  maupun Nyi kembang  Kati merasa was-was 
terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih panembahan senapati ki ageng  
kediri  mengirim tandu untuk seorang wanita yang baru 
melahirkan. namun  mereka tak bertanya. 
Tiga buah desa sudah  dilewati. kepala   regu penjemput, 
yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh Nyi 
kembang  Kati melangsungkan perjalanan ke kediri . 
“Sendirian?” 
“Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu, 
namun  tanpa anak yang kau tuntun itu”. 
“Bagaimana dengan Nyi kembang  nyi girah  nanti?” 
“Begitulah perintah panembahan senapati ki ageng ”. 
“Biar aku bawa mpu wungubhumi ”. 
“Tidak, jalan kau sendiri”. 
Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi nyi girah  dan 
mpu wungubhumi  dan si bayi membelok ke kanan dalam iringan regu 
penjemput. Ia tetap berdiri di situ sampai mereka hilang di 
kejauhan, baru lalu  meneruskan perjalanan seorang 
diri. 
Wanita yang baru melahirkan menggendong bayi, 
membawa bungkusan dan menggandeng mpu wungubhumi  itu tidak 
diperkenankan beristirahat. 
nyi girah  mulai curiga. 
Bayi itu pun tak boleh disusuinya. 
mpu wungubhumi  sudah mulai lelah, tidak boleh beristirahat, dan 
antara sebentar minta digendong. Dan tak ada seorang pun 
di antara regu penjemput itu mengulurkan tangan 
penolongnya. 
Tahulah ia sekarang, ia sudah  jatuh ke tangan musuh 
suaminya. Ga-leng takkan mungkin memperlakukan 
keluarganya seperti ini. 
Ya, Dewa Batara, kata nya dalam hati, selamatkan aku 
dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini. 
Dan makin lama mpu wungubhumi  makin sering minta digendong. 
Dengan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan 
pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu. 
“Ke mana kami akan dibawa?” sekali ia memberanikan 
diri bertanya. 
“Ke mana? Ke suatu tempat di mana raden panji  gelang-gelang  akan 
datang dan menemui matinya,” jawaban yang cukup 
menyakitkan dan kurangajar sekaligus. Sesudah  itu ia tak 
bertanya lagi. 
Menjelang tengah malam sesudah  melalui banyak desa, 
barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya 
dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan 
pintu dipasak dari luar. 
Dengan menggerayang-gerayang ditemukannya ambin 
tak bertikar, di situ ia letakkan anak-anaknya dan mulai 
menyusui anaknya sambil memijiti kaki mpu wungubhumi . Ia sudah tak 
dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya 
sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi. 
Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih 
tidur. Ia duduk dan memandangi mereka. Lubang-lubang 
pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan 
kakinya masih juga sesak dan pegal. 
Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu 
membuat ia menggerayap menghadapi pintu dan bersiaga. 
Di lubang pintu itu berdiri adipati  jayawisesa  alias patih  Benggala 
alias Rangga jatayuwesi  alias jatayuwesi  dijoyo . 
Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat 
kilat ia ambil bayinya dan didekapkannya pada dada. 
Dengan punggung melindungi mpu wungubhumi  yang masih nyenyak 
dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi 
bajunya sudah  basah diompoli bayinya. 
“Ah, ah, si Upik!” tegur adipati  jayawisesa  dengan senyum 
menggigit, “lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan 
gugup. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga? 
Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau 
kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu? Cukup 
kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai 
wanita lesbian ?” 
Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan nyi girah : 
“Tidak tahu,” jawabnya pendek. 
“Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan 
patih wirabuana  kediri ?” 
‘Tuan patih wirabuana  pakanewon ….” 
“pakanewon  pakanewon !” Laki-laki  itu melecehkan. “Dari mana 
pakanewon nya si iblis itu? Ya, tentu dari iblis dan setan laknat 
juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku, 
nyi girah .” 
Suaranya membangunkan mpu wungubhumi . Anak itu berdiri di atas 
ambin, berteriak ketakutan. 
nyi girah  menengok ke belakang sejenak untuk 
menenteramkan anak itu dengan memberikan 
punggungnya. 
mpu wungubhumi  mengerti, menempel pada punggung itu, memeluk 
leher ibunya dan mengintip adipati  jayawisesa  dari samping leher 
ibunya. Dan ia tetap berdiri di atas ambin. 
“Mengapa pada takut padaku? Apakah aku kelihatan 
menakutkan?” orang itu bertanya. “Kau sendiri juga takut, 
nyi girah . Hei, apakah kau tak pernah dengar nama adipati  
jayawisesa  di desamu hutan  larangan ? Inilah aku, nyi girah ”. 
nyi girah  tak menanggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia 
justru menajamkan kewaspadaan dan mengikuti gerak-gerik 
tangannya.. 
Dan bayi itu mulai menangis lapar, namun  ia tak 
menggubrisnya, juga tak mendiamkannya. Matanya tetap 
tertuju pada tangan adipati  jayawisesa . 
“Kau, Upik, siapa tidak tahu kau? Juara tari tiga kali 
berturut pujaan kediri . Di sini, nyi girah , kau bukan pujaan 
siapa pun. Kau, isteri satu-satunya raden panji  gelang-gelang ”. 
Ia menunggu sambutan. nyi girah  tetap membisu. 
“Mengapa diam saja? Masih takut?” melihat wanita itu 
tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah 
kemerahan sebab  tersinggung. “Tahu kau mengapa di 
sini?” ia belai-belai jenggot untuk menyalurkan 
kemarahannya. 
Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang 
mulai membanyak. 
Mengetahui nyi girah  tak juga bicara ia meneruskan dengan 
gaya pemain panggung: “Bukan salahku, kau didatangkan 
ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini. 
Suamimu raden panji  gelang-gelang , si anak desa tak tahu di untung 
itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan panembahan senapati ki ageng  kediri . 
Bukan sebab  pengangkatannya itu ia sendiri menyusahkan 
aku nyi girah , namun  asalnya! Asalnya! sebab  bukan ningrat, 
hanya anak desa, tak pernah belajar kecenteng an, mendadak 
jadi panembahan senapati ki ageng , tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka 
perangnya ngawur serampangan, tak dapat ditebak apa 
maunya. Mengerti kau?” 
mpu wungubhumi  mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si 
bayi menggerayangkan tangan pada dada nyi girah . 
adipati  jayawisesa  tetap mengawasi wanita itu dan 
meneruskan dengan nada menurun seakan mengharapkan 
simpati yang ikhlas. 
“Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau. 
Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu 
akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan 
kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke 
kediri . Sekiranya kau dahulu  memilih jadi selir, memang 
semua tidak akan begini jadinya, nyi girah ”. 
mpu wungubhumi  mengintip adipati  jayawisesa  dari balik tengkuk ibunya. 
Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan 
perhatian pada anak itu. 
Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada mpu wungubhumi : 
“Mengapa anak itu tak ada kesamaannya dengan raden gelang-gelang ? 
Ah, Kau. nyi girah  pujaan kediri . Lepas dari Sang adiputro  
jatuh ke dalam terkaman si Habibullah keparat itu”. 
Ia diam memperhatikan mpu wungubhumi  yang sekarang mencoba 
menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. adipati  
jayawisesa  tertawa menggigit dan mengejek: “Kau layani dua 
Laki-laki , nyi girah ! Tak salah lagi. Hidungnya sama bengkuknya, 
matanya, rambutnya yang agak keriting. Hah! Mukanya 
sama tipisnya. Kulit kehitaman. Sama sekali tak dapat 
dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau 
memang layani dua Laki-laki ! Yang satu begundal nyi kanjeng blora, 
yang lain anak dungu begundal munafik” Tak tahan lagi 
nyi girah  mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya 
menunduk, makin menunduk. Kedua orang anaknya harus 
selamat. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan 
diterimanya dengan menunduk. 
“Malu? Pura-pura malu?” 
Dengan menahan kesakitan hati pelan-pelan ia angkat 
kepala  nya. Ia pandangi adipati  jayawisesa , berkata lembut, 
seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: “Suamiku 
sendiri. adipati , tak pernah mengejek dan menggugat seperti 
itu”. 
“sebab  dia dungu. Sedikit saja cerdik… takkan lama 
kau menghirup udara. Cukup lama aku tinggal di kediri . 
Aku tahu gelagak darah Laki-laki  kediri . Dan si dungu itu, 
kalau bukan sebab  dungunya, dia takkan mungkin berani 
mengangkat diri jadi panembahan senapati ki ageng . Sekarang dia jadi peng-
halangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi 
selatan ini”. 
“Ya, adipati . Si dungu itu suamiku. panembahan senapati ki ageng  kediri ,” 
nyi girah  berkata lambat-lambat dan hati-hati untuk tidak 
menakutkan mpu wungubhumi , dan bangga ia istri raden panji  gelang-gelang . 
“Dan kau wanita lesbian  tidak setia. Betapa banyak 
ragamnya.” 
“Hanya suamiku yang menilai diriku”. 
“Suaminya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak 
setia patut bangga pada suaminya yang dungu”. 
“Kalau yang menilai itu raden panji  gelang-gelang , adipati ,” nyi girah  
berkata lebih lunak lagi. “raden panji  gelang-gelang  panembahan senapati ki ageng  kediri , 
tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya, 
terserah. Setiap orang memang menilai setiap orang”. 
“Kau memang bijaksana, wanita lesbian !” adipati  jayawisesa  
tertawa mengejek, “menyerahkan penilaian pada suami 
dungu. Kau bijaksana,” ia berkecap-kecap senang, “seperti 
dalam dongeng, nyi girah . namun  biarlah, justru sebab  suamimu 
memuja kau, seperti orang-orang gila lainnya itu, pasti dia 
akan datang kemari. Dia musuhku”. 
“Ya, adipati .” 
“Tak ada yang menyebut aku adipati    Kanjeng adipati .” 
“Ya, Kanjeng adipati ”. 
“Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa 
kadipaten. Baiklah. Kau sendiri memang bukan musuhku. 
Apalagi anak-anakmu. Jangan buang airmata di 
hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang panembahan senapati ki ageng  
menangisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata 
itu, penari agung. Sayang di sini tarianmu tiada harga. 
Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadapan bukan 
muhrim”. 
nyi girah  dapat mengerti mengapa ia dihina seperti itu 
sebagai istri panembahan senapati ki ageng  kediri . Itu sudah sewajarnya. namun  
hatinya sakit sebab  hal yang lain: penghinaan terhadap 
tariannya. resi -resi nya sudah  membuat  ia jadi seorang 
penari ulung, berhasil memenangkan tiga kali kejuaraan 
berturut. Seluruh kediri  mengakui, mengapa orang yang 
satu ini justru menghinanya? 
Dan kedua belah tangannya sudah pegal dari 
menggendong kemarin dan sekarang ia masih juga 
tahankan sekuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan. 
“Apa aku bilang? Tak ada airmata berharga di 
hadapanku. Istri seorang musuh bukanlah musuh, apalagi 
bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, nyi girah , bukan pemberontak  
jahiliah”. 
Ia panggil beberapa orang yang datang berdiri di 
belakangnya. “Lihat, ini nyi girah , istri raden panji  gelang-gelang , istri 
tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat, 
sebab  dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri 
cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat 
Jawa tak pernah memiliki  kesetiaan pada istri dan anak-
anaknya, namun  istri dan istri-istrinya harus selalu setia mutlak 
padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan 
kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anak-
anak sendiri. Mereka tak lain dibandingkan  merak jantan, 
kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri. 
Mengerti?” 
“saya , Kanjeng adipati .” 
“Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan, 
dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari 
orang-orang yang lebih kuat dibandingkan  yang memiliki  hawa 
nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula 
nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu? Kita 
sudah bertekat untuk mengubah nasib Jawa agar tak jadi 
seperti itu, namun  sesuai dengan ajaran, larangan dan 
petunjuk”. 
lalu  kata-katanya dialihkan lagi pada nyi girah : 
“Bukankah sudah aku katakan padamu? Jangan menangis. 
Suamimu akan terpanggil kemari sebab  kesetiaannya 
padamu. Apa keberatannya sekarang, nyi girah ?” 
“Apakah yang akan kukatakan? Sudah sejak semula aku 
hanya ditipu untuk datang kemari”. 
“Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan 
salah. Ini hanya muslihat perang.” 
“Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku 
ditanyai?” 
“Diam!” bentak adipati  jayawisesa . “Kau tak juga mau 
mengerti siapa yang kau hadapi”. 
nyi girah  menunduk, mengetahui tak ada gunanya bicara. 
“Mengapa diam? Siapa yang kau hadapi” nyi girah  tetap 
membisu. “Siapa?!” bentaknya lagi.  
Dan nyi girah  tak juga membuka mulut. Suaranya 
lalu  merendah jadi gerutu. “Betapa banyak orang 
yang kutolak permohonannya untuk menghadap? 
Semestinya kau bangga aku ajak bicara”. Dan suaranya 
menaik lagi. “Siapa sedang kau hadapi sekarang?” 
“adipati  jayawisesa .” 
“Kanjeng adipati  jayawisesa ,” Rangga jatayuwesi  membetulkan. 
“Kanjeng adipati  jayawisesa .” 
“Betul. Siapa lagi?” 
“Musuh suamiku seperti kata-katamu sendiri”. 
“Diam kau, wanita lesbian  perbegu! Tak ada gunanya 
keangkuhan itu di hadapanku”. 
“Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan.” 
“Ya, itulah keangkuhan.” 
“resi -resi  mengajarkan pada kami sikap tahu harga 
diri dan kehormatan diri”. 
“Di mana harga dan kehormatanmu? Terlalu banyak 
disanjung orang, ya? Maka di hadapan adipati  jayawisesa  juga 
minta disanjung? Apa modalmu untuk angkuh di 
hadapanku? Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak 
untukku. Gamelan tak memiliki  bunyi di sini, bisu, hanya 
barang-barang pemberontak  tiada harga. Tak pernah tersebut dalam 
ajaran. Sombong, akui, ya? bicara tentang kehormatan dan 
harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu? Semua 
sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh 
anak haram itu di wilayah kekuasaanku. Bahkan 
perkawinanmu pun tidak sah. namun  tidak aku anggap kalian 
anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap 
angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan 
garamku. Semua orang di sini tahu aturan, tahu suruhan 
dan larangan. Penjaga-penjaga di sini akan menjaga 
keselamatan dan keamananmu sampai suamimu datang 
menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka 
kau seangkuh itu? Di sini takkan ada seorang pun dihukum 
tanpa dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan 
pengadilan yang adil”. 
“Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadapan 
Kanjeng adipati  jayawisesa  berarti keangkuhan, memang tak 
perlu lagi aku bicara”. 
“Jih! Dasar pemberontak  turunan pemberontak !” 
Ia tinggalkan rumah itu bersama pengiring-pengiringnya 
dan pintu kembali dipasak dari luar. 
Sesudah  mereka pergi nyi girah  baru sadar, di atas ambin 
sudah  tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi 
minum dan pasu kayu berisi air. 
“Tidak ada apa-apa, Nak,” katanya pada mpu wungubhumi  dan 
disusuinya anaknya yang kecil. ”Makanlah. Apakah emak 
harus layani?” ia melayani mpu wungubhumi  sambil menyusui. 
Ia memiliki alasan untuk takut. Dan ia tak perlihatkan 
kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada 
dirinya sebagai pelindung tergoncang. Mereka justru 
memerlukan perlindungannya pada saat seperti ini. 
Tidak lebih dari seminggu lalu  terdengar bunyi 
kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dinding-
dinding bambu masuk ke dalam rumah itu. 
nyi girah  duduk di atas ambin mendengarkan. Si bayi 
berkicau di tengah-tengah ambin dengan mpu wungubhumi  sedang 
mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang mengucapkan 
syukur pada para dewa sudah  terlindungi dari pendarahan. 
“Apa yang betari i itu, Mak?” mpu wungubhumi  bertanya. 
nyi girah  mulai memperhatikan keriuhan itu. 
Tak lama lalu  terdengar langkah orang berlarian di 
depan rumah, makin lama makin banyak. 
“Siapa pada lari itu, Mak?” 
Suara orang berlarian itu berhenti. 
“Tak ada apa-apa, mpu wungubhumi . Mainlah lagi dengan adikmu”. 
Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan 
bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang 
menangis dibawa lari. Dari suara mereka terdiri dari 
berbagai kelamin dan umur. Suara-suara itu lalu  
berkurang. lalu  terdengar suara seorang nenek yang 
tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lambat: “Cepat, 
Yung, jangan terlambat.” 
“Ya, lebih cepat, kalau tidak, hancur  kau,” suara seorang 
Laki-laki  dewasa yang melewatinya. 
Tertarik oleh suara-suara itu nyi girah  meninggalkan ambin, 
mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.Dari 
lubang dilihatnya orang berduyun-duyun membawa harta 
bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik 
coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada 
digendong dan anak anak pada ditarik-tarik dalam 
gandengan. 
Seorang wanita muda dilihatnya menyisih dari 
rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya 
ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: “Mengapa 
mesti berlari-lari begini? baginda tuanku raja  adiputro  raja kita, tak 
mungkin bawahan nya dibunuh tanpa dosa”. 
Nampaknya ia tak memperoleh  jawaban atas 
pertanyaannya sendiri, lalu  menggabungkan diri 
dengan yang lain-lain, juga lari. 
Kentongan dan bedug sudah  berhenti bertalu. 
Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan 
terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang 
diri: “Mengapa mesti ikut lari? Apa dosaku?” ia berhenti 
lagi untuk memperoleh kan nafasnya kembali, lalu  
meneruskan jalan dengan pelan-pelan. 
Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa 
memperoleh  jawaban. Dan bocah itu lari terus. 
Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan 
terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada 
dadanya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat 
pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari 
mulutnya keluar keluh dan umpatan, lalu : “Nasibmu, 
Nak, nasibmu. Bapakmu tewas entah di mana. Lahirmu tak 
ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini. 
Terkutuk sekarang dan lalu ”. 
Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan 
berhenti di depan pintu, lambat-lambat duduk bersandar 
pada daun pintu. 
nyi girah  tak dapat melihatnya lagi. 
“Ada apa, Mak?” tiba-tiba mpu wungubhumi  bertanya dari belakang. 
Ibu muda yang nampaknya baru melahirkan itu kini 
memperdengarkan suaranya lagi: “Ada orangkah di situ? 
Mengapa pintu dipasak dari luar?” 
nyi girah  menutup mulut mpu wungubhumi  dengan tangannya. Dan 
terdengar lagi suara ibu muda itu: “Ijinkan aku masuk. 
Tolonglah aku!” 
nyi girah  tak menjawab, malah memberi di kuil rat pada 
anaknya agar tak bersuara. 
“Ah, keterlaluan!” sebut ibu muda itu dari luar. “Jaman 
sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain. 
Siapakah di dalam situ? Tolonglah aku. Aku sakit. Belum 
seminggu aku melahirkan”. Terdengar orang itu 
mengerang. 
“Ah, dipasak mati dari luar begini”. lalu  kata-
katanya jadi singkat-singkat, terkejut. “Ya sang hyang Widhi , ya Dewa 
Batara, pendarahan! Mati aku, Nak, kalau begini. Siapa 
mesti rawat kau nanti?” ia menangis ter-hisak-hisak. nyi girah  
menarik mpu wungubhumi , dibawanya naik lagi ke ambin. Tak 
disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang 
kapiran itu. Dengan diam-diam ditariknya bayinya dan 
disusuinya. Tidakkah nasib ibu muda itu akan menimpa diri 
dan anak-anaknya ini? Tangannya yang lain kini menggapai 
mpu wungubhumi  dan merangkulnya, lalu  menciumnya. “Emak 
menangis, Mak,” bisik mpu wungubhumi , dan ia seka airmata ibunya. 
Masih juga dapat didengar wanita lesbian  di luar itu mencoba 
membuka pasak. Tersusul lalu  oleh suara seorang 
Laki-laki  yang berseru-seru dari sesuatu jarak: “Jangan ganggu 
pintu itu!” 
Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar 
ibu muda itu mencoba membuka pasak. Mungkin sudah  
pergi menyingkir dari depan pintu itu. Dan waktu si bayi 
dan mpu wungubhumi  sudah  tertidur, ia turun lagi dari ambin dan 
mengintip. Keadaan sudah  lengang. Tak seorang pun 
nampak. Balik lagi ke ambin ia ciumi mpu wungubhumi , satu-satunya 
orang selama hari-hari belakang ini dapat diajaknya bicara. 
Anak itu terbangun, lalu  juga adiknya. 
“Ada apa, Mak?” 
‘Tak ada apa-apa. mpu wungubhumi . Barangkali saja bapakmu akan 
datang”.  
“Bapak, Mak?” 
“Bapakmu, ya. Barangkali membawa prajurit kerajaan  yang 
sangat banyak”. 
mpu wungubhumi  turun dari ambin dan lari ke dinding untuk 
mengintip. Bayi itu menangis, dan nyi girah  menyusuinya lagi. 
“Kembali, mpu wungubhumi , sini saja dengan emak”. 
Terdengar suara beberapa orang Laki-laki . mpu wungubhumi  lari dari 
dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin 
mendekati pintu. 
“Siapa itu, Mak?” 
“Stt,” nyi girah  menarik mukanya dari pintu. “Ya Dewa 
Batara”, bisiknya berdoa, “datanglah kau, Kang, 
selamatkan anak-anak ini”. 
Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. Dan 
pintu itu terbuka. 
nyi girah  tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya mpu wungubhumi  
mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba 
putih, bertombak dan bergada . 
“Mari,” kata salah seorang di antaranya, “mari kami 
antarkan Mbok-ayu ke tempat lain”. 
nyi girah  turun dari ambin. Bayi itu digendongnya, dan 
mpu wungubhumi  digandengnya. 
“Mari, Mak, kita pergi,” dan tak diteruskannya 
mengatakan: pergi untuk selama-lamanya. 
Sekilas ia melihat Laki-laki  yang bicara itu muda, tinggi 
semampai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya 
berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan 
rumah. 
Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada mpu wungubhumi : 
“Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan, 
rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan 
lupa lihat dahulu  ibumu ini,” ia berjongkok untuk dapat 
dilihat oleh anaknya. 
“Mengapa harus dilihat semua, Mak”. 
“Biar kau akan selalu ingat di lalu  hari, mpu wungubhumi ”. 
“Ke sebelah sini, nyi girah ”, orang muda itu berkata 
lagi. 
Dengan mpu wungubhumi  dalam gendongan dan si bayi dalam 
gendongan ia membelok. Orang-orang Laki-laki  bergada  dan 
bertombak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam. 
Suara pemuda itu membangkitkan kenang-kenangan 
yang indah, jauh, samar, dalam ingatan nyi girah . Siapakah 
yang pernah memanggilnya nyi girah  dengan suara seperti 
itu? Seindah dan mengandung perasaan seperti itu? 
Jantungnya berdentaman. Dan tetap ia tak dapat 
mengingat. Lagi pula apalah gunanya mengingat-ingat 
sesuatu dalam sisa hidup yang terlalu pendek ini? Mereka 
sudah  datang untuk menghabisi istri dan anak musuhnya. 
wah 
 
24. pajang bintoro  
Tahun 1518 Masehi 
Sesuatu sudah  terjadi di pajang bintoro    pajang bintoro  yang 
dicemburui oleh patih  Benggala adipati  jayawisesa . Ribuan orang 
berduyun-duyun di depan istana, lalu  bergerak ke 
tempat ibadah  agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan 
wafatnya kanjeng sinuhun  pajang bintoro : kanjeng sinuhun  Syah Sri Alam Akbar al-
Fattah atau Raden Patah, Khalifah pertama-tama di Jawa. 
Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu. 
Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka 
memasuki tempat ibadah  agung, sebagian besar tiada bisa masuk 
dan berdiri di pelataran depan. 
Dengung sang hyang Widhi u Akbar berkali-kali membuntingi udara, 
membubung berat baik dari dalam mau pun di luar tempat ibadah . 
Gerak dan suara mereka beribetari  dalam bertakbir 
bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang 
di depan tempat ibadah  mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah 
yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir. 
Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri 
jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah 
barisan pengawal kerajaan pajang bintoro . Dan seperti centeng  
kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada. 
Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita 
putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari 
tombak mereka terhiasi dengan pita putih pula. 
Di samping-menyamping jenasah berjalan beberapa 
orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bermpu wungubhumi  
adipati , tak lebih dari empat orang. Dan adipati  Kalijaga, 
yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik, 
tiada nampak. 
Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan 
sedang berada di pajang bintoro . 
Menyusul lalu  para punggawa dan rakyat biasa. Di 
tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah 
tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning 
keemasan. Di dalamnya terdapat putra mahkota pajang bintoro : 
adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya  . 
Di samping-menyamping tandu adalah para keluarga 
kanjeng sinuhun , kecualiwanita, sebab  tak ada seorang pun wanita di 
dalam seluruh iring-iringan panjang ini. 
Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan 
pelataran tempat ibadah . Waktu buntut barisan sudah  hilang dari 
pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan 
sepi. 
Seluruh pajang bintoro  berada dalam suasana berkabung. 
wah 
 
Delapan minggu lalu  sekitar alun-alun menjadi 
betari i kembali. Tidak tampak adanya suasana berkabung. 
Gong dan canang bertalu-talu riuh-rendah menyerukan 
keredupan . Sepasukan centeng  pengawal bertombak 
berbaris keluar dari istana. Rakyat yang berada di alun-alun 
bersorak-sorai menyambut. Mereka mengangkat tangan dan 
selendang dan kerudung. 
Di belakang pasukan pengawal nampak lagi tandu 
bertenda putih dengan bola kayu keemasan di atasnya, 
diapit oleh centeng -centeng  pengawal bergada  terhtumenggung dijoyo . 
Di belakangnya pasukan pengawal lagi. lalu  barisan 
dan barisan dan barisan. Semua menuju ke tempat ibadah  agung 
Bintoro. 
Alun-alun semakin lama semakin betari i. Orang 
berdatangan tiada henti-hentinya. Dan di mana-mana 
dipasang umbul-umbul berwarna-warni dan berwarna 
ganda. 
Begitu akhir barisan memadat di halaman tempat ibadah , peluru 
cetbang berledakan di udara. lalu  tenang, dan tiada 
antara lama lalu  membubung ucapan syukur di 
udara: Alhamdulillah berkali-kali. Gong dan canang 
semakin riuh. 
adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   sudah  dinobatkan jadi kanjeng sinuhun  
pajang bintoro . 
Tandu meninggalkan tempat ibadah  dan memasuki istana. 
Dengan bantuan dua orang kanjeng sinuhun  pajang bintoro  kedua 
didudukkan di atas singgasana   ia tak mampu lagi 
tegakkan badan tanpa bantuan. Serpihan-serpihan laras 
cetbang yang belum dapat dicabut dari tubuhnya sudah  
membuatnya jadi cacad untuk selamanya. 
Pada hari ia naik tahta dijatuhkannya perintah  memanggil 
kembali semua musafir pajang bintoro . Mereka yang kebetulan 
sedang berada di ibukota harus dipersiapkan untuk 
menerima amanat sebelum mereka menuju ke daerah 
pekerjaan masing-masing, dengan membawa cerita tentang 
pajang bintoro  yang lama dengan kanjeng sinuhun nya yang baru, dan   
kebijaksanaan baru. 
Amanat itu lalu  ternyata diadakan di balairung 
penghadapan. Isinya: kanjeng sinuhun  pajang bintoro  kedua berseru pada 
seluruh penduduk di lawa untuk melawan nyi kanjeng blora sebagai 
musuh yang takkan dapat diajak Iyr baik. kanjeng sinuhun  pajang bintoro  
berseru pada raja-raja di Jawa dan di seluruh Nusantara 
untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna 
membangunkan armada gabungan yang perkasa. 
kanjeng sinuhun  pajang bintoro  kedua berseru agar para raja menentang 
setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan 
nyi kanjeng blora dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu 
musuh dan harus dihancurkan juga…. 
Tiada terkira terkejut orang mengetahui, sampai kanjeng sinuhun  
baru itu dinaikkan lagi ke atas tandu, tak juga keluar perintah  
yang bersangkut-pautan dengan agama. Orang masih tetap 
menunggu tanpa memberikan ulasan. 
Maka para musafir mulailah bersebaran menuju ke 
seluruh pelosok Jawa. Beberapa belas orang mancal dari 
suryabuaya   menuju ke seberang: pekajan , Aceh, Semenanjung, 
sepanjang pesisir Kalimantan, parahyangan  dan panarukan . 
Di Sulawesi Selatan, parahyangan  dan Sumatera, 
seruan itu membangkitkan harapan baru akan terjadinya 
perbaikan pelayaran dan perdagangan sehingga kembali 
seperti sebelum jatuhnya jayamahanaya  ke tangan kanjuruhan . Dan 
seruan itu terdengar begitu jantan, sehingga orang tak 
pernah mengingat lagi, bahwa kanjeng sinuhun  pajang bintoro  baru adalah 
seorang yang sudah  cacad, bahkan untuk tegak berdiri harus 
dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi tampil jadi 
laksamana. 
Bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa 
kekuasaan pusat pada memerlukan datang menghadap 
menyatakan kesediaannya. Di antara mereka ada yang 
menyanggupi prajurit kerajaan . Beberapa yang lain menyatakan 
berada di bawah perlindungan pajang bintoro  tanpa dipukul 
dengan perang. 
Satu-satunya penantang kanjuruhan  sudah  marak jadi raja! 
Kekuasaan mutlak sudah  ada di tangannya. Tak bisa lain, 
orang harus mendengarkan setiap katanya. Ia memang 
pernah dikalahkan kanjuruhan , dan ia pun mengakui 
kekalahannya, namun takluk ia tak pernah. 
perintah  yang lalu  menyusul lebih menggoncangkan: 
segala dana dan daya di dalam kerajaan pajang bintoro , tanpa 
kecuali, harus dikerahkan untuk membangun armada. 
Pelabuhan suryabuaya   diperintah kan jadi pusat galangan kapal yang 
paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan bumi 
selatan. 
Akhir dari perintah  itu adalah pernyataan, bahwa ia sudah  
memperoleh  firasat takkan memerangi segala apa yang akan 
dipersiapkannya, namun sisa kekuatannya sepenuhnya 
akan dibaktikannya untuk kepentingan ini. Dan bahwa tak 
ada orang akan merasa aman di belahan bumi selatan ini, 
selama nyi kanjeng blora masih bercokol di sini. 
Kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blambangan dan 
Pajajaran membaui datangnya bahaya ini. Dengan dan 
merta mereka berusaha lebih giat untuk memperoleh kan 
persahabatan dari kanjuruhan  di jayamahanaya . Sebaliknya perintah  ke 
dua itu juga menimbulkan perasaan kurang puas pada 
Majelis Kerajaan. Mengapa di dalamnya tidak disinggung-
singgung tentang kepentingan agama dan pengluasannya? 
Dalam suatu penghadapan khusus mereka memperoleh kan 
jawaban yang tidak kurang kerasnya: “Bagaimana bisa hal 
ini dipersembahkan? Bukankah sudah jelas nyi kanjeng blora 
mengancam apa yang sudah  resi  adipati  yang 
terhormat sebarkan di pulau Jawa ini? Dapatkah hasil 
penyebaran dipertahankan, dapatkah pertumbuhannya 
disuburkan, selama nyi kanjeng blora masih mengancam?” 
Jawaban itu memicu  Majelis Kerajaan ragu-ragu 
terhadap kekhalifahan kanjeng sinuhun  baru. Pertikaian baru terjadi 
dalam tubuh Majelis yang mengancam terjadinya 
perpecahan baru. Dan pertikaian itu memang tak pernah 
terselesaikan. Seorang anggota, sebagai protes, sudah  
meninggalkan Majelis pajang bintoro  untuk selama-lamanya, 
mengutamakan perguruan nya, dan menolak membicarakan 
kebijaksanaan kanjeng sinuhun  pajang bintoro  baru sampai meninggalkan. 
perintah  kanjeng sinuhun  yang ke dua itu bergema juga di Aceh, 
melalui jenggala blora. Dari blora sampai pada kanjuruhan  di 
jayamahanaya . 
Pengalaman sudah  mengajarkan pada kanjuruhan , belum 
lagi adiputro  tumenggung dijoyo  memiliki  kerajaan sudah  berani jadi 
penantangnya yang cukup berbahaya, bahkan nyaris 
mengusir mereka dari jayamahanaya . Sekiranya dahulu jayamahanaya  
jatuh, mereka sudah akan menjadi lemah dalam pelayaran 
antara Goa dengan panarukan . Maka pajang bintoro  terlalu 
berbahaya. Ia tidak menggubris pendekatan Pajajaran dan 
Blambangan. Diperintahkannya kapal-kapalnya menjauh 
dari pesisir Jawa. Pelayaran ke panarukan  dan parahyangan  
harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sedang 
Blambangan dan Pajajaran dipakai nya sebagai 
sumber keterangan tentang kegiatan pajang bintoro . 
Akibat perintah  ke dua. Laut Jawa terbebas dari kapal-kapal 
kanjuruhan . Pelayaran Pribumi mulai betari i kembali, 
sekalipun masih ragu-ragu memasuki perairan panarukan  dan 
parahyangan . Beberapa orang pedagang sudah  melakukan 
percobaan pelayaran ke panarukan  dalam bentuk armada 
dagang gabungan dengan mengibarkan bendera kupu-
tarung suryabuaya  . Mereka berhasil memperoleh kan rempah-
rempah. Armada dagang gabungan lain-lainnya pada 
meniru. Perdagangan dengan panarukan  dan parahyangan  
mulai hidup kembali. Arusnya memantai pulau Jawa, dan 
tergabung dengan lada dari Sumatra Selatan arus itu makin 
membesar, memantai Sumatra sebelah barat dan menuju ke 
Teluk Bayur. 
Seperti ditiup dari langit Teluk Bayur menjadi jenggala 
berat menghubungkan negeri dongeng  dengan Nusantara. 
Arus yang menuju ke blora mulai mengendor. 
jenggala -jenggala di Jawa Utara mulai hidup kembali, 
bernafas legapenuh pengharapan. Dan para pelaut seperti 
digerakkan oleh persetujuan gaib mengakui. tumenggung dijoyo  berlidah 
api. Baru kata-katanya, dan keadaan laut sudah mulai 
berubah, apa pula nanti tindakannya! 
suryabuaya   tiba-tiba berubah jadi kota industri yang giat. 
Tenaga ahli dari seluruh Jawa terhisap ke sini. Kotanya 
melambung menjadi besar dalam hanya beberapa tahun. 
Pasar-pasar diperbesar dan ditambah jumlahnya. Dan para 
musafir semakin giat mengagungkan pajang bintoro  dan rajanya. 
namun   pajang bintoro  sendiri juga terhisap oleh suryabuaya  . Sejak 
kanjeng sinuhun  pajang bintoro  baru ini, hubungan mesra antara pajang bintoro  
dengan Semarang mulai retak. pajang bintoro  berdiri sebagai 
kerajaan bebas. 
wah 
 
Hanya kediri  belum juga bangun dari kemubetari nnya. 
Kerusuhan di dalam negeri memicu  para saudagar 
enggan menyinggahi. Tak ada sesuatu bisa diperoleh 
dengan mudah dan murah di kediri . 
Bahkan para insinyur dan tukang kapal meninggalkan 
negerinya mencari penghidupan di suryabuaya  . 
Armada dagang kediri  sendiri enggan kembali ke 
pangkalan asal. Hanya benderanya, merah putih panjang, 
masih dapat dilihat, di semua jenggala , kecuali di kediri  
sendiri. 
0odwo0 
 
25. Akhir Perang 
Dengan gada  terawang di atas kepala   raden panji  gelang-gelang  
dan ki glodog ireng  terjun ke tengah-tengah medan 
pertempuran. Dan seperti gada  kembang senjata-senjata 
itu menyambar ke kiri dan ke kanan, bawah dan atas. 
Dalam pada itu dua-duanya tak henti-hentinya berseru: 
“Pulang! ayolah  pulang kalian! Pulang ke desa! Pulang! 
Buang senjata! Pulang! Jangan bikin bini kalian jadi janda, 
anak jadi lola! Pulang! Pulang! ke desa!” 
“Yang tak mau pulang kena tebang! kena tebang!” 
Matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba terdengar suara 
parau memberi balasan: “Jangan kena dibodohi. Serang 
terus!” dan itulah suara adipati  pralaya . 
Dengan sepasukan kaki ia sedang bergerak hendak 
merampas kembali gada rujakpolo  dan membebaskan fredy krueger  dan 
penywise. 
“Buru dia!” perintah panembahan senapati ki ageng  sambil membebaskan diri 
dari para penyerangnya dan langsung memburu adipati . 
“Jangan dengarkan begundal pemberontak  nyi kanjeng blora!” teriak 
adipati  menghina. 
“Budak Koja, kambing Rangga jatayuwesi !” teriak ki glodog 
ireng . “panembahan senapati ki ageng wilareja , serahkan padaku. Jangan lari kau 
pengkhianat. Inilah harimau”. 
adipati  duduk di atas kudanya. Ia cabut gada  begitu 
melihat yang mendatangi juga bergada . 
Laskar kaki yang dipimpinnya untuk mengambil kembali 
gada rujakpolo  ia tinggalkan untuk menyambut musuhnya. Ia 
menengok ke belakang memberi perintah: ‘Teruskan tanpa 
aku. Saksikan bagaimana begundal-begundal pemberontak  nyi kanjeng blora 
ini tumpas di tangan adipati  pralaya ,” ia berpacu 
mendatangi pemburu-pemburunya. 
“Percuma, adipati !” teriak ki glodog ireng . “Lebih 
baik kau lari seperti yang lain. Atau serahkan lehermu.” 
Beberapa centeng  berkuda kediri  menyusul untuk 
menyelamatkan panembahan senapati ki ageng  dan ki glodog ireng  dari 
kepungan laskar kaki jayawisesa . Dengan cambuk menggeletar 
di udara mereka menerjang dan membubarkannya. 
Sebagian lari berpacu mengejar mereka yang hendak 
menyelamatkan gada rujakpolo  dan penembaknya. 
“Terlalu hina melayani pengkhianat, panembahan senapati ki ageng wilareja !” kata  
centeng -centeng  kuda itu. 
“Dan gada  terlalu mulia untuk lehernya.” 
“Biar kami cambuki saja, panembahan senapati ki ageng wilareja !” 
Laskar putih itu masih jadi penghalang adipati  untuk 
dapat bertemu dengan panembahan senapati ki ageng  atau ki glodog ireng . 
‘kediri  sudah jatuh!” kata  Panglima jayawisesa  
memberanikan para bala tentara nya. “Kalian tinggal masuk. Semua 
jadi milik kalian, wanita dan harta Jangan tunggu! Serang 
terus!” 
“Pembohong!” bentak ki glodog ireng  dan diterjangnya 
lapisan centeng  jayawisesa  dengan kudanya sampai porak-
poranda. Ia melambaikan tangan ke belakang. “Cambuki 
pengkhianat ini sampai rompang-ram-ping. Bukan kesatria raja  
yang kita hadapi, hanya pengkhianat keparat”. 
raden panji  gelang-gelang  berhenti, tak terus memperoleh kan adipati , 
berbalik memunggungi. 
adipati  menjadi marah merasa dihina oleh panembahan senapati ki ageng  
kediri  sebab  tak dilayani. Ia memekik dengan suara parau: 
“Jangan lari, anak desa! Kembali sini! Rasakan gada  
Panglima jayawisesa , adipati  pralaya ”. 
la hentakkan kuda, meninggalkan lapisan laskarnya 
sendiri dan mulai memburu. Yang diburu menyusup ke 
tengah-tengah pertempuran dan meneruskan seruannya. 
“Mati di mana-mana, kiri, kanan, depan, belakang. 
Buang senjata! Lari! Pulang! Urusanak-bini kalian! Apa arti 
adipati  pralaya  anak Koja? Saksikan bagaimana dia 
terbalik dari kudanya kena cambuk kediri  jadi babi yang 
merangkak-rangkak”. 
panembahan senapati ki ageng  melarikan kudanya, berputar-putar, untuk 
membuat  adipati  pralaya  kalap. 
“Hanya mereka bagian iblis. Sini, raden gelang-gelang , jangan lari, 
biar kupapras moncongmu. Jangan lari, raden gelang-gelang !” 
adipati  mencoba menerobos medan pertempuran 
untuk dapat mencapai panembahan senapati ki ageng  kediri . gada nya 
berdentingan menyambar, menetak dan menangkis centeng -
centeng  kaki kediri . lalu  diketahuinya ia sudah  
terpancing dan terkepung oleh lima orang centeng  kuda 
kediri . 
Lima gada  menyerangnya berbareng. Matanya yang 
tajam itu gemerlapan dalam senja yang muram itu, 
mengerling, membelalak, menyipit, menangkap segala 
gerak yang hendak membelah kepala   dan badannya, 
menangkisi semua serangan. Namun masih sempat ia 
mengerling panembahan senapati ki ageng  dan berteriak parau: “Jangan lari, 
raden gelang-gelang , anak desa! Tani busuk jadi panembahan senapati ki ageng ! panembahan senapati ki ageng  
dagelan! Mari dekat sini, biar aku lecuti. gada ku merasa 
hina menjamah jagatmu”. 
raden panji  gelang-gelang  tetap mencemoohkannya dengan 
menyambar-nyambarkan gada nya pada musuh di 
sekeliling dan tak juga henti-hentinya berseru: “Maut bagi 
yang tak mau lari! Selamat bagi yang pulang ke desa!” 
“Jangan lari di balik punggung anak-buah, raden gelang-gelang !” 
adipati  memekik lagi tak dapat menahan marah dan 
kekesalannya. 
Dengan sekali lompatan yang menakjubkan kuda 
adipati  keluar dari kepungan dan memburu panembahan senapati ki ageng  di 
tengah-tengah pertempuran. Ia sarongkan gada  dan 
menarik cambuk perang dari pinggang. 
Tiga orang centeng  kuda kediri  memburunya dengan 
cambuk perang pula dan mencambuki dari belakang. 
Punggung dada dan tangan adipati  sudah  bermandi darah 
dan sobekan-sobekan pada kulitnya menganga dari robekan 
bajunya yang berbelang-belang merah. 
“Pengecut! Pengecut!” teriak adipati  pralaya  murka, 
terus memburu panembahan senapati ki ageng  tanpa menanggapi  para 
penyerang di belakangnya. 
Tak tahan terhadap lecutan dari belakang tanpa 
menengok ia melecut ke belakang. Ujung cambuknya 
mencabut sebiji bola mata pemburunya. Tanpa dilihatnya 
penunggang kuda itu terjungkal di tanah. 
Cambuk dari belakangnya semakin bertubi dengan 
sorakan: “Nasib pengkhianat tak pernah baik!” 
Dua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang 
mengenai mukanya, sudah  mengiris hidung dan 
menghancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh 
tarikan cambuk musuh-musuhnya yang membelit dan 
mengiris leher. 
Dengan muka tertutup darah dan sudah  buta ia berteriak i: 
“raden gelang-gelang , selesaikan aku dengan gada mu! Jangan kau 
hinakan aku begini. Aku pun seorang centeng ”. 
Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak sudah  
menyambar dadanya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua 
tangan memegangi mata tombak yang menyembul dari 
rusuk, lalu  ia tak bangun Lagi untuk selama-lamanya 
di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan 
centeng  kedua belah pihak yang sedang berkelahi. 
“adipati  pralaya  mampus!” seseorang memekik. 
“Panglima jayawisesa  tewas!” seorang lain menjerit. 
Seluruh para bala tentara  kediri  yang bertempur di sekitar 
bersorak. Dan seperti memperoleh  perintah gaib semua 
centeng  jayawisesa  berhenti menyerang, juga berhenti bersorak, 
seakan lidah tercabut dari mulut mereka. 
“Nasib pengkhianat tak pernah baik!” seorang memekik. 
“ayolah  pulang! Pulang sekarang!” panembahan senapati ki ageng  tak bosan-
bosannya berseru. “Panglima kalian sudah  tewas. Buang 
senjata! Pulang!” 
Menyaksikan sendiri betapa panglimanya tewas, para bala tentara  
jayawisesa  membuang senjata mereka, buyar tanpa kekang tanpa 
kendali. Tanda-tanda kehancuran kekuatan adipati  jayawisesa  
sudah  melihat  di ambang pintu. Hanya sebagian kecil 
mengamuk kehilangan akal dan pegangan. Sebagian besar 
sudah  mulai melarikan diri tanpa senjata. 
Panji-panji adipati  pralaya , panji-panji Panglima, sudah  
lama tidak nampak. Pembawanya sudah  kena langgar seekor 
kuda, lari masuk ke dalam hutan tanpa mengingat 
bawaannya lagi. 
“Berhenti menyerang!” perintah panembahan senapati ki ageng . “Beri 
kesempatan pada saudara-saudaramu. Biar mereka pulang 
ke desa masing-masing. Berkumpul kalian!” 
Dan prajurit kerajaan  kediri  berhenti menyerang. Mereka 
bergerak untuk berkumpul sambil melihat para bala tentara  jayawisesa  
menarik dan membubarkan diri masuk ke dalam hutan. 
“Balik ke kediri !” panembahan senapati ki ageng  menjatuhkan perintah. 
Dimulai dari para centeng  di dekat-dekat panembahan senapati ki ageng , 
lalu  juga merambat jauh-jauh, prajurit kerajaan  kediri  
mulai balik kanan jalan dan bergerak ke arah kota. 
Buntut barisan yang pulang itu masih kedengaran 
berseru-seru: “Buang senjata! Pulang!” 
Dalam selingan sorak-sorai riang kemenangan. 
Tasukan pengawal kediri  sudah  menyiapkan cetbang-
cetbang pada sebuah tikungan jalan, sesuatu ketinggian 
yang mengawasi jalan lurus ke depannya. Begitu panji dan 
umbul-umbul para bala tentara  jayawisesa  yang serba putih nampak di 
senja hari, cetbang-cetbang melepaskan peluru mendatar 
pada mereka. Hujan ledakan jatuh dalam tubuh barisan 
depan-suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka 
perhitungkan. 
adipati  sudah  merencanakan, pasukan inti para bala tentara  jayawisesa  
akan memasuki kediri  dari sebelah pesisir timur tanpa 
perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai. 
Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai 
delapan ratus depa itu sama sekali tak dapat ditangkis atau 
pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di 
tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan 
kulitnya, api belerang dan sendawa, dan kerikil berapi dan 
udara panas membakar. Orang pun jatuh bergelimpangan. 
Barisan depan itu berantakan lari kocar-kacir ke segala 
penjuru. Mereka tak mampu meneruskan barisannya. Panji 
dan umbul-umbul menggeletak tak berdaya di tanah. Tanpa 
angin mereka kehilangan kebesaran dan daya. Dengan 
angin pun mereka tinggal sesobek kain berwarna. 
namun   Braja pun tidak tahu, inti para bala tentara  jayawisesa  sudah 
mulai memasuki kediri  dari pesisir sebelah timur. Mereka 
menyapu seluruh pesisir timur tanpa bersorak dan 
merunduki sarang-sarang cetbang di sekitar daerah 
pelabuhan. 
Yang dirunduk ternyata tiada. 
Mereka berhadapan dengan pecahan-pecahan pasukan 
pengawal yang ditinggalkan. Pertempuran antara dua 
kekuatan yang terlatih ini berjalan dengan kegigihan dari ke 
dua belah pihak. Dahulu mereka sama-sama bagian 
prajurit kerajaan  kediri . Kini berkelahi saling menerkam. Sebuah 
pecahan kecil sudah  dilindas tanpa bisa menyerang dan 
hanya bisa mempertahankan diri. Hanya seorang dapat 
lolos, lari menghindari terkaman maut untuk dapat 
mencapai pemimpinnya: Braja. 
“Pecah barisan!” Braja memerintah. “Kecuali cetbang, 
pelayan dan pengawal, semua balik ke kota!” 
Dan pada pasukan cetbang yang ditinggalkan ia 
memerintahkan terus menembaki musuh sambil terus maju, 
sampai peluru habis. 
Ia pun melompat ke atas kudanya dan berpacu ke 
jurusan kota membawa pasukan pengawal. 
Perintah penyerangan segera dilakukan dari punggung 
para bala tentara  jayawisesa . Pertempuran sengit di waktu senja itu 
meletus di sepanjang pantai kota kediri , dilatar belakangi 
oleh bunyi ledakan peluru-peluru cetbang di luar kota, 
disaksikan oleh langit yang sedang ditinggalkan oleh 
matahari. 
Malam jatuh. 
Perkelahian dalam kegelapan berlangsung tanpa kenal 
ampun. 
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sebelah barat. Tak 
lama lalu  sorak-sorai itu diselingi oleh suling gajah-
gajah yang kembali memasuki kota. 
Inti para bala tentara  jayawisesa  dengan tiba-tiba pula menghentikan 
serangan. Mereka mengendap menyelinap mengetahui 
kedatangan pasukan gajah. Suatu kekagetan sudah  
mengubah sama sekali pandangan mereka tentang jalannya 
pertempuran bukan para bala tentara  jayawisesa  yang memasuki kota 
kediri  tanpa perlawanan, namun   pasukan gajah kediri  
sendiri. 
Mengetahui perhitungan mereka ternyata meleset dan 
segala usaha akan jadi sia-sia, mereka pun mengundurkan 
diri di bawah lindungan kegelapan malam. 
Dengan demikian selesailah perang dalam negeri yang 
minta terlalu banyak korban itu. 
Semua centeng  kediri  yang tiada gugur atau terluka 
seluruhnya kembali memasuki kota dengan bersorak-sorai. 
Penduduk pun berduyun-duyun keluar dari persembunyian 
dan pengungsian untuk menyongsong mengelu-elukan. 
Para nelayan yang lari dan darat dengan perahu-
perahunya, malam itu juga memerlukan kembal» ke pantai. 
Kota kediri  seakan-akan berpesta pora. 
Orang pun bersorak memekikkan nama raden panji  gelang-gelang  
dan para pemimpin pasukan prajurit kerajaan  kediri . 
Ke sekian harinya inti pasukan jayawisesa  kembali 
melancarkan serangan. Braja menghadapi mereka dengan 
bantuan pasukan kuda. Pertempuran yang berdarah dan tak 
kenal menyerah itu berhenti pada tengah hari dengan 
tumpasnya seluruh sisa pasukan jayawisesa  tanpa seorang pun 
bertekuk lutut. 
Sebuah krangkeng besi sudah  dipasang di dermaga 
pelabuhan atas perintah panembahan senapati ki ageng . 
Beberapa hari lalu  fredy krueger  dan penywise 
dimasukkan ke dalamnya untuk disaksikan oleh dunia 
seluruh negeri bagaimana kediri  menghinakan kanjuruhan . 
Lima belas hari lamanya setiap orang boleh menonton dan 
menghinakan dua orang itu tanpa boleh menyiksa atau 
melukai. 
Dari jenggala -jenggala tetangga dan kampung-kampung 
nelayan setiap hari datang kapal dan perahu yang 
mendaratkan penonton. Pelabuhan menjadi betari i dan 
pasar jenggala hidup kembali. Namun perdagangan antar-
pulau belum juga pulih. 
Saban hari fredy krueger  dan penywise bermandi peluh 
sendiri dan pukul  penonton. 
Dengan keterbiasaan melihat dan menghinakan 
nyi kanjeng blora, lama-kelamaan ketakutan orang pada mereka 
meruap terbang. Juga nyi kanjeng blora bisa ditangkap dan 
dihinakan. 
Belum lagi lima belas hari dua orang kanjuruhan  itu jadi 
tontonan raden panji  gelang-gelang  sudah  memerintahkan pada Braja, 
mencari sampai dapat dan menangkap mereka yang dahulu 
sudah  menyelewengkan terjemahan surat Rangga jatayuwesi  alias 
jatayuwesi  Indrajid alias patih  Benggala alias adipati  jayawisesa . 
Mereka diperoleh  dan ditangkap tanpa kesulitan. 
Dalam pertemuan  pemimpin-pemimpin pasukan, mereka 
dijatuhi hukuman mati dengan jalan membandul mereka 
dengan batu dan melemparkan ke laut. 
Dan kadipaten tidak berpengawal. raden panji  gelang-gelang  sudah  
menjatuhkan perintah pada Braja untuk tidak memasuki 
kadipaten tanpa seijinnya. Hanya punggawa yang 
diperkenankan bekerja lagi. Ia menganggap pekerjaan 
belum selesai selama Rangga jatayuwesi  belum tertangkap, hidup 
atau mati. 
Orang pun mulai bertanya-tanya mengapa kebesaran 
Sang adiputro  belum juga dipulihkan, mengapa seluruh 
kekuasaan atas kediri  dapat berpindah ke tangan si anak 
desa juara gulat bernama raden gelang-gelang . Dahulu hanya Sang 
adiputro  yang memiliki duga sangka raden panji  gelang-gelang  lah 
yang menghendaki jabatan patih seperti halnya dengan 
Gajah Mada. Sekarang orang menduga anak desa bukan 
menghendaki itu, boleh jadi ia hendak mengangkat diri jadi 
adiputro  sendiri, menjadi raja, seperti Ken Arok. 
Setiap orang memiliki  duga-sangkanya, duga sangka belaka. 
Mereka tak berani mempergunjingkannya. 
raden panji  gelang-gelang  belum juga nampak pulang ke 
kepatih wirabuana an. 
Nyi kembang  Kati setiap hari membersihkan kamar gandok 
kanan itu. Dan tidak lain dari dialah yang sangat 
mengharapkan kedatangannya untuk dapat menyampaikan 
berita tentang nyi girah  dan anak-anaknya. 
Dan berbeda dari semua orang, patih wirabuana  kediri lah 
sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak 
desa itu. Pikirannya terpusat pada dua hal: siapa 
sesunguhnya yang berkuasa sekarang ini, Sang adiputro  atau 
Sang panembahan senapati ki ageng ? Bila yang pertama yang berkuasa, ia masih 
memiliki  perlindungan dan Sang panembahan senapati ki ageng  takkan meletakkan 
tangan pada kulitnya. Bila yang kedua yang berkuasa, tak 
ada jalan lain baginya dibandingkan  harus melarikan diri. Ke 
mana? Dan bagaimana? Maka disesalinya sendiri sebab  
tak menyediakan persiapan sebelumnya. Lari melalui laut 
tidak mungkin. Pasukan pengawal menjaganya dengan 
ketat. Pasukan laut pun sudah  dipanggil pulang dari pasuruan . 
Lari ke darat juga tidak mungkin. Pasukan kaki memagari 
kediri . Tenaga dan keberaniannya pun tidak cukup untuk 
itu. 
Dengan hati-hati ia meletakkan harapan pada 
kemungkinan pertama. Buktinya, panembahan senapati ki ageng  belum juga 
mengambil tindakan terhadap dirinya. Dan selama Sang 
adiputro  yang berkuasa, anak desa itu harus menempuh 
jalan-jalan yang layak untuk dapat memhancur kannya 
dengan perkenan Sang adiputro . Bahkan dua orang kanjuruhan  
itu juga tidak dibunuh, adalah pertanda juga Sang panembahan senapati ki ageng  
tak berani melakukannya. 
Tentang hukuman atas para penterjemah yang tidak 
jujur, ia dan semua orang pun tak tahu duduk perkaranya. 
Ia sudah mencoba memikirkannya. Tak mampu. lalu  
ia menganggap sebab  mereka itu terlibat dalam kerusuhan. 
Dan ia sudah puas dengan anggapannya. 
namun   dua orang nyi kanjeng blora itu kini yang mengganggu 
ketenteraman nya. Ia menduga mereka akan diperas 
keterangannya sampai mengakui segala-galanya yang 
menyangkut soal gada rujakpolo . Dari mana gada rujakpolo  itu? Boleh 
jadi tak ada yang dapat membuktikan dari mana. 
namun   mereka mengenal mpu jahalodang, dan pewarung itu jelas 
sudah  membawanya ke pedalaman, menyerahkannya pada 
Rangga jatayuwesi . 
Tidak, mpu jahalodang akan membisu sampai mati selama ia 
berada di kediri . Keselamatannya sendiri ikut dalam 
pertaruhan. Hanya bila dua orang itu menyebut-nyebut 
nama mpu jahalodang, barulah lalu  namanya akan 
dikedepankan pula. 
Tak bisa tidak hanya dua orang nyi kanjeng blora itu yang bisa 
mencelakakannya. Sama saja siapa yang berkuasa, Sang 
adiputro  ataukah Sang panembahan senapati ki ageng , bila namanya tersebut 
dalam persoalan gada rujakpolo , jiwa juga tebusannya. Ia 
menyesali kanjuruhan  celaka yang semudah itu dapat 
ditangkap   memiliki  gada rujakpolo  dan memiliki  pengalaman perang 
begitu banyak! 
Dan ia mengenal pengadilan Pribumi   tak banyak 
memerlukan  bukti, lebih mendasarkan pada hukum 
pikiran dan suara orang banyak, tidak jarang didasarkan 
pada harapan belaka hendaknya Sang adiputro  menjadi 
senang. Ia memang makin bisa bersilat lidah dan batalkan 
semua dakwaan, namun  pikiran Pribumi tidak akan 
menggubrisnya. Mereka memiliki  cara berpikir pemberontak  dalam 
mengurus    keadilan. Ia harus mencari jalan keselamatan…. 
Dan pada suatu pagi di antara pagi-pagi yang murung 
dan menakutkan, sedang ia duduk di kursi sambil berpikir-
pikir, datang Nyi kembang  Kati membawakan kabar. Justru 
pada waktu itu ia sedang mengherani, bagaimana mungkin 
dua orang kanjuruhan  itu dapat ditangkap begitu mudah oleh 
centeng -centeng  yang tak memiliki  pengalaman perang di 
mana-mana. Dan tertangkap dalam keadaan hidup! 
“Mengapa Tuan kelihatan murung, pucat dan kurus? 
Tak ikut bergembira Tuan nampaknya dengan kemenangan 
kediri ”. 
“Aku sedang mencari jalan bagaimana bisa menghadap 
baginda tuanku raja  adiputro ”. 
“Tuan biasa menghadap ke sana”. 
“Sekarang tak bisa. Kati. Para punggawa itu pun 
mengatakan baginda tuanku raja  selalu berkunci diri. Juga kadipaten tak 
boleh dimasuki oleh siapa pun kecuali para punggawa”. 
“Bukankah Tuan juga Punggawa?”  
“Ya, namun  bukan punggawa kadipaten”.  
“Bagaimana mungkin Tuan tak diperkenankan 
menghadap?”  
“Mana aku tahu, Kati. Cobalah tolong aku, Kati, kau 
saja datang ke sana memohonkan perkenan untukku buat 
menghadap”. 
“Bagaimana Tuan ini? Bukankah Tuan sendiri tahu 
kadipaten tertutup bagi siapa pun, apalagi saya ?” 
“Baiklah,” katanya mengalah dan menghirup kopi. 
“Kalau begitu pergi kau ke mana saja mencari warta. Ke 
mana saja”. Ia tahu, Nyi kembang  Kati menolak dan takkan 
pergi ke mana pun. Kalau demikian ia sudah senang 
wanita lesbian  itu meninggalkannya seorang diri untuk 
meneruskan pikirannya.” 
Dengan berani ia memutuskan fredy krueger  dan penywise 
harus dihabisi sebelum diadakan pengadilan. Dan 
pengadilan itu pasti akan dibesar-besarkan untuk mengejek 
dan menghina kanjuruhan . Mereka berdua harus aku habisi 
dengan tanganku sendiri, jalan lain tak ada. Kalau tidak 
mereka akan menghabisi dua-duanya, lalu  juga aku. 
Ia bangkit dari tempatnya. Masuk ke dalam kamar dan 
menguncinya dari dalam. Dari sebuah peti yang terletak di 
pojokan ia keluarkan sebuah botol tembikar berisi cairan 
kehitaman. Dibukanya kayu hitam pada ujung tongkatnya. 
Sebilah pisau panjang sempit kehitaman muncul di depan 
matanya. Cepat-cepat ia masukkan pisau itu ke dalam 
cairan di dalam botol dan ditariknya mata pisau itu ke atas 
dan membiarkan cairan itu menetes balik ke dalam botol. 
Ia berkomat-kamit. Suaranya tergumam tak jelas. Walau 
demikian nampak ia meletakkan seluruh kepercayaannya 
pada keampuhan pisau tongkatnya. lalu  ia melatih 
diri dengan gerakan-gerakan tikam untuk berbagai jarak. 
Lengannya yang tipis dan senjatanya yang kurus bergerak 
begitu cepat seperti ular kobra yang sedang menyambar-
nyambar. Rupa-rupanya ia sudah  terlatih memakai  
senjata khusus ini. 
Sesudah  keringat mulai membasahi tubuh ia berhenti, 
memasang kembali sarong kayu dan jadilah kembali bentuk 
tongkat yang semula. Ia seka muka dengan baju, 
meninggalkan kamar dan keluar dari rumah. 
Ia hendak lewatkan hari itu dengan berjalan-jalan di 
pelabuhan, di dermaga, untuk melihat-lihat keadaan, dan 
terutama untuk dapat berhadapan mata dengan orang-orang 
kanjuruhan  celaka itu. 
Ia berjalan pelan-pelan untuk melihat sampai di mana 
penjagaan pasukan pengawal. Dan ia melihat mereka sudah 
mempercayakan keselamatan fredy krueger  dan penywise pada 
aturan yang sudah  ditentukan dan pada kuatnya krangkeng 
besi. 
Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini sudah  
kembali dijaga oleh dua orang baru. Ia mencoba mengobrol 
sebentar, lalu  memeriksa seluruh medan jenggala 
dengan cermat, menaksir orang-orang yang lalulalang, dan 
akhirnya ia memperoleh  keputusan dapat melaksanakan 
rencananya. 
Dari menara itu juga ia dapat melihat warung mpu jahalodang 
yang terkunci sejak prajurit kerajaan  kediri  masuk kembali ke 
kota. Ke mana saja buaya darat itu pergi selama ini? 
Adakah perasaannya begitu tajamnya maka dia tahu 
bahaya sedang mengancam lehernya? 
Tiba-tiba ia cemburu pada kemudaan pewarung itu yang 
memiliki kegesitan dan ketangkasan seperti itu. Ya-ya, 
mungkin aku sudah  menginjak tua. 
Sementara Ini menara itu memberinya kedamaian. 
Penjaga menara itu terus mencoba untuk mengobrol 
Mereka selalu mengambil perang yang brtru saja berlalu 
sebagal pokok untuk lalu  menyanjung nyanjung 
raden panji  gelang-gelang . Anak desa itu jelas menjadi bintang kediri  
yang tidak dapat diragukan lagi. Ia dengarkan obrolan 
bagaimana panembahan senapati ki ageng  memancing mancing adipati  pralaya  
untuk dapat terjauhkan dari para bala tentara nya, dan untuk dapat 
dilecuti dengan cambuk sebagai penghianat. 
“Seorang penghianatt tak layak memperoleh kan gada , 
apalagi gada wesi , Clambuk memang sepatutnya, cocok untuk 
seekor kera yang busuk”, kata seorang di antaranya. 
raden  sanggabuana  Al Zobaid hanya mengjingguk angguk 
mengiakan dan ikut memuji-muji patih wirabuana -muda itu, 
Siang itu ia tidur di menara pelabuhan Itu, dan dua 
orang penjaga itu tak mengganggunya. 
Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara, 
langsung pulang. Dan jantungnya terasa berhenti berdenyut 
waktu dilihatnya Nyi kembang  Kati sedang bicara dengan 
raden panji  gelang-gelang  di jalanan antara gedung utama dongan 
gandok kanan. panembahan senapati ki ageng  itu menunduk tak melihat ke 
kesana kecuali ke sekitar kakinya nendiri. Dan istrinya 
sedang bicara bersungguh-sungguh. Mereka berdua tak 
melihatnya, 
Buru-buru ia masuk ke dalam rumah, ke kamar, 
lalu  pura-pura tidur. Tongkat berhulu gading itu 
tergeletak di sampingnya. 
Dan betapa lega hatinya mendengar langkah-langkah 
kaki Laki-laki  menakutkan itu di atas jalanan kerikil itu 
meninggalkan kepatih wirabuana an. Ia pun jatuh tertidur. 
Makan malam itu ia hadapi dengan muka masam dan 
suram. Sehari itu ia hanya minum kahwa. 
Nyi kembang  Kati, mengetahui kegelisahan suaminya pada 
hari-hari belakangan, tak lagi bertanya padanya mengapa ia 
tak suka makan. Juga ia tidak perhatikan suaminya hanya 
mengunyah-ngunyah sesuatu dan menelannya, lalu  
bangkit dan duduk-duduk di kamar tamu. Ia sendiri, tanpa 
bicara sesuatu pun lalu  masuk kedalam kamar dan 
tak keluar lagi. 
Malam itu gelap luar biasa. Mendung tebal menutup 
langit resi h tiada terdengar sama sekali dan kerjapan kilat 
apalagi. Cuaca seperti itulah yang dikehendaki oleh 
patih wirabuana  kediri . 
Lewat tengah malam. seorang diri ia berjalan 
terbongkok-bongkok seperti kakek-kakek menuju ke 
dermaga pelabuhan. kepala  nya menoleh ke mana-mana 
walau pun ia sudah  kendalikan agar mata saja yang melirik 
kesegala jurusan yang mungkin. namun   kegelapan malam 
yang membisikkan padanya takkan semudah itu orang 
dapat menyaksikan dirinya sering menoleh, 
Dari pancainderanya ia mengetahui tak ada seorang pun 
yang menyaksikan kehadirannya, namun   dari perasaannya 
ia tahu, ada bebeapa orang centeng  pengawal yang 
melakukan  patroli penjaga an di dermaga dan dengan pedoman 
perasaannya itu juga ia menyembunyikan diri dibalik pohon 
asam menunggu mereka pergi. Ternyata perasaannya lebih 
tajam dibandingkan  pancainderanya. Waktu hujan turun ia 
dengar empat orang lari meninggalkan dermaga. 
Dengan hati-hati ia menuju dermaga dengan 
memmemakai  tongkat untuk merabai tepi jalan dan 
dermaga. laut yang Hangat dalam itu bisa menelannya. Ia 
tak bina berenang dan tidak pyrruih melakukannya dalam 
hidupnya. 
Semampainya di tempat yang dituju, sambil berpegangan 
pada jeriji krangkeng ia memanggil-manggil dalam 
kanjuruhan : “Sini kalian, Nak, fredy krueger , penywise! Kesini 
kalian. Masih tidur? Bangunlah, tuan patih wirabuana  ada di 
sini”. 
Ia dengar suara bergerak di dalam krangkeng itu, tak 
nyata, bercampur dengan bunyi deburan ombak dan 
pukulannya pada karang dermaga. Dan jantungnya pun 
berdeburan menandingi langit laut di sekitarnya. 
“Dekat-dekatlah sini, Nak. Mari kita bongkar krangkeng 
ini bersama-sama”. 
“Benarkah itu Tuan patih wirabuana ?” seseorang bertanya 
dalam kanjuruhan . Suaranya lemah dan lebih tak menentu 
sebab  tiupan angin malam yang dingin. 
“Tentu saja benar. Tuan patih wirabuana  ada di sini. sudah  
aku sediakan perahu layar untuk kalian. Sinilah mendekat. 
Tak dapat aku membuka kunci ini seorang diri saja”. 
“Dilindungi sang yang betari durga   hendaknya Tuan ini”. 
“Jangan keras-keras bicara, Nak”, ia memperingatkan 
sambil membuka sarang pisau tongkat. “Kebetulan hujan 
sudah reda, kilat pun tiada. Ini, ini sambungan pintu”. 
“Kami sedang kena demam tinggi, Tuan”. 
“Ya-ya, aku tahu kalian terluka. Semua akan baik 
kembali di tengah laut nanti”. 
“Apa gunanya lari, Tuan, badan sakit begini, demam, 
pengelihatan rusak”, suara itu semakin mendekat dan 
getaran pada jeriji krangkeng itu memberitakan pada raden  
sanggabuana  mereka sedang merambat berjalan dengan susah-
payah untuk dapat mendekati. 
patih wirabuana  itu mulai merasa tangannya diraba-raba oleh 
tangan fredy krueger  atau penywise yang panas sebab  demam. 
“Kasihan kau, Nak, sakit demam begini,” dan dengan 
cepat ia tikam-kan pisau tongkatnya pada tubuh yang 
berdiri di hadapannya. 
Suatu kata an lemah membeku ditelan deburan ombak 
memukul pada karang dermaga, menyusul bunyi badannya 
yang jatuh. 
Yang seorang lagi berteriak -raung ketakutan dan 
berputar-putar di dalam krangkeng untuk menghindari maut 
yang mematuk-matuk dari sela-sela jeriji krangkeng. 
“Pembunuh! Tolong! Tolong!” kata nya dalam jawadwipa . 
Gugup sebab  jeritan dan takut kalau-kalau diketahui 
orang, dengan lebih cepat lagi patih wirabuana  berputar 
mengelilingi krangkeng dengan terus menikam-nikamkan 
senjatanya dalam kegelapan itu ke dalam kegelapan itu ke 
dalam krangkeng. Hanya udara kosong yang diserangnya. 
Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk 
menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan 
penikaman-penikaman lagi. Nafasnya mulai terengah-
engah. Rasa-rasanya ia akan jadi gila tak juga memperoleh kan 
daging untuk ujung pisaunya. Di mana dia? Dalam 
krangkeng besi persegi kecil ini tak mungkin dia melepaskan 
diri. 
Dari kejauhan terdengar resi h, menggerutu seperti 
kucing marah. Hujan mulai turun lagi. Iblis! Mana tubuh 
kanjuruhan  yang satu lagi? Dia tak boleh lepas. Sepancaran 
kilat melesit di langit seperti sebilah tombak api terlempar. 
Tiba-tiba dunia menjadi terang. Dan nampak fredy krueger  
sedang menggelantung dengan kaki dan tangan pada bagian 
atas krangkeng. 
“Ha! Kau di situ, Iblis!” bisik patih wirabuana  dan 
menikamkan pisau panjang itu pada punggung korbannya. 
Dunia kembali jadi kelam pekat. Satu raungan seperti 
keluar dari tenggorokan macan betina marah menggaruk 
udara dibarengi dengan bunyi tubuhnya yang jatuh 
menggeletak. 
Hujan menjadi lebat kembali. Kilat mulai sambar-
menyambar. 
patih wirabuana  kembali ke gedung utama, basah kuyup namun  
dengan perasaan lega. 
Tak diketahuinya sepasang mata menyaksikan dari 
sebuah biduk yang sedang tertambat pada dermaga…. 
0odwo0 
 
Di dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh 
hewan -hewan  buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di 
dalam tubuh bukit terdapat sebuah gua. Ribuan kelelawar 
bersarang di dalamnya. Ratusan ular dari berbagai jenis 
hidup makmur dari anak-anak burung atau telurnya. Dan 
tanah pada dasar rongga pekat dan tebal oleh tumpukan 
kotoran burung. Orang menamai gua ini: Gowong. 
Sekarang gua ini sepi dari burung dan ular, bahkan juga 
dari serangga. Pembakaran belerang dalam jumlah besar 
sudah  mengusir dan membunuh semua makhluk hidup di 
dalamnya. Dasarnya tak lagi lumpur kotoran burung, 
sebab  semua sudah  disingkirkan dan dilambari dengan 
balok-balok kayu persegi. Rongga itu sendiri sudah  dibagi 
dalam bilik-bilik dari papan kayu. 
Sisa bau belerang sudah  diusir dengan pembakaran 
setanggi yang terus-menerus. 
Di depan gua itu menjulur sebuah jalan setapak yang 
semakin lama semakin lebar sebab  setiap hari dilewati oleh 
beberapa belas orang yang mengangkuti peti-peti dan 
barang-barang lain untuk ditimbun di dalamnya. Jalan 
setapak yang semakin lebar itu belum lagi lama dibikin 
orang. Belum lagi lima belas hari. 
Kini gua itu sudah  siap untuk ditinggali. 
namun   bila orang masuk ke dalamnya, ia takkan melihat 
satu peti pun, sebab  semua itu tersimpan dalam rongga di 
bawah geladak balok kayu. Maka pedalaman gua yang 
berbilik-bilik itu nampaknya tidak berperabot. 
Yang pertama-tama meninggali gua ini adalah nyi girah  dan 
dua orang anaknya. Beberapa orang bertombak dan 
bergada  sudah  mengawal mereka memasuki hutan-
belantara itu dan membawanya ke mari, lalu  
menguncinya di dalam salah sebuah bilik kayu yang gelap 
berbau sisa belerang, apak-asam kotoran burung dan 
setanggi. 
Pada hari berikutnya masuk empat orang wanita, istri-
istri patih  Benggala adipati  jayawisesa . Khaidar nampak ada di 
antara mereka. Dan tak ada mereka membawa anak, sebab  
dari suami bersama mereka tiada pernah melahirkan. 
Mereka menempati kamar besar bersama-sama. Juga pintu 
kamar mereka dipasak dari luar, seperti halnya dengan bilik 
nyi girah . 
Beberapa belas pekerja berpakaian serba putih itu masih 
mengangkuti beberapa peti lagi dan beberapa bungkusan. 
Dan sesudah  semua pengangkutan selesai baru nampak 
adipati  jayawisesa  diiringkan oleh seorang muda tinggi 
semampai, berkumis dan tanpa jenggot, yang memikul 
bungkusan-bungkusan berat dengan empat batang tombak 
sebagai pikulan. 
Pemuda itu juga yang mengawal nyi girah  anak-beranak 
waktu menuju ke Gowong ini. 
Waktu adipati  jayawisesa  memasuki Gowong, pemuda 
jangkung itu tak takut. Ia pergi mengelilingi kaki bukit kecil 
itu dan berhenti di bawah sebatang pohon raksasa. Ia 
perhatikan pohon yang baru dilihatnya seumur hidup itu. 
Dan itulah pohon pelaka. 
la perhatikan tamba-tambi atau tunjangannya, rendah, 
tipis dan panjang, lalu  duduk di atas salah satu di 
antaranya. Bungkusan-bungkusan bawaannya ia jajar di 
atas tanah. 
Dengan kakinya ia mulai membersihkan tempat itu dari 
luruhan daun kering dan ranting-ranting busuk, dan mulai 
ia dengan parang membuat  tungku dari cabang-cabang 
kayu. 
Seseorang datang padanya membawakan dandang dan 
kuali tembaga dan air di dalam lodong-lodong bambu. 
Seorang lagi membawakan kayu bakar dan sebuah kranjang 
rotan berisi daging rusa, 
”Kanjeng adipati  memerintahkan masak besar hari ini. 
Bumbu disediakan berlimpah-limpah. Tak pernah terjadi 
selama ini”, si jangkung mengumumkan. 
“Untuk berapa orang kau masak?” “Cukup untuk tiga 
puluh”. 
“Tentu bukan untuk kita. Mungkin akan datang banyak 
tamu nanti”,  
“Tamu siapa akan datang ke mari?” si jangkung 
menukas,  
“Makan besar buat kita semua yang ada di sini”,  
“Untuk pertama kali. Akhirnya,” orang itu berkecap-
kecap, “Bahkan masuk ke pendopo saja baru beberapa 
minggu belakangan ini kita diperbolehkan” 
Tiga orang itu mulai sibuk menyalakan api dan 
memasang beberapa dandang di atannya, dan dua belanga 
dari tembaga pula. “Asal tak hujan saja”, si Jangkung 
memperingatkan. Semua memandang ke langit yang suram 
tertutup mendung tipis. “Sudah, tolong carukkan kacangtanah , 
biar lebih cepat”. Bertiga mereka mencaruk kacangtanah  sampai 
menghasilkan satu kranjang. Dan sesudah  diperas jadi 
santan si Jangkung bicara lagi: “Sudah, sana. selesaikan 
pekerjaan kalian, biar aku masak sendiri”. 
“Mengapa kita pergi ke mari, jayamuseswa ?” seorang 
bertanya.  
“Mana aku tahu?” 
“Orang bilang tidak lain dari kau yang menunjukkan 
tempat ini”. namun   mpu  jayamuseswa  enggan terlibat 
dalam pembicaraan. Ia hanya mengerutkan kening, dan dua 
orang pembantunya itupun pergi menghindar. Si Jangkung 
berkumis itu memperhatikan mereka pergi, menghilang di 
dalam hutan. 
Mematuhi aturan yang diberikan oleh adipati  jayawisesa , 
orang tak dibenarkan berada di dapur di waktu jurumasak 
sedang bekerja. Selama masih ada orang lain, jurumasak 
harus mengusirnya dan tidak diperkenankan memasak 
sebelum mengetahui betul, tak ada orang lain lagi di 
dekatnya. Juru masak harus tahu, tak ada orang 
mengurangi atau menambahi bahan makanan yang sudah  
tersedia. 
Sesudah  tinggal seorang diri baru ia mulai bersiap-siap 
dengan gulai Api yang menyala besar itu memaksa ia 
membuka baju, dan muncul barisan iga pada dadanya. Dan 
dada itu mengkilat kekunmgan sebab  warna kulitnya dan 
sebab  api yang kemerahan. 
Walau masak seorang diri untuk orang sebanyak itu 
nampak ia tak gugup atau memberengut. Dan memasak 
memang sudah pdt kesukaannya. Ia merebus daging, 
menanak, menjerang, menumbuk bumbu, mengipasi badan 
dengan baju, menetapkan besar api, menimbang dan 
mendua beras, mencicip dan menggulai. 
Dan hanya ia seorang diri yang tahu apa yang hidup 
dalam hatinya sendiri waktu itu; ia mencurigai perintah 
adipati  jayawisesa  yang semakin lama semakin aneh. 
la seorang bekas musafir pajang bintoro  tadinya memasuki 
kediri  untuk membawa patih  Benggala berpihak pada 
pajang bintoro , sebab  pajang bintoro  menilainya sebagai seorang yang 
berilmu dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan 
Nusantara.  la pun memperoleh  tugas untuk membersihkan 
pedalaman  kediri  dari resi  resi  pembicara pemberontak  yang 
mengembara dari desa ke desa, la terpilih untuk tugas ini 
sebab  dilahirkan dan dibesarkan disini, 
Sebelum berangkat seorang resi  menyampaikan 
padanya disebuah pojookan tempat ibadah  agung, bahwa agama 
sri ratu kertanegari  dan betarakalong  sudah  kehilangan kekuatannya, 
kerunsang yang betari durga   sudah  di ambang pintu, maka pembicaraan resi -
resi  sudah tidak memiliki  pegangan lagi pada agama mereka 
dari lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya. 
Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu 
sangat baik untuk punahnya betarakalong  dan sri ratu kertanegari  sendiri. 
Maka sekaranglah waktu itu datang untuk mengembangkan 
arca   , sebab  mereka sudah tidak diperlukan lagi. 
Maka kembalilah ia ke negeri kediri  untuk melakukan 
tugas itu sebaik-baiknya, dengan jalan dan cara apa pun. 
Dan ternyata ia tak mampu mengendalikan adipati  jayawisesa , 
yang jauh lebih berpengalaman dibandingkan nya, lebih berilmu 
dan berpengaruh, la tak berhasil membawanya berpihak 
pada pajang bintoro . Lagi pula adipati  jayawisesa  ternyata memiliki 
impian untuk sendiri marak jadi kanjeng sinuhun  dan khalifah 
sekaligus. 
Sekarang prajurit kerajaan  jayawisesa  sudah  terpukul dari semua 
medan pertempuran. adipati  jayawisesa  harus lari 
menyelamatkan diri. Dalam kekalahan ini ia dapat melihat 
watak Rangga jatayuwesi  yang sebenarnya tak sedikit pun 
berniat dalam hatinya untuk menyelamatkan pengikutnya, 
hanya diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Ia tak 
habis-habis mengherani bagaimana seorang pemimpin yang 
berpengaruh begitu besar, berilmu dan berpengetahuan, 
resi  yang sangat didengarkan, bisa bertingkah laku seperti 
itu. Dalam kedamaian dan kemenangan ia sudah dapat 
mengenali kerakusannya. Dalam kekalahan pengaruh, ilmu 
dan pengetahuan hanyalah untuk dirinya sendiri dan 
miliknya. Orang yang rakus akan harta benda dan 
kekuasaan di dunia dan rakus akan tempat di sorga di 
lalu  hari itu, dalam kekalahan ini memperlihatkan 
diri sebagai pribadi yang tak dapat ia hargai. 
adipati  jayawisesa  itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya. 
Tangannya bersilang pada dada dan pada tangan kanan 
tergantung tasbih. Mulurnya komat-kamit tanpa henti 
sedang batuk antara sebentar menyerang dadanya yang 
tipis. Belakangan ini ia kelihatan tua, kurus dan bongkok. 
Rongga mata dan pipinya nampak lebih cekung dibandingkan  
biasanya. Uban pun semakin banyak menyelusupi 
rambutnya yang hitam-lekam. 
Melihat kegesitan mpu  jayamuseswa  dalam memasak 
ia tertawa menyapa. Lambat-lambat ia masukkan tasbih ke 
dalam saku baju, membelai-belai janggut dengan tangan kiri 
dan berkata lambat-lambat: “Sudah aku ajarkan padamu 
memasak nasi secara Kabul. Ternyata kalian suka, bukan? 
Sekarang orang sudah mulai memakai  nasi kabuli 
untuk berhajat. jayamuseswa , sudah kau cicipi gulai itu? Baik. 
Sekarang campurkan serbuk mi sampai rata ke dalamnya 
dan tenangkan agak lama sesudah  mendidih sekali lagi”. 
Pada juru masak ia serahkan sebuah cepuk kecil dari 
anyaman bambu. 
“Kau sendiri yang menuangkan, jayamuseswa . Dengan serbuk 
ini gulai akan jadi gulai tumapel i. Kalian akan rasakan 
nanti untuk pertama kali dalam hidup kalian. Gulai 
tumapel i! Ada juga yang menamainya kare, namun  lain dari 
yang dari tumapel  ini. namun  awas, jangan kau cicipi, bila 
dicicip ia bisa berubah jadi racun!” 
‘Jadi racun. Kanjeng adipati ? ” 
“Jadi racun Bukan main-main. Bumbu bukan sembarang 
bumbu, bumbu buatan  leluhur,sudah ratusan tahun, yang 
memicu  anak anak bisa berhidung mancung dan 
orang dewasa jadi panjang umur. Bumbu ini bagilah 
menjadi dua, setiap bagian untuk satu belanga gulai itu”. 
adipati  jayawisesa  berjalan meninggalkan tempat itu untuk 
melihat-lihat sekitar tungku, lalu  balik lagi pada 
jayamuseswa : “Sebelum semua dihidangkan, jayamuseswa , ingat-ingat, 
semua puntung kayu dan arang, juga tungkunya sekaligus, 
harus ditanam sampai tak nampak mata. Iblis pun tak boleh 
mengetahui. Itulah anehnya syarat-syarat untuk bumbu 
itu”. 
Dan ia pun pergi, percaya  semua pengikutnya mematuhi 
semua katanya, percaya  setiap katanya adalah hukum. 
namun   juru masak seorang ini bukan saja sudah  terdidik 
mengebaskan tahyul dan omong kosong sebagai musafir 
pilihan, ia pun semakin mencurigai adipati  jayawisesa  yang 
semakin aneh. Ia tak dapat mempercayai adanya hubungan 
antara bumbu dengan hidung yang dapat mancung atau 
pun dengan umur panjang. Dan apakah gunanya hidung 
semancung dan setipis itu kalau toh rapuh dalam setiap 
tubrukan? Dan umur itu, bukankah dia bukan urusan 
manusia? Dan tidak lain dari adipati  jayawisesa  sendiri yang 
sering mengajarkan? Dan apa sebab bekas-bekas harus 
ditanam, sedangkan iblis akan tetap dapat mengetahui? 
Adapun kecurigaan dan keheranannya harum dan sedap 
bau gulai itu memang luarbiasa dan menarik liur untuk 
bertetesan semaunya sendiri. Baunya mengawang berat dan 
buyar ke mana-mana penjuru dalam udara tak berangin itu. 
Beberapa kali ia melihat sosok tubuh mengintip dari 
kejauhan tertarik oleh sang harum sedap. Dan ia pura-pura 
tak tahu. Namun matanya jadi menerobosi balik-balik 
dedaunan. 
Ia sendiri ingin mencicipi Dan mana bisa seorang juru 
masak tak boleh mencicip? 
Mengetahui di balik dedaunan hutan tak lagi ada mata 
mengintip, ia sambar sepotong daging gulai dari belanga, 
bercepat-cepat menghindar ke balik palaka, duduk di atas 
tambi. Daging itu terlalu lama dimasak, sangat panas dan 
gamoh, hampir lumat, jatuh di antara kedua belah kakinya. 
jayamuseswa  menyebut. Ia menyadari perbuatannya tidak 
diridhoi maka tak mengambil sepotong lagi. Dilihatnya 
beberapa pengintip muncul lagi dari balik dedaunan hutan 
terpanggil oleh harum sang gulai. 
Ia pergi ke tungku dan memadamkan api. Tanakan dan 
makanan ia turunkan di atas tanah, lalu  dengan pacul 
kayu kecil bermata baja ia menggali lubang, memasukkan 
bekas-bekas tungku dan puntung-puntung ke dalamnya. 
Hilang semua itu dari pandangan mata. 
Nasi ia masukkan ke dalam bakul besar. Gulai tetap 
dalam belanga, demikian juga halnya dengan air minum. 
Tanah bekas ia masak ia sapu dengan seikat ranting hidup, 
dan hilanglah bekasnya, sekalipun masih nampak menguap. 
Sekarang tinggal melepaskan lelah barang sebentar. 
Kembali ia pergi mendekati pohon palaka dan duduk pada 
tambinya. Teringat pada nasib daging yang terjatuh, ia 
bangkit lagi untuk mengambil pacul. Ia harus menanamnya 
sekali. Matanya gerayangan mencarinya, dan daging itu 
tiada! Tak jauh dari tempat itu menggeletak seekor biawak 
pohon yang baru saja mati. 
Bumbu itu beracun, pikirnya, kalau bukan biawak itu 
tentulah aku yang mati. hewan  itu ia angkat pada 
tengkuknya dan ia cium-cium mulutnya. Benar. Mulutnya 
berbau kare. adipati  jayawisesa  sudah  bermaksud menumpas sisa 
pengikutnya yang paling setia untuk menyelamatkan harta-
bendanya. Gila! 
Kekecewaannya terhadap pemimpinnya itu kini 
mencapai puncaknya dan berubah jadi kemuakan dan 
kebencian. Orang itu lebih biadab dari pada orang yang 
dibusuk-busukkannya selama ini, tidak lebih baik dibandingkan  
Sang adiputro  atau pun pemberontak , kufur, munafik mana pun. 
Dialah orang yang tak tahu berterima kasih kepada sang yang betari durga   
dan semua ummat. 
Ia masuk ke dalam gua dan melihat ruang tengah sudah  
dimpu wungubhumi i dengan daun pisang hutan. Dan itu berarti ia sudah 
boleh memasukkan hidangan. Menurut aturan yang baru 
diterimanya, dalam tata-tertib Gowong, yang pertama-tama 
dilayani adalah istri-istri adipati  dan adipati  sendiri, 
lalu  para pengikut, dan paling akhir sandera nyi girah  
dan anak-anaknya. 
Berjalan melewati ruang tengah sesudah  kembali dari 
membawa ca-dong untuk istri-istri adipati , ia dapati Rangga 
jatayuwesi  sudah  duduk bersama pengikut-pengikutnya yang 
tersetia itu mengepung hidangan. 
“jayamuseswa ”, tegur adipati  jayawisesa , “sekali ini kau pun 
bersama-sama kita semua menikmati rejeki dari sang hyang Widhi  ini. 
ayolah , sini, jangan ragu. Satu kehormatan bagi kalian 
makan bersama-sama dengan adipati  jayawisesa ”. 
Jurumasak itu ikut duduk mengepung hidangan. Tak lain 
dari adipati  sendiri yang mengucapkan doa. Hidangan 
dibongkar dan dibagi-bagi-kan oleh si jangkung. Orang pun 
mulai menyantap dengan lahap. 
“ayolah , habiskan. Mau melihat bagaimana kalian makan 
gulai tumapel i. Jurumasak, yang belakang jangan dihidangi 
dahulu . Sekali ini mereka akan makan belakangan. ayolah , 
semua, jangan enggan”. 
Dalam kerikuhannya orang makan semakin lahap, lupa 
memperhatikan yang lain-lain. jayamuseswa  mengangkat daun 
pisangnya tinggi-tinggi, memperlihatkan sedang makan 
dengan rakus. Matanya jeli memperhatikan adipati  jayawisesa , 
yang tak juga menjamah makanannya, dan terus juga 
bicara. Kelihatan ia seperti orang pemurah yang ikhlas. 
Harum kare itu memang tak tertahankan. Makanan 
jayamuseswa  pun terkenal tanpa tandingan. Kerikuhan sama 
sekali hilang tergantikan dengan kerakusan makan. 
Jurumasak itu memperhatikan teman-temannya sambil 
terus pura-pura makan dengan daun pisang terangkat tinggi. 
Ia menunggu apa yang akan terjadi. Dan memang sedang 
akan terjadi sesuatu. 
Tak antara lama ia lihat beberapa orang terhenti makan 
dengan mengejut, berdiri, berjalan terhuyung-huyung 
mendekati adipati , berhenti, kakinya goyah, mulurnya 
menganga tanpa bisa mengeluarkan suara, lalu  jatuh 
seperti karung kosong di lantai. 
Yang lain-lain pun berhenti makan, menarik-narik jakun 
atau memutar-mutarkan kepala  , berdiri untuk lalu  
jatuh di lantai juga dan tak bergerak lagi. 
jayamuseswa  menduga, kerongkongan dan lidah dan bibir 
mereka mula-mula jadi kelu dan kaku sehingga jadi mutlak 
gagu, seperti kena kecubung, mungkin juga usus dan 
lalu  melumpuhkan bagian-bagian lain yang penting. 
Mata mereka nampaknya juga menjadi buta sebelum mati. 
adipati  jayawisesa  masih duduk di tempatnya mengawasi 
semua kejadian dengan kening berkerut-kerut. Sekarang 
matanya diarahkannya pada jayamuseswa  yang masih juga belum 
menggeletak. 
Tak ada jalan lain bagi si jangkung dibandingkan  mesti 
mengikuti contoh teman-temannya. Ia berdiri dengan mulut 
ternganga, meraba-raba, dan jatuh dengan kepala   miring 
dan mata tertutup lengan, mengintip adipati  jayawisesa . 
Ia lihat Rangga jatayuwesi  bangun dari tempat duduk. 
Airmukanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah 
seorang korban dan berbisik padanya: “Ya sang hyang Widhi , terjadilah 
apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau sudah  benarkan 
semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendak-
Mu, semua ini takkan mungkin berlaku”. 
Ia berjalan meneliti wajah seorang demi seorang. Sampai 
pada jayamuseswa  ia berhenti lama dan agak ragu-ragu, meraba-
raba jantungnya yang masih juga berdenyut dan paru-
parunya yang masih juga kembang-kempis. Ia mengangguk-
angguk dan berkata padanya: “Tidak aku berikan kesakitan 
padamu, jayamuseswa . Semua jalan menuju ke akhirat. Kau 
hanya lebih cepat. Ampunilah aku”. 
Percaya, bahwa jurumasak itu akan segera mati pula, ia 
meninggalkannya, berdiri di tengah-tengah ruangan, 
bimbang, sekali lagi menebarkan pandang pada korban-
korbannya. Ia melangkah ke jurusan bilik Tak jadi. Ia ragu-
ragu. Dibelai-belainya jenggotnya, tiba-tiba tertawa riang 
terbahak dan berpidato: “Dahulu, tidak, masih kemarin 
kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dunia dan 
akhirat. Anak-anakku, sekarang kalian tidur nyenyak seperti 
anak anak, anak Adam yang damai. Untuk keselamatan 
pemimpin kalian, untuk adipati  jayawisesa , semua ini sudah  
terjadi atas kehendak-Nya. jangan menyesal. Pada akhirnya 
akhirat akan lebih baik, lebih menentu, dibandingkan  dunia.” 
Seperti orang kehilangan akal tiba-tiba ia terhenti, 
menoleh ke mana-mana dan memekiki: “Khaidar! Khaidar! 
Bawa semua saudarimu ke mari. Kita ada kerja!” ia 
menghitung dengan telunjuk jumlah korbannya. 9  
belas. “Khaidar! Cepat! Apa kau tunggu-tunggu di dalam?” 
“Khaidar sudah mati, Kanjeng adipati !” jawab jurumasak 
dengan suara bisik. 
“Astagafirullah!” sahut pemimpin itu. Matanya terbeliak 
mencari-cari mayat yang dapat bicara itu. “Suara apa 
kudengar ini? Khaidar! ayolah , sini, keluar”. 
Jurumasak mengulangi jawabannya. Dan adipati  jayawisesa  
mulai curiga. Ia dekati bangkai itu seorang demi seorang 
sambil menggoyang-goyangkan kepala   mereka. 
“Mati!” katanya setiap habis memeriksa. 
Sekarang sampailah ia pada jayamuseswa . Tangannya 
mencekam rambut jurumasak dan menatap wajahnya. Si 
jangkung berteriak  tinggi dan melompat berdiri. adipati  
jayawisesa  terbalik sangking kagetnya. 
“Ya, akulah iblis!” raung jayamuseswa , lalu  tawanya 
bergaung-gaung berpendanan dalam rongga gua itu. 
“Jangan kau kira aku biarkan kau dapat terlepas dari 
tanganku”, ancamnya dengan suara dada yang dalam. 
adipati  jayawisesa  gemetar tak mampu mempertahankan tegak 
badannya sendiri. Suaranya sangat pelan memanggil-
manggil Khaidar, minta tolong. Tangannya bergerayangan 
untuk mencari tempat bersandar. lalu  mulurnya 
berkomat-kamit mengucapkan doa pengusir roh jahat. 
Dalam keadaan seperti itu ia tak sempat terbatuk-batuk. 
“Pergi! Pergi kau, iblis pengganggu”, kata nya sesudah  
selesai doanya. “Pergi kau ke alammu sendiri”. 
“sudah  kau bunuh aku, adipati  jayawisesa , doa-doamu tidak 
mempan terhadapku. Ya-ya-ya, apa dosaku maka kau 
bunuh?” 
“Kembalilah tenang, berserah diri ke alam Baka, jayamuseswa ! 
Dengarkan jayamuseswa ”, kembali adipati  mencobai memidatoi 
dan nampak ia menabah-nabahkan diri. 
Jurumasak memungut segumpak daging kare, diciumnya 
sebentar, lalu  diulurkan pada pemimpinnya. 
Suaranya menggeledek: “Makan ini, pembunuh! Makan, 
kataku!” 
“Tidak, aku tak suka kare”. 
“Harum bau dan lezat rasanya, bikin hidung jadi 
mancung dan umur jadi panjang. Mengapa tak suka lagi 
pada kare? Lebih muda jadi pesek?” ia semakin maju 
mendekati.  
“Makan, ayolah , gulai tumapel i, adipati ”. 
Rangga jatayuwesi  menolak dengan tangan gemetar. 
“Dijauhkan aku dari makanan itu,” sebutnya. 
‘Tak mau kare? Atau lebih suka pisau dapur?” jurumasak 
mengeluarkan pisau dari pinggangnya. 
“Jangan, jangan. Kau boleh ambil satu dari peti-petiku 
dan pergilah demi kediri . Jangan ganggu aku. Ambil satu 
peti dan pergilah dengan damai,” kata pemimpin jayawisesa  itu 
sesudah  mengetahui, jurumasak itu tidak mati. “Khaidar! 
Khaidar!”  
“Juga Khaidar sudah mati kau bunuh!” 
“Bohong. Tak pernah adipati  jayawisesa  membunuh orang. 
Kau, dengan tanganmu sendiri yang membunuh mereka”, 
katanya sambil menuding korban-korbannya yang 
bergelimpangan. 
“Kau pembunuh!” tuding jayamuseswa . “Ningrat Jawa takkan 
lakukan kekejian sejenis  ini”.  
“Pergi! Pergi!” kata nya gugup.  
“Bawa satu peti”.  
“Hanya satu?” jayamuseswa  menggertak, “sesudah  
pembunuhan keji ini?”  
“Dua. Ya, dualah”. 
“Dua peti takkan dapat kuhabiskan seumur hidup”. 
“Sampai dengan cucumu takkan habis, jayamuseswa , dinar 
dan real, emas dan perak, intan, zamrud, delima, mirah, 
kecubung, kalimaya, batu-batuan mulia yang tak pernah 
kau lihat seumur hidup… ah, kau bisa jadi maharaja dengan 
dua peti itu. Kain-kain, khasa, sutra, kaliko, permadani 
buatan Libanon dan Ashkhabad….” 
“Bahkan kematian istrimu pun kau tak ranamun ”. 
“Siapa tidak?” 
“Sesudah  kau membunuhnya?” 
“Bukan aku. Kau!” tuduh adipati  jayawisesa . 
“ayolah , makan daging kare ini”. 
“Tiga peti!” 
“Lebih baik kau susul istri-istrimu…’ 
‘Tiga peti. Tak dibenarkan oleh sang yang betari durga   membunuh 
dirinya sendiri dan membelanjakan harta tiada sepatutnya”. 
“Kau tak perlu membunuh dirimu sendiri. Sini, biar aku 
yang mengerjakan. Sini! Si… ni”. 
Di dalam bilik kayu itu udara lembab, berat dan 
mencekik. Mereka harus membiasakan diri untuk dapat 
tinggal di situ. mpu wungubhumi  dan adiknya nampaknya merasai 
bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak 
memprotes apa pun yang terjadi. Maka ketenangan 
menguasai bilik itu. 
Mendengar ribut-ribut di luar bilik, nyi girah  melompat ke 
pintu yang takkan mungkin dibongkarnya dari dalam itu. 
Dan ia hanya dapat menangkap suara-suara ribut, jelas 
sedang memperebutkan sesuatu. Dalam kegelapan bilik 
mpu wungubhumi  pun bergegas ke pintu mendekati ibunya. 
Kata-kata keras di luar itu berhamburan menembusi 
dinding kayu dan lubang-lubangnya. 
Mereka tak dapat melihat sesuatu. 
“Berapa ratus, berapa ribu saja orang mati sebab  kau! 
Kau sendiri takut mati! ayolah , makan sendiri racunmu ini. 
Apa kau lebih memilih pisau dapur?” 
“Jangan, ambillah tiga peti itu”. 
“Kau pun orang asing pembikin onar. Orang asing lain 
jadi kanjeng sinuhun  ka u mengiri, mendengki. Kau sendiri mau 
menggagahi semua, menipu, mengacau, memutar balikkan, 
mengadu domba, mau jadi raja paling berkuasa, dengan 
keringat dan darah dan nyawa orang lain!” 
“Tiga peti cukup, jayamuseswa , demi sang hyang Widhi ”. 
“Tak ada sesuatu yang baik dapat dipungut dari kau!” 
suara bentakan 
“Hidung mancung, ganteng, banyak ilmu, pandai 
mewejang, hafal semua jayamuseswa  sang hyang Widhi … hanya iblis laknat 
belaka. Rasakan ini!” 
Cepat-cepat nyi girah  mengangkat mpu wungubhumi  dan mereka pura-
pura tidur nyenyak. 
Jantung ibu itu berdebar-debar kencang mendengar 
langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin 
mendekat. Dan balok-balok yang terinjak itu bergesekan 
satu dengan yang lain. Dan langkah itu kian mendekat juga. 
Ia dekap mpu wungubhumi  erat-erat, dan anak itu menyembunyikan 
mukanya pada dada ibunya dalam kegelapan. 
Langkah kaki itu berhenti di depan pintu bilik.  
“Dewa Batara!” bisik nyi girah  hampir tak terdengar.  
“Mak”. 
Terdengar pasak pintu dibuka dari luar bilik. Segumpal 
cahaya rem-bang masuk ke dalam. 
“Keluar!” terdengar oleh nyi girah  dan mpu wungubhumi  suara yang 
memerintah pelahan dan lembut. Mereka pura-pura tidur.  
“Tidurkah kau, nyi girah ?” 
Tersirap darah nyi girah . Ia pernah dengar suara itu   
suasana yang sama sekali tidak jahat. Ya-ya suara pemuda 
pengawal yang membawanya ke mari. Mengapa suaranya 
selalu selunak itu? 
Orang itu tak masuk ke dalam bilik, tetap berdiri di 
ambang pintu dan mengulangi perintahnya dengan 
suaranya yang lunak itu juga, dan manis, dan memikat. 
nyi girah  tak dapat mempertahankan pura-puranya lebih 
lama. Ia turun dari ambin. mpu wungubhumi  tak sudi melepaskan 
rangkulannya dan menjerit. Ia gendong anak itu dan 
menghampiri pengawal muda jangkung berkumis tanpa 
jenggot itu. Bertanya: “Akan dibunuhkah kami?” ia tak 
dengar si bayi sudah mulai menangis pula. 
“Ah, nyi girah , mana bisa orang akan bunuh pujaan 
kediri ?” Seperti tersihir oleh suaranya ia masuk lagi dan 
mengambil bayinya. Gendong melengket pada 
punggungnya. 
“Mari tinggalkan tempat ini. Mari aku antarkan ke 
kediri . Kang raden gelang-gelang  sudah lama menunggu”.  
Siapakah orang ini? namun  ia tak berani bertanya.  
“Mari aku bantu. Biar kugendong kemenakan tertua ini”. 
mpu wungubhumi  meronta dan berteriak . Dan ia tak memaksa.  
“Biar si bayi saja kugendong”, katanya mengulurkan 
tangan. nyi girah  memandanginya dengan curiga. Matanya liar 
tak mempercayai. Dan bayi itu tak diserahkannya.  
“Ah, nyi girah  sendiri. Kau lupa padaku. Akulah Pada”. 
0odwo0 
 
26. Pertemuan Kembali 
Regu kuda itu kecil saja jumlahnya, tak lebih dari dua 
puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh ki glodog ireng . 
Oleh Maesa Wulung pun tidak. raden panji  gelang-gelang  sendiri yang 
membawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur. 
Mereka sedang berusaha mencari nyi girah  dan anak-anaknya. 
Seluruh kediri  gempar mendengar berita nyi girah , penari 
pujaan itu, diculik oleh gerombolan adipati  jayawisesa . Tak ada 
orang bisa memaafkan bila dia sampai terkena cedera. 
Bahkan desas-desus tentang perlakuan patih wirabuana  kediri  
terhadapnya, bila tidak sebab  perlindungan Sang adiputro , 
sudah  lama dapat membunuh raden  sanggabuana  itu secara 
kejam. Apalagi kini: diculik oleh musuh kediri . Takkan ada 
ampun. 
Semua berdoa dan berharap agar penari itu 
diselamatkan. Para pemimpin pasukan sudah  mendesak 
panembahan senapati ki ageng  agar mengerahkan prajurit kerajaan  untuk mencarinya 
sampai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya, 
belum tentu ada penari seperti itu lagi. 
Jadi tak lain dari panembahan senapati ki ageng  kediri  sendiri yang berangkat 
dengan 30  orang pasukan kuda. Sekiranya tidak 
berangkat dengan diam-diam tak kurang-kurangnya orang 
yang bersedia bergabung dalam barisan pencari. 
Dengan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung 
desa jayawisesa , yang selama ini memang belum lagi dijamah 
oleh prajurit kerajaan . 
Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu 
berkendara pelan-pelan memperhatikan kehidupan yang 
sedang mulai hendak pulih kembali. Orang sudah  mulai 
menggarap sawah dan ladang. Kedamaian yang dahulu  
kelihatan sedang membiak kembali. Dan bila malam datang 
gamelan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan 
perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-tempat 
tertentu orang belajar membaca Al-qufan tanpa gangguan. 
Di tempat lain lagi orang mendengarkan resi  pembicara 
yang semua saja mengumpat dan mengutuk adipati  jayawisesa . 
perguruan -perguruan  sri ratu kertanegari  semakin susut. Dan 
dengan adanya pengajian-pengajian anak-anak memperoleh  
dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh 
sri ratu kertanegari  dan betarakalong  semakin susut. Tak bisa lain, berabad-
abad lamanya agama raja adalah agama bawahan , dan Sang 
adiputro  dimasyhurkan oleh bawahan nya sudah  memeluk 
arca   . 
Di satu dua desa regu kuda itu mengetahui juga adanya 
beberapa orang Laki-laki  melarikan diri melihat mereka datang. 
Dan Sang panembahan senapati ki ageng  memerintahkan pada anakbuah untuk 
membiarkan mereka lari. Dan pada desa demikian 
ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk 
mengaduk desa. sebab  panembahan senapati ki ageng  kediri  adalah juga anak 
desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa, 
menjadi petani seperti yang lain-lain. 
Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu 
menambahi: “Jangan takut Kami tak memusuhi kalian. 
Memang ada yang kami cari: adipati  jayawisesa . Katakan ke 
mana dia bersembunyi. Dia yang berdosa, bukan seorang 
pun di antara kalian. 
Kata-kata sejenis  itu melenyapkan kegelisahan dan 
ketakutan. Namun tak juga diperoleh  keterangan di mana 
adipati  jayawisesa  bersembunyi. 
Sampai di desa jayawisesa , regu kuda itu hanya menemui 
kesunyian. Desa itu sama sekali sudah  ditinggalkan. Tak ada 
tanda-tanda orang tinggal. Hanya kucing kacangtanah ran 
gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan 
tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda. 
Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih 
menunggang kuda panembahan senapati ki ageng  memasuki pendopo rumah 
joglo adipati  jayawisesa , berhenti di tengah-tengah, lalu  
masuk ke dalam rumah dengan gada  telanjang di tangan. 
Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rumah masih utuh, 
namun   semua barang berharga tiada nampak. 
Melihat semua itu ia menarik kesimpulan, bekas 
patih wirabuana  kediri  itu memiliki cukup persiapan untuk 
melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta 
bendanya. Maka in takkan dapat pergi jauh. juga di rumah 
itu nyi girah  tak ditemukan. 
raden panji  gelang-gelang  memerintahkan memeriksa setiap rumah. 
Di setiap rumah yang dimasuki pintu diperoleh  terbuka 
dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai, 
pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru. 
Tak seorang pun ditemukan. Apalagi nyi girah  dan anak-
anaknya. Ia perintahkan memeriksa daerah sekitar. 
Kuburan orang arca    pun diperiksa. Bekas galian diselidiki. 
Di dekat kuburan itu mereka memperoleh kan mayat seorang 
wanita yang sudah  rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya. 
raden panji  gelang-gelang  memerlukan menelitinya, dan ia 
mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya. 
Mayat-mayat itu lalu  ditimbun dengan tanah dan 
ditinggalkan. 
Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. Dan 
panembahan senapati ki ageng  menambahi pesannya: “Penduduk desa jayawisesa  
supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda 
yang masih tertinggal, namun   jangan lagi tinggal di situ. 
Tinggalkan jayawisesa , menetaplah di desa lain. Jangan lagi desa 
sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan”. 
Semakin meninggalkan jayawisesa  semakin bertetesan 
keterangan yang bisa didapat tentang arah perginya adipati  
jayawisesa . Regu itu mulai dapat menjejak tempat Rangga jatayuwesi  
yang terakhir. 
Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang 
melebar itu, sampai lebaran itu berakhir, dan di sanalah 
Gowong, persembunyian bekas patih wirabuana  kediri  itu. 
Dari kejauhan mereka sudah  dapat melihat bukit kecil 
tujuan. Persiapan untuk perkelahian sudah  diatur. Kuda 
dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas 
pepohonan dan puncak bukit. 
Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia. 
percaya  dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin 
merangsang dan semakin memuakkan. Dan sampai di 
depan pintu gua keadaan tetap sunyi. namun   bau bangkai 
menjadi-jadi. 
Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua. 
Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat mubal beterbangan ke 
luar masuk gua. 
“Tak ada orang di dalam. Masuk!” 
Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau 
busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka. 
Dan pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di 
hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau 
belerang memicu  hewan  buas tidak menyerbu ke 
mari. 
Melihat bangkai-bangkai itu raden panji  gelang-gelang  melompat 
turun dari kuda. Ia periksa mayat-mayat yang sudah rusak 
itu seorang demi seorang. Dan lalat tak henti-hentinya 
mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di 
antara mereka. 
Juga semua centeng  ikut memeriksa. 
“Dayu! nyi girah !” teriak raden panji  gelang-gelang  memanggil-
manggil. 
Hanya gema yang menjawabi kembali. 
“Seorang mati ditikam gada wesi , panembahan senapati ki ageng wilareja !” seorang 
melaporkan. 
Mereka memeriksa yang mati tergada wesi . 
“Periksa seluruh gua!” kata  panembahan senapati ki ageng . “Inilah si keparat 
Rangga jatayuwesi . Hem. Kaulah ini gerangan? Hanya begini 
saja akhirmu?” 
Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggota 
badan dan luka-luka tikaman yang sudah  mengeluarkan 
belatung itu. 
Mati terbunuh atau bunuh diri? 
Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan 
mengetahui: pisau dapur. 
Rangga jatayuwesi  dibunuh oleh wanita lesbian , pikirnya, dan 
diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam 
atau di luar gua terdapat sebuah dapur. 
Mungkinkah nyi girah  yang membunuhnya? Dan ia 
berteriak memanggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang 
menjawabi. 
centeng -centeng  yang memeriksa lebih ke dalam 
menemukan empat bangkai wanita lesbian . Segera ia 
melaporkan. panembahan senapati ki ageng  bergegas masuk membawa obor dari 
ranting-ranting kayu dan serangga beterbangan 
menubrukinya. 
la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi 
seorang, dan ia ragu tak dapat memastikan. Hanya hatinya 
yang hilang: itu bukan orang yang kau cari. 
“Perbanyak obor!” perintahnya. namun  hatinya lebih keras 
berteriak : Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan 
begini, dan tak boleh di sini. 
Dan api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari 
seluruh rongga berlapis papan itu. 
Dalam bilik yang lain orang menemukan selembar popok 
bayi. panembahan senapati ki ageng  itu sendiri masuk ke dalam dan memeriksa 
popok itu, Satu raungan keluar dari mulurnya, seperti suara 
orang gila: “Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!” 
“Nyi kembang  nyi girah !” yang lain-lain mulai berlarian keluar 
dan memanggil-manggil ke sekitar. 
Suara betari i dan keras itu bergema-gema di dalam 
rongga, juga di dalam rimba. 
centeng  itu pergi untuk memperoleh kan dapur. 
Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil 
berseru-seru dari atas kudanya. namun   hanya gaung yang 
menjawabi. Mereka hanya memperoleh i timbunan kotoran 
burung pada sebuah lekukan tanah. Dalam pembongkaran 
tak diperoleh  bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada 
tulang, tak ada pakaian. lalu  diperoleh  galian baru, 
tertimbun tanah yang agak baru. Waktu dibongkar ternyata 
bekas-bekas dapur. Dalam waktu dekat diperoleh  tanah 
terbakar bekas tempat tungku. 
raden panji  gelang-gelang  itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada 
cabang-cabang kayu di dekat-dekatnya untuk memperoleh kan 
bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidak-
tidaknya kapur itu tidak akan terganggu oleh hewan  
ataupun cuaca. Dan ia tidak memperoleh kannya. Bukan 
seorang wanita lesbian  yang masak di sini, ia memutuskan, 
seorang Laki-laki . Bukan nyi girah  yang membunuh Rangga jatayuwesi , 
namun  seorang juru-masak Laki-laki . 
Mereka menemukan sumber air yang mengalir jemih. Di 
sana mereka membersihkan diri. 
“Bakar gua itu!” perintahnya. 
Orang pun mengangkuti kayu dan ranting, menjejalnya 
di tempat mayat-mayat bergelimpangan. Daun-daun kering 
ditimbunkan dan lalu  dibakar. 
“Kembali!” perintah panembahan senapati ki ageng . 
Regu itu meninggalkan bukit dan gua Gowong. Hasilnya 
dua: selembar popok dan kenyataan Rangga jatayuwesi  sudah  
mati, ditikam dengan pisau dapur dan tidak jelas siapa 
menikamnya. 
Api di dalam gua itu dengan cepat membubung. Rongga 
itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baranya masih 
juga menganga 
Dan popok itu memberi firasat pada panembahan senapati ki ageng , bahwa 
anaknya belum mati, juga istrinya. 
mpu wungubhumi  duduk di atas bahu Pada alias mpu  jayamuseswa  
dan tangannya berpegangan pada kepala  . nyi girah  
menggendong bayi. 
Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam 
rimba belantara itu. nyi girah  membawa tombak sebilah dan 
pada pinggangnya tergantung gada  yang terlalu panjang 
untuknya. mpu wungubhumi  membawa empat bilah tombak. Juga pada 
pinggangnya tergantung gada . 
“Betapa jadinya anak-anak ini, Pada, kalau kau tak 
datang menolong?” bisik nyi girah  dalam usahanya untuk 
menyatakan terimakasihnya. 
Rimba itu terlalu lebat. Sinar sinar matahari  tak mampu 
menembusi. Dengan tombak di tangan dua orang itu selalu 
waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas 
untuk dapat menghindari ular yang sedang menunggu 
mangsa. Dan memang ular itu juga musuh yang paling 
berbahaya. Baunya yang langau memang segera dapat 
dikenal, namun   tanpa mata awas boleh jadi orang tak 
memperhatikan baunya lagi. 
Pandang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan 
tombak setiap waktu siap untuk dilemparkan. Namun 
pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan 
oleh wanita pujaan itu. 
“Dan betapa jadinya”, ia menjawab lambat-lambat, 
“kalau Kang raden gelang-gelang  jalankan apa yang diperintahkan 
padanya? Kau pun tak bakal menemui aku lagi, nyi girah ”. 
“Betapa berliku-liku hidup ini”, desis nyi girah . 
“Ya, nyi girah , berliku-liku memang, dan tak ada orang 
tahu bagaimana bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja 
menuju ke arah kematian, memasuki akhirat”. 
“Apa gunanya bicara tentang kematian? Yang baru lewat 
pun sudah seperti itu. Dan yang sekarang: rimba belantara 
seperti ini”. 
“Bukankah ada Pada di sampingmu? Adakah dia kurang 
jantan, nyi girah ?” 
“adipati  jayawisesa  dalam keadaan sendirian seperti itu Pada, 
tak bisa keluar dari rimba ini?” 
“Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam 
lagi, sebidang bulak rumput, lalu  desa pertama”. 
“Dua malam lagi?” 
“Insya sang hyang Widhi , dua malam lagi”. 
Dan mereka terus berjalan dalam rembang rimba. Rasa-
rasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan 
kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan 
memperebutkan setiap ikat sinar sinar matahari  dari langit, tak sudi 
berbagi dengan yang di bawahnya. Dan di bawahnya itu 
justru melata dengan meranyahnya pepohonan petaicina 
dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesak-
desakan, memperebutkan sisa sinar sinar matahari  yang mungkin 
jatuh tercecer dari langit. 
Antara sebentar mereka memapasi jalur-jalur bekas jalan 
babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepohonan 
dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang, 
runcing dan tajam, mengancam di mana-mana. Segala jenis 
monyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan 
buah-buahan hutan. Musafir di dalamnya tiada kan mati 
kacangtanah ran. Bila haus orang tinggal menebang batang rotan 
muda dan menampung kucuran dan tetesan airnya yang 
berbuih dengan mulut. Umbi-umbian tinggal memilih mana 
yang disukai. Hanya kacang-kacangan yang tiada. 
Terhadap hewan  buas pada banyak berpengalaman sudah 
selama mengembara sebagai musafir pajang bintoro . Ia tahu cara 
menghindari atau melawan. 
Hanya gangguan nyamuk dan lintah darah sungguh tak 
tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar 
tinggi membuat  kantung jadi gangguan tambahan. 
“Berapa anakmu sekarang. Pada?” 
“Seorang pun belum”. 
“Kau belum lagi kawin?” 
“Nantilah kalau sudah temukan seorang seperti 
nyi girah ”. 
“Ah, kau “. 
Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil 
mengusiri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau 
gedrugan kaki. Kadang mereka membiarkan sampai lama 
lintah jatuh sendiri dari tubuh sesudah  kenyang menghisap. 
Dan dengung serangga di pepohonan terasa menumpulkan 
pancaindera. 
“Apa menurut dugaanmu anakbuah adipati  jayawisesa  tak 
keluyuran di sini?” 
“Tidak. Semua sudah  dikerahkan ke medan perang” 
mpu wungubhumi  sudah  tertidur duduk di atas bahu Pada dan 
membungkuki kepala   kendaraannya. Diturunkan ia dari 
atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan 
tetap siaga dengan tombaknya. 
“Ceritai aku sejak kau tinggalkan kediri ”. 
“Begitulah”. Pada langsung memulai, “Kang raden gelang-gelang  
membawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang 
adiputro . Itu kau sudah tahu, nyi girah . Kang raden gelang-gelang  tidak 
bunuh aku. Diberikannya kembali nyawaku, diberinya aku 
kesempatan melompat ke laut. Aku melompat dan berenang 
ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu 
belum lagi jauh dari kediri . Aku tiba di campa , sebuah 
jenggala Tionghoa yang tenang. Penduduknya hanya sedikit 
dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seorang sudah  
memungut aku jadi anak-angkatnya, nyi girah , sebab  
dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya”. 
“Dan kanak-kanak yang terlalu nakal”. 
“Ya, terlalu nakal. nyi girah . Juga sebab  diketahuinya 
aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten 
kediri . Di rumahnya itu aku belajar masak, sebab  dia 
tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak 
dengarkan aku, nyi girah ?” 
“Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dahulu  aku diselir 
oleh Sang adiputro … kau. Pada, tega juga kau….” 
“Ah, nyi girah … semua itu ceritera lama. Dan siapa 
tidak bermimpi kan seorang nyi girah  dalam hidupnya? 
Sekalipun dia masih kanak-kanak?” 
“Huh!” 
“Aku teruskan ceritaku?” mengetahui nyi girah  tak 
menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian 
masalalu. Dan melihat nyi girah  nampak tak acuh, ia 
memberikan perhatian. “Kau sudah bosan mendengarkan”. 
“Teruskan saja ceritamu”. 
“Kau sajalah yang bercerita”. 
“Sudah habis ceritaku, Pada”. 
“Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat: 
Juana, suryabuaya  , pajang bintoro , dan juga Semarang. Semarang 
hampir sama dengan campa . Penduduknya Tionghoa 
berkucir melulu, namun  kotanya jauh lebih besar, lebih banyak 
penduduknya dan rumah-rumahnya lebih besar dan bagus, 
walau pelabuhannya tidak baik. kediri  jauh lebih bagus. 
Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di pajang bintoro . 
Diberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan 
Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di 
pajang bintoro  sana. Jadi tinggsang hyang Widhi  aku di rumah orang yang 
kuberi surat itu. Bersama dengan banyak pemuda lain di 
rumahnya aku belajar agama arca   , macam-macamlah, kau 
tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama 
dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para 
wali, babad pajang bintoro . lalu  kami pindah belajar di 
tempat ibadah  agung Bintoro. Sesudah  itu kami dikirimkan ke mana-
mana dan aku ditunjuk untuk kembali ke kediri , 
pedalaman kediri  maksudku. Pada mulanya aku 
berpangkalan di Bonang. Pada adipati  Bonanglah aku 
melaporkan semua kegiatan adipati  jayawisesa … sudah bosan, 
nyi girah ?” 
“Tidak. ayolah  teruskan”. 
“Aku percaya  kau bisa tertarik mendengar pekerjaanku”. 
‘Teruskan saja. Pada”. 
Dan mereka terus berjalan. Laki-laki  itu tahu nyi girah  tak 
tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak meneruskan. 
“Mengapa kau terdiam? Jangan bikin aku mengantuk”. 
“Baiklah. adipati  Bonang tidak setuju pada adipati  jayawisesa . 
Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan 
peradaban Jawa dibandingkan  menyebarkan agama arca   . Kata 
adipati  Bonang, orang tak bisa membuat  peradaban yang 
sama sekali baru dalam sepuluh tahun. Ia mengakui adipati  
jayawisesa  pandai bicara, pandai menarik hati, pandai 
mepercaya kan, namun  ia terlalu gegabah dan tak memiliki  
kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan. Bila tidak, 
dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan 
pajang bintoro . nyi girah , akulah sebetulnya  yang ditugaskan 
untuk mendekatkan dia dengan pajang bintoro ”. 
“Ternyata kau orang penting pajang bintoro , Pada”. 
‘Tidak, hanya musafir. Apalah artinya seorang Pada?” 
“Mengapa kau ceritakan semua itu? Bukankah itu 
pekerjaan rahasia?” 
“Ya, nyi girah , rahasia. Sekarang tidak lagi. adipati  
jayawisesa  sudah  mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang 
membunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang 
kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan negeri dongeng  
sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap pajang bintoro . 
Sebaliknya kerakusannya membuat  semua kelebihannya 
menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan 
semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi 
jurumasaknya. Iblis masih mau memberi pada seseorang 
untuk maksud dan kepentingan sendiri. adipati  jayawisesa  tak 
mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun 
ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani 
membayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi dibandingkan  desa-
desa lain kepada kediri . Benih yang diperoleh  dari dia 
harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali 
memberi makan enak, dia bermaksud membunuh mereka   
orang-orang yang justru paling setia padanya”.  
“Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu?”  
“Itulah kekeliruan ajaran lama barangkali kerumunilah 
orang berilmu, ikuti dia, selamatkan dia dan jalani petunjuk 
dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, nyi girah . Anak 
desa segunung-gunungnya hafal nyanyian itu. Di pajang bintoro  
pun ajaran itu dinyanyikan oleh semua orang”. 
“Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamamu yang 
baru itu. Pada?” 
“sang hyang Widhi  yang memiliki  langit dan bumi ini, memiliki  seluruh 
alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang 
diwahyukan pada para nabi dan Nabi Besar mpu , di 
bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu kanjeng sinuhun  Al-Fattah, raja 
pajang bintoro . Khalifah mengatur semua orang arca    di tanah 
Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang arca    di Jawa 
harus datang ke pajang bintoro , bersembahyang di tempat ibadah  agung 
dan membesarkan nama kanjeng sinuhun ”. 
“Makin banyak kata-katamu yang aku tak mengerti”. 
“Lama kelamaan kau akan mengerti juga, nyi girah ”. 
“Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti 
itu”. 
“Celakalah orang arca    Jawa yang tak mematuhi 
Khalifahnya, dunia dan akhirat”. 
“Yang lain, Pada”. 
“adipati  jayawisesa , biar pun arca   , sebab  menentangnya, dia 
celaka juga”. 
“Dan kau yang membunuhnya. Pada. Apakah itu juga 
perintah dan pajang bintoro ?” 
“Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat 
dan terjaga. Dia terlalu merugikan pajang bintoro  dan penyebaran 
agama arca   . Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, raja-
raja Jawa akan bangkit melawan arca   , apalagi yang jauh 
dari pesisir. resi ku bilang: orang Jawa tidak mau 
kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti 
Rangga jatayuwesi  yang berani mengawur sejauh itu, 
pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu 
besar, namun  tidak bisa menetap, sebentar lalu  akan 
lebih kembali ke dalam alam jahiliah.” 
“Betapa banyak kata-katamu yang sulit”. 
“Bukankah nyi girah  juga sudah arca   ?” 
Dan nyi girah  mendengus tertawa. 
“Kata orang, nyi girah , Kang raden gelang-gelang  juga sudah masuk 
arca   . Bukankah itu benar?” 
“Pantas kau memperoleh  kepercayaan dari kanjeng sinuhun  pajang bintoro . 
Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang raden gelang-gelang . 
Dia hanya kata r gulat”. 
“Dia sudah  berhasil hancurkan kekuatan Rangga jatayuwesi . 
Aku harus membantu menyelesaikan sedikit. nyi girah , 
tidak benarkah Kang raden gelang-gelang  sudah masuk arca   ?” 
“Apakah artinya arca   -tidaknya kami berdua bagimu? 
Kami hanya orang-orang biasa, hanya ingin jadi petani 
biasa. Kang raden gelang-gelang  tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau, 
maka tak perlu bagi kami masuk arca    
“Ah, nyi girah ”. 
“Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para 
dewa ataupun dari Aliahmu, maka dia tidak ingin 
membunuh atau dibunuh oleh siapa pun”. 
“nyi girah !” Pada menegah. 
“Mengapa? Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan 
hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin 
jadi manusia biasa….”  
“nyi girah !” 
“Lihat, rakus kekuasaan memicu  Rangga jatayuwesi  
ingin menggantikan Sang adiputro . Kerakusan itu juga 
memicu  pajang bintoro  membunuh Rangga jatayuwesi  melalui 
tanganmu….”  
“nyi girah !” 
“… Takut kehilangan kekuasaan memicu  
prajurit kerajaan  kediri  memerangi Rangga jatayuwesi  dan Kang 
raden gelang-gelang  dipaksa jadi panembahan senapati ki ageng  kediri . Kerakusan 
memicu  matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada, 
kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa”. 
“Ah, nyi girah , nyi girah , kau belum mengerti duduk-
perkara,” Pada menyela.  
“Itulah duduk-perkaranya”.  
“Siapa yang mengajarinya begitu, nyi girah ?”  
“Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung 
kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu 
banyak dari para resi  pengembara di desa-desa”. 
“Masih banyakkah resi -pembicara mengembarai desa-
desa?”  
“Belakangan ini berkurang memang”. 
“resi ku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman Daud 
dan Musa… siapa di antaranya yang paling nyi girah  
puja?” 
“betari  resi  . Suaranya lantang penuh keberanian dan 
kebesaran”.  
‘Tentu dia sudah mati”. 
“Ya. Sebelum kami berdua berangkat ke kediri ”.  
“Siapakah kiranya yang berhasil membunuhnya?”  
“Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan 
membunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak 
rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan 
kejayaan di lalu  hari untuk sesama orang?” Mereka 
berhenti. 
mpu wungubhumi  bangun dari tidurnya. Mereka memunguti buah 
jambu yang sudah  dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka 
sudah  memakannya sampai perut merasa agak isi lalu  
berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak 
boleh makan buah sampai kenyang. 
mpu wungubhumi  berjalan kaki lagi. namun   kelelahan kemarin yang 
belum juga habis memicu  ia segera juga minta duduk 
di atas bahu, dan di sana ia menyanyi-nyanyi. 
“Mengapa betari  Curing harus dibunuh?” mendadak 
nyi girah  bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya 
lagi. “pajang bintoro kah yang menghendaki? Dan kau yang harus 
kerjakan?” 
Pada tak menengahi. 
“Sesudah  mendengarkan ceritamu, Pada, terpaksa aku 
membayangkan pajang bintoro , di sana tentu takkan ada resi -
pembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh”. 
“Tidak, itu tidak benar. Di mana-mana ada, di kota, di 
desa. Bukankah aku sendiri juga seorang resi -pembicara? 
Cuma di pajang bintoro  namanya musafir pajang bintoro ”. 
“Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain 
dibandingkan  di desa-desa di luar pajang bintoro . Dari ceritamu tadi 
sekali lagi aku terpaksa membayangkan, Pada,, resi -
pembicara alias musafir pajang bintoro  itu bicara untuk memperoleh  
pengikut atau merebut pengikut orang lain. resi -pembicara 
kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya 
menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak memiliki  
apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaannya. 
Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau. 
Bukankah kau jadi musafir pajang bintoro  sebab  kebencianmu 
terhadap Sang adiputro ? Dan Sang adiputro  hendak 
membunuhmu sebab  kau merugikannya lebih dahulu?” Ia 
memerlukan menengok ke belakang melihat pada Pada, dan 
Laki-laki  itu tak membantah. “Kata orang, dahulu kala mereka 
itu adalah resi -resi  sri ratu kertanegari . Makanya pun diperoleh nya 
dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan. 
Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau memberinya 
perlindungan”. 
“Ternyata kau pun pandai bicara, nyi girah ”. 
“Kau tak marah padaku sesudah  menolong kami?” 
“Apa harus dimarahkan? 
“sebab  ternyata kita berlainan?” 
“Bagaimana pun kebenaran akan menang, nyi girah . 
Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu 
yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu resi  
pembicara di desa-desa seperti itu, maka ada seribu macam 
pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh, 
semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sama sekali”. 
“Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah 
terbiasa memilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang 
paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah 
sebab  itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku 
keliru?” 
“Ah, nyi girah , selama kebenaran berasal dari manusia, 
dia meragukan, sebab  hanya sang hyang Widhi  pemilik kebenaran, 
yang Maha Besar”. 
“Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum 
mengenal. Orang-tua kami tak mengenalnya sama sekali, 
sebab  mendengarnya pun belum. Betapa berdosanya kami 
kalau harus menganggap mereka tidak mengenal 
kebenaran, hanya sebab  tak tahu Aliahmu”. 
nyi girah  merasa, ia sudah sampai pada titik di mana 
pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan kata-
katanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anak-
anaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada 
sengaja tak meneruskan bicaranya. Hanya mpu wungubhumi  tertawa-
tawa dan menyanyi di atas bahu Pada. 
wah 
 
Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Ranting-
ranting dan dedaunan kering mereka kumpulkan untuk alas 
tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun 
dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu 
melambungkan  asap tebal dan kelabu. 
“Kadang-kadang,” kata Pada, “datang macan atau ular atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak  akan menerkam atau mengganggu. Matanya memancarkan  gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi 
seperti habis menonton tarianmu, nyi girah .” 
Dari balik-balik luruhan daun jati basah mereka 
mengumpulkan sejumlah besar kepompong jati. Mereka membakari hewan  kecil-kecil coklat itu dan memakannya dengan senang. 
Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap  lagi, dan berjalan lagi. Dan kini rimba belantara sudah  dilalui. Sebuah padang ilalang membentang di hadapan mereka. Dari kejauhan sudah  nampak bagian-bagian yang sudah  
terbakar. Dan di suatu tempat bekas bakaran, di mana tumbuh ilalang muda, sekawanan rusa nampak sedang merumput. “Padang alang-alang”. Pada memulai, “yang paling menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semak-semak. Macan. nyi girah , sarang macan. Matanya 
mengintip di mana-mana”.  
“Sudah banyak bekas bakaran kulihat”. 
“Ya, syukur alhamdulillah. Nampaknya nyi girah  belum 
juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu. 
Maklumlah penari. ‘Bakarlah alang-alang, petani’ bukankah 
begitu?” 
“Tumbuhlah yang muda,” nyi girah  meneruskan. “Ribuan 
rusa berdatangan merumput….”  
“Lupakan ladang dan sawahmu”, Pada menyambung.  
“Macan menerkamnya sehari seekor. Selamatlah 
perjalananmu” Mereka ingat sajak nyanyian itu. Namun 
mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak 
juga meninggalkan hutan. 
“Sebelum tentu si macan berhasil menangkap seekor dan 
si petani sudah lewat melintasi”, Pada berkata pelahan pada 
padang alang-alang di depannya. 
“Apa guna cerita seperti itu? Pada, kau sudah pergi ke 
mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu 
bangsa yang suka makan orang?” 
“Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu 
ajaran”. 
Dengan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mulai 
menyeberangi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan 
setapak yang hampir hilang. 
“Mengherankan,” nyi girah  meneruskan untuk melupakan 
kekuatirannya. “Orang makan orang. Bagaimana bisa? 
Sewaktu memakannya tidakkah terbayang orangtua atau 
anaknya sendiri? Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali 
akan dimakan juga oleh yang lain?” 
“Bodoh, kataku, jahil. Pikirannya tak panjang. Itu 
sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka”. 
Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan 
sendiri. 
“Barangkali itu lebih baik”. Sambung nyi girah . 
“Apa baiknya kebodohan, kejahilan?” Pada menolak. 
“Mereka makan-memakan sebab  lapar, kiraku. Ajaran 
datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuh-
membunuh, tidak sampai makan-memakan, dan bukan 
sebab  lapar. Mungkin salah sebab  ajaran yang kau 
bawa”. 
Pada tak menanggapi. nyi girah  tahu, ia tersinggung. 
“Kau marah, Pada? di desa-desa takkan ada orang marah 
sebab  ucapan seperti itu. Maafkan kalau kau tak bersenang 
hati. Tak apa, Pada.” 
“Kau memancing-mancing, nyi girah ”, Pada menuduh. 
“Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan 
sesamanya. Kau lantas membawa soal ajaran. Jangan 
hubungkan”. 
“Kita sedang menyeberangi padang yang menggetarkan 
ini”. 
“Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar”. 
Sementara mereka berjalan tanpa bicara. mpu wungubhumi  di atas 
bahu nampaknya juga merasai kegentaran mereka. 
“Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut 
pendapatmu? Mereka itu ingin makan daging, namun  
perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mudah 
ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan 
bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang 
sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana 
pendapatmu. Pada?” 
Dan Pada tak menjawab. 
Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke 
mana-mana. mpu wungubhumi  bersorak-sorak di atas bahu Pada 
melihat sekawanan rusa yang merumput damai di 
kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang. 
Waktu angin bertiup dan menyampaikan suara manusia 
dan baunya, hewan -hewan  itu terhenti dari 
kesibukannya. Semua memanjangkan leher dan 
menegangkan kuping. Moncong hitamnya mereka angkat 
tinggi. Sesudah  mengetahui, hanya serombongan manusia 
berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anak-
anaknya berlompat-lompatan lagi. 
“Kalau sudah dilewati padang ini, kita akan sampai ke 
sebuah hutan muda, lalu  padang rumput pendek, dan 
sampailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana, 
nyi girah ? Ke kanan berarti ke kediri , ke kiri ke hutan  
larangan ”. 
“Ke kiri. Pada, hutan  larangan .” 
“Dan Kang raden gelang-gelang  nanti?” 
“Kalau dia masih memerlukan anak dan bininya, tentu 
dia akan mencari kami di desa,” ia betulkan bayinya dan 
dalam gendongan dan menyusuinya “Tak dapat aku tinggal 
lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan”. 
“Kasihan Kang raden gelang-gelang ”. 
“Biarlah dia kembali saja ke desa”. 
“panembahan senapati ki ageng  kediri  kembali ke desa? Mau jadi apa? Jangan 
main-main, nyi girah . Apa kau suruh dia mencangkul dan 
membajak?” 
Mereka berjalan dan berjalan. 
“Dia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan 
manusia. Dia akan kembali ke desa.” 
“Kalau tidak? Kalau dia memang dengan semau sendiri 
jadi panembahan senapati ki ageng  untuk dapat berkuasa?” 
nyi girah  mempercepat jalannya. 
“Kalau dia tidak mau pulang ke desa? Tidak 
memerlukan  nyi girah  lagi?” 
nyi girah  menyusui anaknya sambil mempercepat jalannya. 
wah 
 
 
27. pajang bintoro  Bergolak 
Pelayaran di laut Jawa pulih kembali seperti sediakala. 
Hanya kapal-kapal negeri dongeng  masih juga tak banyak 
kelihatan.Kapal-kapal Pribumi memperoleh  kesibukan luar 
biasa mengangkuti barang dagangan untuk dibawa ke 
jenggala jatikerto , untuk memudahkan saudagar-saudagar 
negeri dongeng  memperoleh kan dagangan. 
Maka jatikerto  pun jadilah jenggala terbesar dan tebetari i di 
Jawa, mengalahkan pasuruan , apalagi kediri . Dan untuk 
sementara penguasa-penguasa jenggala di Jawa tidak 
mencemburui, mengingat jenggala itu kememiliki an sahabat 
kanjuruhan , kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya pajang bintoro  yang tak 
bersenang hati. namun   saudagar-saudagar Pribumi yang 
sudah lama terjauh dari keuntungan dengan dan-merta 
berdatangan untuk berdagang. Juga kapal-kapal arca    dari 
negeri dongeng . 
Para saudagar mengira, keadaan yang nisbiah baik akan 
tetap baik untuk selama-lamanya: rejeki dari laut tidak 
sesendat selama ini dan cuaca damai menghangati seluruh 
Jawa. 
Orang tak biasa lagi tentang perang. 
Di suryabuaya   pembangunan kembali, armada pajang bintoro  sedang 
giat dilakukan, seolah-olah kebesaran di Jawa sebelah timur 
akan dipindahkan ke sebelah tengah. 
Tahun 1521 Masehi. 
Mendadak suatu perubahan yang cepat sudah  mengubah 
segala-galanya. 
kanjuruhan  sudah sepuluh tahun menguasai jayamahanaya . 
Dan pada suatu hari yang sudah diduga orang, kanjeng sinuhun  
pajang bintoro  kedua, yang semakin keras juga sakitnya sebab  
serpihan laras cetbang di dalam tubuhnya, wafat. 
Satu-satunya penantang kanjuruhan  sudah  wafat. Armada 
besar yang sedang digalang akan jatuh ke tangan orang lain. 
Siapa orang lain itu? Dan adakah akan dipakai  untuk 
meneruskan cita-cita tumenggung dijoyo ? Tak ada orang yang bisa 
menduga tentang teka-teki ini. Jurubetari l mulai sibuk 
dengan perhitungan dan betari lannya. 
Siapa kanjeng sinuhun  pajang bintoro  ke tiga? sebab  tumenggung dijoyo  tiada 
berketurunan? 
Raja-raja Nusantara ikut berkabung, terutama para 
saudagar dan pemilik kapal. Perhatian seluruh Jawa, 
sepanjang pesisir selatan Sumatra, Kalimantan dan 
Sulawesi, tertuju ke Jawa, ke pajang bintoro . 
Lain lagi yang terjadi di jayamahanaya . Berita wafatnya tumenggung dijoyo  
disambut dengan sorak berderai. Di darat dan laut anggur 
pun dibagi melimpah-limpah untuk merayakan 
kematiannya. Armada kanjuruhan  akan dapat menjelajahi 
semua perairan Nusantara tanpa kekuatiran. Mereka tidak 
peduli siapa bakal mengganti Sang Penantang, sebab  
hanya ada seorang penantang selama ini, dan ia sudah mati, 
dan penantang lain tak bakal dilahirkan. Ancaman dari 
selatan sudah padam. 
Untuk sementara tak ada berita tentang penggantinya. 
Majelis Kerajaan mengambil-alih kekuasaan untuk 
sementara. Kekosongan pajang bintoro  untuk waktu yang 
dianggap terlalu lama itu memicu  orang digoda untuk 
membuat  duga-dugaan: Adakah kerajaan yang belum lagi 
berumur setengah abad ini akan pecah-pecah jadi dusun 
kembali? Siapa yang bertikai dan dengan siapa maka belum 
juga ada penobatan baru? Majelis Kerajaan lawan keluarga 
raja? Ataukah keluarga raja dengan keluarga raja? 
Ketegangan merambati seluruh pajang bintoro  tanpa kepastian. 
Dari pengalaman berabad orang tahu benar, keadaan tidak 
menentu demikian biasanya diikuti dengan kerusuhan dan 
kerusuhan melahirkan perang. Diberanikan oleh 
kekosongan ini juru tafsir dan betari l sampai-sampai berani 
menjajakan pikirannya di pasar dan di sepanjang jalan dan 
di alun-alun dan surau dan di tempat ibadah  agung sendiri, tanpa 
kegentaran. Praja pajang bintoro  hampir-hampir lumpuh. 
Tafsiran dan betari lan lalu  padam: kanjeng sinuhun  pajang bintoro  
ke tiga sudah  dinobatkan dan sudah  naik ke tahta kerajaan. 
Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, namun itulah 
kenyataannya: Trenggono, adik tumenggung dijoyo . 
wah 
 
Sekali lagi kanjuruhan  berpesta-pora mendengar Trenggono 
naik tahta. Mereka tahu betul kanjeng sinuhun  baru itu tak memiliki  
perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perjenggala an, 
apalagi terhadap jayamahanaya . Rencana baru pun ditempa. Apa 
lagi? Di perairan bagian belah bumi selatan ini takkan ada 
halangan lagi selama tumenggung dijoyo  tak ada. Segera mereka 
menyerbu blora. 
Dan blora pun jatuh. jenggala  Aceh kehilangan jenggala nya 
yang sedang kembali berkembang. 
kanjuruhan  berpesta lagi di jayamahanaya , juga di blora, 
mengetahui, bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta 
hanya dengan melalui bangkai abangkandungnya sendiri, 
Pangeran Seda Lepen. Abangnya itu yang akan dinobatkan 
oleh Majelis Kerajaan, namun   adipati  Kalijaga menjagoi 
Treng-gono. Maka kanjuruhan  menimbang kanjeng sinuhun  baru ini 
sebagai seorang yang rakus kekuasaan. Terhadap pribadi 
demikian mereka sama sekali tidak menaruh gentar. 
Juga mereka berpesta mengetahui, pemimpin perang 
prajurit kerajaan  jenggala  Aceh, Fathillah1 dengan kekalahannya 
di blora sudah  meninggalkan negerinya. Orang tak tahu pasti 
ke mana perginya. Dan kanjuruhan  lebih tidak peduli lagi. 
Anggur diedarkan, bertong-tong ditumpahkan untuk 
membasahi tenggorokan nyi kanjeng blora yang haus dan tidak 
haus, anggur terbaik dari Oran dan Aljazair. 
Sesudah  blora jatuh pelayaran dan perdagangan di laut 
Jawa kembali tergoncang. blora menjatuhkan juga pasar 
lada. kanjuruhan  dengan blora-nya tidak peduli. Mereka 
tertawa. Dengan jatuhnya lada mereka akan terpaksa 
datang ke blora atau langsung ke jayamahanaya . 
Seluruh kekuasaan atas Selat Semenanjung sudah  jatuh 
seluruhnya ke tangan kanjuruhan . Tak satu kapal Pribumi, 
negeri dongeng  atau Tionghoa bisa melaluinya tanpa mengakui 
pernaungan gada rujakpolo -gada rujakpolo nya. 
Dan kalau lada tak mau datang ke blora atau jayamahanaya ? 
Campang. kanjuruhan  akan mendatangi sumber-sumbernya. 
Dan sumber utama lada adalah: Pajajaran dengan 
ibukotanya Pakuan, dengan jenggala -jenggala mya jatikerto , 
Sunda kacangtanah  dan Cimanuk. 
Bila Pajajaran jatuh kelak di tangan kanjuruhan , lada takkan 
lagi mengalir ke Campa, Tiongkok atau Jepun. Semua akan 
dibanjirkan ke Eropa. Apakah sulitnya menundukkan 
Pajajaran yang sendiri sudah merasa memerlukan  
perlindungan kanjuruhan , terancam oleh ketidak setiaan 
bawahan nya sendiri di sepanjang pesisir utara, terutama 
pelarian dari jayamahanaya , Tumasik dan blora sebab  kelainan 
agama? Pajajaran harus menyerah tanpa perang! kanjuruhan  
akan memberinya “perlindungan”. Kuasai jenggala jatikerto  
dan Sunda kacangtanah , maka bukan hanya lada lebih banyak 
mengalir ke Eropa tanpa henti-hentinya, juga kekuasaan 
kanjuruhan  di jayamahanaya  akan semakin kukuh dan kerajaan-
kerajaan jenggala di Jawa dan Sumatra akan semakin lemah. 
Barang-barang dagangan lain, beras, minyak-minyakan, 
gula dan garam, dan kayu manis dan kapur barus, untuk 
kepentingan Asia dan Nusantara sendiri, pun akan jatuh ke 
tangannya dengan harga lebih murah tanpa saingan. 
Selanjutnya perairan Sumatra dan Jawa yang sangat betari i 
itu pun akan dapat dikuasainya. 
kanjuruhan  dalam usahanya untuk melaksanakan 
rencananya memutuskan untuk menghubungi kembali 
“sahabat lama” Pajajaran dan minta ijin untuk mendirikan 
“kantor dagang” di Sunda kacangtanah . Dengan adanya “kantor 
dagang” Pajajaran tak perlu memiliki gada rujakpolo  sendiri, 
sebab  “kantor” akan melindunginya dari serangan 
kerajaan-kerajaan lain. 
Utusan dikirimkan menghadap Prabu Sedah, raja 
Pajajaran. Konon jumlah penghadap cukup banyak 
termasuk beberapa orang padri Nasrani yang mohon 
perkenan untuk tinggal di Pakuan untuk menyebarkan 
agamanya. 
Tak terkirakan gembira hati Sri Baginda Prabu Sedah. 
Semua yang disarankan dan dipohon oleh para penghadap 
diluluskan. Para padri bukan saja boleh tinggal di Pakuan, 
bahkan diperkenankan mewartakan ajarannya, dan dengan 
demikian arca    tidak lagi merupakan satu-satunya agama 
baru di dalam wilayah kekuasaannya. 
Pesta besar-besaran diadakan dengan pengerahan 
penyanyi dan penari terbaik di seluruh negeri. 
Dan dengan upacara khidmat pihak kanjuruhan  dan 
Pajajaran menyaksikan dua orang pernahat dari dua belah 
pihak mulai memahat lambang persetujuan dan 
persahabatan pada sepotong batu panjang berbentuk 
penggada. 
Demikianlah kanjuruhan  kembali ke jayamahanaya  membawa 
kemenangan diplomasi gilang-gemilang tanpa perang dan 
meninggalkan beberapa orang padri di Pakuan…. 
Dalam waktu pendek berita itu tersebar ke seluruh 
Nusantara. Pajajaran sendiri memiliki kepentingan 
menyebarkannya dengan maksud mengendalikan nafsu 
lawan-lawannya untuk menyerbu negerinya. Dan 
persahabatan dengan nyi kanjeng blora adalah juga suatu kebesaran 
baginya. 
Jatuhnya blora segera terdesak oleh perjanjian 
persahabatan kanjuruhan -Pajajaran. 
Satu-satunya kerajaan yang membuka mata lebar-lebar 
terhadap perkembangan baru ini adalah prajawan-prajawan 
pajang bintoro . 
Dan di luar istana orang lebih banyak meributkan dan 
membicarakannya di tempat ibadah , surau, jalanan dan di mana 
saja. Lama-kelamaan suara itu berkembang dan memuncak 
menjadi pertikaian-pertikaian. 
Mula-mula pertikaian berkisar pada kelakuan Trenggono 
yang begitu sampai hati membunuh abangnya sendiri, 
lalu  diperkuat oleh sikapnya yang polos terhadap 
peristiwa Pakuan. Mengapa kanjeng sinuhun  tak juga menyatakan 
sikap menentang usaha kanjuruhan  yang sudah mulai ge-
rayangan ke Jawa? Sikap itu semakin ditunggu semakin tak 
datang. Para musafir yang sudah tak dapat menahan hati 
lagi sudah  bermusyawarah dan membentuk utusan untuk 
menghadap kanjeng sinuhun . Mereka ditolak dengan alasan: apa yang 
terjadi di Pajajaran tak memiliki  sangkut paut dengan pajang bintoro  
dan musafir. 
Jawaban itu mengecewakan para musafir. Bila demikian, 
mereka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para 
musafir mengagungkan pajang bintoro , sebab  keagungannya 
memang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar 
peninggalan tumenggung dijoyo , yang sudah  dua tahun disiapkan kalau 
bukan untuk mengusir kanjuruhan  dan dengan demikian 
terjamin dan melindungi pajang bintoro  sebagai negeri arca    
pertama-tama di Jawa? Masuknya nyi kanjeng blora ke Jawa berarti 
ancaman langsung terhadap arca   . Kalau Trenggono tetap 
tak memiliki  sikap, jelas dia tak memiliki  sesuatu urusan dengan 
arca   . 
Segolongan kecil para musafir menolak alasan itu dengan 
dalih, tugas utama para musafir adalah menyebarkan arca    
yang sudah  dirintis oleh para adipati . Pekerjaannya tak 
bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. namun   
kerajaanlah yang melindungi pekerjaan itu. Kemungkinan 
dan keleluasaan, sebab  adanya perlindungan, 
memicu  para musafir berkewajiban memperteduh 
perlindungan dengan jalan mengagungkan pajang bintoro . 
Golongan besar musafir menuduh, bila demikian mereka 
stidah sepenuhnya punggawa perajaan, bukan musafir, 
bukan pembantu muballigh itu sendiri, dan 
mempersekutukan agama dengan kekuasaan, dan 
kekuasaan itu justru sudah  kehilangan kekhalifahannya yang 
murni. 
Pertikaian lalu  dicampuri oleh kerajaan. Golongan 
besar dipanggil menghadap. Mereka menolak dan 
melarikan diri. Golongan kecil yang taat, kehilangan 
kewibawaannya. Tepat sebagaimana dituduhkan oleh 
golongan besar, mereka lalu  menjadi punggawa 
kerajaan belaka. 
Sejak itu pajang bintoro  tak memiliki  musafir lagi. 
Mereka yang pada waktu itu sedang bertugas di 
pedalaman negeri lain atau di seberang, memutuskan 
hubungan dengan pajang bintoro  dan menjadi muballigh bebas. 
Pertikaian pun tak kurang sengitnya di dalam keluarga 
kanjeng sinuhun  sendiri. Dan ini menjalar juga pada penduduk biasa. 
Tak dapat menanggungkan semua pertikaian yang tiada 
henti-hentinya dan mengancam perpecahan dalam kerajaan 
pajang bintoro  sendiri. Trenggono mengambil tindakan untuk 
menjawab semua itu: pekerjaan persiapan armada besar itu 
dihentikan sama sekali. Dana dan daya kerajaan pajang bintoro  
ditarik dari pantai dan dipusatkan di pedalaman. 
Akibat tindakan itu tak terkirakan besarnya, dan pada 
umumnya merugikan pajang bintoro . Insinyur dan tukang-tukang 
kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang 
membusuk-busukkan Trenggono,ditampilkan sebagai raja 
yang bodoh dan mengkhianati amanat almarhum abang 
dan ayahnya. Bupati-bupati bekas di pedalaman mengejek 
kembali pajang bintoro  sebagai kerajaan yang masuk ke pedalaman 
sebab  takut pada armada kanjuruhan , lebih suka berkubang 
dalam lumpur tanah tandur pedalaman dibandingkan  
menghadapi lawan pokoknya. Bupati-bupati pesisir, yang 
selama ini menyumbang iuran tahunan untuk 
pembangunan armada, menyumpah-nyumpah sebab  
merasa tertipu oleh Trenggono. Bupati-bupati pesisir 
lainnya yang menyatakan berlindung di bawah pajang bintoro  
tanpa pukulan perang, menolak perlindungan dan 
menyatakan berdiri sendiri kembali dalam kebebasannya. 
Trenggono naik pitam oleh perkembangan baru ini. 
Pada suatu pagi, sebelum sinar matahari  sempat terbit, sebuah 
tandu diusung meninggalkan pajang bintoro . Beberapa puluh 
orang mengikutinya berjalan kaki di belakangnya, di 
belakangnya lagi beberapa puluh lagi orang pemikul. 
Mereka berjalan beriringan dengan diam-diam seakan takut 
membangunkan yang masih tidur. 
Di atas tandu adalah baginda tuanku raja  Ratu Aisah, biasa dinamakan  
Ngaisah permaisuri kanjeng sinuhun  Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah 
almarhum. Ia adalah ibunda adiputro  tumenggung dijoyo  dan Trenggono. 
Dan iring-iringan yang membisu itu menuju ke suryabuaya  . 
Orang segera mengerti: pertikaian antara kanjeng sinuhun  dan 
ibunya tertumbuk pada jalan buntu. baginda tuanku raja  Ratu Aisah harus 
menyingkir sebab  tak mau tahu lagi tentang pajang bintoro . 
Bahwa suryabuaya   jadi tujuan adalah sebab  itulah tempat 
putranya tercinta tumenggung dijoyo  almarhum. Bahwa baginda tuanku raja  Ratu 
berpihak pada sikap dan pendirian tumenggung dijoyo , bahwa, bahwa, 
bahwa…. 
Orang pun segera mengerti: boyongan agung itu tak lain 
artinya dibandingkan , bahwa Trenggono tak ada niat untuk 
menyerang kanjuruhan , baik di jayamahanaya , blora atau mana pun, 
baik di darat atau lautan. 
Dan pertanyaan yang tetap tinggal tak terjawab: untuk 
apakah armada besar yang dipersiapkan itu? Apakah akan 
dibiarkan tenggelam sebab  tak terawat? 
Belum lagi bayangan agung terlupakan, datang pula 
berita besar: Majelis kerajaan bubar. Kebenaran berita itu 
masih banyak disangsikan, sebab  seorang kanjeng sinuhun  di pajang bintoro  
takkan dapat berbuat sesuatu pun tanpa Majelis. 
Berita itu disusul oleh desas-desus, kanjeng sinuhun  tak suka 
bermusyawarah, tak mau mendengarkan Majelis, ia sudah  
terjatuh jadi raja Pribumi jahiliah, pemberontak . 
Sebaliknya penyokong Trenggono pun tidak sedikit. 
Pasukan kuda pajang bintoro , pasukan kebanggaan, sepenuhnya 
menyokongnya. Pasukan itu sendiri belum lagi lama 
didirikan, sebab  sebelumnya hampir-hampir tak terdapat 
kuda di pajang bintoro . kanjeng sinuhun  Al-Fattah yang membangunkannya 
dengan jalan mendatangkan bibit dari negeri dongeng  
dengan bantuan Semarang dan saudagar-saudagar arca    
negeri dongeng . 
Pertikaian belum lagi reda, datang berita besar lagi. 
Pajajaran mengadakan pesta agung…. 
21 Agustus 1522 
Serombongan besar orang kanjuruhan  sudah  mendarat di 
jenggala Sunda kacangtanah . Di antara mereka terdapat dutanya: 
Henrique Leme. Ia datang untuk mengesahkan perjanjian 
kanjuruhan -Pajajaran. 
Dalam iringan pasukan pengawal bermusket dan 
bergada  dan sebarisan pemusik, mereka sudah  dielu-
elukan oleh Pangeran Sunda kacangtanah  sebagai gubernur dan 
wakil Prabu Sedah. 
Dengan upacara penyambutan besar mereka diiringkan 
beristirahat di pesanggrahan Sang Pangeran. Dan pada 
keesokan harinya dengan iringan pesta besar sebagian dari 
para tamu memudiki kali Ciliwung menuju ke Pakuan, 
menghadap Sri Baginda. 
Di Pakuan pesta kehormatan besar menyambut mereka. 
Henrique Leme mempersembahkan terimakasih atas 
perlindungan dan karunia berupa tanah dan rumah dan 
tenaga pekerja kepada para padri-padri kanjuruhan  di Pakuan 
sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa dan sudah  
mulai membuka rumah penampungan untuk janda dan 
yatim-piatu. 
Acara khusus sudah  disediakan oleh para tamu untuk 
mendengarkan musik kanjuruhan  di mana Prabu Sedah dan 
permaisuri dan keluarga raja berkenan ikut menyaksikan. 
Dan itulah untuk pertama kali Pakuan mendengar musik 
dari Eropa. 
Mereka turun balik ke Sunda kacangtanah  diiringkan oleh 
Pangeran Sunda kacangtanah . 
Di jenggala Sunda kacangtanah  sendiri sudah  didirikan sebuah 
umpak batu hitam berbentuk kerucut terpotong. Di atasnya 
didirikan batu perjanjian kanjuruhan -Pajajaran, pahatan 
bersama antara dua belah pihak. 
Henrique Leme dengan regu musik yang sangat 
sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan 
Pangeran Sunda kacangtanah  dengan para pengawal di lain 
pihak. Mereka saling menyampaikan pesan dengan 
terjemahan jawadwipa . 
Dengan demikian perjanjian kanjuruhan -Pajajaran sudah  
menjadi kenyataan. 
Pihak kanjuruhan  memperoleh  sebidang tanah dan berkenan 
untuk mendirikan “kantor dagang”. Pihak Pajajaran 
memperoleh kaan jaminan bantuan militer bila memperoleh  
serangan dari luar. 
Pesan-memesan selesai. 
Ratusan gadis beterbangan seperti bunga-bungaan di atas 
kolam raksasa yang ditiup oleh angin puyuh. Mereka 
bertaburan di sekeliling para tamu, lalu  bertaburan 
lagi dan berlarian mengitari tugu, menari sambil menyanyi 
dan menebarkan bunga-bungaan, dengan latar belakang 
laut, kapal-kapal Pribumi dan nyi kanjeng blora, perahu-perahu 
nelayan. Latar belakang sebelah selatan adalah kehijauan 
dedaunan dan di sana-sini tajuk, rumpunan bakau-bakau 
mengintip dari balik bibir rawa-rawa. Di atas adalah langit 
yang cerah, biru dengan awan berarak putih-putih, 
lalu  di bawahnya pegunungan yang tiada habis-
habisnya. 
Selesai upacara di mana seorang pendeta Hindu 
mentahbiskan tugu, pihak kanjuruhan  segera memainkan 
musik yang menggelora…. 
Itulah berita yang kembali menggoncangkan pajang bintoro . 
Pertikaian yang belum lagi reda merebak kembali. Orang 
pada menunggu-nunggu sikap Trenggono, sikap yang agak 
jantan. Orang sudah mulai berbisik: apakah dia hanya 
berani membunuh saudara kandung sendiri, dan tetap tidak 
berani terhadap nyi kanjeng blora? Bukankah perbuatan kanjuruhan  di 
Pakuan dan Sunda kacangtanah  tak lain dari tantangan terhadap 
arca   , dan sebab nya terhadap khalifah pajang bintoro ? Dan apa 
pula gunanya armada besar yang sudah  makan biaya begitu 
banyak? 
Ternyata orang perlu begitu lama harus menunggu. 
Dari atas singgasananya kanjeng sinuhun  Trenggono bersabda: 
“Kita, manusia, hidup dan mati di atas tanah yang 
dikaruniakan oleh sang hyang Widhi  s.w.t. kepada kita. Maka tanah 
karunia ini harus kita bela, berapa pun harganya. Selama 
tanah ini di dalam genggaman, tak ada suatu bahaya pun 
bakal mengancam, kita akan membelanya, sebab  modal 
pertama adalah tanah. Tanpa tanah orang tak bisa berbuat 
sesuatu.” 
Belum lagi orang habis terheran-heran mengapa kanjeng sinuhun  
bicara tentang tanah, bukan tentang agama dan nyi kanjeng blora 
sebagai musuhnya, bukan tentang kekhilafan yang 
ditantang, dan mengapa hanya tanah, tanah belaka 
sekalipun ia karunia sang hyang Widhi , orang semakin terheran-heran 
sebab  ada terdengar suara wanita, dan wanita itu sudah 
tua, suaranya sayup-sayup datang dari suryabuaya  . Wanita tua 
itu adalah baginda tuanku raja  Ratu Aisah: “Bukan hanya tanah, seluruh 
alam diserahkan oleh sang hyang Widhi  pada manusia. Kalau orang tak 
tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali 
sang hyang Widhi  sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. 
Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang 
siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa, 
tumenggung dijoyo  yang mengatakan itu”. 
Pertikaian itu lalu  berpusat dalam keluarga raja 
sendiri, diwakili oleh Trenggono di satu pihak dan baginda tuanku raja  
Ratu Aisah di lain pihak. 
Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari 
kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan, 
menjadi bahan pemikiran pra-jawan di mana-mana   air 
dan tanah, laut dan darat. 
Sesudah  terdengar suara ibunya Trenggono diam, tidak 
membalas Dalam membisu ia perbesar pasukan daratnya, 
terutama pasukan kuda, dengan biaya yang semestinya 
untuk menyelesaikan armada agung. Tanpa menyatakan 
pada siapa pun, tak menunggu pendapat Majelis Kerajaan 
yang semakin menjadi lemah, ia hendak membuktikan, 
bahwa ibunya keliru. Bahwa tanpa laut pun pajang bintoro  akan 
jadi besar dan jaya. 
namun   dari suryabuaya   ibundanyalah yang membuka suara 
lebih dahulu : “Ketahuilah, hanya dengan armada saja orang 
dapat menghalau nyi kanjeng blora, musuhnya, dengan pasukan 
darat orang cuma akan memerangi saudara-saudaranya 
sendiri, bukan musuhnya”. 
Suara wanita tua itu berpendar-pendar di darat maupun 
laut. Tiba-tiba para bupati merdeka menjadi sadar, bahaya 
dari pajang bintoro  sedang di ambang pintu: pajang bintoro  akan 
meluaskan daerah kekuasaannya dengan pukulan perang. 
Dan perang akan segera berkecamuk. Di luar pajang bintoro  
wanita tua itu terus-menerus ditunggu-tunggu kata-katanya 
selanjurnya. Ia didengar, diperhatikan dan dihormati. Juga 
di pajang bintoro  sendiri. 
namun  apakah yang dilakukan wanita yang sudah  
kehilangan kewibawaan terhadap kanjeng sinuhun , putranya? 
Dengan diamnya Ratu Aisah, berbondong-bondong 
utusan menghadap ke suryabuaya   membawa persembahan, 
sekedar hanya untuk memperoleh kan kata-katanya yang kuat 
bijaksana dan petunjuk tentang apa yang bakal terjadi. 
Dan wanita tua itu justru membisu. 
Di desa-desa pinggiran negeri pajang bintoro , penduduk mulai 
pada mengungsi untuk melarikan diri dari wajib perang. 
Sebaliknya, terbujuk oleh janji jarahan dan rampasan 
terhadap hak milik pemberontak , pemuda-Laki-laki petualang  
meninggalkan kampung halaman menuju ke ibukota untuk 
menggabungkan diri jadi centeng  tetap pasukan darat 
pajang bintoro . Bahkan yang memiliki  kuda sendiri langsung 
menggabungkan diri bersama kudanya pada pasukan kuda. 
Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir: 
antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. Dan 
pertanyaan lalu  yang  muncul : Adakah kanjeng sinuhun  akan 
mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana 
ia sudah  melakukannya terhadap abang-kandungnya. 
Pangeran Seda  Lepen? 
Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan 
prihatin terhadap keselamatan wanita tua itu. 
kanjeng sinuhun  Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan 
terhadap ibunya. Ia makin kranjingan membangun pasukan 
daratnya. Hampir setiap hari orang dapat melihat ia berada 
di tengah-tengah pasukan kuda kebanggaannya, baik dalam 
latihan, sodor, mau pun ketangkasan berpacu sambil 
memainkan gada  menghajar boneka yang digantungkan 
pada sepotong kayu. Ia sendiri ikut dalam latihan-latihan 
ini. 
Dan dalam salah satu kesempatan sejenis  ini pernah ia 
berkata secara terbuka: “Tak ada yang lebih ampuh 
dibandingkan  pasukan kuda. Lihat, bawahan  kami semua!” 
Dan para perwira pasukan kuda pada berdatangan dan 
merubungnya, semua di atas kuda masing-masing. 
“Pada suatu kali, kaki kuda pajang bintoro  akan mengepulkan 
debu di seluruh bumi Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke 
bumi, ingat-ingat para bawahan , akan kalian lihat, takkan ada 
satu tapak kaki orang nyi kanjeng blora pun nampak. Juga tapak-
tapaknya di Blambangan dan Pajajaran akan musnah 
lenyap tertutup oleh debu kuda kalian.” 
“Berapalah kuatnya Blambangan dan Pajajaran? Mereka 
tak memiliki  pasukan kuda. Dan tanpa kuda, kedua-duanya 
hanya tumpukan bangkai. Siapa tidak percaya? Barangsiapa 
tidak percaya, jangan terburu mati, saksikan Trenggono 
dengan sumpahnya ini….” 
Sekaligus orang mengerti ucapan itu ditujukan pada 
ibundanya sendiri. namun  para bupati lebih mengerti, 
kebebasan mereka sedang dalam ancaman. 
Di rumah-rumah orang kebanyakan orang pada 
membicarakan. Orang tua-tua pada mengelus dada   
bagaimana bisa seorang anak, sekalipun raja, bisa berkata 
begitu kasar terhadap ibunya, melalui orang-orang lain? Tak 
sukakah kanjeng sinuhun  melihat ibunya yang tua dan terhormat itu 
meninggal dalam kedamaian? Tidakkah ia bisa membisu 
tanpa mengatakan sesuatu? 
Ratu Aisah tidak menjawab putranya pada ketika 
mendengarnya. namun   pada kesempatan lain, di tengah-
tengah pasar jenggala suryabuaya  , ia berkata: “Tidak percuma 
wanita ditakdirkan melahirkan anak. namun  memang banyak 
yang merasa percuma memiliki ibu”. 
Di tengah-tengah pasukan kuda yang habis berlatih 
Trenggono memanggil perwira-perwiranya dan berkata 
keras: ‘Tidak percuma seorang anak memiliki  ayah. 
Almarhum kanjeng sinuhun  Al-Fattah pun tak percuma menyebarkan 
ratusan musafir, ke timur, barat, utara dan selatan. Setiap 
musafir mendatangkan doa seratus hati yang rela untuk 
kejayaan pajang bintoro . Siapa yang belum pernah dengar nama 
pajang bintoro  di pulau Jawa ini? Dia tuli! Seluruh tanpa kecuali”. 
Dalam suatu pelantikan pasukan kuda baru ia 
mengatakan: “Sungguh bodoh pikiran lama yang hendak 
mendepai Jawa dengan kapal. Langkahi dia dengan 
kudamu! Sekali langkah Blambangan pecah. Balik, dan 
melangkah tiga kali. Pajajaran belah”. 
Wanita tua itu tak menjawab. Dan orang mulai lebih 
memperhatikan kanjeng sinuhun  Trenggono yang suaranya makin 
keras melantang. Trenggono memiliki  kekuatan bersenjata, 
Aisah hanya memiliki  kebijaksanaan. 
Walau demikian orang tetap bertanya-tanya, mengapa 
suara-suara itu tak didengungkan dari atas tahta dan hanya 
di lapangan? Adakah dengan demikian nilainya bukan 
keprajaan? Bukan sabda seorang kanjeng sinuhun ? Hanya ucapan 
pribadi semata? 
Trenggono tidak menjawab teka-teki itu dengan kata-
kata, namun   dengan perbuatan: Majelis kerajaan tak 
didengarkannya lagi. Ia mengikuti kemauannya sendiri. 
Bahkan kata orang: Majelis yang harus mendengarkan dia. 
Suaranya semakin gencar. “Tak ada yang lebih sia-sia 
dibandingkan  kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan 
kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit 
dan oleh ular di darat? Burung segan hinggap dan ular pun 
segan melatai untuk tempat bercengkebetari  pun kerajaan itu 
tidak aman. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya 
menghasilkan ikan kecil? namun  raja besar dan kuat 
menguasai tanah untuk merebut laut. Bila tanah sudah  
dikuasainya, musuh takkan menikam dari belakang, apalagi 
dari depan. pajang bintoro  bukan jayamahanaya , bukan blora. Pada suatu 
kali Juana akan jadi ibukota, menentang dan menentang 
setiap kapal nyi kanjeng blora. bawahan nya akan masyhur di mana-
mana. Bikin semua orang tahu, siapa kanjeng sinuhun  Trenggono: 
darat akan dikuasai, laut akan dirajai, sebab … baginda tuanku raja  Ratu 
Aisah tidak sia-sia melahirkannya….” 
Ucapan yang lantang itu didengarkan oleh para 
pengiring dalam suatu perburuan harimau di pedalaman 
pajang bintoro . 
Pengepungan itu semakin rapat. Ratusan bawahan  
bersorak-sorak menggiring dengan bambu runcing, 
mengeluarkan dari rumpun bambu. 
Seekor harimau betina yang sedang membawa anaknya 
mengamuk di tengah-tengah kepungan ratusan orang 
bertombak bambu runcing. 
Trenggono berdiri pada sanggurdi dan berkokok: 
“Saksikan bagaimana macan nyi kanjeng blora akan terguling di 
bawah tombak Trenggono, kanjeng sinuhun  pajang bintoro ”. 
Ia lemparkan tombaknya, melayang indah ke jurusan 
jantung perburuan. namun   hewan  itu tak meneruskan 
jalannya dan mata tombak itu menancap pada leher. Sang 
harimau menjondil, mengaum dalam kegebetari n. Tak 
peduli pada beratus tombak yang mengepungnya ia 
melompat dan menerkam, dan menggigit, dan menyobek 
dan menggaruk. Beberapa orang mengepung rebah 
bermandi darah dan kepungan rantas. 
hewan  itu menyerang kembali dari belakang untuk 
menyelamatkan anaknya. Didapatinya anaknya sudah  tewas 
tertembusi tombak: la angkat anaknya dengan gigitan pada 
tengkuk, sekali lagi menyerang kepungan dan hilang ke 
dalam hutan bambu dengan tombak-tombak pada badannya 
sendiri dan anaknya yang sudah  mati. 
“Bagaimana pun ia akan mati oleh tombak Trenggono 
pajang bintoro . Serahkan hewan  itu pada kami.” 
Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan 
kudanya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke 
ibukota. Dan orang menganggap kejadian itu sebagai 
perlambang kekuasaan Trenggono yang akan datang, dan 
nasib pajang bintoro  yang takkan dapat diingkari: kandas di tengah 
jalan, takkan menyelesaikan garapan. 
Sesudah  perburuan itu agak lama kanjeng sinuhun  tak bicara. Dan 
sebab  Ratu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan 
sudah membisu untuk selama-lamanya, orang menganggap 
pertikaian sudah selesai. 
Ternyata tidak demikian. 
Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar 
sudah  memicu  Trenggono bicara lagi. 
Sembah pembesar itu: “Sudahkah baginda tuanku raja  Kanjeng kanjeng sinuhun  
pertimbangkan nasib adipati  jayawisesa  yang ditumpas hanya 
oleh seorang anak desa bernama raden panji  gelang-gelang ?” 
Sejenak Trenggono termangu-mangu untuk menjawab. 
Ia tarik-tarik dagunya, lalu  menjawab lantang: 
“Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditumpas oleh 
Gajah Mada di jaman jahiliah dahulu ? Ingat-ingat kesalahan 
patih  Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk 
kejayaannya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja 
dan mati untuk dia. Ajaran dipakai nya sebagai 
modal, dan ia hanya memungut bunga dari modal yang 
diberikan oleh sang hyang Widhi  kepadanya. kediri  mengutuknya. Ilmu 
dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah 
padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang 
menyambarnya, hanya seekor oret mematahkan batangnya. 
Walhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang 
dalam segala hal, kecuali cebok dan berak tergantung pada 
jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, sebab  kanjeng sinuhun  
Trenggono tidak akan pernah demikian”. 
Ratu Aisah tetap membisu. 
Wanita tua itu memiliki kesibukan sendiri. Sesudah  
wafatnya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke 
Mantingan dari suryabuaya  . 
Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan 
Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semarang, 
bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukang-
tukang Pribumi oleh tumenggung dijoyo  diperintahkan belajar bagaimana 
membuat  batu dan membangun rumah dari batu. Maka 
tempat ibadah  itu akan jadi bangunan batu yang ke tiga di seluruh 
suryabuaya  . Dan ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang 
dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu 
berlantai rendah di Welahan. Pada mulanya masyarakat 
Tionghoa akan mempersembahkannya pada kanjeng sinuhun  tumenggung dijoyo  
untuk dijadikan pesanggrahan. Dengan wafatnya mereka 
membatalkan niat itu. 
tempat ibadah  Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup 
dengan ubin buatan  Tiongkok, dan demikian juga undak-
undakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap 
termasuk hubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar 
dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru 
sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi 
dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa dan 
penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua. 
Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun 
Mantingan tak lain dibandingkan  Babah shinoda Han. 
Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah 
dengan shinoda Han, di dalam tempat ibadah  yang hampir selesai 
itu, terjadi suatu percakapan yang kembali membangunkan 
pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak. 
“Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan 
terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum 
tumenggung dijoyo . Sayang sang hyang Widhi  belum mengijinkan, cedera badan 
menghalangi rencananya. Siapa lagi sekarang penantang 
nyi kanjeng blora? Babah mengenal sendiri putraku almarhum. 
Sendiri naik ke jayamahanaya  dan memimpin pertempuran. Dia 
gagal, namun  pendengarnya tidak pernah gagal, namun  
pandangannya tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. 
Barangsiapa raja tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. 
Barangsiapa raja tidak berpandangan seperti dia, dia sudah 
kalah sebelum menghadapi nyi kanjeng blora itu sendiri. nyi kanjeng blora 
bisa dihalau dan dikalahkan, kata putraku almarhum, 
dengan persekutuan semua raja di Jawa, Sumatra, jawadwipa , 
Sulawesi dan Kalimantan dan parahyangan  dan panarukan  
sendiri, dan Tionghoa. Tindakan yang sebaliknya akan 
berakibat panen yang sebaliknya”. 
yang pang pang tidak menyela, hanya mendengarkan 
dengan menunduk. Dan ia tahu tak boleh mencampuri 
pikiran baginda tuanku raja  Ratu. Lagi pula ia menganggap wanita tua itu 
sedang melepaskan pikirannya sendiri tak menghendaki 
tanggapan. Kata-katanya sampai juga ke pajang bintoro . 
Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu 
dan anak. Dan berita itu sampai juga ke blora dan jayamahanaya . 
kanjuruhan  menarik kesimpulan: Trenggono terang bukan 
tumenggung dijoyo . Armada tumenggung dijoyo  dalam persiapan mereka anggap 
memang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. Dan 
kanjuruhan  memutuskan untuk memadamkan pengaruh Ratu 
Aisah. 
Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki. 
wah 
 
Pagi itu sinar matahari  belum lagi setinggi pohon pisang. Bangku 
kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti 
biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang 
tua menutas surat bertulisan palawa  dan berbahasa Jawa. Di 
bawahnya duduk seorang wanita lesbian  jawadwipa . 
Dengan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata 
dalam jawadwipa : “Bagaimanakah, wanita lesbian  jawadwipa , istri 
seorang nyi kanjeng blora jayamahanaya , Sibarani itu seberangi laut jauh, 
datang pada kami, hanya untuk menyampaikan surat 
nyi kanjeng blora yang sehina ini isinya? Tidak, wanita lesbian  jawadwipa , 
tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali. 
Sampaikan pada nyi kanjeng bloramu, entah di jayamahanaya , entahlah di 
blora, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami 
dengan baginda tuanku raja  Kanjeng kanjeng sinuhun  dapat menguasai seluruh 
Jawa. baginda tuanku raja  Kanjeng kanjeng sinuhun  tak memerlukan  gada rujakpolo  
nyi kanjeng blora. Bahkan sekiranya Aisah ini pula, kami sendiri 
akan datang menggambar jayamahanaya ”. 
Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah wanita lesbian  
jawadwipa  itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun 
tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadapan itu pecah 
sejadi-jadinya ke seluruh dan semua jenggala di Nusantara. 
Di Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan 
melawan Trenggono. Walau demikian mereka tetap 
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan 
antara tumenggung dijoyo  dan Trenggono terlalu besar. Dan berapa 
bedanya dua orang dari satu orang tua dan satu pendidikan 
itu. Sekiranya tumenggung dijoyo  masih hidup dan berseru para bupati 
untuk melakukan serangan gabungan ke jayamahanaya , mereka 
akan bergabung tanpa ragu-ragu. namun   Trenggono 
mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan 
yang takkan menyatu akibatnya. 
O0dwoO 
 
Walaupun utusannya pada Ratu Aisah tak membuahkan 
sesuatu hasil, kanjuruhan  di jayamahanaya  untuk sementara waktu 
berpegangan pada kata-kata wanita tua itu tak ada 
pertikaian mendalam antara Trenggono dengan ibunya; 
wanita itu bukan sudah  berani bicara atas nama kanjeng sinuhun  
menolak tawaran gada rujakpolo . 
Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya, 
pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap 
nyi kanjeng blora. Pada dasarnya ia sama dengan abangnya: 
jayamahanaya lah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan. 
Maka diputuskanlah: belum masanya untuk 
melaksanakan pembukaan “kantor dagang” di Jawa, di 
Sunda kacangtanah  pun belum walau tempatnya jauh dari 
pajang bintoro . Pengaruh tumenggung dijoyo  masih tetap kuat. 
Rencana Sunda kacangtanah  harus ditangguhkan. 
Kedatangan wanita jawadwipa  mengadap Ratu Aisah dan 
berita tentang penolakan tawaran gada rujakpolo  itu benar-benar 
mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga 
wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah, 
menyelamatkan namanya dari kecaman umum. namun   ia 
pun menjadi murka sebab  wanita lesbian  itu berani begitu 
lancang bicara atas namanya. 
Para pembesar sudah  mencoba-coba mengetahui 
tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. Dan ia merasa harus 
mengendalikan diri. Bagaimanapun suara itu berasal dari 
seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri 
adalah seorang anak. 
Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak, 
akan dipakai nya sebaik-baiknya. Ia harus belajar 
mengambil manfaat dan setiap hal yang menguntungkan. 
Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam 
iringan pasukan kuda. kanjeng sinuhun  Trenggono berangkat ke 
suryabuaya   untuk bersujud pada baginda tuanku raja  Ratu Aisah. Orang harus 
mengerti, tak ada apa-apa antara ibu dan anak, tak ada 
pertikaian, tak ada perselisihan, hanya ada kedamaian dan 
perdamaian. 
Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan 
kemewahan. Mereka semua bersenjata tombak tunggal 
dengan umbai-umbai berwarna-warni pada persambungan 
antara paksi dengan tangkai. Dada mereka yang tertutup 
baju kutang putih. Dan gada  pendek menghiasi setiap 
pinggang. Juga kepala   kuda dihiasi dengan warna-warni 
bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan 
perunggu. Umbul-umbul kecil berkibar-kibar di tengah-
tengah, di depan kanjeng sinuhun . 
Tak pernah pajang bintoro , apalagi suryabuaya  , menyaksikan 
pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. Dan 
mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan. 
Di suryabuaya   sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling 
kota   suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah 
sebelumnya dalam sejarah suryabuaya  . 
Sebagian kecil pasukan mengiringkan kanjeng sinuhun  untuk 
memperoleh  baginda tuanku raja  Ratu Aisah. 
Trenggono disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan 
kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu 
seakan sedang mengepungnya. 
Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. Di lantai 
duduk para inang, sedang Trenggono duduk di atas kursi di 
hadapannya   lebih tinggi, sebab  dialah kanjeng sinuhun . 
Ratu Aisah memakai  kain batik, kemben wulung dan 
selendang batik. Pada kepala  nya seperti biasa, menghias 
kerudung batik pula. kanjeng sinuhun  memakai  jubah sutra kuning 
dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai mas 
dengan intan bertaburan pada jumbai balik di atas kening   
juga bernama kuning. Ratu Aisah bertelanjang kaki. kanjeng sinuhun  
memakai  terompah kulit. 
Pertemuan ini adalah suatu kejadian yang akan 
menentukan nasib Jawa dan Nusantara di waktu dekat 
mendatang dan jauh di lalu  hari   pertemuan antara 
ibu dan anak, perbenturan antara dua pandangan dan 
pendapat. 
Ratu Aisah memutar-mutarkan tangkai bunga kuning 
dengan jari-jari tuanya. Bunga itu bermain-main di atas 
pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta Dengan 
senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan 
suara lemah ia berkata: “Sembah dan sujud putranda 
Baginda kanjeng sinuhun  adalah laksana sibetari n air sejuk di hati 
bunda dalam terik berapa tahun. Alhamdulillah Baginda 
kanjeng sinuhun  tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum 
Baginda kanjeng sinuhun  adalah putra kanjeng sinuhun  dan Khalifah, sedang si 
tua-renta ini hanya anak seorang resi  agama di pesisir.” 
“Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu sudah  ibunda pilih 
agar tak terulang lagi yang sudah  ibunda Ratu ucapkan pada 
kakanda tumenggung dijoyo  almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada 
almarhum harus mengurangi kasih pada saya ?” 
“Jangan menjadikan kecil hati Baginda kanjeng sinuhun . Seorang 
ibu mengasihi semua putranya”, jawab Ratu Aisah, dan 
tangannya masih terus juga memutar-mutar tangkai bunga 
itu. 
“Ada terasa di hati besarnya kasih tiada sama, ibunda 
Ratu.” 
“Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang 
lebih memesrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih 
dimesrai, kadang seorang putra lebih dimesrai sebab  apa 
yang sudah  dipersembahkannya pada ibunya.” 
“Berilah saya  waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu, 
untuk memperoleh kan kemesraan yang merestui itu,” kata 
Trenggono dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di 
luar. “Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono 
dan pajang bintoro ”. 
“Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahanda 
almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda kanjeng sinuhun  
tumenggung dijoyo  almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan”. 
“Baru di tangan Trenggono memperoleh kan bentuknya”. 
“Syukurlah. sang hyang Widhi  sudah  mengabulkan”. 
“Ibunda Ratu, Kakanda tumenggung dijoyo  almarhum sudah  
mempersembahkan pertempuran jayamahanaya  ke bawah kaki 
Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa 
ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda 
Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padamu. Insya sang hyang Widhi . 
Kalau tangan seorang raja pajang bintoro  mulai menggenggam 
tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.” 
“Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah 
lempung pegunungan, Putranda Baginda kanjeng sinuhun . Putranda 
kanjeng sinuhun  tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, namun  di 
atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda 
dilahirkan di pesisir pasuruan  maka tahu tentang pasir.” 
Trenggono tak menanggapi  dan meneruskan: “Tak 
sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun nyi kanjeng blora takkan 
memperolehnya.” 
“Pasir sudah  tergenggam di tangan nyi kanjeng blora di sebelah 
utara sana.” 
“Yang di utara takkan berarti tanpa selatan.” 
“Mungkinkah Putranda Baginda kanjeng sinuhun ? Mungkinkah 
tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah 
kehidupan tak ada di dalamnya?” 
“Tangan Trenggono bukan tangan bangkai!” Trenggono 
memotong gusar. 
“… sebab  nadi darah kehidupan mengalir adalah selat 
Semenanjung di utara sana?” 
“kanjeng sinuhun  Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah 
kehidupan ada di selat, sebab  pajang bintoro lah jantung 
kehidupan”. 
“Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan? Dan 
dapatkah jari-jari menggenggam mengepal tanpa darah?” 
“sebab  tanah dapat digenggam, dan air tidak”. 
“Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya, 
darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak 
tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada 
darat?” 
Sekali lagi Trenggono tak menanggapi . Ia kepalkan 
tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya. 
“Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju”. 
“Putranda Baginda kanjeng sinuhun , bayi lahir dengan 
mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. Dia 
takkan mengepal lagi. namun  bayi itu tidak mengepal tanah. 
Dia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepala  n 
itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu 
ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamnya?” 
“Ampun, Ibunda. Dijauhkan putranda ini hendaknya 
dari menghadapkan pada Ibundanya sendiri. namun  tinju ini 
memang dihadapkan, insya sang hyang Widhi , dikodratkan, insya 
sang hyang Widhi , ditakdirkan, insya sang hyang Widhi , untuk mengepal pulau 
Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu 
jua saya  pohon.” 
“Dengarkan kata-kata seorang ibu, biarpun putranya 
sudah  raja,” kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir kanjeng sinuhun  
akan segera pergi sebab  marah, “tak ada indahnya sebuah 
kepala  n, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang 
jeli lebih indah, putranda Baginda kanjeng sinuhun , sebab  tiada 
mata, jangankan satu, satu laksa tinju pun takkan dapat 
merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak 
tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi 
meninju. Dia hanya akan gerayangan.” 
Orang melihat Trenggono menjadi gugup. Sudah 
beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga 
belum menemukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo. 
Dan Ratu Aisah tetap memutar-mutar tangkai bunga. 
“Ibunda Ratu”, terdengar Trenggono bicara dengan nada 
rendah, “biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya, 
dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaik-
baiknya, pula.” 
Trenggono berpaling ke belakang pada para 
pembesarnya. Seorang pun tak membantunya bicara. Dan 
Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya. 
“Ibunda Ratu,” katanya lagi. “Jari-jari putranda akan 
mencengkam ke arah sinar matahari  terbit dan ke arah sinar matahari  
tenggelam, agar matahari  tetap memancar di atas kepala  , di 
atas bumi pajang bintoro . Kakanda tumenggung dijoyo  almarhum… nyi kanjeng blora 
tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu 
merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah 
digenggamnya.” 
“Dan pada waktu itu Kakandamu tumenggung dijoyo  almarhum 
pulang membawa kekalahan. nyi kanjeng blora belum lagi sekuat 
sekarang. Maka dibangunkannya armada perkasa, dan 
kekalahan dan cedera dibawanya pulang ke suryabuaya  . 
Sekarang nyi kanjeng blora lebih kuat,” kata Ratu Aisah tanpa 
bahasa kias lagi, “selat mutlak di tangan dia, menutup hari 
depan Jawa dan Nusantara. Kecuali bagi dia yang berani, 
tabah, dan bermata jeli, dapat jadi penantangnya. Jawa dan 
Nusantara tanpa selat, apalah artinya? Mata jeli pun tidak 
berguna bila tinju memukul saudara-saudaranya sendiri 
bukan musuhnya”. 
“Ibunda Ratu….” 
“Dengarkan Kakandamu almarhum: ‘Barangsiapa 
berpendapat menguasai Jawa lebih penting dibandingkan  
menghancurkan nyi kanjeng blora dia akan dikutuk oleh anak-cucu, 
sebab  sudah tahu sebelumnya, pendapatnya itu sudah  
menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman nyi kanjeng blora 
sudah sejak dalam kandungan ibunya.” 
“nyi kanjeng blora akan dihadapi di darat.” 
“Hampir setiap bocah mengatakan begitu”. 
“Maka darat harus dikuasai”, sekali lagi Trenggono 
menengok ke belakang. “Kalian! Persembahkan sampai di 
mana kesanggupan kalian”. 
“kepala   dan hati patih  sekalian sudah patih  pertaruhkan 
untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli 
Kanjeng baginda tuanku raja  kanjeng sinuhun ”, seseorang mempersembahkan. 
“Begitu tumenggung dijoyo  wafat”. Ratu Aisah meneruskan tanpa 
mempedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda 
pajang bintoro . “blora segera direbutnya. Sekarang nyi kanjeng blora sudah 
mencoba-coba di Sunda kacangtanah  dan Blambangan. Apa 
bakal terjadi lusa?” 
“Lusa Sunda kacangtanah  dalam genggaman Trenggono, 
Ibunda Ratu. Jangan kuatir. kanjeng sinuhun  pajang bintoro  menjanjikan: 
nyi kanjeng blora takkan mengusik pulau Jawa selama dia masih 
hidup”. 
Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati 
Trenggono menyerahkan tangannya untuk dicium. 
Suasana hening tanpa perbenturan itu, menampilkan 
mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak 
bayinya. Wanita tua itu memegangi kedua belah pipi kanjeng sinuhun  
dan menatap wajah kanjeng sinuhun  dengan mata sayu, dan mata itu 
berkaca-kaca. 
Trenggono tak berani menentang mata itu dan 
menunduk. Rasa-rasanya pertikaian sudah  punah, tak ada 
lagi jarak antara ibu dan anak. 
Percakapan terbuka dan terdengar setiap orang yang 
hadir kini berubah jadi bisikan, dimulai oleh Ratu Aisah: 
“Putranda Baginda kanjeng sinuhun , waspadalah terhadap racun. 
Biar setitik raksasa pun bisa hancur , jari tak dapat bergerak 
lagi apa pula tangan. Dan setiap pikiran yang keliru adalah 
racun, bisa membunuh setiap raja. Barang siapa tak 
waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan 
racun itu selamanya bersumber pada pikiran sendiri.” 
Trenggono melepas kedua belah tangan ibunya dari 
mukanya Mukanya masih tetap menunduk. 
“Ibunda Ratu,” bisiknya kembali, “mata yang jeli 
dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan 
tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam? Mata yang 
jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang 
jernih.” 
‘Tak taulah aku kapan sang hyang Widhi  akan memanggil diri. Rasa-
rasanya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang, 
Trenggono, anakku, hapuskan darah abangmu yang kau 
kucurkan di bumi sang hyang Widhi  ini. Tanpa ampun-Nya takkan ada 
sesuatu dari pekerjaanmu memperoleh  berkah. Persembahkan 
suatu kebahagiaan semua orang dan para almarhum dan 
pada sang yang betari durga  mu sendiri: satu perang pengusiran atas 
nyi kanjeng blora dari jayamahanaya , blora dan Nusantara. Armada 
raksasa tumenggung dijoyo  janganlah dibiarkan tenggelam sebelum 
menempuh perang. Masuki semenanjung, jangan 
kecewakan setiap dan semua orang.” 
Waktu Aisah menolakkan bahu kanjeng sinuhun  supaya pergi, 
orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca. 
Bunga di tangannya jatuh di lantai tanpa disadarinya. 
0odwo0 
 
28. kediri  dalam Suasana Baru 
Seluruh kediri  kembali dalam ketenangan dan 
kedamaian   kota dan pedalaman. Sang Patih kediri  
mendiang sudah  digantikan oleh Kala chucky , pemimpin 
pasukan gajah. Nama barunya: Wirabumi. Panggilannya 
yang lengkap: baginda tuanku raja  Patih kediri  Kala chucky  Sang 
Wirabumi. Dan sebagai patih ia masih tetap memimpin 
pasukan gajah, maka Kala chucky  tak juga terhapus dalam 
sebutan. 
Pasar kota dan pasar jenggala betari i kembali seperti 
sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan negeri dongeng , 
pulih kembali. 
Sang adiputro  sudah  menjatuhkan perintah : kapal-kapal kediri  
memperoleh  perkenan untuk berlabuh dan berdagang di 
jayamahanaya  ataupun blora. 
namun  penghasilan jenggala tetap saja tak dapat lagi 
menutup kemerosotan besar. 
Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala chucky . Sang 
adiputro  sendiri sudah  kehilangan perhatiannya terhadap 
segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa jenggala atau 
berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten. 
Bercengkebetari  di taman kesayangan di tentang kandang 
gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni 
dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya. 
Dan di kadipaten sendiri nyi girah  tak pernah muncul lagi 
dari tariannya. 
Sejak padamnya pemberontakan Rangga jatayuwesi  Sang 
adiputro  tak pernah sehat, sudah  kehilangan semua kegesitan 
dan kesegarannya. Ia nampak sudah sangat tua. Semangat 
dan dayanya hilang. Jalannya sudah  tertatih-tatih dan sudah 
tidak bisa tegak lagi. 
Rangga jatayuwesi  sudah  nyata tewas, kekuatannya sudah  
tumpas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang 
merusuhi pikirannya. namun  tidak, pikiran lain selalu datang 
mengganggunya: penyesalan sebab  saudara sepumemiliki  
yang muda itu Patih kediri  yang terbunuh secara tidak 
layak tanpa perlawanan oleh seorang anak desa bernama 
raden panji  gelang-gelang . Juga penyesalannya sudah  membohongi 
adiputro  tumenggung dijoyo  mendiang tak pernah dapat dibohonginya 
dengan alasan, bahwa tumenggung dijoyo  ini juga yang sudah  merampas 
suryabuaya   dari tangannya. Penyesalan lain yang juga merusuhi 
pikirannya: ia tak dapat mengambil sesuatu tindakan 
sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap raden panji  gelang-gelang . 
Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu 
jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan 
nama nyi girah . Semestinya dia segera ditumpas sesudah  
adanya persembahan tentang “persekongkolannya” dengan 
betari  resi   mendiang. Dan cemburunya masih juga 
dapat dirasainya sebab  anak itu ternyata dihormati, 
dicintai dan didengarkan oleh bawahan  kediri . Malah 
pemimpin-pemimpin pasukan seperti orang kehilangan akal 
mendengarkan dan mematuhinya. Anak desa yang lancang 
itu…. 
Sebagai seorang penguasa mutlak tanpa seorang pun 
dapat menghalangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu 
tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak 
desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih panembahan senapati ki ageng  
kediri  itu. Masih sering terbayang-bayang dalam 
ingatannya peristiwa yang satu itu. Waktu itu hari 
penghadapan pertama sesudah  padamnya kerusuhan Rangga 
jatayuwesi . Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa 
penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mulai terancam 
bahaya kacangtanah ran. prajurit kerajaan  kediri  sudah  ditarik kembali 
ke kediri  Kota oleh raden panji  gelang-gelang . Namun pendopo itu 
tetap tiada berpenghadap. 
Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah. 
Pasukan pengawal mulai menduduki tempat-tempatnya 
yang semula. Gapura kadipaten sudah  berdiri kembali dan 
rupa-rupanya sudah  ditukangi orang pada malam hari. 
Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan 
kadipaten. Dan: Punggawa-punggawa praja, para pembesar 
dan kepala  -kepala   pasukan, juga raden panji  gelang-gelang , datang 
bersimpuh menghadap. 
Seorang punggawa sudah  datang menghadap padanya, 
mempersembahkan datangnya para penghadap. 
Jantung tuanya berdebar-debar. Pada punggawa itu 
bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga. 
Dan punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai 
kekuatan baru bergolak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas 
anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar 
rumput pun di dalam praja kadipaten kediri , yang bisa 
menghalangi keturunannya sendiri untuk menggantikan 
dirinya sebagai adiputro . 
Ia perintahkan jururias melakukan pekerjaannya, dan 
kembalilah ia jadi Sang adiputro  yang dahulu  juga, hanya sudah  
berubah jadi kakek dengan rambut seluruhnya sudah  putih 
dan jalan tak tegak lagi. 
Seseorang harus membantunya naik ke atas singgasana 
gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi 
itu. 
Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut 
melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun 
kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya 
redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan 
tergantung. 
Begitu duduk di atas singgasana, ia tak menanyai 
patihnya, sebab  dia sudah tiada. Juga ia tidak menanyai 
seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja. 
pada siapa saja, pada semua. 
“Bagaimana kerusakan yang diderita oleh bawahan  kami 
di pedalaman?” 
Dan semua penghadap melihat pada raden panji  gelang-gelang , Sang 
Patih panembahan senapati ki ageng  kediri . 
Dengan hati berat raden panji  gelang-gelang , Patih panembahan senapati ki ageng  tanpa 
pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah 
sebesar yang diharapkan oleh adipati  jayawisesa , lalu  
meneruskan dengan sangat hati-hati: “adipati  jayawisesa  sudah  
kedapatan tewas dalam gua Gowong bedan pengikut-
pengikutnya terakhir. baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sembahan 
patih .” 
“Siapa mempersembahkan itu?” 
“patih , baginda tuanku raja , patih wirabuana -muda, kepala   pasukan laut, si 
raden panji  gelang-gelang ”. 
“Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama 
yang mempersembahkan?” 
“sudah  hamba bunuh Patih kediri  sebab  keragu-
raguannya.” 
“Maka itu kau anggap dirimu Patih kediri ?” 
“Ampun. baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih ,” Kala 
chucky  menengahi. “Adapun Sang Patih panembahan senapati ki ageng  kediri  
raden panji  gelang-gelang  sudah  tumpas kerusuhan besar itu, baginda tuanku raja . 
Ampunilah dia sebab  tiada tahunya tentang adat praja 
maka sudah  menyebutkan nama kotor si perusuh itu di 
hadapan duli baginda tuanku raja  adiputro . Ampun, baginda tuanku raja , memang besar 
keragu-raguanlah yang sudah  menewaskan baginda tuanku raja  Patih 
almarhum. Dan itulah sebetulnya  bea untuk 
kemenangan kediri . Maka itu sudah sepatutnya Sang Patih 
panembahan senapati ki ageng  kediri  raden panji  gelang-gelang  dikukuhkan oleh baginda tuanku raja  
adiputro  akan jabatannya itu”. 
“Ampun. baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih , tidak 
lain dari panembahan senapati ki ageng  raden panji  gelang-gelang  yang merajang-rajang 
prajurit kerajaan  perusuh yang terlampau kuat itu sampai 
berkeping-keping, baginda tuanku raja , tak berdaya dan hancur , musnah”. 
ki glodog ireng  menambahkan. 
“Adakah kalian mengira. adiputro  kediri  bersinggasana 
pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si 
pelancang”, suaranya lambat dan pelahan. gemetar namun 
tegap. 
Suasana penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi 
tegang. Seorang yang sudah  memimpin mereka ke arah 
kemenangan sedang menghadapi kerunsang yang betari durga   di hadapan 
penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar 
keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang 
masih juga duduk menekur tak tahu apa harus 
diperbuatnya. 
“Siapakah orangnya yang menempatkan dia di tempat 
terhormat itu?” 
raden panji  gelang-gelang  bersujud , lalu  beringsut-ingsut 
duduk dengan para kepala   pasukan. 
Dan semua menjadi gelisah memperhatikan Sang 
panembahan senapati ki ageng  tanptt pengangkatan itu duduk menunduk di 
samping rangkum. 
“Siapakah orangnya yang memperoleh kan dia pada barisan 
kepala    pasukan?” Sang adiputro  menetak lagi dengan suara 
lambat, perlahan gemetar namun tegap dan dingin. 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih ”, kata 
Kala chucky l “adapun raden panji  gelang-gelang  sudah  menempati 
tempatnya sendiri sebagai kepala   pasukan laut”. 
“Adakah patut seorang pelancang memperoleh  kehormatan 
sejenis  itu?” 
Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan 
beringsut ke barisan di belakangnya lagi, barisan pembesar 
praja. Tak ada di antara kepala   pasukan berani bersembah. 
Suasana yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu 
lama dan tak bakal habis. 
Tiba-tiba terdengar seseorang bicara dalam jawadwipa , dan 
semua mata terarah kepadanya. 
“Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya baginda tuanku raja  
adiputro  kediri  yang bijaksana. Yang berdosa tidak mungkin 
berjasa, yang berjasa tidak mungkin berdosa, kata pantun 
nasihat”. 
“Kau benar, Tuan patih wirabuana  kediri ”. 
Dan raden panji  gelang-gelang  mengangkat sembah lagi, beringsut 
ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di 
pelataran. 
“Majulah kau. Kala chucky , di hadapan kami, sebab  
kaulah Patih kediri  Kala chucky  Sang Wirabumi. Dan 
perhatikan semua perintah  kami lakukan semua urusan kediri  
dan prajanya. Jangan sampai ada pelancang memperoleh  
kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. Dengan 
kau tiada kan ada ancaman terhadap kediri ”. 
Kala chucky  beringsut maju sambil bersujud . 
“Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di 
alun-alun sebagai hukuman bagi si pembangkang. 
Beruntunglah dia sebab  keluarganya tiada ikut tertumpas. 
Dan apakah hukuman yang patut bagi si pelancang?” 
Sang adiputro  menunggu sokongan dari semua 
penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandang ke seluruh 
penghadapan. Dan ia lihat setiap kepala   menunduk. Tak 
ada sembah terangkat, la tahu tak memperoleh kan sokongan. 
lalu  ia berpaling pada Kala chucky  Sang Wirabumi 
dan minta pendapatnya. 
“Ampun, baginda tuanku raja , tak ada pelancang di antara bawahan  
Sang adiputro   sembah Kala chucky . 
”Tiadakah kau sendiri dengar perintah  kami: apa hukuman 
yang patut bagi pelancang? Dengarkan semua: bagaimana 
pembangkang harus jalani hukumannya?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih . Sang 
Patih kediri  almarhum”, Kala chucky  bersembah dengan 
gugup, “sudah  menjalani hukumannya sebagai 
pembangkang, tewas di ujung gada wesi . patih  sebagai Patih 
kediri  Sang Wirabumi tidak akan sanggup melaksanakan 
dan menjatuhkan hukuman yang diperintah kan terhadap 
panembahan senapati ki ageng nya, kecuali bila panembahan senapati ki ageng  menentukah sendiri 
hukumannya dengan sukarela”. 
“Apa hukuman yang patut untuknya?” 
Kala chucky  berpaling ke belakang dan berseru: “Patih 
kediri  Kala chucky  Sang Wirabumi bertanya padamu. 
panembahan senapati ki ageng wilareja , raden panji  gelang-gelang , apakah hukuman yang patut 
untukmu?” 
Dari tempatnya di pelataran pendopo raden panji  gelang-gelang  
menjawab dengan suara lantang: “Tidak ada yang patut. 
Hanya, bila raden panji  gelang-gelang  ini akan dihukum juga”, 
serunya, “perkenankan dia menanam mayat Sang Patih 
almarhum dengan sebaik-baiknya dahulu ”. 
“Usir dia dari kediri !” bisik Sang adiputro  gemetar. 
“Direjam sampai mati, baginda tuanku raja  adiputro  yang bijaksana”, 
raden  sanggabuana  bumikerta  bersembah, “seorang pelancang 
adalah juga pengkhianat”. 
Sang adiputro  melambaikan tangan pada Kala chucky  
Sang Wirabumi, dan memerintahkan padanya untuk 
menolong turun dari singgasana. Dan orang pun terheran-
heran melihat patih wirabuana  kediri  meninggalkan tempatnya 
dan ikut masuk ke dalam kadipaten. 
Kala chucky  kembali ke pendopo, menghadapi pada 
penghadap dan memerintahkan mereka bubar. Mereka 
membubarkan diri dan mengerumuni raden panji  gelang-gelang . Semua 
menawarkan tenaga untuk membantu merawat sisa-sisa 
jenasah Sang Patih kediri . 
Ia menolak. 
“Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih 
mengetahui betapa aku menghormatinya sampai ke dasar 
hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya 
terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku 
akan kembali”. 
“Kami akan antarkan”. 
“Apakah yang dapat kami sumbangkan?” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja ! panembahan senapati ki ageng wilareja !” 
“Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik 
dengan abah-abahnya yang baik pula”. 
wah 
 
Sesudah  melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah 
dengan saksi para pembesar praja, para kepala   pasukan dan 
semua yang mencintainya, ia dekati Patih kediri  Kala 
chucky  Sang Wirabumi, yang sedang memegangi kendali 
kuda. 
“Sepeninggalku, Kala chucky ”, ia berpesan pada 
sahabatnya “awaslah pada pajang bintoro . resi ku, betari  resi  , 
sudah lebih dahulu memperingatkan”. 
“Panglimaku!” Kala chucky  tak mampu meneruskan. 
raden panji  gelang-gelang  melompat ke atas kudanya. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja , mari kami antar”. 
“Jangan”. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja  tak membawa sesuatu pun, gada  tidak, 
tombakpun tidak.” 
Orang mengulurkan cambuk perang. Ia tak 
menerimanya. 
“Anak desa pulang ke desa. Dia tak memerlukan 
senjata”. 
Kala chucky  merangkul kaki panembahan senapati ki ageng , dan berbisik: “Tak 
mungkin kediri  tanpa panembahan senapati ki ageng wilareja ”. 
raden panji  gelang-gelang  mencambuk kudanya dan hilang di balik 
debu jalanan di kejauhan. 
wah 
 
Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang 
adiputro . Betapa ingin ia menumpas sama sekali orang itu   
seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang 
ningrat keturunan maha kerajaan jenggala . Dia berani mengangkat 
diri jadi Sang Patih panembahan senapati ki ageng  kediri . Bila dibiarikan semua 
aturan akan rusak hancur . Dan pengusiran adalah hukuman 
terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala   
pasukan berontak terhadap dirinya. 
Beban lain yang memberati hati Sang adiputro  adalah 
hilangnya pafit putra yang mengabdi pada pajang bintoro . 
Menengok ke kediri  mereka tiadak lagi, apalagi 
menghadap. Beritanya pun tiada pernah sampai lagi. Dan ia 
sendiri sudah merasa tua. Siapakah adiputro  kediri  sesudah  
dirinya? Siapakah dia, yang berhak memperoleh kan mpu wungubhumi  
adiputro ? Ia tak mampu bayangkan. Kemenakan-
kemenakannya ditimbangnya terlalu lemah, bukan pribadi 
yang bakal mampu jadi penguasa kediri  yang berat dipikul 
berat pula dijinjing. Dan ia tak rela kediri  jatuh ke tangan 
salah seorang dari kepala  -kepala   pasukan yang semua 
bukan berdarah ningrat. Apalagi raden panji  gelang-gelang , si lancang. 
Dan justru yang akhir ini orang yang paling akhir dapat 
menggenggam kediri . Tidak, ia tak rela. 
Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem. 
Atau ia rebahkan diri di peraduan dan memanggil raden  
sanggabuana  bumikerta  untuk mendongengkan kisah seribu 
satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah, 
yang langsung dilisankannya ke dalam jawadwipa . Atau ia 
minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas 
Angin. 
Dan patih wirabuana  kediri  seorang yang pandai bercerita. 
Gerak tangannya yang mempesonakan dan turun naik 
bongkoknya memberi hidup pada ceritanya. Pada bagian-
bagian tegang ia melambai-lambaikan tangan dan bertepuk-
tepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi 
hidup atas ceritanya. Dan bila cerita itu sampai pada bagian 
asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan, 
dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia melolong 
meranamun . 
Ia sendiri memang suka bercerita, dan mungkin terlalu 
lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya, 
Zanggi dan bukan Zanggi. 
Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya, 
Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan 
tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan 
palawa  dan tentang Al Tarik yang menyerbu dengan kudanya, 
dengan kudanya pula memasuki rumah-rumah dan istana. 
Dan ia bercerita tentang pembangunan tempat ibadah  dan istana-
istana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatnya dalam 
hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis 
Zanggi perbegu yang menari seperti kesetanan, dan tentang 
pebetari l-pebetari l Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan 
Muawiyah di Iberia. 
Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada 
nyi kanjeng blora dan Ispanya. Dan ia tetap tak pernah bercerita 
tentang dirinya sendiri. 
Apabila ia minta diri, ia tiada memperoleh  sesuatu jawaban 
dari Sang adiputro , sebab  pendengar-tunggalnya sudah  
berkeruh dalam tidurnya. 
Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya 
Sang adiputro  merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan 
menanyakan apa yang dideritanya. 
“Ah, Tuan pakanewon ”, jawabnya, “sekiranya diri masih 
muda… dengan kekuatan utuh dan badan penuh….” 
“baginda tuanku raja  adiputro  masih muda, belum tua”. 
“Membawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan 
pakanewon . Betapa indahnya hidup muda….” 
Dan dengan demikian patih wirabuana  kediri  jadi 
penghadap tetap dalam kadipaten. 
Orang menduga, orang Moro itu akan memperoleh kan 
kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang adiputro . Ternyata 
dugaan itu keliru. Penguasa kediri  itu tetap membatasi 
wewenang raden  sanggabuana  bumikerta . Apalagi sesudah  Kala 
chucky  Wirabumi tampil menjadi patih. 
Dari sehari ke sehari, dari tahun ke tahun keadaan Sang 
adiputro  tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia 
tak pernah melalaikan ramuan-ramuan yang 
dipersembahkan kepadanya. Dan raden  sanggabuana  Az-
Zubaid terus juga menghadap untuk bercerita. Dan sesudah  
cerita yang diketahuinya habis, mulailah ia mendongeng 
tentang khayal yang tumbuh sendiri dalam kepala  nya. Dan 
waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah 
mengalirlah segala kebohongannya. 
patih wirabuana  itu sudah tak tahu lagi mana yang benar. 
Sang adiputro  yang memerlukan  ceritanya atau dirinya 
sendiri yang ta. Ia memerlukan  waktu sampai kanjuruhan  
celaka yang tak juga muncul dengan armadanya datang ke 
kediri , dan barulah ia merasa aman. 
Di pembaringan juga Sang adiputro  menerima utusan 
atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau 
tidak didani oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar 
saja dihadirinya sebagai syarat, lalu  Sang Patih kediri  
Kala chucky  Sang Wirabumi diperintah kan meneruskan segala 
urusan. 
Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari 
menunggu datangnya Sang Maut, dan ia akan 
menyambutnya dengan senang hati dan perasaan 
terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang 
datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari suryabuaya  . 
Orang itu adalah mpu logender  yang dahulu pernah 
diterimanya di taman kesayangan di tentang kandang gajah 
pribadi. 
“baginda tuanku raja  adiputro  kediri  yang mulia”, ia bersembah. 
“pajang bintoro  dan suryabuaya   ikut berprihatin dengan gering baginda tuanku raja . 
Itulah sebabnya patih  datang: menghadap, menyampaikan 
salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan 
karunia sang hyang Widhi  dari baginda tuanku raja  Ratu Aisah, dan dibenarkan oleh 
baginda tuanku raja  Kanjeng kanjeng sinuhun  Trenggono”. 
Sang adiputro  melambaikan tangan menitahkan semua 
orang keluar dari bilik peraduan kecuali Sang Duta. Juga 
Kala chucky  pergi sesudah  mengangkat sembah. 
mpu logender  mempersembahkan beribu terimakasih dan 
syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan 
untuk menghadap tanpa didani oleh siapa pun. 
“Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di 
dalam hati. Dekat dekatlah sini, agar kami dapat 
mendengarkan Tuan dengan terang” 
mpu logender  mendekat sambil membawa tempolong pukul , 
mempersembahkan dan Sang adiputro  membuang pukul  
sirih ke dalamnya lalu  berbaring lagi. 
“Dalam keadaan baginda tuanku raja  gering begini, patih  merasa tidak 
patut menyampaikan sesuatu yang penting, baginda tuanku raja ”. 
“Gering begini kami tetap masih adiputro  kediri , Tuan 
Duta. Kesempitan kesempitan dari hati Tuan”. 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro , sebagai duta, patih  ingin 
memperoleh  amanat dari baginda tuanku raja , adalah kiranya baginda tuanku raja  adiputro  
kediri  berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada 
suatu persekutuan membentuk armada gabungan untuk 
menggempur jayamahanaya , menghalau nyi kanjeng blora?” 
Mendengar itu adiputro  kediri  mencoba duduk di 
pembaringan dan mpu logender  membantunya. 
“Ulangi lagi persembahan Tuan Duta”. 
Dan mpu logender  mengulangi kata-katanya: Sang adiputro  
kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan, 
mengangguk-angguk dan pada mata tuanya yang 
memburam itu memancar sinar hidup. 
mpu logender  buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan 
bantal kaki di atasnya. Nampaknya Sang adiputro  sangat 
berkenan melihat pada kebaikan duta itu. 
Lama adiputro  kediri  tidak menjawab. Ia kerahkan 
pikiran tuanya untuk kembali bekerja mengurus    praja. 
Dengan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun 
dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugusan 
kediri  ke jayamahanaya  untuk menenggang laksamana adiputro  
tumenggung dijoyo  dan sekaligus untuk membalaskan dendamnya 
dengan kebohongan melanggar janji. lalu  ia 
menyesal untuk selama-lamanya. Sesal lalu  memang 
tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan 
persekutuan membentuk armada gabungan lagi. Ia 
menawarkan jalan untuk dapat membebaskan dari sesalan 
di haritua. Hari-harinya sudah  dapat dihitung, dan 
kesempatan ini mungkin takkan datang lagi sampai 
matinya. Dan ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan. 
Kini ia akan memperoleh  kesempatan bagaimana sesalannya 
bisa tertebus, boleh jadi ia sempat pula menyaksikan 
gugusan kediri  pulang ke pangkalan dengan kemenangan. 
Dan namanya takkan jatuh di mata bawahan  kediri . Dengan 
cepat ia dapat temukan cara memberangkatkan gugusan itu 
sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya 
ataupun nyi kanjeng blora. Ia mengakui masih bermimpi kan 
datangnya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya 
sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak 
akan menomer-satukan lagi. Ia mulai menomor-duakannya. 
Ispanya dan nyi kanjeng blora toh tak juga datang membawa 
persahabatan. 
“Ketahuilah, Tuan Duta mpu logender  yang terhormat”, 
katanya lunak, “sudah  lama kami pikirkan kemungkinan 
itu”. 
Dan mpu logender  segera mempersembahkan 
terimakasihnya. 
‘kediri , Tuan Duta, sudah lama bersedia untuk 
memakai  kesempatan itu”. 
“Ya, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  yang mulia, kedanan 
gugusan kediri  insya sang hyang Widhi  akan menjamin kemenangan, 
baginda tuanku raja , semoga sang hyang Widhi  s.w.t. merah-mati baginda tuanku raja  dengan 
kesehatan, kenikmatan dan panjang usia”. 
“Hanya kami tak mampu menyediakan kapal”. 
mpu logender  menyembunyikan kekecewaannya. namun  Sang 
adiputro  dapat menangkap perubahan pada airmukanya. 
“Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan Duta yang 
terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal 
kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar 
keterlambatan. Dapatkah Tuan memahami kelemahan 
kami?” 
“Besarlah sudah kemurahan baginda tuanku raja  adiputro  kediri . 
Berapakah kiranya besarnya pasukan yang baginda tuanku raja  relakan 
untuk armada gabtungan itu, baginda tuanku raja ?” 
“Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan Duta, tepat 
seperti dahulu. Hanya kami memang merasa malu 
memakai  kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua, 
jauh tertinggal dari kapal-kapal buatan  suryabuaya  ”. Dan Aji 
Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaimana harus 
memperoleh kan kapal untuk mengangkut lima ratus orang 
dengan persenjataan dan perbekalan. Ia termangu-mangu. 
“Kapal perang kediri  cukup baik, baginda tuanku raja  adiputro , 
sebagaimana pernah patih  saksikan, malahan patih  pernah 
membawa sendiri guguasan dari jatikerto  sampai di atas 
Tumasik”, 
“Tidak, Tuan Duta, kami sudah cukup memperoleh  malu 
dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi 
bikin. Keadaan laut tidak begitu memberanikan kami 
membuat  yang baru. Janganlah berkecil hati sebab  centeng  
laut kediri  adalah sesungguh-sungguh centeng ”. 
“Besarlah kemurahan baginda tuanku raja  adiputro . kediri  akan 
melimpahi baginda tuanku raja  dengan berkah, yang insya sang hyang Widhi  tiada kan 
putus-putusnya. Ampun baginda tuanku raja , apabila baginda tuanku raja  berkenan 
bolehkah patih  mengetahui siapa gerangan calon Panglima 
gugusan kediri ?” 
“Tentu, dengan panglimanya sekali, panglima tanpa 
tandingan tuan Duta   Wi-rang-ga-leng, panembahan senapati ki ageng  kediri ”. 
mpu logender  mengangkat sembah tiga kali untuk 
menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keragu-
raguannya. raden panji  gelang-gelang  jadi lebih berharga dibandingkan  lima 
buah kapal perang kediri . “Dia pun kepala   pasukan laut 
kediri , Tuan Duta”. Hampir-hampir duta itu tak dengar 
kata-kata Sang adiputro  yang terakhir. Ia sedang 
mengenangkan memperoleh  yang pang pang   raden panji  gelang-gelang , 
itulah pimpinan perang tanpa tandingan untuk 
melaksanakan rencana Persekutuan. Ia pernah menyatakan 
lebih suka memperoleh  orang itu dengan atau tanpa pasukan, 
bahkan tanpa kapal sebuah pun. Duta itu memohon diri 
dengan bersuka cita! Malam itu Sang adiputro  tidur nyenyak 
tanpa cerita raden  sanggabuana  bumikerta , patih wirabuana  kediri . 
0odwo0 
 
29. Lahirnya Persekutuan Rahasia 
Sebelum mpu logender  menghadap adiputro  kediri  
sebenarnya sudah  terjadi sesuatu yang penting baik di suryabuaya   
maupun pajang bintoro . Dan kejadian itu adalah demikian: 
Memang tiada seorang pernah menduga, kanjeng sinuhun  Trenggono 
sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan mencium kaki 
tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud 
waktu Ratu Aisah sudah  pergi meninggalkannya. 
kanjeng sinuhun  menegakkan badan dan agak lama masih juga 
diam berlutut. Waktu ia berdiri orang melihat matanya 
merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan 
cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh 
semua pembesar pasukan kuda. 
Sampai di pelataran kanjeng sinuhun  masih memerlukan 
menghadap pada rumah itu dan sekali lagi mengangkat 
sembah dalam tegak berdiri. lalu  ia menaiki 
kudanya. 
Dan pasukan kuda itu pulang ke pajang bintoro  meninggalkan 
kepulan debu tanah suryabuaya   di belakangnya. 
Tak ada yang tahu apa sebetulnya  sudah  dibisikkan 
oleh ibu dan anak yang nampaknya begitu mesra itu. 
Perdamaian, orang menduga. Kalau perdamaian itu tak lain 
artinya dibandingkan  terjadi kompromi antara dua pandangan 
dan dua pendapat. Bagaimana bentuk kompromi itu? Orang 
pun tak tahu. Dan orang menduga-duga, armada pajang bintoro  
akan jadi menyerang jayamahanaya  sedang pasukan darat yang 
tertinggal akan mencekam seluruh pulau Jawa, dari 
Blambangan sampai Pajajaran. Kompromi kira-kira, orang 
menduga, adalah gada  bermata dua: pajang bintoro  akan 
menyerang jayamahanaya  sekaligus menguasai Jawa. 
Dugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan 
bahwa pajang bintoro  takkan mungkin mengeluarkan biaya 
sebanyak itu. 
namun   di luar pajang bintoro , kecuali kediri  yang masih dalam 
keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi 
atau tidak antara kanjeng sinuhun  dengan Ratu Aisah. pajang bintoro  tetap 
dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan 
melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan 
dan melatih prajurit kerajaan nya masing-masing. Seluruh Jawa, 
kecuali kediri , siap dengan persiapan perang. Beberapa 
orang bupati -apalagi mereka yang memiliki  ikatan darah atau 
perkawinan   sudah pada membuat  persekutuan militer 
untuk menanggulangi muntahnya kepunday. Dengan 
adanya persiapan-persiapan itu orang menaksir kediri  
sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa 
pertama dari Trenggana. 
Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan 
kapalnya untuk menyinggahi suryabuaya  . Akibatnya suryabuaya   
terkena boikot dari Jawa sendiri. 
Di jayamahanaya , berbulan-bulan lamanya para pembesar 
kanjuruhan  mencoba menemukan apa sebetulnya  
diucapkan dalam babak terakhir muan antara kanjeng sinuhun  dan 
Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa, 
bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti 
bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja 
Nusantara seperti diimpikan oleh tumenggung dijoyo  ada kemungkinan 
bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bumi 
bagian selatan ini sudah dapat dibetari lkan. 
kanjuruhan  akan terusir dari jayamahanaya , blora, panarukan  dan 
seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai 
Goa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau 
saudagar negeri dongeng . Perdagangan dan jalanlftra antara 
Jawa dan jayamahanaya  boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke 
tangan Pribumi. 
Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan 
membatasi lagi pelayarannya ke panarukan , tidak lagi 
memasuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya 
pada garis blora-jayamahanaya , membentuk bentengan laut yang 
tak bakal kena terjang. 
Di pajang bintoro  sendiri berita-berita tentang pertikaian antara 
kanjeng sinuhun  dan Ratu menjadi padam. 
Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang 
dengan gada  bermata dua? Mengapa kanjeng sinuhun  tiba-tiba 
nampak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan 
kaki? Sebaliknya, mengapa suryabuaya   sekarang jadi sibuk lagi 
dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali 
seakan armada itu sudah akan terangkatkan dalam 
setengafctujgR mendatang? Bila benar demikian, bukan itu 
berarti kemenangan mutlak bagi Ratu Aisah? Sebaliknya 
juga berarti kekalahan bagi Trenggono? sedang bila Ratu 
yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha 
kearah persekutuan dengan raja-raja Nusantara. 
Maka orang pun dengan cucuknya menunggu-nunggu 
apakah amanat kanjeng sinuhun  pajang bintoro . 
Dan benar, kanjeng sinuhun  mengeluarkan amanat, yang berseru 
pada para raja dan bupati di Jawa dan Nusantara untuk 
bersahabat dengan pajang bintoro  dan untuk bersekutu melawan 
nyi kanjeng blora. 
namun   para penguasa di Jawa tak ada yang menanggapi 
seruan itu. Mereka pada umumnya menganggap seruan itu 
sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di 
kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada 
gabungan yang akan dibentuk pajang bintoro  akan dapat 
mengurangi penggunaan kekuatannya sendiri, 
memperbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan 
akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari 
punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka 
tidak menggubrisnya, bahkan memperuncing 
kewaspadaannya. 
Hanya adiputro  kediri  tidak menanggapi semua itu. Ia 
sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu 
datangnya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih 
kediri  Kala chucky  Sang Wirabumi sudah  membuat  
persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak 
membeludaknya pasukan darat pajang bintoro . Ia tahu pajang bintoro  
pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan 
kaki dari penduduk sebelah barat kediri  yang dikenakan 
wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap pajang bintoro , 
yang dinilainya tak memiliki  kekuatan gajah. Ia tak tahu, 
bahwa pajang bintoro  menganggap enteng pasukan gajah kediri , 
yang takkan mungkin menempuh jarak jauh untuk 
mempertahankan perbatasan. namun  Kala chucky  juga percaya  
dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang 
sekuat-kuatnya tak pernah bisa menghancurkan pasukan 
gajah. pajang bintoro  tak memiliki  dasar untuk menentang kediri . 
Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian. 
Apalagi pedalaman kediri  sudah mulai pulih kembali dan 
jenggala pun mulai sedikit hidup. 
Sang adiputro  yang hanya sibuk dengan persoalannya 
sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala chucky . 
raden panji  gelang-gelang  merasa sudah  diusirnya tanpa ampun ke 
desanya kembali. Jauh dari para kepala   pasukan ia takkan 
berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala   
pasukan tak dapat berbuat apa-apa. Dia pun takkan berbuat 
apa-apa. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa di pedalaman 
sana. Dia akan kembali jadi petani biasa tambah tanpa 
sesuatu kekuasaan dan pengaruh. namun   ia teringat pada 
Gajah Mada dan Ken Arok kadang  muncul  pernyataan 
dalam hatinya: siapa dapat mengabarkan  apa akan 
diperbuat, oleh seorang anak desa dungu dan pelancang 
justru sebab  dungunya? Dan ia serahkan semua persoalan 
pada Kala chucky  juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu 
apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa 
anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para 
bawahan  suka menyesakkan dadanya. Dan ia mengakui tak 
berani menyingkirkan dari muka bumi. 
Maka sekarang ini, sekiranya pajang bintoro  datang padanya 
minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggempur 
jayamahanaya , Blambangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan 
anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini 
akan hilang dari hari-harinya yang terakhir. 
Kala chucky  mempersembahkan amanat seruan kanjeng sinuhun  
Trenggono dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah 
laksana lambaian tangan dari sorga. Ia perintah kan Sang Patih 
untuk menunggu datangnya utusan resmi. kediri  tak perlu 
menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah 
pajang bintoro  menghormati kediri  atau tidak. Bila dia datang, ia 
akan mengia kan dengan baik. namun  sekiranya pajang bintoro  
memukul kediri  secara khianat ia pun sudah sediakan 
jawabannya: raden panji  gelang-gelang  akan diangkatnya secara resmi 
sebagai panembahan senapati ki ageng  kediri . 
Di pajang bintoro  sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas 
melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara 
bawahan nya. Sekarang yang harus menanggalkan anggapan, 
bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda, 
reda di pajang bintoro . Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan 
balasan dari baginda tuanku raja  Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya 
Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa 
maupun di luarnya. Kemenangan mutlak akan jatuh ke 
tangannya. 
Di suryabuaya   Ratu Aisah meneruskan kesibukannya dengan 
masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka. 
Ia akan membukanya nanti sebagai peringatan 
berangkatnya armada gabungan menyerang jayamahanaya , 
mungkin juga blora, sebagai kenang-kenangan. 
Pada salah satu kunjungannya pada tempat ibadah  yang belum 
dibuka itu ia dapatkan yang pang pang sudah berdiri 
menunggunya. 
Wanita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis 
seperti kain dengan gambar biru yang nampak bukan 
berasal dari dunia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita 
tentangnya, bagaimana membuatnya, apa bahan-bahannya, 
dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun. 
Juga sekali ini: “saya  sudah banyak menjelajah negeri 
orang lain baginda tuanku raja , juga negeri nyi kanjeng blora sendiri. Belum ada 
bangsa lain selain leluhur saya  yang bisa bikin tembikar 
sejenis  ini, yang membuat  cniipp ini lebih indah dan 
berharga. Tembikar-tembikar ini, baginda tuanku raja , dibikin menurut 
kesukaan baginda tuanku raja  Ratu, bukan hal dibikin dan dipasang. 
Maka jadilah semua ini lambang, bahwa semua orang 
Tionghoa di semua jenggala di Jawa menyokong baginda tuanku raja  Ratu, 
sama seperti kami menyokong baginda tuanku raja  Kanjeng kanjeng sinuhun  Al-
Fattah dan baginda tuanku raja  Kanjeng tumenggung dijoyo  almarhum”. 
Ratu Aisah senang mendengar keterangan itu. Mata 
tuanya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nama itu 
begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suaminya 
almarhum dan putranya almarhum. 
“Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata 
persembahan saya  baginda tuanku raja  Ratu. Semua ada terentang 
dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semarang. 
Tulisan tidak berubah, baginda tuanku raja , biarpun kata lisan bisa 
berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong 
penghalauan atas nyi kanjeng blora dari belah bumi bagian selatan 
ini”. 
Mereka masuk ke dalam bangunan, meneliti relief itu 
satu per satu untuk ke sekian kali. lalu  mereka 
berhenti pada sebuah relief yang menggambarkan seorang 
wanita yang sedang menari. Kembali yang pang pang 
mempersembahkan keterangan. 
“Ini, baginda tuanku raja  Ratu, yang baru dipasang adalah gambar 
seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertama-tama 
taubat dan menjadi arca   . Di negeri leluhur saya . baginda tuanku raja , 
wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga 
tampil sebagai panglima perang”. 
Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi 
bicara tentang gambar penari itu. 
“Pernah kami berangsur-angsur, Babah,” bisiknya, “ah,” 
terengah-engah, sekarang ia tertawa, “berangsur-angsur 
sekiranya jadi Laki-laki . Tidak, bukan kami hendak menyalahi 
ketentuan sang hyang Widhi  s.w.t. hanya berangan-angan… sekiranya 
kami Laki-laki , ada praja di tangan….” 
“Dengan kewibawaan baginda tuanku raja  Ratu, tanpa baginda tuanku raja  sendiri”. 
yang pang pang menggarami, “Kanjeng baginda tuanku raja  tumenggung dijoyo  
almarhum sudah melaksanakan”. 
“Kau betul Babah”. 
“Kanjeng baginda tuanku raja  Itu sudah mempersiapkan armada besar 
dahulu , sudah menyerang jayamahanaya . Sebelum wafat 
dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan 
kewibawaan baginda tuanku raja  Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar, 
dan membawa tugas yang megah dan agung? 
Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng 
baginda tuanku raja  tumenggung dijoyo  Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi 
armada nelayan, baginda tuanku raja ? Sampai memiliki  pikiran begitu 
macam?” 
“Ampun. baginda tuanku raja , jangan menjadi kegusaran baginda tuanku raja , sebab  
sayang sekali bila demikian nanti akan jadinya”. 
“Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke 
jayamahanaya , Babah”. 
Seorang calon penunggu tempat ibadah  mendengarkan semua 
pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan 
itu tersebar ke seluruh negeri, membangkitkan kegusaran 
pada pasukan kuda dan pasukan kaki pajang bintoro . 
Tidak lebih dari lima belas hari lalu  seorang yang 
tidak dikenal sudah  menghadap pada Ratu Aisah, 
mempersembahkan: pajang bintoro  berada dalam keadaan gelisah. 
Setiap saat kanjeng sinuhun  Trenggono bisa jatuh sebab  
pembangkangan. Bahwa sumber kegelisahan adalah baginda tuanku raja  
Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan pajang bintoro  akan 
menyerbu jayamahanaya , menyalahi persetujuan kanjeng sinuhun  dan Ratu 
dalam pertemuan terakhir. 
Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetahui. 
Trenggono seorang berhati keras, tak ragu-ragu membunuh 
abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia 
bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka 
penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang 
sederhana pikirannya itu. Ia menduga orang itu utusan dari 
pasukatt kuda pajang bintoro . Dan bila demikian halnya 
Trenggono yang kurang cerdik itu terjebak dalam taman 
pasukan kuda kebanggaannya sendiri. kanjeng sinuhun  berada dalam 
bahaya. Memang! 
Ia memutuskan untuk membuat kungkungan balasan. 
yang pang pang mengambil tempat di dekat rana berukir. 
Ratu duduk sambil mengunyah sirih. Tak ada biti-biti atau 
inang di sampingnya. 
Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: “Kami 
semua menyokong baginda tuanku raja  Ratu. Bagaimana bisa lain 
dibandingkan  itu baginda tuanku raja ?, nyi kanjeng blora adalah juga musuh kami 
bersama. Mereka mengganggu pelayaran perdagangan kami 
se-panarukan  dan perairannya. Banyak kapal kami 
ditenggelamkan dengan atau tanpa pembajakan 
sebelumnya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka 
membuka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari 
situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan 
Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mulai digerayangi. Dua 
bangtjji celaka, baginda tuanku raja , nyi kanjeng blora dan Ispanya, harus dihadapi 
bersama-sama”. 
“Ya, dihadapi bersama seperti pendapat tumenggung dijoyo  
almarhum”. namun   bukan itu yang diharapkan oleh Ratu 
Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaimana ia harus 
hadapi kanjeng sinuhun  dalam kemungkinan pembangkangan 
pasukan kuda. Dan ia tidak berani terang-terangan 
mengatakan. 
“Dalam usaha penghalauan nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja , tak ada 
orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang 
bernama Wiranggaileng. sudah  dia tumpas perusuh patih  
Benggala di kediri  dalam hanya beberapa minggu. Dia pun 
sudah  jalankan berbagai tugas dengan baik. namun  sekarang 
dia sedang diusir dari praja kediri ”. 
Dan beralihlah pembicaraan pada raden panji  gelang-gelang . 
“Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak 
desa? Jangankan memimpin pertempuran laut, berlayar pun 
tak pernah”. 
Dan yang pang pang jadi berkobar-kobar: ‘Tidak benar, 
baginda tuanku raja . Orang yang bernama raden panji  gelang-gelang  pernah ikut 
gugusan kediri , ke jayamahanaya  mengikuti armada suryabuaya  , 
baginda tuanku raja .” 
“Di bawah Raden Kusnan?” 
“Tidak keliru, baginda tuanku raja . Kalau saya  tak salah, orang itu 
pernah memikul tandu almarhum baginda tuanku raja  Kanjeng tumenggung dijoyo  
waktu mendarat di suryabuaya   dari kapal bendera. Dialah yang 
memimpin pulang gugusan kediri  dari suryabuaya  . Diangkatnya 
anak desa itu jadi kepala   pasukan laut kediri . Sesudah  jadi 
Patih panembahan senapati ki ageng  kediri  dan mengalahkan patih  Benggala dia 
di usir dari praja”. 
“Apa kesalahannya, Babah?” 
“Kesalahannya adalah sebab  dia hanya anak desa”. 
“Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat menghargai 
anak itu. Mungkinkah dia berani menghadapi nyi kanjeng blora di 
laut?” 
“Dia pernah perintahkan pasukan pengawal kediri  
mengusir kapal nyi kanjeng blora. saya  sendiri ikut menyaksikan. 
baginda tuanku raja , kapal itu dipimpin oleh nyi kanjeng blora berangsangan 
bernama ki ageng argomerta . nyi kanjeng blora menembaki kediri  
dengan gada rujakpolo ….” 
“Peristiwa itukah yang kau maksudkan?” 
“Ya, baginda tuanku raja , peristiwa yang menggemparkan semua 
jenggala di Jawa itu. baginda tuanku raja . kediri  membalas dengan enteng. 
Bukan sebab  kediri  dapat menenggelamkan kapal 
nyi kanjeng blora itu yang saya  nilai, namun   kepandaian 
raden panji  gelang-gelang  dalam mengatur dan memakai  
prajurit kerajaan  yang ada padanya bisa menghadapi nyi kanjeng blora, di 
laut, di darat, di mana pun”. 
“Jadi dia mungkin berani hadapi nyi kanjeng blora di laut?” 
“Bukankah tak perlu benar nyi kanjeng blora dihadapi di laut, 
baginda tuanku raja ? Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana 
almarhum baginda tuanku raja  Kanjeng tumenggung dijoyo , mendarat di utara jayamahanaya , 
dan dari sana bergerak ke selatan, langsung menyerang 
sarang nyi kanjeng blora.” Suara yang pang pang kehilangan 
kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. “Kalau 
baginda tuanku raja  Ratu menyerahkan tugas pada saya  untuk 
membujuk baginda tuanku raja  adiputro  kediri  untuk ikut bergabung, 
saya  sanggup, baginda tuanku raja ”. 
“Jangan, Babah. Itu bukan urusanmu. Berikan saja 
padaku raden panji