Rabu, 14 Desember 2022

raja 5

oan , mpu marijan  patih baruna, keluar dari Provinsi 
kertanegara  dan wirogeni. Ini, tentu saja, tidak semata-mata 
berkat kekuatannya sendiri. Berhubungan dengan 
marga sinuhun  di satu pihak, mpu mojosongo  juga bekerja sama 
dengan mpu ireng  mpu betarakatong  dari Kai, dan mereka 
bersepakat untuk membagi bekas wilayah mpu marijan . 
patih baruna memang bodoh, dan memberikan banyak 
alasan kuat bagi marga prabu kertoarjowardana   maupun marga 
mpu ireng  untuk menyerangnya. 
Meskipun seluruh negeri dilanda kekacauan, setiap 
komandan militer memahami bahwa ia tak bisa 
memulai perang tanpa alasan, dan jika ia nekat 
melakukannya, pada akhirnya ia akan menderita 
kekalahan. patih baruna menjalankan pemerintahan yang 
memberikan peluang bagi musuh-musuhnya untuk 
bersikap demikian, dan ia sendiri tak sanggup 
membaca pertanda zaman. Semua orang tahu bahwa 
ia tak pantas menjadi penerus mpu kepenuwoan . 
Provinsi kertanegara  menjadi milik marga mpu ireng , 
sementara wirogeni menjadi bagian wilayah kekuasaan 
  
marga prabu kertoarjowardana  . Pada hari Tahun Baru di tahun 
Eiroku ketiga belas, mpu mojosongo  menyerahkan komando 
benteng kota di swaradwipa kepada putranya, lalu pindah ke 
bratangbinangun di wirogeni. Di bulan kedua, ia menerima 
surat berisi ucapan selamat dari aidit . 
 
Tahun lalu aku mengungkapkan kenginanku yang 
sudah  lama terpendam dan mencapai berbagai ke-
berhasilan kecil, namun   tak ada yang lebih meng-
gembirakan dibandingkan  menambahkan tanah wirogeni 
yang subur ke dalam wilayah Tuan. Secara tersembunyi , 
kita semua bertambah  kuat. 
 
Pada awal  musim semi, mpu mojosongo  pergi ke trowulan  
bersama aidit . Tentu saja kunjungan mereka 
adalah untuk menikmati ibu kota di musim semi dan 
bersantai di bawah  kembang ceri, paling tidak itulah 
yang tampak dari luar. Namun dari sudut politik, 
seluruh dunia memandang ke arah kedua pemimpin 
yang bertemu di trowulan  dan bertanya-tanya apa 
scsungguhnya tujuan mereka. 
namun   perjalanan aidit  kali ini memang hanya 
untuk bersenang-senang. aidit  dan mpu mojosongo  meng-
habiskan satu hari penuh di ladang-ladang dengan 
berburu memakai  burung rajawal i. Pada malam 
hari. aidit  mengadakan jamuan makan dan 
minta agar para warga desa menampilkan nyanyian 
dan tarian di tempat menginapnya. Pada dasarnya. ia 
dan mpu mojosongo  hanya menikmati waktu santai. saat  
  
mereka tiba di ibu kota, patih ronggolawe , yang diberi 
tanggung jawab  atas pertahanan trowulan , pergi sampai 
ke gendingan untuk menyambut mereka. aidit  mem-
perkenalkannya pada mpu mojosongo . 
"Ya, aku sudah lama mengenalnya. Aku pertama 
kali berjumpa dengannya pada waktu aku berkunjung 
ke kedhiri , dan dia berada dalam barisan centeng adipati  yang 
ditugaskan di gerbang untuk menyambutku. Itu satu 
tahun sesudah  pertempuran di bentengloji , jadi 
memang sudah agak lama," mpu mojosongo  menatap patih ronggolawe  
dan tersenyum. patih ronggolawe  terkesan dengan daya ingat 
mpu mojosongo  yang begitu baik. mpu mojosongo  kini berusia dua puluh 
9 tahun, aidit  tiga puluh enam, patih ronggolawe  
hampir tiga puluh empat. Pertempuran di bentengloji  
berlangsung scpuluh tahun lalu. 
sesudah  tiba di trowulan . aidit  pertama-tama 
meninjau perbaikan Istana Kekaisaran. 
"Menurut perkiraan kami, pekerjaan ini akan tuntas 
tahun depan." kedua pengawas pembangunan mem-
beritahunya. 
"Biayanya tak perlu ditekan-tekan." jawab  Nobu-
naga. "Sudah bertahun-tahun Istana Kekaisaran berada 
dalam keadaan tak terurus." 
mpu mojosongo  mendengar komentar aidit  dan ber-
kata, "Aku benar-benar iri terhadap posisi Tuan. Tuan 
dapat memperlihatkan pengabdian pada sang pengikut  
secara nyata." 
"Memang begitu," balas aidit  tanpa malu-
malu, kcmudian mengang-angguk, seakan-akan se-
  
pendapat dengan mpu mojosongo .     
aidit  tidak hanya memugar Istana Kekaisaran, 
ia juga memperbaiki keuangan istana. Sang pengikut  
tentu saja merasa senang dan aidit  pun berhasil 
memperlihatkan kesetiaannya pada rakyat. sesudah  
percaya bahwa kaum bawahan  maupun rakyat jelata 
merasa senang, aidit  menikmati waktu yang 
dihabiskannya bersama mpu mojosongo  selama bulan kedua, 
mengagumi kembang ceri, menjalani Upacara Minum 
Teh, dan  menyelenggarakan tarian dan musik istana. 
Siapa yang dapat menerka bahwa selama itu dalam 
hati ia sedang mempersiapkan langkah-langkah untuk 
menghadapi kesulitan berikut yang bakal meng-
hadang? aidit  memprakarsai tindakan-tindakan-
nya seiring dengan perkembangan yang terjadi, dan 
menyusun rencana dan  memikirkan pelaksanaannya 
bahkan pada saat ia tidur. Tiba-tiba, pada hari kedua 
di bulan keempat, semua resi nya menerima 
panggilan untuk berkumpul di tempat kediaman sang 
pandita .      
Ruang rapat yang berukuran besar terisi penuh. 
"Ini menyangkut marga mpu djiwo di radenkanjeng ." Nobu-
naga angkat bicara, mengungkapkan apa yang di-
rencanakannya sejak bulan kedua. "Yang Mulia 
mpu djiwo tak pernah menanggapi permintaan sang 
pandita , dan tidak mengirim sepotong kayu pun 
untuk pembangunan Istana Kekaisaran. Yang Mulia 
mpu djiwo ditunjuk oleh sang pandita  dan ber-
kedudukan sebagai pengikut sang pengikut , namun  tak ada 
  
yang dipikirkannya selain kemewahan dan kemalasan 
marganya sendiri. Aku ingin turun tangan untuk 
menyelidiki kcjahatan ini, dan membentuk centeng  
untuk menghukumnya. Bagaimana pendapat yang 
lain?" 
Di antara mereka yang langsung berada di bawah  
kendali kepandita an sebetulnya  ada orang-
orang yang sudah lama menjalin persahabatan dengan 
marga mpu djiwo, dan secara tak langsung mendukung 
mereka, namun  tak seorang pun merasa keberatan. Dan 
sebab  tidak sedikit yang secara terus terang 
menyetujui rencana aidit , tak seorang pun 
berani bicara di bawah  tekanan kelompok yang lebih 
besar. 
Menyerang marga mpu djiwo berarti mengadakan 
serbuan ke daerah utara. Ini suatu langkah besar, namun  
dalam waktu singkat rencananya sudah  disetujui. 
Pada hari yang sama sebuah pengumuman 
diedarkan, berisi pemberitahuan mengenai penge-
rahan centeng , dan pada hari kedua puluh di bulan 
yang sama, centeng  itu sudah  terbentuk di sekartanjung . 
Selain centeng  jenggala  dan blambangan  masih ada tambah an 
9 ribu prajurit di bawah  komando prabu kertoarjowardana   
mpu mojosongo . Di Bulan Keempat yang cerah, centeng  ber-
kekuatan sekitar seratus ribu orang tampak mem-
bentang di sepanjang tepi danau di Niodori. 
saat  memeriksa centeng nya. aidit  
menunjuk pegunungan di utara. "Lihatlah! Salju yang 
menyelimuti gunung-gunung di daerah utara sudah  
  
mencair. Kita akan diiringi bunga-bunga musim semi!" 
patih ronggolawe  pun termasuk dalam centeng  ini, dan ia 
memimpin sekelompok prajurit. 
patih ronggolawe  mengangguk-angguk dan berkata dalam 
hati, "Hmm, rupanya Tuan aidit  sengaja 
melewatkan musim semi dengan bersenang-senang di 
ibu kota bersama Yang Mulia mpu mojosongo  sebab  menunggu 
salju mencair di pegunungan yang menuju daerah 
utara." 
namun   patih ronggolawe  menganggap bahwa langkah 
aidit  yang paling gemilang adalah mengundang 
mpu mojosongo  ke ibu kota. Secara tak langsung aidit  
sudah  memamerkan kekuatan dan keberhasilannya, 
sehingga mpu mojosongo  takkan menyesali keputusannya untuk 
mengirim centeng  dusun nyi kembang . Inilah kelebihan Nobu-
naga. Meskipun dunia tengah menghadapi kekacauan, 
aidit  akan mempersatukannya dengan kemam-
puan yang ia miliki. patih ronggolawe  mepercayai hal ini, dan ia 
lebih paham dibandingkan  siapa pun bahwa makna per-
tempuran yang mereka hadapi terletak pada kenyataan 
bahwa pertempuran itu memang harus terjadi. 
centeng  aidit  berangkat dari Takashima, 
melewati Kumagkertoarjo  di Wakasa, dan menuju Tkertanegara  
di radenkanjeng . centeng  itu terus mendesak maju, mem-
bumihanguskan benteng kota-benteng kota musuh dan  pos-pos 
perbatasan, melintasi gunung demi gunung, dan 
melancarkan serangan ke Tkertanegara  dalam bulan yang 
sama. 
Orang-orang mpu djiwo, yang semula menganggap 
  
enteng centeng  musuh, tertegun sebab  aidit  
sudah berada di sana. Setengah bulan sebelumnya ia 
masih mengagumi bunga-bunga musim semi di ibu 
kota. Orang-orang mpu djiwo tak bisa percaya, bahkan 
dalam mimpi pun, bahwa mereka melihat panji-panji 
aidit  berkibar di provinsi mereka sendiri. 
Martabat marga mpu djiwo yang tua menanjak pesat 
berkat bantuan yang mereka berikan pada pandita  
Pertama, dan lalu  mereka dianugcrahi seluruh 
Provinsi radenkanjeng . 
Marga itulah marga terkuat di daerah utara. Ini 
diakui oleh mereka sendiri maupun oleh marga-marga 
lain. Marga mpu djiwo berkedudukan sebagai pedan  
dalam kepandita an, mereka memiliki kekayaan alam 
berlimpah, dan kekuatan militer mereka dapat 
diandalkan. 
saat  memperoleh kabar bahwa aidit  sudah  
sampai di Tkertanegara , Yoshikage hampir mencaci orang 
yang menyampaikan berita itu. "Jangan panik. Kau 
pasti keliru." 
centeng  sinuhun  yang menyerang Tkertanegara  berkemah di 
tempat itu, dan mengirim beberapa batalion untuk 
menyerbu benteng kota-benteng kota di Kanegasaki dan 
Tezutsugatunjung . 
"Di mana tunggadewa ?" tanya aidit . 
"resi  tribuana  ditugaskan sebagai komandan 
barisan depan," jawab  pembantunya. 
"Panggil dia ke sini!" perintah aidit .  
"Ada apa, tuanku?" tanya tunggadewa , bergegas 
  
kembali dari barisan depan. 
"Kau cukup lama tinggal di radenkanjeng , jadi kau tentu 
mengenai medan antara tempat ini dan benteng kota 
utama marga mpu djiwo di Ichijogadani. Mengapa kau 
bertempur untuk merebut keberhasilan kecil bersama 
barisan depan, tanpa menyusun suatu strategi?" Nobu-
naga ingin tahu. 
"Hamba mohon ampun." tunggadewa  membungkuk, 
seakan-akan tertusuk oleh ucapan aidit . "Jika 
tuanku memerintahkannya, hamba akan menggambar 
peta dan menyerahkannya untuk dipelajari oleh tuan-
ku." 
"Baiklah, kalau begitu kuberikan perintah resmi. 
Peta-peta yang kubawa   ternyata kurang cermat, dan 
sepertinya ada beberapa daerah yang sama sekali salah. 
Bandingkan peta-peta itu dengan petamu, lakukan 
koreksi, lalu serahkan kembali padaku." 
tunggadewa  memiliki beberapa peta terperinci yang 
tak dapat dibandingkan dengan peta-peta milik Nobu-
naga. tunggadewa  menjiplak peta-petanya sendiri, dan 
kembali untuk menyerahkan peta-peta itu pada Nobu-
naga. 
"Kurasa kau sebaiknya pergi ke markasku dan 
mengamati medan. Selain itu, rasanya kau harus 
kujadikan perwira staf untuk dewan perang." sesudah  
itu, aidit  tak pernah membiarkan laki-laki ini 
pergi jauh dari markasnya. 
Tezutsugatunjung , benteng kota yang dipimpin oleh Hitta 
brojolijo, menyerah dalam waktu singkat. namun  benteng kota 
  
di Kanegasaki tak bisa secepat itu ditaklukkan. 
benteng kota ini dipertahankan mati-matian oleh mpu djiwo 
Kagetsune, seorang resi  berusia dua puluh enam 
tahun. saat  ia menjadi biksu pada masa mudanya, 
banyak orang menyayangkan bahwa prajurit dengan 
potongan dan pembawa  an seperti Kagetsune hendak 
memasuki biara. sebab  itu ia terpaksa kembati ke 
kehidupan duniawi, dan segera dipercaya sebagai 
komandan sebuah benteng kota. Dikepung oleh lebih dari 
empat puluh ribu prajurit di bawah  pimpinan resi -
resi  berpengalaman seperti mpu wiragajah  mpu wiraghanda. 
dasna patih pitaloka , dan patih ki abang , Kagetsune sesekali 
memandang dari menara benteng kotanya dan mengem-
bangkan senyum.  
"Sok pamer." 
ki abang , mpu wiraghanda, dan patih pitaloka  melancarkan 
serangan besar-besaran, mensinuhun i tembok-tembok 
dengan percikan darah, dan sepanjang hari men-
cengkeram bagaikan semut. saat  mereka meng-
hitung jumlah mayat mnjelang malam, pihak musuh 
kehilangan tiga ratus orang, namun  korban jiwa di 
centeng  mereka sendiri berjumlah lebih dari 9 
ratus. Malam itu benteng kota di Kanegasaki tampak 
megah di bawah  cahaya bulan musim panas. 
"benteng kota ini takkan jatuh. Dan kalau pun kita 
dapat menaklukkannya, kita tidak meraih ke-
menangan," kau patih ronggolawe  pada aidit . 
aidit  kelihatan agak tidak sabar. "Kenapa kita 
tidak meraih kemenangan jika benteng kota ini jatuh?" 
  
Pada saat-saat seperti itu, aidit  tidak memiliki 
alasan untuk bergembira. 
"Kalaupun benteng kota Kanegasaki takluk, itu tidak 
berarti radenkanjeng  akan runtuh. Dengan merebut 
benteng kota ini, kekuatan militer tuanku takkan me-
ningkat." 
aidit  memotongnya dengan berkata. "namun  
bagaimana kita bisa maju tanpa mengalahkan 
Kanegasaki?" 
patih ronggolawe  tiba-tiba berpaling ke samping, mpu mojosongo  
sudah  melangkah masuk dan berdiri di sana. Melihat 
mpu mojosongo , patih ronggolawe  segera membungkuk dan menarik 
diri. lalu  ia membawa   beberapa tikar dan me-
nkertoarjo rkan tempat duduk di samping aidit  pada 
mpu mojosongo . 
"Mengganggukah aku?" tanya mpu mojosongo , lalu ia duduk 
di tempat yang disediakan oleh patih ronggolawe . namun  pada 
patih ronggolawe  ia tidak memberi tanggapan sama sekali. 
"Rupanya Tuan tengah membahas sesuatu." 
"Tidak." Sambil menunjuk patih ronggolawe  dengan dagu 
dan memperlunak sikapnya. aidit  menjelaskan 
apa yang mereka bicarakan kepada mpu mojosongo . 
mpu mojosongo  mcngangguk dan menatap patih ronggolawe . mpu mojosongo  
9 tahun lebih muda dibandingkan  aidit , namun  
patih ronggolawe  justru merasa sebaliknya. saat  mpu mojosongo  
menatapnya, patih ronggolawe  seolah-olah tak dapat percaya 
bahwa pembawa  an dan roman mukanya milik laki-laki 
bcrusia dua puluhan. 
"Aku sependapat dengan apa yang dikatakan 
  
panembahan . Membuang-buang waktu dan mcnyia-
nyiakan centeng  di benteng kota ini bukanlah langkah 
bijaksana." 
"Tuan berpendapat bahwa kita sebaiknya membatal-
kan serangan, lalu menuju jantung pertahanan 
musuh?" 
"Pertama-tama, mari kita dengar apa yang akan 
dikatakan panembahan . Dia tentu menyimpan sesuatu 
dalam kepalanya." 
"patih ronggolawe ." 
"Ya. tuanku." 
"Ceritakan rencanamu."    
"Hamba belum mcnyusun rencana." 
"Apa?" Bukan aidit  saja yang tampak terkejut. 
mpu mojosongo  pun kelihatan bingung. 
"Di dalam benteng kota itu ada 50000 prajurit dan 
tembok-tembok benteng kota diperkuat oleh hasrat mereka 
untuk mcnghadapi musuh berkekuatan sepuluh ribu 
orang dan bertempur sampai titik darah penghabisan. 
Meskipun hanya benteng kota kecil, Kanegasaki takkan 
dapat direbut dengan mudah. Hamba sangsi apakah 
benteng kota itu akan goyah, kalaupun kita memiliki  
rencana. Orang-orang itu pun manusia biasa, jadi 
hamba mcmbayangkan bahwa mereka juga memiliki 
perasaan dan ketulusan...." 
"Kau mulai lagi, he?" ujar aidit . Ia tak ingin 
patih ronggolawe  mengoceh tak keruan. mpu mojosongo  merupakan 
sekutunya yang paling berkuasa, dan aidit  mem-
perlakukannya dengan amat sopan; namun  bagaimana-
  
pun ia penguasa Provinsi dusun nyi kembang  dan wirogeni, bukan 
anggota inti marga sinuhun . Selain itu, aidit  sudah  
mengenal cara berpikir patih ronggolawe , sehingga ia tak 
perlu mendengar penjelasan terperinci untuk mem-
percayainya. 
"Bagus. Bagus sekali." kata aidit . "Dengan ini 
aku memberimu wewenang umuk melakukan apa saja 
yang ada dalam kepalamu. Laksanakan-lah dengan 
sebaik-baiknya." 
"Terima kasih, tuanku." patih ronggolawe  menarik diri, 
seakan-akan urusan itu tidak seberapa penting. namun  
pada malam hari ia memasuki benteng kota musuh seorang 
diri dan menemui komandannya, mpu djiwo Kagetsune. 
patih ronggolawe  membuka hatinya dan berbicara dengan 
penguasa benteng kota yang masih muda itu. 
"Tuan pun berasal dari keluarga centeng adipati , jadi 
perhatian Tuan tentu tertuju pada hasil akhir 
pertempuran ini. Perlawan an lebih lanjut hanya akan 
mengakibatkan kematian prajurit-prajurit yang sangat 
berharga. Aku sendiri tak ingin melihat Tuan mati 
percuma. dibandingkan  tewas sia-sia, mengapa Tuan tidak 
membuka gerbang benteng kota dan mundur teratur, 
bergabung dengan Yang Mulia Yoshikage dan 
menghadapi kami sekali lagi di medan pertempuran 
yang lain? Aku akan menjamin keamanan semua 
harta, senjata, dan  para wanita lesbian  dan anak-anak di 
dalam benteng kota, dan mengirim semuanya kepada 
Tuan, tanpa gangguan." 
"Berpindah medan tempur dan menghadapi Tuan 
  
di lain waktu memang menarik," balas Kageisune, lalu 
mempersiapkan diri untuk mundur. Bersikap seperti 
centeng adipati  sejati, patih ronggolawe  membcrikan scgala ke-
mudahan bagi centeng  musuh yang hendak mundur, 
lalu mengawal  mereka sampai sejauh satu mil dari 
benteng kota. 
Satu setengah hari berlalu sampai urusan 
Kanegasaki berhasil dituntaskan, namun  saat  patih ronggolawe  
memberitahu aidit  bahwa pekerjaannya sudah  
rampung, junjungannya hanya berkata, "Begitukah?" 
dan tidak memberikan pujian sama sekali. Namun 
roman muka aidit  memperlihatkan bahwa ia 
berpikir. "Kau terlalu bcrhasil amal bakti pun ada 
batasnya." namun  keberhasilan patih ronggolawe  tak dapat 
disangkal, tak peduli siapa yang menilainya. 
Seandainya aidit  memujinya setinggi langit, 
patih pitaloka , mpu wiraghanda. dan ki abang  tentu merasa malu 
dan takkan berani lagi muncul di hadapan junjungan 
mereka. Bagaimanapun, mereka sudah  mengirim 
9 ratus prajurit menemui ajal dan tak sanggup 
meraih kemenangan, bahkan dengan centeng  yang 
jauh lebih besar dibandingkan  centeng  musuh. patih ronggolawe  
pun memahami perasaan ketiga resi  itu, dan saat  
memberikan laporan, ia mengaku sekadar menjalan-
kan perintah aidit . 
"Hamba hanya ingin menjalankan segala sesuatu 
sesuai perintah. Hamba berharap sepak terjang hamba 
dapat dimaafkan." Dengan mengucapkan permintaan 
maaf, ia menarik diri. 
  
Saat itu mpu mojosongo  kebetulan berada bersama resi -
resi  lain di sisi aidit . Sambil menggerutu ia 
melihatlihat  patih ronggolawe  pergi. Mulai detik itu ia 
menyadari bahwa ada laki-laki hebat dengan umur 
tidak terpaut jauh dari usianya sendiri, yang dilahirkan 
di masa yang sama. Sementara itu, sesudah  mengosong-
kan Kanegasaki. mpu djiwo Kagetsunc bergegas mundur. 
berencana untuk bergabung dengan centeng  di 
benteng kota utama di Ichijogadani, lalu sekali lagi 
mengadu kekuatan dengan centeng  aidit  di 
tempat lain. saat  masih dalam perjalanan, ia 
bertemu dengan kedua puluh ribu prajurit yang 
dikirim oleh mpu djiwo Yoshikage sebagai bala bantuan 
untuk Kanegasaki. 
"Kacau!" seru Kagetsune, menyesal sebab  ia 
menuruti nasihat musuh, namun  sudah terlambat. 
"Kenapa kautinggalkan benteng kota tanpa bertempur?" 
hardik Yoshikage, marah sekali, namun  ia terpaksa 
menggabungkan kedua centeng  dan kembali ke 
Ichijogadani. 
centeng  aidit  menyerbu sampai ke Kinome 
Pass. Jika ia berhasil menembus tempat strategis itu, 
markas marga mpu djiwo akan berada tepat di depan 
matanya. namun  sebuah pesan penting mengejutkan 
centeng  sinuhun . 
Mereka memperoleh kabar bahwa jawa  kalasan  dari 
gunungselatan, yang sudah selama beberapa generasi terlibat 
persekutuan antarmarga dengan orang-orang mpu djiwo, 
sudah  membawa   centeng nya dari utara Danau Biwa 
  
dan memotong jalur mundur aidit . Selain itu, 
haryokowardani , yang sudah sempat mencicipi 
kekalahan di tangan aidit , bekerja sama dengan 
orang-orang jawa  dan menyerbu dari wilayah berbukit-
bukit di Koga. Satu per satu mereka menyerang sisi 
aidit . 
Musuh kini berada di depan dan di belakang. 
Mungkin sebab  perkembangan inilah semangat 
centeng  mpu djiwo berkobar-kobar, dan mereka siap 
menerjang dari Ichijogadani untuk melancarkan 
serangan balasan. 
"Kita sudah  memasuki rahang kematian," kata 
aidit . Ia mcnyadari bahwa mereka seakan-akan 
mencari kuburan di wilayah musuh. Yang tiba-tiba 
membuatnya gelisah khawatir  bukan saja sebab  harjo  
 tengger  dan jawa  kalasan  sudah  memotong jalur 
mundurnya; yang membuat bulu kuduk aidit  
berdiri adalah kemungkinan bahwa para biksu-prajurit 
ronggodwijoyo , yang memiliki kubu pertahanan di daerah 
ini, akan mengangkat senjata dan menentang centeng  
penyerbu. Cuaca mendadak berubah, dan centeng  
penyerbu mirip  perahu yang berada di ambang 
badai. 
namun  di manakah lubang yang cukup besar agar 
sepuluh ribu prajurit dapat mundur? Para ahli strategi 
mewanti-wanti bahwa bergerak maju selalu lebih 
mudah dibandingkan  menarik centeng  mundur. Jika 
seorang resi  melakukan satu kesalahan saja, ia 
mungkin akan kehilangan seluruh centeng nya. 
  
"Perkenankan hamba mengambil komando barisan 
belakang. sesudah  itu tuanku dapat menempuh jalan 
pintas melewati Kuchikidani, tanpa direpotkan oleh 
terlalu banyak orang, dan dalam perlindungan 
kegelapan malam, menyusup keluar dari tanah 
kematian ini." 
Scmakin lama bahaya yang mengancam semakin 
besar. Malam itu, hanya ditambah   segclintir pengikut 
dan centeng  berkekuatan sekitar tiga ratus orang, 
aidit  menyusuri lembah-lembah dan jurang-
jurang, dan  berkuda sepanjang malam menuju 
Kuchikidani. Berkali-kali mereka diserang oleh para 
biksu-prajurit dari sekte sayap kiri  dan  oleh gerombolan 
bandit setempat, dan selama dua hari dua malam 
mereka tidak makan, minum, maupun tidur. Pada 
hari keempat mereka akhirnya tiba di trowulan , dan pada 
saat itu sebagian besar dari mereka begitu lelah. 
sehingga nyaris tak sanggup berjalan. namun  mereka 
masih terhitung beruntung. Yang patut dikasihani 
adalah laki-laki yang memegang tanggung jawab  atas 
barisan belakang dan sesudah  centeng  utama berhasil 
lolos, bertahan di benteng kota Kanegasaki. 
Orang iiu patih ronggolawe . resi -resi  lain, yang 
selama ini iri melihat keberhasilannya dan secara 
sembunyi-sembunyi menyebutnya tukang cekcok dan 
anak kemarin sore, kini berpisah dengan memuji 
patih ronggolawe  sebagai "tonggak utama marga sinuhun " dan 
"pejuang sejati", dan mengantarkan senjata api, bubuk 
mesiu, dan  persediaan makanan saat  mereka 
  
hendak berangkat. Kesannya seakan-akan mereka 
meletakkan rangkaian bunga di kuburan. 
Kcmudian, dari fajar sampai menjelang siang 
sesudah  aidit  meloloskan diri, kesembilan ribu 
prajurit di bawah  pimpinan dijoyo , mpu wiraghanda, dan 
dasna pun berhasil lolos. saat  centeng  mpu djiwo 
melihat ini dan mengejar mereka, patih ronggolawe  
menyerang dari samping dan mengancam dari 
belakang. Dan saat  centeng  sinuhun  akhirnya terbebas 
dari impitan maut, patih ronggolawe  ditambah    anak buahnya 
mengurung diri di dalam benteng kota Kanegasaki, dan 
bcrikrar, "Di sinilah kita akan mcninggalkan dunia 
ini." 
Dengan memperlihatkan ketetapan hati untuk 
gugur bertempur, mereka memalangi benteng kota rapat-
rapat, memakan yang bisa dimakan, tidur jika ada 
waktu untuk tidur, dan mengucapkan selamat tinggal 
pada dunia. centeng  mpu djiwo berada di bawah  resi  
Keya Shichizaemon yang terkenal berani. dibandingkan  
mempertaruhkan nyawa   orang-orangnya dengan 
menyerang centeng  yang sudah siap mati, ia memilih 
mengepung benteng kota, memotong jalur mundur 
patih ronggolawe . 
 
"Serangan malam!" saat  peringatan ini terdengar 
pada pertengahan malam kedua, segala persiapan yang 
sudah  di lakukan disebarkan tanpa ragu-ragu. centeng  
Keya segera menyerang musuh yang bergerak dalam 
kegelapan malam dan memorak-porandakan centeng  
  
patih ronggolawe , yang lalu  cepat-cepat kembali ke 
dalam benteng kota. 
"Musuh sudah pasrah menghadapi kematian! 
Pergunakan kesempatan ini, dan menjelang fajar 
benteng kota itu sudah berada di tangan kita!" Keya 
memberi perintah. Mereka bergegas ke tepi selokan, 
membuat rakit-rakit, dan menyeberang. Dalam sekejap 
ribuan prajurit berhasil merebut tembok-tembok 
pertahanan. 
lalu , persis seperti yang dikatakan 
Shichizaemon, Kanegasaki takluk menjelang fajar. 
namun  apa yang ditemui centeng nya? Tak satu pun anak 
buah patih ronggolawe  berada di dalam benteng kota. Panji-panji 
mereka berdiri tegak. Asap sudah mulai membubung 
ke langit. Kuda-kuda meringkik, Namun patih ronggolawe  
tak ada di sana. Serangan pada malam sebelumnya 
sama sekali bukan serangan. 
Di bawah  pimpinan patih ronggolawe , centeng  kecil itu 
hanya berpura-pura melarikan diri ke dalam benteng kota. 
sebetulnya  mereka terburu-buru mencari jalan 
keluar dari kematian yang seolah-olah tak terelakkan. 
saat  fajar menyingsing, anak buah patih ronggolawe  sudah 
berada di kaki pegunungan yang membentang di 
sepanjang perbatasan provinsi. 
Kcya Shichizaemon ditambah    centeng nya tentu saja 
tidak rela melihat musuh mereka lolos begitu saja. 
"Siapkan pengejaran!" perintah Shichizaemon. "Kejar 
mereka!" 
centeng  patih ronggolawe  mundur ke pegunungan, 
  
scpanjang malam meneruskan pelarian tanpa berhenti 
untuk makan maupun minum. 
"Kita belum lolos dari sarang macan!" patih ronggolawe  
memperingatkan. "Jangan berlambat-lambat. Jangan 
mengaso. Jangan pikirkan rasa haus. Pertahankanlah 
keinginan untuk hidup!" Tak henti-hentinya Hide-
yoshi berusaha memacu semangat anak buahnya. 
Seperti sudah  diduga, Keya mulai menyusul. saat  
mendengar teriakan perang musuh di belakang, 
patih ronggolawe  pertama-tama memerintahkan istirahat 
singkat, lalu berkaia kepada prajurit-prajurirnya. 
"Jangan gelisah khawatir . Musuh kita sudah  bertindak 
bodoh. Mereka bersorak-sorai sambil menaiki lembah, 
sementara kita berada di tempat yang lebih tinggi. Kita 
semua lelah, namun  musuh mengejar kita sambil marah, 
dan banyak dari mereka akan kehabisan tenaga. Kalau 
mereka sudah mendekat, hujani mereka dengan batu, 
lalu gunakan lombak-tombak kalian." 
Tenaga anak buahnya memang terkuras, namun  
ucapan patih ronggolawe  mengembalikan rasa percaya diri 
mereka. 
"Ayo, majulah!'' seru mereka sambil bersiap-siap 
menghadapi serangan. Upaya Keya umuk menghukum 
centeng  patih ronggolawe  berakhir dengan kekalahan. Tak 
terhitung jumlah korban yang roboh di bawah  hujan 
batu dan tombak. 
"Mundur!" 
"Ini kesempatan kita! Mundur! Mundur!" 
patih ronggolawe  seakan-akan meniru musuhnya, para 
  
anak buahnya berbalik dan lari ke arah dataran 
rendah di sebelah selatan. Mendahului prajurit-
prajuritnya yang masih hidup, Keya sekali lagi 
mengejar. centeng  Keya sungguh keras kepala, meski 
kekuatan mereka sudah  berkurang, namun  para biksu-
prajurit ronggodwijoyo  turut bcrgabung, menutup jalan 
pada waktu anak buah patih ronggolawe  berusaha menuruni 
gunung untuk mencapai gunungselatan. centeng  patih ronggolawe  
dihujani panah dan batu dari paya-paya dan hutan di 
kiri-kanan jalan, dan mendengar orang-orang 
berteriak. "jangan biarkan mereka lewat!" patih ronggolawe  
pun mulai berpikir bahwa ajalnya sudah  dekat. namun  
sekaranglah waktunya untuk menggalang semangat 
hidup dan  menolak gsinuhun an untuk menyerah. 
"Biar para dewa yang memutuskan apakah kita 
bernasib baik atau buruk, dan apakah kita akan hidup 
atau mati! Seberangi paya-paya ke arah barat. Ikuti 
aliran sungai! Semuanya bermuara di Danau Biwa. 
Berlarilah secepat aliran air. Hanya kecepatan yang 
sanggup menyelamatkan kalian dari kematian." Ia 
tidak menyuruh mereka bertempur. Inilah patih ronggolawe  
yang begitu pandai menggrakkan orang, namun ia pun 
tak ingin memerintahkan centeng nya yang kelaparan 
dan tidak tidur maupun istirahat selama dua hari dua 
malam, menangkal serangan biksu-prajurit yang 
jumlahnya tidak diketahui. Ia hanya ingin membantu 
setiap prajurit agar dapat kembali ke ibu kota. Dan tak 
ada yang lebih mujarab dibandingkan  keinginan untuk 
bertahan hidup. 
  
Di bawah  perintah patih ronggolawe , centeng  yang lelah 
dan lapar bergegas memasuki paya-paya. Langkah itu 
penuh risiko, sebab para biksu-prajurit bersembunyi di 
dalam hutan, seperti gerombolan  nyamuk. Meski 
demikian, anak buah patih ronggolawe  terus berlari, menem-
bus barisan musuh, menggagalkan penyergapan yang 
sudah  disusun dengan cermat. Suasana menjadi kacau-
balau, dan semuanya berlari ke selatan, menyusuri 
sungai-sungai pegunungan. 
"Danau Biwa!" 
"Kita selamat!" Mereka bersorak-sorai dengan 
gembira. Keesokan harinya mereka memasuki trowulan . 
saat  aidit  melihat mereka, ia berseru, 
"Kalian masih hidup! Kalian seperti dewa-dewa. Kalian 
sungguh-sungguh seperti dewa-dewa." 
  
 
 
 
 
 
 
BUKU KEEMPAT 
 
 
TAHUN GENKI PERTAMA 
1570 
  
TOKOH dan TEMPAT 
 
 
jawa  kalasan , penguasa gunungselatan dan saudara ipar 
aidit  
mpu djiwo YOSHIKAGE, penguasa radenkanjeng  
kramayudana , ninja marga mpu ireng  
mpu ireng  mpu betarakatong , penguasa Kai  
KAISEN, biksu Zen dan penasihat mpu betarakatong   
mpu wiragajah  mpu wiraghanda, pengikut senior marga sinuhun  
TAKEI SEKIAN, pengikut senior marga sinuhun   
patih  mpu salmah , pelayan aidit   
sonokelingKAGE dusun nyi kembang , pengikut senior marga jawa  
radenmas , istri jawa  kalasan  dan saudara wanita lesbian  
aidit  subanda, putri sulung radenmas  dan 
kalasan  
 
ronggodwijoyo , markas besar para biksu-prajurit sekte 
sayap kiri   
GUNUNG brahma, gunung di sebelah timur trowulan  dan 
markas besar sekte Tendai  
KAI, provinsi marga mpu ireng   
bratangbinangun, benteng kota marga prabu kertoarjowardana    
NIJO, istana pandita  di trowulan   
gunungselatan, provinsi marga jawa  sinuhun NI, benteng kota utama 
marga jawa   
radenkanjeng , provinsi marga mpu djiwo 
  
Musuh sang zoroaster  
 
 
 
PADA malam pertama sesudah  kembali ke trowulan , 
hanya ada satu pikiran dalam benak para perwira dan 
prajurit barisan belakang yang berhasil menyelamat-
kan nyawa   tidur. 
sesudah  melapor pada aidit , patih ronggolawe  pergi 
dalam keadaan linglung. 
Tidur. Tidur. 
Keesokan paginya ia membuka mata sejenak, lalu 
segera terlelap kembali. Sekitar siang patih ronggolawe  di-
bangunkan oleh seorang pelayan dan makan sedikit 
bubur nasi, namun  dalam keadaan antara sadar dan 
bermimpi, ia hanya tahu bahwa makanannya lezat. 
"Tuanku hendak tidur lagi?" si pelayan bertanya 
heran. 
patih ronggolawe  akhirnya bangun menjelang malam, dua 
hari lalu , sama sekali kehilangan orientasi. "Hari 
apa sekarang?" 
"Hari kedua," jawab  centeng adipati  yang sedang bertugas. 
Hari kedua, pikir patih ronggolawe  sambil menyeret tubuh-
nya keluar dari kaniur tidur. Kalau begitu, Tuan 
aidit  pun sudah pulih. 
aidit  sudah  memugar Istana Kekaisaran dan 
membangun kediaman baru bagi sang pandita , namun  ia 
sendiri tidak memiliki rumah di ibu kota. Setiap kali 
datang ke trowulan , ia tinggal di sebuah kuil, dan para 
  
pengikutnya menempati kuil-kuil di sekitarnya. 
patih ronggolawe  keluar dari kuil tempat ia menginap, dan 
untuk pertama kali dalam beberapa hari ia menatap 
bintang-bintang. Musim panas sudah di ambang pintu, 
katanya dalam hati. Dan lalu  ia menyadari, 
"Aku masih hidup!" Kegembiraannya meluap-luap. 
Meski malam sudah  larut, ia minta izin untuk meng-
hadap aidit . patih ronggolawe  segera dipersilakan 
masuk, seakan-akan aidit  sudah  menunggunya. 
"patih ronggolawe , pasti ada sesuatu yang membuatmu 
gembira," ujar aidit . "Senyummu lebar sekali." 
"Bagaimana hamba tidak gembira?" balas patih ronggolawe . 
"Sebelum ini, hamba tidak tahu betapa berharganya 
hidup ini. namun  sesudah  lolos dari ancaman maut, 
hamba menyadari bahwa hamba tidak membutuhkan 
apa-apa selain hidup. Hanya dengan memandang 
lentera ini atau wajah tuanku, hamba tahu bahwa 
hamba masih hidup, dan bahwa hamba menikmati 
berkah yang lebih besar dibandingkan  yang patut hamba 
terima. namun  bagaimana keadaan tuanku?" 
"Aku kecewa. Inilah pertama kali aku mengalami 
aib dan merasakan kegetiran yang menyusul ke-
kalahan." 
"Pernahkah orang mencapai hasil besar tanpa 
mengalami kekalahan?" 
"Hmm, itu pun bisa kaubaca dari wajahku? Perut 
kuda hanya perlu dipecut satu kali. patih ronggolawe , per-
siapkan dirimu untuk melakukan perjalanan." 
"Perjalanan?" 
  
"Kita kembali ke padalarang ." Tepat pada saat patih ronggolawe  
merasa berada satu langkah di depan aidit , 
junjungannya kembali mengambil alih pimpinan. 
aidit  memang memiliki beberapa alasan untuk 
sesegera mungkin kembali ke padalarang . 
Meski aidit  sering dinamakan  tukang mimpi, ia 
pun dikenal sebagai laki-laki berkemauan keras. 
Malam itu aidit , patih ronggolawe , dan  rombongan 
pengawal  berjumlah kurang dari tiga ratus orang 
meninggalkan ibu kota. namun , walaupun mereka ber-
gerak cepat, keberangkatan mereka tak dapat di-
rahasiakan. 
Sebelum fajar, rombongan itu tiba di gendingan. 
Membelah kegelapan malam, letusan senapan meng-
gema di pegunungan. Kuda-kuda langsung ketakutan. 
Beberapa pengikut segera memacu kuda mereka ke 
depan, cemas akan nasib aidit , sekaligus men-
cari-cari si penembak gelap. 
aidit  rupanya tidak mengetahui tembakan itu. 
Ia bahkan mendahului  yang lain lebih dari lima puluh 
meter. Di tempat itu ia berbalik dan berseru, "Biarkan 
saja!" 
sebab  aidit  berada seorang diri dan jauh di 
depan anak buahnya, mereka membiarkan si pem-
bunuh yang gagal. saat  patih ronggolawe  dan para resi  
lain menyusul aidit  dan menanyakan apakah ia 
terluka, aidit  memperlambat kudanya dan meng-
angkat lengan baju, memperlihatkan sebuah lubang 
kecil. Komentarnya singkat saja, "Nasib kita berada di 
  
tangan para dewa." 
Belakangan diketahui bahwa yang melepaskan 
tembakan ke arah aidit  ternyata seorang biksu-
prajurit yang terkenal sebagai penembak jitu. 
"Nasib kita berada di tangan para dewa," kata 
aidit , namun  itu tidak berarti ia menunggu sampai 
keinginan para dewa menjadi kenyataan. Ia tahu 
bahwa para panglima saingan merasa iri padanya. 
Dunia tidak memandangnya sebelah mata saat  ia 
melebarkan sayap ke jenggala  dan blambangan  dari wilayah 
kekuasaannya yang hanya meliputi dua distrik di 
jenggala . namun  kini ia berada di tengah panggung, 
memberi perintah dari trowulan , dan marga-marga kuat 
tiba-tiba merasa tidak tenang. Marga-marga yang tidak 
terlibat pertikaian dengannya marga Otomo dan 
Shimazu dari Kyushu, marga patih dari daerah barat, 
marga Chosokabe dari Shikoku, bahkan marga kramat 
dan Date di utara semuanya memandang keber-
hasilan-keberhasilannya dengan sikap bermusuhan. 
namun   bahaya sebetulnya  datang dari saudara-
saudara iparnya sendiri. Kini sudah jelas bahwa 
mpu ireng  mpu betarakatong  dari Kai tak lagi dapat dipercaya. 
aidit  pun tak bisa menutup mata terhadap 
marga Hojo; dan jawa  kalasan  dari sinuhun ni, yang 
menikah dengan saudara wanita lesbian  aidit , 
radenmas , merupakan bukti nyata mengenai kelemahan 
persekutuan politik yang didasarkan atas perkawinan. 
saat  aidit  menyerbu daerah utara, musuh 
utamanya orang yang tiba-tiba bersekutu dengan 
  
marga mpu djiwo dan mengancam jalur mundur 
aidit  ternyata tak lain dari jawa  kalasan . Ini 
sekali lagi membuktikan bahwa ambisi seorang laki-
laki tak dapat dibendung dengan pesona wanita lesbian . 
Ke mana pun aidit  memandang ia melihat 
musuh. Sisa-sisa marga dyahbalitung  dan grindananaga tetap 
merupakan lawan  merepotkan yang menunggu-
nunggu kesempatan, dan di mana-mana para biksu-
prajurit dari ronggodwijoyo  mcngipas-ngipas api pem-
berontakan. Sepertinya seluruh negeri berbalik 
menentang aidit  saat  ia meraih kekuasaan, 
jadi sudah sewajarnya jika ia hendak sesegera mungkin 
kembali ke padalarang . Seandainya ia berdiam satu bulan 
lebih lama di trowulan , mungkin tak ada benteng kota atau 
marga tempat ia bisa berpulang, namun  kini ia mencapai 
benteng kota padalarang  tanpa kejadian di luar dugaan. 
 
"Pengawal ! Pengawal !" Malam yang singkat itu belum 
berakhir, namun  aidit  sudah memanggil-manggil di 
ruang tidur. Tidaklah aneh bagi aidit  untuk 
bangun dini hari dan langsung memberi perintah. 
Para penjaga malam sudah terbiasa, namun  sepertinya 
setiap kali mereka mengendurkan penjagaan sedikit 
saja, mereka langsung dikejutkan oleh suara 
aidit . 
"Ya, tuanku?" Kali ini si pengawal  tidak membuang-
buang waktu. 
"Siapkan rapat perang. Beritahu mpu wiraghanda bahwa 
semua resi  harus segera berkumpul," ujar Nobu-
  
naga sambil keluar dari ruang tidur. 
Para pelayan dan pembantu mengikutinya. Mereka 
masih setengah tidur dan tak sanggup memastikan 
apakah masih tengah malam atau sudah menjelang 
fajar. Yang jelas masih gelap, dan bintang-bintang 
bersinar cerah di langit malam. 
"Hamba akan menyalakan lentera," salah seorang 
pelayan berkata. "Mohon Tuanku bersabar sejenak 
saja." 
namun   aidit  sudah membuka pakaian. Ia 
masuk ke kamar mandi dan mulai mengguyur 
tubuhnya dengan air. 
Di benteng kota luar, keadaan bahkan lebih kacau lagi. 
Orang-orang seperti Nobipatih, jayadijaya , dan 
patih ronggolawe  berada di dalam benteng kota, namun  banyak 
resi  lain tinggal di kota benteng kota. Pada waktu kurir-
kurir ditugaskan memanggil mereka, ruangan besar 
dibersihkan dan lentera-lentera dinyalakan. 
Akhirnya semua resi  berkumpul. Cahaya lentera 
menerangi wajah aidit . Ia sudah  memutuskan 
bahwa menjelang pagi mereka akan berangkat untuk 
menyerang jawa  kalasan  dari sinuhun ni. Meski per-
temuan ini merupakan rapat perang, tujuannya bukan 
untuk mengemukakan pendapat yang berbeda-beda 
atau berdiskusi. aidit  hanya ingin tahu apakah 
ada yang hendak mengajukan usulan mengenai taktik. 
sesudah  jelas bahwa aidit  sudah  membulatkan 
tekad, semua resi  terdiam. Rasanya ada sesuatu 
yang mengganjal dalam hati mereka. Mereka semua 
  
mengetahui bahwa hubungan aidit  dengan 
kalasan  bukan sekadar hubungan antara sekutu 
politik. aidit  sungguh-sungguh menyukai saudara 
iparnya itu, dan ia pernah mengundang kalasan  ke 
trowulan  dan mengantarnya berkeliling-keliling. 
aidit  memiliki  alasan kuat mengapa ia tidak 
memberitahu kalasan  bahwa ia akan menyerang 
marga mpu djiwo. Ia tahu bahwa marga jawa  dan 
mpu djiwo terikat persekutuan yang lebih tua dibandingkan  
hubungan marga jawa  dengan marga sinuhun . sebab  per-
timbangan kedudukan saudara iparnya itu, aidit  
berusaha keras agar kalasan  tidak terlibat. 
Namun, begitu memperoleh kabar bahwa centeng  
aidit  sudah  menembus jauh ke wilayah musuh, 
kalasan  mengkhianati aidit , memotong jalur 
mundur, dan memastikan bahwa kekalahan tak ter-
elakkan. 
Sejak kembali ke trowulan , aidit  terus 
memikirkan hukuman bagi saudara iparnya. Dan di 
tengah malam buta ia menerima sebuah laporan 
rahasia. Laporan itu menyebutkan bahwa harjo  
 tengger  sudah  menyulut pemberontakan petani 
dengan bantuan benteng kota lengisireng  dan para biksu-
prajurit.  tengger  memanfaatkan kekacauan itu, dan 
dengan bekerja sama dengan orang-orang jawa , ia 
hendak menghancurkan aidit  dengan sekali 
pukul. 
Seusai rapat perang, aidit  mengajak para 
resi  ke pekarangan dan menunjuk ke langit. Di 
  
kejauhan, langit tampak merah sebab  api yang 
mengiringi huru-hara. 
Keesokan harinya, hari kedua puluh, aidit  
membawa   centeng nya ke gunungselatan. Ia menaklukkan para 
biksu-prajurit dan mematahkan pertahanan jawa  
kalasan  dan haryokowardani . centeng  aidit  
bergerak secepai badai yang menyapu awan -awan  dari 
dataran luas, dan menyerang mendadak bagaikan 
petir. 
Pada hari kedua puluh satu, orang-orang sinuhun  men-
desak benteng kota utama marga jawa  di sinuhun ni. Sebelum-
nya mereka sudah   mengepung  benteng kota mergoharjoyo , 
sebuah benteng kota milik marga jawa . centeng  musuh 
dibuat kocar kacir. Mereka tak punya waktu untuk 
mempertahankan diri, dan perlawan an mereka 
ambruk, tanpa ada kesempatan untuk menempati 
posisi baru. 
Kedalaman Sungai Ane hanya beberapa meter, jadi 
walaupun cukup lebar, orang bisa menyeberanginya 
dengan berjalan kaki. namun  airnya yang jernih, yang 
berasal dari pegunungan di bagian timur Provinsi 
jawa , begitu dingin, sehingga terasa menusuk sampai 
ke sumsum, bahkan di musim kemarau. 
Fajar baru menyingsing. aidit  membawa  hi dua 
puluh 50000 orang, ditambah  enam ribu prajurit 
prabu kertoarjowardana  , dan menyebarkan centeng  di sepanjang 
tepi timur sungai. 
Sejak tengah malam pada hari sebelumnya, centeng  
gabungan jawa  dan mpu djiwo berjumlah sekitar 
  
9 belas ribu orang perlahan-lahan menyusup 
dari Gunung kuburan . Tersembunyi di balik rumah-
rumah di tepi barat, mereka menunggu saat yang tepat 
untuk menyerang. Malam masih gelap, dan hanya 
bunyi air mengalir yang terdengar. 
"mpu hanjana," mpu mojosongo  memanggil salah seorang 
komandan, "centeng  musuh sedang bergerak ke tepi 
sungai." 
"Sukar untuk melihat jelas dalam kabut ini, namun  
hamba mendengar kuda meringkik di kejauhan." 
"Ada perkembangan baru di bagian hilir?" 
"Belum ada, tuanku." 
"Pihak mana yang akan memperoleh berkah dari 
dewa? Dalam setengah hari, kita akan mengetahuinya." 
"Setengah hari? Mungkinkah selama itu?" 
"Mereka jangan dianggap enteng," ujar mpu mojosongo  
sambil berjalan ke hutan di tepi sungai. Di sinilah 
prajurit-prajuritnya menanti, kelompok elite dalam 
centeng  aidit . Suasana di dalam hutan hening 
sepenuhnya. Para prajurit sudah  menyebar, ber-
sembunyi di semak-semak. centeng  tombak meng-
genggam senjata masing-masing dan menatap ke 
seberang sungai. Di sana belum ada yang bergerak. 
Apakah hari ini membawa   kematian? 
Mata para prajurit tampak berbinar-binar. Tak 
terusik oleh persoalan hidup dan mati, mereka mem-
bayangkan akhir pertempuran sambil membisu. Tttk 
ada yang kelihatan percaya bahwa ia akan kembali 
memandang langit malam itu. 
  
Ditemani mpu hanjana, mpu mojosongo  menyusuri barisan 
prajurit. Tak ada cahaya, keeuali sumbu-sumbu 
senapan yang membara. Seseorang bersin mungkin 
prajurit yang sedang pilek, dengan hidung gatal 
terkena asap sumbu. namun  akhirnya sama saja, prajurit-
prajurit lain bertambah  tegang. 
Permukaan air menjadi putih, dan sederetan awan  
megah menerangi dahan-dahan pohon di Gunung 
himapraloka . 
"Musuh!" seseorang bcrteriak. 
Para perwira di sekitar mpu mojosongo  memberi isyarat pada 
kesatuan penembak untuk menunggu. Di tepi 
seberang, sedikit ke arah hilir, gabungan centeng  
berkuda dan infanteri berjumlah sekitar seribu dua 
ratus sampai seribu tiga ratus orang menyeberangi 
sungai secara diagonal, membuat air bergolak. 
Barisan depan marga jawa  yang terkenal hebat tidak 
memedulikan barisan depan marga sinuhun  maupun garis 
pertahanan kedua dan ketiga. Mereka langsung 
hendak menyerbu ke tengah-tengah perkemahan sinuhun . 
Anak buah mpu mojosongo  menelan ludah, dan semuanya 
berseru bersamaan, "Isono hadijaya !" 
"Kesatuan hadijaya !" 
Isono hadijaya  yang termasyhur, kebanggaan marga 
jawa , memang lawan  yang tangguh. Panji-panji tampak 
berkibar-kibar di tengah buih dan percikan air. 
Tembakan senapan! 
Apakah ini tembakan perlindungan bagi pihak 
musuh, atau senapan-senapan mereka sendiri? Bukan, 
  
tembak-menembak dimulai secara bersamaan dari 
kedua sisi. Bergema di atas permukaan sungai, 
kebisingannya terasa memekakkan. awan -awan  mulai 
menguak, dan langit musim panas memperlihatkan 
warna-warninya. Saat itulah garis kedua centeng  sinuhun , 
di bawah  komando mpu  jayadijaya , dan garis ketiga 
pimpinan dasna patih pitaloka  tiba-tiba menyerbu ke sungai. 
"Jangan biarkan musuh menginjak sisi kita! Dan 
jangan biarkan satu orang pun kembali ke sisi 
mereka!" para perwira berseru. 
Anak buah mpu  menyerang centeng  musuh dari 
samping. Dalam sekejap terjadi pertempuran satu 
lawan  satu di tengah sungai. Tombak beradu dengan 
tombak, pedang beradu dengan pedang. Para prajurit 
bergulat dan jatuh dari kuda, dan air sungai menjadi 
merah oleh darah. 
centeng  mpu  dipaksa mundur oleh kesatuan elite 
di bawah  komando hadijaya . Sambil berseru, "Kita 
dipermalukan!" begitu keras sehingga terdengar di 
kedua sisi sungai, putra mpu , Kyuzo, terjun ke tengah-
tengah pertempuran. Ia gugur dengan gagah, bersama 
lebih dari seratus anak buahnya. 
Tanpa dapat dibendung, kesatuan hadijaya  me-
nembus garis ketiga centeng  sinuhun . Para pembawa   
tombak di bawah  dasna menyiapkan senjata masing-
masing dan berusaha mematahkan serangan musuh, 
namun mereka tak dapat berbuat apa-apa. 
Kini giliran patih ronggolawe  merasa takjub. Ia bergumam 
pada ngabehi , "Pernahkah kau melihat orang-orang 
  
yang begitu garang?" namun   ngabehi  pun tidak 
memiliki taktik untuk menghadapi serangan ini. 
Bukan ini saja alasan kekalahan patih ronggolawe . Tak 
sedikit anak buah patih ronggolawe  merupakan bekas prajurit 
musuh yang menyerah saat  benteng kota-benteng kota mereka 
ditaklukkan centeng  sinuhun . Para "sekutu" baru ini 
ditempatkan di bawah  komando patih ronggolawe , namun  
sebelumnya mereka menerima upah dari marga jawa  
dan mpu djiwo. Tidak mengherankan bahwa tombak-
tombak mereka jarang menemui sasaran, dan saat  
diperintahkan mengejar musuh, mereka malah 
cenderung menghalang-halangi centeng  patih ronggolawe  
sendiri. 
Akibatnya barisan patih ronggolawe  menderita kekalahan, 
dan garis pertahanan kelima dan keenam pun dipaksa 
bertekuk lutut. Secara keseluruhan hadijaya  meng-
gulung sebelas dari tiga belas garis pertahanan marga 
sinuhun . Pada saat inilah centeng  prabu kertoarjowardana   di sebelah 
hilir menyeberangi sungai, menyerbu musuh di tepi 
seberang, lalu bergerak ke arah hulu. namun  saat  
memandang ke belakang, mereka melihat para prajurit 
hadijaya  sudah mendesak mendekati markas aidit . 
Sambil berseru, "Serang sisi mereka!" centeng  
prabu kertoarjowardana   kembali melompat ke sungai. Para prajurit 
hadijaya  menyangka centeng  prabu kertoarjowardana   sekutu yang 
memasuki sungai dari tepi barat, bahkan sesudah  
mereka mendekat. Dipimpin oleh mpu rejo, para 
centeng adipati  prabu kertoarjowardana   menggempur kesatuan Isono 
hadijaya . 
  
Tiba-tiba menyadari kehadiran musuh, hadijaya  
berseru-seru sampai serak, memerintahkan anak buah-
nya mundur. Seorang prajurit bersenjatakan tombak 
menusuknya dari samping. Sambil menggenggam 
gagang tombak yang melukainya, hadijaya  berusaha 
berdiri, namun  lawan nya tidak memberi kesempatan. 
Sebilah pedang tampak berkilau di atas kepala hadijaya  
dan menghantam helm besinya. Pedang itu pecah 
berkeping-keping. hadijaya  berdiri, air di sekitar kakinya 
menjadi merah. Tiga orang mengepung hadijaya , 
menikam, dan mencincangnya. 
"Musuh!" para pengikut di sekeliling aidit  
berseru. Mereka bergegas dari markas ke tepi sungai, 
dengan tombak siap di tangan. 
raden mas  damarhadi , adik ngabehi , tergabung dalam 
kesatuan patih ronggolawe , namun  dalam pertempuran ia ter-
pisah dari resimennya. Ia mengejar-ngejar musuh, dan 
kini berada di dekat markas aidit . 
Apa? damarhadi  bertanya-tanya heran. Musuh sudah 
ada di sini? saat  menatap berkeliling, damarhadi  
melihat seorang centeng adipati  muncul dari balik markas. 
Orang itu mengenakan baju tempur yang menanda-
kan ia bukan prajurit biasa. Ia mengangkat tirai dan 
mengintip dengan hati-hati. 
damarhadi  segera menerjang dan menangkap kakinya 
yang terbungkus pelindung tulang kering. centeng adipati  itu 
mungkin anggota centeng  mereka sendiri, dan 
damarhadi  tidak membunuh seorang sekutu. Si centeng adipati  
berbalik tanpa kelihatan kaget. Tampaknya ia perwira 
  
centeng  jawa . 
"Kawan  atau lawan ?" tanya damarhadi . 
"lawan , tentu saja!" si centeng adipati  membentak, 
menyiapkan tombak di tangan. 
"Siapakah Tuan? Apakah Tuan memiliki  nama 
yang patut dicatat?" 
"Aku sinuhun  darmayudha  dari centeng  jawa . Aku  datang untuk memenggal kepala Yang Mulia 
aidit . Hei, kerdil menjijikkan! Siapa kau?" 
"Aku raden mas  damarhadi , pengikut panembahan  betari durga . Coba lawan  aku dahulu !" 
"Hmm, hmm. Adik raden mas  ngabehi  rupanya." 
"Betul." Pada detik ia mengatakan ini, damarhadi  
menarik tombak lawan nya, lalu mendorongnya 
kembali sehingga membentur dada darmayudha . namun  sebelum damarhadi  menghunus pedang, darmayudha  
sudah menangkapnya. 
Keduanya jatuh ke tanah, damarhadi  di sebelah 
bawah . Ia menendang-nendang sampai terbebas, namun  
sekali lagi diimpit oleh musuhnya. Saat itulah ia 
menggigit jari darmayudha , sehingga darmayudha  
mengendurkan genggaman. 
Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu! Dengan 
mendorong darmayudha , damarhadi  akhirnya berhasil 
membebaskan diri. Dalam sekejap tangannya me-
nemukan belati dan mengayunkannya ke leher 
darmayudha . Ujung belati tidak mengenai sasaran, 
namun  menyayat wajah darmayudha  dari dagu ke hidung, 
menusuk matanya. 
  
"Musuh rekanku!" sebuah suara berseru dari 
belakang. Tak ada waktu untuk memenggal kepala 
darmayudha . Melompat berdiri, damarhadi  segera meng-
hadapi lawan  barunya. 
damarhadi  tahu bahwa beberapa anggota centeng  
berani mati jawa  berhasil menyusup mendekati markas 
aidit . lawan  yang kini dihadapinya berbalik dan 
melarikan diri. Sambil mengejar, damarhadi  menebas 
lututnya dengan pedang. 
saat  menindih orang yang terluka itu dan men-
dudukinya dengan kaki terkangkang, damarhadi  berseru, 
"Kau punya nama yang patut diucapkan? Ya atau 
tidak?" 
"Namaku raden  harinyokro. Aku tak akan 
mengatakan apa-apa selain bahwa aku menyesal jatuh ke tangan centeng adipati  rendahan seperti kau sebelum sempat mendekati aidit ." 
"Di mana wikramajaya , orang paling berani 
dalam centeng  jawa ? Kau orang jawa , kau pasti tahu." 
"Aku tidak tahu sama sekali." 
"Buka mulutmu!" 
"Aku tidak tahu." 
"Kalau begitu, kau tak berguna lagi bagiku!" 
damarhadi  memenggal kepala harinyokro. Ia kembali 
berlari, matanya menyala-nyala. Ia bertekad tidak 
membiarkan kepala wikramajaya  jatuh ke tangan 
orang lain. Sebelum pertempuran dimulai, damarhadi  
sudah  berseru  bahwa dialah yang akan memperoleh 
kepala Kizaemon. Kini ia berlari ke arah tepi sungai, 
  
tempat mayat-mayat bergelimpangan di rumput dan 
kerikil tepi sungai kematian. 
Di sana, di antara yang lain, ada satu mayat dengan 
wajah berlumuran darah yang tertutup rambut. 
gerombolan  lalat beterbangan di kaki damarhadi . damarhadi  
menoleh saat  menginjak mayat dengan wajah 
tersembunyi di balik rambut itu. sebetulnya  tak ada 
yang aneh, namun  damarhadi  merasa waswas. Dengan 
curiga ia menoleh, dan saat itulah mayat tadi bangku 
dan berlari ke arah markas aidit . 
"Lindungi Yang Mulia! Musuh datang!" teriak 
damarhadi . 
saat  melihat aidit , si centeng adipati  musuh 
hendak melompat sebuah tanggul rendah, namun  tali 
sandalnya terinjak dan ia pun terjatuh. damarhadi  
menindih orang itu dan segera meringkusnya. Pada 
waktu damarhadi  menggiringnya ke markas aidit , 
si centeng adipati  berteriak, "Cepat, tebaslah leherku! 
Sekarang juga! Jangan permalukan sesama prajurit!" 
saat  tawa nan lain yang juga tengah digiring me-
lihat laki-laki itu berteriak-teriak, ia berkata tanpa ber-
pikir, "Tuan Kizaemon! Tuan pun ditangkap hidup-
hidup?" 
Orang yang sempat berlagak mati ini, dan 
lalu  diringkus damarhadi , ternyata justru orang 
yang memang diincarnya wikramajaya , prajurit 
jawa  yang terkenal garang. 
Mula-mula centeng  sinuhun  berada di ambang 
kehancuran, namun  saat  centeng  prabu kertoarjowardana   di bawah  
  
mpu mojosongo  menyerbu dari samping, serangan musuh 
berhasil dipatahkan. Namun pihak musuh pun 
memiliki baris kedua dan ketiga. Pada waktu mereka 
mendesak maju, lalu bergerak mundur, baik centeng  
musuh maupun centeng  aidit  bertempur tanpa 
ampun. Keadaan begitu kacau, sehingga tak seorang 
pun sanggup menentukan pihak mana yang akan 
meraih kemenangan. 
"Jangan bingung! Serbulah langsung ke perkemahan 
aidit !" 
Sejak semula, inilah tujuan barisan kedua centeng  
jawa . namun  mereka maju terlalu jauh, dan akhirnya 
menembus sampai ke barisan belakang marga sinuhun . 
centeng  prabu kertoarjowardana   pun berhasil mendobrak per-
tahanan di seberang sungai, dan dengan seruan, 
"Jangan sampai dikalahkan centeng  sinuhun !" mereka 
mendesak menuju perkemahan mpu djiwo manunggal. 
namun  lalu  terlihat bahwa para prajurit 
prabu kertoarjowardana   sudah terlalu jauh meninggalkan sekutu-
sekutu mereka dan kini dikelilingi musuh. Per-
tempuran berlangsung dalam keadaan kacau-balau. 
Seperti ikan yang tak dapat melihat sungai tempatnya 
berenang, tak seorang pun sanggup memahami situasi 
secara keseluruhan. Masing-masing prajurit berjuang 
mempertahankan nyawa  . Begitu seseorang meroboh-
kan lawan nya, ia segera menghadapi wajah lawan  
berikut. 
Dari atas, kedua centeng  terlihat seakan-akan 
tersedot ke dalam pusaran raksasa. Dan sesuai dugaan, 
  
aidit  memandang situasinya tepat seperti itu. 
patih ronggolawe  pun melihat pertempuran secara 
keseluruhan. Tampaknya saat inilah yang akan 
menentukan kalah atau menang. 
aidit  membenturkan tombak ke tanah, 
berseru, "centeng  prabu kertoarjowardana   terjebak! Jangan biarkan 
mereka berjuang sendiri! Bantulah Yang Mulia 
Ieyusu!" namun  sisa kekuatan centeng  di kiri-kanan 
tidak memadai. Seruan aidit  sia-sia belaka. 
lalu , dari rumpun pohon di tepi utara, 
sekelompok orang bergegas membelah kekacauan dan 
menuju tepi seberang, memercikkan air dengan setiap 
langkah. 
patih ronggolawe , walaupun tidak mendengar perintah 
aidit , juga sudah  memahami situasi. aidit  
melihat panji patih ronggolawe  dengan lambang labu emas, 
dan berkata dalam hati, "Ah, bagus! patih ronggolawe  sudah 
bergerak." 
Sambil menghapus keringat dari mata, aidit  
berkata pada para pembantu di sekelilingnya, "Saat 
seperti ini takkan terulang lagi. Pergilah ke sungai dan 
lihat apa yang dapat kalian lakukan." 
 mpu salmah  dan yang lain bahkan yang paling muda 
pun berlari menghampiri musuh, semuanya ber-
lomba-lomba untuk tiba lebih dahulu . centeng  
prabu kertoarjowardana  , yang sudah  menembus jauh ke wilayah 
musuh, memang menghadapi kesulitan. namun  dalam 
permainan catur ini, mpu mojosongo  yang lihai merupakan 
bidak yang berada di posisi menentukan. 
  
aidit  takkan membiarkan bidak ini gugur, 
mpu mojosongo  berkata pada diri sendiri. Anak buah Ittetsu 
mengikuti anak buah patih ronggolawe . Akhirnya centeng  
dasna patih pitaloka  pun menyerbu. Tiba-tiba pasang surut 
pertempuran sudah  berubah, dan centeng  sinuhun  berada 
di atas angin. Para prajurit mpu djiwo manunggal mundur 
lebih dari tiga mil, dan centeng  jawa  kalasan  
terburu-buru melarikan diri ke benteng kota sinuhun ni. 
Mulai saat itu, pertempuran berubah menjadi 
pengejaran. Orang-orang mpu djiwo dikejar sampai ke 
Gunung kuburan , sementara jawa  kalasan  berlindung 
di balik tembok benteng kota sinuhun ni. aidit  
menangani ekor pertempuran dalam dua hari, dan 
pada hari ketiga ia kembali ke padalarang . Ia bergerak 
secepat burung pelatuk yang pada malam hari terbang 
di atas Sungai Ane. Mayat-mayat bergelimpangan di 
kedua tepi sungai. 
 

 
Orang besar tidak lahir sebab  kemampuannya 
semata-mata. Ia pun harus memiliki kesempatan. Ia 
sering kali dikelilingi perasaan dengki yang mem-
pengaruhi wataknya, seakan-akan sengaja ingin 
menyiksa. Pada waktu musuh-musuh sudah  muncul 
dalam segala macam bentuk, balk terlihat maupun 
tidak, dan bergabung untuk menderanya dengan 
setiap penderitaan yang dapat dibayangkan, pada saat 
itulah ia menjalani ujian sebetulnya . 
  
Segera sesudah  pertempuran di Sungai Ane, 
aidit  mundur begitu cepat, sehingga para resi  
di berbagai kesatuannya bertanya-tanya apakah sudah  
terjadi sesuatu di padalarang . Tentu saja strategi yang 
disusun oleh para anggota staf tidak dipahami oleh 
para bawah an. Desas-desus yang beredar mengatakan 
bahwa patih ronggolawe  mengusulkan merebut benteng kota 
utama marga jawa  di sinuhun ni guna menghabisi mereka 
untuk selama-lamanya, namun  ditolak oleh aidit . 
Keesokan harinya aidit  malah mengangkat 
patih ronggolawe  sebagai komandan benteng kota mergoharjoyo , 
sebuah benteng kota musuh yang sudah  ditinggalkan, 
sementara ia sendiri kembali ke padalarang . 
Bukan para prajurit saja yang tidak memahami 
mengapa aidit  begitu tergesa-gesa kembali ke 
padalarang . Kemungkinan besar para pembantu terdekatnya 
pun tidak mengetahui alasan sebetulnya . Satu-
satunya orang yang mungkin sanggup membayang-
kannya adalah mpu mojosongo . Matanya yang netral tak pernah 
lepas lama dari aidit  tidak terlalu dekat, namun  
juga tidak terlalu jauh; tanpa perasaan berlebihan, namun  
juga tidak terlalu dingin. 
Pada hari keberangkatan aidit , mpu mojosongo  pun 
kembali ke bratangbinangun. Dalam perjalanan, ia berkata 
kepada para resi nya, "Begitu Yang Mulia aidit  
melepaskan baju tempurnya yang berlumuran darah, 
dia akan berpakaian untuk ke ibu kota dan memacu 
kudanya langsung ke trowulan . Jiwanya seperti kuda 
jantan muda yang tak bisa diam." 
  
Dan memang itulah yang terjadi. saat  mpu mojosongo  tiba 
di bratangbinangun, aidit  sudah dalam perjalanan ke 
trowulan . namun  ini tidak berarti sudah  terjadi sesuatu di 
ibu kota. Yang paling ditakutkan aidit  adalah 
sesuatu yang tak dapat dilihatnya musuh yang tidak 
kasat mata. 
aidit  mengungkapkan kecemasannya pada 
patih ronggolawe . "Menurutmu, apa yang paling merisaukan-
ku? Kau tahu, bukan?" 
patih ronggolawe  memiringkan kepala dan berkata, "Hmm. 
Bukan mpu ireng  dari Kai, yang selalu mengintai dari 
belakang dan menunggu kesempatan, juga bukan 
marga jawa  dan mpu djiwo. Yang Mulia mpu mojosongo  patut 
diwaspadai, namun  beliau cerdas, sehingga tak perlu 
digelisah khawatir kan sama sekali. Orang-orang grindananaga 
dan dyahbalitung  mirip  gerombolan  lalat, dan mereka 
berkerumun di sekitar kebusukan. Musuh yang harus 
ditakuti hanyalah para biksu-prajurit ronggodwijoyo , namun  
rasanya sampai sekarang mereka belum seberapa 
merepotkan bagi Yang Mulia. Berarti hanya satu orang 
yang tersisa." 
"Dan siapa orang itu? Bicaralah." 
"Dia bukan kawan  maupun lawan . Tuanku sudah  
menunjukkan rasa hormat, namun  jika tindakan tuanku 
hanya sebatas itu, tuanku mungkin segera terjebak. 
Orang itu bermuka dua oh, ampun, kata-kata ini tak 
patut diucapkan. Bukankah kita berbicara mengenai 
sang pandita ?" 
"Benar. namun  jangan singgung soal ini di depan 
  
orang lain." Kecemasan aidit  menyangkut orang 
ini, yang memang bukan kawan  maupun lawan  
yosodiprojo , sang pandita . 
yosodiprojo  menanggapi kebaikan aidit  kepada-
nya dengan berurai air mata, dan bahkan berkata 
bahwa ia menganggap aidit  seperti ayahnya 
sendiri. Jadi, mengapa yosodiprojo ? Sikap bermuka dua 
selalu tersembunyi di tempat-tempat paling tak 
terduga. Watak yosodiprojo  dan aidit  sama sekali 
tidak cocok; pendidikan mereka berbeda, begitu juga 
nilai-nilai yang mereka anut. Selama aidit  
membantunya, yosodiprojo  memperlakukan aidit  
sebagai dermawan . namun  begitu ia mulai terbiasa 
dengan kursi pandita , rasa terima kasihnya berubah 
menjadi kebencian. 
"Gelandangan itu mengganggu saja," yosodiprojo  
dikabarkan berkata demikian. Ia mulai menghindari 
aidit , bahkan menganggapnya sebagai rintangan, 
dengan kekuasaan melebihi kekuasaannya sendiri. 
Namun yosodiprojo  tidak memiliki keberanian untuk 
memperlihatkan sikapnya secara terbuka dan meng-
gempur aidit . Watak yosodiprojo  sungguh gelap. 
Dan berhadapan dengan kecemerlangan aidit , 
yosodiprojo  terus berkomplot sampai saat terakhir. 
Di sebuah ruangan terpisah di dalam Istana Nijo, 
sang pandita  bercakap-cakap dengan utusan para 
biksu-prajurit ronggodwijoyo . 
"Sang Kepala Biara juga membencinya? Tak meng-
herankan bahwa kecongkakan dan kesombongan 
  
aidit  membuatnya gusar." 
Sebelum pergi, si utusan berpesan, "Hamba mohon 
agar segala sesuatu yang hamba katakan tadi tetap 
dirahasiakan. lalu , mungkin ada baiknya 
mengirim pesan-pesan rahasia ke Kai dan ke marga 
jawa  dan mpu djiwo, agar kesempatan ini tidak berlalu 
dengan sia-sia." 
Pada hari yang sama, di bagian lain Istana Nijo, 
aidit  menanti yosodiprojo  untuk melaporkan 
kedatangannya di ibu kota. yosodiprojo  menenangkan 
diri, menampilkan sikap polos, dan pergi ke ruang 
resepsi untuk bertemu dengan aidit . 
"Kabarnya pertempuran di Sungai Ane berakhir 
dengan kemenangan gemilang bagi pihak sinuhun . Satu 
lagi bukti mengenai kehebatan militer Tuan. Selamat! 
Ini sungguh menggembirakan." 
aidit  tak sanggup menyembunyikan senyum 
getir saat  mendengar sanjungan yang menjilat ini, 
dan ia menjawab  dengan ironis, "Tidak, tidak. Berkat 
kebijakan dan pengaruh Yang Mulia-lah kami dapat 
bertempur dengan gagah, sebab  kami percaya takkan 
ada kejadian tak terduga seusai pertempuran." 
yosodiprojo  agak tersipu-sipu. Wajahnya bersemu 
merah seperti wajah wanita lesbian . "Jangan gelisah khawatir . 
Seperti Tuan lihat sendiri, keadaan di ibu kota tetap 
tenteram. namun  apakah Tuan memperoleh kabar bahwa 
ada bahaya mengancam? Tuan bergegas ke sini seusai 
pertempuran." 
"Tidak, hamba datang untuk melakukan kunjungan 
  
kehormatan sebab  pemugaran Istana Kekaisaran 
sudah  rampung, untuk menangani masalah 
pemerintahan, dan tentu saja untuk menanyakan 
kesehatan tuanku." 
"Ah, begitukah?" yosodiprojo  tampak agak lega. "Hmm, 
Tuan lihat sendiri bahwa aku sehat-sehat saja. Rsinuhun  
pemerintahan pun berjalan mulus, jadi Tuan tak perlu 
cemas dan mengorbankan waktu untuk begitu sering 
datang ke sini. namun  mari, perkenankanlah aku 
mengadakan jamuan makan untuk merayakan 
kemenangan Tuan." 
"Hamba terpaksa menolak, Yang Mulia," ujar 
aidit . "Hamba belum sempat menyampaikan 
ucapan terima kasih kepada para perwira dan prajurit. 
Rasanya tak patut hamba menerima undangan jamuan 
makan. Sebaiknya kita tunda saja sampai kesempatan 
hamba menghadap Yang Mulia berikutnya." 
lalu  aidit  mohon diri. saat  ia kembali 
ke tempatnya menginap, tribuana  tunggadewa  sudah  
menunggu untuk memberikan laporamiya. 
"Seorang biksu yang mungkin utusan Kepala Biara 
ronggodwijoyo , Kennyo, terlihat meninggalkan istana sang 
pandita . Pertemuan-pertemuan antara para biksu-
prajurit dan sang pandita  agak mencurigakan, bukan?" 
Sebelumnya aidit  sudah  mengangkat tunggadewa  
menjadi komandan centeng  penjaga trowulan . Sesuai 
kedudukannya, tunggadewa  mencatat semua pengun-
jung Istana Nijo dengan cermat. 
aidit  membaca laporan tunggadewa  sepintas 
  
lalu, dan berkata, "Bagus sekali." Ia muak sebab  
pandita  itu begitu sukar diselamatkan, namun 
sekaligus merasa bahwa sikap yosodiprojo  malah 
menguntungkan baginya. Malam itu ia memanggil 
para petugas yang bertanggung jawab  atas pemugaran 
Istana Kekaisaran, dan saat  mendengar laporan 
mengenai kemajuan pekerjaan, suasana hatinya 
bertambah  cerah. 
Keesokan harinya ia bangun pagi-pagi sekali dan 
meninjau bangunan-bangunan yang sudah hampir 
selesai dikerjakan. lalu , sesudah  melakukan 
kunjungan kehormatan pada sang pengikut  di istana 
lama, ia kembali ke tempatnya menginap seiring 
dengan terbitnya matahari, dan mengumumkan 
bahwa ia akan meninggalkan ibu kota. 
saat  aidit  tiba di trowulan , ia mengenakan 
jubah . namun  pada waktu hendak pergi ia memakai 
baju tempur, sebab  tujuannya bukan padalarang . Sekali lagi 
ia mengunjungi medan pertempuran di Sungai Ane, 
bertemu dengan patih ronggolawe  yang ditempatkan di 
benteng kota mergoharjoyo , memberikan perintah pada 
kesatuan-kesatuan yang tersebar di berbagai tempat, 
lalu  mengepung benteng kota di Skertoarjo yama. 
sesudah  menumpas musuh-musuhnya, aidit  
kembali ke padalarang . namun  bagi aidit  dan anak 
buahnya, waktu untuk beristirahat dari kelelahan 
akibat panas musim kemarau belum tiba. 
Justru di padalarang  aidit  menerima surat-surat 
penting dari hyangkertoarjo  wiryabhumi  yang berada di 
  
benteng kota Natinggi sumbingshima di Settsu, dan  dari tribuana  
tunggadewa  di trowulan . Surat-surat ini memberitakan 
bahwa pihak dyahbalitung  mengerahkan lebih dari seribu 
orang untuk membangun benteng kota-benteng kota di Nsinuhun , 
Fukushima, dan Natinggi sumbingshima di Settsu. Mereka 
dibantu oleh para biksu-prajurit ronggodwijoyo  ditambah    para 
pengikut mereka. Baik tunggadewa  maupun wiryabhumi  
menekankan bahwa tak ada waktu untuk menunda-
nunda keputusan, dan menanyakan perintah Nobu-
naga. 
Kuil utama para biksu-prajurit dibangun pada masa 
yang penuh kerusuhan, dan konstruksinya dibuat 
sedemikian rupa, sehingga sanggup menangkal ber-
bagai gangguan. Di luar tembok batu ada selokan 
pertahanan yang dalam dan dibentangi oleh sebuah 
jembatan. Walaupun ronggodwijoyo  merupakan kuil, 
kontruksinya mirip  benteng kota. Menjadi biksu di 
sini berarti menjadi prajurit, dan jumlah biksu-prajurit 
di tempat ini tidak kalah dengan di Nara atau Gunung 
brahma. Kemungkinan besar di ronggodwijoyo  tak ada satu 
biksu pun yang tidak membenci aidit , orang 
yang baru menanjak itu. Mereka menuduhnya sebagai 
musuh sang zoroaster  yang mencemooh tradisi-tradisi, 
perusak kebudayaan, dan setan yang tak mengenal 
batas, seekor binatang berwujud manusia. 
saat  mpu wiraghanda menghadapi orang-orang 
ronggodwijoyo  dan memaksa mereka menyerahkan 
sebagian tanah mereka kepadanya, ia sudah  melangkah 
terlalu jauh. Kebanggaan kubu zoroaster  ini amat besar, 
  
dan hak-hak istimewa yang mereka nikmati sudah  
diteruskan secara turun-temurun sejak zaman dahulu . 
Laporan-laporan dari daerah barat dan daerah-daerah 
lain mulai berdatangan, mengabarkan bahwa orang-
orang ronggodwijoyo  sedang mempersenjatai diri. Kuil itu 
sudah  membeli dua ribu senapan, jumlah para biksu-
prajurit sudah  berlipat ganda, dan selokan-selokan baru 
digali di sekitar kubu pertahanan. 
aidit  sudah  menduga bahwa mereka akan 
bersekutu dengan marga dyahbalitung , dan bahwa sang 
pandita  yang berhati lemah akan terbujuk untuk 
memihak mereka. Ia juga sudah  menyangka bahwa 
propaganda busuk akan disebarkan ke rakyat jelata, 
dan bahwa tindakan ini akan menimbulkan pem-
berontakan umum. 
saat  menerima pesan-pesan penting dari trowulan  
dan kahuripan , aidit  tidak terlalu terkejut. Ia justru 
semakin berkeras untuk memanfaatkan kesempatan, 
dan segera pergi ke Settsu. Dalam perjalanan ke sana, 
ia mampir di trowulan . 
"Dengan segala kerendahan hati, hamba memohon 
agar Yang Mulia bersedia menyertai centeng  hamba," 
aidit  berkata pada sang pandita . "Kehadiran 
Yang Mulia akan membangkitkan semangat centeng  
hamba, dan akan mempercepat pelaksanaan 
hukuman." 
yosodiprojo  tentu saja enggan, namun  tak kuasa menolak. 
Dan meski muncul  kesan bahwa aidit  membawa   
seseorang yang tak berguna, sebetulnya  ia justru 
  
menarik keuntungan dengan memanfaatkan nama 
sang pandita  untuk menabur benih-benih perselisihan 
di kalangan musuh-musuhnya. 
 
*
 
Daerah antara Sungai Kanzaki dan Sungai Nakatsu di 
Naniwa merupakan dataran rkertoarjo  yang luas, dengan 
tanah pertanian tersebar di sana-sini. nongkojajar di 
utara berada di tangan orang-orang dyahbalitung , sedang-
kan benteng kota kecil di selatan dipertahankan oleh 
hyangkertoarjo  wiryabhumi . Pertempuran berpusat di daerah 
ini, dan berlangsung sengit sejak awal  sampai per-
tengahan bulan kesembilan, kadang kala dengan 
kemenangan, kadang kala dengan kekalahan. Ini 
adalah perang terbuka dengan melibatkan senjata api 
besar maupun kecil. 
Di pertengahan bulan kesembilan, marga jawa  dan 
mpu djiwo, yang selama itu tetap mengurung diri di 
benteng kota-benteng kota pegunungan sambil merenungkan 
kekalahan dan menanti sampai aidit  membuat 
kesalahan, mengangkat senjata, menyeberangi Danau 
Biwa, dan mendirikan kemah di tepi danau di gendingan 
dan Karasaki. Satu resimen bergabung dengan kubu 
zoroaster  di Gunung brahma. Untuk pertama kali, para 
biksu-prajurit dari beberapa sekte bersatu melawan  
aidit . 
Keluhan mereka serupa, "aidit  sewenang-
wenang menyita tanah milik kami, dan menginjak-
  
injak kehormatan kami." 
Antara Gunung brahma, marga jawa , dan mpu djiwo 
terjalin ikatan erat. Ketiganya bersepakat untuk 
memotong jalur mundur aidit . centeng  mpu djiwo 
bergerak dari pegunungan di utara danau, sementara 
centeng  jawa  menyeberangi danau, lalu mendarat. 
Penyusunan centeng  kedua marga mengisyaratkan 
bahwa mereka hendak merebut gendingan dan memasuki 
trowulan . lalu , sambil menunggu di Sungai watangsewu , 
mereka akan bergerak seiring pihak ronggodwijoyo  dan 
menghancurkan aidit  dalam satu serangan. 
aidit  sudah  terlibat pertempuran sengit selama 
beberapa hari, menghadapi para biksu-prajurit dan  
centeng  dyahbalitung  dari benteng kota di nongkojajar di daerah 
rkertoarjo -rkertoarjo  antara Sungai Kanzaki dan Sungai Nakatsu. 
Pada tanggal dua puluh dua, sebuah laporan samar 
namun mencemaskan mengenai bencana yang datang 
dari belakang, sampai ke telinganya. 
Keterangan terperinci belum dapat diperoleh, namun  
aidit  menduga keterangan itu takkan meng-
gembirakan. Ia mengertakkan gigi, bertanya-tanya 
bencana apakah yang dimaksud. lalu  ia 
memanggil dijoyo  dan mengembankan tanggung 
jawab  atas barisan belakang kepadanya. "Aku akan 
segera mundur dan menghancurkan marga jawa , 
marga mpu djiwo, dan Gunung brahma sekaligus." 
"Bukankah lebih baik kita menunggu satu malam 
lagi sampai laporan terperinci tiba?" tanya dijoyo , 
berusaha mencegah junjungannya. 
  
"Kenapa? Sekaranglah dunia akan berubah!" sesudah  
aidit  berkata demikian, tak ada yang dapat 
mengubah pendiriannya. Ia berpacu ke trowulan , ber-
ganti kuda lebih dari satu kali. 
"Tuanku!" 
"Betapa besar kemalangan ini!" 
Tersedu-sedu, sejumlah pengikut berkerumun di 
depan rumah aidit . "Adik tuanku, Yang Mulia 
Nobuharu dan patih ki abang  gugur dengan gagah di 
Uji, sesudah  bertempur sengit selama dua hari dua 
malam." 
Orang pertama tak sanggup melanjutkan laporan-
nya, sehingga salah satu rekannya menyambung 
dengan suara bergetar, "Orang-orang jawa  dan mpu djiwo 
ditambah    sekutu mereka, para biksu, membawa   centeng  
berkekuatan dua puluh ribu orang, sehingga serangan 
mereka tak berhasil dipatahkan." 
Seolah tidak terpengaruh, aidit  menanggapi, 
"Jangan hanya membacakan nama orang-orang mati 
yang takkan kembali pada saat seperti ini. Aku ingin 
tahu perkembangan terakhir! Seberapa jauh musuh 
berhasil mendesak maju? Di mana garis depan? 
Apakah tunggadewa  ada di sini? Kalau dia ada di depan, 
segera panggil dia ke sini. Panggil tunggadewa !" 
 
Hutan panji-panji mengelilingi Kuil Mii markas besar 
marga jawa  dan mpu djiwo. Pada hari sebelumnya, para 
resi  sudah  mengamati kepala adik aidit , 
Nobuharu, di hadapan kerumunan orang. sesudah  itu 
  
mereka memeriksa kepala para prajurit sinuhun  yang 
termasyhur, satu per satu, sampai mereka sendiri 
hampir bosan. 
"Ini pembalasan atas kekalahan kita di Sungai Ane. 
Aku merasa jauh lebih enak sekarang," salah seorang 
bergumam. 
"Aku tetap belum puas, sampai kepala aidit  
tergeletak di depan kaki kita!" orang lain menimpali. 
lalu  seseorang tertawa  dengan suara parau, 
dan berkata dengan logat utara yang kental, "Anggap 
saja kepalanya sudah di hadapan kita. aidit  
menghadapi orang-orang ronggodwijoyo  dan dyahbalitung  di 
depan, sedangkan kita berada di belakangnya. Ke 
mana dia mau melarikan diri? Dia bagaikan ikan 
dalam jala!" 
Lebih dari sehari mereka mengamati kepala demi 
kepala, sampai muak dengan bau darah. saat  malam 
tiba, botol-botol anggur  dibawa   ke markas untuk 
membantu menaikkan semangat para pemenang. Pada 
waktu anggur  mulai mengalir, pembicaraan beralih pada 
strategi. 
"Apakah kita harus masuk ke trowulan , atau merebut 
leher botol di gendingan, lalu berangsur-angsur merapatkan 
barisan dan menariknya seperti ikan besar di dalam 
jala?" salah satu resi  mengusulkan. 
"Kita harus maju ke ibu kota dan menumpas 
aidit  di Sungai watangsewu  dan di ladang-ladang 
Kkertoarjo chi," resi  lain membalas. 
"Percuma saja!" 
  
Jika seseorang menjagokan taktik tertentu, orang 
lain segera menentangnya. Sebab, meskipun orang-
orang jawa  dan mpu djiwo disatukan oleh tujuan yang 
sama, kalau menyangkut diskusi dalam jajaran atas, 
masing-masing orang merasa perlu memamerkan 
pengetahuannya yang dangkal dan menegakkan 
reputasinya. Akibatnya sampai tengah malam belum 
ada kata sepakat. 
Jemu dengan debat tanpa hasil ini, salah satu 
resi  jawa  pergi ke luar. saat  menatap langit 
malam, ia berkomentar, "Langit merah sekali, ya?" 
"centeng  kita membakar rumah-rumah petani 
mulai dari Yamashina sampai ke Daigo," seorang 
penjaga menanggapinya. 
"Untuk apa? Rasanya percuma saja membakar 
daerah itu, bukan?" 
"Justru sebaliknya. Kita harus menghalau musuh," 
balas resi  dari pihak mpu djiwo yang mengeluarkan 
perintahnya. "centeng  penjaga trowulan  di bawah  tribuana  
tunggadewa  bergerak seakan-akan semuanya siap 
menyambut kematian. Kita pun harus memperlihat-
kan kegarangan." 
Fajar sudah  tiba. gendingan merupakan persimpangan 
jalan-jalan utama menuju ibu kota, namun  kini tak 
seorang pun terlihat. Lalu seorang penunggang kuda 
lewat, diikuti beberapa saat lalu  oleh dua atau 
tiga penunggang lagi. Mereka kurir militer, berkuda 
dari arah ibu kota, berpacu ke Kuil Mii, seolah-olah 
nyawa   mereka sedang dipertaruhkan. 
  
"aidit  sudah hampir mencapai Keage. 
centeng -centeng  tribuana  tunggadewa  bergabung untuk 
membentuk barisan depan, dan mereka terus 
mendesak maju tanpa dapat dibendung." 
Para resi  nyaris tak mempercayai pendengaran 
mereka. 
"Pasti bukan aidit  sendiri! Tak mungkin dia 
begitu cepat kembali dari medan laga di Naniwa." 
"Sekitar dua ratus sampai tiga ratus prajurit kita di 
Yamashina sudah gugur. Musuh sedang mengamuk, 
dan seperti biasa, aidit  sendiri yang memberi 
perintah. Dia melesat bagaikan setan atau dewa 
berkuda, dan dia menuju ke sini!" 
Baik jawa  kalasan  maupun mpu djiwo manunggal 
menjadi pucat. kalasan  yang paling panik. 
aidit  kakak istrinya, orang yang sebelum ini 
memperlakukannya dengan ramah. Kegarangan yang 
diperlihatkan aidit  membuatnya gemetar. 
"Mundur! Kembali ke Gunung brahma!" kalasan  ber-
seru tanpa berpikir. 
mpu djiwo manunggal menangkap nada mendesak 
dalam suara sekutunya. "Kembali ke Gunung brahma!" 
Secara bersamaan ia meneriakkan perintah kepada 
anak buahnya yang terperanjat. "Bakar rumah-rumah 
petani di sepanjang jalan! Jangan, tunggu sampai 
barisan depan kita lewat. sesudah  itu bakar semuanya! 
Bakar semuanya!" 
Angin panas menghanguskan alis aidit . Bunga 
api menggosongkan bulu tengkuk kudanya dan 
  
rumbai-rumbai pada pelananya. Mulai dari Yamashina 
sampai gendingan, nyala api yang melalap rumah-rumah 
petani di sepanjang jalan, dan  lidah api yang seakan 
berputar-putar di udara tak sanggup mencegahnya 
untuk mencapai tujuan. Ia sendiri sudah  menjadi obor 
menyala, dan prajurit-prajuritnya mirip  lautan 
api. 
"Pertempuran ini upacara penghormatan bagi Yang 
Mulia Nobuharu!" 
"Mereka pikir kita takkan membalas kematian 
rekan-rekan kita?" 
namun  pada waktu mereka tiba di Kuil Mii, tak 
seorang prajurit musuh pun kelihatan. Semuanya 
sudah  melarikan diri ke Gunung brahma. 
saat  memandang ke arah gunung, mereka 
melihat bahwa centeng  musuh berkekuatan lebih dari 
dua puluh ribu orang, ditambah  lagi dengan para 
biksu-prajurit, membentang sampai ke Suzugatunjung , 
Adwaradwipa ke, dan Tsubogasadani. Panji-panji yang 
tampak berkibar-kibar seolah-olah berkata, "Kami 
tidak kabur. Mulai sekarang, susunan tempur yang 
akan bicara." 
aidit  menatap gunung yang menjulang tinggi 
dan berkata dalam hati, "Inilah tempatnya. Musuhku 
bukan gunung ini. Hak-hak istimewa yang dimilikinya 
yang harus kugempur." Kini aidit  melihatnya 
dengan mata berbeda. Sejak zaman dahulu , melewati 
masa kekuasaan kaisar demi kaisar, tradisi dan hak-
hak istimewa gunung ini sudah  merepotkan para 
  
penguasa negeri dan  rakyat jelata. Adakah pancaran 
sang zoroaster  di gunung ini? 
saat  sekte Tendai pertama kali dibawa   dari kedhiri  
ke majapahit , Dengyo, pendiri kuil pertama di Gunung 
brahma, bersenandung, "Semoga pancaran Sang zoroaster  
yang murah hati memberikan perlindungan kepada 
balok-balok kuyu yang kita dirikan di tempat ini." 
Apakah lentera kemuliaan dinysuci ini agar para biksu 
dapat memaksakan kehendak mereka kepada sang 
pengikut  di trowulan ? Agar mereka dapat mencampuri 
pemerintahan dan menjadi semakin kuat dengan hak-
hak istimewa? Agar mereka dapat bersekutu dengan 
panglima-panglima perang, berkomplot dengan orang 
kertoarjo m, dan mengacaukan seantero negeri? Apakah 
lenteranya dinyalakan agar ajaran sang zoroaster  dapat 
dilengkapi dengan baju dan helm tempur, agar 
seluruh gunung menjadi tempat untuk menderetkan 
tombak, senapan, dan panji-panji perang? 
aidit  menitikkan air mata kemarahan. Jelas 
baginya bahwa semua ini merupakan penghujatan. 
Gunung brahma dibentuk untuk melindungi bangsa, dan 
sebab nya diberi hak-hak istimewa. namun  ke manakah 
tujuan semula itu sekarang? Kuil utama, ketujuh 
tempat keramat, biara-biara di pagsinuhun  timur dan barat 
hanyalah barak setan bersenjata dengan jubah biksu. 
Baiklah! aidit  menggigit bibirnya begitu keras, 
hingga giginya berlumuran darah. Biarlah mereka 
menyebutku raja setan yang menghancurkan ajaran 
zoroaster ! Keindahan gunung ini hanyalah daya tarik 
  
palsu, dan para biksu bersenjata tak lebih dari 
segerombolan orang tolol. Aku akan menghanguskan 
mereka dengan api peperangan dan membiarkan 
zoroaster  sebetulnya  bangkit dari abu yang tersisa. 
Pada hari yang sama ia memerintahkan agar seluruh 
gunung dikepung. Tentu saja centeng nya memerlu-
kan beberapa hari untuk menyeberangi danau, 
melewati gunung-gunung, dan bergabung dengannya. 
"Darah adikku dan patih ki abang  belum 
mengering. Biarkan jiwa mereka yang setia dan tak 
tergoyahkan berbaring dalam damai. Biarkan darah 
mereka menjadi lentera yang akan menerangi dunia!" 
aidit  berlutut dan merapatkan tangannya 
untuk berdoa. Gunung suci sudah  dijadikannya 
musuh, dan ia sudah  memerintahkan centeng nya 
untuk mengepung. Kini, di atas sepotong tanah, 
aidit  merapatkan tangan dalam doa dan 
meratap. Tiba-tiba ia melihat salah satu pembantunya 
mencucurkan air mata, juga dengan tangan dirapat-
kan. Rupanya  mpu salmah , yang sudah  kehilangan 
ayahnya, patih ki abang . 
" mpu salmah , kau menangis?" 
"Maafkan hamba, tuanku." 
"Kumaafkan. namun  berhentilah menangis, atau 
arwah ayahmu akan menertawa kanmu." 
namun   kedua mata aidit  sendiri pun mulai 
memerah. sesudah  memerintahkan agar kursi panglima 
dipindahkan ke puncak sebuah bukit, ia mengamati 
susunan centeng  pengepung. Sejauh mata me-
  
mandang, bukit-bukit di kaki Gunung brahma dipenuhi 
panji-panji centeng nya. 
Setengah bulan berlalu. Pengepungan Gunung 
brahma sebuah strategi yang tak lazim bagi aidit  
terus berlanjut. Ia sudah  memotong jalur suplai musuh, 
dan berusaha agar mereka mati kelaparan. Rencana-
nya sudah mulai menampakkan hasil. Dengan 
centeng  berkekuatan lebih dari dua puluh ribu orang, 
lumbung-lumbung di gunung dengan cepat terkuras 
habis. Mereka bahkan sudah mulai makan kulit 
pohon. 
Musim gugur sudah  menjelang akhir, dan cuaca 
dingin di gunung membawa   lebih banyak penderitaan 
bagi centeng  yang bertahan. 
"Rasanya waktunya sudah tiba, bukan?" patih ronggolawe  
berkata pada aidit . 
aidit  memanggil seorang pengikut, Ittetsu. 
sesudah  menerima perintah aidit  dan ditambah   
empat atau lima pembantu, Ittetsu mendaki Gunung 
brahma dan bertemu dengan Kepala Biara Pagsinuhun  Barat, 
Sonrin. 
Sonrin dan Ittetsu sudah cukup lama saling 
mengenai, dan sebagai tanda persahabatan mereka, 
Ittetsu datang untuk membujuknya agar menyerah. 
"Aku tidak memahami jalan pikiranmu, namun  sebagai 
sahabat, kuanjurkan agar lelucon ini tidak dibawa   
terlalu jauh," balas Sonrin, terguncang-guncang sebab  
tawa . "Aku memperkenankan pertemuan ini sebab  
kupikir kau datang untuk minta izin menyerah pada 
  
kami. Betapa bodohnya meminta kami menyerah dan 
pergi dari sini! Tidak sadarkah kau bahwa kami sudah  
bertekad melawan  sampai akhir? Hanya orang gila 
yang mungkin datang ke sini, lalu bicara tak keruan." 
Mata para biksu-prajurit lain tampak menyala-nyala, 
dan mereka melotot ke arah Ittetsu. 
sesudah  membiarkan si Kepala Biara bicara, Ittetsu 
berkata dengan tenang dan berhati-hati, "Yang 
Terhormat Dengyo mendirikan kuil ini demi 
kedamaian dan perlindungan Istana Kekaisaran, dan  
untuk ketenteraman seluruh bangsa. Kurasa tidak 
pada tempatnya para biksu mengenakan baju tempur, 
mengacungkan pedang dan tombak, melibatkan diri 
dalam kancah politik, dan bersekutu dengan centeng  
pemberontak, atau membuat sang pengikut  menderita. 
Para biksu sebaiknya kembali menjadi biksu! Usirlah 
orang-orang jawa  dan mpu djiwo dari gunung suci ini, 
letakkan senjata-senjata kalian, dan kembalilah ke 
peran semula sebagai pengikut sang zoroaster !" Ittetsu 
berbicara dari lubuk hari, tanpa memberi kesempatan 
kepada para biksu untuk menyisipkan sepatah kata 
pun. "Selain itu," ia melanjutkan, "jika kalian tidak 
menaati perintah Tuan aidit , Yang Mulia akan 
membumihanguskan kuil utama, ketujuh tempat 
keramat, dan  biara-biara, dan membunuh semua 
orang di gunung ini. Pertimbangkanlah ini masak-
masak dan singkirkanlah perasaan keras kepala. 
Apakah kalian akan mengubah gunung ini menjadi 
neraka, atau menyapu bersih semua kejahatan dan 
  
melestarikan lentera di tanah yang suci ini?" 
Tiba-tiba para biksu yang menyertai Sonrin mulai 
berteriak-teriak. 
"Ini percuma saja!" 
"Dia hanya membuang-buang waktu!" 
"'Tenang!" Sonrin memerintahkan sambil ter-
senyum mengejek. "Pidatomu luar biasa menjemukan, 
namun  aku akan menanggapinya dengan sopan. Gunung 
brahma bukanlah tempat biasa, dan memiliki prinsip-
prinsip tersendiri. Kau terlalu mencampuri urusan 
orang lain. Tuan Ittetsu, hari sudah sore. 
Tinggalkanlah gunung ini dengan segera." 
"Sonrin, dapatkah kau mengambil keputusan 
seorang diri? Mengapa kau tidak berunding dengan 
orang-orang terpelajar dan para tetua, lalu membahas 
urusan ini secara cermat?" 
"Gunung ini merupakan satu jiwa dan satu badan. 
Suaraku mewakili semua kuil di Gunung brahma." 
"Kalau begitu, apa pun yang..." 
"Dasar bodoh! Kami akan melawan  setiap serangan 
militer sampai akhir. Kami akan melindungi 
kebebasan tradisi-tradisi kami dengan darah kami 
sendiri! Enyahlah dari sini!" 
"Baiklah kalau itu yang kauinginkan." Ittetsu tidak 
beranjak. "Sayang sekali. Bagaimana kalian akan 
melindungi pancaran sang zoroaster  dengan darah 
kalian? Apa sebetulnya  kebebasan yang hendak kalian 
lindungi? Tradisi-tradisi mana yang kaumaksud? 
Bukankah semuanya tak lebih dari tipu muslihat yang 
  
dimanfaatkan untuk menjamin kemakmuran kuil? 
Hah, semua itu tidak berlaku di dunia sekarang. Per-
hatikanlah pertanda zaman. Orang-orang serakah yang 
menutup mata dan berusaha menghalangi kemajuan 
demi kepentingan mereka sendiri akan terbakar habis 
bersama daun-daun yang gugur." lalu  Ittetsu 
kembali ke perkemahan aidit . 
Angin musim dingin meniupkan daun-daun kering 
berputar-putar di puncak-puncak gunung. Baik pagi 
maupun malam selalu ada embun beku. Sesekali angin 
dingin membawa   hujan salju. Pada waktu inilah 
kebakaran-kebakaran mulai melanda Gunung brahma, 
hampir setiap malam. Suatu malam, api berkobar di 
gudang bahan bakar Gedung Daijo; malam sebelum-
nya di Takimido. Malam ini pun, walau belum larut, 
kebakaran terjadi di tempat tinggal para biksu di kuil 
utama, dan genta terdengar berdentang-dentang. 
sebab  banyak kuil besar di sekitarnya, para biksu 
bekerja keras agar api tidak menyebar. 
Lembah-lembah Gunung brahma tampak gelap di 
bawah  langit yang merah. 
"Kacau-balau!" salah seorang prajurit sinuhun  ber-
komentar, lalu tertawa . 
Angin dingin menerpa dahan-dahan pohon, dan 
para prajurit bertepuk tangan. Sambil menghabiskan 
jatah nasi, mereka menonton lautan api. Desas-desus 
mengatakan bahwa kebakaran-kebakaran itu di-
rencanakan oleh patih ronggolawe , dan disulut oleh para 
pengikut marga syam . 
  
Pada malam hari, para biksu disibukkan oleh 
kebakaran-kebakaran, dan pada siang hari mereka 
menguras tenaga untuk menyiapkan pertahanan. 
Selain itu, persediaan makanan dan bahan bakar 
mereka mulai menipis, dan mereka tidak memiliki  
perlindungan terhadap hkertoarjo  dingin. 
Musim dingin pun melanda pegunungan, dan 
hujan salju turun lebat. Kedua puluh ribu prajurit 
yang bertahan dan kesekian ribu biksu-prajurit mulai 
layu seperti tanaman yang terkena embun beku. 
Pertengahan bulan kedua belas sudah  tiba. Tanpa 
baju tempur, hanya dengan jubah biksu, seorang 
utusan menghampiri perkemahan aidit , ditambah   
empat atau lima biksu-prajurit. 
"Aku ingin bicara dengan Yang Mulia aidit ," 
utusan itu berkata.  
saat  aidit  datang, ia mengenali si utusan 
sebagai Sonrin, kepala biara yang sebelumnya bertemu 
dengan Ittetsu. Sonrin menyampaikan pesan bahwa 
sebab  pandangan kuil utama sudah  berubah, ia ber-
maksud mengajukan tawa ran damai. 
aidit  menolak. "Apa yang kaukatakan pada 
utusan yang kukirim dahulu ? Apa kau tidak tahu malu?" 
aidit  mencabut pedangnya. 
"Keterlaluan!" si biksu berseru. Ia berdiri dan ter-
huyung-huyung ke samping saat  pedang aidit  
menebas mendatar. 
"Pungut kepalanya dan kembali ke gunung. Itulah 
jawab anku!" 
  
Para biksu menjadi pucat dan bergegas kembali ke 
markas mereka. Salju dan hujan bercampur es yang 
bertiup melintasi danau juga bertiup ke perkemahan 
aidit . aidit  sudah  memberikan jawaban pasti yang 
tak mungkin disalahartikan kepada Gunung brahma, namun  
pikiran mengenai bagaimana menangani kesulitan 
besar lain berkecamuk dalam benaknya. Musuh yang 
tampak di depan matanya hanyalah bayangan api pada 
tembok. Menyiram air ke tembok takkan memadam-
kan api, dan sementara itu kebakaran sebetulnya  
akan berkobar di balik punggungnya. Ini merupakan 
hal lumrah dalam seni perang, namun aidit  tak 
sanggup memerangi sumber kebakaran, meskipun ia 
mengetahui asal-usulnya. Sehari sebelumnya, ia 
menerima pesan penting dari padalarang  bahwa mpu ireng  
mpu betarakatong  dari Kai mengerahkan centeng nya dan akan 
memanfaatkan ketidakhadiran aidit  untuk 
mengadakan serangan. Selain itu, puluhan ribu 
pengikut ronggodwijoyo  dikabarkan memberontak di 
bukit tengkorak , di provinsinya sendiri, jenggala , dan salah 
satu kerabatnya, mpu nala ki, dibunuh dan benteng kotanya 
direbut. Akhirnya, segala macam fitnah busuk yang 
menjelek-jelekkan aidit  disebarkan di kalangan 
rakyat jelata, dan para biksu-prajurit menghasut orang-
orang mpu ireng  untuk bergabung dengan mereka. 
Dapat dimengerti bahwa mpu betarakatong  memberontak. 
sesudah  berhasil mengadakan gencatan senjata dengan 
musuh lamanya, marga kramat dari Echigo, mpu betarakatong  
mengalihkan perhatiannya ke arah barat. 
  
"patih ronggolawe ! patih ronggolawe !" aidit  memanggil. 
"Ya, tuanku." 
"Cari tunggadewa . Kalian berdua harus segera mem-
bawa   surat ini ke trowulan ." 
"Surat untuk sang pandita ?" 
"Betul. Dalam suratku, aku meminta sang pandita  
sebagai penengah, namun  lebih baik jika beliau juga 
mendengarnya langsung dari mulutmu." 
"namun  kalau begitu, mengapa tuanku tadi 
memenggal kepala utusan dari Gunung brahma?" 
"Tidak mengertikah kau? Kalau aku tidak 
melakukannya, mungkinkah kita mengadakan 
perundingan damai? Kalaupun kita mencapai 
kesepakatan, mereka pasti akan melanggarnya dan 
mengejar-ngejar kita."  
"Tuanku benar. Sekarang hamba mengerti." 
"Tak pengaruh di pihak mana kau berada, tak 
peduli di mana pun api tampak, kebakaran ini hanya 
memiliki satu sumber. Tak salah lagi, ini ulah sang 
pandita  bermuka dua, yang gemar bermain api. Kita 
harus menempatkannya sebagai penengah dalam 
perundingan damai, lalu mundur secepat mungkin." 
Negosiasi damai pun dimulai. yosodiprojo  datang ke 
Kuil Mii dan berupaya meredakan aidit  dan 
mendamaikan kedua belah pihak. Orang-orang jawa  
dan mpu djiwo menganggapnya sebagai kesempatan 
menguntungkan, dan pada hari yang sama mereka 
meninggalkan Gunung brahma. 
Pada hari keenam belas, seluruh centeng  aidit  
  
mengambil jalan darat, dan dengan melewati jembatan 
terapung di Seta, mundur ke padalarang . 
  
mpu betarakatong  si Kaki Panjang 
 
 
 
MESKIPUN kramayudana  bersaudara dengan 
salah satu resi  marga Kai, ia menghabiskan sepuluh 
tahun terakhir dalam kedudukan rendah, sebab  
memiliki bakat istimewa kemampuannya untuk 
berlari kencang dalam jarak jauh. 
kramayudana  adalah pemimpin ninja marga mpu ireng  
orang-orang yang bertugas memata-matai provinsi lain, 
membentuk persekutuan gelap, dan menyebarkan 
desas-desus palsu. 
Sejak masa muda, bakat kramayudana  sebagai pejalan dan 
pelari yang gesit sudah  mengesankan teman-temannya. 
Ia sanggup mendaki gunung mana pun dan berjalan 
dua puluh sampai tiga puluh mil dalam sehari. 
Namun ia tak sanggup mempertahankan kecepatan-
nya hari demi hari. Perjalanan pulang dari suatu 
tempat terpencil biasa ditempuhnya dengan berkuda, 
kalau medannya mengizinkan, namun  jika menghadapi 
jalan-jalan setapak yang terjal, ia mengandalkan kedua 
kakinya yang kuat. sebab  inilah ia selalu menempat-
kan kuda di titik-titik penting di sepanjang jalur-jalur 
yang dilewatinya sering kali di pondok pemburu atau 
tukang kayu. 
"Hei, tukang arang! Pak Tua, kau di rumah?" kramayudana  
memanggil saat  turun dari kuda di depan gubuk 
pembuat arang. Ia bermandikan keringat, begitu pula 
  
kuda yang ditungganginya. 
Musim semi baru berganti dengan musim panas. 
Daun-daun di gunung-gunung masih tampak hijau 
pucat, sementara di daerah rendah suara jangkrik 
sudah mulai terdengar. 
Dia tidak ada, pikir kramayudana . Ia menendang pintu 
reyot yang segera terbuka. kramayudana  membawa   kuda yang 
hendak ditinggalkannya di dalam. sesudah  mengingat-
nya ke sebuah tiang, ia pergi ke dapur dan mengambil 
nasi, sayur asin, dan teh. 
Begitu selesai mengisi perut, ia mencari tinta dan 
kuas, lalu menuliskan pesan pada secarik kertas. 
lalu  ia memakai  beberapa butir nasi sisa 
untuk melekatkan kertas itu ke tutup tempat nasi. 
 
Ini bukan ulah musang. Akulah, kramayudana , yang menyantap 
makananmu. Kutinggalkan kudaku di sini agar kau 
mengurusnya dengan baik, sampai aku mampir lagi. 
 
saat  kramayudana  hendak berangkat, kudanya mulai 
menendang-nendang dinding, tak ingin tuannya pergi. 
Namun pemiliknya yang berhati dingin menoleh pun 
tidak, melainkan segera menutup pintu. Terlalu 
berlebihan jika dikatakan bahwa kakinya yang hebat 
membawa  nya terbang, namun  ia memang bergegas 
dengan kecepatan tinggi menuju Provinsi Kai yang 
bergunung-gunung. Sejak awal , tujuannya adalah ibu 
kota Kai, loji abang . Dan kecepatan yang dikembangkan-
nya mengisyaratkan bahwa ia membawa   laporan yang 
sangat penting. 
  
Keesokan paginya kramayudana  sudah  melintasi beberapa 
barisan pegunungan dan melihat aliran Sungai sonokeling di 
sebelah kanan bawah . Atap-atap yang tampak di antara 
kedua sisi lembah adalah atap-atap Desa Kajikazkertoarjo . 
Ia ingin mencapai loji abang  pada sore hari, namun  sebab  
perjalanan lancar, ia beristirahat sejenak, menatap 
matahari musim panas yang membakar Cekungan Kai. 
Tak pengaruh ke mana pun aku pergi, tak peduli 
kesulitan yang dialami di suatu provinsi pegunungan, 
memang tak ada tempat yang dapat menyaingi rumah 
sendiri. Pada waktu berpikir begitu, dengan tangan 
merangkul lutut, ia melihat barisan kuda yang 
membawa   ember-ember berisi sampang. Hmm, 
hendak ke manakah mereka? tanyanya pada diri 
sendiri. 
kramayudana  berdiri dan mulai menuruni 
gunung. Di tengah jalan ia berpapasan dengan kafilah 
yang terdiri atas paling tidak seratus kuda. "Heiii!" 
Laki-laki yang menuntun kuda paling depan 
ternyata kenalan lamanya. kramayudana  segera bertanya, 
"Sampangnya banyak sekali, bukan? Ke mana kau akan 
membawa  nya?" 
"Ke padalarang ," jawab  orang yang ditanya. Melihat roman 
muka kramayudana  yang penuh curiga, ia segera memberi 
penjelasan tambah an, "Kami akhirnya selesai mem-
buat sampang yang dipesan marga sinuhun  tahun lalu, 
jadi sekarang aku mengantarnya ke padalarang ." 
"Apa! Untuk orang-orang sinuhun ?" Sambil mengerut-
kan kening, kramayudana  seakan-akan tak mampu tersenyum 
  
dan mengucapkan selamat jalan. "Berhati-hatilah. 
Jalanan sangat berbahaya." 
"Kudengar para biksu-prajurit sudah  angkat senjata. 
Entah bagaimana nasib centeng  sinuhun ." 
"Aku tak bisa bercerita mengenai itu sebelum 
kusampaikan laporanku kepada Yang Mulia." 
"Ah, benar. Kau baru kembali dari sana, bukan? 
Hmm, kalau begitu kita tak boleh berbincang-bincang 
lebih lama di sana. Aku akan meneruskan perjalanan." 
Si pemimpin kafilah dan keseratus kudanya melintasi 
punggung bukit dan menuju ke barat. 
kramayudana  melihatlihat  kepergian mereka. Dalam hati 
ia berkata bahwa provinsi pegunungan tetap hanya 
provinsi pegunungan. Berita dari luar selalu terlambat, 
dan biarpun centeng  kita kuat dan resi -resi  kita 
cerdik, kita tetap memiliki kekurangan serius. Beban 
tanggung jawab nya terasa semakin berat, dan ia berlari 
ke kaki gunung dengan kecepatan burung walet. 
kramayudana  mengambil kuda lain di Desa Kajikazkertoarjo , dan 
dengan lecutan cemeti ia berpacu ke arah loji abang . 
benteng kota kokoh milik mpu ireng  mpu betarakatong  terletak di 
Cekungan Kai yang panas dan lembap. Wajah-wajah 
yang jarang terlihat, kecuali pada waktu provinsi 
mengalami masalah berat dan mengadakan rapat 
perang, kini satu per satu terlihat melewati gerbang 
benteng kota, sehingga para penjaga gerbang pun 
menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi. Di dalam 
benteng kota yang diselubungi kehijauan daun muda, 
suasana hening hanya terusik oleh jangkrik yang 
  
sesekali terdengar mengerik. 
Sejak pagi tidak banyak resi  yang pergi lagi. 
kramayudana  memacu kudanya ke gerbang. sesudah  turun di 
tepi selokan, ia melintasi jembatan dengan berjalan 
kaki, menggenggam tali kekang di tangannya. 
"Siapa itu?" Mata dan ujung tombak para penjaga 
tampak berkilau-kilau di pojok gerbang besi. kramayudana  mengikat kudanya ke pohon. 
"Aku," ia membalas, memperlihatkan wajahnya 
kepada para prajurit, lalu bergegas ke dalam benteng kota.  Ia sering keluar-masuk benteng kota, jadi walau mungkin  saja ada yang tidak tahu siapa ia sebetulnya , tak satu  penjaga gerbang pun yang tidak mengenali wajahnya  atau mengetahui jenis pekerjaannya. Di dalam benteng kota ada kuil zoroaster  yang  dinamakan Bishaki margo, mengambil nama dewa  pelindung daerah utara. Kuil ini berfungsi sebagai  ruang meditasi mpu betarakatong , sebagai tempat membahas 
masalah-masalah pemerintahan, dan sesekali sebagai tempat mengadakan rapat perang. mpu betarakatong  kini  berdiri di serambi kuil. Tubuhnya seolah-olah  melambai-lambai dalam embusan angin dari batu-batu 
dan aliran air di pekarangan. Di luar baju perang, ia 
mengenakan jubah merah seorang pendeta agung, 
yang seakan-akan tcrbuar dari kembang peoni 
berwarna merah padam. 
Tinggi badannya sedang-sedang saja, tubuhnya 
kekar berotot. Tampak jelas bahwa ia bukan 
sembarang orang. Orang-orang yang tak pernah 
  
bertemu dengan mpu betarakatong  menganggapnya menakut-
kan, namun  sebetulnya  tidak terlalu sukar didekati. 
Justru sebaliknya, ia cukup ramah. Hanya dengan 
menatapnya, orang dapat merasakan ketenangan alami 
dan wibawa   yang dimilikinya, sedangkan janggutnya 
memberikan kesan keras hati pada wajahnya. Namun 
ini memang ciri umum para laki-laki di Provinsi Kai. 
Satu per satu para resi  bangkit dari tempat 
duduk masing-masing dan mohon diri. Mereka 
mengucapkan sepatah-dua kata perpisahan dan 
membungkuk di hadapan junjungan mereka di 
serambi. Rapat perang sudah  berlangsung sejak pagi, 
dan mpu betarakatong  terus mengenakan baju tempur di bawah  
jubah merahnya, persis seperti di medan tempur. Ia 
tampak agak lelah akibat hkertoarjo  panas dan diskusi-
diskusi berkepanjangan. Sesaat sesudah  rapat berakhir, 
ia keluar ke serambi. Para resi  sudah  pergi, tak ada 
orang lain, dan tak ada apa-apa di Bishaki margo kecuali 
dinding-dinding berlapis emas yang berkilau-kilau 
dalam terpaan angin, dan  kicauan burung-burung 
yang terdengar merdu di telinga. 
Musim panas ini? mpu betarakatong  memandang ke 
kejauhan, menatap gunung-gunung yang mengelilingi 
provinsinya. Sejak pertempurannya yang pertama, saat 
ia berusia lima belas tahun, kariernya dipenuhi oleh 
peristiwa-peristiwa yang terjadi antara musim panas 
sampai musim gugur. Di sebuah provinsi pegunungan, 
musim dingin berarti mengurung diri di dalam dan 
memupuk kekuatan. Tentu saja pada waktu musim 
  
semi dan musim panas tiba, darah mpu betarakatong  pun 
bergelora, dan ia menghadap dunia luar sambil 
berkata, "Hah, sekaranglah waktu untuk bertempur!" 
Bukan hanya mpu betarakatong , semua centeng adipati  Kai bersikap 
demikian. Para petani dan penduduk kota pun merasa 
waktunya sudah  tiba, seiring dengan matahari musim 
panas. 
Tahun ini mpu betarakatong  berusia lima puluh, dan ia 
merasakan penyesalan mendalam perasaan tak sabar 
dengan tujuan hidupnya. Aku terlalu banyak 
bertempur demi pertempuran semata-mata, katanya 
dalam hati. Aku bisa membayangkan bahwa di Echigo, 
kramajaya  pun merasakan hal yang sama. 
saat  teringat lawan  tangguhnya selama bertahun-
tahun, mpu betarakatong  tak kuasa menahan senyum getir. namun   senyum yang sama membuat hatinya terasa pedih  saat  ia mengingat tahun-tahun yang sudah  berlalu. 
Berapa lama lagi ia akan hidup? 
Kai tertutup salju selama sepertiga tahun. Dan 
walaupun orang bisa bersilat lidah bahwa pusat dunia berada di tempat jauh, dan bahwa senjata-senjata  terbaru sulit diperoleh, mpu betarakatong  merasa ia sudah  menyia-nyiakan usianya dengan bertempur melawan  kramajaya  . 
Matahari bersinar cerah, bayang-bayang di bawah  
dedaunan tampak gelap. Selama bertahun-tahun mpu betarakatong  menganggap diri-nya prajurit terbaik di seluruh bagian timur majapahit . 
Kemampuan centeng nya, dan  kemakmuran dan 
  
pemerintahan provinsinya memang dihormati di 
seluruh negeri. 
Meski demikian, Kai sudah  terlempar ke pinggir. 
Sejak tahun lalu, saat  aidit  mendatangi trowulan , 
mpu betarakatong  merenungkan posisi Kai dan memandang 
dirinya dengan mata baru. Sasaran yang ditetapkan 
marga  mpu ireng  ternyata terlalu rendah. 
mpu betarakatong  tak ingin menghabiskan sisa usianya 
dengan imerbeut sepotong tanah dari provinsi-
provinsi tetangga. Pada waktu aidit  dan mpu mojosongo  
masih anak ingusan dalam gendongan pengasuh 
masing-masing, mpu betarakatong  sudah berangan-angan 
menyatukan seluruh negeri di bawah  pemerintahan-
nya yang bertangan besi. Ia menganggap provinsi 
pegunungan ini semata-mata sebagai tempat tinggal 
sementara, dan ambisinya begitu besar, sehingga ia 
sempat mengemukakan pemikiran itu  kepada 
utusan-utusan dari ibu kota. Dan sebetulnya  
pertempuran-pertempuran tanpa akhir dengan Echigo 
yang bertetangga hanya merupakan awal  dari sekian 
banyak pertempuran yang akan menyusul. namun  
sebagian besar pertempuran berlangsung melawan  
kramajaya , dan sudah  menghabiskan sebagian 
besar sumber daya provinsinya dan  menyita banyak 
waktu. 
saat  mpu betarakatong  menyadari ini, marga mpu ireng  sudah  
tertinggal di belakang aidit  dan mpu mojosongo . Sejak 
dahulu  ia menyebut aidit  "si anak ingusan dari 
jenggala " dan mpu mojosongo  "si balita  dari swaradwipa". 
  
sesudah  kupikir-pikir, ternyata aku sudah  melakukan 
kesalahan besar, ia mengakui dengan getir. saat  
hanya terlibat dalam pertempuran-pertempuran, ia 
hampir tak pernah menyesalkan apa-apa; namun  
sekarang, pada waktu merenungkan kebijaksanaan 
diplomatik, ia menyadari bahwa ia sudah  gagal. 
Mengapa ia tidak menuju tenggara saat  marga 
mpu marijan  dimusnahkan? Dan mengapa ia diam saja 
melihat mpu mojosongo  memperluas wilayahnya ke kertanegara  dan 
wirogeni, padahal ia sudah  menyandera kerabat mpu mojosongo ? 
Kesalahan yang lebih besar lagi adalah menjalin 
hubungan persaudaraan dengan aidit  dengan 
menempuh perkawinan atas permintaan si Penguasa 
jenggala . Jadi, aidit  sudah  memerangi musuh-
musuhnya di barat dan selatan, sekaligus melangkah 
ke arah pusat permainan. Sementara itu, sandera dari 
marga mpu mojosongo  sudah  memperoleh kesempatan dan 
berhasil melarikan diri, dan mpu mojosongo  dan aidit  pun 
sudah  membentuk persekutuan. Kini semua orang 
dapat menilai upaya diplomatik yang dijalankan 
mpu betarakatong . 
namun  takkan kubiarkan mereka berkomplot terus. 
Aku akan memperlihatkan pada mereka bahwa aku 
mpu ireng  mpu betarakatong  dari Kai. Sandera dari marga 
prabu kertoarjowardana   berhasil meloloskan diri. Ini memutuskan 
hubunganku dengan mpu mojosongo . Alasan apa lagi yang 
kuperlukan? 
Itulah yang dikatakannya dalam rapat perang. 
sesudah  memperoleh kabar bahwa aidit  berkemah 
  
di bukit tengkorak  dan rupanya terlibat pertempuran 
sengit, mpu betarakatong  yang lihai melihat kesempatan terbuka 
lebar. 
kramayudana  meminta salah seorang pembantu 
dekat mpu betarakatong  mengumumkan bahwa ia sudah  kembali.  Namun, sebab  tak kunjung dipanggil, ia mengulangi permintaannya. 
"Mungkin kedatanganku belum disampaikan pada 
Yang Mulia. Tolong beritahu beliau sekali lagi." 
"Yang Mulia baru selesai mengadakan rapat dan 
tampak agak lelah," pembantu tadi menjawab . 
kramayudana  mendesak, "Justru sehubungan dengan rapat 
itu aku harus segera menghadap Yang Mulia. Maaf, 
namun  aku terpaksa berkeras agar beliau segera 
dihubungi." 
Rupanya kali ini pesan kramayudana  disampaikan pada 
mpu betarakatong , dan ia segera dipanggil. Salah satu penjaga 
mengawal nya sampai ke gerbang tengah Bishaki margo. 
Di sana ia diserahkan pada penjaga benteng kota dalam 
dan dibawa   ke hadapan mpu betarakatong . 
mpu betarakatong  sedang duduk di kursi yang ditempat-
kannya di serambi Bishaki margo. Bayangan daun-daun 
muda dari sebatang pohon mengenai dirinya. 
"Langsung saja, kramayudana . Kabar apa yang kaubawa   
untukku?" tanya mpu betarakatong . 
"Pertama-tama, informasi yang hamba kirimkan 
sebelum ini sudah  berubah sama sekali. Jadi, untuk 
mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan, hamba 
  
datang ke sini secepat mungkin." 
"Apa!? Situasi di bukit tengkorak  sudah  berubah? Bagai-
mana maksudmu?" 
"Orang-orang sinuhun  sempat meninggalkan padalarang , 
seakan-akan hendak melakukan serangan besar-
besaran terhadap bukit tengkorak . namun  begitu aidit  
tiba di medan laga, dia segera memberikan perintah 
mundur. centeng nya harus membayar mahal, namun  
mereka mundur bagaikan laut di kala surut." 
"Mereka mundur. Lalu?" 
"Perintah itu rupanya tak terduga, bahkan oleh 
centeng nya sendiri. Para prajuritnya saling berbisik 
bahwa mereka tidak memahami jalan pikirannya, dan 
tidak sedikit yang tampak bingung sekali." 
Orang itu memang pintar! pikir mpu betarakatong , berdecak 
dan menggigit-gigit bibir. sebetulnya  sudah ada 
rencana untuk memancing mpu mojosongo  keluar dan meng-
hancurkannya, sementara aidit  terjebak oleh 
para biksu-prajurit di bukit tengkorak . namun  semuanya 
kandas, dan sekarang aku harus berhati-hati, mpu betarakatong  
berkata pada diri sendiri. lalu , sambil meng-
hadap ke ruang dalam kuil, ia tiba-tiba memanggil, 
"kertapati ! kertapati !" Cepat-cepat ia memerintahkan 
agar para resi  diberitahu bahwa keputusan untuk 
menuju garis depan yang diambil dalam rapat tadi 
dibatalkan. 
minakjinggo  kertapati , pengikut senior mpu betarakatong , tak 
sempat menanyakan alasannya. Disamping itu, para 
resi  yang baru saja pergi pasti akan bingung, sebab  
  
menyangka takkan ada kesempatan lebih baik untuk 
menaklukkan marga prabu kertoarjowardana  . Namun mpu betarakatong  
sadar bahwa kesempatannya sudah  berlalu, dan ia tak 
mungkin berpegang pada rencana semula. Ia justru 
harus mengambil tindakan balasan dan mencari 
kesempatan berikut. 
sesudah  melepaskan baju tempur, ia kembali ber-
temu dengan kramayudana . sesudah  menyuruh para 
pengikut-nya pergi, dengan cermat mpu betarakatong  men-
dengarkan laporan terperinci mengenai situasi di 
padalarang , Ise, swaradwipa, dan bratangbinangun. Belakangan, 
salah satu kecurigaan kramayudana  ditepis oleh mpu betarakatong . 
"Dalam perjalanan ke sini, hamba berpapasan 
dengan kafilah yang membawa   sampang dalam jumlah 
besar untuk orang-orang sinuhun , sekutu marga 
prabu kertoarjowardana  . Mengapa tuanku mengirim sampang 
kepada marga sinuhun ?" 
"Janji harus ditepati. Disamping itu, orang-orang 
sinuhun  mungkin kurang waspada, dan sebab  iring-
iringan kuda itu harus melewati wilayah prabu kertoarjowardana   
dahulu , kupikir ini kesempatan baik untuk mempelajari 
jalan ke dusun nyi kembang . namun  ternyata upaya ini pun sia-sia 
belaka." Sambil bergumam menyalahkan diri sendiri, 
ia melegakan diri di suatu tempat sepi. 
Keberangkatan centeng  Kai yang hebat akhirnya 
ditunda, dan para prajurit melewatkan musim panas 
tanpa berbuat apa-apa. namun  saat  musim gugur 
mendekat, desas-desus kembali terdengar di gunung-
gunung sebelah barat dan bukit-bukit sebelah timur. 
  
 
Pada suatu hari yang menyenangkan di musim gugur, 
mpu betarakatong  berkuda ke tepi Sungai Fuefuki. Hanya 
ditambah   segelintir pembantu, sosoknya yang pcnuh 
semangat, bermandikan cahaya matahari, tampak 
bangga akan ke-sempurnaan pemerintahannya. 
Pancaindranya menangkap fajar sebuah era baru. 
"Sekaranglah waktunya!" ia berkata dalam hati. 
Tulisan pada papan di gerbang kuil berbunyi 
"Kentokuzan". Inilah kuil tempat tinggal Kaisen, orang 
yang mengajarkan rahasia-rahasia Zen pada mpu betarakatong . 
mpu betarakatong  membalas sapaan para biksu dan pergi ke 
taman. sebab  hanya bermaksud mampir sejenak, ia 
sengaja tidak memasuki kuil utama. 
Tidak jauh dari sana ada pondok teh dengan dua 
ruangan saja. Air incngalir dari sebuah mata air. 
Daun-daun berwarna kuning jatuh ke pipa air yang 
melintang di tengah lumut berbau semerbak di taman 
batu. 
"Yang Terhormat, aku datang untuk mengucapkan 
selamat tinggal." 
Kaisen mengangguk saat  mendengar kata-kata 
mpu betarakatong . "Jadi, tuanku sudah  membulatkan tekad?" 
"Sudah cukup lama aku bersabar, menunggu 
kesempatan seperti ini, dan kurasa pada musim gugur 
ini keberuntungan sudah  beralih padaku." 
"Hamba memperoleh kabar bahwa centeng  sinuhun  akan 
menyerbu ke arah utara," ujar Kaisen. "Kelihatannya 
aidit  mengerahkan centeng  yang bahkan lebih 
  
besar dibandingkan  tahun lalu untuk mengancurkan 
Gunung brahma." 
"Begitulah," balas mpu betarakatong . "Kesabaran pasti akan 
berbuah. Aku bahkan menerima beberapa pesan 
rahasia dari sang pandita . Dalam pesan-pesan itu, sang 
pandita  mengatakan bahwa jika aku menyerang 
centeng  sinuhun  dari belakang, orang-orang jawa  dan 
mpu djiwo akan bangkit pada waktu yang limn, dan 
dengan bantuan dari Gunung brahma dan bukit tengkorak , 
aku hanya perlu menendang mpu mojosongo  untuk lalu  
segera menuju ibu kota. namun  apa pun yang 
kulakukan, padalarang  akan tetap merupakan ancaman. Aku 
tak ingin mengulangi kesalahan mpu marijan  mpu kepenuwoan , 
jadi aku menunggu saat yang tepat. Aku berencana 
untuk menyergap padalarang  secara tak terduga, lalu 
melintasi dusun nyi kembang , wirogeni, jenggala , dan blambangan  bagaikan 
petir, dan lalu  menuju ibu kota. Kalau berhasil, 
kurasa aku akan menyambut Tahun Baru di trowulan , 
Kuharap Yang Terhormat tetap dalam keadaan sehat." 
"Kalau itulah yang harus terjadi," Kaisen berkata 
dengan muram. 
Hampir dalam segala hal mpu betarakatong  minta pendapat 
Kaisen, mulai dari urusan pemerintahan sampai 
persoalan militer, dan ia percaya penuh pada Kaisen. 
Ia sangat peka terhadap ekspresi yang kini ditangkap-
nya. "Rupanya Yang Terhormat kurang berkenan 
dengan rencanaku." 
Kaisen mengangkat wajah. "Tak ada alasan bagi 
hamba untuk menentang-nya. Bagaimanapun, ini cita-
  
cita tuanku. Yang memicu  hamba merasa tidak 
tenang adalah rencana-rencana licik pandita  yosodiprojo . 
Bukan tuanku saja yang menerima surat-surat rahasia 
berisi desakan untuk segera menuju ibu kota. Hamba 
diberitahu bahwa Yang Mulia kramajaya   pun menerima 
surat-surat serupa. Dan rupanya sang pandita  juga 
mendesak Yang Mulia patih Motonari untuk meng-
angkat senjata, meski sesudah  itu beliau mening-gal." 
"Aku tahu. namun , lebih dari apa pun, aku harus pergi 
ke trowulan  untuk mewujudkan rencana-rencana besar 
yang kususun untuk negeri ini." 
"Memang, hamba pun tak sanggup menerima 
kenyataan bahwa orang dengan kemampuan seperti 
tuanku menghabiskan hidupnya di Kai," ujar Kaisen. 
"Hamba kira tuanku akan menemui banyak kesulitan 
dalam perjalanan, namun centeng  di bawah  komando 
tuanku belum terkalahkan. namun  ingatlah, hanya 
tubuh tuanku yang betul-betul merupakan milik 
tuanku, jadi pergunakanlah keberadaan tuanku 
dengan bijak. Hanya ini pesan hamba." 
Seorang biksu yang baru hendak mencedok air dari 
mata air yang jernih tiba-tiba menjatuhkan embernya, 
dan sambil berteriak-teriak tak jelas, berlari di antara 
pepohonan. Bunyi mirip rusa berlari terdengar 
bergema di taman. Biksu yang berusaha mengejar 
langkah yang kabur itu akhirnya bergegas kembali ke 
pondok teh. 
"Cepat kumpulkan orang-orang! Laki-laki men-
curigakan baru saja melarikan diri dari sini," katanya. 
  
Sebuah kuil bukanlah tempat bagi orang men-
curigakan, dan saat  Kaisen menanyai si biksu, 
semuanya terungkap. 
"Hamba belum melaporkan pada Yang Terhormat, 
namun  semalam seorang laki-laki mengetuk pintu 
gerbang. Dia mengenakan jubah biksu pengelana, 
sehingga kami mengizinkannya bermalam. Tentunya, 
kalau dia orang tak dikenal, kami takkan mem-
biarkannya masuk. namun  kami mengenalinya sebagai 
dul  latief , yang sebelumnya tergabung dalam 
centeng  ninja Yang Mulia dan sering mengunjungi 
kuil ini bersama para pengikut Yang Mulia. sebab  
menyangka tak ada masalah, kami membiarkannya 
tinggal di sini. 
"Tunggu dahulu ," ujar Kaisen. "Bukankah ini lebih 
imomourigakan lagi? Seorang anggota centeng  ninja 
menghilang di provinsi musuh selama bertahun-
tahun, tanpa pernah ada kabar darinya. Tiba-tiba dia 
mengetuk gerbang di tengah malam buta berpakaian 
seperti biksu, lagi dan meminta izin untuk bermalam. 
Kenapa kalian tidak lebih cermat waktu menanyai 
dia?" 
"Kami memang bersalah, tuanku. namun  dia mem-
beritahu kami bahwa dia ditahan saat  memata-matai 
orang-orang sinuhun . Menurut pengakuannya, dia meng-
habiskan beberapa tahun di penjara, namun  lalu  
berhasil melarikan diri, dan kembali ke Kai dengan 
menyamar. Tadi pagi dia mengatakan bahwa dia akan 
pergi ke loji abang  untuk menemui kramayudana , 
  
atasannya dalam centeng  ninja. Kami betul-betul 
termakan oleh ucapannya, namun  waktu hamba hendak 
mengambil ember di mata air, hamba melihat 
bajingan itu di bawah  jendela pondok teh, menempel 
seperti kadal." 
"Apa?! Dia menguping percakapanku dengan Yang 
Mulia?" 
"Waktu mendengar langkah hamba dan berpaling 
ke arah hamba, dia kelihatan kaget. lalu  dia 
cepat-cepat berjalan ke arah pekarangan belakang, 
sehingga hamba memanggilnya, menyuruhnya ber-
henti. Dia tidak memedulikan seruan hamba, malah 
mempercepat langkahnya. Lalu, saat  hamba ber-
teriak, 'Mata-mata!' dia berbalik dan mendelik ke arah 
hamba." 
"Dia berhasil lolos?" 
"Hamba berteriak sekuat tenaga, namun  semua 
pengikut Yang Mulia sedang makan siang. Hamba 
tidak berhasil menemukan bantuan, dan malangnya 
dia terlalu cepat untuk hamba." 
Si biksu dilirik pun tidak oleh mpu betarakatong , yang 
mendengarkan sambil membisu. namun  saat  mpu betarakatong  
beradu pandang dengan Kaisen, ia berkata dengan 
tenang, "kramayudana  ikut dalam rombonganku. 
Biar dia saja yang mengejar orang itu. Panggil dia ke 
sini." 
kramayudana  menyembah di pekarangan, lalu sambil 
menatap mpu betarakatong  yang masih duduk di pondok teh, 
menanyakan tugas yang akan diberikan padanya. 
  
"Beberapa tahun lalu ada seorang laki-laki bernama 
dul  latief  di bawah  komandomu, bukan?" 
kramayudana  berpikir sejenak, lalu berkata, "Hamba ingat. 
Dia lahir di Huchisuka di jenggala . Pamannya yang 
bernama syam kamaruzaman  penah memesan sepucuk senapan, 
namun  latief  mencurinya dan lari ke sini. Dia menyerah-
kan senapan itu sebagai hadiah kepada tuanku, dan 
diberi upah selama beberapa tahun." 
"Aku ingat soal senapan itu, namun  rupanya orang 
jenggala  tetap orang jenggala , dan sekarang dia bekerja 
untuk marga sinuhun . Kejar dia dan penggal kepalanya." 
"Kejar dia?" 
"Beraugkatlah sesudah  kau memperoleh penjelasan dari 
biksu itu. Kau harus segera mengejarnya, supaya dia 
tidak bisa lolos." 
Di sebelah barat Nirasaki, sebuah jalan setapak 
menyusuri kaki pegunungan di sekitar Komagatake 
dan Senjo, melintasi Taresi  di Ina. 
"Hei!" 
Suara manusia jarang terdengar di pegunungan ini. 
Si biksu berhenti dan menoleh, namun  ternyata tak ada 
apa-apa selain gema, sehingga ia kembali meng-
ayunkan langkah. 
"Hei, biksu!" Kali ini suaranya lebih dekat. Dan 
sebab  jelas bahwa dirinya yang dimaksud, si biksu 
berhenti sejenak sambil memegang pinggiran topinya. 
Dalam sekejap seorang laki-laki lain sudah  mendekat. 
Napasnya tersengal-sengal. saat  menghampiri si 
biksu, laki-laki itu tersenyum sinis. 
  
"Ini baru kejutan, dul  latief . Kapan kau tiba 
di Kai?" 
Si biksu tampak kaget, namun  segera menenangkan 
diri dan tertawa  kecil. 
"kramayudana ! Kukira siapa. Hmm, sudah lama kita tak 
berjumpa. Kelihatannya kau sehat-sehat saja, seperti 
biasa." 
Sindiran dibalas sindiran. Kedua-duanya pernah 
bertugas sebagai mata-mata di provinsi musuh. Tanpa 
keberanian dan ketenangan seperti ini, mereka takkan 
sanggup menjalankan tugas. 
"Terima kasih atas pujianmu." kramayudana  pun tampak 
tenang-tenang saja. Hanya orang kertoarjo m saja yang 
banyak cincong jika memergoki mata-mata musuh di 
daerahnya sendiri. namun , sebab  melihatnya dari sudut 
pandang seorang pencuri, kramayudana  tahu bahwa di siang 
hari bolong pun ada pencuri yang berkeliaran, 
sehingga ia tidak merasa heran. 
"Dua malam yang lalu kau mampir di Kuil Eirin, 
dan kemarin kau menguping pembicaraan rahasia 
antara Kepala Biara Kaisen dan Yang Mulia mpu betarakatong . 
Waktu kau dipergoki salah satu biksu, kau kabur 
secepat mungkin. Memang begitu, bukan, latief ?" 
"Ya, kau pun ada di sana?"  
"Sayangnya." 
"Hanya itulah yang tidak kuketahui."  
"Berarti kau bernasib buruk." 
latief  berlagak tak peduli, seakan-akan urusan ini 
tidak menyangkut dirinya. "Kupikir kramayudana , 
  
si ninja mpu ireng , masih memata-matai orang-orang sinuhun  
di Ise atau padalarang , namun  ternyata kau sudah kembali. Kau 
patut memperoleh pujian, kramayudana , kau selalu cepat 
sekali." 
"Simpanlah pujian-pujianmu. Kau boleh menyan-
jungku sesuka hati, namun  sesudah  aku menemukanmu, 
aku tak bisa membiarkanmu kembali dalam keadaan 
hidup. Kaupikir kau bisa melewati perbatasan sebagai 
orang bernyawa  ?" 
"Aku belum berniat mati. namun , kramayudana , bayang-
bayang kematian .sudah melintas di wajahmu. 
Tentunya kau tidak mengejarku sebab  ingin 
menyambut maut." 
"Aku datang untuk mengambil kepalamu, atas 
perintah majikanku. Dan itulah yang akan 
kulakukan."  
"Kepala siapa?"  
"Kepalamu." 
Begitu kramayudana  mencabut pedang panjang, dul  
latief  memasang kuda-kuda. Tombaknya siap 
menangkis serangan. Jarak antara kedua laki-laki itu 
agak jauh. Mereka berdiri saling melotot. Napas 
mereka bertambah  ccpat dan wajah mereka tampak 
pucat kelabu, seperti orang yang berada di ambang 
maur. lalu  sesuatu terlintas di benak kramayudana , 
dan pedangnya dimasukkannya kembali. 
"latief , turunkanlah tombakmu." 
"Kenapa? Kau takut?" 
"Tidak, aku tidak takut, namun  bukankah kita 
  
memiliki kewajiban yang sama? Tak ada salahnya 
seorang laki-laki gugur saat  menjalankan tugas, namun  
saling membunuh seperti ini tidak bermanfaat sama 
sekali. Mengapa tidak kaulepaskan jubah biksumu dan 
kauserahkan padaku? Kalau kau bcrsedia, aku akan 
membawa  nya kembali dan mengatakan bahwa aku 
sudah  membunuhmu." 
Di antara ninja terjalin rasa saling percaya yang 
tidak lazim bagi prajurit-prajurit lain. Mereka memiliki 
pandangan hidup berbeda, yang muncul  ukibat 
kekhususan tugas-tugas mereka. Bagi para centeng adipati  
pada umumnya, tak ada kewajiban yang lebih penting 
selain dari kesediaan untuk mati dcmi majikan. 
Namun jalan pikiran para ninja berbeda. Mereka 
sangat menyayangi nyawa  . Mereka harus kembali 
dalam keadaan hidup, tak peduli aib atau penderitaan 
yang menimpa mereka. Sebab, walaupun seseorang 
sanggup menyusup ke wilayah musuh dan berhasil 
memperoleh  keterangan berharga, informasi itu tak 
berguna jika ia tak dapat kembali ke provinsi asalnya 
dalam keadaan hidup. Maka dari itu, kematian 
seorang ninja di wilayah musuh tak lebih dari 
kematian seekor anjing, tak pengaruh berapa hebatnya 
ia berjuang sebelum menemui ajal. Tak peduli betapa 
taatnya orang itu  pada tata cara centeng adipati , jika 
kematiannya tidak bermanfaat bagi majikannya, ia 
mati sebagai seekor anjing. Jadi, meski ninja itu 
mungkin dianggap sebagai centeng adipati  bejat yang hanya 
ingin menyelamatkan nyawa   sendiri, ia memang ber-
  
kewajiban berbuat demikian, dengan menempuh 
segala cara. 
Baik kramayudana  maupun latief  berpegang teguh pada 
prinsip-prinsip itu, yang sudah  mendarah daging dalam 
diri mereka. Jadi, saat  kramayudana  mengatakan bahwa 
saling membunuh tak bermanfaat, lalu memasukkan 
kembali pedangnya, latief  pun segera menarik 
senjatanya. 
"Aku tidak berminat menjadi lawan mu dengan 
mempertaruhkan kepalaku. Syukurlah kalau kita bisa 
menyelesaikan urusan ini dengan selembar jubah 
biksu." Ia merobek sepotong kain dari jubah yang 
dipakainya, lalu melemparkannya ke depan kaki 
kramayudana . kramayudana  memungutnya. 
"Ini sudah cukup. Kalau kubawa   ini sebagai bukti, 
dan berkata bahwa dul  latief  sudah  kubunuh, 
urusannya selesai. Yang Mulia takkan berkeras melihat 
kepala seorang ninja biasa." 
"Ini pemecahan masalah untuk kota berdua. Nah, 
kramayudana , aku akan pergi sekarang. sebetulnya  aku ingin 
mengatakan 'Sampai jumpa lagi,' namun  aku berdoa agar 
itu takkan terjadi, sebab aku tahu itu akan merupakan 
pertemuan kita yang terakhir." lalu  latief  
segera berlalu, seakan-akan mendadak ngeri pada 
lawan nya, dan gembira sebab  ia berhasil menyelamat-
kan nyawa  . 
saat  latief  mulai menuruni lereng bukit, kramayudana  
meraih senapan dan sumbu yang sebelumnya ia 
sembunyikan di rumput, lalu mengikuti lawan nya. 
  
Letusan senapan terdengar menggema di 
pegunungan. kramayudana  langsung melemparkan senjata-
nya dan melompat bagaikan kijang, menuruni bukit, 
bermaksud menghabisi musuhnya yang sudah  roboh. 
dul  latief  jatuh telentang. namun  pada saat 
kramayudana  berdiri di atasnya dan mengarahkan ujung 
pedang ke dadanya, latief  menangkap dan menarik 
kaki kramayudana , mengempaskannya dengan kekuatan luar 
biasa. 
Kini latief  memperlihatkan wataknya yang liar. 
Sementara kramayudana  tergeletak tak sadarkan diri, latief  
melompat berdiri seperti serigala, meraih sebongkah 
batu dengan kedua tangan, dan menghantamkannya 
ke wajah kramayudana . Bunyi benturannya mirip  
bunyi buah delima saat pecah. 
lalu  latief  lenyap. 
 

 
patih ronggolawe , yang kini komandan benteng kota mergoharjoyo , 
melewatkan musim panas di pegunungan berhkertoarjo  
sejuk di bagian utara gunungselatan. Menurut para prajurit, 
bersantai lebih berat dibandingkan  bertempur di medan 
laga. Disiplin tak boleh diabaikan, walau hanya sehari. 
centeng  patih ronggolawe  sudah  beristirahat selama seratus 
hari. 
Namun, pada awal  bulan kesembilan, perintah 
untuk menuju garis depan diberikan, dan gerbang-
gerbang benteng kota mergoharjoyo  dibuka. Sejak meninggal-
  
kan benteng kota sampai tiba di tepi Danau Biwa, para 
prajurit belum memiliki  bayangan di mana mereka 
akan bertempur. 
Tiga kapal besar berlabuh di danau. Ketiganya 
dibuat selama Tahun Baru, dan masih berbau kayu 
yang baru digergaji. Baru sesudah  kuda-kuda dan orang-
orang naik ke kapal, para prajurit diberitahu bahwa 
tujuan mereka adalah ronggodwijoyo  atau Gunung brahma. 
sesudah  melintasi danau besar dan sampai di 
sekartanjung , anak buah patih ronggolawe  tampak terkejut 
melihat centeng  di bawah  aidit  dan resi -
resi nya sudah  tiba lebih dahulu . Di kaki Gunung brahma, 
panji-panji sinuhun  membentang sejauh mata meman-
dang. 
sesudah  mengakhiri pengepungan Gunung brahma dan 
mundur ke padalarang  pada musim dingin tahun lalu, 
aidit  memberi perintah untuk membuat kapal 
pengangkut centeng  yang setiap saat siap menye-
berangi dunia. Baru sekarang para prajurit memahami 
jalan pikiran dan  ucapannya saat  ia menghentikan 
serangan terhadap bukit tengkorak  dan kembali ke padalarang . 
Api pemberontakan yang berkobar di seantero 
negeri hanyalah bayangan api sebetulnya  sumber 
segala kebusukan yang berakar di Gunung brahma. 
Sekali lagi aidit  mengepung gunung itu dengan 
centeng  besar. Wajahnya memancarkan tekad baru, 
dan ia bicara cukup keras, sehingga suaranya terdengar 
dari dalam petak bertirai yang merupakan markasnya 
sampai ke barak-barak, seakan-akan tertuju pada pihak 
  
musuh. 
"Apa? Maksud kalian, kalian tidak mau meng-
gunakan api sebab  kebakaran mungkin menyebar ke 
biara-biara? Tahukah kalian apa itu perang? Kalian 
semua berpangkat resi , namun  itu pun tidak kalian 
pahami? Bagaimana kalian bisa sampai sejauh ini?" 
Itulah yang terdengar dari luar. Di dalam petak, 
aidit  sedang duduk, dikelilingi resi -resi -
nya yang paling berpengalaman. Semuanya menun-
dukkan kepala. aidit  mirip  seorang ayah 
yang tengah memarahi anak-anaknya. Walaupun ia 
junjungan mereka, kritik semacam ini sudah  melewati 
batas. Paling tidak, itulah yang terbaca pada wajah 
para resi  saat  mereka mengangkat kepala dan 
memberanikan diri menantang pandangan aidit . 
"Sikap tuanku tak berperasaan. Kami bukannya 
tidak paham, namun  kalau tuanku memberikan perintah 
keterlaluan yaitu membakar Gunung brahma, sebuah 
tempat yang selama berabad-abad dihormati sebagai 
tempat suci untuk memelihara kedamaian dan 
ketenteraman seluruh negeri kami sebagai pengikut 
tuanku memiliki alasan kuat untuk tidak menaati 
perintah itu," ujar mpu wiragajah  mpu wiraghanda. 
Ekspresi bertindak-atau-mati terlihat jelas di wajah 
mpu wiraghanda. Seandainya ia belum siap mati di tempat, 
tak mungkin ia berkata demikian pada aidit . 
Apalagi mengingat roman muka yang ditampilkannya. 
Meski sehari-hari pun sukar untuk berbicara terus 
terang di hadapan aidit , hari ini ia mirip  
  
roh jahat yang mengacungkan pedang dengan ganas. 
"Diam! Diam!" aidit  mengaum, menghentikan 
Takei Sekian dan tribuana  tunggadewa  yang hendak 
mendukung mpu wiraghanda. "Tidakkah pemberontakan-
pemberontakan dan  keadaan yang memalukan ini 
menimbulkan amarah dalam diri kalian? Para biksu 
sudah  melanggar ajaran sang zoroaster , menghasut 
rakyat, menimbun kekayaan dan senjata, dan  
menyebarkan desas-desus. Mereka tak lebih dari 
gerombolan panghasut yang mencari keuntungan 
sendiri dengan berlindung di balik tameng agama." 
"Kami tidak keberatan menjatuhkan hukuman atas 
pelanggaran-pelanggaran ini. namun   waktu satu hari 
tidak mungkin cukup untuk memperbarui agama yang 
dipercayai secara sungguh-sungguh oleh semua orang 
dan sudah  diberi hak-hak istimewa," mpu wiraghanda ber-
pendapat. 
"Apa gunanya berakal sehat?" aidit  meledak. 
"Selama 9 ratus tahun semua orang meng-
gunakan akal sehat. Justru sebab  itulah tak pernah 
uda yang berhasil mengubah keadaan, walaupun 
rakyat berkeluh kesah mengenai kelaliman dan 
kemerokuyang  akhlak para penegak agama. Bahkan 
Yang Mulia pengikut  Shirakkertoarjo  pernah berkata bahwa 
ada tiga hal yang berada di luar kekuasaannya: dadu, 
air Sungai Kamo, dan para biksu-prajurit di Gunung 
brahma. Apakah gunung ini berperan sebagai pemelihara 
kedamaian dan ketenteraman selama perang saudara 
berlangsung? Apakah gunung ini memberikan 
  
ketenangan dan ketabahan pada rakyat jelata?" 
aidit  tiba-tiba melambaikan tangan kanannya ke 
samping. "Selama berabad-abad, para biksu hanya 
melindungi hak-hak istimewa mereka pada waktu 
terjadi bencana. Dengan uang yang disumbangkan 
oleh massa yang mempercayai mereka, mereka 
membangun tembok-tembok batu dan gerbang-
gerbang yang cocok untuk sebuah benteng kota, dan di 
dalamnya mereka menimbun tombak dan senapan. 
Lebih buruk lagi, para biksu melanggar sumpah 
mereka secara terang-terangan dengan makan daging 
dan bersetubuh. Belum lagi soal kemerokuyang  ilmu 
keagamaan. Apakah kita berdosa kalau kita membakar 
semuanya sampai hangus?" 
mpu wiraghanda menjawab , "Setiap kata yang diucapkan 
tuanku mengandung kebenaran, namun kami harus 
mencegah tuanku. Kami tidak akan meninggalkan 
tempat ini sebelum berhasil mencegah tuanku, 
biarpun harus mengorbankan nyawa  ." Secara 
serempak ketiga resi  menyembah, lalu diam tak 
bergerak di hadapan aidit . 
Gunung brahma adalah markas besar sekte Tendai, 
sedangkan ronggodwi kubu utama sekte sayap kiri . Masing-
masing menjuluki yang lain "sekte yang satu lagi" 
dalam hal doktrin, dan mereka hanya dipersatukan 
oleh perlawan an terhadap aidit . aidit  tak 
sempat beristirahat sejenak pun, akibat ulah orang-
orang berjubah biksu yang tinggal di Gunung brahma. 
Mereka berkomplot dengan marga jawa  dan mpu djiwo 
  
dan  dengan sang pandita , membantu musuh-musuh 
yang dikalahkan aidit , mengirim pesan rahasia 
berisi permohonan bantuan sampai ke Echigo dan 
Kai, dan bahkan menyulut pemberontakan petani di 
jenggala . 
Ketiga resi  menyadari, tanpa menghancurkan 
kubu para biksu-prajurit yang konon tak dapat 
ditaklukkan, centeng  sinuhun  akan terhalang di setiap 
tikungan, dan aidit  takkan sanggup mewujudkan 
cita-citanya. 
namun  begitu mendirikan perkemahan, aidit  
memberikan perintah yang sukar dipercaya, "Serang 
gunung itu dan bakar semuanya sampai hangus, mulai 
dari tempat persembahan, gedung utama, biara-biara, 
dan  semua naskah kuno dan barang keramat." 
Tindakan itu saja sudah keras, namun aidit  
melanjutkan, "Kalau seseorang mengenakan jubah 
biksu, dia tidak boleh lolos. Jangan bedakan antara 
orang bijak dan pandir, bawahan  dan biksu biasa. 
Jangan beri ampun pada wanita lesbian  dan anak-anak. 
Seandainya ada orang berpakaian biasa, kalau dia ber-
sembunyi di gunung dan lari sebab  kebakaran, kalian 
boleh menganggapnya sebagai bagian penyakit yang 
harus diberantas. Bantai semuanya dan bakar gunung 
itu sampai tak ada tanda kehidupan tersisa di 
reruntuhannya!" 
Para raksasa dan roh-roh jahat penghuni neraka 
yang haus darah pun takkan bertindak seperti ini. Para 
resi  yang mendengar perintah aidit  tampak 
  
gelisah. 
"Sudah gilakah dia?" Takei Sekian bergumam 
perlahan, namun  cukup keras, sehingga terdengar oleh 
resi -resi  lain. Namun hanya mpu wiragajah  Nobu-
patih, Takei Sekian, dan tribuana  tunggadewa  yang berani 
mengutarakan pendapat mereka di depan aidit . 
Sebelum menghadap junjungan mereka, ketiganya 
sudah  berikrar, "Kita mungkin akan dipaksa melakukan 
seppuku satu per satu sebab  menentang perintah Yang 
Mulia, namun  kita takkan bisa membiarkan beliau 
melaksanakan serangan api." 
aidit  bisa saja mengepung dan merebut 
Gunung brahma. namun  perlukah mereka melakukan pem-
bantaian dengan serangan api? Jika mereka nekat 
menempuh langkah keji ini, mereka gelisah khawatir  rakyat 
akan berbalik menentang marga sinuhun . Semua musuh 
aidit  akan bersukacita, dan mereka akan meman-
faatkan serangan itu untuk memburuk-burukkan 
namanya dalam setiap kesempatan. Tindakan itu 
hanya akan menimbulkan reputasi buruk, yang selama 
berabad-abad ditakuti dan dihindari semua orang. 
"Kami takkan melakukan pertempuran yang akan 
membawa   kehancuran bagi tuanku," ketiga resi  
berkata dengan suara bergetar, mewakili semua yang 
hadir. 
Namun aidit  sudah  membulatkan tekad, dan 
tak ada tanda ia akan mempertimbangkan ucapan 
ketiga pengikutnya. Bahkan sebaliknya, sikapnya 
semakin keras. "Kalian boleh mengundurkan diri. 
  
Jangan berkata apa-apa lagi," ia memberitahu mereka. 
"Kalau kalian menolak menjalankan perintah ini, aku 
akan memerintahkan orang lain. Dan kalau para 
resi  lain dan para prajurit tidak menaatiku, aku 
akan melakukannya seorang diri!" 
"Perlukah kita melakukan kekejian seperti ini?" 
mpu wiraghanda kembali bertanya. "Menurut hamba, 
resi  sejati seharusnya sanggup menaklukkan 
Gunung brahma tanpa pertumpahan darah." 
"Aku muak dengan 'akal sehat' kalian! Lihatlah apa 
yang dicapai selama 9 ratus tahun berakal sehat. 
Kalau akar yang lama tidak dibakar habis, tunas yang 
baru takkan bisa tumbuh. Kalian terus membicarakan 
gunung ini, namun  aku tidak sekadar memikirkan 
Gunung brahma. Membakar Gunung brahma akan menye-
lamatkan agama di tempat-tempat lain. Kalau dengan 
membantai semua laki-laki, wanita lesbian , dan anak-
anak di Gunung brahma aku dapat membuka mata 
orang-orang yang lalai di provinsi-provinsi lain, berarti 
tindakanku tidak sia-sia. Neraka yang paling panas dan 
paling dalam tak berarti apa-apa bagiku. Siapa lagi 
yang sanggup melakukan ini selain aku? Aku 
memperoleh amanat para dewa untuk melakukannya." 
Ketiga resi , yang percaya bahwa mereka 
mengenai kehebatan aidit  lebih baik dibandingkan  
siapa pun, merasa terkejut mendengar pernyataan ini. 
Apakah junjungan mereka dikujawa  roh-roh jahat? 
Takei Sekian memohon, "Tidak, tuanku. Tak 
pengaruh perintah apa yang tuanku berikan pada 
  
kami, sebagai pengikut tuanku kami tak dapat berbuat 
apa-apa selain meminta agar tuanku ddak meneruskan 
rencana ini. Tuanku tak dapat membakar sebuah 
tempat yang dianggap suci sejak zaman..." 
"Cukup! Diam! Dalam hati aku sudah  menerima 
titah sang pengikut  untuk menghanguskan tempat ini. 
Aku memerintahkan pembantaian ini sebab  kasih 
sayang sang Pendiri, Dengyo, tersimpan di hatiku. 
Tidak mengertikah kalian?" 
"Tidak, tuanku." 
"Kalau begitu, menyingkirlah! Jangan halang-halangi 
aku."  
"Hamba akan terus menentang, sampai tuanku 
membunuh hamba."  
"Terkutuklah kau! Keluar!" 
"Kenapa hamba harus pergi? dibandingkan  melihatlihat  
kegilaan junjungan hamba dan kehancuran marga 
beliau semasa hamba masih hidup, lebih baik hamba 
berusaha mencegahnya dengan kematian hamba. 
Lihadah contoh-contoh di masa lampau. Tak seorang 
pun yang membakar kuil atau tempat persembahan 
zoroaster , atau membantai biksu, menemui ajal dengan 
tenang." 
"Aku berbeda. Aku tidak bertempur demi 
kepentingan sendiri. Dalam pertempuran ini, peranku 
adalah menghancurkan kebusukan lama dan mem-
bentuk dunia baru. Aku tidak tahu apakah ini 
keinginan para dewa, keinginan rakyat, atau panggilan 
zaman. Aku hanya tahu bahwa aku akan menjalankan 
  
perintah yang kuterima. Kalian semua takut, dan 
pandangan kalian terbatas. Seruan kalian adalah 
seruan orang berpandangan picik. Keuntungan dan 
kerugian yang kalian bicarakan hanya menyangkut aku 
sebagai individu. Kalau aku bisa melindungi provinsi-
provinsi dan menyelamatkan nyawa   yang tak terhitung 
jumlahnya dengan mengubah Gunung brahma menjadi 
neraka, aku sudah  mencapai keberhasilan besar." 
Sekian belum berhenti. "Rakyat akan memandang-
nya sebagai perbuatan iblis. Mereka akan bersukacita 
jika tuanku memperlihatkan perikemanusiaan. Jika 
tuanku terlalu keras, mereka takkan pernah menerima 
tuanku biarpun tuanku didorong oleh cinta kasih 
yang mendalam." 
"Kalau kita menahan diri sebab  pendapat umum, 
kita tak bisa bertindak sama sekali. Para pahlawan  
masa lampau mencemaskan pendapat umum, dan 
membiarkan kebusukan ini merongrong generasi-
generasi berikut. namun  aku akan menunjukkan cara 
memberantasnya untuk selama-lamanya. Dan kalau 
aku melakukannya, aku harus melakukannya sampai 
tuntas. Kalau tidak, percuma saja angkat senjata dan 
menuju pusat medan tempur." 
Amukan badai pun diselingi masa tenang. Suara 
aidit  agak melembut. Ketiga pengikutnya 
menundukkan kepala. 
patih ronggolawe  baru tiba sesudah  menyeberangi danau. 
Perdebatan sedang berlangsung seru saat  ia meng-
hampiri markas besar, sehingga ia menunggu di luar. 
  
Kini ia menyembulkan kepalanya melalui celah tirai, 
dan minta maaf sebab  mengganggu. 
Sesaat  semua orang memandang ke arahnya. 
Ekspresi aidit  mirip  api yang sedang 
mengamuk, sedangkan wajah ketiga resi  yang sudah  
siap mati tampak membeku, seakan-akan tertutup 
lapisan es. 
"Hamba baru tiba naik kapal," ujar patih ronggolawe  
dengan riang. "Danau Biwa di musim gugur luar biasa 
indah. Tempat-tempat seperti Pulau Chikubu di-
selubungi daun-daun berwarna merah. Rasanya sama 
sekali bukan seperti perjalanan menuju medan perang, 
dan hamba bahkan sempat menyusun sajak. Barang-
kali hamba akan membacakannya seusai per-
tempuran." 
Melangkah masuk, patih ronggolawe  bercerita mengenai 
apa saja yang terlintas di kepalanya. Pada wajahnya tak 
ada keseriusan yang sesaat lalu masih mencengkeram 
aidit  dan para pengikutnya. Sepertinya Hide-
yoshi tidak memiliki beban sama sekali. 
"Ada apa?" ia bertanya. Pandangannya bolak-balik 
antara aidit  dan ketiga resi  yang diam seribu 
bahasa. Ucapannya terasa menyejukkan, seperti 
semilir angin musim semi. "Ah, hamba sempat men-
dengar pembicaraan tuanku dari luar. Itukah sebabnya 
tuanku membisu? sebab  menyayangi junjungan 
mereka, para pengikut bertekad memberi peringatan 
dan rela mati untuk itu. sebab  memahami perasaan 
para pengikutnya, sang junjungan tak sampai hati 
  
menebas mereka. Ya, kelihatannya memang ada 
masalah. Bisa dibilang di kedua belah pihak ada segi 
baik dan buruk." 
aidit  menoleh secara tiba-tiba. "patih ronggolawe , kau 
datang pada saat yang tepat. Kalau kau sempat men-
dengar hampir seluruh percakapan kami, kau tentu 
memahami apa yang tersimpan dalam hatiku dan apa 
yang hendak dikemukakan oleh mereka bertiga." 
"Hamba memahaminya, tuanku." 
"Mungkinkah kau menaati perintahku? Kaupikir 
langkahku keliru?" 
"Hamba tidak berpikir sama sekali. Ah, tunggu 
dahulu . Kalau tidak salah, perintah ini didasarkan atas 
saran yang ditulis dan diserahkan oleh hamba pada 
tuanku beberapa waktu lalu." 
"Apa? Kapan kau memberi usulan seperti ini?" 
"Tuanku tentu tak ingat lagi. Kalau tidak salah, 
pada musim semi yang lalu." lalu  patih ronggolawe  
berpaling pada ketiga resi  dan berkata, "Aku 
hampir menangis saat  berdiri di luar dan 
mendengar peringatan kalian yang tulus. Singkat kata, 
yang paling kalian gelisah khawatir kan adalah bahwa seluruh 
negeri akan berbalik menentang Yang Mulia jika kita 
melancarkan serangan api terhadap Gunung brahma." 
"Tepat sekali. Seandainya kita melakukan kekejian 
semacam ini," ujar Sekian, "baik golongan centeng adipati  
maupun rakyat jelata akan menyesalkannya. Musuh 
musuh kita akan memanfaatkannya untuk memburuk-
kan nama Yang Mulia untuk selama-lamanya." 
  
"namun  sebetulnya  akulah yang menyarankan 
bahwa jika kita menyerang Gunung brahma, kita tidak 
boleh setengah-setengah. Jadi, gagasan ini bukan 
berasal dari Yang Mulia. Nah, kalau begitu, akulah 
yang akan menanggung kutukan atau reputasi buruk 
yang mungkin muncul ." 
"Betapa pongahnya!" mpu wiraghanda berseru. "Mengapa 
rakyat harus menyalahkan orang seperti kau? Apa pun 
yang dilakukan centeng  sinuhun  merupakan tanggung 
jawab  pimpinan tertinggi." 
"Tentu saja. namun  bukankah kalian semua bersedia 
membantuku? Bukankah kita bisa mengumumkan 
pada dunia bahwa kita berempat terlalu bersemangat 
melaksanakan perintah Yang Mulia, sehingga kita 
melangkah terlalu jauh? Kata orang, bukti kesetiaan 
yang paling kuat adalah memberikan peringatan, 
biarpun seseorang terpaksa merelakan nyawa   sebab -
nya. namun  menurutku memberi peringatan dan ber-
sedia mati belum cukup untuk membuktikan diri 
sebagai pengikut setia. Menurutku, sementara kita 
masih hidup, kitalah yang harus mengambil alih 
tanggung jawab  atas segala reputasi buruk, peng-
aniayaan, dan tuntutan. Setujukah kalian?" 
aidit  mendengarkan sambil membisu, tanpa 
memberi isyarat setuju atau tidak. 
Sekian-lah yang pertama menanggapi usulan 
patih ronggolawe . "patih ronggolawe , aku sependapat denganmu." Ia 
menatap tunggadewa  dan mpu wiraghanda. Mereka pun tidak 
keberatan. Dan mereka bersumpah untuk menyerang 
  
Gunung brahma dengan api, lalu mengumumkan bahwa 
tindakan mereka melampaui perintah aidit . 
"Rencana gemilang." Sekian memuji patih ronggolawe  
dengan nada mengungkapkan kekagumannya, namun  
aidit  tidak kelihatan gembira. Justru sebaliknya, 
tanpa mengatakan apa-apa, wajahnya memperlihatkan 
bahwa usulan patih ronggolawe  bukan sesuatu yang patut 
disanjung seperti itu. 
Pendapat yang sama juga terbaca di wajah 
tunggadewa . Meskipun tunggadewa  memahami saran 
patih ronggolawe , dalam hati ia merasa ucapan orang yang 
baru datang itu sudah  mengurangi arti peringatan yang 
diberikannya. Ia merasa iri. namun  sebagai orang cerdas 
ia segera merasa malu atas sikapnya itu. saat  ber-
mkertoarjo s diri, ia tiba pada kesimpulan bahwa orang yang 
bersedia mati sebab  menentang perintah junjungan-
nya tidak boleh berpikiran dangkal, meski hanya 
sejenak. 
Ketiga resi  merasa puas dengan rencana 
patih ronggolawe , namun  aidit  bersikap tak peduli. Dan 
yang jelas, ia tidak mengubah tujuannya semula. 
aidit  memanggil para komandannya satu per 
satu. 
"Malam ini, begitu sangkakala berbunyi, kita akan 
melancarkan serangan besar-besaran!" Ia sendiri 
mengulangi perintah yang sebelumnya sudah  ia berikan 
pada ketiga resi . Rupanya tak sedikit perwira yang, 
bersama Sekian, tunggadewa , dan mpu wiraghanda, menen-
tang serangan api, namun  sebab  ketiga orang itu sudah  
  
menyetujui perintah aidit , yang lain pun ber-
sikap sama dan pergi tanpa membantah. 
Beberapa kurir meninggalkan markas besar dan 
memacu kuda masing-masing untuk menyampaikan 
perintah itu pada centeng  garis depan di kaki gunung. 
Warna-warni awan  senja tampak cemerlang di 
belakang Shimeigadake saat  matahari tenggelam. 
Berkas-berkas cahaya kemerahan menyapu permukaan 
danau yang berombak. 
"Lihat!" aidit  berdiri di puncak bukit dan 
berkata pada orang-orang di sekitarnya, sambil 
memandang awan  di sekeliling Gunung brahma. "Dewa-
dewa ditambah    kita! Angin bertiup kencang. Ini cuaca 
paling baik untuk serangan api!" 
Pakaian mereka berdesir terkena embusan angin 
musim gugur yang dingin. aidit  hanya ditambah   
lima atau enam pengikut, dan pada saat itu seorang 
laki-laki mengintip ke balik tirai, seakan-akan mencari 
seseorang. 
Sekian menghardik orang itu, "Ada perlu apa? Yang 
Mulia ada di sini." 
centeng adipati  itu segera menghampirinya dan berlutut. 
"Bukan, hamba tidak membawa   berita untuk Yang 
Mulia. Apakah resi  patih ronggolawe  ada di sini?" 
saat  patih ronggolawe  muncul, si centeng adipati  berkata, 
"Seorang laki-laki berpakaian biksu baru saja 
memasuki perkemahan. Dia mengaku bernama 
dul  latief , salah satu pengikut tuanku, dan dia 
baru kembali dari Kai. Sepertinya dia membawa   
  
laporan yang sangat penting, sehingga hamba bergegas 
ke sini." 
Walaupun aidit  berdiri agak jauh dari 
patih ronggolawe , ia tiba-tiba berpaling ke arahnya. 
"patih ronggolawe , orang yang baru kembali dari Kai itu 
termasuk pengikutmu?" 
"Rasanya tuanku pun mengenalnya. dul  
latief , kepribadian  banaspati ." 
"latief ? Hmm, coba kita dengar apakah dia mem-
bawa   berita baru," ujar aidit . "Panggil dia ke sini. 
Aku juga ingin mendengar laporannya." 
latief  berlutut di hadapan patih ronggolawe  dan Nobu-
naga, lalu menceritakan pcmbicaraan yang didengar-
nya di Kuil Eirin. 
aidit  menggerutu. Ini ancaman berbahaya dari 
belakang. Seperti halnya serangan terhadap Gunung 
brahma tahun lalu, bahayanya belum berkurang sedikit 
pun. Justru sebaliknya, baik posisinya terhadap 
centeng  mpu ireng  maupun keadaan di daerah Naga-
shima sudah  memburuk. Namun dalam serbuan tahun 
lalu centeng  jawa  bergabung dengan centeng  Asa-
kura, dan mundur ke Gunung brahma. Kali ini 
aidit  tidak memberi kesempatan kepada musuh-
musuhnya, jadi centeng  yang kini dihadapinya tidak 
begitu kuat. Hanya saja selalu ada ancaman dari 
belakang. 
"Kurasa orang-orang mpu ireng  sudah  mengirim pesan 
ke Gunung brahma, jadi para biksu pasti berkepercayaan 
bahwa centeng  kita akan berputar dan kembali 
  
pulang," ujar aidit , lalu menyuruh latief  pergi. 
"Ini berkah dari para dewa," katanya. Ia tertawa  puas. 
"Mana yang lebih cepat centeng  mpu ireng  yang 
melintasi Pegunugan Kai dan  menyerbu ke jenggala  
dan blambangan , atau centeng  sinuhun  yang kembali sesudah   
menghancurkan Gunung brahma dan merebut ibu kota 
dan  Settsu? Sepertinya kita diidongeng -idongeng i insentif 
tambah an dalam persaingan ini. Semuanya kembali ke 
pos masing-masing!" 
aidit  menghilang di balik tirai. Asap mem-
bubung dari perkemahan raksasa yang mengitari bukit-
bukit di kaki Gunung brahma. saat  malam tiba, angin 
bertambah  kencang. Genta yang biasanya terdengar 
dari Kuil Mii kini membisu. 
Bunyi sangkakala berkumandang di puncak bukit, 
disambut teriakan perang para prajurit. Pembunuhan 
besar-besaran berlangsung mulai malam itu sampai 
fajar keesokan harinya. Para prajurit sinuhun  mendobrak 
rintangan-rintangan yang didirikan para biksu-prajurit 
di jalan-jalan setapak menuju puncak. 
Asap hitam memenuhi lembah. Api melahap 
seluruh gunung. Dari bukit-bukit di kaki gunung, 
lidah api terlihat di mana-mana. Danau Biwa pun 
tampak berpijar, memantulkan cahaya merah. Lokasi 
kebakaran terbesar menunjukkan bahwa kuil utama 
sudah  menyala, begitu juga ketujuh tempat per-
sembahan, gedung utama, menara genta, biara-biara, 
pagsinuhun  tempat penyimpanan harta, pagsinuhun  besar, dan 
semua kuil yang lebih kecil. saat  fajar menyingsing 
  
keesokan harinya, tak satu pun kuil yang masih 
berdiri. 
Para resi , yang saling membangkitkan semangat 
setiap kali menatap pemandangan mengerikan itu, 
harus mengingatkan diri bahwa aidit  mengaku 
sudah  menerima amanat dewa-dewa dan  pemberkahan 
dari Dengyo, sebelum kembali mendesak maju. Sikap 
para resi  yang tampaknya menerjang penuh 
kepercayaan, dijadikan contoh oleh anak buah mereka. 
Sambil menembus api dan asap hitam, para penyerang 
melaksanakan perintah aidit  dengan taat. 
9 ribu biksu-prajurit tewas dalam pertempuran 
yang mirip  neraka. Para biksu yang merangkak 
di lembah-lembah, bersembunyi di dalam gua, atau 
memanjat pohon untuk meloloskan diri, diburu dan 
dibunuh seperti hama pada tanaman padi. 
Sekitar tengah malam, aidit  sendiri menaiki 
gunung untuk melihat hasil apa yang dibawa   oleh 
tekadnya yang membaja. Para biksu Gunung brahma 
sudah  salah perhitungan. Meskipun terkepung oleh 
centeng  aidit , mereka tidak mau menyadari 
betapa seriusnya situasi mereka, dan menganggap 
semuanya sebagai gertakan kosong. Mereka sudah  
bersumpah untuk menunggu sampai centeng  sinuhun  
mundur, lalu mengejar dan menghancurkan musuh. 
Dan mereka menunggu tanpa berbuat apa-apa, merasa 
tenang sebab  banyaknya surat berisi pernyataan 
dukungan yang datang dari trowulan  yang berarti, tentu 
saja, dari sang pandita . 
  
Bagi semua biksu-prajurit dan pengikut-pengikut 
mereka di seluruh negeri, Gunung brahma merupakan 
pusat perlawan an terhadap aidit . namun  tokoh 
yang tak henti-hentinya mengirim perbekalan dan 
senjata ke Gunung brahma, dan yang berusaha keras 
untuk menghasut para biksu dan mendesak mereka 
agar bertempur, adalah pandita  yosodiprojo . 
"mpu betarakatong  dalam perjalanan!" Begitulah janji yang 
tercantum dalam pesan dari Kai untuk sang pandita . 
yosodiprojo  mengandalkan janji ini dengan harapan 
besar, dan sudah  meneruskannya ke Gunung brahma. 
Para biksu-prajurit tentu saja percaya bahwa 
centeng  Kai akan menyerang aidit  dari 
belakang. Dengan demikian aidit  akan terpaksa 
mundur, sama seperti tahun lalu di bukit tengkorak . Dan 
ada satu hal lagi. sebab  sudah  hidup tak terganggu 
selama 9 ratus tahun terakhir, para biksu tidak 
menyadari perubahan-perubahan yang sudah  melanda 
seantero negeri dalam tahun-tahun terakhir. 
Dalam setengah malam saja, Gunung brahma berubah 
menjadi neraka di bumi. Agak terlambat, sekitar 
tengah malam, saat  api sudah  merambat ke mana-
mana, utusan dari Gunung brahma, gemetar sebab  takut 
dan panik, datang ke perkemahan aidit  untuk 
memohon perdamaian. 
"Kami akan memberikan uang dalam jumlah berapa 
saja yang dimintanya, dan kami akan menyetujui 
setiap persyaratan yang ditetapkannya." 
aidit  hanya menyeringai dan berkata pada 
  
orang-orang di sekitarnya, seakan-akan melemparkan 
umpan pada burung rajawal i, "Tak perlu mereka 
diberi jawab an. Bunuh mereka di tempat." Sekali lagi 
para biksu mengirim rombongan utusan, dan kali ini 
mereka memohon langsung di hadapan aidit . 
aidit  membuang muka, dan memerintahkan 
agar mereka dibunuh. 
Fajar tiba. Gunung brahma diselubungi asap yang tak 
hilang-hilang, abu, dan pohon-pohon hangus; di 
mana-mana mayat-mayat tampak membeku dalam 
posisi seperti saat  maut datang menjemput. 
Di antara mereka tentu ada orang-orang 
terpelajar dan bijak, dan  para biksu muda harapan 
masa depan, pikir tunggadewa , yang pada pembantaian 
semalam berada dalam barisan terdepan. Pagi ini ia 
berdiri di tengah asap tipis, menutupi wajah, dan 
merasakan sesak di dada. 
Pada pagi yang sama, tunggadewa  sudah  menerima 
anugerah dari aidit . "Mulai sekarang kau ber-
tanggung jawab  atas Distrik Shiga. Kau akan 
menempati benteng kota sekartanjung  di perbukitan di kaki 
gunung." 
Dua hari lalu , aidit  menuruni gunung 
dan memasuki trowulan . Asap hitam masih membubung 
dari Gunung brahma. Rupanya tak sedikit biksu prajurit 
yang melarikan diri ke trowulan  agar lolos dari 
pembantaian, dan orang-orang itu kini membicara-
kannya seakan-akan ia merupakan penjelmaan iblis. 
"Orang itu raja setan." 
  
"Utusan dari neraka!" 
Para warga trowulan  diberi gambaran gamblang 
mengenai Gunung brahma dan peristiwa memilukan 
yang terjadi malam itu. Kini, pada waktu mereka 
memperoleh kabar bahwa aidit  menarik mundur 
centeng nya dan menuruni bukit, mereka terguncang. 
Desas-desus pun berkembang subur. 
"Sekarang giliran trowulan !" 
"Istana pandita  di sampangan takkan sanggup 
menangkal serangan api." 
Orang-orang mengunci pintu masing-masing, meski 
hari masih terang, mengemasi barang-barang, dan ber-
siap-siap mengungsi. namun   para prajurit aidit  
berkemah di tepi Sungai Kamo dan dilarang 
memasuki kota. Orang yang mengeluarkan larangan 
ini tak lain dari si raja setan yang sudah  memerintah-
kan serangan terhadap Gunung brahma. ditambah   
beberapa resi , ia kini memasuki sebuah kuil. 
sesudah  melepaskan baju tempur dan helm dan  
menyantap makanan panas, ia mengenakan jubah  
istana dan  hiasan kepala, lalu pergi. 
aidit  menunggangi kuda gagah berpelana 
indah. resi -resi nya tetap memakai baju tempur 
dan helm. Bersama keempat belas atau kelima belas 
orang ini, ia berkuda menyusuri jalan-jalan dengan 
sikap acuh tak acuh. Si raja setan tampak sangat 
tenang, dan tersenyum ramah pada orang-orang yang 
ditemuinya. Para warga membanjiri jalanan dan 
menyembah pada saat aidit  lewat. Takkan terjadi 
  
apa-apa. Mereka mulai bersorak-sorai, seiring rasa lega 
yang menyebar bagaikan gelombang. 
Tiba-tiba terdengar letusan senapan dari tengah-
tengah massa. Pelurunya menyerempet aidit , 
namun  ia bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa, dan 
hanya menoleh ke arah sumber letusan. Para resi  
di sekelilingnya tentu saja segera melompat turun dari 
kuda masing-masing dan bergegas menangkap si 
penjahat. Penembakan itu ternyata menyulut ke-
marahan para penduduk kota, dan mereka berseru-
seru dengan gusar, "Tangkap dia!" Pelaku kejahatan 
itu, yang menduga bahwa orang-orang trowulan  berada di 
pihaknya, rupanya salah perhitungan, dan tak me-
nemukan tempat bersembunyi. Ia seorang biksu-
prajurit, konon yang paling berani, dan ia terus 
mencaci maki aidit , bahkan saat ia diringkus. 
"Kau musuh sang zoroaster ! Raja setan!" 
Roman muka aidit  tak berubah sedikit pun. 
Sesuai rencana, ia menuju Istana Kekaisaran dan 
turun dari kuda. sesudah  mencuci tangan, dengan 
tenang ia menuju gerbang, lalu berlutut. 
"Amukan api yang terjadi semalam tentu mengejut-
kan Yang Mulia. Hamba memohon ampun sebab  
sudah  menimbulkan kegelisahan dalam diri Yang 
Mulia." 
Ia berlutut untuk waktu lama, sehingga orang yang 
melihatnya mungkin merasa bahwa permintaan maaf 
itu berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam. namun  
kini ia menatap gerbang dan tembok-tembok istana 
  
yang baru, lalu melemparkan pandangan puas ke arah 
resi -resi  di kiri-kanannya. 
 Meninggalkan pekerjaan adalah tindakan melawan  
hukum. Mereka yang menyebarkan desas-desus dan berita palsu langsung dihukutn mati. 
Segala sesuatu harus tetap seperti semula. Atas perintah sinuhun  aidit , Hakim Kepala 
 sesudah  ketiga ketetapan ini ditempelkan di semua  penjuru kota, aidit  kembali ke padalarang . Ia pergi 
tanpa menemui sang pandita , yang sudah  beberapa saat 
sibuk memperdalam selokan-selokan, membeli 
senapan, dan bersiap-siap menghadapi serangan api. 
Para penghuni istana pandita  melepaskan desahan 
lega, namun tetap merasa tidak tenang saat  
melihatlihat  kepergian aidit . 
  
API peperangan tidak hanya mengamuk di Gunung 
brahma melainkan juga berkobar bagaikan kebakaran 
padang belantara, mulai dari distrik-distrik bagian 
barat dusun nyi kembang , sampai ke desa-desa di tepi Sungai 
mahakam , bahkan sejauh perbatasan blambangan . centeng  
mpu ireng  mpu betarakatong  sudah melintasi Pegunungan Kai, dan 
kini menuju ke selatan. 
Orang-orang prabu kertoarjowardana  , yang memberi julukan 
"mpu betarakatong  si Kaki Panjang" pada musuh mereka, 
bersumpah akan menghalangi perjalanannya ke ibu 
kota. Ini bukan semata-mata demi kepentingan sekutu 
mereka, marga sinuhun . Kai sangat berdekatan dengan 
Provinsi dusun nyi kembang  dan wirogeni, dan jika centeng  
mpu ireng  berhasil menerobos, itu berarti kehancuran 
bagi seluruh marga prabu kertoarjowardana  . 
mpu mojosongo  kini berusia tiga puluh satu tahun dan 
sedang dalam masa kejayaannya. Para pengikutnya 
sudah  didera kemalangan dan penderitaan selama dua 
puluh tahun terakhir, namun  akhirnya mpu mojosongo  tumbuh 
dewasa, marganya pun menjalin hubungan per-
sahabatan dengan marga sinuhun , dan sedikit demi sedikit 
ia mulai melanggar batas-batas wilayah mpu marijan . 
Provinsinya dipenuhi harapan akan kemakmuran 
dan  keinginan untuk memperluas wilayah, demikian 
hebatnya, sehingga para pengikut, baik tua maupun 
  
muda, para petani, dan para penduduk kota tampak 
amat bersemangat. 
dusun nyi kembang  bukan tandingan Kai dalam hal per-
senjataan dan kekayaan, namun dalam hal tekad, 
provinsi itu tidak kalah sedikit pun. Itu sebabnya para 
prajurit prabu kertoarjowardana   memberi julukan "si Kaki Panjang" 
kepada mpu betarakatong . Lelucon ini pernah dicantumkan 
oleh aidit  dalam sepucuk surat kepada mpu mojosongo . 
dan saat  mpu mojosongo  membacanya, ia menganggap ini 
patut diceritakan kepada para pengikutnya. 
Julukan itu memang berdasar, sebab jika kemarin 
mpu betarakatong  masih bertempur melawan  marga kramat di 
perbatasan utara Kai, hari ini ia sudah  berada di 
Kozuke dan Sagami dan mengancam marga Hojo. 
Atau, berbalik secara cepat, ia menyulut api 
peperangan di dusun nyi kembang  atau blambangan . 
Selain itu, mpu betarakatong  selalu ikut terjun langsung ke 
medan perang untuk memberi pengarahan. Jadi orang-
orang mulai menyangka bahwa ia memiliki  boneka-
boneka yang dapat menggantikan tempatnya. namun  
sebetulnya , setiap kali anak buahnya bertempur, ia 
tampak belum puas kalau tidak berada di medan laga. 
namun  kalau mpu betarakatong  berkaki panjang, aidit  patut 
dinamakan  berkaki lincah. 
aidit  menulis kepada mpu mojosongo : 
 
Rasanya lebih baik jika Tuan tidak melakukan konfrontasi 
frontal dengan centeng  Kai. Aku ber-harap Tuan tetap 
tabah Jika situasi menjadi genting dan Tuan terpaksa 
mundur dan bratangbinangun ke swaradwipa. Kalaupun kita harus 
menunggu hari lain. aku percaya hari itu tak lama 
  
aidit  mengirim pesan kepada mpu mojosongo  sebelum 
membumihanguskan Gunung brahma, namun  mpu mojosongo  
berpaling kepada para pengikut senior dan berkata di 
hadapan kurir sinuhun , "Sebelum meninggalkan benteng kota 
bratangbinangun, lebih baik kita patahkan busur kita dan 
keluar dari golongan centeng adipati !" 
Dalam pandangan aidit , provinsi mpu mojosongo  
hanyalah salah satu garis pertahanan, namun   bagi 
mpu mojosongo , dusun nyi kembang  merupakan rumah. saat  menerima 
surat balasan yang dibawa   si kurir, aidit  
bergumam mengenai ketidaksabaran mpu mojosongo , lalu 
kembali ke padalarang  begitu ia selesai menangani Gunung 
brahma. mpu betarakatong  tentu terkesan dengan kecepatan yang 
diperlihatkan aidit . Sudah bisa diduga bahwa ia 
pun selalu siap mencari kesempatan. 
mpu betarakatong  pernah berkata bahwa terlambat satu hari 
saja dapat menimbulkan bencana untuk satu tahun, 
dan kini ia merasa semakin didesak untuk segera 
mewujudkan cita-citanya, yaitu memasuki ibu kota. 
sebab  alasan inilah semua upaya diplomatik 
dipergiat. Persahabatannya dengan marga Hojo kini 
mulai membuahkan hasil, namun   perundingannya 
dengan marga kramat tetap tidak memuaskan. Dengan 
demikian, ia terpaksa menunggu sampai bulan 
kesepuluh sebelum meninggalkan Kai. 
Tak lama lagi perbatasan dengan Echigo akan ter-
tutup salju, sehingga mengurangi kegelisah khawatir an 
mpu betarakatong  mengenai kramajaya . centeng nya yang 
berkekuatan sekitar 30.000 orang antara lain terdiri 
  
atas centeng  wajib militer dari seluruh wilayah 
kekuasaannya yang mencakup Kai, Shinano, kertanegara . 
bagian utara wirogeni, bagian timur dusun nyi kembang , bagian 
barat Kozuke, sebagian dwikerto , dan  bagian selatan 
Ktchu seluruhnya bernilai hampir 1.300.000 gantang. 
"Langkah terbaik bagi kita adalah memperkuat 
pertahanan," salah satu resi  berkata. 
"Paling tidak, sampai ada bala bantuan dari Yang 
Mulia aidit ." 
Sebagian orang di benteng kota Hamamauu cenderung 
memilih strategi bertahan. Biarpun semua centeng adipati  di 
provinsi mereka dikerahkan, kekuatan militer marga 
prabu kertoarjowardana   tidak mencapai 14.000 orang tak sampai 
setengah kekuatan centeng  mpu ireng . Meski demikian, 
mpu mojosongo  memerintahkan mobilisasi umum. 
"Hah! Masalah ini terlalu mendesak untuk me-
nunggu bala bantuan Yang Mulia aidit ." 
Semua pengikutnya percaya bahwa para prajurit sinuhun  
akan datang membantu sebab  merasa memiliki 
kewajiban moral atau sekadar untuk membalas jasa 
atas peran marga prabu kertoarjowardana   di Sungai Ane. Namun 
mpu mojosongo  seakan-akan tidak mengharapkan bala bantuan. 
Sekaranglah waktu yang tepat untuk memastikan 
apakah anak buahnya siap menghadapi situasi hidup 
mati, dan untuk menyadarkan mereka bahwa mereka 
harus mengandalkan kekuatan sendiri. 
"Kalau maju maupun mundur membawa   kita pada 
kehancuran, bukankah sudah sepantasnya kita me-
lancarkan serangan habis-habisan, mengukir nama 
  
harum sebagai prajurit, dan gugur dengan gagah 
berani?" ia bertanya dengan tenang. 
Didera kemalangan dan penderitaan sejak masa 
muda. mpu mojosongo  menjadi laki-laki yang tak pernah 
membesar-besarkan urusan sepele. Kini. menghadapi 
situasi seperti ini, suasana di benteng kota bratangbinangun 
terasa mendidih. namun , meski mpu mojosongo  memilih jalan 
kekerasan untuk menghadapi serangan orang-orang 
mpu ireng , nada suaranya hampir tak berubah. sebab  
itu ada beberapa pengikut yang merasa waswas 
mengenai perbedaan antara ucapannya dan arti kata-
kata itu. Namun mpu mojosongo  meneruskan persiapan untuk 
berangkat ke medan pertempuran. 
Satu per satu, seperti gigi sisir yang dipatahkan, 
laporan mengenai setiap kekalahan berdatangan. 
mpu betarakatong  sudah  menyerang wirogeni. Saat ini ada 
kemungkinan benteng kota-benteng kota di Tadaki dan Iida 
tidak memiliki  pilihan selain menyerah. Di desa 
Fukuroi, Kakegkertoarjo , dan Kihara, tak ada sejengkal 
tanah pun yang tidak diinjak-injak oleh centeng  Kai. 
Lebih gkertoarjo t lagi, barisan terdepan mpu mojosongo , yang 
berkekuatan 50000 orang dan berada di bawah  
komando mpu panjalu , mpu bajul , dan mpu jalapala , dipergoki oleh 
pihak musuh di sekitar Sungai mahakam . centeng  
prabu kertoarjowardana   mengalami kekalahan total dan dipaksa 
mundur ke bratangbinangun. 
Laporan ini membuat pucat semua orang di dalam 
benteng kota. namun  dengan diam mpu mojosongo  melanjutkan 
persiapan militer. Ia menaruh perhatian khusus pada 
  
pengamanan jalur-jalur komunikasi, dan sudah  
menangani pertahanan daerah itu sampai menjelang 
akhir bulan kesepuluh. Dan untuk mengamankan 
benteng kota mojowiryo  di tepi Sungai mahakam , ia mengirim 
centeng  tambah an, senjata, dan perbekalan. 
centeng nya meninggalkan benteng kota bratangbinangun, 
maju sampai ke Desa wiroguno di tepi Sungai mahakam , 
dan menemukan perkemahan centeng  Kai. Setiap 
posisi berhubungan dengan markas besar mpu betarakatong . 
seperti jari-jari yang mengelilingi naf. 
"Ah, persis seperti yang diduga." mpu mojosongo  pun berdiri 
di bukit dengan tangan terlipat dan melepaskan 
desahan kagum. Biarpun dari kejauhan, panji-panji di 
perkemahan utama mpu betarakatong  tampak jelas. Dari jarak 
lebih dekat, orang dapat membaca apa yang tertulis. 
Kata-kata itu merupakan ucapan tunggawesi yang 
tersohor, dikenal oleh kawan  maupun lawan . 
 
Cepat bagaikan angin.  
Hening bagaikan hutan.  
Bergairah bagaikan api.  
Diam seperti gunung. 
 
Diam seperti gunung, baik mpu betarakatong  maupun mpu mojosongo  
tidak mengambil tindakan selama beberapa hari. 
Dengan Sungai mahakam  di antara kedua perkemahan. 
musim dingin tiba di bulan kesebelas. 
 

 
  
Dua hal 
Melampaui mpu mojosongo : 
Helm bertanduk di kepala mpu mojosongo  
Dan mpu panjalu  wongsokerto. 
 
Salah seorang prajurit mpu ireng  mengibarkan cercaan 
ini di Bukit kaliluragung Di sanalah centeng  mpu mojosongo  
dikalahkan dan dibuat terkocar-kacir paling tidak, 
demikianlah pendapat para prajurit mpu ireng  yang 
mabuk kemenangan, namun , seperti diakui dalam sajak 
itu, marga prabu kertoarjowardana   memiliki sejumlah orang andal, 
dan gerak mundur mpu panjalu  wongsokerto patut dikagumi. 
mpu mojosongo  pun bukan lawan  ringan. namun  dalam per-
tempuran berikut, segenap kekuatan mpu ireng  akan ber-
hadapan dengan segenap kekuatan prabu kertoarjowardana  . Mereka 
akan saling menggempur dalam satu pertempuran 
yang menentukan seluruh perang. 
Bayangan mengenai pertempuran itu justru me-
macu semangat tempur orang-orang Kai. Begitulah 
watak mereka. mpu betarakatong  memindahkan perkemahan 
utamanya ke bambanglipuro dan menyuruh putranya, 
mpu jengger , dan  kertoraharja  wirajaya  menggerakkan 
centeng  mereka melawan  benteng kota mojowiryo , diiringi 
perintah tegas untuk tidak membuang-buang waktu. 
Sebagai tindakan balasan, mpu mojosongo  cepat-cepat 
mengirim bala bantuan, sambil berkata, "benteng kota 
mojowiryo  merupakan garis pertahanan penting. Jika 
musuh berhasil merebutnya, mereka memiliki tempat 
menguntungkan untuk melancarkan serangan." 
mpu mojosongo  sendiri yang membawa  hi barisan belakang, 
  
namun  centeng  mpu ireng  yang selalu berubah-ubah formasi 
kembali membentuk susunan baru dan mulai men-
desah dari semua sisi. Sepertinya, sekali saja mpu mojosongo  
mengambil langkah keliru, ia akan terputus dari 
markas besarnya di bratangbinangun. 
Persediaan air benteng kota mojowiryo  titik lemah 
benteng kota itu dipotong oleh pihak musuh. Pada satu 
sisi, benteng kota itu berbatasan dengan Sungai mahakam . 
dan air yang menopang kehidupan para prajurit di 
dalamnya harus ditimba dengan ember yang 
diturunkan dari sebuah menara. Untuk menghenti-
kannya, centeng  mpu ireng  meluncurkan rakit-rakit dari 
arah hulu dan merusak fondasi menara. Mulai hari 
itu, para prajurit di dalam benteng kota menderita 
kekurangan air, walaupun Sungai mahakam  mengalir 
tepat di depan mata mereka. 
Pada malam kesembilan belas, centeng  yang ber-
tahan menyerah. saat  mpu betarakatong  memperoleh kabar 
bahwa benteng kota itu menyerah, ia segera memberikan 
perintah baru. "mpu wiraghanda akan menempati benteng kota 
mojowiryo . Sano, Toysinuhun , dan Iwata akan terus ber-
hubungan dan bersiap-siap di sepanjang jalur mundur 
musuh." 
Seperti pemain go yang menyerbu  langkah setiap 
bidak, mpu betarakatong  waspada dengan formasi dan gerak 
maju centeng nya. Ke-270.000 prajurit Kai bergerak 
perlahan namun  pasti, seperu awan  hitam, diiringi 
tabuhan genderang yang menggema sampai ke langit. 
sesudah  itu centeng  utama mpu betarakatong  melintasi Dataran 
  
Iidani dan mulai memasuki bagian timur dusun nyi kembang . 
Menjelang siang, pada ranggal dua puluh satu, 
kabut merah tampak di Mikatagahara. mencemooh 
matahari musim dingin yang tak berdaya. Hawan ya 
cukup dingin untuk mengiris hidung dan telinga 
sampai putus. Sudah beberapa hari tak ada hujan, 
udara pun kering kerontang. 
"Ke Iidani!" demikian bunyi perintah yang me-
nimbulkan perbedaan pendapat di antara resi -
resi  mpu betarakatong . 
"Kalau kita menuju Iidani. berani Yang Mulia 
hendak mengepung bratangbinangun. Bukankah ini suatu 
kesalahan?" 
Beberapa orang merasa was-was sebab  centeng  
sinuhun  sudah  tiba di bratangbinangun, dan tak seorang pun 
mengetahui jumlah prajurit yang kini berada di sana. 
Menurut laporan-laporan rahasia yang berdatangan 
sejak pagi hari. kekuatan pihak musuh tak dapat 
dipastikan. Isi laporan-laporan itu selalu sama: Desas-
desus yang beredar di desa-desa sepanjang jalan 
memang ada benarnya centeng  sinuhun  berkekuatan 
besar konon sedang menuju ke arah selatan untuk 
bergabung dengan centeng  mpu mojosongo  di bratangbinangun. 
Akan namun   kabar burung itu pun sudah  bercampur 
dengan berita-berita palsu yang sengaja dilontarkan 
oleh musuh. 
Para resi  mpu betarakatong  menawarkan  pendapat 
masing-masing. 
"Kalau aidit  datang dengan centeng  besar dan 
  
bertindak sebagai barisan belakang bagi bratangbinangun. 
langkah berikut tuanku sebaiknya dipertimbangkan 
dengan matang." 
"Jika serangan terhadap benteng kota bratangbinangun ber-
kepanjangan sampai Tahun Baru, centeng  kita ter-
paksa melewatkan musim dingin di medan laga. 
Dengan serangan-serangan mendadak yang terus di-
lakukan oleh musuh, perbekalan kita akan menipis 
dan centeng  kita akan menjadi korban penyakit. Yang 
jelas, para prajurit akan menderita." 
"Di lain pihak, hamba gelisah khawatir  mereka mungkin 
memotong jalur mundur di sepanjang pantai dan di 
tempat-tempat lain." 
"Kalau barisan belakang sinuhun  memperoleh bala 
bantuan, centeng  kita akan terjebak di wilayah 
musuh suatu ancaman yang tak mudah diatasi. Kalau 
ini sampai terjadi, cita-cita tuanku untuk memasuki 
trowulan  akan terhalang, dan kita akan terpaksa mem-
buka jalur mundur yang penuh darah. Berhubung 
centeng  kita sudah dalam keadaan siaga, mengapa 
tuanku tidak mengejar tujuan utama dan maju ke ibu 
kota dibandingkan  menyerang benteng kota bratangbinangun?" 
mpu betarakatong  duduk di tengah-tengah para resi . 
Kedua matanya nyaris terpejam, mirip  jarum, ia 
mengangguk-angguk saat  mendengar pandangan 
anak buahnya, lalu berkata dengan hati-hati, "Semua 
ucapan kalian memang masuk akal. namun  aku percaya 
bala bantuan marga sinuhun  takkan berkekuatan lebih 
dari tiga sampai empat ribu orang. Kalaupun sebagian 
  
besar centeng  sinuhun  menuju bratangbinangun. orang-orang 
jawa  dan mpu djiwo yang sudah  kuhubungi sebelumnya 
akan menyerang aidit  dari belakang. Selain itu, 
sang pandita  di trowulan  mengirim pesan kepada para 
biksu-prajurit, dan mendesak mereka untuk segera 
angkat senjata. Orang-orang sinuhun  bukan ancaman 
besar bagi kita." 
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan 
tenang, "Sejak semula keinginanku adalah memasuki 
trowulan . namun  kalau kita melewati mpu mojosongo  begitu saja 
sekarang, pada waktu kita berpaling ke padalarang , mpu mojosongo   
akan membantu orang-orang sinuhun  dengan meng-
hadang di belakang kita. Bukankah paling baik kalau 
mpu mojosongo   dihancurkan di benteng kota bratangbinangun, sebelum 
orang-orang sinuhun  sempat mengirim bala bantuan 
memadai?" 
Para resi  tak dapat berbuat apa-apa selain 
menerima keputusan mpu betarakatong , bukan saja sebab  ia 
junjungan mereka, melainkan sebab  mereka mem-
percayai keahliannya sebagai penyusun taktik. 
Namun, saat  mereka kembali ke resimen masing-
masing, di antara mereka ada satu orang, kartawiwaha  
brewirabumi , yang menatap matahari musim dingin 
sambil berkata dalam hati, "Orang ini hidup untuk 
perang, dan kemampuannya sebagai pemimpin 
centeng  sungguh luar biasa, namun  kali ini..." 
Pada malam hari, laporan mengenai pergantian 
arah centeng  Kai sampai di benteng kota bratangbinangun. 
Hanya 50000 orang di bawah  danakertoarjo   ngabeni 
  
dan mpu wiragajah  mpu wiraghanda yang tiba di benteng kota itu, bala 
bantuan dari aidit . 
"Jumlah yang tak ada artinya," salah seorang 
pengikut prabu kertoarjowardana   berkomentar kecewa, namun  mpu mojosongo  
tidak memperlihatkan kegembiraan maupun ketidak-
puasan. saat  laporan demi laporan berdatangan, 
sebuah rapat perang dimulai. Tidak sedikit resi  
mpu mojosongo  yang menganjurkan untuk mundur sementara 
ke swaradwipa, dan mereka memperoleh dukungan para 
komandan sinuhun . 
Hanya mpu mojosongo  yang tak tergerak, tetap berkeras 
untuk bertempur. "Apakah kita akan mundur tanpa 
melepaskan satu anak panah pun, sementara musuh 
menghina provinsiku?" 
Di sebelah utara bratangbinangun ada sebuah dataran 
yang lebih tinggi dibandingkan  daerah sekitarnya, lebarnya 
lebih dari dua mil. sedangkan panjangnya tiga mil 
Mikatagahara.  
Menjelang fajar pada hari ke-22, centeng  mpu mojosongo  
meninggalkan bratangbinangun dan mengambil posisi di 
sebelah utara sebuah tebing terjal. Di sanalah mereka 
menanti kedatangan centeng  mpu ireng . 
Matahari muncul, lalu  langit diselubungi 
awan . Dengan tenang seekor burung melintasi langit 
yang membentang di atas datatan yang tandus dan 
gersang. Dari waktu ke waktu, para pengintai kedua 
centeng  merangkak di tengah rerumputan, menye-
rupai bayangan burung, lalu kembali ke perkemahan 
masing-masing. Pagi itu centeng  mpu betarakatong , yang semula 
  
berkemah di dataran itu, melintasi Sungai mahakam . 
terus berbaris, dan mencapai Saigadani beberapa saat 
sesudah  siang hari. 
Perintah berhenti diberikan pada seluruh centeng . 
dwaradwipa  Nobushigc dan para resi  lain berkumpul 
di sisi mpu betarakatong  untuk memastikan posisi musuh yang 
akan segera berada tepat di depan mereka. sesudah  
berpikir sejenak. mpu betarakatong  memerintahkan agar satu 
resimen bertugas sebagai barisan belakang, sementara 
centeng  utama sesuai rencana terus melintasi Dataran 
Mikatagahara. 
Mereka berada di dekat Desa Iwaibe. Barisan ter-
depan sudah  memasuki desa itu. Orang-orang di kepala 
iring-iringan yang bagaikan ular ini tak dapat melihat 
para prajurit di ujung yang satu lagi, biarpun sambil 
berdiri di sanggurdi. 
mpu betarakatong  menoleh dan berkata kepada para pengikut 
yang mengelilinginya, "Di belakang sedang terjadi 
sesuatu." 
Anak buahnya memandang ke belakang, berusaha 
menembus debu kuning yang umpak di kejauhan. 
Sepertinya barisan belakang mereka sedang diserang 
musuh. 
"Mereka pasti terkepung!        
"Jumlah mereka hanya dua ribu atau 50000 
orang! Kalau mereka terkepung, mereka akan di-
gulung habis!" 
Semua resi  merasa kasihan pada orang-orang di 
balik awan  debu itu. Sambil menggenggam tali kekang 
  
masing-masing, mereka menonton dengan perasaan 
galau. mpu betarakatong  pun membisu. Walaupun mereka sudah  
menduga, anak buah mereka dibantai dan roboh satu 
per satu. 
Tentu ada beberapa orang yang memiliki putra, 
ayah, atau saudara yang tergabung dalam barisan 
belakang. Dan ini bukan hanya berlaku bagi para 
pengikut dan resi  yang berkumpul di sekitar 
mpu betarakatong . Seluruh centeng  sampai ke para prajurit 
infanteri memandang ke samping sambil terus ber-
jalan. 
Menyusul dari belakang, dwaradwipa  Nobushige 
memacu kudanya ke sisi mpu betarakatong . Suara Nobushide 
bernada tegang dan terdengar jelas oleh mereka yang 
berada di dekatnya. Dari atas kudanya ia berkata. 
"Tuanku! Kesempatan untuk membantai sepuluh ribu 
prajurit musuh takkan terulang lagi. Hamba baru 
kembali dari mengamati formasi musuh yang 
menyerang barisan belakang kita. Masing-masing 
kesatuan membentuk formasi sayap bangau. Sepintas 
lalu, mereka tampak seperti centeng  besar, namun  
sebetulnya  garis kedua dan ketiga tidak memiliki 
kekuatan, mpu mojosongo  dikawal  oleh segelintir prajurit yang 
nyaris tak berarti apa-apa. Bukan itu saja, resimen-
resimen mereka tampak kacau-balau, dan kelihatan 
jelas bahwa bala bantuan sinuhun  tak ingin bertempur. 
Jika tuanku memanfaatkan kesempatan ini dan 
menyerang, sudah pasti tuanku akan meraih 
kemenangan." 
  
sesudah  mendengar laporan Nobushige, mpu betarakatong  
menoleh ke belakang dan mengutus beberapa 
pengintai untuk menyelidiki kebenaran laporan itu. 
Mendengar nada suara mpu betarakatong , Nobushige 
mengekang kudanya dan menahan diri. 
Dua pengintai memacu kuda masing-masing. sudah  
diketahui oleh mpu betarakatong  bahwa centeng  musuh jauh 
lebih kecil dibandingkan  centeng  mereka, dan Nobushige 
menghormati keengganan junjungannya untuk meng-
ambil tindakan tergesa-gesa. namun  ia sendiri memiliki 
watak seperti seekor kuda yang sukar dikendalikan, 
dan hampir tak sanggup memaksakan diri agar 
bersabar. 
Kesempatan militer dapat menguap secepat kilat 
menyambar. 
Kedua pengintai tadi kembali dan memberikan 
laporan, "Pengamatan dwaradwipa  Nobushige dan 
pengamatan kami persis sama. Ini suatu kesempatan 
yang diberikan oleh para dewa." 
Suara mpu betarakatong  terdengar menggemuruh. Rumbai-
rumbai berwarna putih pada helmnya terguncang 
maju-mundur saat  ia memberikan perintah kepada 
para resi  yang berada di kiri-kanannya. Sangkakala 
dibunyikan. saat  centeng  berkekuatan dua puluh 
ribu orang itu mendengar bunyinya yang ber-
kumandang dan ujung depan sampai ke ujung 
belakang, barisannya langsung pecah, memicu  
bumi bergetar. Lalu dengan segera para prajurit 
mpu betarakatong  membentuk formasi mirip  ikan dan 
  
bergerak maju ke arah centeng  prabu kertoarjowardana  , diiringi 
tabuhan genderang. 
mpu mojosongo  terpesona melihatlihat  kecepatan yang 
diperagakan centeng  mpu betarakatong , dan bagaimana 
centeng  itu bereaksi atas setiap perintah yang 
diberikan. Ia berkara, "Jika aku sempat mencapai usia 
setua mpu betarakatong , aku berharap aku pun mampu meng-
gerakkan centeng  besar seterampil dia, biarpun hanya 
sekali saja. sesudah  melihat bakatnya sebagai pemimpin 
centeng , aku enggan melihatnya terbunuh, walaupun 
ada yang menawarkan  untuk meracuni dia." 
resi -resi  musuh pun terkagum-kagum melihat 
kepemimpinan mpu betarakatong  di medan laga. Baginya 
bertempur merupakan seni. Para resi nya yang 
perkasa dan prajurit-prajuritnya yang berani menghiasi 
kuda, baju tempur, dan panji-panji mereka, agar dapat 
mencapai dunia berikut dengan lebih gemilang. 
Kesannya seakan-akan puluhan ribu rajawal i dilepas-
kan atas perintah mpu betarakatong . 
Dalam satu tarikan napas, mereka maju, sehingga 
wajah musuh terlihat di depan mata. centeng  
prabu kertoarjowardana   berputar bagaikan rsinuhun  raksasa, mem-
pertahankan formasi sayap bangau, dan menghadapi 
lawan  seperti bendungan manusia. 
Debu yang diterbangkan oleh musuh dan orang-
orang mereka sendiri menutupi langit. Hanya 
pantulan sinar matahari pada ujung-ujung tombak 
yang terlihat dalam kegelapan. centeng  tombak Kai 
dan dusun nyi kembang  sudah  maju ke garis depan, dan kini saling 
  
berhadapan. Pada waktu satu pihak melepaskan 
teriakan, pihak satunya segera membalas hampir 
seperti gema. saat  awan  debu mulai mengendap, 
kedua belah pihak dapat saling melihat, namun  jarak 
yang memisahkan mereka masih cukup jauh. Tak 
seorang pun maju dari kedua barisan tombak yang 
sejajar. 
Pada saat seperti ini, prajurit paling berani pun 
gemetar ketakutan. Bisa dibilang mereka "ngeri", namun  
ini berbeda sama sekali dari rasa takut biasa. Bukan 
semangat mereka yang goyah; mereka gemetar sebab  
perubahan dari kehidupan sehari-hari ke suasana 
pertempuran. Ini hanya berlangsung beberapa detik, 
namun  selama itu kulit mereka merinding dan menjadi 
semerah jengger ayam jantan. 
Bagi sebuah provinsi yang sedang berperang, nyawa   
seorang prajurit tak berbeda dari nyawa   petani yang 
membawa   pacul. Masing-masing sama berharganya. 
Dan jika provinsi itu  runtuh, semuanya akan ikut 
binasa. Mereka yang tidak memedulikan pasang-
surutnya provinsi mereka dan hidup bermalas-
malasan, mirip  kotoran yang menempel pada 
tubuh manusia lebih tak bernilai dari satu kedipan 
mata. 
namun  disamping itu semua, saat pertama kali 
berhadap-hadapan dengan musuh konon sungguh 
mengerikan, langit dan bumi menjadi gelap, biarpun 
di tengah siang bolong. Orang tak dapat melihat apa 
yang berada di depan matanya. Ia tak sanggup maju 
  
maupun mundur, dan ia terdorong ke sana kemari di 
tengah tombak-tombak. 
Dan orang yang cukup berani untuk melangkah 
maju mendahului yang lain diberi gelar Tombak 
Pertama. Orang itu  dipandang penuh hormat 
oleh ribuan prajurit di kedua belah pihak. Namun 
tidaklah mudah mengayunkan langkah pertama. 
lalu  satu orang melangkah maju. 
"resi  Kuroji dari centeng  prabu kertoarjowardana   adalah 
Tombak Pertama!" seorang centeng adipati  berseru. Baju 
tempur resi  sederhana saja, dan namanya tidak 
terkenal. Kemungkinan ia hanya centeng adipati  biasa dari 
marga prabu kertoarjowardana  . 
Orang kedua menerobos dari barisan prabu kertoarjowardana  . 
"Adik Kuroji, Genjiro, adalah Tombak Kedua!" 
Kakaknya lenyap dalam barisan musuh dan tertelan 
dalam kemelut. 
"Aku Tombak Kedua! Aku adik resi  Kuroji. 
Tataplah aku baik-baik, serangga-serangga mpu ireng !" 
Empat atau lima kali Genjiro mengacung-acungkan 
tombaknya di hadapan centeng  musuh. 
Seorang prajurit Kai meneriakkan penghinaan dan 
menerjang maju. Genjiro terjatuh ke belakang, namun  
sempat meraih tombak yang membentur pelindung 
dadanya, lalu melompat berdiri sambil bersumpah 
serapah. 
Saat itu rekan-rekannya juga sudah mulai 
menyerang, namun  orang-orang mpu ireng  pun melakukan 
hal yang sama. Pemandangan itu mirip  dua 
  
gelombang darah, tombak, dan baju tempur yang 
saling menghantam. Terinjak-injak oleh rekan-
rekannya sendiri dan  oleh kaki kuda-kuda. Genjiro 
memanggil-manggil kakaknya. Sambil merangkak, ia 
menangkap kaki seorang prajurit Kai dan menariknya 
sampai jaruh. Langsung saja ia memenggal kepala 
orang itu, lalu membuangnya. sesudah  itu, tak seorang 
pun pernah melihat Genjiro lagi. 
Pertempuran pecah dalam suasana kacau-balau, namun  
bentrokan antara sayap kanan centeng  prabu kertoarjowardana   dan 
sayap kiri centeng  mpu ireng  belum mencapai tingkat 
kekerasan seperti ini. 
Kedua barisan sejajar itu membentang jauh. 
Gemuruh genderang-genderang dan tiupan sangkakala 
terdengar di tengah-tengah awan  debu. Entah bagai-
mana, para pengikut mpu betarakatong  berada agak di belakang. 
Kedua belah pihak tak sempat menempatkan centeng  
senapan di garis depan, jadi pihak mpu ireng  
mengerahkan resimen Mizumata centeng adipati  bersenjata 
katapel. Batu-batu yang mereka tembakkan jatuh 
bagaikan hujan. lawan  mereka centeng  di bawah  
mpu  jayadijaya . dan di belakang itu bala bantuan 
marga sinuhun . jayadijaya  duduk di atas kudanya, 
mendecakkan lidah dengan kesal. 
Hujan batu dari garis depan centeng  Kai mengenai 
kudanya dan membuatnya tak terkendali. Dan bukan 
kudanya saja. Kuda-kuda centeng  kavaleri yang 
menunggu kesempatan di belakang kesatuan tombak 
pun memberontak dan meninggalkan formasi. 
  
centeng  tombak menunggu perintah jayadijaya  
yang menahan mereka dengan suara parau. "Jangan 
dahulu ! Tunggu sampai kuberi aba-aba!" 
Kesatuan katapel di garis depan bertugas melemah-
kan kekuatan musuh dan membuka jalan bagi 
serangan centeng  utama. Resimen Mizumata sendiri 
tidak terlalu ditakuti, namun  di belakang mereka sudah  
menunggu prajurit-prajurit pilihan. Di sinilah panji-
panji korps Yamagau, mpu jalapala , dan dwaradwipa  terlihat 
berkibar. Mereka terkenal berani, bahkan di antara 
centeng  Kai. 
Kelihatannya mereka hendak memancing kita 
dengan mengerahkan resimen Mizumata, pikir 
jayadijaya . Ia segera memahami strategi musuh, namun  
sayap kiri centeng  prabu kertoarjowardana   sudah terlibat per-
tempuran jarak dekar, sehingga garis kedua, yang ter-
diri atas centeng  sinuhun , harus berjuang sendiri. Selain 
itu, ia tidak dapat memastikan bagaimana mpu mojosongo  
melihat situasi dari posisinya di tengah. 
"Serbu!" jayadijaya  berteriak, membuka mulutnya 
begitu lebar, sehingga tali helmnya nyaris putus, la 
sadar sepenuhnya bahwa ia masuk perangkap lawan , 
namun  sejak pertempuran pecah ia tak sanggup meraih 
keunggulan. Inilah awal  kekalahan centeng  prabu kertoarjowardana   
dan sekutu-sekutu mereka. 
Hujan batu tiba-tiba terhenti. Pada detik yang sama. 
sekitar tujuh ratus sampai 9 ratus anggota 
resimen Mizumata menyingkir ke kiri-kanan, dan 
mendadak bergerak mundur. 
  
"Habislah kita!" jayadijaya  berseru. 
Pada waktu ia melihat garis kedua musuh, 
semuanya sudah terlambat. Tersembunyi di antara 
resimen Mizumata dan centeng  kavaleri ternyata 
masih ada satu garis lagi centeng  senapan. Semua 
anggotanya menelungkup di tengah rerumputan, 
dengan senjata siap menembak. 
Senapan-senapan meletus bersamaan, dan awan  
asap naik ke angkasa. sebab  sudut tembak yang 
rendah, sebagian besar peluru bersarang di kaki 
prajurit mpu  yang menyerang. Kuda-kuda mereka 
memberontak dan tertembak di perut. Para perwira 
melompat dari pelana sebelum kuda mereka roboh, 
dan melarikan diri bersama anak buah mereka, 
melompati mayat-mayat yang bergelimpangan. 
centeng  senapan segera mundur. Berdiam di 
tempat berarti membiarkan diri dihantam serangan 
centeng  tombak marga sinuhun . Dengan moncong kuda 
dalam posisi sejajar, korps kartawiwaha , centeng  
kebanggaan Kai, menerobos maju, tenang dan penuh 
percaya diri. Mereka segera diikuti korps desa gurit . 
Dalam beberapa menit saja garis mpu  jayadijaya  sudah  
musnah di tangan mereka. 
Dengan bangga centeng  Kai melepaskan teriakan-
teriakan kemenangan. Tiba-tiba korps dwaradwipa  
mengambil jalan melingkar dan menyerang centeng  
sinuhun  garis penahanan kedua centeng  prabu kertoarjowardana   dari 
samping. Debu beterbangan di bawah  kala kuda-kuda 
mereka. Dalam sekejap seluruh centeng  prabu kertoarjowardana   
  
sudah  terkepung centeng  Kai yang mirip  rsinuhun  
besi. 
mpu mojosongo  berdiri di atas bukit, mengamati centeng nya. 
Kita kalah, ia menyadari. Kekalahan tak terelakkan 
lagi. 
Dengan pandangan lurus ke depan. Torii Tadahiro. 
resi  terkemuka di bawah  mpu mojosongo , sudah  mem-
peringatkan junjungannya untuk tidak mengadakan 
serangan besar-besaran, melainkan melancarkan 
serangan mendadak pada malam hari ke perkemahan 
musuh. namun  mpu betarakatong  yang penuh tipu daya sengaja 
memberi umpan dengan menempatkan barisan 
belakang berkekuatan kecil, memancing mpu mojosongo  untuk 
bergerak. 
"Kita tidak bisa tetap di sini. Tuanku harus kembali 
ke bratangbinangun." Tadahiro mendesak. "Lebih cepat 
lebih baik."  
mpu mojosongo  tidak berkata apa-apa.  
"Tuanku! Tuanku!" Tadahiro memohon. 
mpu mojosongo  tidak menatap wajah Tadahiro. Waktu 
matahari mulai terbenam, kabut senja dan kegelapan 
berangsur-angsur menyelubungi tepi Dataran Mikata-
gahara. Diiringi angin dingin, kurir-kurir berulang kali 
membawa   berita menyedihkan. 
"mpu wiragajah  mpu wiraghanda dari marga sinuhun  digulung habis. 
danakertoarjo   ngabeni terpaksa mundur sambil kocar-
kacir, dan varnajaya kalasan  terbunuh. Tinggal mpu  
jayadijaya  yang masih bertempur dengan gagah." 
"mpu ireng  mpu jengger  menggabungkan centeng nya 
  
dengan korps Yamagara dan mengepung sayap kiri 
kita. mpu harjo   mpu rejo terluka. dan Nakane 
Masateru dan  Aoki Hirgendingangu tewas." 
"grindanadaira Yasuzumi memacu kudanya ke tengah-
tengah musuh dan menemui ajal di sana." 
"centeng  di bawah  mpu panjalu  Tadamasa dan Naruse 
Masayoshi mengincar para pengikur mpu betarakatong  dan 
berhasil menembus jauh ke dalam barisan musuh. 
namun  lalu  mereka dikepung oleh beberapa ribu 
prajurit, dan tak seorang pun dari mereka kembali 
dalam keadaan hidup." 
Tiba-tiba Tadahiro meraih lengan mpu mojosongo . dan 
dengan bantuan resi -resi  lain, menaikkannya ke 
atas kudanya. 
"Pergi dari sini." kuda itu dibentaknya sambil 
ditepuk. 
sesudah  mpu mojosongo  duduk di pelana dan kuda berlari 
menjauh. Tadahiro dan para pengikut lain menaiki 
kuda masing-masing, lalu mengikuti junjungan 
mereka. 
Hujan salju mulai turun mungkin saljunya 
menunggu sampai matahari terbenam semakin mem-
persulit gerak mundur centeng  yang dikalahkan. 
Orang-orang berseru bingung. "Yang Mulia... di mana 
Yang Mulia?"  
"Ke arah manakah markas besar?" 
centeng  senapan Kai membidik prajurit-prajurit 
musuh yang tengah melarikan diri, melepaskan 
tembakan dari tengah-tengah salju yang terbang 
  
berputar-putar. 
"Mundur!" seorang centeng adipati  prabu kertoarjowardana   berseru. 
"Sangkakala sudah  memberi aba-aba mundur!" 
"Mereka pasti sudah mengungsi ke markas besar." 
orang lain menimpali. 
Bagaikan gelombang pasang, centeng  prabu kertoarjowardana   
mundur ke utara. namun  sebab  kehilangan arah, 
korban di pihak mereka kembali berjatuhan. Akhirnya 
semua orang mulai mendesak ke satu arah ke selatan. 
mpu mojosongo , yang baru saja lolos dari mara bahaya 
bersama Torii Tadahiro, menoleh ke arah orang-orang 
yang mengikutinya, dan tiba-tiba menghentikan kuda. 
"Kibarkan panji-panji. Kibarkan panji-panji dan 
kumpulkan orang-orang," ia memerintahkan. 
Malam sudah  dekat, dan hujan salju semakin lebai. 
Para pengikut mpu mojosongo  berkerumun di sekelilingnya dan 
membunyikan sangkakala. Sambil melambai-lambai-
kan panji para komandan, mereka memanggil-manggil 
anak buah masing-masing. Perlahan-lahan para 
prajurit yang kalah itu mulai berkumpul. Setiap orang 
bermandikan darah. 
Namun korps di bawah  komando minakjinggo  Noburusa 
dan desa gurit  Kazusa dari centeng  Kai mengetahui 
bahwa centeng  utama musuh berada di sana, lalu 
segera mulai mendesak dengan busur dan panah dari 
satu sisi dan dengan senapan dari sisi yang satu lagi. 
Rupanya mereka hendak memotong jalur mundur 
mpu mojosongo . 
"Tempat ini berbahaya, tuanku. Sebaiknya tuanku 
  
segera mundur." patih Sakon mendesak mpu mojosongo . 
lalu , sambil berpaling kepada orang-orang, ia 
memerintahkan. "Lindungilah Yang Mulia. Aku akan 
membawa   beberapa orang dan menyerang musuh. 
Siapa saja yang ingin mengorbankan nyawa   bagi Yang 
Mulia, ikuti aku." 
Sakon langsung menerjang ke arah musuh, tanpa 
menoleh untuk melihat apakah ada yang meng-
ikutinya. Sekitar tiga puluh sampai empat puluh 
prajurit segera menyusul, memacu kuda masing-
masing untuk menantang maut. Hampir sesaat  
ratapan, teriakan, benturan pedang dan tombak 
bercampur dengan deru angin yang menerbangkan 
salju, membentuk pusaran raksasa. 
"Sakon tidak boleh mati!" teriak mpu mojosongo . Sikapnya 
tidak seperti biasanya. Para pengikut berusaha men-
cegahnya dengan meraih kekang kudanya, namun  ia 
menepiskan mereka, dan pada waktu mereka bangkit, 
mpu mojosongo  sudah  terjun ke tengah pusaran. Penampilannya 
betul-betul mirip  setan. 
"Tuanku! Tuanku!" mereka berseru-seru. 
saat  Natsume kedaton, perwira yang diberi 
tanggung jawab  atas benteng kota bratangbinangun, memperoleh 
kabar mengenai kekalahan rekan-rekannya, ia segera 
berangkat bersama sekitar tiga puluh penunggang 
kuda untuk memastikan keselamatan mpu mojosongo . saat  
menemukan junjungannya tengah terlibat per-
tempuran sengit, ia melompat turun dari kuda dan 
berlari ke arah pergulatan, dan memindahkan 
  
tombaknya ke tangan kiri. 
"A... apa ini? Kekerasan ini tidak seperti tuanku. 
Kembalilah ke bratangbinangun! Mundurlah, tuanku!" 
sesudah  meraih moncong kuda mpu mojosongo , ia menuntun-
nya dengan susah payah. 
"kedaton? Lepaskan aku! Bodoh betul kau, 
menghalang-halangiku di tengah-tengah musuh!" 
"Kalau hamba bodoh, tuanku lebih bodoh lagi! jika 
tuanku terbantai di tempat seperti ini, apa makna 
segala penderitaan yang tuanku alami sampai 
sekarang? Tuanku akan dikenang sebagai resi  
pandir. Kalau tuanku memang hendak menonjolkan 
diri, lakukanlah sesuatu bagi bangsa ini di lain 
kesempatan!" Dengan mata berkaca-kaca, kedaton  
menghardik mpu mojosongo  begitu keras, sehingga mulutnya 
nyaris robek dari telinga ke telinga, dan pada saat yang 
sama, tanpa ampun ia memukul-mukul kuda mpu mojosongo   
dengan tombaknya. Banyak pengikut dan pembantu 
dekat mpu mojosongo  yang semalam masih berada bersamanya, 
tidak terlihat lagi malam ini. Lebih dari tiga ratus anak 
buah mpu mojosongo   gugur dalam pertempuran, dan tak 
seorang pun mengetahui jumlah yang luka-luka. 
Sambil memikul beban kekalahan, centeng  mpu mojosongo   
berbaris dan kembali ke kota benteng kota yang diselimuti 
salju. Mereka tampak seakan-akan muak pada diri 
sendiri. namun  warna merah pada salju jelas-jelas berasal 
dari darah para prajurit yang kembali dari medan 
perang. 
"Apa yang terjadi dengan Yang Mulia?" orang-orang 
  
itu bertanya dengan mata berkaca-kaca. Mereka ber-
gerak mundur sebab  menyangka mpu mojosongo  sudah  kembali 
ke benteng kota, namun  kini mereka diberitahu oleh para 
penjaga gerbang bahwa junjungan mereka belum 
kembali. Apakah ia masih terkepung musuh, ataukah 
ia sudah gugur? Apa pun nasib yang menimpa mpu mojosongo . 
yang jelas mereka sudah  melarikan diri sebelum 
junjungan mereka, dan mereka begitu malu, sehingga 
menolak memasuki benteng kota. Mereka terus berdiri di 
luar. mengentak-entakkan kaki dalam hkertoarjo  dingin. 
Tiba-tiba terdengar letusan senapan dari gerbang 
barat, menambah kebingungan. Ternyata centeng  
musuh sudah  mendekat. Maut sudah  siap menjemput 
mereka. Dan jika orang-orang mpu ireng  sudah maju 
sejauh ini, nasib mpu mojosongo  memang patut dipertanyakan. 
sebab  mengira bahwa saat terakhir marga 
prabu kertoarjowardana   sudah  tiba, sambil berteriak mereka berlari 
kc arah letusan senapan, siap untuk mati, dengan 
pandangan hampa tanpa harapan. saat  sekelompok 
dari mereka berdesak-desakan melewati gerbang, 
mereka hampir bertabrakan dengan sejumlah orang 
berkuda yang baru hendak masuk. 
Di luar dugaan, penunggang-penunggang kuda itu 
ternyata para komandan yang baru kembali dari 
medan tempur. Teriakan menyedihkan para prajurit 
berubah menjadi sorak-sorai kegembiraan. Sambil 
mengacung-acungkan pedang dan tombak, mereka 
mengikuti orang-orang yang baru tiba. Satu 
penunggang kuda, lalu satu lagi, lalu  yang 
  
berikut memasuki benteng kota; orang ke9 ternyata 
mpu mojosongo   sendiri, sebelah lengan baju tempurnya ter-
koyak, tubuhnya berlumuran darah dan salju. 
"Yang Mulia mpu mojosongo   kembali! Yang Mulia mpu mojosongo  !" 
Begitu junjungan mereka terlihat, kabar mengenai 
kedatangannya diteruskan dari mulut ke mulut. Para 
prajurit melompat-lompat kegirangan, seakan-akan 
lupa diri. 
Sambil melangkah ke ruang duduk, mpu mojosongo  me-
manggil dengan lantang, "Hisano! Hisano!" seolah-olah 
ia masih berada di medan perang. 
Dayang itu segera menghampirinya dan menyem-
bah. Api di lentera kecil yang dibawan ya tertiup angin, 
menerangi profil mpu mojosongo  dengan cahaya kerlap-kerlip. 
Darah menempel di pipinya, dan rambutnya acak-
acakan. 
"Ambilkan sisir," ia berkata sambil duduk. 
Sementara Hisano merapikan rambutnya, ia mem-
berikan perintah lain, "Aku lapar. bawa  kan makanan 
untukku," 
sesudah  makanan yang dimintanya tersaji, ia segera 
meraih sumpit, namun  tidak segera mulai makan, 
melainkan malah berkata, "Buka semua pintu ke 
serambi." 
Walaupun lentera-lentera retah menyala, ruangan 
itu lebih terang jika pintu-pintu dibuka lebar, akibat 
salju yang beterbangan di luar. Samar-samar terlihat 
sosok-sosok prajurit yang sedang melepas lelah di 
serambi. Begitu mpu mojosongo   selesai makan, ia keluar dari 
  
ruang duduk dan berkeliling untuk memeriksa 
pertahanan, ia memberi perintah kepada Amano 
Yasukage dan Uemura Masakatsu untuk bersiap-siap 
menghadapi serangan musuh. Komandan-komandan 
lain ditempatkannya mulai dari gerbang utama sampai 
pintu utama ke ruang duduk. 
"Biarpun seluruh centeng  Kai menyerang dengan 
segenap kekuatan, kita akan memperlihatkan 
kekuatan kita pada mereka. Mereka takkan sanggup 
merebut sejengkal pun dari tembok-tembok ini," para 
komandan berseru . 
Walaupun dengan suara bernada tegang, mereka 
berusaha menenangkan mpu mojosongo   dan membesarkan 
hatinya. 
mpu mojosongo   memahami maksud mereka dan meng-
angguk-angguk penuh semangat. namun  saat  mereka 
hendak bergegas ke pos masing-masing, ia memanggil 
mereka, "Biarkan semua pintu mulai dari gerbang 
utama sampai ruang duduk dalam keadaan terbuka. 
Mengertikah kalian?" 
"Apa? Apa maksud tuanku?" Para komandan 
tampak ragu-ragu. Perintah ini bertentangan dengan 
prinsip-prinsip pertahanan yang paling mendasar. 
Pintu-pintu besi di semua gerbang sudah  ditutup rapat. 
centeng  musuh sudah  mendekati kota benteng kota, 
mendesak maju untuk menghancurkan mereka. 
Mengapa mpu mojosongo   memerintahkan agar pintu air di 
bendungan dibuka, justru pada saat gelombang pasang 
siap menerjang? 
  
Tadahiro berkata. "Tidak, hamba rasa situasinya 
belum memaksa kita untuk bertindak sejauh itu. 
Kalau centeng  kita tiba dari medan laga, kita bisa 
membuka gerbang agar mereka bisa masuk. namun  kita 
tidak perlu membiarkan gerbang benteng kota terbuka 
lebar untuk mereka." 
mpu mojosongo   tertawa  dan menegur Tadahiro sebab  salah 
mengerti. "Ini bukan untuk orang-orang yang ter-
lambat kembali. Ini langkah persiapan untuk meng-
hadapi centeng  mpu ireng  yang menerjang bagaikan air 
bah, penuh kepercayaan bahwa mereka akan menang. 
Dan aku tidak sekadar ingin gerbang benteng kota dibuka. 
Aku ingin lima atau enam api unggun dinyalakan di 
depan gerbang. Selain itu, api unggun juga harus 
berkobar di dalam tembok. namun  pastikan bahwa 
pertahanan kita tetap siaga sepenuhnya. Jangan 
bersuara dan amati gerak maju musuh." 
Strategi nekat macam apa ini? Tanpa ragu sejenak 
pun, mereka menjalankan perintah itu. 
Sesuai keinginan mpu mojosongo  semua gerbang dibuka 
lebar, dan beberapa api unggun menerangi salju, 
mulai dari selokan pertahanan sampai ke pintu ruang 
duduk. sesudah  mengamati pemandangan itu, mpu mojosongo   
kembali ke dalam. 
Kelihatan para resi  senior memahami maksud 
junjungan mereka, namun  sebagian besar prajurit mem-
percayai desas-desus bahwa mpu betarakatong  sudah  mati. dan 
bahwa centeng  prabu kertoarjowardana   sudah  kehilangan 
pemimpin. Padahal sebetulnya  desas-desus itu 
  
disebarkan oleh perwira-perwira mpu mojosongo   sendiri. 
"Aku lelah. Hisano. Rasanya aku ingin minum 
sebaskom anggur . Tolong tuangkan sedikit untukku." 
mpu mojosongo   kembali ke ruangan utama, dan sesudah  meng-
habiskan isi baskom , membaringkan diri. Ia menarik 
selimut yang dibawa  kan Hisano, lalu tertidur pulas. 
Tak lama lalu , centeng  Kai di bawah  minakjinggo  
kertapati  dan kartawiwaha  brewirabumi  tiba di dekat 
selokan pertahanan, siap melancarkan serangan 
malam. 
"Apa ini? Tunggu!" saat  minakjinggo  dan kartawiwaha  
menghampiri gerbang, mereka mengekang kuda 
masing-masing dan mencegah seluruh centeng  untuk 
maju tergesa-gesa. 
"resi  minakjinggo , bagaimana menurut resi ?" 
kartawiwaha  bertanya sambil menyejajarkan kudanya 
dangan kuda rekannya. Ia tampak terheran-heran. 
minakjinggo  pun merasa curiga dan menatap ke arah gerbang 
musuh. Di sana, di kejauhan, ia melihat nyala api 
unggun, baik di luar maupun di balik gerbang. Dan 
semua gerbang terbuka lebar. Mereka menghadapi 
gerbang tanpa gerbang. Situasi ini menimbulkan 
pertanyaan yang mengusik. 
Air di dalam selokan kelihatan hitam, salju di 
benteng kota yang siap siaga berwarna putih. Tak ada suara 
apa pun. Jika mereka memasang telinga baik-baik. 
mereka dapat mendengar api unggun meretih di 
kejauhan. Dan seandainya mereka memasang telinga 
sambil berkonsentrasi penuh, mereka mungkin men-
  
dengar dengkuran mpu mojosongo , resi  yang sudah  men-
derita kekalahan dan kini tengah bermimpi di ruang 
duduk otak di balik gerbang tanpa gerbang ini. 
kartawiwaha  berkata, "Sepertinya serangan kita begitu 
cepat dan musuh begitu bingung, sehingga mereka tak 
sempat menutup gerbang benteng kota dan kini ber-
sembunyi di dalam. Sebaiknya kita habisi saja mereka." 
"Jangan, tunggu." minakjinggo  memotong. Ia dikenal 
sebagai komandan yang pandai bersiasat. Orang bijak 
yang memupuk kebijaksanaan dapat tenggelam di 
dalamnya, ia menjelaskan pada kartawiwaha  mengapa 
langkahnya keliru. 
"Mengamankan gerbang benteng kota merupakan 
langkah logis bagi seseorang yang baru saja mengalami 
kekalahan. namun  dengan membiarkan gerbangnya 
terbuka lebar dan dengan menyempatkan diri 
menyalakan api unggun, mpu mojosongo   membuktikan bahwa 
dia tak kenal takut. Tentunya dia sedang menunggu 
kita menyerang dengan tergesa-gesa. Seluruh per-
hatiannya hanya tertuju pada benteng kota ini, dan dia 
percaya akan kemenangannya. lawan  kita memang 
masih muda, namun  dia prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo . Lebih baik 
kita jangan bertindak gegabah, agar tidak membawa   
aib bagi marga mpu ireng  dan malah menjadi bahan 
tertawa an di lalu  hari." 
Mereka sudah  mendesak sedemikian jauh, namun  pada 
akhirnya kedua resi  itu menarik mundur centeng  
mereka. 
Di dalam benteng kota, mimpi mpu mojosongo  dibuyarkan oleh 
  
salah seorang pembantunya. Ia segera berdiri. "Aku 
tidak mati!" ia berseru dan melompat gembira. 
Sesaat  ia mengirim centeng  untuk mengejar musuh. 
namun , sesuai dengan reputasi mereka, kartawiwaha  dan 
minakjinggo  tetap mengujawa  diri di tengah kekacauan. 
Mereka mengadakan perlawan an, menyulut kebakaran 
di sekitar Naguri, dan menjalankan sejumlah manuver 
brilian. 
Orang-orang prabu kertoarjowardana   mengalami kekalahan besar, 
namun  tidak salah kalau dikatakan bahwa mereka sudah  
memperlihatkan keberanian. Bukan itu saja, mereka 
sekali lagi berhasil menggagalkan rencana mpu betarakatong  
untuk maju ke ibu kota, dan memaksanya mundur ke 
Kai. Banyak orang menjadi korban. Dibandingkan 
keempat ratus korban jiwa di pihak mpu ireng , centeng  
prabu kertoarjowardana   kehilangan jauh lebih banyak prajurit. 
Korban di pihak mereka berjumlah seribu seratus 
9 puluh jiwa. 
  
Pemakaman bagi Mereka yang Hidup 
 
 
 
DAUN-DAUN bunga berwarna merah dan pulih 
terbawa   angin dari benteng kota padalarang  di puncak gunung, 
berjatuhan di atap-atap rumah di kota di bawah . 
Tahun demi tahun, kepercayaan rakyat terhadap 
aidit  semakin besar kepercayaan yang tumbuh 
dari ketenteraman dalam kehidupan mereka. Hukum 
ditegakkan secara ketat, namun  ucapan aidit  bukan 
kata-kata kosong. Janji-janjinya yang menyangkut mata 
pencaharian rakyat selalu dipenuhi, dan ini tercermin 
dalam kesejahteraan mereka. 
 
Umur manusia  
Hanya 60 tahun.  
Dunia ini  
Impian belaka.... 
 
Warga provinsi mengenal syair-syair yang suka 
ditembangkan aidit  pada waktu ia minum. namun  
ia mengartikan kata-kata itu dengan cara berbeda 
dibandingkan  para biksu bahwa dunia tak lebih dari 
impian sesaat yang tidak kekal. Adakah sesuatu yang 
tidak membusuk? adalah bau kesukaannya, dan setiap 
kali menyanyikannya, ia meninggikan suara. Bait ini 
seakan-akan merumuskan pandangan hidupnya. 
Seseorang takkan dapat memanfaatkan hidupnya 
  
secara maksimal jika ia tidak merenungkannya secara 
mendalam. Satu hal diketahui aidit  mengenai 
kehidupan. Pada akhirnya kita akan mati. aidit  
sudah berusia 37 tahun, dan baginya hidup ini tidak 
bakal berlangsung lama lagi. Dan untuk jangka waktu 
sedemikian singkat, ambisinya luar biasa besar. Cita-
citanya tak terbatas, dan menghadapi cita-cita dan  
mengatasi rintangan-rintangan memberikan kepuasan 
sepenuhnya. Namun umur manusia sudah  ditentukan, 
aidit  pun tak dapat menepis perasaan menyesal. 
" mpu salmah , mainkan rebana." Ia hendak menari lagi. 
Sebelumnya, pada hari itu, ia sudah  menghibur seorang 
utusan dari Ise. Dan sisa harinya dihabiskan dengan 
minum-minum. 
 mpu salmah  membawa   rebana dari ruang sebelah, namun  
ia tidak menabuhnya, melainkan berkata. "Tuanku, 
Yang Mulia patih ronggolawe  sudah  tiba." 
Pada suatu saat , marga jawa  dan mpu djiwo tampak 
akan bergerak, dan mereka mulai memperlihatkan 
tanda-tanda keresahan. namun  sesudah  mpu betarakatong  mundur, 
mereka gemetar ketakutan di provinsi sendiri dan 
mulai memperkuat pertahanan masing-masing. 
patih ronggolawe  merasa masa damai sudah  menjelang. 
Diam-diam dia meninggalkan benteng kota mergoharjoyo , lalu 
mengunjungi daerah di sekitar ibu kota. Tak seorang 
komandan benteng kota pun, tak peduli betapa hebatnya 
kekacauan yang melanda seluruh negeri, akan 
mengurung diri di dalam benteng kotanya. Kadang-kadang 
mereka pura-pura pergi, namun  sebetulnya  ada di 
  
sana. Pada waktu lain mereka pura-pura ada di sana. 
namun  sebetulnya  pergi, sebab jalan prajurit 
menuntut pemanfaatan kebebasan dan kebohongan 
secara tepat. 
Tentu saja patih ronggolawe  menempuh perjalanannya 
sambil menyamar, dan kemungkinan besar itu pula 
yang memicu  kemunculannya yang tiba-tiba di 
padalarang . 
"patih ronggolawe ?" aidit  menyuruhnya menunggu di 
ruangan lain. Tak lama lalu  ia masuk dan 
duduk. Ia sangat gembira. 
patih ronggolawe  berpakaian sangat sederhana, tak 
berbeda dari orang biasa pada saat bepergian. Dengan 
penampilan seperti inilah ia menyembah. namun  
lalu  ia menengadahkan wajah dan tertawa . 
"Tuanku pasti terkejut." 
aidit  menatap patih ronggolawe , seakan-akan tidak 
memahami maksudnya. "Mengenai apa?" ia bertanya. 
"Kedatangan hamba yang mendadak ini." 
"Jangan berkelakar. Aku tahu bahwa kau tidak ada 
di mergoharjoyo  selama dua dongeng gu terakhir." 
"namun  tuanku tidak menduga bahwa hamba akan 
muncul hari ini, bukan?" 
aidit  tertawa . "Kaupikir aku buta? Aku percaya 
kau bermain-main sampai bosan dengan para pelacur 
di ibu kota, lalu menyusuri jalan Raya gunungselatan dan 
mendatangi rumah seorang kaya di lojibenteng , diam-
diam memanggil Oyu, dan lalu  melanjutkan 
perjalanan ke sini." 
  
patih ronggolawe  bergumam pelan. 
"Kelihatannya justru kau yang terkejut." kata 
aidit . 
"Hamba memang terkejut, tuanku. Ternyata tidak 
ada yang luput dari penglihatan tuanku." 
"Gunung ini cukup tinggi, sehingga aku dapat 
memandang sejauh sepuluh provinsi. namun  ada satu 
orang yang mengetahui tindak-tandukmu secara lebih 
terperinci dibandingkan  aku. Kau bisa menebak siapa 
orangnya?" 
"Rupanya tuanku sudah  menyuruh seorang mata-
mata untuk menyerbu  hamba." 
"Bukan, orang itu istrimu sendiri." 
"Tuanku bergurau, bukan? Barangkali pengaruh 
anggur .." 
"Mungkin saja aku mabuk, namun  aku berkata apa 
adanya. Istrimu memang tinggal di kahuripan, namun  jika 
kau beranggapan bahwa dia berada di tempat jauh, 
kau keliru sekali." 
"Oh. Hmm, mungkin hamba memilih waktu yang 
kurang tepat untuk mengunjungi tuanku. Dengan 
seizin tuanku, hamba..." 
"Aku tidak menyalahkanmu aras keisenganmu ini." 
ujar aidit  sambil tertawa . "Tak ada salahnya kau 
sesekali memandang kembang-kembang ceri. namun  
mengapa tidak kaukunjungi nyi momo  agar kalian berdua 
dapat berkumpul lagi?" 
"Tentu." 
"Sudah cukup lama kau tidak bertemu dengannya, 
  
bukan?"  
"Apakah istri hamba mengganggu tuanku dengan 
mengirim surat atau semacamnya?" 
"Jangan gelisah khawatir . Aku hanya bersimpati. Dan 
bukan pada istrimu saja. Setiap istri harus mengurus 
rumah tangga pada waktu suaminya pergi berperang, 
jadi walaupun waktunya hanya sedikit, seorang laki-
laki seharusnya lebih dahulu  menunjukkan pada istrinya 
dibandingkan  pada orang lain bahwa keadaannya baik-baik 
saja." 
"Jika itu kehendak tuanku, namun ..." 
"Kau menolak?" 
"Ya. Meski tidak ada gangguan selama beberapa 
bulan terakhir, pikiran hamba tidak pernah jauh dari 
medan laga."     
"Membantah, selalu membantah! Apa kau hendak 
bersilat lidah lagi? tangan lakukan hal yang tidak 
perlu." 
"Hamba menyerah. Hamba akan menarik diri dari 
sini." 
Junjungan dan abdi tertawa  bersama-sama. sesudah  
beberapa saat mereka mulai minum-minum, dan 
bahkan menyuruh  mpu salmah  pergi. lalu  pem-
bicaraan mereka beralih pada topik serius, sehingga 
keduanya merasa perlu merendahkan suara. 
aidit  bertanya penuh harap. "Jadi, bagaimana 
keadaan di ibu kota? Kurir-kurir selalu mondar-
mandir, namun  aku ingin mendengar apa saja yang 
kaulihat di sana. 
  
jawaban pasti yang akan diberikan patih ronggolawe  rupanya 
berkaitan dengan harapan junjungannya. 
"Tempat duduk kita agak berjauhan. Mungkin ada 
baiknya kalau hamba bergeser sedikit untuk men-
ceritakannya." 
"Biar aku saja yang pindah." aidit  meraih 
tempat anggur  dan baskom nya, lalu turun dari kursi 
kebesaran. "Tutup pintu geser ke ruang sebelah." ia 
memerintahkan. 
patih ronggolawe  duduk tepat di hadapan aidit  dan 
berkata. "Keadaan di ibu kota belum berubah. Kecuali 
bahwa sang pandita  tampak semakin sedih, sebab  
mpu betarakatong  gagal mencapai ibu kora. Sekarang dia sudah 
mulai berkomplot secara terbuka terhadap tuanku." 
"Hmm, memang bisa kubayangkan. mpu betarakatong  sudah 
sampai di Mikatagahara, namun  lalu  sang pandita  
memperoleh kabar bahwa dia terpaksa mundur lagi." 
"Sang pandita  memang pandai berpolitik. Dia 
gemar memancing di air keruh, memberikan anugerah 
pada rakyat, dan secara tak langsung membuat rakyat 
takut terhadap tuanku. Pembakaran Gunung brahma 
dimanfaatkannya sebagai bahan propaganda, dan 
sepertinya dia berusaha menghasut kelompok-
kelompok keagamaan lainnya untuk memberontak." 
"Bukan keadaan yang menyenangkan." 
"namun  tak perlu dicemaskan. Para biksu-prajurit 
sudah  melihat sendiri bagaimana nasib Gunung brahma. 
dan ini cukup meredam semangat juang mereka." 
"hyangkertoarjo  berada di ibu kota. Kau sempat bertemu 
  
dengannya?"  
"Yang Mulia hyangkertoarjo  sudah  kehilangan keper-
cayaan sang pandita , dan kini mengurung diri di 
rumah peristirahatannya."  
"Dia diusir oleh yosodiprojo ?" tanya aidit . 
"Rupanya Yang Mulia hyangkertoarjo  berpendapat 
bahwa cara terbaik untuk melindungi kcpandita an 
adalah bersekutu dengan tuanku. Beliau memper-
taruhkan reputasinya, dan berulang kali menyarankan 
hal ini pada Yang Mulia yosodiprojo ." 
"Kelihatannya yosodiprojo  tidak mau mendengarkan 
pendapat siapa pun." 
"Bukan itu saja, pandangannya mengenai sisa 
kekuatan kepandita an pun berlebihan. Dalam masa 
transisi, masa lampau dan masa yang akan datang 
dipisahkan oleh sebuah bencana. Hampir semua yang 
binasa adalah mereka yang tidak menyadari bahwa 
dunia sudah  berubah, sebab  terus membayangkan 
kejayaan masa silam." 
"Dan menurutmu kita sekarang sedang mengalami 
bencana seperti itu?" 
"sebetulnya  sudah  terjadi peristiwa yang sangat 
menggemparkan. Hamba sendiri baru saja mem-
peroleh beritanya, namun ..." 
"Peristiwa apa yang kaumaksud?" 
"Hmm. Berita ini belum sempat menyebar, namun  
sebab  terdengar oleh telinga mata-mata andalan 
hamba, dul  latief , hamba kira beritanya dapat 
dipercaya." 
  
"Apa yang terjadi?" 
"Ini memang mengejutkan, namun  ada kemungkinan 
bintang penuntun Kai akhirnya padam."  
"Apa! mpu betarakatong ?" 
"Pada bulan kedua, dia menyerang dusun nyi kembang , dan 
suatu malam dia tertembak saat  mengepung 
benteng kota Nsinuhun . Itulah yang didengar oleh latief ." 
Sejenak aidit  memandang lurus ke wajah 
patih ronggolawe . Jika benar mpu betarakatong  sudah  tiada, arah 
perjalanan negeri akan berubah sangat cepat. 
aidit  merasa seolah-olah macan di balik 
punggungnya mendadak lenyap, dan ia kaget sekali. Ia 
ingin mepercayai kebenaran cerita yang disampaikan 
patih ronggolawe . namun  pada saat yang sama ia merasa tak bisa 
mempercayainya. Begitu mendengar beritanya, ia 
merasa luar biasa lega, dan perasaan gembira yang tak 
dapat dilukiskan mulai menggelora dalam dirinya. 
"Jika ini benar, berarti dunia kehilangan seorang 
resi  yang andal." ujar aidit . "Dan mulai 
sekarang, sejarah berada di tangan kita." Ekspresi 
wajahnya jauh lebih lugas dibandingkan roman muka 
patih ronggolawe . aidit  bahkan kelihatan seperti orang 
yang baru saja memperoleh masakan minuman  utama dalam 
sebuah jamuan, 
"Dia tertembak, namun  hamba belum tahu apakah dia 
langsung tewas, seberapa parah lukanya, atau di mana 
dia terkena. namun  hamba mendengar bahwa 
pengepungan benteng kota Nsinuhun  mendadak dihentikan. 
Dan saat  centeng  mpu betarakatong  mundur ke wilayah Kai. 
  
mereka tidak memperlihatkan semangat juang mpu ireng  
yang terkenal itu." 
"Bisa dimengerti. Kehebatan para centeng adipati  Kai pun 
tidak banyak artinya jika mereka kehilangan mpu betarakatong ." 
"Laporan rahasia ini hamba terima dari latief  
saat  hamba dalam perjalanan ke sini. Jadi hamba 
langsung mengirimnya kembali ke Kai, untuk mencari 
kepastian." 
"Apakah orang-orang di provinsi lain sudah men-
dengar kabar ini?" 
"Tidak ada tanda-tanda beritanya sudah menyebar. 
Marga mpu ireng  tentu akan merahasiakannya. Mereka 
akan berusaha memberi kesan bahwa mpu betarakatong  sehat-
sehat saja, jadi, jika ada kebijaksanaan yang dikeluar-
kan atas nama mpu betarakatong , kemungkinannya sembilan 
berbanding sepuluh bahwa mpu betarakatong  tewas, atau se-
tidaknya berada dalam kondisi kritis." 
aidit  mengangguk sambil merenung. Seperti-
nya ia ingin memperoleh kepastian mengenai berita ini. 
Tiba-tiba ia mengangkat baskom berisi anggur  dingin, dan 
mendesah. Umur manusia hanya 60 tahun... 
namun  ia tidak berminat menari. Memikirkan kematian 
orang lain jauh lebih mengharukan baginya dibandingkan  
memikirkan kematiannya sendiri. 
"Kapan latief  kembali?" 
"Kira-kira dalam tiga hari." 
"Dia akan melapor ke benteng kota mergoharjoyo ?" 
"Tidak, hamba menyuruhnya langsung ke sini." 
"Kalau begitu, kau tunggu di sini sampai dia 
  
datang." 
"Memang itu rencana hamba, namun  jika tuanku ber-
kenan, hamba ingin menunggu perintah selanjutnya 
di sebuah penginapan di kota benteng kota." 
"Kenapa?"  
"Tidak ada alasan khusus." 
"Hmm, bagaimana kalau kau tinggal di benteng kota 
saja? Temanilah aku untuk beberapa saat."  
"sebetulnya ..." 
"Payah! Apa kau merasa tidak bebas jika berada di 
sisiku?"  
"Bukan, sebetulnya ..."  
"sebetulnya  apa?" 
"Hamba... ehm, hamba meninggalkan teman 
seperjalanan di penginapan, dan sebab  hamba 
menyangka dia akan kesepian, hamba berjanji kembali 
ke sana pada malam hari." 
"Apakah teman seperjalananmu ini seorang 
wanita lesbian ?" aidit  tercengang. Perasaannya 
akibat berita kematian mpu betarakatong  begitu berbeda dengan 
apa yang dipikirkan patih ronggolawe . 
"Kembalilah ke penginapan malam ini, namun  besok 
kau harus datang ke sini. Kau boleh mengajak 'teman 
seperjalananmu'." Itulah ucapan terakhir aidit  
pada patih ronggolawe  sebelum ia berbalik dan pergi. 
Yang Mulia memang pandai membaca gelagat, pikir 
patih ronggolawe  saat  ia menuju penginapan. patih ronggolawe  
merasa seperti ditegur, meskipun tidak secara 
langsung. Inilah kelebihan aidit . Ia sanggup 
  
membungkus kata-katanya, sehingga mampu 
mengenai sasaran tanpa perlu mengungkapkan inti 
permasalahan. Keesokan harinya patih ronggolawe  pergi ke 
benteng kota dengan ditambah   Oyu, namun  hal ini tidak 
menimbulkan kejadian yang tidak mengenakkan 
baginya. 
aidit  sudah  pindah ke ruangan lain, dan 
berbeda dengan hari sebelumnya, tidak dikelilingi bau 
anggur . Ia duduk di hadapan patih ronggolawe  dan Oyu, 
menatap mereka dari sebuah podium.        
"Bukankah kau adik Takcnaka ngabehi ?" ia bertanya 
dengan akrab. 
Ini pertama kali Oyu berjumpa dengan aidit . 
dan kini ia datang bersama patih ronggolawe . Oyu 
menyembunyikan wajahnya, ia merasa rikuh. namun  
lalu  ia menjawab  dengan suara pelan yang 
terdengar merdu. 
"Hamba memperoleh kehormatan sebab  diper-
kenankan menghadap tuanku. Tuanku juga sudah  
melimpahkan rahmat kepada saudara hamba yang 
lain, Shigeharu." 
aidit  tampak terkesan. Semula ia bermaksud 
menggsinuhun  patih ronggolawe . namun  sekarang ia merasa bersalah 
dan menjadi serius. "Sudah membaikkah kesehatan 
ngabehi ?" 
"Sudah beberapa waktu hamba tidak berjumpa 
dengan kakak hamba, tuanku. Dia sedang sibuk 
dengan tugas-tugas kemiliterannya, namun  dari waktu ke 
waktu hamba menerima surat darinya." 
  
"Di mana tempat tinggalmu sekarang?" 
"Hamba tinggal di benteng kota lawangpitu di betari jawi . 
Hamba memiliki  kerabat di sana." 
"Barangkali dul  latief  sudah kembali." ujar 
patih ronggolawe , mencoba mengalihkan pembicaraan, namun  
aidit  lebih cerdik, sehingga tidak dapat 
dikelabui. 
"Apa maksudmu? Rupanya kau sudah mulai 
linglung. Bukankah kau sendiri yang memberitahuku 
bahwa latief  baru akan kembali dalam tiga hari?" 
Wajah patih ronggolawe  langsung bersemu merah. 
aidit  tampaknya cukup puas dengan reaksi ini. 
Ia memang ingin melihat patih ronggolawe  salah tingkah 
sejenak. 
aidit  mengundang Oyu untuk menghadiri 
pesta minum malam itu, lalu berkomentar, "Kau 
belum pernah melihatku menari. patih ronggolawe  sudah 
beberapa kali melihatlihat nya." 
Menjelang malam Oyu mohon diri, dan aidit  
tidak berupaya menahannya. namun  tanpa tedeng aling-
aling ia berkata pada patih ronggolawe , 'Kalau begitu, kau 
pergi juga." 
Pasangan itu meninggalkan benteng kota. Namun tak 
lama lalu  patih ronggolawe  kembali seorang diri. Ia 
tampak agak gelisah. 
"Di manakah Yang Mulia aidit ?" patih ronggolawe  
bertanya pada salah satu pelayan junjungannya. 
"Yang Mulia baru saja masuk ke kamar tidur 
beliau." 
  
sesudah  mendengar ini, patih ronggolawe  segera bergegas 
ke daerah ruang-ruang pribadi, dan minta agar 
pengawal  yang tengah bertugas jaga menyampaikan 
sebuah pesan. 
"Aku harus menghadap Yang Mulia malam ini." 
aidit  belum tidur, dan begitu patih ronggolawe  
diantar ke kamarnya, ia minta agar semua orang lain 
meninggalkan ruangan. Terapi, meski para pengawal  
langsung menarik diri. patih ronggolawe  masih memandang 
berkeliling dengan gelisah. 
"Ada apa, patih ronggolawe ?" 
"Ehm, sepertinya masih ada orang di ruang 
sebelah."  
"Oh, jangan gelisah khawatir  tentang dia. Itu hanya 
 mpu salmah . Tak jadi masalah kalau dia tetap di sana." 
"Hamba tidak sependapat. Dengan segala keren-
dahan hati. hamba minta agar..." 
"Dia juga harus pergi?"  
"Ya." 
" mpu salmah , kau pergi juga." aidit  berbalik dan 
mengucapkan kata-kata itu ke ruang sebelah. 
 mpu salmah  membungkuk sambil membisu, berdiri, 
dan pergi. 
"Sekarang tidak ada masalah lagi. Ada apa 
sebetulnya ?" 
"sesudah  hamba mohon diri dan kembali ke kota 
tadi, hamba bertemu dengan latief ." 
"Apa! latief  sudah kembali?" 
"Rupanya dia mengambil jalan pintas lewat 
  
pegunungan, tanpa memedulikan siang dan malam, 
agar dapat secepatnya tiba di sini. Sekarang sudah 
pasti bahwa mpu betarakatong  sudah  tiada."  
"Ah... akhirnya." 
"Hamba tidak dapat memberikan laporan ter-
perinci. Tampaknya kelompok orang dalam di Kai 
berusaha agar keadaan tetap terlihat seperti biasa, namun  
di balik itu suasana pilu sangat terasa." 
"Rupanya mereka berupaya merahasiakan bahwa 
mereka sedang berduka." 
"Tentu saja." 
"Dan provinsi-provinsi lain belum mengetahui apa-
apa?"  
"Sejauh ini demikianlah keadaannya." 
"Jadi, sekaranglah waktu yang tepat. Kurasa kau 
sudah  melarang latief  membicarakan hal ini dengan 
orang lain."  
"Tuanku tidak perlu cemas mengenai ini." 
"namun  tak sedikit orang tak bermoral di kalangan 
ninja. Kau mempercayai latief ?" 
"Dia kepribadian  ronggowiryo, dan kesetiaannya tak 
perlu diragukan." 
"Hmm, kita harus sangat berhati-hati. Berikan 
imbalan pada latief , namun  jaga agar dia jangan sampai 
keluar benteng kota. Mungkin malah lebih baik kalau dia 
dipenjarakan sampai urusan ini selesai." 
"Jangan, tuanku." 
"Kenapa?" 
"Kalau kita memperlakukan seseorang seperti itu. 
  
pada kesempatan berikut dia takkan mau memper-
taruhkan nyawa   seperti yang baru saja dilakukannya. 
Dan jika kita tidak mempercayai seseorang, namun  mem-
berikan imbalan padanya, suatu hari nanti dia 
mungkin terjerumus   untuk menerima uang dari pihak 
musuh." 
"Hmm. baiklah. Di mana dia sekarang?" 
"Kebetulan sekali Oyu hendak berangkat ke betari jawi  
tadi, jadi hamba memerinrahkan latief  untuk 
menyertainya sebagai pengawal  tandu." 
"Orang itu mempertaruhkan nyawa   saat  kembali 
dari Kai, dan kau langsung menyuruhnya mengawal  
gundikmu? Apa latief  tidak keberatan?" 
"Dia berangkat dengan senang hati. Hamba 
mungkin majikan yang pandir, namun  dia mengenal 
hamba dengan baik." 
"Kelihatannya kau menangani anak buahmu 
dengan cara berbeda dari aku." 
"Tuanku tidak perlu gelisah khawatir . Oyu memang 
wanita lesbian , namun  jika dia memperoleh kesan bahwa 
latief  akan membocorkan rahasia ini. Oyu pasti akan 
melindungi kepentingan kita, biarpun dia harus 
membunuh latief ." 
"Jangan besar kepala." 
"Maaf. Tuanku tahu sifat hamba."  
"Bukan itu masalahnya." ujar aidit . "Si Macan 
dari Kai sudah tiada, jadi kita tak boleh membuang-
buang waktu. Kita harus bergerak sebelum kematian 
mpu betarakatong  diketahui dunia luas. patih ronggolawe . Berangkat-
  
lah malam ini juga. Kau harus segera kembali ke 
mergoharjoyo ." 
"Hamba memang bermaksud demikian, jadi hamba 
menyuruh Oyu pulang ke betari jawi , lalu..." 
"Sudahlah. Aku hampir tak punya waktu untuk 
tidur. Besok pagi-pagi kita kumpulkan centeng ." 
Pikiran aidit  sejalan dengan pikiran 
patih ronggolawe . Kesempatan yang mereka cari-cari selama 
ini kesempatan untuk menyelesaikan sebuah masalah 
lama kini sudah  terbentang di hadapan mereka. 
Masalah itu, tentu saja, mengenyahkan sang pandita  
yang selalu membuat onar, sekaligus memberantas 
seluruh orde lama.      
Sebagai pelaku dalam masa baru yang akan segera 
menggantikan masa silam. aidit  tidak menunda-
nunda pelaksanaan rencananya. Pada hari kedua 
puluh satu di bulan ketiga, centeng nya bertolak dari 
padalarang . saat  mencapai tepi Danau Biwa, centeng  itu 
membagi diri menjadi dua. Setengahnya langsung 
berada di bawah  komando aidit . Ia dan para 
prajuritnya menaiki kapal-kapal dan menyeberangi 
danau ke arah barat. Sisa centeng nya, yang terdiri atas 
centeng  di bawah  dijoyo , tunggadewa , dan Hachiya, 
mengambil jalan darat dan menyusuri tepi selatan 
danau. 
centeng  darat menggulung para biksu-prajurit anti-
aidit  di daerah antara Katada dan Ishiyama. dan  
menghancurkan kubu-kubu pertahanan yang didirikan 
sepanjang jalan. 
  
Para penasihat sang pandita  segera mengadakan 
rapat. 
"Apakah kita harus mengadakan perlawan an?" 
"Apakah kita harus mengadakan perundingan 
damai?" 
Orang-orang ini menghadapi masalah besar. Mereka 
belum memberikan tanggapan jelas terhadap 
dokumen berisi tujuh belas pasal yang dikirimkan 
aidit  pada yosodiprojo  pada hari Tahun Baru. 
Dalam dokumen itu, aidit  mencantumkan 
semua keluhannya mengenai yosodiprojo . 
"Betapa pongahnya! Akulah sang pandita !" yosodiprojo  
berkata dengan geram saat  menerima dokumen 
itu , tanpa menghiraukan bahwa aidit -lah 
yang sudah  melindunginya dan mengembalikannya ke 
Istana Nijo. "Kenapa aku harus tunduk pada orang tak 
berarti seperti aidit ?" 
Berulang kali aidit  mengirim utusan untuk 
merundingkan persyaratan damai, namun  semuanya 
terpaksa kembali tanpa diberi kesempatan bertatap 
muka. lalu , sebagai semacam tindakan balasan, 
sang pandita  mendirikan rintangan pada jalan-jalan 
yang menuju ibu kota. 
Kesempatan yang ditunggu-tunggu aidit  
adalah saat yang tepat untuk mencela yosodiprojo  sebab  
tidak menanggapi Ketujuh Belas Pasal. Kesempatan 
itu muncul lebih cepat dari yang diduga dipercepat 
oleh kematian mpu betarakatong . 
Sejarah menunjukkan bahwa orang yang sedang 
  
menuju kehancuran selalu berpegang pada bayangan 
menggelikan bahwa bukan mereka yang akan jatuh. 
yosodiprojo  pun masuk ke perangkap itu. 
Namun aidit  melihatnya dari sudut pandang 
lain lagi, dan berkata. 
"Kita juga bisa memanfaatkan dia." Dengan berkata 
demikian, ia sudah  merendahkan sang pandita . namun   
para kerabat kepandita an di masa ini tidak memahami 
nilai mereka sendiri, dan wkertoarjo san mereka terbatas 
pada masa lalu. Mereka hanya melihat kebudayaan 
yang ada di ibu kota. dan menyangka keadaan ini juga 
berlaku di seantero negeri. Mereka berpegang pada 
tatanan kaku dari masa lampau, dan mengandalkan 
kaum biksu-prajurir ronggodwijoyo  dan  para panglima 
centeng adipati  di daerah-daerah, yang membenci aidit . 
Sang pandita  belum juga mengetahui kematian 
mpu betarakatong . sebab  ini ia bersikap keras. "Akulah sang 
pandita , tonggak utama golongan centeng adipati . Aku ber-
beda dengan para biksu di Gunung brahma. Seandainya 
aidit  mengarahkan senjatanya ke Istana Nijo, dia 
akan dicap pengkhianat." 
Sikapnya menunjukkan bahwa ia takkan mundur 
jika ditantang berperang. Tentu saja ia pun meng-
hubungi marga-marga di sekitar ibu kota, dan 
mengutus kurir-kurir untuk menyampaikan pesan 
penting kepada marga jawa . mpu djiwo, kramat, dan 
mpu ireng  yang tinggal di tempat jauh. Ia pun tak lupa 
mempersiapkan pertahanan. 
saat  aidit  mendengar ini, ia tertawa  dan 
  
segera menuju ibu kota, lalu tanpa mengistirahatkan 
centeng nya, memasuki kahuripan . Mereka yang terkejut 
adalah para biksu-prajurit ronggodwijoyo . Tiba-tiba saja 
mereka berhadapan dengan centeng  aidit . dan 
mereka tak tahu apa yang harus mereka perbuat. namun  
aidit  hanya memerintahkan agar prajurit-prajurit 
membentuk formasi tempur. 
"Kita bisa menyerang kapan saja kita mau." katanya. 
Pada saat ini, lebih dari apa pun, ia ingin menghindari 
penggunaan kekuatan militer jika tidak diperlukan. 
Dan sampai saat ini ia sudah  berulang kali mengirim 
utusan ke trowulan  untuk meminta tanggapan terhadap 
Ketujuh Belas Pasal. Jadi. tindakannya sekarang 
merupakan semacam ultimatum. Namun yosodiprojo  
memilih bersikap angkuh. Ia merupakan sang pandita , 
dan ia tidak berminat mendengarkan pendapat 
aidit  mengenai pemerintahannya. 
Di antara Ketujuh Belas Pasal ada dua pasal 
yang cukup mengganggu yosodiprojo . Yang penama 
menyangkut kejahatan berupa ketidaksetiaan terhadap 
sang pengikut . Yang kedua membahas tindak-tanduk 
yosodiprojo  yang dinilai tidak pantas. Meski berkewajiban 
menjaga ketenteraman seluruh negeri. yosodiprojo  justru 
menghasut provinsi-provinsi untuk memberontak. 
"Percuma saja. Dia takkan menyerah jika ditanyai 
dengan cara sepeni ini hanya dengan pesan-pesan 
tenulis dan kurir-kurir," dimasireng  berkata pada 
aidit . 
hyangkertoarjo  wiryabhumi , yang juga sudah  bergabung 
  
dengan aidit . menambahkan. "Menurut hamba, 
sia-sia saja kita berharap sang pandita  akan sadar 
sebelum jatuh." 
aidit  mengangguk. Ia pun memahami 
keadaannya. namun  kali ini ia tak perlu memakai 
kekerasan liar seperti yang dipakai  saat   
menaklukkan Gunung brahma, dan ia pun tidak 
kekurangan strategi, sampai terpaksa dua kali 
memakai  cara yang sama. 
"Kembali ke trowulan !" aidit  memberikan 
perintah ini pada hari keempat di bulan keempat, namun  
saat  itu orang-orang memperoleh kesan bahwa ia hanya 
hendak menggertak dengan memamerkan kekuatan 
centeng nya. 
"Lihat itu! Perkcmahannya takkan berdiri lama. 
Persis seperti terakhir kali. aidit  gelisah khawatir  
mengenai padalarang  dan langsung menarik prajurit-
prajuritnya." yosodiprojo  berkata dengan gembira. namun . 
saat  laporan demi laporan mulai berdatangan, 
roman muka yosodiprojo  pun berubah. Ia baru saja 
berucap syukur bahwa musuh batal menyerang trowulan , 
saat  centeng  sinuhun  memasuki ibu kota dari jalan raya 
kahuripan . lalu , tanpa melepaskan teriakan perang 
dan dengan lebih tenang dibandingkan waktu mereka 
mengadakan latihan, para prajurit mengepung 
kediaman yosodiprojo . 
"Kita berada di dekat Istana Kekaisaran. Jangan 
sampai Yang Mulia terganggu. Kita hanya perlu 
mengecam kejahatan-kejahatan pandita  yang lancang 
  
ini," aidit  memerintahkan. 
Tidak terdengar letusan senapan maupun dengung 
tali busur. namun   suasana justru lebih menyeramkan 
dibandingkan  jika mereka bersorak-sorai. 
"mojolaban  , menurutmu apa yang harus kita lakukan? 
Apa yang akan dilakukan aidit  terhadapku?" 
yosodiprojo  bertanya pada penasihat seniornya, Mibuchi 
mojolaban  . 
"Tuanku benar-benar tidak siap. Dan sampai saat 
ini tuanku belum juga memahami tujuan aidit ? 
Sudah jelas dia bermaksud menyerang tuanku." 
"Ta... namun ... akulah sang pandita !" 
"Kita hidup di zaman yang serbakacau. Apa gunanya 
gelar seperti itu? Kelihatannya tuanku hanya mem-
punyai dua pilihan: bertempur atau memohon damai." 
Sambil mengucapkan kata-kata ini, air mata mulai 
membasahi pipi mojolaban  . Bersama hyangkertoarjo  wiryabhumi , 
orang yang mulia ini tak pernah meninggalkan sisi 
yosodiprojo  sejak junjungannya itu masih hidup di 
pengasingan. 
"Aku bertahan bukan sebab  ingin menegakkan 
kehormatanku atau mencari kemasyhuran. Aku juga 
tidak menjalankan strategi untuk tetap hidup. Aku 
tahu apa yang akan terjadi besok, namun  entah kenapa 
aku tak bisa meninggalkan pandita  yang bodoh ini." 
mojolaban   pernah berkata. Dalam hati ia tentu tahu 
bahwa yosodiprojo  tidak patut diselamatkan. Ia sadar 
bahwa dunia sedang berubah, namun  sepertinya ia sudah  
bertekad untuk bertahan di Istana Nijo. Usianya sudah  
  
melewati 60 tahun, seorang resi  yang sudah  
melewati masa jayanya. 
"Memohon damai? Adakah alasan mengapa aku. 
sang pandita , harus memohon damai pada orang 
seperti aidit ?" 
'Tuanku terlalu terpaku pada gelar pandita . 
sehingga satu-satunya jalan yang terbuka untuk tuanku 
adalah jalan menuju kehancuran." 
"Kau tidak percaya bahwa kira akan menang jika 
bertempur?" 
"Tak ada bukti yang dapat menopang pemikiran itu. 
Menggelikan sekali jika tuanku mendirikan per-
tahanan di tempat ini dengan membayangkan 
kemenangan." 
"Kalau begitu, ke... kenapa kau dan para resi  lain 
memakai baju tempur yang demikian mencolok?" 
"Kami pikir ini cara yang indah untuk gugur. 
Walaupun keadaannya tanpa harapan, bertahan 
sampai mati di sini merupakan akhir yang pantas bagi 
empat belas generasi pandita . Itulah kewajiban 
centeng adipati . Ini semua tak lebih dari mengatur bunga 
pada upacara pemakaman." 
"Tunggu! Jangan menyerang dahulu ! Turunkan 
senapan-senapan kalian." 
yosodiprojo  menghilang di dalam istana dan berunding 
dengan Hino dan Takaoka, kerabat istana yang akrab 
dengannya. sesudah  siang, seorang kurir diam-diam 
diutus dari istana oleh Hino. lalu  gubernur 
trowulan  datang dari pihak sinuhun , dan menjelang malam, 
  
sinuhun  Nobuhiro muncul sebagai utusan resmi 
aidit . 
"Mulai sekarang, aku akan memperhatikan isi setiap 
pasal," yosodiprojo  berjanji pada utusan itu . Dengan 
wajah getir yosodiprojo  mengucapkan kata-kata yang 
tidak berasal dari lubuk hatinya. Hari itu ia memohon 
damai. centeng  aidit  mundur dan dengan tertib 
kembali ke padalarang . 
 
Namun hanya seratus hari lalu , centeng  
aidit  sekali lagi mengepung Istana Nijo. Dan ini 
terjadi sebab  yosodiprojo  kembali menjalankan siasat-
siasatnya sesudah  berdamai dengan aidit . 
Atap besar Kuil Myokaku di Nijo diterpa hujan 
Bulan Ketujuh. Kuil itu dipakai  sebagai markas 
aidit . Sejak centeng nya menyeberangi Danau 
Biwa, mereka diiringi hujan dan angin kencang. namun  
ini hanya memperbesar tekad prajurit-prajuritnya. 
Basah kuyup dan berlepotan lumpur, mereka 
mengepung istana sang pandita , lalu berhenti, 
menunggu aba-aba untuk menyerbu. 
Tak ada yang tahu apakah yosodiprojo  akan dihukum 
mati atau ditawa n, namun  nasibnya sepenuhnya di 
tangan mereka. centeng  aidit  merasa sepeni 
melihat ke dalam kandang binatang ganas dan agung 
yang akan mereka bantai. 
Suara aidit  dan patih ronggolawe  terbawa   angin. 
"Apa yang akan tuanku lakukan?" tanya patih ronggolawe . 
"Sekarang hanya ada satu jalan." aidit  bersikap 
  
tegas. "Kali ini aku takkan memaafkannya."  
"namun  dialah sang..." 
"Percuma saja kau membahas sesuatu yang sudah 
jelas."  
"Apakah tidak ada tempat bagi sedikit 
pertimbangan?"  
"Tidak! Sama sekali tidak!" 
Ruangan di dalam kuil remang-remang sebab  
hujan di luar. Kombinasi antara panas musim 
kemarau dan hujan musim gugur sudah  memicu  
emas dan patung-patung zoroaster  dan  lukisan-lukisan 
tinta pada pintu-pintu geser pun tampak berjamur. 
"Hamba tidak bermaksud mengatakan bahwa 
tuanku gegabah kalau hamba minta agar tuanku 
mempertimbangkan langkah yang akan diambil." kata 
patih ronggolawe . "namun  kedudukan pandita  merupakan 
anugerah dari Istana Kekaisaran, jadi masalah ini tak 
bisa dianggap sepele. Dan kekuatan-kekuatan yang 
menentang tuanku akan memperoleh alasan untuk 
menghukum orang yang membunuh junjungannya, 
yaitu sang pandita ." 
"Kurasa kau benar," jawab  aidit . 
"Untung saja Yoshialu begitu lemah, sehingga 
walaupun terperangkap, dia takkan bunuh diri 
ataupun keluar untuk bertempur. Dia hanya akan 
mengunci gerbang-gerbang istana dan berharap air di 
selokan pertahanan akan terus naik sebab  hujan 
tanpa akhir ini." 
"Jadi, apa rencanamu?" tanya aidit . 
  
"Kita sengaja membuka sebagian pengepungan dan 
memberikan jalan agar dia bisa melarikan diri. 
"Bukankah dia akan menjadi batu sandungan di 
masa depan? Dia mungkin dimanfaatkan untuk mem-
perkuat ambisi provinsi lain." 
"Tidak," kata patih ronggolawe . "Hamba rasa, orang-orang 
sudah  muak dengan watak yosodiprojo . Hamba menduga 
mereka akan mengerti, bahkan kalau yosodiprojo  diusir 
dari ibu kota, dan mereka akan memandang tindakan 
tuanku sebagai hukuman yang setimpal." 
Malam itu centeng  pengepung membuka jalan dan 
sengaja memperlihatkan kekurangan prajurit. Di 
dalam istana, para anak buah sang pandita  menyangka 
ini semacam siasat, dan sampai tengah malam mereka 
belum mengambil langkah untuk meninggalkan 
istana. namun  saat  hujan sempat mereda menjelang 
fajar, sekelompok penunggang kuda mendadak 
menyeberangi selokan pertahanan dan melarikan diri 
dari ibu kota. 
Waktu aidit  memperoleh kepastian bahwa 
yosodiprojo  sudah  lolos, ia berpidato di hadapan prajurit-
prajuritnya. "Sasaran kita sudah kosong. Tak banyak 
gunanya menyerang sasaran kosong, namun  kepandita an 
yang bertahan selama empat belas generasi akhirnya 
memicu  kejatuhannya sendiri. Serang dan 
kumandangkan teriakan kemenangan! Ini akan 
merupakan upacara pemakaman bagi pemerintahan 
lalim para pandita  wiryogaja." 
Istana Nijo dihancurkan dengan satu serangan. 
  
Hampir semua pengikut di dalam istana menyerah. 
Bahkan kedua bawahan , Hino dan Takaoka, keluar 
dan memohon maaf pada aidit . namun  satu orang, 
Mibuchi mojolaban  , dan lebih dari enam puluh 
pengikutnya bertempur sampai akhir, tanpa 
menyerah. Tak satu pun dari mereka melarikan diri 
dan tak satu pun dari mereka mengalah. Semuanya 
menemui ajal dalam pertempuran dan gugur sebagai 
centeng adipati . 
yosodiprojo  kabur ke trowulan  dan berkubu di Uji. 
Sembrono seperti biasa, ia hanya ditambah   rombongan 
kecil. saat  centeng  aidit  tak lama lalu  
mendekati markasnya di Kuil Bwatangsewu in, yosodiprojo  
menyerah tanpa mengadakan perlawan an. 
 
"Semuanya pergi," aidit  memerintahkan. 
aidit  duduk sedikit lebih tegak dan menatap 
lurus ke arah yosodiprojo . 
"Kurasa tuanku belum lupa bahwa tuanku pernah 
berkata tuanku menganggapku sebagai ayah. Hari 
saat  tuanku duduk dalam istana yang kubangun 
kembali untuk tuanku merupakan hari bahagia." 
yosodiprojo  membisu. "Tuanku masih ingat?" 
"Yang Mulia aidit , aku tidak lupa. Mengapa 
Tuan menyinggung hari-hari itu sekarang?" 
"Tuanku seorang pengecut. Aku tidak bermaksud 
merampas nyawa   tuanku, biarpun dalam keadaan 
seperti sekarang. Mengapa Tuan terus menyebarkan 
kebohongan?" 
  
"Ampunilah aku. Aku bersalah." 
"Aku gembira mendengarnya. namun  tuanku meng-
hadapi masalah berat walaupun tuanku dilahirkan 
dalam posisi pandita ." 
"Aku ingin mati. Yang Mulia aidit ... aku... ber-
sediakah Tuan... membantuku melaksanakan seppuku?" 
"Jangan teruskan!" aidit  tertawa . "Maafkan 
kelancanganku, namun  kurasa tuanku bahkan tidak tahu 
cara yang tepat untuk membelah perut tuanku. Tak 
pernah ada kecenderungan dalam diriku untuk 
membenci tuanku. Masalahnya, tuanku tak pernah 
berhenti bermain api, dan bunga-bunga apinya 
beterbangan sampai ke provinsi-provinsi lain." 
"Aku mengerti sekarang." 
"Hmm, kurasa lebih baik kalau tuanku mengundur-
kan diri secara diam-diam. Putra tuanku akan tinggal 
bersamaku. Dia akan kubesarkan, sehingga tuanku tak 
perlu mencemaskan masa depannya." 
yosodiprojo  dibebaskan dan diberitahu bahwa ia boleh 
pergi memasuki pengasingan. 
Di bawah  penjagaan patih ronggolawe . putra yosodiprojo  
dibawa   ke benteng kota Wkeramat . Dengan langkah ini. 
aidit  membalas kedengkian dengan kebaikan, 
namun  seperti biasa yosodiprojo  menerimanya dengan 
penuh prasangka, dan ia merasa putranya sudah  
diambil sebagai sandera. dyahbalitung  Yoshitsugu adalah 
gubernur di benteng kota Wkeramat , dan belakangan yosodiprojo  
pun ditampung olehnya. 
Namun, sebab  tidak berminat menjadi tuan 
  
rumah bagi seorang bawahan  yang merepotkan. 
Yoshitsugu segera membuatnya gelisah dengan ber-
kata. "Hamba rasa nyawa   tuanku akan terancam jika 
tuanku tinggal di sini. aidit  bisa saja berubah 
pikiran dan memerintahkan agar tuanku dibunuh." 
Terburu-buru yosodiprojo  meninggalkan benteng kota 
Wkeramat  dan pergi ke Kii. 
Di sana ia mencoba menghasut para biksu-prajurit 
Kumano dan Saiga untuk memberontak, dengan 
menjanjikan imbalan menggiurkan jika mereka ber-
hasil menundukkan aidit . yosodiprojo  memanfaat-
kan nama dan wibawa   jabatannya, namun yang ia 
peroleh hanya tawa  dan cemooh. Menurut desas-
desus, ia tidak tinggal lama di Kii, melainkan segera 
menyeberang ke Bizen. Di sana ia menjadi tanggungan 
marga Ukita. 
Dengan demikian, sebuah era baru dimulai. Bisa 
dibilang bahwa penghancuran kepandita an tiba-tiba 
menguak lapisan awan  tebal yang mcnyclimuri langit. 
Kini sebagian langit biru sudah terlihat. Tak ada yang 
lebih menakutkan dibandingkan  masa pemerintahan 
nasional tanpa tujuan, yang dipimpin oleh orang yang 
hanya memegang gelar sebagai penguasa. Para centeng adipati  
berkuasa di setiap provinsi, melindungi hak istimewa 
mereka; golongan pendera meraih kekayaan dan 
memperbesar wewenangnya. Para bawahan  hanyalah 
orang-orang kerdil tak berdaya di dalam istana, hari ini 
berlindung di balik kaum centeng adipati , keesokan hari 
memohon-mohon pada golongan pendeta, lalu 
  
menyalahgunakan pemerintahan bagi pertahanan 
mereka sendiri. Dengan demikian, kekaisaran terbagi 
menjadi empat golongan golongan pendeta, golongan 
centeng adipati , kerabat kekaisaran, dan kerabat 
kepandita an masing-masing sibuk melancarkan intrik 
dan siasat. 
Sepak terjang aidit  membuka mata rakyat. 
namun , walaupun mereka sudah dapat memandang 
langit biru, awan -awan  tebal belum sepenuhnya 
lenyap. Tak seorang pun sanggup menebak apa yang 
akan terjadi selanjutnya. Selama dua atau tiga tahun 
terakhir, majapahit  sudah  kehilangan beberapa tokoh 
kunci. Dua tahun lalu, patih Motonari, penguasa 
wilayah terbesar di bagian barat, dan Hojo Ujiyasu, 
penguasa wilayah timur, meninggal dunia. namun   bagi 
aidit , peristiwa-peristiwa itu kalah penting 
dibandingkan kematian mpu ireng  mpu betarakatong  dan 
pengasingan yosodiprojo . Bagi aidit , kematian 
mpu betarakatong  yang sejak dahulu  selalu mengancam dari 
utara membuka kemungkinan baginya untuk me-
musatkan perhatian ke satu arah, suatu arah yang 
memicu  pertempuran dan kekacauan tak ter-
elakkan. Tak ada yang meragukan bahwa sesudah  
runtuhnya kepandita an, marga-marga centeng adipati  di setiap 
provinsi akan mengibarkan panji-panji dan berlomba-
lomba untuk lebih dahulu  memasuki lapangan per-
mainan. 
'aidit  sudah  membakar Gunung brahma dan 
menggulingkan sang pandita . Kejahatannya harus 
  
memperoleh ganjaran!'' Ini yang akan menjadi teriakan 
perang mereka. 
aidit  menyadari bahwa ia harus mengambil 
inisiatif dan mengalahkan saingan-saingannya sebelum 
mereka sempat membentuk persekutuan untuk 
melawan nya. "patih ronggolawe , kau kembali lebih dahulu . 
Dalam waktu singkat, aku mungkin akan mengun-
jungimu di benteng kota mergoharjoyo ." 
"Hamba akan menanti kedatangan tuanku." Hide-
yoshi rupanya sudah menebak arah perkembangan 
selanjutnya, dan sesudah  mengiringi putra yosodiprojo  ke 
Wkeramat , ia cepat-cepat pulang ke benteng kotanya di 
mergoharjoyo . 
Pada akhir Bulan Ketujuh, aidit  kembali ke 
padalarang . Pada awal  bulan berikutnya, sepucuk surat 
dengan tulisan tangan patih ronggolawe  yang buruk tiba dari 
mergoharjoyo : Kesempatannya sudah matang. Mari bergerak! 
Dalam hkertoarjo  panas di Bulan Ke9, centeng  
aidit  meninggalkan Yanagase dan memasuki 
wilayah radenkanjeng  . lawan  mereka adalah centeng  
mpu djiwo Yoshikage yang berpangkalan di Ichijogadani. 
Pada akhir Bulan Ketujuh, Yoshikage menerima pesan 
mendadak dari sinuhun ni, dari jawa  buanakarta dan 
putranya, kalasan , sekutu-sekutu Yoshikage di 
bagian utara gunungselatan: 
 
centeng  sinuhun  menuju utara. Kirim bala bantuan secepatnya.  
Jika terlambat, kami akan binasa. 
 
 
  
Di antara para anggota dewan perang ada yang 
meragukan kebenaran berita ini, namun   marga jawa  
merupakan sekutu, sehingga sepuluh ribu prajurit 
dikerahkan secara terburu-buru. Dan saat  barisan 
depan ini mencapai Gunung Tagami, mereka 
menyadari bahwa berita mengenai serangan centeng  
sinuhun  memang benar. sesudah  memperoleh kepastian, 
barisan belakang berkekuatan lebih dari dua puluh 
ribu orang dikirim. mpu djiwo Yoshikage menganggap 
krisis ini sedemikian gkertoarjo t, sehingga ia sendiri turun 
tangan memimpin centeng . Setiap pertempuran di 
bagian utara gunungselatan sangat meresahkan bagi marga 
mpu djiwo, sebab  marga jawa  merupakan barisan 
pertama dalam pertempuran provinsi mereka sendiri. 
Baik jawa  buanakarta maupun putranya berada di 
benteng kota sinuhun ni. Kira-kira tiga mil dari sana. benteng kota 
mergoharjoyo  berdiri megah, tempat patih ronggolawe  berkubu 
sambil mengamati marga jawa , bagaikan elang untuk 
aidit . 
Pada awal  musim gugur aidit  sudah  menyerang 
pihak jawa . Ia menundukkan Kinomoto dalam 
serangan mendadak melawan  centeng  radenkanjeng . 
centeng  sinuhun  berhasil merebut lebih dari dua ribu 
9 ratus kepala. Mereka terus mendesak musuh 
yang kini melarikan diri dari Yanagase, mengejar 
mereka dan membanjiri rumput yang mulai 
mengering dengan darah. 
Para prajurit radenkanjeng  menyesali kelemahan centeng  
mereka. namun   para resi  dan prajurit gagah yang 
  
berbalik untuk berperang akhirnya takluk dalam per-
tempuran. Mengapa mereka begitu lemah? Mengapa 
mereka tak mampu menangkis serangan orang-orang 
sinuhun ? Sebuah kekalahan selalu disebabkan oleh 
kombinasi beberapa faktor, dan saat kejatuhan datang 
secara mendadak. Namun kalau saat itu tiba, baik 
kawan  maupun lawan  tercengang. namun   pasang-surut 
sebuah provinsi selalu didasarkan atas fenomena alam, 
dan di sini pun sebetulnya  tak ada keajaiban atau 
keanehan. Ketidakberdayaan centeng  mpu djiwo dapat 
dimengerti dengan melihat sikap panglimanya, 
Yoshikage. Terperangkap dalam arus prajurit yang 
melarikan diri dari Yanagase. Yoshikage tampak 
kalang kabut. 
"Semuanya sudah berakhir! Kita bahkan tak bisa 
melarikan diri! Aku dan kudaku kehabisan tenaga. 
Lari ke pegunungan!" ia berseru. Yoshikage tak punya 
rencana untuk serangan balasan. Semangat juangnya 
tak tersisa sedikit pun. Ia hanya memikirkan dirinya 
sendiri. Ia turun dari kudanya dan mencoba ber-
sembunyi di gunung-gunung. 
"Apa yang tuanku lakukan?" Sambil memarahinya 
dengan mara berkaca-kaca, pengikut utama Yoshikagc. 
Takuma wirongeni . menarik ikat pinggang junjungan-
nya. memaksanya kembali menaiki kuda. dan men-
dorongnya ke arah radenkanjeng . lalu , untuk mem-
beri waktu pada junjungannya untuk melarikan diri, 
Takuma wirongeni  mengumpulkan lebih dari seribu 
prajurit dan menghadapi centeng  sinuhun  selama 
  
mungkin. 
Rasanya tak perlu diceritakan bahwa Takuma dan 
seluruh anak buahnya gugur. Mereka menderita 
kekalahan total. namun , sementara pengikut-pengikut 
yang begini setia mengorbankan nyawa  , Yoshikagc 
mengurung diri di dalam benteng kota utamanya di 
Ichijogadani. Namun ia bahkan tak sanggup 
mengerahkan semangat tempur untuk mempertahan-
kan tanah leluhurnya. 
Tak lama sesudah  kembali ke benteng kotanya, ia 
membawa   anak-istrinya dan melarikan diri ke sebuah 
kuil di Distrik Ono. Ia berdalih bahwa jika ia tetap 
bertahan di dalam benteng kota dan keadaan bertambah  
gkertoarjo t, ia tak punya kesempatan untuk meloloskan 
diri. Melihat pemimpin mereka bersikap seperti ini. 
semua resi  dan prajuritnya membelot. 
 
Musim gugur sudah  tiba. aidit  kembali ke 
perkemahannya di Gunung lawu . Ia sudah  
mengepung sinuhun ni. Sejak kedatangannya, ia tampak luar biasa tenang, seakan-akan ia tinggal menunggu sampai benteng kota itu takluk. sesudah  kekalahan radenkanjeng  
yang begitu cepat, ia segera kembali sementara 
reruntuhan Ichijogadani masih membara. Kini ia 
memberikan perintah-perintah. 
sinuhun  Yoshitsugu, resi  radenkanjeng   yang sudah  
menyerah, diberi komando atas benteng kota Toyohara. 
mpu djiwo Kageaki ditunjuk untuk mempenahankan 
benteng kota Ino, dan Tsinuhun  Yarokuro diperintahkan 
  
menempati benteng kota di Fuchu. Dengan demikian, 
aidit  memberi tugas pada sejumlah besar 
pengikut mpu djiwo yang sudah mengenal kondisi di 
provinsi itu . Akhirnya tribuana  tunggadewa  mem-
peroleh tanggung jawab  sebagai pengawas mereka. 
Kemungkinan besar tak ada yang lebih pantas 
mengemban tanggung lkertoarjo b ini selain tunggadewa . 
Dalam pengembaraannya ia sempat menjadi pengikut 
marga mpu djiwo dan tinggal di kota benteng kota 
Ichijogadani. saat  itu ia hanya memperoleh tatapan 
dingin dari rekan-rekannya. Kini situasinya terbalik, ia 
menyerbu  bekas majikannya. 
Dada tunggadewa  tentu menggelora dengan perasaan 
bangga dan berbagai emosi lain. Kecerdasan dan 
kemampuan tunggadewa  sudah berulang kali menarik 
perhatian, dan ia sudah  menjadi salah satu pengikut 
favorit aidit . Daya pengamatan tunggadewa  lebih 
tinggi dibanding sebagian besar orang lain. dan sesudah  
bertahun-tahun ikut dan  dalam pertempuran-
pertempuran dan menjalankan tugas sehari-hari. ia 
cukup mengenal watak Nobiinaga. Ia memahami 
roman muka, ucapan, dan tatapan junjungannya  
bahkan dari jauh sama seperti ia memahami dirinya 
sendiri. 
Setiap hari sinuhunprabu  berkali-kali mengutus kurir  dari radenkanjeng . Masalah yang paling kecil pun tak pernah ia putuskan sendiri. Dalam situasi apa pun ia memohon petunjuk aidit . aidit  mengambil keputusan di perkemahan di Gunung lawu . 
  
sambil mempelajari catatan dan surat yang dikirim 
tunggadewa . 
Gunung-gunung yang diselubungi warna-warni 
musim gugur berbatasan dengan langit biru tak 
berawan , yang sebaliknya terpantul pada permukaan 
air danau di bawah . Kicau burung mengundang kuap 
di sana-sini. 
patih ronggolawe  bergegas melintasi pegunungan dari 
mergoharjoyo . Sepanjang perjalanan ia bersenda gurau 
dengan anak buahnya. Giginya terlihat putih berkilau, 
setiap kali ia tertawa . Ia menegur semua orang di 
sekitarnya saat  mendekati tujuan. Inilah orang yang 
membangun benteng kota di kahuripan. dan lalu  
diberi kepercayaan untuk memimpin benteng kota 
mergoharjoyo . Tanggung jawab  dan kedudukannya di 
antara resi -resi  centeng  sinuhun  menanjak cepat 
sekali, namun  sikapnya tetap sama. 
Di antara resi -resi  lain yang membandingkan 
tingkah laku patih ronggolawe  dengan pembawa  an mereka 
sendiri yang serbaserius, ada yang berpendapat bahwa 
ia sembrono dan tidak bijaksana, namun  ada juga yang 
memandangnya secara berbeda. Mereka ini kerap 
berkata. "Dia pantas menduduki posisinya. Dia tidak 
berubah dari dahulu , walaupun upahnya sudah  naik. 
Mula-mula dia seorang pelayan, lalu  seorang 
centeng adipati , dan tiba-tiba dia sudah  menjadi komandan 
benteng kota. namun  dia sendiri tidak berubah. Bisa 
dibayangkan bahwa dia akan merebut wilayah yang 
lebih luas lagi." 
  
patih ronggolawe  baru saja memperlihatkan batang 
hidungnya di perkemahan. sebelum menarik per-
hatian aidit  dengan beberapa patah kata. Berdua 
mereka mendaki lereng gunung. 
"Tak tahu diri!" nyoto  dijoyo  berseru saat  ia 
dan mpu wiragajah  mpu wiraghanda berjalan melewati barak-barak. 
"Inilah sebabnya dia tidak disukai, padahal seharus-
nya tak perlu begitu. Tak ada yang lebih menyebalkan 
selain mendengarkan orang yang selalu membangga-
banggakan kecerdikannya sendiri." Sambil menyem-
burkan kata-kata itu, mereka memperhatikan sosok 
patih ronggolawe  melintasi daerah paya-paya di kejauhan 
bersama aidit . 
"Dia tak pernah mengatakan apa-apa pada kita tak 
pernah berkonsultasi." 
"Dan bukankah tindakannya sekarang amat 
berbahaya? Bahkan di siang hari bolong, musuh bisa 
bersembunyi di mana-mana di pegunungan ini. Apa 
jadinya kalau mereka mulai menembak? 
"Hmm, itulah Yang Mulia." 
"Bukan, ini salah patih ronggolawe . Walaupun Yang Mulia 
dikelilingi banyak orang, patih ronggolawe  tak segan-segan 
melakukan apa saja untuk menarik perhatiannya." 
Selain dijoyo  dan mpu wiraghanda masih ada beberapa 
komandan lain yang tidak menyukai situasi ini. 
Sebagian besar dari mereka menduga bahwa 
patih ronggolawe  mengajak aidit  ke pegunungan untuk 
membahas strategi perang dengan memanfaatkan 
lidahnya yang fasih. Inilah yang menimbulkan 
  
perasaan tak senang dalam hati mereka. 
"Dia tidak mengacuhkan kita kelompok utama di 
antara resi -resi nya." 
Tidak jelas apakah patih ronggolawe  tidak memahami sifat 
manusia atau memang memilih untuk tidak mem-
perhatikannya, namun  nyatanya ia mengajak aidit  
berjalan-jalan di pegunungan. Sesekali ia tertawa  
dengan suara keras, yang sebetulnya  lebih cocok 
untuk suasana berlibur. Jika pengikut patih ronggolawe  dan 
aidit  digabungkan, rombongan pengiring 
mereka berjumlah tak lebih dari dua puluh sampai 
tiga puluh orang. 
"Mendaki gunung betul-betul memancing keringat. 
Apakah hamba bisa membantu tuanku?" 
"Jangan menghina." 
"Tinggal sedikit lagi." 
"Aku belum puas mendaki. Tak adakah gunung 
yang lebih tinggi dari ini?" 
"Sayangnya tidak, paling tidak di sekitar sini. namun  
ini pun sudah cukup tinggi!" 
Sambil mengusap keringat dari wajahnya. 
aidit  memandang lembah-lembah di bawah  
mereka. Ia melihat centeng  patih ronggolawe  bersembunyi di 
antara pepohonan, berjaga-jaga. 
"Orang-orang yang menyertai kita sebaiknya ber-
henti di sini. lebih baik tidak ada rombongan besar 
yang melewati titik ini." patih ronggolawe  dan aidit  
berjalan sekitar tiga puluh langkah ke punggung bukit. 
Di sini tidak ada pohon. Rumput hijau yang cocok 
  
untuk makanan kuda tumbuh subur di lereng gunung. 
Kedua laki-laki itu maju tanpa bersuara. Mereka 
seakan-akan memandang ke tengah laut, ke hamparan 
luas yang kosong. 
"Merunduklah, tuanku." 
"Seperti ini?" 
"Bersembunyilah di tengah rerumputan." saat  
mereka merangkak ke tepi jurang, sebuah benteng kota 
mulai tampak di lembah di bawah  mereka. 
"Itulah sinuhun ni." ujar patih ronggolawe  sambil menunjuk ke 
arah benteng kota itu. 
aidit  mengangguk dan memandangnya sambil 
membisu. Matanya diselubungi emosi mendalam, la 
tidak sekadar mengamati benteng kota utama pihak 
musuh, benteng kota yang kini sudah  terkepung itu 
merupakan tempat tinggal adik wanita lesbian nya, radenmas . 
yang sudah melahirkan empat anak sejak menjadi istri 
penguasa benteng kota itu . 
aidit  dan patih ronggolawe  duduk. Bunga-bunga dan 
ujung rerumpuran menggelitik telinga mereka. Tanpa 
berkedip aidit  menatap benteng kota di lembah, lalu 
berpaling pada patih ronggolawe . 
"Aku percaya adikku marah padaku. Akulah yang 
memutuskan bahwa dia harus menikah dengan 
anggota marga jawa , bahkan tanpa menanyakan 
pendapatnya. Dia memperoleh pesan bahwa dia harus 
berkorban demi kebaikan marga sinuhun , dan bahwa 
pernikahan itu diperlukan untuk melindungi provinsi 
kita. patih ronggolawe , peristiwanya masih terbayang jelas di 
  
depan mataku." 
"Hamba juga masih mengingatnya," kata patih ronggolawe . 
"Adik tuanku membawa   barang dalam jumlah yang 
luar biasa, dan tandunya indah sekali. Dia dikelilingi 
pelayan dan kuda-kuda yang penuh hiasan. 
Keberangkatannya menuju tempat pernikahannya di 
utara Danau Biwa memang sukar dilupakan." 
"saat  itu radenmas  masih gadis lesbian polos yang baru 
berusia empat belas tahun." 
"Pengantin cilik yang cantik sekali." 
"patih ronggolawe ." 
"Ya?" 
"Kau mengerti, bukan? Hariku serasa disayat-sayat..." 
"sebab  alasan yang sama, hamba pun merasa berat 
sekali." 
aidit  menunjuk ke arah benteng kota dengan 
dagunya. "Memutuskan untuk menghancurkan 
benteng kota ini tidak sulit, namun  kalau aku memikirkan 
untuk mengeluarkan radenmas  dari sana tanpa cedera... 
"saat  tuanku memberikan perintah pada hamba 
untuk mempelajari medan di sekitar benteng kota sinuhun ni. 
hamba segera menebak bahwa tuanku merencanakan 
serangan terhadap orang-orang mpu djiwo dan jawa . 
Ucapan hamba mungkin berkesan menyombongkan 
diri, namun  jika tuanku memperkenankan hamba 
berbicara apa adanya menurut hamba, tampaknya 
tuanku enggan mengemukakan perasaan tuanku, 
apalagi sumber kegelisahan tuanku. Tak sepatutnya 
hamba mengatakan ini, namun  sepertinya hamba sudah 
  
menemukan satu lagi kelebihan tuanku." 
"Kau satu-satunya." aidit  berdecak. "dijoyo , 
mpu wiraghanda, dan yang lain memandangku seakan-akan 
aku sudah  membuang-buang waktu selama sepuluh 
hari terakhir. Wajah mereka menunjukkan bahwa 
mereka sama sekali tidak memahami perasaanku. 
Terutama dijoyo . Sepertinya dia menertawa kanku di 
balik punggungku." 
"Itu sebab  tuanku masih bimbang." 
"Bagaimana aku tidak bimbang? Kalau kita 
menghancurkan musuh sedikit demi sedikit, tak perlu 
diragukan bahwa jawa  kalasan  dan ayahnya akan 
menyeret radenmas  menuju kematian di tengah kobaran 
api bersama mereka." 
"Rasanya memang itu yang akan terjadi." 
"patih ronggolawe , sejak pertama kau bilang perasaanmu 
sama dengan perasaanku, namun  kau mendengarkan 
semuanya ini dengan ketenangan yang luar biasa. 
Apakah kau memiliki  sebuah rencana?"  
"Hamba bukannya tanpa rencana."  
"Hmm, kalau begitu mengapa kau tidak menjelas-
kannya, agar pikiranku bisa tenang kembali?" 
"Belakangan ini hamba berusaha keras tidak mem-
berikan saran-saran."  
"Kenapa?" 
"sebab  masih banyak orang lain di markas 
tuanku." 
"Kau takut memancing kedengkian? Itu pun bisa 
mengganggu. namun  yang paling penting, akulah yang 
  
memutuskan segala sesuatu. Cepat, ceritakan rencana-
mu." 
"Perhatikan benteng kota itu dengan saksama." 
patih ronggolawe  menunjuk benteng kota sinuhun ni. "Yang membuat 
benteng kota ini istimewa adalah letak ketiga kubu 
pertahanan yang saling terpisah dan tidak tergantung 
satu sama lain. Yang Mulia buanakarta tinggal di kubu 
penama, sedangkan putranya. kalasan , ditambah    Putri 
radenmas  dan anak-anaknya tinggal di kubu ketiga." 
"Di sebelah sana?" 
"Ya, tuanku. Nah, daerah yang bisa tuanku lihat 
antara kubu pertama dan ketiga dinamakan  Kubu 
trenggono, tempat para pengikut senior, yaitu jawa  
yodono, Mitamura Uemondayu, dan Onogi Tosa 
ditempatkan. Jadi, untuk menaklukkan sinuhun ni, 
sebaiknya jangan serang kepala maupun ekornya. Jika 
kita bisa merebut Kubu trenggono, hubungan antara 
kedua kubu lain akan terpotong." 
"Hmm. Maksudmu, langkah kita yang berikut 
adalah menyerang Kubu trenggono." 
"Bukan, jika kita menyerbu kubu itu, kubu penama 
dan kedua akan segera mengirim bala bantuan. 
centeng  kita akan diserang dari kedua sisi, dan akan 
terlibat penempuran sengit. Kalau itu terjadi, apakah 
kita harus mendesak maju atau bergerak mundur? Apa 
pun yang kita pilih, kita tak bisa memastikan nasib 
Putri radenmas  di dalam benteng kota." 
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" 
"Strategi terbaik adalah mengirim utusan kepada 
  
orang-orang jawa , membeberkan keuntungan dan 
kerugian situasi ini dengan jelas, dan memperoleh  
benteng kota dan Putri radenmas  tanpa insiden." 
"Mestinya kau tahu bahwa aku sudah dua kali 
mencobanya. Aku sudah  mengirim kurit ke sana. Aku memberitahu mereka bahwa jika mereka menyerah, mereka tetap boleh menduduki wilayah mereka. Aku 
memastikan mereka mengetahui kekalahan radenkanjeng , 
namun  baik kalasan  maupun ayahnya udak akan 
menyerah. Mereka benekad untuk memperlihatkan 
betapa hebatnya mereka, namun  sebetulnya  
'kehebatan' mereka terbatas pada memakai  nyawa   
radenmas  sebagai tameng. Mereka pikir aku takkan 
melancarkan serangan habis-habisan selama adikku 
sendiri berada di benteng kota itu." 
"namun  bukan itu saja. Selama dua tahun berada di 
mergoharjoyo , hamba mengamati kalasan  dengan 
cermat, dan dia memiliki bakat dan kemauan keras. 
Ehm, sudah lama hamba berusaha menyusun rencana 
untuk merebut benteng kota ini, mencari strategi terbaik 
seandainya suatu waktu kita harus menyerang. Hamba 
berhasil merebut Kubu trenggono tanpa kehilangan 
satu orang pun." 
"Apa? Apa katamu?" aidit  meragukan pen-
dengarannya sendiri. 
"Kubu kedua yang terlihat di sebelah sana. Orang-
orang kita sudah mengikutinya," patih ronggolawe  meng-
ulangi, "Jadi hamba berkata bahwa tuanku tak perlu 
gelisah khawatir  lagi." 
  
"Betulkah?" 
"Mungkinkah hamba berbohong dalam situasi 
seperti ini, tuanku?"  
"namun ... aku tak bisa mempercayainya." 
"Itu bisa dimengerti, namun  sebentar lagi tuanku akan 
mendengarnya dari dua orang yang sudah  hamba 
panggil ke sini. Sudikah tuanku menemui mereka?" 
"Siapa kedua orang iiu?" 
"Yang pertama seorang biksu bernama Miyabe 
Zensho. Yang satu lagi Onogi Tosa, komandan kubu 
itu." 
aidit  tak sanggup menyembunyikan ke-
heranannya. Ia percaya pada patih ronggolawe , namun  ia pun 
bertanya-tanya bagaimana patih ronggolawe  berhasil mem-
bujuk pengikut senior marga jawa  untuk menyeberang 
kc pihak meteka. 
patih ronggolawe  menjelaskan situasinya, seakan-akan 
tidak ada yang luar biasa. "Tidak lama sesudah  tuanku 
menganugerahkan benteng kota di mergoharjoyo  pada 
hamba...." ia mengawal i ceritanya. 
aidit  agak terkejut. Ia tak sanggup menatap 
orang di hadapannya tanpa berkedip-kedip. benteng kota 
mergoharjoyo  terletak di garis depan kkertoarjo san strategis ini. 
dan centeng  patih ronggolawe  bertugas menyerbu  orang-
orang jawa  dan mpu djiwo. aidit  ingat bahwa ia 
menempatkan patih ronggolawe  untuk sementara di sana. 
namun  ia tak ingat janji untuk memberikan benteng kota itu. 
namun  sekara