Rabu, 14 Desember 2022

presiden 2

kehilangan mayoritas saham Bimantara, cikal-bakal bisnisnya 
yang sudah berusia setengah abad itu, mengundang tanda tanya. Apa yang tengah 
dipikirkan pecandu olahraga menembak ini? 
 sepoi-sepoi, nama Siti Hediati Harijadi berembus lagi di kancah bisnis nasional. Anak 
keempat mantan presiden Soeharto ini sejak Juli 2005 diangkat menjadi anggota 
Dewan Komisaris PT Surya Citra Media Tbk. 
Pengangkatan Titiek-nama panggilan perempuan 49 tahun itu-tak lepas dari 
kepemilikan sahamnya di perusahaan induk pengelola stasiun televisi SCTV itu. Bahkan, 
kabarnya, janda bekas Panglima Kostrad Letjen (Purn.) TNI Prabowo Subianto ini pun diam-
diam terus menambah pundi-pundi sahamnya di sana. 
Di dunia bisnis, Titiek memang tak seheboh saudara-saudaranya. Meski begitu, 
jangan bilang jumlah perusahaan dan kekayaannya "sekuku" doang. Menurut laporan 
majalah Time edisi 24 Mei 1999, kekayaannya diperkirakan US$ 75 juta atau kini setara 
dengan Rp 700 miliar. Jumlah itu memang jauh lebih kecil dibanding kekayaan saudara-
saudaranya. 
Masih menurut Time, kekayaan Siti Hardijanti Rukmana mencapai US$ 700 juta, Sigit 
Harjojudanto US$ 800 juta, Bambang Trihatmodjo US$ 3 miliar, dan Tommy Soeharto US$ 
800 juta. Namun nilai kekayaan Titiek masih di atas Siti Hutami Endang Adiningsih alias 
Mamiek yang ditaksir "cuma" US$ 30 juta. 
Pada masa kekuasaan ayahnya, Titiek berkibar lewat bendera Grup Daya Tata Matra 
(Datam) dan Grup Maharani. Di bawah dua perusahaan induk itu, sekitar sembilan sektor 
bisnis pernah dirambahnya. 
Salah satu tulang punggung bisnisnya, antara lain, bergerak di sektor perdagangan. 
Sedikitnya lima perusahaan tercatat memiliki  kaitan dengan dirinya, yaitu PT Aditya Nusa 
Bakti, PT Agung Concern, PT Dasa Mitra usaha , PT Redjo Sari Bumi, dan PT Wahana Datam 
Tiara. 
Sektor lain yang juga menjadi tumpuan kerajaan bisnis Titiek ialah sektor jasa 
keuangan dan investasi. Di sini bernaung delapan perusahaan, termasuk PT Aditya Matra 
Leasing, PT Maharani Intifinance, dan tiga di antaranya bergerak di bisnis perbankan: PT 
Bank Industri, PT Bank Putra Sukapura, dan PT Bank Universal. 
Di sektor keuangan ini pula, Titiek dahulu  pernah "mesra" berkongsi bisnis dengan dua 
sejawatnya, yaitu Tito Sulistyo dan Hary Tanoesoedibjo-kini menjabat Presiden Direktur PT 
Bimantara Citra. Bersama Tito yang kini juga bergabung di Bimantara, Titiek mendirikan PT 
Pentasena Arthasentosa, yang bergerak di bidang jasa keuangan dan investasi. 
Dengan Hary, Titiek pernah bersinggungan saat  menjadi pemegang saham PT 
Bhakti Investama pada 1997, yang saat itu menjadi satu-satunya kendaraan bisnis keluarga 
Tanoesoedibjo. Yang menarik, Hary kini justru berseteru dengan Siti Hardijanti Rukmana, 
alias Tutut, dalam urusan kepemilikan saham stasiun televisi TPI. 
Di luar sektor perdagangan dan jasa keuangan, enam sektor lain yang dirambah 
Titiek yaitu  sektor perkebunan, kehutanan, kimia dan semen, konstruksi, properti-
perkantoran-perbelanjaan, transportasi, dan media. 
Salah satu proyek bisnisnya yang hingga kini masih berjalan yaitu  Mal Taman 
Anggrek. Pusat belanja di kawasan Slipi, Jakarta Barat, ini dibangunnya bersama Grup Mulia. 
Proyek lainnya yang hingga kini juga masih menghasilkan duit yaitu  Plaza Senayan, hasil 
kongsinya dengan Hashim Djojohadikusumo. 
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Titiek banyak berkecimpung dalam urusan 
seni lukis bersama Susrinah Sanyoto Sastrowardoyo, Ketua Umum Yayasan Seni Rupa 
Indonesia. saat  yayasan ini menyelenggarakan bursa seni lukis Indonesia pada 1997, Titiek 
bahkan menjadi ketua pelaksananya. 
Kecintaannya pada dunia seni lukis membuat pemilik rumah di Grosvenor Square, 
London, ini rajin mengoleksi lukisan yang, menurut Time, nilainya sekitar US$ 5 juta. Titiek 
juga dikenal pemuja bintang-bintang film tersohor. Tak mengherankan bila dalam salah satu 
pesta keluarga Soeharto di Bali pada 1994, ia asyik berdansa menghabiskan malam dengan 
bintang laga Hollywood Steven Seagal. 
 dari enam anak Soeharto, garis hidup Hutomo Mandala Putra alias Tommy boleh  dibilang paling berliku. Keluar-masuk ruang pengadilan, diburu polisi ke mana-
mana, mendekam di penjara Nusakambangan, dan kini masih terus "berkelahi"  dengan pemerintah dalam beberapa  masalah  di pengadilan. 
Tommy ditangkap pada November 2001 dengan tuduhan menjadi otak pembunuhan 
 Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita. Sang hakim menyambut ajal di ujung peluru, Juli 2001. 
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu  memvonis Tommy 15 tahun penjara. Dia terbukti 
melakukan empat tindak pidana: kepemilikan senjata api, kepemilikan amunisi,  pembunuhan Syafiudin, dan  melarikan diri.  Putra kesayangan Soeharto itu dihukum kurung di Cipinang, Jakarta Timur. Berbeda 
dengan narapidana pembunuhan lain, Tommy memiliki  ruang pribadi berfasilitas komplet. Ada 
kamar mandi dalam dan mesin pengatur suhu. Hampir setiap hari istri, anak, kawan, dan  kerabat datang membesuk ke penjara.  Dari Cipinang dia dipindahkan ke Nusakambangan, 16 Agustus 2002. Di sana dia 
menghuni salah satu sel Admisi dan Orientasi bersama "Paman Bob" alias Mohammad  Hasan, kawan bapaknya. Di ruang itu ada televisi dan koran baru setiap pagi. 
Setumpuk buku, dari soal wirid dan tahlil hingga agroindustri melengkapi isi kamar. Perkakas 
untuk aneka keperluan juga tersedia. Saat berada di Nusakambangan, Tommy beberapa kali ke Jakarta menjenguk sang 
ayah yang saat  itu sedang sakit maupun untuk berobat. Narapidana lain belum tentu  beroleh izin bahkan bila ada kerabat yang meninggal. Pada Juni 2005, Mahkamah Agung  mengkorting hukumannya dari 15 tahun menjadi 10 tahun.  Tommy datang lagi ke Jakarta menjelang ulang tahunnya yang ke-43, Juli 2005. Kali 
ini untuk mengobati kepalanya yang sakit. namun  beberapa  media memberitakan Tommy 
terlihat di sebuah vila di Puncak. Seorang kerabat dekat keluarga Cendana membisikkan 
kepada Tempo: "Ulang tahun Mas Tommy dirayakan di Puncak. Bapak sepuh dan seluruh 
keluarga, kecuali Mas Bambang Tri, turut hadir." 
Sementara itu, menurut dokter, Tommy menderita vertigo. Di belakang mata kirinya 
ada benjolan tumor. sebab  itu, ia memerlukan perawatan rutin. "Pemeriksaan sebulan 
sekali. Bila ada masalah mendadak, kami langsung diberi tahu," kata Robert Hutauruk, 
koordinator pemeriksa kesehatan Tommy di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot 
Soebroto, saat  itu. 
Pria yang gemar balap mobil ini tetap mampu mengendalikan bisnis dari penjara saat 
menjalani hukuman bui.  saat  Tempo mengunjunginya di Nusakambangan pada 
pertengahan 2005, serombongan pengusaha dipandu bekas Sekretaris Jenderal Badan 
Penyangga dan Pemasaran Cengkeh-lembaga yang dahulu  dipimpin Tommy-Yance Woworican, 
antre di luar selnya menunggu giliran sowan. "Semua masih saya pantau dan arahkan," kata 
Tommy kepada Tempo saat  itu. 
Salah satu sisi kehidupan mantan pembalap ini yaitu  dia seolah tak pernah jauh 
dari perempuan. Sewaktu buron, dia ditemani perempuan muda asal Aceh bernama Lany 
Banjaranti. Seorang bocah laki-laki lahir dari hubungan mereka. Lalu mantan model Sandy 
Harun yang mengaku di beberapa  media bahwa dia sering bertandang ke sana. Sandy juga 
mengatakan memiliki anak perempuan dari Tommy. 
Pada Oktober 2006, Tommy dihadiahi remisi 31 bulan. Remisi besar itu diprotes 
beberapa  kalangan namun  Tommy tetap melenggang ke dunia bebas. Dia kembali bertempur 
dengan pemerintah dalam beberapa  masalah , di antaranya perebutan duit Rp 650 miliar di 
Bank Paribas Cabang Guernsey, Inggris. Dana jumbo itu dibekukan atas perintah dinas intelijen ekonomi Inggris. Lembaga itu menduga uang itu "terkait dengan Soeharto" 
dan hasil money laundering. Tommy lalu  menggugat Paribas ke Pengadilan Guernsey, namun  bank itu 
meminta pemerintah Indonesia ikut dan  dalam masalah  ini. Pemerintah mengklaim berhak 
atas dana itu sebab  "diduga diperoleh dari bisnis tidak halal di Indonesia". Otto Cornelis Kaligis, kuasa hukum Tommy, membantah keras. Uang itu, katanya, 
"Hasil bisnis Pak Tommy di luar negeri." Selain kekayaan di Guernsey, Tommy dan 
pemerintah kini tengah memperebutkan duit Rp 1,3 triliun di Bank Mandiri. Hingga ayahnya 
berpulang dua pekan lalu, perseteruan Tommy dengan pemerintah di pengadilan belum 
juga usai. 
 keenam anak Soeharto, si bungsu Siti Hutami Endang Adiningsih-lah yang paling 
jarang disorot media. Berwajah Jawa, dengan rambut ikal, Mamiek-begitu ia biasa 
disapa-44 tahun, biasanya hanya tersenyum di belakang kakak-kakaknya saat 
mereka diwawancarai wartawan. Baru belakangan ia mulai disorot saat  mulai terjun 
dalam bisnis saat memperkenalkan Taman Buah Mekarsari yang dikelola perusahaannya, PT 
Unggul Mekar Sari. 
namun  seandainya Pak Harto tidak lengser pada 21 Mei 1998, akankah Mamiek tetap 
memelihara sikap low profile itu, terutama dalam bisnis? 
Pertanyaan hipotesis yang mungkin tak pernah tebersit di benak banyak orang ini 
dijawab George Junus Aditjondro. "Seandainya ayahnya tidak dipaksa turun takhta, 
perusahaan milik Mamiek rencananya akan mengimpor pesawat terbang Sukhoi 30K dan  
helikopter Mi-17 dari Rusia untuk keperluan Angkatan Udara," tulis Aditjondro dalam 
artikelnya "Suharto Has Gone, but the Regime Has Not Changed: Presidential Corruption in 
the Orde Baru". 
Nilainya, berdasar penelusuran Tempo, bukan picisan. Sebanyak 12 pesawat Sukhoi 
itu bernilai US$ 33 juta per pesawat. Sedangkan helikopter Mi-17 berharga US$ 4,5 juta. 
Saat itu bahkan negosiasi pembelian satu batalion rudal jarak sedang BUK M-1 dari Rusia 
sudah dimulai. Tim negosiasi dipimpin mantan Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita. 
Rusia tak mau turunkan harga dari US$ 150 juta. Total pembayaran US$ 600 juta. Menurut 
majalah Panji Masyarakat, peran Mamiek lebih sebagai agen penjualan Rusia di sini. namun  
rencana jual-beli rudal ini rontok sesudah  badai krisis ekonomi bertiup mulai Juli 1997. 
Rudal dan Mamiek? Bagi banyak orang, pasangan itu sungguh tak cocok. Publikasi 
yang tersiar, ibu satu putra dari perkawinannya dengan Pratikto Prayitno Singgih itu hanya 
berbisnis sesuai dengan latar belakang pendidikannya sebagai alumni Institut Pertanian 
Bogor. Saat bapaknya masih berkuasa, televisi kerap menyiarkan gambar Ibu Tien ditambah   
para cucu diantar oleh Mamiek memetik buah di Taman Buah Mekar Sari, sebuah lokasi 
pengembangan riset botani sekaligus tempat rekreasi keluarga seluas 264 hektare di  Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. 
Tak banyak yang tahu bahwa perusahaan pengelola taman buah itu, PT Unggul  Mekar Sari, hanyalah salah satu anak perusahaan dalam kelompok Manggala Krida Yudha, 
induk perusahaan Mamiek. Bisnis Manggala bukan buah, melainkan mengimpor suku 
cadang pesawat pengangkut militer C-130 Hercules dengan nilai US$ 15 juta. Masih belum 
percaya? Dengan bendera PT Dwipangga Sakti Prima, Mamiek juga mengimpor stimulator 
pesawat yang sama senilai US$ 30 juta. Harap diingat, semua bisnis ini terjadi sebelum 1998 
saat  rupiah belum loyo seperti sekarang. 
Si ragil Mamiek lahir pada 23 Agustus 1964 saat  ayahnya menjadi Panglima 
Komando Strategis Angkatan Darat. Ia lahir dalam keadaan sungsang. Pada umur 13 bulan, 
saat  sedang belajar berjalan, Mamiek kecil tertatih-tatih mengejar kakaknya, Tommy, saat 
itu 4 tahun, yang berlari mencari perlindungan pada ibunya di dapur. Kaget oleh kedatangan 
Tommy yang tiba-tiba, sepanci sup daging rusa yang masih panas di tangan Ibu Tien tumpah 
mengguyur Tommy. Insiden yang terjadi empat hari sebelum meletusnya G30S/PKI itu 
membuat Tommy dirawat di RSPAD. 
sesudah  Soeharto lengser dari jabatan pada 1998, Mamiek berurusan dengan 
pengadilan. Pada 18 Desember 2000, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang 
diketuai Asep Iwan Irawan memutuskan Mamiek bersalah sebab  tidak melaporkan 
hilangnya pistol merek NAA kaliber 22 milimeter yang dimilikinya. Anak bungsu itu dijatuhi 
hukuman kurungan badan 10 hari dengan masa percobaan 30 hari. Ia diwajibkan membayar 
biaya perkara Rp 1.000. namun , sebab  selama 30 hari itu Mamiek tak melakukan tindak 
pidana apa pun, ia urung masuk hotel prodeo. 
Juan Felix Tompubolon, pengacara keluarga Soeharto, mengatakan tak benar 
Manggala Krida Yudha terlibat bisnis peralatan militer. "Data yang diungkap itu keliru," 
ujarnya. Mengenai pistol, menurut Juan, memang saat itu ada pemeriksaan, Mamiek lupa 
menaruh pistolnya. sesudah  minta waktu untuk mencari, senjata api itu ditemukan  berikut surat-suratnya. "Bentuk pistolnya kecil. Ketelingsut sebab  waktu itu beliau sedang  pindah rumah." 
anak sulung Nyoto, Svetlana, mengaku ingin melihat Soeharto dituntut atas tragedi 
1965. namun  putri Wakil Ketua II CC PKI itu tak pernah ikut dalam kelompok-kelompok 
keluarga korban G30S yang menggugat pemerintah. "Saya tahu tuntutan-tuntutan 
itu penting, namun  saya pesimistis ada gunanya," katanya dua tahun lalu. 
Menurut Svet, ibunya, Sutarni, juga memiliki  keinginan sama. namun  Nyonya Nyoto, yang 
kini berusia 79 tahun, itu tidak menyimpan amarah terhadap Soeharto. Padahal, katanya, 
"Ada teman Ibu yang marah hingga sakit jika mendengar Soeharto bebas dari tuntutan hukum." 
Keluarga Nyoto yaitu  contoh korban G30S yang menjalani hidup tanpa luka dan trauma. Sutarni bisa menceritakan pengalamannya memboyong anak-anaknya, berpindah 
dari satu rumah tahanan ke rumah tahanan lain, dengan ringan, bahkan tanpa kehilangan 
rasa humor. Mereka tak tahu kapan dan di mana sang suami dan ayah dibunuh, apalagi tahu kuburnya. 
Tentu tak semua korban G30S bersikap seperti keluarga Nyoto. Sebab, tragedi 43 
tahun silam itu melibatkan jumlah manusia yang tidak sedikit. Sekitar tiga juta orang  meninggal, belasan ribu dikirim ke Pulau Buru, dan jutaan lainnya menerima perlakuan diskriminatif. Orde Baru, yang dipimpin Soeharto, menciptakan perangkat hukum yang 
melegitimasi berbagai tindakan aniaya terhadap masyarakat dengan cap komunis pada 
waktu itu. 
Pengiriman ribuan orang ke Pulau Buru, contohnya , sebetulnya  demi mengamankan 
rezim yang baru lahir agar menang dalam pemilihan umum pertama di era Orde Baru, pada 
1971. Seharusnya pemerintah sementara pengganti Soekarno menggelar pemilu pada 1968. 
namun , sebab  Soeharto-yang saat itu menjadi penanggung jawab keamanan-belum siap, 
hajatan nasional itu ditunda. 
Mem-Buru-kan ribuan orang itu, dengan klasifikasi Golongan "B", disahkan dengan 
surat Panglima Komandan Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) No. KEP 
009/KOPKAM/2/1969, yang ditandatangani Maraden Panggabean atas nama Soeharto. 
Jaksa Agung yang bertanggung jawab kepada Pangkopkamtib melengkapi aturan hukum lain 
untuk "melegalkan" penahanan di Pulau Buru, 1969-1979. 
Adapun Golongan "C", atau yang dianggap terpengaruh ideologi kiri, sesudah  ditahan 
mendapat "hukuman" dalam bermasyarakat, seperti dilarang menjadi pegawai negeri, 
menjadi anggota parlemen, bahkan ikut pemilihan umum. Pemerintah membakukan 
beberapa peraturan pembenaran diskriminasi itu, seperti Instruksi Menteri Dalam Negeri 
No. 32/1981, yang melarang orang yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan 
G30S menjadi pegawai negeri, tentara, pendeta, guru. 
Pertanyaan itu memang tetap menggantung: bersalahkah Soeharto dalam tragedi 
1965? Memang, terutama sesudah  reformasi, para korban "gempa politik" itu melakukan 
beberapa usaha  hukum menuntut pemerintah-bukan Soeharto langsung-agar bertanggung 
jawab, dengan cara merehabilitasi nama dan memberikan ganti rugi. namun  semua tuntutan 
itu kandas. 
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun membentuk tim untuk 
menyelidiki pengiriman paksa ribuan orang ke Pulau Buru, sebagai pelanggaran berat hak 
asasi manusia. Anggota Komnas HAM, M.M. Billah, membentuk tim dan membuat proposal. 
namun , ternyata, metodologi penyelidikan yang ditawarkan Billah tidak disetujui Dewan 
Perwakilan Rakyat (DPR) pada pertengahan 2004. 
Menurut Billah, gugatan terhadap Soeharto untuk masalah  pelanggaran hak asasi 
manusia di Pulau Buru ini bisa dihidupkan kembali jika tujuh dari 20 anggota Komnas HAM 
menyetujuinya. "namun , itu juga belum jaminan penyelidikan itu akan berlanjut, sebab  harus 
kembali minta persetujuan DPR," kata Billah. Dia mengakui, berat sekali mengangkat masalah  
pelanggaran berat hak asasi Pulau Buru hingga ke pengadilan. "Masing-masing kepala memiliki  
kepentingan," ia menambahkan, seperti bertamsil. Mungkin jawaban seperti itulah yang 
membuat orang seperti Svetlana cenderung pesimistis. 
l ima belas Januari 1974. Mahasiswa turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi  menentang kedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka dari Jepang. Tanaka dianggap 
sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa long march dari 
Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu mengusung tiga tuntutan: 
pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan 
pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan ribu orang ikut turun ke jalan. 
namun   aksi ini lalu  berujung pada kerusuhan. 
Menurut Hariman, aksi mahasiswa usai pukul 14.30. "Sedangkan kerusuhan terjadi 
satu jam lalu ," katanya. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu menyerbu Pasar 
Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan penjarahan dan  membakar mobil 
buatan Jepang dan toko-toko. 
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro 
sempat menghadang massa di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berusaha membelokkan 
gerakan massa yang mengarah ke Istana Presiden. "Ayo, ikut saya, kita jalan sama-sama ke 
Kebayoran!" teriaknya. "Maksud saya, mau membuat tujuan mereka menyimpang, susaha  
jangan sampai ke arah Monas...." 
Massa tak beranjak. Kepada Tempo beberapa tahun silam, Soemitro mengaku sudah 
menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa UI dan Tanaka. Tanaka sudah bersedia, namun   
DM-UI menjawab bahwa "dialog diganti dengan dialog jalanan...." 
namun   Jakarta sudah telanjur menjadi karang abang. Hari itu belasan orang tewas, 
ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, dan  ratusan 
bangunan rusak. Ini masih ditambah 160 kilogram emas yang hilang dari beberapa  toko 
perhiasan. Saking rawannya, Soeharto mesti mengantar Tanaka menumpang helikopter ke 
Bandara Halim sebelum bertolak kembali ke negerinya. 
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, diseret ke 
pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. sesudah  empat bulan sidang, 
vonis enam tahun penjara mesti ia tanggung. 
"Saya dianggap merongrong kewibawaan negara," kata Hariman saat  ditemui, 
Maret 2006. Harga yang harus ia bayar pun kelewat mahal. Saat menghuni hotel prodeo 
itulah ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya meninggal. 
Peristiwa yang dikenal sebagai Malari itu mengubah perjalanan Indonesia. Sebab, 
menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya, sesudah  itu Soeharto 
melakukan represi secara sistematis. Sjahrir, yang ikut ditahan sesudah  peristiwa itu, 
menilai Malari yaitu  bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto. 
Total aparat menggaruk 750 orang-50 di antaranya pemimpin mahasiswa dan 
cendekiawan, seperti Hariman Siregar, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman 
Tolleng, dan Aini Chalid. "Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, 
tanggal 17 gue ditangkap," Hariman mengenang. Pada 11 Januari, Soeharto memang 
menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Soeharto bermaksud 
meredam aksi mahasiswa. 
Para tokoh itu ditahan berdasar Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dari mereka 
dibebaskan setahun sesudah  meringkuk di penjara, sebab  terbukti tak terlibat. Pengadilan 
berdasar UU Antisubversi itu menuai kecaman. 
Sampai detik ini, persoalan kerusuhan itu tak pernah terungkap. Sjahrir 
mengungkapkan pengadilan tak mampu membuktikan mahasiswa ada di balik aksi 
pembakaran mobil dan perampokan itu. Tak mengherankan jika muncul dugaan bahwa 
petaka Malari yaitu  bara yang memercik akibat rivalitas antara Jenderal Soemitro dan Ali 
Moertopo (asisten pribadi Presiden dan Kepala Operasi Khusus waktu itu). Soemitro 
dituding memiliki ambisi kekuasaan seperti disebut dalam Dokumen Ramadi. Menurut Asvi 
Warman, Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Ali Moertopo. 
Almarhum Soemitro pernah mengaku menanyai Ali Moertopo soal isu rivalitas-jauh 
sebelum Malari meletus. "Li, suara di luar mengatakan kamu rival saya. Itu tidak bisa, saya 
ini masih militer, tak memiliki  tujuan politik. Kamu bintang dua, saya bintang empat. Kamu 
Deputi Bakin, saya Pangkopkamtib dan Wapangab. Jarak kita terlalu jauh untuk jadi rival. 
namun , kalau kamu mau jadi presiden, itu hakmu." Saat itu Ali Moertopo langsung 
membantah. "O, tidak. Tidak ada pikiran seperti itu," kata Soemitro mengutip jawaban Ali. 
Peristiwa Malari membuat kedua jenderal itu akhirnya kehilangan jabatan. Soeharto 
mencopot Soemitro dari kursi Panglima Kopkamtib/Wapangab. Sementara dia juga 
membubarkan lembaga Aspri. Namun beberapa tahun lalu  Soeharto masih memakai 
Ali Moertopo untuk berbagai jabatan di birokrasi. 
Kini, lebih dari tiga dekade sudah  lewat, misteri masih menyelimuti peristiwa itu. 
Dalam biografinya, Soeharto tak menyinggung periode kelam itu. Hariman sekarang 
hanya bisa berharap agar pemerintah segera muatu malam, 26 Juli 1983, nun di Lubuk Pakam, 40 kilometer dari Medan. Dari 
remang-remang, Suwito, pemilik dua warung di desa itu, melihat lima orang yang 
menghampirinya. Mereka meminta Suwito mengikuti mereka sebab  butuh 
keterangan. 
Tanpa curiga, Suwito naik ke mobil Landrover putih penjemput. Di dalam mobil, 
mereka bertanya soal Usman Bais, pemimpin perampok terkenal dari Medan saat itu yang 
pernah makan di warungnya. Suwito membantah memiliki  hubungan dengan sang perampok, 
apalagi saat  mereka menuduh Usman Bais sebagai orang yang memberi modal untuk 
warungnya. 
Menurut cerita Suwito, ia dibawa berputar-putar di pinggiran Medan selama dua 
jam. Ia sempat difoto dua kali. Di Desa Hamparan Perak yang sepi, Suwito dipaksa turun. 
Seorang penjemputnya ikut turun. "Orangnya sedang-sedang, tegak, namun  agak pincang," 
kata Suwito. 
Begitu turun, laki-laki  pincang mencabut pistolnya. "Tiga kali dor, saya jatuh. Saya 
masih bisa mendengar salah seorang penjemput menyuruh susaha  kepala saya ditembak. 
namun  orang yang diperintah bilang saya sudah mati, sesudah  meraba perut saya," kata Suwito. 
Ia memang menahan napas berpura-pura mati. Suwito lalu dilempar ke parit di pinggir jalan. 
Pada 1983, adegan seperti itu terjadi di mana-mana di segenap penjuru Indonesia 
yang kelak dikenal sebagai peristiwa Petrus (Penembak Misterius). Kala itu, warga Jakarta 
dan kota-kota besar lain di Indonesia menjadi terbiasa dengan mayat-mayat bertebaran. 
Namun, mereka sama sekali tak mengetahui siapa pembunuhnya. 
Pemerintah pada awalnya enggan menjelaskan penemuan mayat-mayat itu. Aparat 
keamanan pun menepis keterlibatan mereka. Panglima ABRI saat itu, Jenderal L.B. 
Moerdani, contohnya , hanya menyatakan bahwa pembunuhan terjadi akibat perkelahian 
antargeng. Pembunuhan yang bertubi-tubi itu, menurut Benny, bukan keputusan 
pemerintah. Memang, katanya, "Ada yang mati ditembak petugas, namun  itu akibat mereka 
melawan petugas." 
Namun, dalam buku biografi Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, Soeharto justru 
"mengesahkan" adanya petrus itu. Ia menyatakan, penembakan misterius itu sengaja 
dilakukan sebagai terapi kejut untuk meredam kejahatan. 
"Kejadian itu misterius juga tidak. Masalah yang sebetulnya  yaitu  bahwa kejadian 
itu didahului ketakutan oleh rakyat," kata Soeharto, yang tertulis pada Bab 69 biografinya. 
Orang-orang jahat itu, kata dia, sudah bertindak melebihi batas-batas perikemanusiaan. 
"Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas," tuturnya. 
"Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. namun   kekerasan itu bukan lantas 
dengan tembakan, dor-dor, begitu saja. Bukan! namun   yang melawan, ya, mau tidak mau 
harus ditembak. sebab  melawan, maka ditembak," demikian penuturan Soeharto melalui 
biografinya. 
Tak ada angka resmi jumlah korban petrus itu. Hingga Juli 1983, menurut Benny 
Moerdani, tercatat ada 300 korban di seluruh Indonesia. Jumlah sebetulnya  bisa dipastikan 
lebih dari itu sebab  banyak bandit yang mayatnya tanpa bekas. 
Mulyana W. Kusumah, pakar kriminologi yang melakukan riset soal Petrus, 
menyebutkan bahwa yang menjadi korban mencapai angka 2.000 orang. Menteri Luar 
Negeri Belanda kala itu, Hans van den Broek, pada 1984 meminta pemerintah Indonesia 
menghormati hak asasi manusia, bahkan menyebutkan korban Petrus mencapai 3.000 
orang. 
Bertahun-tahun lalu , keterlibatan pemerintah dalam pembunuhan misterius 
itu mulai terkuak. Menurut penelitian Mulyana, Petrus merupakan lanjutan dari Operasi 
Pemberantasan Kejahatan di beberapa kota besar. 
Mula-mula, operasi ini dicanangkan oleh Komandan Garnisun Yogyakarta Letnan 
Kolonel M. Hasbi pada Maret 1983. Lalu diikuti daerah-daerah lain, termasuk Jakarta. 
Ribuan gali-ini sebutan bagi preman-ditembak, sebagian di antaranya buru-buru menyerah, 
kabur ke hutan, atau segera berubah menjadi orang baik-baik. 
Bagi pemerintah, keputusan untuk "menyelenggarakan" Petrus dianggap positif. 
Angka kejahatan disebutkan menurun waktu itu. Di Yogyakarta, jumlah kejahatan dengan 
kekerasan menurun dari 57 menjadi 20 sejak Januari hingga Juni 1983. Pada periode yang 
sama, angka kejahatan di Semarang turun dari 78 menjadi 50 kali. 
Namun, cara mengatasi kejahatan dengan Petrus tentu saja menuai kecaman. 
Mulyana pada kesimpulan penelitiannya menyebut aksi penembakan misterius ini 
"ekstralegal" yang bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan. Lembaga Bantuan 
Hukum, yang kala itu dipimpin Adnan Buyung Nasution, menganggap aksi Petrus sebagai 
"pembunuhan terencana". 
gerimis merinjis Talangsari, pagi 19 tahun silam itu. Harinya Senin, 7 Februari 1989. 
Umat Islam baru saja membenahi salat subuh. Tiba-tiba terdengar tembakan, 
gencar menyiram bangsal pengikut Warsidi di dukuh yang masuk bilangan Way 
Jepara, Lampung Tengah itu. Pekik tangis pecah ke angkasa, bersama desing peluru. 
Empat peleton pasukan Brigade Mobil dari Komando Resor Militer Garuda Hitam, 
Lampung Tengah, mara bagai dirasuk dendam. Mereka dipimpin Kolonel A.M. 
Hendropriyono. Sehari-hari, jamaah Warsidi dikenal sebagai kelompok pengajian. namun  
militer menuduh mereka mempersiapkan negara Islam. 
Sebelumnya, beberapa kali polisi berselisih dengan anggota kelompok ini. Komandan 
Rayon Militer (Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, pernah memanggil Anwar, tokoh 
kelompok itu. Anwar menolak, malah meminta Soetiman datang ke rumahnya. Camat Way 
Jepara, Zulkifli, lalu  mengirim surat panggilan. Anwar tetap menolak. 
Ditemani beberapa  serdadu, Soetiman dan Zulkifli lalu  meluncur ke rumah 
Anwar. Menurut versi tentara, rombongan ini dihujani anak panah dan batu katapel. 
Soetiman tewas. Menyusullah lalu  subuh bersimbah darah itu. 
Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara, korban tewas 27 orang. namun  
beberapa  lembaga swadaya masyarakat menghitung 246 korban tewas. Pemerintah 
memburu jaringan kelompok ini ke Jakarta dan Jawa Tengah. Beberapa pengikut tertangkap, 
dijebloskan ke bui. 
Seperti tragedi kemanusiaan lainnya, suara korban Talangsari baru didengar sesudah  
Soeharto jatuh, 21 Mei 1998. Korban dan aktivis kemanusiaan menuntut pemerintah segera 
mengadili pelaku penembakan. 
Pada Juni 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim 
ad hoc untuk menyelidiki masalah  ini. Hasilnya tak jelas. Belakangan, Komnas membentuk tim 
penyelidikan. Tim ini terjun ke lapangan mewawancarai korban, keluarga korban, dan 
beberapa  pelaku. Penyelidikan itu selesai pada pertengahan Mei 2006. 
Penyelesaian masalah  ini berkelok. Hasil kerja tim masih harus memasuki tahap analisis 
hukum. Pada tahap ini akan ditilik apakah tragedi Talangsari masuk kategori pelanggaran 
berat atau ringan. Hasil analisis itu pun harus dirapatkan lagi di pleno Komnas HAM. 
Jika pleno menilai tidak ada  pelanggaran berat hak asasi manusia, masalah  ini 
cukup diselesaikan lewat peradilan umum. namun , jika ada  pelanggaran berat hak asasi, 
penyelesaiannya bisa lewat dua pintu: Undang-Undang No. 26/2000 tentang Peradilan Hak 
Asasi Manusia, atau justru cukup lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). 
Jalan berliku itu diprotes beberapa  aktivis hak asasi manusia dan korban Talangsari. 
Ahmad Fauzi Isnan, yang divonis 20 tahun penjara, berharap Komnas HAM bisa 
menyelesaikan masalah  ini. Tentara yang terlibat, katanya, kini sudah jadi petinggi, malah 
berambisi menjadi penguasa. "Dengan segala cara, mereka akan berusaha agar tidak 
disebut penjahat perang," katanya. 
beberapa  korban lain berharap pemerintah segera menuntaskan masalah  ini. "Kami 
mendesak pemerintah segera membawa masalah  ini ke pengadilan. Jangan berlama-lama," 
kata Azwir Kaili, ketua keluarga korban Talangsari. 
Hendropriyono sendiri lebih memilih jalur damai. Pada Februari 2000, saat  
menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ia mengundang 80 korban dan keluarga 
korban ke rumahnya di Jakarta, membahas jalur islah. Jalur damai ini ditentang beberapa  
korban. Belakangan, beberapa korban yang ikut islah malah menarik diri. Kini masalah  ini 
masih di tahap analisis hukum di Komnas HAM. 
huru-hara ini bermula dari sebuah poster. Berjudul "Agar Wanita Memakai Pakaian 
Jilbab", poster itu menempel di Musala As-Sa'adah, Tanjung Priok, Jakarta Utara. 
Sebuah anjuran yang biasa-biasa saja, namun  pada 14 September 1984 poster itu bisa 
menciptakan malapetaka. 
Situasi politik saat itu memang melaju ke titik didih. Pemerintah Soeharto getol 
berkampanye soal asas tunggal Pancasila, yang ditentang keras beberapa  kalangan muslim. 
Syahdan, suatu pagi 7 September 1984, Sersan Satu Hermanu, anggota Babinsa Koja 
Selatan, Jakarta Utara, meminta warga mencopot poster di musala itu. Warga menolak. 
Esoknya, Hermanu datang lagi menghapus poster itu dengan koran yang dicelup ke air got. 
Lalu, mengalirlah desas-desus Hermanu masuk musala tanpa melepas sepatu. 
Musala itu pun kotor. Warga yang marah hendak menghajar sang Babinsa. Ia selamat 
sebab  dilindungi seorang tokoh masyarakat. Gagal menghajar Hermanu, warga membakar 
sepeda motornya. 
Tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Tanjung Priok segera menyatroni 
kawasan itu. Empat pemuda yang diduga membakar sepeda motor diangkut ke Kodim. 
Warga meminta Amir Biki, seorang tokoh masyarakat Tanjung Priok, membebaskan 
keempat pemuda. Gagal. 
Warga yang protes lalu memenuhi Jalan Sindang Raya, Tanjung Priok. Di situ 
beberapa  tokoh unjuk bicara, termasuk Amir Biki. Selain mengecam kebijakan asas tunggal, 
mereka menuntut pembebasan empat pemuda itu, paling lambat pukul 11 malam. 
Jika tidak, aksi massa jalan terus. Kodim menolak. 
Massa lalu  bergerak ke kantor Kodim. Di tengah jalan, di depan kantor Polisi 
Resor Jakarta Utara, massa dihadang polisi. Tembakan meletus. Huru-hara pun meledak dan 
meluas. beberapa  toko milik keturunan Tionghoa dijarah. 
Versi resmi pemerintah, korban mati cuma 28 orang, namun  keluarga korban 
menghitung sekitar 700 warga tewas dalam tragedi itu. Amir Biki sendiri tewas diterjang 
peluru. beberapa  tokoh, seperti Qodir Djaelani, Tony Ardi, Mawardi Noor, dan Oesmany, ditangkap. 
Selama pemerintahan Soeharto, masalah  ini tak pernah diproses. Tuntutan  penyelidikan terhadap masalah  ini baru ramai sesudah Soeharto lengser. Korban dan keluarga  korban mendesak pemerintah agar Soeharto dan beberapa  tentara yang terlibat diseret ke 
pengadilan. masalah  ini diadili pengadilan ad hoc hak asasi manusia. Belasan pelaku diseret ke 
muka hukum. Di antaranya Mayor Jenderal Sriyanto Muntasram, yang saat diadili menjabat 
Komandan Kopassus. Sriyanto, yang saat kejadian menjabat Kepala Seksi Operasi II Kodim 
0502, Jakarta Utara, dituduh terlibat peristiwa ini. Agustus 2004, pengadilan ad hoc pertama 
memutus bebas Sriyanto. Putusan itu diperkuat Mahkamah Agung, September 2005. 
Mayor Jenderal (Purn.) Pranowo, yang saat kejadian menjabat Kepala Polisi Militer 
Kodam Jaya, juga diajukan ke meja hijau. Ia dituduh membiarkan anak buahnya menyiksa 
pedan  unjuk rasa yang ditangkap aparat saat itu. Hakim tidak menemukan keterlibatan 
Pranowo dalam penyiksaan itu. Ia pun bebas. 
Ada yang divonis bersalah di pengadilan pertama, namun  bebas di pengadilan tinggi. 
Mayor Jenderal (Purn.) Rudolf Adolf Butar-Butar, yang saat kejadian menjabat Komandan 
Kodim 0502 Jakarta Utara, divonis sepuluh tahun penjara di tingkat pertama. Juni 2005, 
Pengadilan Tinggi Daerah Jakarta membebaskan Butar-Butar. Belasan pelaku lapangan 
divonis bervariasi di pengadilan pertama, dari dua hingga tiga tahun. 
Putusan itu dikecam korban dan keluarga korban Tanjung Priok. "Tidak 
memperhatikan rasa keadilan keluarga korban," kata Benny Biki, adik kandung Amir Biki. Ia 
menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan. 
Keluarga korban mendesak pemerintah juga mengadili petinggi militer saat itu, 
seperti Jenderal (Purn.) Try Sutrisno, bekas wakil presiden yang saat kejadian menjabat 
Panglima Kodam Jaya, Benny Moerdani (mantan Panglima ABRI, kini sudah almarhum), dan 
Soeharto selaku presiden. 
saat  Kejaksaan Agung menghentikan proses hukum atas Soeharto sebab  alasan 
sakit, korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok mengajukan protes keras. "Kami 
sangat terpukul dengan penghentian proses itu," kata Ratono, Ketua Ikatan Korban 
Tanjung Priok. Soeharto, katanya, sudah  memicu  mereka kehilangan keluarga dan 
harta benda. Harta benda mungkin bisa tergantikan. Kehilangan keluarga? 
 sabtu, 27 Juli 1996, pukul enam pagi. Kantor pusat PDI Jalan Diponegoro. Suasana 
hening pecah oleh sebuah penggempuran. Kantor itu diserang 200 orang tak dikenal. 
"Datanglah orang-orang kekar yang turun dari delapan truk pasir. Mereka biadab 
sekali. Anak-anak kecil juga perempuan yang berada di trotoar mereka sikat dengan rotan 
sepanjang 60 sentimeter," kata saksi, Albert Birhan, simpatisan PDI. Dengan brutal, aparat 
keamanan bercampur dengan preman dan anggota organisasi pemuda pro-rezim Orde Baru 
memukuli orang-orang yang berada di tempat itu. 
Apakah yang sebetulnya  terjadi? 
Bukalah halaman sejarah Orde Baru. Kongres PDI di Medan tahun 1993 memilih 
Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Menurut bekas Wakil Bendahara PDI 
Soerjadi, Alex Widya Siregar, sejak Musyawarah Nasional 1994 di Jakarta yang memilih 
Megawati sebagai Ketua Umum PDI, Presiden Soeharto merasa semakin gerah. "Pak Harto 
tampaknya juga khawatir kalau Mega terus melaju," katanya kepada Tempo tiga tahun 
sesudah  peristiwa itu. 
Pada 2 Juni 1996, Alex Widya Siregar diminta Kepala BIA Syamsir Siregar untuk 
mempertemukan ABRI dengan tokoh-tokoh PDI. Hasilnya, Kepala Staf Sosial Politik ABRI 
Syarwan Hamid bertemu Soetardjo Soerjogoeritno dan Panangian Siregar. 
Empat hari lalu , pertemuan itu dilanjutkan di kantor BIA. Saat itu diputuskan, 
figur yang paling tepat menandingi Megawati yaitu  Soerjadi. Syarwan Hamid dan Direktur 
A BIA, Zacky Anwar Makarim, menurut Alex, langsung menghubungi Soerjadi. "Saat itu 
Soerjadi minta syarat, mau menjadi ketua umum hanya jika diterima oleh Pak Harto," ujar 
Alex. 
Pada 16 Juli tahun yang sama, rapat PDI Soerjadi memutuskan Alex memimpin tim 
yang bertugas mengambil alih kantor PDI di Jalan Diponegoro. Menurut kesaksian Letnan 
Jenderal (Purn) Suyono, bekas Kepala Staf Umum ABRI, penyerbuan itu mulai dimatangkan 
sesudah  diadakan pertemuan di rumah Presiden Soeharto di Jalan Cendana pada 19 Juli. Saat 
itu Presiden Soeharto, di hadapan beberapa petinggi militer dan Polri, mengungkapkan 
keresahannya terhadap Megawati dan pengikut-pengikutnya. 
Rencana penyerbuan pada 23 Juli yang dipimpin Alex ternyata gagal, sebab  preman 
yang disewa Alex dianggap berkhianat dan membocorkan rencana itu. "Akhirnya saya 
batalkan," kata Alex. Tiga hari lalu  massa dikumpulkan di lantai 5 Gedung Artha 
Graha. Alex juga sowan ke Pangdam Sutiyoso, tentang rencana penyerbuan pada 27 Juli 
1996. "Sutisoyo berkata, selaku Pangdam, ia wajib berada di lokasi kerusuhan untuk tahu 
permasalahan," ujar Alex. 
 Pada Kamis 25 Juli, Presiden Soeharto menerima Ketua Umum DPP PDI Soerjadi dan 
10 fungsionaris partai di Bina Graha, Jakarta. Pertemuan inilah yang mengakhiri spekulasi 
politik seakan DPP PDI Soerjadi belum diakui pemerintah. Dalam pertemuan selama 70 
menit itu, lebih lama 40 menit dari yang dijadwalkan, lahirlah istilah baru "setan gundul". 
"Beliau (Soeharto-Red) menyebut orang-orang yang menunggangi masalah di PDI 
sehingga berlarut-larut sebagai setan gundul. Beliau menyebutnya sambil guyon, kami tidak 
tahu siapa yang dimaksudkan oleh beliau," ujar Soerjadi saat dihubungi Tempo sesudah  
hampir 10 tahun peristiwa itu terjadi. 
Pernyataan Presiden Soeharto itulah yang lalu  menjadi alasan pembenaran 
oleh aparat keamanan untuk menyerbu kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, 
pada Sabtu pagi, 27 Juli. Menurut Soerjadi, pihaknya tidak diberi tahu akan ada "acara ambil 
paksa" kantor pusat PDI dari tangan pendukung PDI Megawati Soekarnoputri. "Saya sama 
sekali tidak tahu, bahkan sampai saat saya ditahan, saya tak tahu kenyataan yang 
sebetulnya  terjadi pada 27 Juli 1996 itu," katanya. 
Para pendukung Megawati menduga ada ratusan orang tewas akibat serbuan itu. 
Ketua PDI Perjuangan Jakarta Selatan Audy Tambunan menyebutkan, korban dimakamkan 
secara massal di pekuburan Pondok Rangon, Jakarta Timur. Menurut laporan Komisi 
Nasional Hak Asasi Manusia, dari peristiwa itu cuma lima orang yang tewas, 149 luka-luka, 
dan 23 orang hilang. Laporan lembaga yang dipimpin oleh bekas Menteri Agama Munawir 
Sjadzali itu mencurigai "keterlibatan langsung pemerintah". Jika didengar dari para saksi, 
diduga lebih dari 30 orang tewas. 
Pemerintah menahan 124 orang pengikut Megawati yang berada di tempat saat 
penyerangan. Sedangkan "setan gundul" yang dimaksudkan Presiden Soeharto dicokok dan 
ditahan. Budiman Sudjatmiko dan anggota Partai Rakyat Demokratik, yang dideklarasikan 
empat hari menjelang kerusuhan 27 Juli, menjadi "kambing hitam" dan  "setan gundul" 
yang hendak "dibersihkan" Soeharto. Budiman dan kawan-kawan diberi ampunan Presiden 
B.J. Habibie sesudah  Soeharto tak lagi berkuasa dua tahun sesudah  peristiwa 27 Juli 1996. 
laki-laki  itu selalu melontarkan tanya yang sama. Ke mana perginya laki-laki  yang ia cintai. 
Ke mana perginya dua tangan lembut itu? Beribu-ribu pertanyaan menerjang benak 
Zarkani (nama disamarkan). "Sudah matikah ayahku? Bila sudah, di mana kuburnya?" 
Zarkani terus bertanya kepada siapa saja yang ia temui. Hingga sebelum dua tahun lalu, 
tanya itu masih nyaring terdengar. Kini, Zarkani entah ke mana. 
Kewarasan laki-laki  tinggi kelahiran 1969 ini melayang sejak ia berusia 20 tahun. Kisah 
pilu Zarkani bermula saat ayahnya dipanggil ke markas TNI (saat  itu masih ABRI) di Krueng 
Pase, Aceh Utara. Pemerintah rezim Soeharto saat itu sudah menetapkan Aceh sebagai 
daerah operasi militer (DOM). Sejak itulah ayah Zarkani tak pernah kembali. Dan laki-laki  itu 
terus menanti dan  bertanya. 
Suatu kali Zarkani menggelepar di kubangan darah hewan kurban yang disembelih di 
halaman masjid sambil berteriak, "Ini darah ayahku." Di lain waktu, dia membuat gundukan 
di halaman rumah dan berkata, "Ini makam ayahku." 
Di bumi Seulawah ribuan anak terhimpit kesedihan seperti Zarkani. Mereka menanti 
ayah pulang. Hari, minggu, bulan, musim, tahun berlalu, sang ayah tetap saja tak ada kabar. 
Operasi militer yang berlangsung pada 1989?1998. Pada masa itu sekitar 300 
personel Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dilatih di Libya kembali ke Aceh. 
Berbekal keyakinan dan senapan seadanya, tentara GAM menyerang pos-pos TNI dan Polri. 
Perang gerilya tak terbendung. 
Itulah yang terjadi di Syantalura. Saat itu kawasan kilang minyak dan gas Arung, Aceh 
Utara itu masih menikmati pagi. Polisi-polisi penjaga sedang mengecap udara segar. Tiba-
tiba, segerombolan orang menggeruduk dan melepaskan rentetan tembakan ke pos polisi. 
"Sebuah peluru menyambar seorang polisi berpangkat kopral satu," kata Ramli Ridwan, 
mantan Bupati Aceh Utara. 
Ramli menuturkan, aksi saling bunuh antara TNI dan GAM meletus sejak Teungku 
Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976. ABRI 
menggempur mereka. Namun, Tiro dan pemimpin GAM lainnya kabur ke Swedia sesudah  
tujuh tahun buron di Tanah Rencong. Gerakan ini lalu  diteruskan oleh tentara-tentara 
muda didikan Libya. 
keadaan  gawat itu membuat Gubernur Aceh Ibrahim Hasan mengumpulkan bupati, 
tokoh masyarakat juga komandan tentara di Komando Resor Militer (Korem) 
011/Lilawangsa di Lhokseumawe. Mereka lalu sepakat membawa masalah ini ke Jakarta. 
Di Jakarta, Presiden Soeharto dengan cekatan segera memerintahkan 6.000 
Kopassus ditambah di Aceh. Sampai Mei 1990, jumlah pasukan di sana menjadi 12 ribu 
orang. Operasi ini dikenal sebagai Operasi Jaring Merah. Sjafrie Sjamsoeddin, Prabowo 
Subianto, dan Syarwan Hamid pernah memimpin operasi itu. 
Operasi militer yaitu  cara khas Soeharto dalam menyelesaikan konflik daerah. Cara 
itu pula yang dipakai  meredam gejolak di Papua. Saat itu, sebagian warga di sana kecewa 
atas hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1 Desember 1969 yang berisi keputusan 
menyerahkan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia. Padahal, menurut versi mereka, 
pemerintah Hindia Belanda sudah  berjanji bakal memberikan kemerdekaan kepada bangsa 
Papua Barat, 1 Desember 1971. 
Jauh sebelum Pepera, beberapa tokoh politik di sana seperti Ferry Awom 
memproklamasikan Papua merdeka di Manokwari, 28 Juli 1965. Mereka juga merekrut 
pemuda-pemuda Biak untuk perang gerilya. Salah satu kelompok gerilya Operasi Papua 
Merdeka (OPM) yang memiliki  gigi yaitu  kelompok Mandacan. 
"Bisul" di Indonesia bagian timur itu "diobati" Soeharto dengan terus menambah 
pasukan. Mantan Kepala Staf Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayjen (Purn.) 
Samsuddin mengisahkan, "Menjelang Pemilu 1977 Papua mencekam. Pasukan 
mengamankan keadaan selama pemilu," kata laki-laki  yang bertugas di sana sejak 1975 itu. 
Sejarah lalu  mencatat, senapan, meriam, dan darah ternyata tidak sepenuhnya 
memulihkan Papua dan juga Aceh. Di Aceh, ribuan anak dan wanita terhimpit kepedihan 
perang. Tim Pencari Fakta Komisi Nasional HAM melaporkan, selama DOM sekitar 3.000 
wanita jadi janda dan 20 ribu anak menjadi yatim. Sebagian dari jumlah itu akhirnya 
kehilangan kewarasan seperti Zarkani, sebagian lagi malah diperkosa. 
Di Papua sama saja. Aktivis penolak Pepera, Arnold Clemens A.P., ditembak mati. 
Sebanyak 10 ribu warga Papua sampai mengungsi ke Papua Nugini. Dalam diam, Papua 
terus bergejolak. 
Sejarah sudah  mencatat jejak kelam sepatu lars di dua daerah itu. 
Orang Hilang Dibawa Sampai Mati 
adili Soeharto..., gantung Soeharto.... Adili." Yel-yel seperti itu diteriakkan ibu-ibu dan 
puluhan aktivis dari Ikatan Orang Hilang Indonesia (Ikohi), sambil menyeret patung 
mantan presiden Soeharto dalam kerangkeng besi. Mereka berjalan dua kilometer 
dari Tugu Proklamasi sampai kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di kawasan 
Menteng, Jakarta Pusat. Prosesi serupa kerap dilakukan para aktivis hingga kini. 
Walaupun sudah sepuluh tahun Soeharto tak berkuasa, para keluarga korban 
penculikan masih menuntut pengadilan terhadap penguasa Orde Baru itu. Mereka yaitu  
orang tua dan keluarga korban penculikan yang tak pernah kembali dan tak ketahuan di 
mana kuburnya. Menurut Ketua Ikohi, Mugiyanto, mereka yakin Soeharto terlibat dalam 
masalah  penghilangan paksa para aktivis itu. 
"Dalam sebuah wawancara di majalah Panjimas, bekas Pangkostrad Prabowo 
Subianto mengaku diberi 28 nama aktivis yang harus diawasi. Daftar nama itu juga diberikan 
Soeharto kepada perwira militer lainnya, dan mereka itu yang termasuk hilang sampai kini," 
ujar Mugiyanto. 
Menurut Mugi, ada tiga periode penting penghilangan paksa menjelang masa akhir 
Soeharto berkuasa. Periode pertama yaitu  "periode pengamanan" Pemilihan Umum 1997. 
Saat itu, koalisi PDI dan PPP, yang menyebut dirinya "Mega Bintang", tengah menguat. Pada 
periode ini aktivis yang hilang yaitu  mereka yang dikenal dekat dengan kedua partai 
musuh Golkar, kendaraan politik Soeharto waktu itu. Para korban yaitu  Yani Afri dan Soni, 
aktivis dari PDI, dari PPP, Dedi Hamdun dan Noval Al-Katiri. Periode kedua, menjelang Sidang Umum MPR. Pius Lustrilanang, Desmond Junaidi 
Mahesa, Haryanto Taslam, dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) seperti Nezar Patria, 
Rahardjo Waluyo Jati, Andi Arif, Feisol Reza, Wiji Tukul, termasuk Mugiyanto, merasakan 
penghilangan "paksa" itu (baca Kuil Penyiksaan Orde Baru). 
Tak lama lalu  sembilan orang dikembalikan, sesudah  diteror dan disiksa. "Saya 
disekap tiga hari, disetrum, disiksa, lalu diantar ke Polda dan ditahan selama tiga bulan," 
ujar Mugiyanto, 35 tahun. Saat itu Mugi yaitu  mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas 
Gadjah Mada, Yogyakarta. 
Rahardjo Waluyo Jati merasakan hal yang sama. "Selama tiga hari pertama sejak 
diculik, tangan saya diborgol, kaki diikat, disetrum, dipukuli. Bahkan saya ditelanjangi dan 
ditidurkan di atas balok es," ujarnya saat memberikan kesaksianya di Komnas HAM. Jati 
disekap mulai 12 Maret sampai 28 April 1998. 
sesudah  tiga hari, Jati dipindahkan ke ruang bawah tanah. Di tempat itu ia bertemu 
aktivis asal Bandung, Pius Lustrilanang. Menurut Pius, kamar nomor lima pernah dihuni Soni 
dan Yani Afri, pendukung PDI pro-Megawati, Dedi Hamdun dan Lukas, dosen asal Timor 
Timur. Selama dalam penjara bawah tanah, Jati pernah dikunjungi dua orang. "Mungkin 
atasan penculik, dari baunya ia memakai parfum mahal. Dua orang itu diantar lima orang 
lainnya. Semua orang itu memakai topeng," katanya. 
Periode ketiga, mereka yang hilang pada saat kerusuhan Mei 1998. "Yang hilang 
yaitu  para saksi yang melihat langsung sekelompok orang terkoordinasi membakar pasar 
atau mal saat penjarah masih banyak di dalamnya," ujar Mugi. Para korban yang hilang itu 
tak semuanya terdiri dari aktivis. Ada korban yang bekerja sebagai pengamen atau 
karyawan, di antaranya bernama Ucok Munandar, Yadi, Abdul Nasser. "Sampai kini mereka 
tak ketahuan kabarnya, namun  ada yang melihat mereka diambil paksa," katanya. 
Menurut Mugi, lembaga Ikohi sudah mengajukan permintaan agar tim ad hoc 
Komnas HAM menyelidiki peran bekas presiden Soeharto untuk mengungkap masalah  
penghilangan paksa 1997-1998. Tim ini bisa bergerak dengan memanggil paksa pihak TNI 
dan Polri yang diduga terlibat. "dahulu  janji Komnas HAM begitu. Kami juga menyerukan 
kepada segenap rakyat Indonesia yang mencintai keadilan agar bersama-sama menolak 
memaafkan Soeharto sebelum ada pengadilan yang jujur dan adil," ujar Mugi. 
 peristiwa itu terjadi sepuluh tahun lalu, namun  semuanya masih tetap basah dalam 
ingatan. Kami berempat: Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugerah, dan saya 
yaitu  anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Baru 
sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur itu. 
Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan antikediktatoran. 
Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedang panas. Di tengah aksi protes 
mahasiswa, Sidang Umum MPR kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Di 
kampus, gerakan menentang rezim Orde Baru kian marak. Setiap hari, kemarahan membara 
di sekujur negeri. Kota-kota dibungkus selebaran, spanduk, dan poster. Indonesia pun 
terbelah: pro atau anti-Soeharto. 
Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (namun  tak pernah terbukti di 
pengadilan), SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) 
dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak itu, hidup kami terpaksa 
berubah. Kami diburu aparat keamanan Orde Baru. Maka, tak ada jalan lain kecuali bergerak 
gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru 
sebagai pedagang buku atau lainnya. 
namun  petualangan bawah tanah itu berhenti pada 13 Maret 1998. Malam itu, sekitar 
pukul tujuh, saya baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok. Ada rapat mahasiswa 
sore itu di sana. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah. 
sesudah  mandi, saya menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan 
membeli makan malam. Sementara, Bima Petrus berpesan pulang agak larut. 
Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat laki-laki  kekar 
merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Saya kaget. Sekelebat 
saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai dua, dan di bawah sana beberapa  
"tamu tak diundang" sudah menunggu. Mereka memakai seibo (penutup wajah dari wol), 
namun  digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas. "Mau mencari 
siapa?" tanya saya. "Tak usah tanya, ikut saja," bentak seorang laki-laki . sesudah  
mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit saya. Kami digiring menuruni tangga. Saya agak 
meronta, namun  dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran saya bicara: 
saya diculik! Dan dua mobil Kijang sudah menunggu di bawah. 
Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala 
saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan. 
Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli. "Wah, benar, dia 
Nezar, Sekjen SMID!" teriak salah satu dari mereka. 
Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar 
berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam lalu . Tak 
jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, "Merpati, merpati." Agaknya 
itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka. 
Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara 
terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya 
didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. sesudah  itu, menyusul 
bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu 
patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur. 
sesudah  itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel. 
Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. sebab  tak puas dengan jawaban, 
alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. "Kalian 
bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?" 
tanya suara itu dengan garang. 
Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. namun  belum 
pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. 
Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun 
menyengat dari paha sampai dada. 
"Allahu akbar!" saya berteriak. namun  mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu 
setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak 
sadar, namun  masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar 
jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap. 
entah pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga. 
Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati, 
tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat 
listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan 
Mugiyanto. Rupanya, dia "dijemput" sejam sesudah  kami ditangkap. Hati saya berdebar 
mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat 
konspirasi rencana penggulingan Soeharto. 
Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung 
dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. 
Pernah, sesudah  beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin 
itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, sebab  mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. 
Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah 
bertugas di Aceh dan Papua segala. 
klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya. 
"Sudah siap mati?" bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. 
Saya diam. 
"Sana, berdoa!" 
Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu 
bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak 
begitu menyakitkan. namun  "eksekusi" itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan 
memantau kami di mana saja. 
Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan 
lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga 
dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt, tanpa 
matahari dan senam pagi. 
Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin di 
sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa menembak dari lubang 
angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama. Sepekan lalu , Andi Arief (kini 
Komisaris PT Pos Indonesia) diculik di Lampung. sesudah  disekap di tempat "X", dia 
terdampar juga di Polda Metro Jaya. 
Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama mengenang 
beberapa  kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka yaitu  Herman Hendrawan, 
Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul. 
sesudah  reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah 
dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira 
memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira tinggi 
TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan sudah 
dibebaskan. 
Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah 
kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para 
atasannya. Siapa? "Ada tiga: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto," ujar Sumitro. Lalu kini 
apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto? 
Doa saya untuk kawan-kawan yang belum (atau tidak) kembali. 
kedungombo, 19 tahun silam. Usai meresmikan penggunaan waduk di Jawa Tengah 
itu, seperti biasanya, Presiden Soeharto menggelar temu wicara. Puluhan warga desa 
duduk ketakzim-takziman, mendengarkan petuah Soeharto. sesudah  menjelaskan 
panjang-lebar ihwal pentingnya waduk itu, Soeharto melemparkan kecamannya kepada 
penduduk yang tak mau pindah dari lokasi waduk. Ia menyebut mereka mbeguguk ngutho 
waton (berkepala batu), seraya mengimbau jangan sampai menjadi kelompok mbalelo. 
Waduk Kedungombo menyimpan cerita duka bagi ribuan penduduk yang 
sebelumnya berdiam di sana. saat  waduk yang mampu menampung 723 juta meter kubik 
air itu diresmikan, masih ada 600 kepala keluarga yang bertahan di daerah genangan. 
Mereka tak mau pindah sebab  ganti rugi yang diberikan pemerintah terlalu kecil dan 
diputuskan tanpa musyawarah. 
Pembangunan Kedungombo dimulai pada 1985. saat  itu, selain untuk menciptakan 
pembangkit listrik berkekuatan 22,5 megawatt, air waduk ini juga diniatkan memenuhi 
kebutuhan sekitar 70 hektare lahan pertanian. Untuk membangun bendungan ini 
pemerintah mendapat kucuran dana US$ 156 juta dari Bank Dunia, dan US$ 25,2 juta dari 
Bank Exim Jepang-antara lain. 
Untuk mewujudkan waduk seluas 6.000 hektare itu, pemerintah harus 
memindahkan sekitar 5.000 kepala keluarga yang tersebar di 37 desa di tiga kabupaten-
Boyolali, Grobogan, dan Sragen. Selain menelan lahan puluhan desa yang terserak di tiga 
kecamatan, waduk itu juga "memakan" 304 hektare tanah negara dan 1.500 hektare lahan 
Perhutani. 
Pada 1983, Gubernur Jawa Tengah, Ismail, mengeluarkan surat keputusan ganti rugi 
pembangunan Kedungombo. Ganti rugi tanah tertinggi ditetapkan Rp 700 per meter 
persegi. Ada warga yang menerima, ada yang menampik. Mereka yang menerima ganti rugi 
diberi pilihan pindah ke tempat yang disediakan pemerintah: Kayen (Purwodadi), 
Kedungmulyo, Kedungrejo (Boyolali), atau bertransmigrasi ke luar Jawa. 
Yang tak menerima memilih bertahan. Pemerintah pun berang. saat  itulah 
kekerasan, teror, dan intimidasi dilancarkan. Tak hanya dipaksa memberi cap jempol sebagai 
tanda setuju ganti rugi, penduduk yang tak mau pindah juga diberi stempel "PKI". Penduduk 
lalu  mengadukan teror dan intimidasi ini ke DPRD Jawa Tengah, Lembaga Bantuan 
Hukum, hingga Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam. Teror dan kekerasan memang 
mereda. namun  perundingan penggantian lahan tetap buntu. 
Pada 14 Januari 1989, kendati masih ada sekitar 1.000 kepala keluarga yang belum 
pindah, Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar meresmikan Waduk Kedungombo. Sejak 
itu, setiap hari permukaan air naik setinggi 20 hingga 50 sentimeter. Air yang terus meninggi  ini membuat sebagian warga menyerah, pindah dari kampung halaman mereka. beberapa   warga terus melawan. 
Pada 1990, 34 warga yang tak mau beranjak dari lokasi waduk, lewat Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menggugat Gubernur Jawa Tengah. Mereka menilai ganti rugi 
yang ditetapkan gubernur menyalahi ketentuan. Walau di tingkat pengadilan negeri dan 
pengadilan tinggi kalah, Mahkamah Agung pada 1994 memenangkan gugatan ini. 
Pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi Rp 50 ribu per meter persegi untuk tanah dan 
bangunan, dan Rp 30 ribu per meter persegi untuk tanaman. Harga ini lebih tinggi dibanding 
permintaan warga yang Rp 10 ribu per meter persegi. 
Gubernur Ismail mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan ini -dan menang. 
Mahkamah menyatakan gugatan warga tidak dapat diterima, dan majelis hakim kasasi keliru 
sebab  membuat putusan melebihi yang dituntut penggugat. Sejak itu, jalur hukum yang 
ditempuh warga buntet. Menurut Ketua Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM 
Indonesia (PBHI), Hendardi, pembangunan Waduk Kedungombo memang sarat dengan 
pelanggaran hak asasi manusia. "Ini merupakan catatan hitam dalam sejarah republik ini," katanya. 
 Halaman parkir Universitas Trisakti padat oleh khalayak pada pukul 11 pagi. Ada guru 
besar, dosen, mahasiswa, kar- yawan, alumni. Mereka meriung sembari menantikan orasi 
mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution. 
Beranjak siang, aliran manusia kian deras. Hawa mulai menghangat  saat  5.000-an 
mahasiswa bergantian memekikkan yel-yel. "Turunkan harga sembako! Reformasi politik! 
Mundurlah Soeharto!" 
Abdul Haris, jenderal tua itu, batal datang. namun  anak-anak muda yang 
menantikannya tidak membatalkan pergelaran akbar mereka: berjalan kaki ke gedung 
DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat-sepuluh kilometer lebih dari kampus Trisakti di Grogol, 
Jakarta Barat. 
Saat itu tengah hari, sekitar pukul 12.00 WIB. Baru 100-an meter keluar dari kampus, 
pasukan Pengendali Massa Polres Jakarta Barat, Korps Brimob Polda Metro Jaya, dan 
Pasukan Anti-Huru-Hara Resimen Induk Kodam Jaya menghadang barisan mahasiswa 
Trisakti. 
Wakil mahasiswa, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim 
Jakarta Barat, Letkol (Inf.) Amril Amin, berunding. Hasilnya? Aksi damai hanya sampai di 
depan kantor lama Wali Kota Jakarta Barat. Kurang-lebih 300 meter dari kampus. 
Adi menemui mahasiswa seusai berembuk. "Saya minta kalian berjanji tidak ada aksi 
kekerasan di tempat ini," ujarnya, disambut tepuk tangan mahasiswa. Aksi berjalan tertib. 
Sesekali mahasiswa bercanda dengan aparat keamanan, membagikan minuman kemasan, 
permen, dan bunga mawar 
Sekitar pukul 16.30 WIB, aparat meminta aksi dibubarkan dan mahasiswa diminta 
mundur ke kampus. Sempat terjadi ketegangan. Menurut saksi dari mahasiswa, saat  
mereka bergerak ke kampus, ada yang melontarkan kata-kata kotor dan makian. 
"Sepertinya polisi sengaja memancing kemarahan mahasiswa," kata seorang saksi. 
Tiba-tiba dentuman senapan mengoyak udara petang hari. Mahasiswa kocar-kacir, 
apalagi belum semuanya masuk ke kampus. Walau lalu  terbukti kampus bukan lagi 
"inner sanctum" alias "wilayah suci"-yang bebas dari senjata dan kekerasan. 
Berondongan senjata tak berkeputusan ke arah kampus berlangsung hampir tiga 
jam. Ratusan orang terluka. Empat mahasiswa gugur: Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, 
Heri Hartanto, Hendriawan Sie. 
Oditur militer lalu  mendakwa Komandan Unit II Patroli Motor Gegana Brimob, 
Iptu Erick Kadir Sully. Dia bersama 10 anggota Brimob ditugasi ke Polres Jakarta Barat pada 
hari itu. Sekitar pukul 13.30 WIB-seperti yang tercantum dalam dakwaan oditur-datang 
panggilan dari Wakil Kepala Polres Jakarta Barat, Mayor Herman Hamid, meminta mereka 
segera ke depan kantor wali kota untuk menghadang mahasiswa yang bergerak ke 
DPR/MPR. 
Saat itulah Erick, lagi-lagi menurut dakwaan oditur, memerintahkan anak buahnya 
yang bersenjata Styer kaliber 5,56 menembak ke arah massa. 
Jenis peluru itulah yang bersarang di tubuh empat mahasiswa yang tewas-sesudah  
diperiksa melalui uji balistik di Montreal, Kanada, dan Belfast, Irlandia Utara. 
Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Trisakti, Semanggi I, dan 
Semanggi II memiliki  catatan sendiri soal tragedi ini. Menurut Komisi, pasukan gabungan sudah  
menyerang, memukul, menendang, dan menembak dengan peluru dan  gas air mata ke 
para mahasiswa Trisakti yang berlindung di kantor lama Wali Kota Jakarta Barat maupun 
yang sudah  kembali ke kampus. 
Peristiwa Trisakti lalu  memicu kerusuhan di berbagai tempat di Jakarta. Demo 
mahasiswa marak di mana-mana, dan berujung pada pendudukan gedung DPR/MPR, 
Jakarta, oleh mahasiswa selama empat hari sampai Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. 
Kita tahu, proses hukum masalah  ini hanya berhenti pada beberapa  pelaku lapangan. 
Inilah rinciannya: 
12 Mei 1998 
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak. 
12 Agustus 1998 
Dua anggota Brimob dihukum 34 bulan penjara. 
31 Maret 1999 
Empat anggota Brimob lainnya diganjar vonis serupa. 
Lantas, ke mana jenderal-jenderal yang menjadi atasan para serdadu terpidana itu? 
Mereka masih bebas merdeka, tak tersentuh sampai kini. 
Rencananya, mereka akan diadili di pengadilan hak asasi manusia pada tahap 
berikutnya. 
Faktanya, mereka hanya "dikenang" dalam ritual tahunan 12 Mei,  saat  mahasiswa 
menagih utang keadilan bagi nyawa empat anak muda yang mati terlalu dini. 
 Arief Budiman  Pengamat politik 
ada 1965, kedatangan Soeharto sebetulnya  diharapkan untuk memulihkan 
demokrasi dan membebaskan masyarakat madani atau civil society dari 
cengkeraman negara. Pada zaman Soekarno, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 
Tahun 1959, masyarakat madani praktis dibungkam. Maka, saat  Jenderal Soeharto muncul 
dan mengambil alih kekuasaan pada 1965, banyak orang berharap masyarakat madani akan 
kembali hidup. 
Memang ada beberapa orang yang menyatakan pada waktu itu, betapa tidak 
realistis mengharapkan demokrasi bisa pulih di bawah pimpinan seorang anggota militer. 
namun  suara ini tenggelam di antara harapan terhadap demokrasi yang semarak. 
sesudah  mendapatkan Surat Perintah 11 Maret Tahun 1966, Soeharto membubarkan 
Partai Komunis Indonesia dan menangkapi lawan politiknya. Oleh banyak orang, tindakan ini 
tidak dianggap sebagai hal yang tidak demokratis, sebab  Partai Komunis Indonesia 
dianggap sebagai partai yang anti-demokrasi. Begitu juga dengan tindakan pemerintah yang 
menangkap para pemimpin politik. 
Para pendukung gerakan demokrasi mulai terkejut saat  pada akhir tahun 1960-an 
pemerintah menolak permintaan rehabilitasi dua partai yang dahulu  dilarang, Masyumi dan 
PSI. 
Untunglah, para anggota partai itu masih dipersilakan membentuk partai baru. 
namun  lalu  pemerintah juga menolak mantan pimpinan Masyumi dan Partai Sosialis 
Indonesia untuk duduk di partai-partai baru yang didirikan. Muncul pertanyaan, apa makna 
dari tindakan-tindakan ini. 
Soeharto memberikan jawaban dengan memperkenalkan konsep Trilogi 
Pembangunan. Konsep ini menyatakan ada tiga tugas pemerintah: pertumbuhan ekonomi, 
stabilitas politik, dan pemerataan pendapatan. Soeharto menugaskan militer untuk 
menciptakan stabilitas politik, tugas melaksanakan pertumbuhan ekonomi diberikan kepada 
para teknokrat ekonomi. sesudah  itu, pemerataan pendapatan dapat diselenggarakan. 
Biarlah Soeharto memusatkan perhatian kepada tugas-tugas ini dahulu , tidak direpotkan oleh 
konflik-konflik masa lalu, begitu kira-kira yang mau dikatakan. Biarlah Soeharto diberi 
kesempatan dahulu  untuk bekerja. 
Jawaban ini tampaknya diterima oleh masyarakat waktu itu, termasuk oleh para 
mahasiswa dan kaum cendekiawan. Yang paling penting pada waktu itu yaitu  memulihkan 
kehidupan ekonomi. Bukankah dalam keadaan ekonomi yang terpuruk, masyarakat madani 
juga tidak akan bisa berfungsi? 
namun  ada sedikit yang mengganggu. Korupsi mulai muncul, meski saat itu masih kecil-
kecilan. Korupsi yang saat itu mulai merebak yaitu  Pertamina. Sementara itu, para wakil 
mahasiswa yang menjadi anggota parlemen mulai ikut-ikutan membeli mobil Holden 
fasilitas pemerintah dengan harga murah. Ini dianggap korupsi sebab  pada waktu rakyat 
masih miskin, para tokoh mahasiswa ini sudah mau memasuki hidup yang mewah. Para 
asisten pribadi Presiden juga mulai terlibat bisnis, dan Ibu Tien Soeharto menggusur tanah 
rakyat untuk mendirikan Taman Miniatur Indonesia Indah atau TMII. 
Kaum cendekiawan dan para mahasiswa, yang merupakan corong bagi masyarakat 
madani, mulai bereaksi terhadap gejala ini. Protes oleh para cendekiawan dan demonstrasi 
oleh para mahasiswa mulai bermunculan. Tahun 1970 sampai 1972 merupakan tahun-tahun 
yang marak dengan protes dan demonstrasi. namun  protes-protes ini pada umumnya berkisar 
pada masalah korupsi, bukan masalah demokrasi. Protes dan demonstrasi terhadap 
larangan dihidupkannya kembali Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, dan  larangan para 
pemimpin kedua partai itu untuk aktif dalam partai-partai yang ada, relatif sangat sedikit. 
Korupsi tampaknya masih dianggap sebagai masalah yang lebih serius pada waktu itu. 
Kepercayaan bahwa Soeharto masih memiliki  komitmen terhadap demokrasi masih besar. 
sebab  itulah, dari empat demonstrasi besar yang terjadi pada waktu itu, tiga 
mempersoalkan korupsi, dan hanya satu yang mempersoalkan demokrasi. 
Demonstrasi Mahasiswa Menggugat (1970), Komite Anti-Korupsi (1970), dan 
gerakan anti-TMII yaitu  gerakan anti-korupsi. Hanya demonstrasi Golongan Putih (1971), 
yang menentang UU Pemilu yang baru, yang berkaitan dengan kehidupan demokrasi. 
Pada mulanya Soeharto melayani protes-protes ini dengan baik. Demonstrasi 
Mahasiswa Menggugat ditanggapi dengan memerintahkan para menteri kabinet untuk 
menerima para mahasiswa dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya. 
Sedangkan demonstrasi Komite Anti-Korupsi dilayani langsung oleh dirinya, dengan 
menerima sendiri empat wakil mahasiswa untuk berdialog di rumahnya di Jalan Cendana. 
Memang demonstrasi Golongan Putih dihadapi dengan penangkapan mahasiswa untuk 
diinterogasi, namun  hanya untuk beberapa jam. Tidak ada penahanan. Ini memperkuat 
anggapan bahwa Soeharto tidak melihat mereka sebagai lawan politiknya. Saat itu, 
masyarakat menganggap komitmen Soeharto terhadap demokrasi masih ada. 
lalu , dalam demonstrasi TMII, Soeharto bertindak lebih keras. Dia 
memerintahkan penahanan terhadap empat orang pimpinan demonstrasi dan menahannya 
sampai sekitar satu bulan. namun  hal ini masih dimaklumi, sebab  demonstrasi itu 
menyinggung pribadi Ibu Tien, dan ini membuat Soeharto marah. Soeharto memang dikenal 
sensitif bila keluarganya diusik. 
namun , memang benar juga, para cendekiawan/mahasiswa mulai merasa bimbang. 
Kalaupun Soeharto masih memiliki komitmen terhadap demokrasi, dia tampaknya lemah 
dalam tindakannya terhadap korupsi. Apalagi kalau korupsi ini menyangkut anggota 
keluarganya. Masihkah Soeharto perlu didukung? 
Jawaban terhadap pertanyaan itu segera muncul. Pada saat kerusuhan-yang 
lalu  dikenal sebagai-Peristiwa Malari (1974),  saat  para mahasiswa memprotes 
dominasi Jepang atas perekonomian Indonesia, dan menuduh beberapa asisten pribadi 
Presiden sebagai "antek" para pengusaha Jepang, Soeharto mengambil tindakan tegas 
dengan menangkapi mahasiswa dan cendekiawan yang dianggap memiliki  kaitan dengan 
demonstrasi ini. Mereka lalu  dipenjarakan sampai beberapa tahun. Beberapa media 
besar dicabut izin terbitnya, sebab  dianggap memanaskan suasana dan mengganggu 
stabilitas. 
Dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), Soeharto tampaknya 
mengambil sikap tegas: "Go to hell with civil society." Dia sepertinya mengingatkan para 
cendekiawan/mahasiswa "who is the boss". Pada titik ini tampaknya "perkawinan" antara 
Soeharto dan masyarakat madani bubar jalan. 
sesudah  "perceraian" ini, apa yang terjadi bisa diramalkan. Protes dan demonstrasi, 
yang tadinya merupakan gerakan koreksi, sekarang menjadi gerakan konfrontasi. 
Demonstrasi berikutnya, pada 1978, yang dilakukan oleh para mahasiswa ITB di Bandung, 
tidak lagi menuntut susaha  Soeharto mau memberantas korupsi, namun  menuntut Soeharto 
tidak mencalonkan diri lagi sebagai presiden. Ini bahasa halus dari teriakan: "Minggir!" 
Soeharto pun menjawab dengan tegas pula: Kampus ITB diserbu dan diduduki militer, para 
pimpinan mahasiswanya dijebloskan ke penjara selama beberapa tahun. 
Tindakan-tindakan Soeharto selanjutnya sesudah  tahun 1974 merupakan seruan: 
"Masyarakat madani minggir, pemerintah mau lewat". Partai-partai disederhanakan 
menjadi tiga, para pemimpin partai dikenai penelitian khusus (litsus) militer untuk 
membuktikan kesetiaannya kepada negara. Media massa semakin ketat diawasi. 
Sejak saat ini, meskipun masyarakat madani memang tidak mati total, dia hanya 
hidup di bawah tanah, bergerilya. Kekuatan politiknya praktis nol. Masyarakat madani hidup 
dalam dunia bisik-bisik dan humor-humor politik yang menyindir pemerintah, dalam diskusi-
diskusi terbatas para mahasiswa dan cendekiawan, dalam pembacaan puisi-puisi kritis 
Rendra, atau dalam drama sindiran yang dipentaskan Teater Koma dan monolog Butet 
Kertaredjasa. Salah satu humor politik yang menjadi favorit saya yaitu  yang menyatakan 
bahwa orang-orang Indonesia pada zaman Soeharto memiliki  tiga sifat dasar: pintar, jujur, dan 
pro-pemerintah. namun  tiap orang Indonesia hanya bisa memiliki dua saja. Kalau dia pintar 
dan pro-pemerintah, dia tidak jujur; kalau dia jujur dan pro-pemerintah, dia tidak pintar; 
dan kalau dia pintar dan jujur, dia pasti anti-pemerintah. 

 Harold Crouch 
Pengamat Politik Indonesia 
sebelum menjadi presiden, Soeharto yaitu  seorang jenderal yang tidak biasa 
memberikan perhatian banyak terhadap masalah politik luar negeri. Sebagai presiden, politik luar negerinya tidak dijiwai oleh visi hebat tentang peran Indonesia dalam 
politik dunia. Dibandingkan dengan Presiden Soekarno yang melaksanakan "politik 
mercusuar" dan bercita-cita menjadi seorang "Pemimpin Besar" di panggung dunia, 
pendekatan Soeharto hanya bertujuan memperoleh manfaat konkret bagi negaranya. 
Politik luar negeri Indonesia pada zaman Soeharto sangat berkait dengan 
kepentingan dalam negeri. Pendekatan ini sangat jelas pada awal pemerintahannya. Pada 
akhir zaman Orde Lama ekonomi Indonesia sudah rusak sama sekali. Presiden Soekarno 
lebih suka berkonfrontasi dengan negara-negara Barat yang disebut "nekolim", sedangkan 
masalah ekonomi dalam negeri dibiarkan saja. Sebaliknya Soeharto mendekati negara-
negara Barat dan Jepang untuk mencari bantuan ekonomi dan menarik penanam modal 
asing. 
Dengan demikian politik luar negeri memberikan sumbangan yang sangat besar 
kepada proses pembangunan ekonomi yang membawa manfaat yang mendalam bagi 
bangsa Indonesia-walaupun bukan semua golongan dalam masyarakat dapat menikmatinya. 
Pembangunan ekonomi juga menopang stabilitas politik, sehingga Orde Baru dapat 
bertahan selama 30 tahun lebih. Soeharto, sebagai presiden, juga memanfaatkan 
pembangunan ekonomi untuk "membeli" dukungan para elite politik. Sudah tentu yang 
mendapat keuntungan yang paling besar yaitu  anggota keluarganya, para kroninya dan 
perwira-perwira militer yang dekat dengannya. 
Walaupun Indonesia tetap menjunjung tinggi "politik bebas aktif" yang dicanangkan 
oleh Wakil Presiden Hatta pada zaman revolusi, pada prakteknya negara ini tidak lagi berdiri 
di tengah antara kubu Barat dan kubu Timur, namun   sangat condong ke arah Barat. 
Hubungan erat dengan negara kapitalis Barat dan Jepang paling jelas dapat dilihat dalam 
bidang ekonomi di mana konsorsium negara IGGI menjadi sumber bantuan ekonomi dan 
perusahaan asing menguasai sektor modern. 
namun   hubungan erat dengan negara Barat tidak terbatas pada bidang ekonomi saja. 
Sebagai "sekutu tidak resmi", Indonesia juga mendapat bantuan militer dari Amerika Serikat 
dan negara Barat yang lain. Peralatan militer banyak yang berasal dari negara Barat dan para 
perwira ABRI (nama TNI pada waktu itu) mendapat pendidikan dan latihan di negara-negara itu. 
Pada awal Orde Baru, musuh bersama negara Barat dan Indonesia yaitu  negara 
komunis. Indonesia di bawah Soeharto dianggap sebagai benteng anti-komunisme di Asia 
Tenggara. Pada waktu itu pemerintah AS dan negara Barat lain kurang memperhatikan 
pelanggaran hak asasi manusia, asalkan pelanggaran itu dilakukan oleh pemerintah anti-
komunis. Walaupun setengah juta rakyat komunis atau pro-komunis dihabisi pada 1965 dan 
ratusan ribu lagi ditahan, tidak ada protes apa-apa dari pemerintah negara-negara Barat. 
Meskipun demikian, Soeharto tetap menjaga jarak dari AS dan negara-negara Barat. 
contohnya  Indonesia tidak ikut negara Asia lain yang mengirim pasukan untuk membantu AS 
di Vietnam pada tahun 1970-an. Sesuai dengan konsep bebas-aktif, Presiden Soeharto tidak 
mau bergabung dalam persekutuan pertahanan dengan negara lain. Sebaliknya Indonesia 
lebih suka meningkatkan kerja sama non-militer dalam ASEAN, yang dibentuk pada 1967. 
Pengaruh Soeharto dalam ASEAN menjadi semakin besar sebab  pemimpin negara-negara 
lain (kecuali Singapura) sering diganti namun   beliau tetap berkuasa hingga 1998. Sulit sekali 
bagi ASEAN untuk mengambil tindakan yang tidak dibenarkan oleh Indonesia. 
Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam Gerakan Non-Blok, yang terdiri dari negara-
negara yang tidak mau bersekutu dengan AS ataupun blok komunis. Semula, anggota 
gerakan itu menganggap Indonesia terlalu dekat dengan negara Barat, namun   akhirnya 
Presiden Soeharto terpilih sebagai ketua gerakan itu di Konferensi Non-Blok yang digelar di 
Jakarta pada 1992. Ironisnya, Soeharto baru terpilih sebagai pemimpin gerakan itu justru 
pada waktu Perang Dingin sudah berhenti dan gerakan itu tidak banyak diperhatikan lagi. 
Sebagai adikuasa regional, Indonesia sering mengambil prakarsa untuk 
menyelesaikan konflik di wilayah Asia Tenggara. contohnya  Indonesia berperan sebagai 
mediator untuk menyelesaikan perang saudara di Kamboja; Indonesia menyediakan 
bantuannya kepada Filipina dalam usahanya untuk menyelesaikan pemberontakan bangsa 
Moro; dan Indonesia menyediakan fasilitas untuk mengadakan serangkaian diskusi di antara 
negara yang memiliki  klaim-klaim yang bertumpang tindih di Laut Cina Selatan. 
Usaha Indonesia untuk mendukung perdamaian tidak terbatas pada wilayah Asia 
Tenggara saja. Indonesia merupakan salah satu negara yang sering bersedia menyumbang 
pasukan kepada misi-misi pemelihara perdamaian PBB. Tentara Indonesia mendapat nama 
baik dari kegiatan ini. 
Walaupun Soeharto tetap menentang komunisme, beliau juga bersikap pragmatis 
dalam melangsungkan hubungan dengan negara-negara komunis. Hubungan diplomatis 
tidak pernah diputuskan dengan Uni Soviet dan Vietnam, sedangkan pada 1967, atas nasihat 
Menteri Luar Negeri Adam Malik, hubungan diplomatik dengan RRC tidak "diputuskan" 
namun   hanya "dibekukan". Ini memudahkan pembukaan kembali hubungan diplomatik 
dengan RRC pada tahun 1980-an sesuai dengan kepentingan Indonesia pada waktu itu. 
Soeharto selalu mementingkan perhitungan pragmatis di atas ideologi. 
 Dapat dikatakan prestasi politik luar negeri Indonesia di bawah pimpinan Soeharto 
cukup baik namun   sayangnya tidak begitu dihargai oleh dunia internasional. Mengapa tidak? 
Ganjalannya yaitu  Timor Timur. 
Pada 1975, saat  Menteri Luar Negeri Adam Malik sedang berusaha meyakinkan 
pemimpin Timor Timur bahwa Indonesia tidak bermaksud merebut daerah itu, ada jenderal-
jenderal yang mempersiapkan intervensi militer. Konon, Soeharto sendiri belum yakin 
bahwa invasi merupakan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan proses dekolonisasi namun   
akhirnya jalan itu diambil. Soeharto barangkali berharap bahwa masalah itu akan cepat 
selesai-seperti invasi India terhadap koloni Portugis di Goa pada 1962. 
Selama hampir seperempat abad tentara Indonesia menghadapi perlawanan yang 
terus-menerus. Indonesia memang membangun banyak sekolah, rumah sakit, dan jalan raya 
di Timor Timur, namun banyak sekali rakyat yang menjadi korban dan pelanggaran hak asasi 
menjadi perkara biasa. Bagi rakyat Timor Timur, seribu sekolah atau rumah sakit atau jalan 
raya tidak dapat mengganti seorang ayah atau kakak atau anak yang dibunuh oleh tentara 
Indonesia. Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyebut masalah  Timor Timur sebagai "kerikil 
tajam", namun   kerikil itu ternyata berbisa dan memicu  luka yang tidak dapat 
disembuhkan selagi Soeharto menjadi presiden. 
Salah satu tujuan politik luar negeri yaitu  untuk mempertahankan negara itu dari 
ancaman luar dengan memakai  cara-cara non-militer. Dalam hal itu, pada umumnya 
politik luar negeri Presiden Soeharto cukup berhasil. namun   akhirnya politik luar negeri 
ternyata tidak mampu menangkis sebuah ancaman yang tidak dijangka dan berwujud dalam 
bentuk baru. Pada Juli 1997 keguncangan dalam nilai baht di Thailand menjadi sumber 
keguncangan yang melanda bukan saja Indonesia namun   hampir semua negara Asia. Di 
antara korban krisis moneter itu yaitu  negara Indonesia dan Presiden Soeharto sendiri. 
Pada zaman globalisasi ini, ancaman luar tidak lagi terbatas pada ancaman militer 
atau politik dari negara-negara tertentu. Pengalaman Presiden Soeharto menunjukkan 
bahwa proses globalisasi memiliki  dinamika sendiri yang kadang-kadang membawa 
manfaat yang sangat penting namun   juga dapat merupakan ancaman yang paling dahsyat. 
Agaknya, Presiden Soeharto tidak mengerti bagaimana ancaman itu dapat dihadapi. 
Kadang-kadang ekspresi ini muncul lagi dalam bentuk protes dan demonstrasi, 
seperti saat  demonstrasi untuk membela para petani Kedung Ombo yang digusur (1988). 
Demonstrasi ini diprakrasai oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, para mahasiswa, 
dan Romo Mangun. namun  gerakan ini segera ditumpas secara militer. 
Semua "perlawanan" ini terus bermunculan sampai jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 
1998. sesudah  militer dan partainya sendiri, Golkar, menarik dukungannya, Soeharto, dengan 
hati pahit namun  dengan wajah tenang, membacakan surat pengunduran dirinya sebagai 
Presiden RI, sesudah  lebih dari 30 tahun berkuasa. 
Masyarakat madani pun tiba-tiba muncul dan bangkit kembali. namun  yang kita 
dapatkan yaitu  masyarakat madani yang sakit, yang tidak tahu batas-batas kebebasannya, 
yang memakai  kebebasannya untuk keuntungan dirinya sendiri. Ibarat orang sakit yang 
tadinya dilarang makan, maka saat  "sembuh" dia segera melahap apa saja yang ada di 
sekitarnya, sambil menyikut teman-temannya yang ada di kiri dan kanannya. Korupsi pun 
tiba-tiba muncul kembali, bahkan mungkin lebih dahsyat dari keadaan sebelumnya. 
Memang, masyarakat madani sudah bisa hidup kembali. namun  kita masih belum 
menyadari bahwa masyarakat madani ini masih perlu belajar berjalan lagi, sebab  sesudah  
lebih dari 30 tahun dipasung, kesanggupan dasar ini sudah lama terlupakan. 
 pohon beringin, pohon pamrih, pohon sambi. Dinaungi tiga pohon itu, sendang di 
pebukitan kapur itu tampak teduh. Air sendang sangat jernih hingga endapan lumpur 
di dasar terlihat dengan jelas. 
Kalangan kebatinan Jawa mengenal mata air dalam cekungan batu kapur itu dahulu  
yaitu  tempat almarhum Rama Martapangarsa, seorang spiritualis Yogyakarta, menempa 
diri. Syahdan, pada 1940-an, Martapangarsa mendapat wisik agar menyusuri Gunung 
Sempu. Dia menemukan sebuah mata air yang dirasanya cocok untuk tempat berendam, 
mengasah kepekaan. Ia menamakannya Sendang Titis, artinya kolam untuk berlatih 
menajamkan hati. Dibangunnya sebuah padepokan alit, lalu ia tinggal di situ, meninggalkan 
rumahnya di bilangan Nataprajan, Yogya. 
Untuk menuju sendang yang terletak di Dusun Semanggi, Kelurahan Bangunjiwo, 
Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, itu kini tidak terlalu sulit. Ada jalan aspal, meski 
agak sempit, yang membelah pebukitan kapur itu. Sampai di sana, di pendapa bercat 
kuning yang lusuh, kita masih dapat melihat lukisan wajah almarhum Martapangarsa 
tergantung di dinding balai. Lukisan itu diapit potret dua almarhum guru lain: Rama Dijat 
dan Rama Budi Utomo. 
Kalangan kebatinan Jawa tahu, sendang itu pernah melintas dalam kehidupan 
kebatinan Soeharto. Di situlah, pada 1957, lama sebelum Soeharto menjadi presiden, ia oleh 
Rama Marta dibaptis menjalani "ikatan persaudaraan mistikal" dengan Soedjono 
Hoemardhani. Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas Indonesia yang menjadi 
sekretaris pribadi Soedjono Hoemardani pada 1983?1986, pernah mendengar kisah ini 
langsung dari Soedjono. 
"Pak Djono bercerita di Sendang Titis itulah Rama Marta membaptis Pak Harto 
menjadi Rama, Pak Djono menjadi Lesmana, Bu Tien menjadi Sinta, Bu Jono menjadi Kunti." 
Yang datang pertama kali ke sendang, menurut cerita Soedjono itu, yaitu  Soedjono 
dan istrinya. Rama Marta sudah  menunggu. Baru lalu  datang Soeharto dan Tien. Begitu 
Soeharto datang, Rama Marta seperti seolah membaca tanda-tanda, lalu  berkata: 
"Lha iki jago wirig kuningku (lha ini jago aduanku datang)." Wirig kuning dalam budaya Jawa 
yaitu  ayam jago yang kaki dan paruhnya berwarna kuning dan dikenal tangguh dalam 
bertarung. 
Pertemuan pertama Soeharto dengan Soedjono terjadi pada Juni 1956 saat bertugas 
di Semarang. Letnan kolonel Soeharto menjadi kepala staf dan lalu  Panglima Divisi 
Diponegoro. Pada waktu itu Soedjono yaitu  kapten. Soedjono dikenal menyukai dunia 
kebatinan Jawa. Keduanya menemukan kecocokan. 
akhir 1957, Soedjono memainkan peran penting membentuk beberapa perusahaan 
swasta atas nama Divisi Diponegoro. Saat menjadi presiden, "utang budi" Soeharto kepada 
Soedjono terus meningkat. Soedjono pada awal Orde Baru ditunjuk Soeharto menjadi staf 
pribadi (spri) dan lalu  asisten pribadi di bidang ekonomi pada 1966?1974. sesudah  
kerusuhan anti-Jepang (Malari), Soeharto membubarkan posisi aspri. 
Soedjono tidak memiliki jabatan penting. namun  banyak yang menyebut justru pada 
saat itulah Soedjono aktif mendukung Soeharto secara spiritual. Soedjono melakukan ritual-
ritual. Saat itu kesibukan Soeharto meningkat sehingga tak sempat melakukannya. Soedjono 
juga memantau terus perkembangan sosial-politik secara gaib. Menurut Budyapradipta, itu 
dilakukan melalui bantuan guru-guru laku Jawa yang dikenalnya selama bergaul dengan 
Soeharto. 
sesudah  kembali ke Jakarta, sejak menjadi Panglima Diponegoro, Soeharto, contohnya , 
sering berdiskusi dengan Mesran Hadi Prayitno, seorang perwira menengah Angkatan Darat 
yang sama-sama menyukai spiritualitas Jawa. Kepada Soeharto, Mesran menyarankan, jika 
benar-benar ingin memperdalam spiritualitas Jawa, Soeharto harus bertemu dengan 
seorang guru bernama Raden Panji Soedijat Prawirokoesoemo atau yang lebih dikenal 
sebagai Rama Dijat. 
Pada 1963, Mesran dan Soeharto bertemu Rama Dijat di rumah orang tua Romo 
Dijat yang bernama Prawiro Dinomo di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten. 
Soeharto kaget, ternyata Rama Dijat yaitu  laki-laki  misterius yang pernah ditemuinya pada 
1961 saat ia melakukan ziarah di makam leluhur raja-raja Majapahit di situs Trowulan, 
Mojokerto, Jawa Timur. 
Waktu itu Soeharto melihat seorang laki-laki  yang tengah melakukan meditasi dan 
berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Usai meditasi, laki-laki  itu 
meninggalkan Trowulan. Soeharto terkesan, kagum dan penasaran terhadap laki-laki  itu. Ia 
ingin tahu lebih banyak tentang laki-laki itu, namun  laki-laki itu sudah  menghilang. Dan kini 
ternyata sosok penuh teka-teki itu ada di hadapannya. 
Pada pertemuan Klaten itu, Soeharto langsung menyatakan diri menjadi murid Rama 
Dijat. Rama Dijat sendiri saat itu tinggal di Semarang. Soeharto lalu  hampir tidak 
pernah absen mengikuti sarasehan antara Rama Dijat dan murid-muridnya setiap selapan 
(35 hari) pada Selasa Pahing malam yang dilakukan di rumah Rama Dijat, Jalan Sriwijaya 70 
Semarang. Tak hanya acara selapan, setiap membutuhkan konsultasi, Soeharto datang ke 
Semarang. Saat menjadi presiden, di luar jadwal kepresidenan, Soeharto masih 
menyempatkan diri ke Semarang. Tak jarang Rama Dijat via Soedjono diundang ke istana 
atau diutus mencari sesuatu. 
"Pak Djono pernah bercerita bagaimana ia bersama Romo Dijat mencari pohon 
wijayakusuma di dekat Nusakambangan yang lautnya ganas," tutur Budyapradipta. Bunga   
wijayakusuma dalam kisah pewayangan yaitu  senjata Kresna. Di Jawa, banyak tumbuh 
bunga wijayakusuma. Bunga ini mengeluarkan bau harum pada waktu dini hari. 
Namun, ternyata Rama Dijat bukan hanya mencari bunga ini. 
Bunga wijayakusuma yang diinginkan, menurut mereka, hanya tumbuh di sebuah 
pulau kecil dekat Nusakambangan. Dengan bentuk kecil-kecil, bunga Wijayakusuma 
dipercaya memberi tanda negara bakal baik. sesudah  Soedjono dan Rama Dijat 
mendapatkannya, pohon ini ditanam di Cendana, Keraton Solo, dan rumah Soedjono. 
 
Rama Marta, Rama Budi Utama, Rama Dijat, dan Rama Mesran boleh dianggap 
sebagai "ring satu" dunia kebatinan Soeharto pada masa lalu. Mereka dianggap memiliki 
daya linuwih, terutama sebab  kemampuan berdialog dengan roh leluhur melalui teknik 
meditasi yang dalam bahasa Jawa disebut njarwa. 
Kebudayaan Jawa memiliki cara tua yang sudah  teruji ratusan tahun untuk mampu 
berkomunikasi dengan leluhur. Leluhur ini dianggap utusan Tuhan yang pernah terlahirkan 
sebagai manusia. Leluhur ini akan memberikan pesan-pesan (dhawuh). saat  masuk dalam 
diri seorang medium, kata-kata leluhur ini hadir di anak lidah (kerongkongan) medium, 
hingga leluhur itu bisa diajak berdialog secara sadar. 
Hal ini berbeda dengan trance, sebab  roh yang hadir dalam trance menempel di 
ujung lidah. Dalam trance medium yang bersangkutan tidak sadar sehingga tidak bisa 
berdialog. Ucapan yang keluar dari mulutnya hanya disampaikan satu arah. Maka dari itu, 
seseorang yang dapat melakukan njarwa bukan disebut kesurupan, melainkan kalenggahan 
(dari kata lenggah, duduk). 
Soedjono sangat percaya pada dhawuh-dhawuh yang disampaikan Rama Marta, 
Rama Budi Utomo, Rama Dijat, dan Rama Mesran. Dhawuh-dhawuh itu dianggapnya 
lebih akurat ketimbang prediksi dan analisis para doktor atau pakar mana pun. "Intelektual 
nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya," begitu Soedjono suatu kali 
mengatakan kepada Budyapradipta. Soedjono aktif mengundang para pinisepuh di atas 
untuk melakukan njarwa demi mengetahui situasi politik mutakhir. Informasi dari "dunia 
atas" itu secara rutin dilaporkan kepada Soeharto. 
Selama menjadi sekretaris, Budyapradipta selalu mendampingi dan mencatat 
dhawuh-dhawuh yang keluar dari para guru di atas. 
Para rama itu, menurut dia, memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Rama Dijat diminta 
untuk menjarwa soal-soal kenegaraan. Romo Marta untuk soal kemasyarakatan dan 
kerumahtanggaan. Rama Budi untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Bila roh datang, karakter 
suara yang muncul antara rama satu dan rama lain berbeda intonasinya. Bila Romo Marta 
kalenggahan, contohnya , didahului ketawa ngakak.   
namun  menurut Budya, secara umum, ada tanda-tanda yang sama. "Waktu roh datang, 
para guru itu seperti keselek (tersedak)," katanya. "Lalu ada suara masuk yang lebih berat, 
meninggi, dan berbahasa ngoko, menandakan posisinya lebih tinggi dari orang yang diajak 
bicara." Menurut Budya, ciri-ciri kalimat leluhur itu rapi. Sebagai ahli bahasa Jawa kuno 
sendiri, ia takjub mendengar kosakata yang keluar sangat kaya. Menurut dia, banyak 
ungkapan-ungkapan metafor yang bahkan tidak ada dalam kamus Jawa susunan Zoetmulder 
maupun Ki Padmo. "contohnya  ada ungkapan lobok ora coplok, sesak ora nggebok...." 
Banyak kebijakan politik Soeharto, sebelum dikeluarkan, dikomunikasikan dahulu  
dengan para leluhur. "Menurut Pak Djono, saat GBHN dibuat dan saat Indonesia mau 
merebut Timor Timur, Soeharto terus-menerus meminta pertimbangan dhawuh ini." 
Soeharto merasa kebijakannya akan lebih sah, mantap, bila leluhur mendukungnya. 
Ada sebuah kejadian menarik. Pada waktu Soeharto hendak melakukan kunjungan 
ke Filipina dan Australia, Rama Dijat diundang Soedjono ke rumahnya. Roh yang masuk 
dalam diri Rama Dijat mengatakan bahwa yang harus diawasi benar yaitu  perjalanan 
Soeharto ke Australia. "Pesan" itu disampaikan Soedjono kepada Yoga Soegama sebagai 
pemimpin Bakin saat itu. namun  Yoga mengatakan bahwa analisis intelijennya menganggap 
mereka harus waspada dengan keamanan di Filipina lantaran Marcos baru saja digulingkan. 
Kenyataannya, saat Presiden Soeharto ke Filipina, keadaan  aman saja. Sementara di 
Australia, Soeharto disambut demonstran dengan lemparan tomat dan telur busuk yang 
mengenai dahinya. saat  pulang ke Jakarta, Yoga Soegama langsung didamprat oleh 
Soedjono. "Yoga, mangkane ojo nyepeleake intel spiritualku (Yoga, maka dari itu jangan 
menyepelekan intel spiritualku)." 
Saat peristiwa Tanjung Priok, Budya juga ingat, pada pukul 11 malam, Soedjono 
memanggil Rama Mesran ke rumahnya untuk meminta dhawuh leluhur bagaimana cara 
memadamkan kerusuhan itu. Esoknya, Soedjono menelepon Benny Moerdani. Menurut 
Budya, "Saya melihat sendiri Benny datang, lalu Pak Djono memberikan tongkat dari pohon 
bodhi kepada Benny; tongkat itu sudah  dijopa-japu." Tongkat itu, menurut Soedjono, akan 
memberikan rasa wibawa pada diri Benny hingga kerusuhan itu bisa diatasi. 
Syahdan, pada 1985, terjadi demonstrasi dari Himpunan Mahasiswa Islam. Peristiwa 
ini membangkitkan kegusaran Soeharto. Soedjono berinisiatif memanggil Romo Mesran. 
Roh yang masuk ke dalam diri Romo Mesran menyuruh: golek penthil pelem ijo neng 
Mojokerto (carilah mangga muda di Mojokerto). Sore itu juga, Soedjono mengutus 
Budyapradipta ke Mojokerto. "Saya naik pesawat Garuda ke Surabaya, terus naik mobil ke 
Mojokerto," kata Budya. 
Begitu mendapat mangga muda-padahal, kala itu sedang tidak musim mangga-Budya 
langsung terbang lagi ke Jakarta menuju kediaman Soedjono. Menjelang dini hari, Budya lalu 
mendampingi Soedjono dan Rama Mesran membawa mangga muda itu menuju istana. 
Di istana, bak cerita sinetron, Paswalpres mencegat mobil mereka. Begitu Soedjono 
melongok dari kaca jendela, mobil dibiarkan masuk. "Kami mengendarai VW Combi ke 
istana," kenang Budya. Romo Mesran lalu  menitahkan agar mangga muda itu 
dipendam di bawah tiang bendera. "Malam-malam saya menggali tanah istana dan 
menanam mangga," kata Budya. 
Berkat mangga muda itu, menurut Soedjono, esoknya demonstrasi itu mereda. 
Kegiatan rutin batiniah untuk Soeharto? 
Setiap malam Jumat, Soedjono secara rutin menggelar kegiatan njarwa di rumahnya, 
Jalan Diponegoro. Mereka yang hadir berjumlah sekitar 40 sampai 100 orang. Budya ingat, 
bila leluhur "masuk" ke dalam tubuh Romo Misran, kalimat awalnya yaitu  "Iyo Ngger...(ya 
Nak)." Langsung semua yang hadir secara koor sembari sungkem mengatakan: "Sugeng 
rawuh... (selamat datang), Eyang." sesudah  dhawuh itu didengar, biasanya lalu "geng" itu 
mendiskusikannya dengan situasi politik mutakhir. 
Setiap Suro (tahun baru Jawa), menurut Budyapradipta, Soedjono Hoemardhani 
bersama Romo Dijat juga pergi ke Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ini 
yaitu  padepokan yang lokasinya ditemukan Romo Dijat dan lalu  dibangun oleh 
Soedjono. Antara kawasan Gunung Srandhil dan Gunung Selok di Cilacap memang terkenal 
banyak bertebaran petilasan. 
Soeharto tak asing dengan petilasan-petilasan di Cilacap. Adi Suwarto, seorang juru 
kunci di sana, pernah mengantarkan Soeharto berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo 
atau Kaki Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo yang letaknya di sisi selatan Bukit Srandil. 
"Dua hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan. Soeharto datang malam 
hari hanya sekitar dua jam," kata Adi Suwarto. 
Menurut Romo Dijat, dibanding petilasan-petilasan lain, letak geografis Jambe 
memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh yang 
berperan besar dalam hidup. Petilasan Jambe Pitu yang letaknya di Desa Karangbenda, 
Kecamatan Adipala, sekitar 20 kilometer dari pusat kota Cilacap itu tempatnya memang asri. 
Tempo menyaksikan bagaimana lokasi petilasan diteduhi pohon-pohon akasia. 
Puluhan kera masih dapat kita lihat bergelantungan. Debur ombak Pantai Selatan dari 
bawah kaki bukit terdengar lembut. Dari puncak pebukitan memandang ke bawah dapat 
terlihat tepi laut. Pintu gerbang petilasan Jambe Pitu dibangun dari batu hitam candi. Untuk 
mencapai bangunan petilasan, pengunjung harus melewati jalan berlantai batu hitam 
sepanjang kira-kira 300 meter. Kompleksnya megah, luasnya sekitar 50 x 30 meter. Tembok 
setinggi dua meter mengeliling kompleks bangunan. 
Bangunan utama berupa rumah kecil. Di atas pintu masuk kita bisa melihat foto 
Raden Panji Soedijat Prawirokoesoema alias Romo Dijat. Di sebelahnya ada  bangunan 
 seperti balai-balai berlantai keramik putih. Inilah tempat Romo Dijat memberi petuah-
petuah bagi para murid. "Setiap Suro, Rama Dijat akan mencandra tahun yang akan datang," 
kata Toto Raharjo. Ia yaitu  cucu Mbah Tomo, juru kunci yang meninggal pada 1997. 
Bangunan lainnya berbentuk rumah dengan empat kamar besar berlantai keramik 
warna hijau tua. Ini yaitu  kamar-kamar bagi Soedjono dan lingkarannya. dahulu , kenang 
Budya, Soedjono dan teman-temannya sering berdialog dengan dhawuh dan berdiskusi 
sampai pagi. Semua dhawuh direkam dan dicatat, bahkan diterbitkan sebagai buku 
kumpulan dhawuh yang diedarkan di kalangan terbatas. Budya masih menyimpannya 
sampai sekarang. 
 
Soedjono Hoemardani meninggal dunia pada 1986. Soeharto menghadiri 
pemakamannya. "Saya melihat mata Pak Harto mbrebes mili (berkaca-kaca)," kata 
Budyapradipta. Ia jarang melihat Soeharto menangis di depan umum. Itu tandanya ia sangat 
kehilangan sahabat seperguruannya itu. Apalagi, sebelumnya para rama, guru-guru 
utamanya, juga meninggal. 
Banyak kalangan dari dunia kebatinan Jawa melihat, sesudah  kematian Soedjono 
Hoemardani, Soeharto seperti kehilangan arah. "The Smiling General" itu seperti jalan 
sendiri tanpa sahabat dekat. Dari kejawen ia lalu tiba-tiba terlihat mendekati Islam. Bagi 
sebagian orang Jawa, tindakan Soeharto itu seperti keluar dari rel yang sudah  digariskan. 
Budi Kusumo Putro, putra Rama Dijat, berkisah, sebelum Soeharto berniat menjabat 
presiden untuk periode ketiga, pada 1982, Rama Dijat sudah mengingatkan agar Soeharto 
mengurungkan ambisinya. Namun, Soeharto ngotot agar diizinkan menjadi presiden dan 
memohon agar Romo Dijat memintakan "restu" kepada Tuhan Yang Maha Esa. 
Atas permintaan itu, akhirnya Romo Dijat melakukan laku (tirakat) melakukan 
perjalanan ke segenap penjuru Nusantara selama kurang lebih satu tahun. Di berbagai 
tempat ia melakukan meditasi. "Ayah mendapat wisik, Soeharto bisa menjadi presiden, 
namun hanya untuk satu periode lagi," tuturnya. Hasilnya itu disampaikan kepada Soeharto. 
Tempat yang dipilih untuk menyatakan persoalan penting itu yaitu  di rumah ayah Romo 
Dijat di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten. Sebuah pilihan simbolis, sebab  
itulah tempat untuk pertama kali Soeharto bersedia menjadi murid Rama Dijat. 
Pada 1984, Romo Dijat meninggal. Toto Iriyanto, putranya yang lain, menceritakan, 
pada pertengahan 1987 saat proses pemilihan umum berlangsung, saat melaksanakan 
tahajud, dia merasa mendapat wisik dari almarhum ayahnya. "Tulung kandanono kadangmu 
Soeharto (tolong kasih tahu saudaramu Soeharto)." 
Inti wisik itu memperingatkan agar Soeharto lengser. Toto diperintahkan agar  menemui Soeharto dengan membawa jantung pisang raja, jeruk Bali, dan  kelapa gading 
 (kelapa kuning). Jantung pisang raja yaitu  simbol kekuasaan, jeruk bali simbol agar 
kekuasaan itu dikembalikan, kelapa gading yaitu  simbol masa keemasan. "Intinya, 
Soeharto harus menanggalkan kekuasaannya di saat masa keemasannya," tutur Toto. 
Toto mulanya ragu menyampaikan pesan itu, namun akhirnya Toto berkeyakinan 
harus datang ke istana. Selang beberapa hari, berangkatlah Toto menemui Soeharto di 
istana seorang diri. Toto hampir tak lolos dari pemeriksaan Pasukan Pengaman Presiden. 
Beruntung saat itu Soeharto sedang keluar dari pintu utama istana hendak masuk ke dalam 
mobil. Sambil mengisap cerutu, Soeharto langsung melambaikan tangannya kepada Toto. 
Rupanya Soeharto masih mengenali wajah putra gurunya. 
Keduanya terlibat dalam percakapan singkat dalam bahasa Jawa. Toto langsung 
menceritakan dirinya mendapat wangsit agar menyerahkan tiga simbol itu kepada 
Soeharto. Soeharto pun menerima baki berisi jantung pisang raja, jeruk bali, dan kelapa 
gading. "Wis tak tampa (saya terima)," kata Soeharto. Toto segera pamit pulang tanpa 
masuk istana. Soeharto pun bergegas melaju dengan mobil. 
Ternyata Soeharto tidak mengindahkan "pesan" itu. Ia terus menginginkan 
tampuk kekuasaan. Kita tidak tahu sejauh mana relevansi kebenaran wisik itu. namun  tahun-
tahun itu sepak terjang bisnis putra-putrinya mendapat sorotan yang kian tajam. Soeharto 
seperti lupa daratan. Sampai terjadilah krisis moneter dan pada 1998 ia lengser. namun  itu 
sudah terlambat. Banyak yang menganggap, jika  ia menaati pesan para gurunya itu, di 
saat tahun-tahun terakhir hidupnya Soeharto akan lebih selamat. 
soeharto nama yang sangat akrab bagi penduduk kawasan Pegunungan Dieng, 
Wonosobo, Jawa Tengah. Soeharto pernah bersemadi di Gua Semar-salah satu gua 
yang terletak di Dieng-sebelum menjadi presiden. Di gua itulah ia memperoleh 
wangsit menjadi pemimpin. 
Gua Semar atau Gua Mandala Sari, yaitu istana Begawan Sampoerna Djati (Semar), 
berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Letaknya di antara 
kawasan pariwisata. Gampang dijangkau-satu jam perjalanan dari alun-alun Wonosobo-namun  
tak mudah memasukinya. Dengan kata lain, harus menempuh rantai izin yang panjang. 
Pertama-tama, Tempo minta izin ke sang juru kunci. Sang guru kunci itu harus minta izin ke 
beberapa sesepuh sakti di perkampungan itu. sesudah  semua terpenuhi, barulah keluar 
cerita dari mulut Rusmanto, juru kunci Gua Semar. 
Sebelum sampai ke Gua Semar, tutur Rusmanto, Soeharto sudah  melakukan 
serangkaian pertapaan: di Gua Jambe Lima dan Gua Jambe Pitu, lalu Gua Suci Rahayu di 
kawasan Gunung Selok, Cilacap, Jawa Tengah. "Di Suci Rahayu itulah Soeharto melakukan 
penyucian awal," kata Rusmanto. 
Langkah selanjutnya, bertapa ke Gunung Srandil, masih di Cilacap. Gunung di tepi 
pantai itu dikenal sebagai tempat khusus untuk ziarah. Di sanalah dimakamkan para leluhur 
tanah Jawa: Eyang Agung Heru Cokro, Eyang Sukmo Sejati, Eyang Kaki Tunggul Sabdo Jaati 
Doyo Amongrogo, Nini Dewi Tanjung Sekar Sari, dan Eyang Lalangbuono atau yang lebih 
terkenal disebut Ismoyo Ratu. 
Dari sana, Soeharto melanjutkan tapa di Gunung Lawu, tempat menghilangnya raga 
Raja Brawijaya. Empat tahap pertapaan, di Argo Dalam, Argo Tumila, Argo Piruso, dan Argo 
Tiling. sesudah  itu, ia bertapa lagi di sebuah gunung kecil di Kecamatan Bobotsari, 
Purbalingga, Jawa Tengah. Selain bertapa, di gunung itu juga ada acara nyekar di 
makam Syekh Jamu Karang. "Barulah sesudah  itu, lokasi terakhir pertapaan dilakukan di 
kawasan Dieng," ucap Rusmanto. 
saat  Soeharto datang, keadaan  Dieng belum sebagus sekarang. Jalannya berbatu-
batu, menanjak dan berlubang. Menurut Rusmanto, Gua Semar istana terakhir Mandala Sari 
alias Semar. Di gua itulah Semar bersemadi abadi sesudah  pertapaan di berbagai tempat. 
Menurut kepercayaan, urut-urutan pertapaan di tanah Jawa selalu berakhir di kawasan 
Dieng. 
Rusmanto tak langsung mengantar Soeharto bertapa. Ia mendapat cerita yang 
lengkap-tentang perjalanan tapa Soeharto-dari pamannya, Darmaji, yang saat  itu menjadi 
juru kunci. saat  bertapa, Soeharto hanya ditemani oleh juru kunci Darmaji. Para 
pengawalnya menunggu pada jarak yang agak jauh. Sebelum bertapa, Soeharto harus 
melakukan bimolukar, atau mandi lulur untuk menghilangkan nafsu angkara murka. 
Dari Gua Semar, Soeharto mandi di Telaga Warna, telaga yang melambangkan empat 
nafsu yang harus dikendalikan: lawamah, amarah, sufiyah, dan mutmainah. Dan 
pengendalian nafsu itu dilakukan di Gua Jaran, gua yang terletak di sebelah utara Gua 
Semar. Disebut jaran (kuda) sebab  gua itu, menurut cerita leluhur di Dieng, awalnya yaitu  
jaran milik Resi Kendali Seto yang bertujuan mengendalikan nafsu manusia yang ada di 
aliran hitam dan putih. 
Gua selanjutnya yaitu  Gua Sumur. Sedikit lebih lebar dari Gua Semar, dan memiliki 
sumber air yang tingginya stabil. Musim hujan atau kemarau, volume airnya tetap. Sumber 
air di gua itu juga disebut air kehidupan. Dari penghuni Gua Sumur Soeharto 
mendapat petunjuk: jangan ragu untuk pasrah kepada Sang Kuwasa (Yang Kuasa), agar 
selalu dilindungi atau disembuhkan dari berbagai penyakit. 
Soeharto menutup perjalanan tapanya di Kawah Si Kijang, simbol hewan yang bisa 
dijadikan contoh bagi manusia atas kepintaran dan rasa rendah hatinya. Dilanjutkan ke 
Kawah Sileri, kawah yang mengajarkan agar orang hidup untuk tidak melanggar empat 
wewaler (aturan), yakni aturan keluarga, masyarakat, negara, dan Tuhan. Dan dua tahap 
selanjutnya yaitu  menuju Sumur Jolotundo dan Kawah Condrodimuko. 
 30 April 1997. Dengan rasa tak percaya, KRH Soehadi Darmodipuro 
menyaksikan tayangan langsung di televisi. Hari itu semua stasiun meliput acara 
pernikahan Hutomo "Tommy" Mandala Putra dengan Ardhia Pramesti Regita "Tata" 
Cahyani. Hanya sejenak, budayawan Keraton Surakarta, Jawa Tengah, itu buru-buru 
mematikan televisi. 
Soehadi, 60 tahun, rupanya gamang menyaksikan keris yang dikenakan Tommy pada 
upacara pernikahan itu. Dia menganggap ganjil keris yang terselip di bagian punggung putra 
Soeharto itu. Itulah keris gayaman-khusus untuk perkabungan. "Saya nggak percaya," kata 
Mbah Hadi, begitu Soehadi biasa disapa. "Ini bisa berakibat celaka." 
Menurut Mbah Hadi, Tommy seharusnya memakai keris ladrangan-khusus untuk 
upacara pernikahan. Ia percaya, salah pakai, salah tempat, dan salah waktu ageman bisa 
membawa petaka. Tommy, kita tahu, lalu  memang masuk bui. Dan inilah yang 
dianggap Mbah Hadi sebagai "celaka". 
Toh, Mbah Hadi mencoba tak percaya. Dibukanya kitab primbon Jawa, mereka-reka 
hitungan pawukon. Tommy lahir Ahad Pahing, 15 Juli 1962, dan Tata Rebo Legi, 2 April 1975. 
Di situ tertulis, pasangan ini tidak jodoh. Keduanya bisa melahirkan satria wiring-sesuatu 
yang harus dihindari dengan menjalani ruwatan, atawa tolak bala. 
Perkara itung-itungan Jawa, Cendana juga tentu memiliki . Menurut Mas'ud Thoyib, 
Ketua Penghayat Kepercayaan, jika ketemu hitungan kurang baik, harus dibuatkan 
penangkalnya. "Dalam pernikahan Mas Tommy, penangkal itu dimasukkan dalam urut-
urutan ritual adat," kata Mas'ud, yang terlibat persiapan pernikahan. 
Ada satu permintaan Soeharto dalam menolak bala Tommy. Pemimpin Orde Baru itu 
minta digelar Bedaya Sanga-yang dibawakan sembilan anak dara. Maksudnya: agar rumah 
tangga Tommy dan Tata langgeng sejahtera. Masih banyak tetek-bengek tolak bala lain, 
seperti pemasangan bleketepe (sesaji buah-buahan di pintu), siraman, sampai midodareni. 
Mas'ud melihat Soeharto mengistimewakan Tommy. Ingatlah pada September 1965, 
saat  Tommy kecil tersiram sup panas dan sang ayah menungguinya di RSPAD Gatot 
Subroto. "Dari garis wajahnya juga Mas Tommy paling mirip Pak Harto," kata Mas'ud. 
Menyongsong pernikahan Tommy-Tata, Mas'ud yakin Soeharto menjalani ritual khusus 
nglakoni, antara lain meditasi dan puasa. 
Olah kebatinan memang hobi Soeharto. Mas'ud tahu betul, Soeharto sering nglakoni 
bareng paranormal Soedjono Hoemardhani, Mesran, Romo Marto, dan Romo Lukman-
keempatnya sudah mendahului ke alam baka. Mereka ini generasi pertama lingkaran 
kebatinan Soeharto. 
Putra Mesran, Pungky, membenarkan ayahnya sering menemani Soeharto nglakoni. 
Suatu saat , contohnya , Soeharto menapak tilas jejak spiritual Panembahan Senopati. 
Sebelum meditasi, Soeharto juga menjalani tirakat 40 hari. 
Sejak para sesepuh itu meninggal, Soeharto nglakoni sendiri. Ia, konon, sudah 
mencapai ilmu tertinggi, Gondelan Kayon-pasrah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Soeharto 
nglakoni suaraning asepi-bisikan terhening-untuk mendapat dhawuh atau petunjuk. "Pak 
Harto memiliki  ruangan meditasi di rumah Cendana," kata Mas'ud, yang mengaku pernah 
melihat ruangan itu. 
Paranormal Buanergis Muryono, yang juga terlibat dalam persiapan spiritual 
pernikahan Tommy, lain pula komentarnya. Sebelum pernikahan, katanya, Cendana sudah 
tahu pasangan Tommy dan Tata tidak cocok. "Berdasarkan perhitungan nama dalam aksara 
Jawa, bukan penanggalan," kata Muryono, yang berambut gondrong dan berpakaian serba 
hitam. 
Dua nama tadi bakal dipenuhi malapetaka: pegatan (cerai), apes (susah), bahkan 
mati. Penolak bala apa pun tak bisa menyatukan mereka. 
"Saya ini benar-benar kelahiran Desa Kemusuk dan memang anak petani dari Desa 
Kemusuk...." 
suara bariton Soeharto menguasai ruang kerja kepresidenan di Bina Graha, Jakarta, 
Senin siang pada pengujung Oktober 1974. Di dalam gedung di samping Istana Negara 
itu, Soeharto mengundang sekitar seratus wartawan dalam dan luar negeri. Acaranya, 
Soeharto menceritakan tentang silsilah riwayat hidupnya. 
Pertemuan yang juga dihadiri beberapa  pejabat teras saat itu memang langka. Boleh 
dibilang, hampir tak pernah terjadi Kepala Negara, yang pada dasarnya pendiam itu, 
membentangkan satu bagian dari sejarah hidupnya secara khusus kepada publik selama 
sekitar dua jam. Mengapa? 
Semua bermula dari artikel majalah POP yang terbit di Jakarta. Dalam edisi No. 17, 
Oktober 1974, POP-singkatan Peragaan, Olahraga, Perfilman-terbit dengan tulisan bertajuk 
Teka-teki Sekitar Garis Keturunan Soeharto. "Tulisan itu tidak saja merugikan saya pribadi, 
namun  juga keluarga dan leluhur saya," kata Soeharto di hadapan wartawan waktu itu. 
Tulisan lima halaman itu bercerita tentang silsilah riwayat hidup Soeharto. Kisahnya 
berbeda dengan silsilah yang ditulis dalam buku The Smiling General karya O.G. Roeder 
terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1969. Menurut artikel itu, Soeharto sebetulnya  anak 
seorang priayi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Priayi itu bernama R.L. 
Prawirowiyono, yang bergelar R. Rio Padmodipuro. 
Suatu hari, Rio terpaksa menitipkan istri dan anaknya kepada orang desa yang 
bernama Kertorejo, sebab ia harus menikah lagi dengan putri seorang wedana yang 
berpengaruh. Kala itu si anak, katanya bernama R. Soeharto, sudah  berusia 6-7 tahun. Ini 
sebuah tragedi yang sungguh menyedihkan, kata majalah itu mengutip ucapan seseorang. 
Sejak itu ayah, ibu, dan anak tak pernah mencoba saling berhubungan lagi. Hingga 
sang ayah meninggal pada 1962, ia tak sempat melihat wajah putranya yang sudah  
dibuangnya, yang tak lain-menurut majalah POP dengan nada pasti-yaitu  Soeharto, 
Presiden RI kedua dan penguasa Orde Baru. 
sebetulnya , sekitar dua tahun sebelum artikel POP itu terbit, bisik-bisik tentang 
"silsilah" itu mulai santer di Yogyakarta. Dan hasilnya tampaknya sudah  dikirimkan 
kepada Soeharto langsung. Seperti diungkapkan Soeharto di depan wartawan di Bina Graha 
pada 28 Oktober 1974, soal silsilah itu sudah  lama didengarnya. "Bahkan ada yang tulis surat 
kepada saya dalam bentuk cerita," katanya. 
Menurut Soeharto, isi ceritanya tentang seseorang yang kehilangan anaknya sejak 
kecil dan selalu dicari, sekarang ini bisa diketemukan. Bahkan anak itu sudah  memperoleh 
kedudukan tertinggi, menjadi presiden. Si orang tua yang mencari kini mengharapkan 
kedatangan anak itu untuk menerima warisan. 
Saat itu, Soeharto segera mafhum apa yang dimaksud. sebab  ia tahu siapa yang 
menulis surat itu (Soeharto tak menyebut nama), maka dijawabnya: gambaran bahwa dia si 
anak yang dicari dan lalu  ditemukan itu tak benar. "Saya yaitu  anak yang dilahirkan 
di Desa Kemusuk," katanya menegaskan. 
Soeharto lalu menceritakan kisah hidupnya. Katanya, ia dilahirkan pada 8 Juni 1921 
di Desa Kemusuk, sebuah desa terpencil di wilayah Argomulyo, Godean, sebelah barat Kota 
Yogyakarta. Ibunya bernama Sukirah. Sedangkan ayahnya, Kertosudiro, yaitu  ulu-ulu atau 
petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama 
memikul tugasnya itu. "Beliau yang memberi nama Soeharto kepada saya." 
Kertosudiro, menurut keterangan Soeharto, seorang duda beranak dua. Jadi, ia anak 
ketiga dari Kertosudiro dengan ibu Sukirah. Hanya, hubungan Kertosudiro-Sukirah ternyata 
kurang serasi sehingga, begitu Soeharto lahir, orang tuanya bercerai. Soeharto lalu  
diasuh Mbah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang melahirkan, termasuk 
menolong kelahiran Soeharto. "Nama panggilannya yaitu  Mbah Kromo, adik kakek saya, 
Mbah Kertoirono," kata Soeharto. 
Beberapa tahun lalu  Ibu Sukirah menikah lagi dengan seseorang bernama 
Atmopawiro. Pernikahannya itu melahirkan tujuh orang anak: Sukiyem, Sucipto, Nyonya 
Haryowiyatmo, Probosutejo, Suminah, Suwito, dan Nyonya Suharjo. Sedangkan ayah 
Soeharto juga menikah lagi. Dan dari pernikahan yang ketiganya itu ia mendapat empat 
anak lagi: Nyonya Harsono, Santoso, Nyonya Juhron, dan Nyonya Tubagus Sulaeman. 
Begitulah Soeharto mengisahkan sejarah hidupnya. Waktu itu, silsilah versi resmi 
Soeharto itu dibagi-bagikan kepada para wartawan. Yang jelas, dalam pandangan Soeharto, 
tuduhan yang dimuat POP itu bisa menimbulkan perdebatan dan perbedaan serius dalam 
masyarakat. Sebab, tuduhan itu memberikan kesempatan yang baik untuk subversi, 
mengganggu stabilitas nasional, dan akan mempermalukan bangsa. "Juga akan menciptakan 
ketidakpercayaan kepada pemimpinnya," Soeharto menandaskan. 
namun , benarkah artikel dalam majalah POP itu gosip belaka? Dalam persidangan di 
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Januari 1975, Rey Hanityo, Pemimpin Redaksi dan 
Penanggung Jawab POP, menyodorkan pembelaan. Katanya, artikel tentang silsilah riwayat 
hidup Soeharto itu merupakan hasil penelitian wartawan POP dari sumber berita yang dapat 
dipercaya. Dan tulisan itu sedikit pun tak bermaksud menghina presiden. Itu sekadar 
menyumbangkan tulisan untuk bahan perbandingan antara versi majalah POP dan buku The 
 Smiling General karya O.G. Roeder. Harapannya, "Pak Harto sudi menerimanya untuk jadi 
bahan baru," ujar Rey kepada Tempo saat itu. 
namun  Soeharto malah berang. Ia membantah semua yang ditulis POP. Dan majalah itu 
pun dibredel: Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dicabut. Rey Hanityo-yang asal Tegal, 
Jawa Tengah-dijebloskan ke penjara. Tamatlah riwayat majalah dwi-mingguan itu. Padahal, 
tulisan itu seharusnya bersambung pada edisi berikutnya. 
Tempo mencoba menyibak misteri di sekitar silsilah Kemusuk itu. Romo 
Satroatmojo, abdi dalem juru serat keraton, sekaligus ipar R. Rio Padmodipuro, 
mengungkapkan bahwa ia menyaksikan langsung kelahiran Soeharto. Menurut dia, 
Soeharto merupakan anak bekel (abdi dalem) Prawirowiyono, yang lalu  bergelar R. 
Rio Padmodipuro, dari istri pertamanya: Sukirah. 
Pada usia 0-7 tahun, Soeharto tinggal di belakang Jayeng Prakosan di Suronatan, 
Yogyakarta. sesudah  itu, Soeharto kecil lalu  diboyong ke Desa Kemusuk. namun  sayang, 
ayahnya melupakannya dan tak pernah mengirimkan nafkah sebab  takut kepada 
mertuanya, Jayeng Prakosa, yang saat itu memiliki  kekuasaan besar dan memiliki  
kedekatan dengan Sultan Hamengku Buwono VII, sebagai raja saat itu. 
sesudah  Soeharto diungsikan ke Kemusuk, beberapa kali kakak Rio, RA Martopuro, 
menengoknya. Bahkan ia ingin memboyong Soeharto ke rumahnya, di Ndalem Notoprajan, 
namun ditentang adiknya, Jayeng Turangga. usaha  RA Martopuro itu sebetulnya  juga 
atas keinginan Rio, agar ayah-anak itu tak kehilangan jejak. "Rio, yang pendiam dan takut 
pada istri kedua dan mertuanya, akhirnya mengalah diam," ujar Romo Sas, panggilan 
akrabnya, kepada Tempo yang menemuinya dua tahun sebelum ia meninggal pada 2004. 
Kisah serupa dituturkan Romo Gayeng. Menurut dia, ayahnya, Raden Mas 
Purbowaseso (dahulu  juga dipanggil Romo Gayeng), pernah menceritakan riwayat Soeharto. 
"Kesaksian itu dimuat majalah POP edisi Oktober 1974," katanya saat ditemui di rumahnya 
di Kampung Jambu, Yogyakarta, Agustus 2001 lalu. 
Ayah Romo Gayeng, RM Purbowaseso, yaitu  kakak kandung R. Rio Padmodipuro. 
saat  Soeharto lahir, R. Rio Padmodipuro masih berpangkat bekel (abdi dalem) dan 
bernama R.B. Prawirowiyono. sesudah  menikah, ia tinggal di Kampung Suronatan sampai 
lahirnya Soeharto. 
Kelahiran Soeharto ternyata tak membawa kebahagiaan bagi Sukirah, sebab  
Prawirowiyono diambil menantu oleh Mas Wedono Jayeng Prakosa, seorang wedana 
keraton yang dekat dan disayang Sri Sultan Hamengku Buwono VII. "Pengaruh Jayeng 
Prakosa yang sangat kuat membuat Prawirowiyono tak berani menolak." 
Takut akan mempengaruhi kedudukannya, ia mengungsikan istri dan anaknya 
(Soeharto) yang masih kecil ke sebuah rumah di belakang Jayeng Prakosan. Walau sudah  disembunyikan, akhirnya tetap tercium oleh istri keduanya. sebab  bingung, ia 
mengungsikan istri pertama dan anaknya ke luar kota, di rumah seorang kenalannya yang 
memiliki  jabatan ulu-ulu di Desa Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, bernama Kertorejo. 
"Pada waktu itu umur Soeharto baru sekitar 6-7 tahun," ia menjelaskan. 
Begitulah. Mungkin yang cukup menarik yaitu  pernyataan Sumitro 
Djojohadikusumo dalam otobiografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Menurut 
Sumitro, dalam acara lamaran Prabowo-Titiek, Soeharto pernah berkisah tentang masa 
kecilnya. Katanya, sewaktu berusia sepuluh tahun, "Soeharto menjadi rebutan antara orang 
tua angkatnya dan ayah kandungnya yang berasal dari lingkungan keraton." 
Bila pernyataan Sumitro itu benar, jelaslah bahwa Soeharto memang pernah 
keceplosan bicara tentang dirinya yang memang keturunan seorang priayi keraton. Jadi, ia 
bukan anak petani dari Kemusuk seperti selama ini dikemukakannya. Soalnya: mengapa ia 
keberatan mengaku sebagai keturunan keraton dan memilih menyebut diri anak petani? 
Adakah hubungannya dengan jabatannya sebagai presiden, yang tentu lebih "dramatis" jika 
presiden datang dari rakyat kebanyakan? 
 dalem Kalitan tiba-tiba berubah jadi beku. Rumah joglo kuno yang terletak hanya 
sekitar 100 meter dari jalan protokol Slamet Riyadi yang membelah Solo itu seperti 
tercekat. Beberapa orang menangis. Tak terkecuali Soeharto, Presiden Indonesia 
kala itu. laki-laki  yang dijuluki sebagai orang terkuat di Asia menurut versi majalah Asiaweek 
itu tampak kuyu. Berulang kali pria berbaju hitam-hitam itu mengusap air mata yang 
membasahi pipi. Apalagi, saat peti mati dari kayu jati berpelitur cokelat itu mulai berangkat 
menuju pemakaman, Pak Harto makin terpekur. 
"Selamat jalan, Ibu. Kami selalu bersamamu dalam doa," ucap Siti Hardijanti 
Rukmana, putri sulung Soeharto, setengah berbisik, sembari terisak. 
Senin, 29 April 1996, yaitu  Senin kelabu buat keluarga Soeharto. Raden Ajeng Siti 
Hartinah, istri Soeharto, dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, di kaki Gunung 
Lawu, sekitar 30 kilometer dari Ndalem Kalitan. Ibu Tien-begitu ia biasa dipanggil-meninggal 
sehari sebelumnya pukul 05.10 pagi di Rumah Sakit Pusat Pertamina-rumah sakit yang 
menjadi proyek mercusuar di masanya. Penyebabnya? Pernyataan resmi Istana 
menyebutkan, wanita berlesung pipit itu meninggal sesudah  terkena serangan jantung pada 
subuh di Hari Raya Idul Adha itu. 
Kepergian Hartinah yaitu  pukulan godam terberat bagi Soeharto. Banyak intrik, 
juga musuh-musuh politik yang sudah  dihadapi laki-laki  ini. namun , saat itu, tiada cobaan seberat 
meninggalnya Hartinah. Pernikahan mereka sudah berumur 49 tahun. Di antara laki-laki  dan 
perempuan tua selalu ada sesuatu yang tersambung, saling menguatkan. 
Wafatnya Ibu Tien, menurut R.E. Nelson dalam bukunya, Suharto, Sebuah Biografi 
Politik, tidak hanya membuat Soeharto kehilangan pendamping hidup. Ia juga kehilangan 
sang "penjalin jaringan, penyusun strategi, pengawas Soeharto sekaligus pendisiplin anak-
anaknya." 
Hartinah bukanlah first lady yang cuma sibuk gunting pita atau berpidato sana-sini. 
Banyak ide besar yang lahir dari Hartinah yang mengukuhkan posisi Soeharto. Pertemuan 
Soeharto dengan para konglomerat di Istana Bogor di penghujung Maret 1996 yaitu  salah 
satu buktinya. Hartinahlah penggagasnya. Waktu itu langit Bogor biru cerah. Ratusan 
pengusaha papan atas memadati Istana Bogor yang putih bersih. sesudah  gamelan Sunda 
dan pertunjukan tari Jaipongan dari Siti Hardijanti Rukmana menghibur orang-orang terkaya 
di Nusantara itu, Hartinah mengajak para pengusaha top menyumbang. Hasilnya, hanya 
dalam hitungan jam, Ibu Negara itu berhasil menjala dana Rp 9,7 miliar dari 246 pengusaha. 
Dana itu akan disalurkan Panitia Dana Gotong Royong Kemanusiaan, yang jabatan ketuanya 
dipegang oleh dirinya, sementara Soeharto yaitu  pelindungnya, untuk korban banjir di  Bandung Selatan. 
Jauh sebelum itu, wanita berdarah ningrat-ayahnya yaitu  buyut dari Mangkunegara 
III, bangsawan Keraton Solo-itu juga menggagas pendirian Rumah Sakit Jantung Harapan 
Kita, menciptakan senam kesegaran jasmani yang diwajibkan di sekolah dan kantor 
pemerintah, mendesakkan larangan berpoligami untuk pegawai negeri bersama para 
nyonya pejabat tinggi, sampai munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, 
dan  melahirkan Taman Mini Indonesia Indah yang kontroversial. 
Taman Mini salah satu proyek kontroversial yang lahir dari gagasan Hartinah. Pada 
akhir Desember 1971 itu penduduk Ceger, Jakarta Timur, bergolak. Mereka protes sebab  
100 hektare tanah penduduk yang tergusur untuk proyek mercusuar itu hanya dihargai Rp 
60 sampai Rp 100. Padahal, saat itu harga tanah di kawasan itu Rp 350. 
Mahasiswa juga meradang sebab  proyek itu bertentangan dengan Gerakan 
Penghematan yang dicanangkan sendiri oleh Soeharto. "Biayanya Rp 10,5 miliar sama 
dengan pembangunan tujuh kampus universitas sebesar Universitas Gadjah Mada," kata 
Todung Mulya Lubis, yang waktu itu masih menjadi mahasiswa tingkat II Fakultas Hukum 
Universitas Indonesia. 
Namun, Hartinah santai saja menanggapi protes itu. Ia tak datang memenuhi 
panggilan DPR dengan alasan "capek baru datang dari luar negeri". Ia hanya berujar, 
"Mumpung saya masih hidup." Ibu ini mendapat ide itu sesudah  mengunjungi 
Disneyland (Amerika Serikat) dan Timland (taman mini di Thailand). Soal biaya dia juga tak 
pusing. Rumah-rumah adat di Taman Mini itu dibangun atas "sumbangan" pemerintah 
daerah. Besarnya Rp 100 sampai 200 juta per anjungan. Namun, banyak provinsi yang 
mengeluh tak memiliki  bujet. 
Protes-protes itu diserang balik oleh Soeharto. Pada saat berpidato tanpa teks saat 
meresmikan Rumah Sakit Pertamina, ia menuduh para pengkritik itu mengganggu stabilitas 
nasional. "Saya akan menghantam siapa saja yang melanggar konstitusi," katanya. sesudah  
itu, beberapa tokoh seperti Arief Budiman, redaktur Sinar Harapan Aristides Katoppo, dan 
Haji Johanes Princen masuk bui. 
Soal antipoligami juga bukan rahasia. Dari pejabat tingkat tinggi sampai rendahan 
semua tak berani beristri dua (secara resmi) sebab  peraturan keras dari istri presiden ini. 
Tak mengherankan bahkan Soeharto sendiri dalam biografinya menyatakan, "Hanya ada 
satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan 
yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto." 
Campur tangan Hartinah pada urusan Soeharto bukan semata-mata urusan proyek 
mercusuar. Ia juga mengurusi menteri-menteri. Mantan Menteri Riset dan Teknologi B.J. 
Habibie pernah bercerita pada Tempo. Katanya, Nyonya Tien Soeharto pernah mengkritik 
kantornya. "Habibie itu tak benar, masak kamarnya kayak gudang. Mbok diatur dengan 
baik," ujar Hartinah. Untung, Soeharto tak terlalu menanggapi soal itu. "Ah, nggak usah, 
yang penting Habibie kerasan duduk di situ, dan terus mendapat ilham. Jadi, jangan 
diganggu," kata Soeharto, seperti diungkapkan Habibie. 
Hartinah dan Soeharto yaitu  sejoli yang kompak walaupun mereka pernah 
bertengkar beberapa kali, salah satunya sebab  urusan anggrek dan bayi. Bagi perempuan 
yang lahir 23 Agustus 1923 di Jaten, dusun di pinggir jalan Solo-Tawamangu, Jawa Tengah, 
itu Soeharto yaitu  pria impian. Itu terjadi sejak 1947. Sebelum dia dilamar, Hartinah tak 
pernah kenal Soeharto. Namun, dalam mimpi ia pernah bertemu sesosok pemuda ganteng 
memakai jaket tentara. Dalam mimpinya itu, pemuda itu merangkul mesra dan memakaikan 
jaketnya ke badan Hartinah. "Aneh namun  benar, wajah tentara yang gagah itu mirip dengan 
foto kecil yang diperlihatkan Ibu (sebelum lamaran)," tulis Abdul Gafur dalam bukunya, Siti 
Hartinah Soeharto-Ibu Utama Indonesia, mengutip pernyataan wanita yang dahulu  harus 
berjualan batik sebab  kecilnya gaji Soeharto itu. 
Sejak itulah anak pasangan Raden Mas Soemoharjomo dan Raden Ajeng Hatmanti 
itu selalu menemani Soeharto. "Siti Hartinah Soeharto yaitu  sahabat Presiden (Pak Harto) 
yang paling sangat dipercaya," kata Dr. O.G. Roeder dalam buku Presiden Soeharto Anak 
Desa keluaran 1969. Hampir semua penampilan Presiden Soeharto di depan umum selalu 
didampingi wanita yang bercita-cita menjadi dokter itu. 
Kegiatan Hartinah makin hari makin bertumpuk. beberapa  jabatan ketua di berbagai 
yayasan, dari yang mengurusi jantung, pariwisata, sampai yang mengurusi buah-buahan dan 
empon-empon, disandangnya. Hingga, akhirnya, pada April 1996 dia mengeluh capek. Istri 
yang sering mengkritik Soeharto ini, menurut Nelson dalam buku Soeharto, Sebuah Biografi 
Politik, sebetulnya  sudah ingin pensiun sejak 1980-an dan tak senang Soeharto 
mencalonkan diri lagi. 
"Wah sudahlah, sekarang ini saya sudah tua, sudah mau menikmati sisa-sisa hidup 
saja," kata wanita yang saat itu berusia 73 tahun saat ia diminta menjadi penasihat sebuah 
yayasan, dua pekan sebelum ia meninggal. 
Rupanya, itu harapan yang tak sampai. Pada 28 April 1996, Hartinah, wanita 
multiperan-Ibu Negara, istri, ibu, nenek, buyut, dan pengelola aneka yayasan-itu 
mengembuskan napas terakhir. Tim dokter kepresidenan menemukan gumpalan darah di 
pembuluh kakinya, yang kemungkinan juga sudah  menyumbat jantungnya. 
Ia akhirnya kembali ke rumah tetirahnya, Ndalem Kalitan yang bisu, sebelum 
akhirnya dimakamkan di kaki Gunung Lawu. Sang Tukang Kritik sudah  pergi. "Kematian Ibu 
Tien itu membawa dampak musnahnya pengawasan atas kecenderungan abadi Soeharto 
untuk menjagokan kepentingan bisnis anak-anaknya," kata Nelson. Sejak kejadian itu, "Tidak 
banyak yang ingin ia perjuangkan selain mempertahankan cengkeraman kekuasaannya." 
R. William Liddle 
Profesor ilmu politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS 
residen Soeharto yaitu  seorang diktator yang tanpa sengaja namun   dalam banyak 
hal memuluskan proses demokratisasi di negerinya. Saya tidak tahu bagaimana 
kenyataan ini akan dinilai kelak oleh para sejarawan, yang biasanya lebih 
mementingkan intention (maksud) ketimbang outcome (hasil). namun   sebagai pengamat 
lama yang dahulu  tidak pernah percaya bahwa pemerintahan Orde Baru yang otoriter akan 
disusul langsung oleh pemerintahan yang demokratis dan  stabil, saya merasa perlu 
menguraikan peran Soeharto dalam proses ini. 
Pertama dan mungkin terutama, para pemimpin TNI sudah  dikebiri selaku aktor 
politik sejak Benny Moerdani dipecat sebagai Panglima ABRI pada 1987. sesudah  itu 
Soeharto tidak pernah membiarkan satu perwira tinggi menjadi terlalu kuat. Soeharto 
menyeleksi langsung perwira muda untuk menjadi ajudannya, lalu ia menjamin kesetiaan 
mereka dengan kebijakan promosi dan kenaikan pangkat yang cepat. Lagi pula, Soeharto 
mempertentangkan para perwira tinggi, seperti menantunya Prabowo Subianto dan bekas 
ajudannya Wiranto, agar salah satu tidak bisa bertindak sendiri atas nama ABRI. 
Hasilnya yaitu  sebuah tentara yang tidak berdwifungsi lagi, yang tidak bisa 
bergerak sebagai kekuatan utuh di bawah kepemimpinan tepercaya. Maka, ramalan saya 
dahulu  bahwa Soeharto akan disusul oleh orang kuat lain, seperti Park Chung Hee di Korea 
disusul oleh Chun Doo Hwan, tak terwujud. Vakum politik yang diwariskan oleh kebijakan 
militer Soeharto justru diisi dengan orang sipil yang lemah namun   prodemokrasi: B.J. Habibie 
(yang langsung menawarkan pemilu demokratis sebagai taktik politik untuk menyelamatkan 
jabatannya), Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri. 
Kedua, seraya mencari pengabsahan bagi kekuasaannya, Soeharto menciptakan 
sebuah dunia fantasi yang kini menjadi realitas. Dunia itu terdiri dari lembaga-lembaga sok 
demokratis, asli namun  palsu, yang saat  beliau lengser keprabon bisa bertiwikrama menjadi 
lembaga demokratis sejati. Mulai 1971 sampai dengan 1997 pemilihan umum diadakan 
setiap lima tahun di tiga tingkat pemerintahan (bandingkan dengan periode Demokrasi 
Terpimpin, saat  tak ada pemilu sama sekali). 
Dua partai politik, masing-masing dengan akar sosio-budaya (Islam dan 
nasionalisme) yang kuat, diperbolehkan bersaing dengan Golkar, partai negara yang 
diciptakan Soeharto. Di antara masa-masa pemilu, wakil rakyat bersidang secara teratur di 
MPR, DPR, dan DPRD-DPRD. Tentu saja, di belakang layar, Soeharto atau agennya 
menyelewengkan semua lembaga ini. sesudah  Soeharto turun, dalam suasana politik yang 
serba kacau dan menakutkan (mengingat apa yang terjadi pada 1965?1966) lembaga-
lembaga itu dimanfaatkan kaum reformis sebagai jembatan yang mampu membawa 
mereka ke dunia yang dicita-citakan. Pemilu 1999 yaitu  pemilu demokratis pertama sejak 
1955, namun   secara teknis tidak banyak berbeda dengan pemilu-pemilu Orde Baru yang 
sama sekali tidak demokratis. 
Ketiga, sistem pemerintahan Soeharto yaitu  sistem otoriter, bukan totaliter seperti 
di Uni Soviet. Hal itu berarti bahwa masih ada ruang untuk bergerak, meskipun sering 
dibatasi, buat organisasi masyarakat madani dan juga pers swasta, dua jenis lembaga sosial 
yang melatari setiap negara demokratis modern. Organisasi agama, contohnya  Nahdlatul 
Ulama dan Muhammadiyah, betul-betul memanfaatkan kesempatan itu dan bertambah 
besar, terorganisir, berakar, dan berpengaruh selama Orde Baru. Organisasi yang sering 
menantang pemerintah, seperti LBH atau Walhi merupakan sekolah perjuangan yang 
berharga bagi anggotanya  saat  posisi Soeharto digoyang krisis moneter 1997?1998. Pers 
swasta, terutama Tempo dan Kompas, merupakan alat pendidikan yang tak ternilai 
harganya tentang segala segi kehidupan modern, termasuk demokrasi, selama puluhan 
tahun. 
Warisan terakhir yaitu  tawaran rekonsiliasi yang disampaikan Soeharto kepada 
beberapa kelompok masyarakat yang pernah dikucilkan. Masyarakat Indonesia yaitu  
masyarakat majemuk (seperti India atau Amerika), yang berarti bahwa setiap kelompok 
besar perlu diberi tempat yang layak. Pada pertengahan 1980-an Soeharto merangkul kaum 
Islam tradisional di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Kaum modernis menyusul 
beberapa tahun lalu , saat  kelahiran ICMI dibidani oleh Habibie, salah satu menteri 
favorit Soeharto waktu itu. 
Namun, rekonsiliasi tidak pernah ditawarkan kepada pendukung Partai Komunis 
Indonesia, yang dizalimi terus oleh Soeharto. Pada masa jayanya, pemimpin PKI berusaha 
mengusung aspirasi rakyat kecil. Mereka berhasil: PKI menjadi partai terbesar keempat 
dalam pemilu 1955. Setengah abad lalu , komunisme sudah mampus namun   
tuntutannya demi terciptanya kehidupan sosial yang lebih merata masih bergema. Dalam 
hal ini warisan Soeharto yang terpenting bagi rakyat kecil (ironinya saya akui) yaitu  
keyakinannya pada kekuatan pasar selaku pencipta utama lapangan kerja. Sayangnya, 
banyak politisi masih terpukau oleh teori populisme, warisan zaman Pergerakan yang tak 
mungkin memecahkan masalah ekonomi dan politik masa kini. 
Kesetiaan Ismail Saleh pada Soeharto ditunjukkannya tanpa tedeng aling-aling. 
Dialah yang susah-payah berusaha menemui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh saat  
Soeharto tergolek di RS Pertamina pada Mei 2006. Misi mantan Jaksa Agung ini hanya satu: 
meminta yuniornya itu mencabut pencekalan atas Soeharto. 
Dia juga ingin mempertanyakan alasan hukum kejaksaan menghidupkan kembali 
perkara korupsi penguasa Orde Baru itu. Dia gagal bertemu Abdul Rahman Saleh, namun   
misinya tak sepenuhnya gagal. Pencekalan Soeharto dicabut, dan penuntutan perkaranya 
dihentikan. 
Mas Is-demikian ia akrab disapa-menjadi orang kepercayaan Soeharto di bidang 
penegakan hukum selama berkuasa. Ismail pernah menjabat Jaksa Agung dan Menteri 
Kehakiman. Namun, namanya sudah mulai dikenal sejak bertugas di Sekretariat Negara 
pada tahun-tahun awal Orde Baru. 
Bukan sekali saja pria kelahiran Pati, 7 September 1926, ini menunjukkan 
pembelaannya kepada sang bos. saat  badai hujatan menghantam Soeharto, Ismail 
"pasang badan". Ia aktif menulis di berbagai media melakukan pembelaan. Kesetiaan itu 
juga ditunjukaan Ismail dengan sakit persis saat Soeharto jatuh sakit tahun 2006. Ceritanya, 
sepulang dari Kejaksaan Agung itu dia langsung menuju RSPP, menengok Soeharto. namun  , 
sebab  tergesa-gesa, ia tersandung dan jatuh. Akibatnya, kaki kirinya patah dan ia mesti 
dirawat di sana. 
saat  Soeharto kritis dua pekan lalu, Ismail memohon kepada Presiden Yudhoyono 
mengembalikan nama baik Soeharto dan mengubur dalam-dalam kesalahan yang pernah ia 
lakukan ter- hadap rakyat. "Mikul dhuwur men dhem jero," katanya. 
Haryono Suyono 
Tak Menghindar 
Bagi Haryono Suyono, tak pernah ada keraguan sedikit pun untuk tetap menjaga 
hubungan dengan Soeharto sesudah  lengser dari kekuasaannya. 
"Saya tak menghindar dari Pak Harto. Saya merasa tak pernah melakukan kesalahan 
selama menjadi menteri. Saat itu saya bekerja untuk rakyat," ujar pria kelahiran Pacitan, 6 
Mei 1938, itu kepada Tempo. 
Maka, ia selalu rajin datang ke pengajian yang digelar di Cendana, kediaman pribadi 
Soeharto. Ia juga datang untuk kepentingan lain. Salah satunya yaitu  melaporkan 
perkembangan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri), yang ia dirikan bersama 
Soeharto, Sudono Salim, dan Sudwikatmono. 
Menurut Haryono, kedekatannya dengan penguasa Orde Baru itu merupakan 
keniscayaan belaka. "Selama 13 tahun menjabat Kepala BKKBN, di antaranya merangkap 
sebagai menteri, bagaimana mungkin saya tidak dekat dengan Pak Harto?" kata dia. 
Kedekatan itu memang memiliki kisah panjang. Sepuluh tahun menjabat Deputi 
BKKBN, ia lalu diangkat menjadi Kepala BKKBN pada 1983. Hingga 13 tahun lalu  
Haryono berada di pos itu, ditambah dengan dua kali merangkap sebagai menteri. 
Pada 1997, saat  ia tengah berkampanye di Malang, mendadak ajudan Presiden 
menghubunginya minta ia segera menghadap Soeharto. Dengan perasaan kebat-kebit ia 
segera terbang ke Jakarta. "Saya sengaja memanggilmu untuk menemani aku ngobrol 
sambil makan singkong goreng ini," kata bosnya sembari tersenyum begitu bertemu. 
Mereka pun mengobrol ngalor-ngidul. 
Belakangan, Haryono merasa obrolan santai itu yaitu  bagian dari cara Soeharto 
mengujinya. Pada kabinet berikutnya, Haryono memang diangkat menjadi Menteri 
Koordinator Kesra Taskin. Ia kian menjadi andalan Soeharto saat  sukses memperjuangkan 
agar Indonesia memperoleh penghargaan kependudukan PBB pada 1988. 
Untuk semua itulah Haryono merasa layak tetap menjaga hubungan dengan 
Soeharto. 
Bustanil Arifin 
Menangisi tugas 
Bagi Bustanil Arifin, Soeharto memang tokoh yang mengesankan. Mantan Menteri 
Muda Urusan Koperasi/Kepala Bulog ini tak pernah lupa pada pertemuan mereka pada awal 
1950. "Kesan saya, Pak Harto yaitu  perwira yang baik dan rendah hati," tulis Bustanil 
dalam buku Di Antara Para Sahabat, Pak Harto 70 Tahun. Kesan itulah yang ia kenang 
sampai kini. 
Hubungannya kian dekat saat  Indonesia mengalami krisis beras pada 1965. Sebagai 
Pangkostrad, Soeharto memerintahkannya meyakinkan pemerintah Thailand agar 
memberikan pinjaman 20 ribu ton beras. Misinya sukses. Lalu Bustanil dipercaya menjadi 
deputi di Badan Urusan Logistik (Bulog) pada 1969. 
saat  diangkat sebagai Kepala Bulog pada 1973, pria kelahiran Padangpanjang, 
Sumatera Barat, 10 Oktober 1925, ini sempat menangis di hadapan Soeharto. Terbayang di   
matanya krisis beras yang belum juga usai. namun   sejak itu pulalah berbagai tugas yang lebih 
berat ia emban, yakni sebagai Menteri Muda Urusan Koperasi selama tiga periode. 
saat  rezim Orde Baru makzul, Bustanil tak kehilangan kesetiaan pada Soeharto. 
Sekurangnya, ia selalu hadir dalam setiap acara halal-bihalal di Cendana. 
Bustanil bersama Haryono termasuk orang-orang dekat yang berada di Lantai V 
Rumah Sakit Pusat Pertamina saat Soeharto menghembuskan nafas terakhirnya, Minggu 
(27/1) lalu. 
Sudharmono 
(1927-2006) Tak Menonjolkan Diri 
Kedekatan almarhum Sudharmono SH dengan Soeharto sudah teruji oleh waktu. Tak 
banyak yang tahu bahwa Pak Dhar-demikian ia biasa disapa-mengambil peran cukup 
penting dalam menutup lembar kejayaan Orde Lama. 
Pada 12 Maret 1966, sehari sesudah  keluarnya Supersemar, yaitu  Sudharmono yang 
memerintahkan pengetikan sebuah naskah bersejarah. Itulah surat yang menyatakan PKI 
sebagai partai terlarang. saat  itu Pak Dhar mengetuai Tim Operasionil Pusat Gabungan-V 
Komando Operasi Tertinggi (Koti). 
Lalu, empat dekade lalu  dia menjadi salah satu pilar kejayaan Orde Baru. Di 
pemerintahan, ia menjabat Sekretaris Negara hingga tiga periode. Karier birokratnya 
mencapai puncak saat menjabat wakil presiden (1988-1993). Sudharmono juga pernah 
menjadi Ketua Umum Golkar, mesin politik Orde Baru. Semua itu menunjukkan kepercayaan 
besar Soeharto pada pria kelahiran Gresik 12 Maret 1927 itu. 
Dengan serenceng jabatan penting itu, sebetulnya  Pak Dhar berpeluang tampil lebih 
ke depan. Namun, ia mampu menahan diri. ''Seorang yang bekerja dalam staf tidak boleh 
menonjolkan diri,'' ujarnya. 
saat  Orde Baru tutup buku pada 1998, letnan jenderal purnawirawan ini tak lari ke 
mana-mana. Dia tetap bekerja bersama dengan mantan bosnya. Ia dipercaya 
mengkoordinasikan tujuh yayasan yang didirikan Soeharto, yakni Dharmais, Supersemar, 
Dakap, Damandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Gotong Royong, dan Trikora. 
Pada 23 Januari 2006, Dharmono meninggal sesudah  dirawat di rumah sakit selama 
10 hari. Soeharto sempat membesuknya. 
Saadillah Mursyid 
(1937-2005) Setia sampai Akhir 
Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang 
jabatan presiden selalu mendekat-dekat, menjilat, dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto 
tidak lagi menjadi presiden, orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat, 
mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto." 
Pernyataan itu diucapkan (alm) Sa-adillah Mursyid saat  hari-hari Soeharto dipenuhi 
hujatan dan cacian para musuhnya. Pria kelahiran Kalimantan Selatan, 7 September 1937, 
ini memang dikenal loyal dalam berteman. Maka, ia tak meninggalkan Soeharto, meski 
kekuasaan tak lagi dalam genggaman pendiri Orde Baru itu. Ia tetap setia berkunjung ke 
Cendana. 
namun   Saadillah tak memiliki waktu lebih banyak menunjukkan kesetiaannya. 
Mantan Menteri Sekretaris Negara ini meninggal dunia pada 28 Juli 2005 akibat stroke. Pada 
saat itu Soeharto menyempatkan diri melayat ke rumah duka. Dia merasa wajib memberi 
penghormatan terakhir pada mantan anak buahnya yang setia itu. 
Meniti karier di jaringan birokrasi sebagai kurir kantor Sekretariat Negara di awal 
pemerintahan Orde Baru, Saadillah akhirnya mengisi pos terpenting di sana. Selanjutnya ia 
seperti ditakdirkan berada di samping Soeharto pada masa-masa sulitnya. 
Saadillah yang menulis konsep pengunduran diri Soeharto. Ia juga yang terus 
melaporkan detik-detik perkembangan genting pada Mei 1998 itu. saat  Soeharto sakit 
keras pada 1999, ia setia membesuknya. 
 Pada 1973, Presiden Soeharto mengirim surat ke Pramoedya Ananta Toer yang 
tengah diasingkan di Pulau Buru. Soeharto menyatakan kekhilafan yaitu  wajar. Maka 
kewajaran itu mesti dilanjutkan dengan kewajaran berikutnya, yakni kejujuran, keberanian, 
dan kemampuan menemukan jalan yang benar. 
Pram mesti menjalani pembuangan sesudah  Orde Baru muncul sebagai pemenang 
dalam prahara politik 1965. Sebagai anggota Lekra yang berafiliasi ke PKI-pihak yang kalah-
Pram akhirnya disurukkan ke penjara selama 14 tahun. namun   kesalahannya tak pernah 
dibuktikan di pengadilan. 
Begitu keluar pada 1979, tak berarti Pram leluasa melakukan aktivitas. Untuk 
beberapa lama ia menjadi tahanan rumah. Kediamannya juga diawasi intel. Dan, yang 
mengenaskan, buku-bukunya diberangus. 
Pada 30 April 2006, Pram meninggal dunia. Sampai akhir hayatnya Pram teguh pada 
sikapnya. Hal itu sesuai dengan surat balasan yang ia kirim kepada Soeharto, November 
1973. Pram menegaskan, "Orang tua mendidik saya untuk mencintai kebenaran, keadilan 
dan keindahan, ilmu pengetahuan, dan nusa bangsa...." 
Amien Rais 
Situasi matang yang memicu  Soeharto makzul dari kekuasaan pada 1998, salah 
satunya, berkat sepak terjang Amien Rais. Situasi sosial-ekonomi yang terus memburuk 
selama setahun terakhir menjelang Mei 1998 membuat Amien menegaskan sikap. "Saya 
siap memimpin people power jika dibutuhkan, dengan syarat tanpa pertumpahan darah," 
katanya pada Mei 1998. 
Sosok Amien tidak begitu saja mencuat ke panggung politik. Sejak diangkat sebagai 
Ketua PP Muhammadiyah (1995), ia banyak melancarkan kritik tajam. Amien termasuk figur 
yang pertama kali menggulirkan isu suksesi-wacana sensitif saat  itu (1993). "Saya didikte 
hati nurani saya," kata dia menanggapi keberaniannya. 
sesudah  itu kritiknya mengalir kencang, termasuk dalam masalah  Busang. Pada 1996 
Amien ikut menelurkan wacana perlunya reformasi di Tanah Air. Semua sepak terjangnya itu 
berujung pada lengsernya Amien dari Dewan Pakar ICMI (1997). 
saat  Indonesia diempas krisis ekonomi pada 1997, Amien bersama eksponen anak 
bangsa lain kian gencar menggulirkan isu reformasi. Bersama 50 tokoh nasional Amien 
membentuk Majelis Amanat Rakyat (MAR). Dalam jupa pers pada 14 Mei 1998, MAR 
menyerukan Presiden Soeharto segera mengundurkan diri. 
Perubahan lalu terjadi dengan cepat. Republik hamil tua. Dan pada 21 Mei Soeharto 
terjungkal sebab  kekuatan massa. Amien lalu  mendapat gelar Tokoh Reformasi. 
Budiman Sudjatmiko 
Perlawanan terbesar Budiman Sudjatmiko terhadap Orde Baru dan Soeharto yaitu  
mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Berdiri pada Juli 1996, partai ini mengusung 
asas sosialis demokratik. Budiman menjadi ketuanya. Sepekan sesudah  PRD lahir, bentrokan 
berdarah pecah di kantor PDI, Jalan Diponegoro. Bentrokan ini memicu kerusuhan di 
beberapa sudut Ibu Kota. Akibatnya, seperti dicatat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 5 
orang tewas dan 23 orang hilang. 
Pemerintah menuding PRD ada di balik kerusuhan itu. Maka aktivis PRD diburu, 
sehingga Budiman dan teman-temanya ditangkap. Budiman divonis pengadilan 13 tahun 
penjara sebab  dianggap bertindak subversif. Dari balik jeruji, Budiman terus melawan. Aksi 
mogok makan hingga menolak grasi ia lakukan. Dari penjara jugalah ia menjalankan partai. 
saat  Soeharto terjungkal dan penguasa baru lahir, Budiman tidak pernah melihat 
pemerintah serius mengadili kejahatan penguasa Orde Baru itu. Dan saat  Jaksa Agung 
mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) atas masalah  hukum Soeharto, 
dia meradang. "Pertimbangan kesehatan atau alasan kemanusiaan terhadap Soeharto itu 
tidak bermoral," ujar Budiman, yang kini menjabat Sekjen Relawan Perjuangan Demokrasi-
organisasi sayap PDI Perjuangan. 
Sjahrir 
Sebuah hari, tahun 1970. Sekelompok mahasiswa menemui Presiden Soeharto untuk 
mendesakkan tuntutan pemberantasan korupsi. Sjahrir dan Akbar Tandjung, mahasiswa 
Universitas Indonesia, ada di antara beberapa  mahasiswa itu. Di sela dialog, Akbar rupanya 
haus dan meraih gelas minuman yang dihidangkan. Cepat Sjahrir mencegah Akbar. Soeharto 
melihat adegan itu. Ia marah. "Ya sudah kalau tidak mau minum," hardiknya. 
Sjahrir merasa adegan itulah asal muasal ketidaksukaan Soeharto padanya. Yang 
pasti juga tidak disukai Soeharto, Sjahrir bersama yang lain membentuk komite anti-korupsi. 
saat  pecah Peristiwa Malari 1974, Sjahrir termasuk satu dari banyak mahasiswa dan 
akademisi yang dikirim ke penjara. 
Di dalam hotel prodeo, Sjahrir tetap bersikap kritis. Ia menulis artikel-artikel yang 
dimuat di penerbitan kondang seperti Prisma. Tentu saja ia tak memakai namanya sendiri. 
"Tulisan saya dimuat dengan nama Daniel Dakhidae atau Aini Chalid," ujar dia. 
Keluar dari penjara, Sjahrir melanjutkan studi S3 di Harvard. Sekembali dari sana, 
kiprah Sjahrir tak surut. Ia merintis berdirinya Sekolah Ilmu Sosial (SIS), yang hanya bertahan 
tiga tahun, sebelum dilarang pemerintah. Ia lalu  mendirikan Yayasan Padi Kapas dan 
menulis artikel-artikel tajam di media. Temanya jelas, yakni penentangan praktek monopoli   
dan oligopoli pemerintah sepanjang 1980-an. "Tidak seharusnya kebijakan pemerintah 
dipakai  untuk memperkaya keluarga Presiden," ia menandaskan. 
Benny Biki, 46 tahun, memiliki  satu doa buat mantan presiden Soeharto saat  dirawat 
di RSP Pertamina, pada Mei 2006. "Mudah-mudahan Pak Harto cepat sembuh, sehingga 
proses hukum bisa berjalan dan dia segera diadili," tuturnya kepada Tempo. 
Benny memiliki  alasan berdoa demikian. Kakak kandungnya, Amir Biki, tewas saat 
terjadi bentrok antara massa dan pasukan Yon Arhanudse VI di Tanjung Priok, 22 tahun 
silam. 
Tragedi Tanjung Priok itu yaitu  puncak penentangan Biki bersaudara terhadap 
rezim Orde Baru. Hari-hari sebelumnya, keduanya sudah  menggerakkan massa untuk 
berunjuk rasa menentang undang-undang keormasan, yang menetapkan Pancasila sebagai 
asas tunggal. Mereka menilai undang-undang itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. 
Sejak tragedi yang menewaskan puluhan orang itu, Benny Biki memimpin keluarga 
korban menuntut keadilan. 
Ali Sadikin tak akan pernah lupa saat  anaknya gagal memperoleh kredit bank pada 
1980-an. saat  ia tanyakan kepada Rahmat Saleh, Gubernur BI saat itu, ia memperoleh 
jawaban memang ada larangan dari pemerintah. "Larangan itu sebetulnya  untuk Pak Ali," 
jawab Rahmat Saleh. 
Hambatan ekonomi hanyalah satu tekanan yang dilancarkan penguasa Orde Baru 
terhadap Ali Sadikin. Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga dibatasi pergaulan 
sosialnya, dicegah ke luar negeri, dan suaranya diberangus. Itu semua sebab  aktivitasnya 
dalam "gerakan" Petisi 50. 
Petisi 50, yakni surat keprihatinan yang diteken 50 tokoh masyarakat, dikeluarkan 
pada 5 Mei 1980. Surat itu merupakan reaksi atas pidato tanpa teks Presiden Soeharto di 
depan pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980, dan dalam acara HUT Kopassandha di Cijantung, 
Jakarta. 
Dalam kedua pidato itu Presiden mengingatkan adanya kelompok yang ingin 
mengganti Pancasila. Soeharto mengatakan, kalau terpaksa lebih baik menculik seorang dari 
dua pertiga anggota MPR yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak 
tercapai. Inilah yang ditanggapi kritis Ali Sadikin dan kawan-kawan. Sejak itu pula kelompok 
Petisi 50 kerap mengeluarkan pandangan kritis. 
Ali menegaskan, Petisi 50 lahir untuk mengajarkan demokrasi dan memperbaiki 
nasib bangsa. "Jadi bukan untuk mencari kekuasaan," kata dia.   
Soebandrio (1914-2004) 
Mendiang Soebandrio pernah melepaskan harapan bakal menghirup udara 
kebebasan sesudah  hampir 30 tahun mendekam dalam tahanan Orde Baru. Wakil Perdana 
Menteri/Menteri Luar Negeri era Orde Lama ini masuk penjara sebab  dituding membiarkan 
tergulingnya pemerintah yang sah. namun   pada 15 Agustus 1995 ia dibebaskan sesudah  grasi 
keduanya diterima. 
sesudah  itu ia berada dalam kebimbangan untuk mengungkap kebenaran sejarah 
menurut versinya. Ada keikhlasan untuk melupakan masa lalu, namun di sisi lain banyak 
harapan agar ia menuliskan apa yang ia ketahui. Akhirnya, sebelum ia meninggal dunia pada 
3 Juli 2004 akibat stroke, sebuah buku berjudul Kesaksianku Tentang G30S sudah ia 
tuntaskan. 
Buku itu menyebutkan sejarah versi Soeharto yaitu  dusta. Menurut Soebandrio, 
Soeharto terlibat dalam aksi berdarah G30S. "Soeharto secara matang merencanakan dan 
melakukan kudeta merangkak," tulisnya. Soebandrio menegaskan, bukunya itu tidak 
dimaksudkan sebagai bentuk balas dendam. 
Dewi Soekarno 
Pada Juni 1970, Ratna Sari Dewi yang hendak menuju Indonesia dari bandara 
Singapura dihadang seorang pria. "Anda tidak boleh masuk ke Indonesia," ujar laki-laki  itu 
sambil memperkenalkan diri sebagai staf atase militer Indonesia. 
Dewi tak menyurutkan langkah. Ia mesti menemui suaminya, Soekarno, yang tengah 
tergeletak sakit di Tanah Air. Maka, dengan segala cara akhirnya ia berhasil masuk 
Indonesia. sesudah  Soekarno dijatuhkan, Dewi memang terbuang ke Prancis bersama anak 
semata wayangnya, Karina. saat  berhasil menemui suaminya yang tengah sekarat, keadaan  
Soekarno saat itu mengerikan. Tubuhnya menggelepar sambil mengeluarkan suara ngorok 
yang keras. Esoknya, Soekarno mangkat. 
Dewi mencium keganjilan. Ia mengontak beberapa  dokter kenalannya di luar negeri. 
Kesimpulannya, keadaan  meninggal seperti itu yaitu  akibat konsumsi obat tidur berlebihan. 
"Padahal Bung Karno tak biasa memakai  obat tidur," katanya. Lantaran inilah Dewi 
ditangkal masuk Indonesia hingga sepuluh tahun (1970-1980) lalu . Di pengasingannya 
Dewi kerap berkampanye mempersoalkan keterlibatan Soeharto dalam Gerakan 30 
September. 
saat  mendengar Soeharto meninggal, ia masih tidak bisa memaafkannya. "Ia 
yaitu  Pol Pot-nya Indonesia," kata Dewi kepada kantor berita AFP merujuk pada tewasnya 
500 ribu orang, yang dituduh komunis seusai Peristiwa G30S.   
Pustaka sesudah  Lengser 
iba-tiba saja semua menjadi ahli Soeharto. Dan tiba-tiba saja semua menjadi penulis 
dahsyat. Mereka mencurahkan segala pengalaman dan pengetahuan tentang 
Soeharto melalui buku-buku yang terlihat di toko-toko buku sejak Soeharto turun 
takhta. Mereka yaitu  sejarawan, wartawan, dan politisi, orang asing atau orang Indonesia. 
Ada yang menulis berdasarkan persentuhan pribadi. Ada pula yang menulis dengan penuh 
gugatan dan kesumat. 
George Junus Aditjondro melempar buku Dari Soeharto ke Habibie, Guru Kencing 
Berdiri, Murid Kencing Berlari, lima bulan sesudah  Soeharto melepaskan jabatannya. Buku ini 
membeberkan bukti-bukti kekayaan Soeharto, keluarga, dan kroninya dari hasil korupsi, 
kolusi, dan nepotisme. 
saat  baru diluncurkan, buku ini segera menjadi best-seller dan most-wanted. 
Bahkan PIJAR Indonesia dan Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan-penerbit buku ini-
kala itu sampai kewalahan melayani permintaan yang terus mengalir. Buku itu bisa 
sedemikian laris lantaran selama ini informasi yang ditulis dosen sosiologi korupsi Newcastle 
University of Australia ini hanya bisa dinikmati secara gerilya atau melalui Internet. 
sesudah  Aditjondro, tak terhitung buku-buku yang mengobrak-abrik dosa politik 
Soeharto. Baik yang berdasarkan data maupun yang "asal njeplak" memanfaatkan 
kebebasan di orde reformasi ini. Penerbitnya ada yang bermutu, ada pula yang asal-asalan. 
Bahkan sekadar fotokopian pun bisa laris manis dibeli orang. 
Beberapa judul yang bertebaran yang mengusung tema anti-Soeharto antara lain 
Pengusutan Harta Soeharto & Trik Pencucian Uang Haram karangan Indara Ismawan (Media 
Pressindo, 1998). Ada pula Mendobrak Penjara Rezim Soeharto karangan Adam Soepardjan, 
yang diluncurkan Penerbit Ombak pada 2001. Adili Soeharto. Jerat dengan masalah  
Pembunuhan Massal karya Mike Wangge, yang diterbitkan Permata Media Komunika pada 
1999. Masih banyak buku yang menuangkan gerundelan, kebencian, hingga tuntutan 
terhadap sang mantan presiden, yang tak mungkin terjadi di masa kekuasaannya dahulu . 
Meski begitu, yang memuja Soeharto tentu tak kurang pula. "Saya begitu terpukul 
menyaksikan pengunduran diri Bapak melalui layar kaca. Saya sempat menangis, saya 
mengerti perasaan Bapak. namun  saya percaya, Pak, rakyat Indonesia masih mencintai, 
menghormati, dan mengenang jasa Bapak selama menjabat sebagai Presiden Republik 
Indonesia yang kita cintai." 
Itulah satu kutipan surat yang dimuat dalam buku Anton Tabah, Empati di Tengah 
Badai. Buku yang memuat kumpulan surat kepada Soeharto pada 21 Mei hingga 31 
Desember 1998 ini dilanjutkan dengan Simpati dan Doa untuk Pak Harto yang berisi surat-
surat periode 1 Januari sampai 30 Juni 1999. Dari awal sampai akhir, buku ini menggemakan 
kecintaan, kebanggaan, dan ketidakrelaan Soeharto mundur dari kursi presiden. 
Pembelaan soal keterlibatan jenderal bintang lima ini dalam Gerakan 30 September 
Partai Komunis Indonesia dibeberkan dalam Dua Jenderal Bicara tentang Gestapu/PKI. Buku 
terbitan CV Sahabat Klaten pada 2001 ini disunting oleh Anton Tabah dengan kata 
pengantar oleh sejarawan Taufik Abdullah. 
Buku ini mengutip pernyataan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution: "Kepada 
generasi muda perlu diingatkan, bahwa pemutarbalikan fakta di masa sekarang, tujuan 
utamanya yaitu  untuk memorak-porandakan posisi TNI di mata rakyat. lalu  tujuan 
akhirnya yaitu  menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara sistematis yang 
gejalanya semakin nyata dimulai dari ujung barat Indonesia (Aceh) dan ujung timur (Irian 
Jaya)." 
Tak sedikit buku pembelaan yang ditulis para pendukung Soeharto berkaitan dengan 
masalah hukum yang menimpanya. Salah satunya Perkara H.M. Soeharto Politisasi Hukum: 
Dalam Kajian Perspektif 
Hukum (Acara) Pidana buatan anggota tim pengacaranya, 
Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon. Buku yang diluncurkan pada 2001 ini 
memuat tinjauan hukum atas masalah  Soeharto yang tentu saja ujung-ujungnya menyatakan 
penguasa Orde Baru ini tak layak diadili. 
Dalam nada yang serupa, Ismail Saleh, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung 
di era Orde Baru, menerbitkan buku Proses Peradilan Soeharto, Penegakan Hukum atau 
Komoditi Politik. Diterbitkan oleh Yayasan Dharmais-salah satu yayasan Soeharto-pada Juni 
2001, buku ini antara lain memuat sambutan Sudharmono dan Saadilah Mursjid. Dua 
pendukung setia Soeharto ini justru sudah  lebih dahulu  berpulang mendahului junjungan 
mereka. 
Dari begitu banyak buku benci dan cinta itu, syukurlah, masih banyak buku yang 
diangkat berdasarkan riset ilmiah, yang membeberkan fakta berdasarkan data. 
Dari dalam negeri, ada Zaim Saidi yang meluncurkan buku Soeharto Menjaring 
Matahari pada 2001. Dilengkapi data yang aktual, buku terbitan Mizan Pustaka ini awalnya 
yaitu  tesis S-2 Zaim di bidang kebijakan publik, Universitas Sydney, Australia. Buku ini 
menjelaskan tarik-ulur kebijakan reformasi ekonomi selama 15 tahun terakhir masa 
kekuasaan Soeharto. Dengan membeberkan beberapa  data, Zaim menelanjangi beberapa  
paket kebijakan dan deregulasi di berbagai bidang ekonomi yang diluncurkan mantan 
presiden itu. Dengan berimbang ia menganalisis, benarkah semua itu semata-mata "ulah" 
Soeharto ataukah ada faktor-faktor ekonomi dunia yang mempengaruhi. 
Sejarawan Asvi Warman Adam juga meluncurkan Soeharto dan Sisi Gelap Sejarah 
Indonesia pada Maret 2004. Tulisan-tulisannya diliputi tema besar pembengkokan sejarah 
selama rezim Soeharto berjaya, termasuk usaha  penyeragaman versi sejarah peristiwa 
 Gerakan 30 September dan berbagai gerakan dan kebijakan Soeharto. Asvi juga 
menekankan beberapa  alasan mengapa Soeharto mesti diadili. 
Retnowati Abdulgani-Knapp, putri Roeslan Abdulgani, menulis buku dalam bahasa 
Inggris yang diterbitkan di Singapura: The Life And Legacy of Indonesia's Second President. 
Ia menulis plus-minus Indonesia saat dipimpin Soeharto dan membandingkannya dengan 
Soekarno. Ia juga menceritakan tujuh yayasan yang didirikan Soeharto dan menulis 
keseharian sahabat ayahnya itu sesudah  lengser. 
Ada pula buku yang disusun dengan serius dengan serangkaian foto yang diseleksi 
secara saksama dengan judul Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images 
(The Lontar Foundation, 2005). Buku setebal 493 halaman ini dengan desain coffee-table 
book ini disunting antara lain oleh John H. McGlynn, Oscar Motuloh, Suzanne Charle, dan 
Bambang Bujono. Diberi tiga buah kata pengantar oleh Jimmy Carter, Goenawan Mohamad, 
dan Taufik Abdullah dan  puluhan esai dari para penulis terkemuka, buku ini mungkin 
sebuah karya yang digarap dengan sikap yang berjarak, dingin, dan penuh perhitungan. "Its 
approach is episodic; it is against the epic," demikian tulis Goenawan Mohamad dalam 
pengantarnya. Mungkin ini satu dari sedikit buku yang layak dimiliki sebagai koleksi. 
Penulis-penulis asing negeri tak kalah bersemangat meluncurkan hasil penelitian 
mereka tentang Soeharto. Beberapa buku terkenal, antara lain Geoff Forrester, Post-
Soeharto Indonesia Renewal or Chaos? terbitan ISEAS & KITLV Press pada 1999. Ada pula 
Suharto, a Political Biography, yang ditulis oleh R.E. Nelson dan diluncurkan oleh Cambridge 
University Press, Inggris, pada 2001. Lalu, Reformasi: The Struggle for Power in Post-
Soeharto Indonesia karya Kevin O'Rourke terbitan Allen & Unwin pada 2003. 
Meriahnya penulis asing yang menerbitkan buku-buku bertema Soeharto 
sebetulnya  bukan sebuah kecenderungan yang terjadi pascareformasi saja. Sejak masa-
masa awal kepemimpinannya, sudah  banyak buku beredar seputar dirinya. Yang paling 
terkenal tentulah The Smiling General dan Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto terbitan 
Gunung Agung, Jakarta, 1976. Keduanya tulisan O.G. Roeder yang isinya tentang silsilah, 
biografi, dan aneka kejayaan Soeharto di masa itu. 
Pada tahun-tahun akhir kepresidenan Soeharto, mulai bertaburan beberapa  buku 
yang menggugat kepemimpinannya. Satu yang mencuat yaitu  A Nation in Waiting: 
Soeharto's Indonesia in the 1990s karangan Adam Schwartz yang diterbitkan Westview 
Press Inc., Amerika Serikat, pada 1994. Seperti "tradisi" terhadap buku-buku yang 
menentang Soeharto pada masa itu, Kejaksaan Agung waktu itu buru-buru mengeluarkan 
keputusan pelarangan buku wartawan Far Eastern Economic Review ini. Bahkan beberapa  
kiai di Nahdlatul Ulama "menegur" Gus Dur mengenai ucapannya tentang Presiden Soeharto 
yang dimuat buku itu yang dianggap menghina Soeharto. 
Ada pula buku-buku yang mengail tema Soeharto dengan tema yang "ringan", 
contohnya  Pandangan Perempuan tentang Soeharto oleh La Rose dan Upi Tuti Sundari, yang 
diluncurkan Penerbit La Rose pada 1999. Atau, Soeharto dalam Cerpen Indonesia. Buku 
produksi Bentang Budaya pada 2001 ini merupakan kumpulan cerpen Indonesia yang 
berpijak pada tokoh Soeharto selama Orde Baru. Y.B. Mangunwijaya yaitu  salah satu 
penulisnya. 
Di luar semua buku pro dan kontra tadi, kita tak boleh melupakan beberapa  buku 
yang terbit dengan sepengetahuan atau boleh jadi "pesanan" sang patriark sendiri pada 
masa kekuasaannya. Di urutan pertama, tentu saja otobiografi Soeharto: Ucapan, Pikiran, 
dan Tindakan yang ditulis Ramadhan K.H. dan diterbitkan pada 1988. 
Buku itu ditulis dalam bentuk "as told to": menuliskan kembali apa yang 
dikemukakan Soeharto dalam bahasa yang lebih enak dibaca. "Isi yaitu  tanggung jawab 
yang bercerita (Soeharto)," kata Ramadhan dua tahun sebelum ia wafat pada 2006. Itu 
sebabnya buku ini disebut otobiografi, bukan biografi. Baginya, pekerjaan selesai begitu ia 
mendapat imbalan dari si pemesan. 
sesudah  Soeharto mangkat, sudah pasti berbagai buku akan lahir lagi. Yang 
mengenang dan yang mengecam. Yang memuja dan yang menggugat. 
IA hidup dalam sebuah kancah yang keras: perang, operasi militer, pemberontakan, 
penaklukan lawan politik. Ia tahu medan yang keras selalu memberi kesempatan. 
"Pemberontakan" 1965 yang ditumpasnya membuatnya menjadi orang nomor satu 
di sebuah negeri selama lebih dari tiga dasawarsa. Soekarno yang selama bertahun-tahun 
menjadi Pemimpin Besar Revolusi, pasca-1965 "dikuncinya" hingga akhirnya wafat pada 
1970. Di usia senja ia dianugerahi gelar Jenderal Besar. Ia meraih semuanya: kekuasaan, 
pengaruh, kesenangan, tawa lebar. 
Ia mangkat pekan lalu dan kenangan itu masih rapi tersimpan. Saat ia panen ikan 
bersama para "punggawa". saat  ia betelekan tongkat kayu berbincang dengan para 
petani. 
Ia hidup dalam sebuah kancah yang keras. Ia tahu itu bisa memberinya banyak 
kesempatan.... 
 gelar upacara militer lengkap sudah  mengantar Soeharto ke tempat peristirahatan 
terakhirnya, Senin pekan lalu. Bendera Merah Putih yang dipegang empat perwira 
memayungi jenazah saat diturunkan ke liang lahat. Tembakan salvo menggelegar 
memberikan penghormatan dan semua pucuk pimpinan angkatan bersenjata, bahkan 
panglima tertinggi TNI, hadir dengan pakaian kebesaran masing-masing. Lagu Gugur Bunga 
pun mengalun dari barisan musik militer. 
Semua kegiatan itu, dilihat dari sudut protokol kemiliteran, yaitu  hal yang wajar 
saja bahkan sebuah keharusan. Terlepas dari berbagai kontroversi yang beredar di 
masyarakat, bagi kalangan tentara upacara ini sebuah keniscayaan: yang dimakamkan 
yaitu  seorang jenderal berbintang lima, seorang jenderal besar. 
Di Indonesia, pangkat kehormatan militer tertinggi ini hanya disandang oleh empat 
orang dan kini semuanya sudah  berstatus almarhum: Jenderal Besar Sudirman, Soekarno, 
Abdul Haris Nasution, dan Soeharto. Tak jelas benar apakah secara resmi TNI masih 
mengakui keabsahan bintang lima yang disandang Presiden Soekarno saat  mengangkat 
dirinya menjadi panglima besar. Yang pasti, status resmi jenderal besar yang lain diberikan 
secara bersamaan pada 1 Oktober 1997, sewaktu Presiden Soeharto berada di akhir masa 
kekuasaannya. 
Melalui PP No. 32 Tahun 1997, dinyatakan bahwa tiga tokoh TNI layak mendapat 
anugerah jenderal besar sebab  jasa-jasa mereka. Peraturan pemerintah ini tak menyebut 
secara terperinci alasan pemberian itu, sehingga sempat memicu berbagai interpretasi. 
Utamanya, di negeri lain bintang lima umumnya diberikan kepada seorang perwira tinggi 
yang berhasil menang dalam sebuah perang besar. contohnya  Jenderal Mc Arthur untuk 
kemenangan dalam Perang Pasifik, Marsekal G.K. Zukov yang mengalahkan Jepang di 
Manchuria dan Jerman di Leningrad, Jenderal B.L. Montgomery yang menekuk pasukan 
Jerman di Afrika, dan Jenderal Vo Nguyen Giap yang mengalahkan Prancis dalam 
pertempuran Dien Bien Phu. 
Dilihat dari konvensi ini, kendati Jenderal Sudirman memang memiliki  reputasi sebagai 
panglima yang berhasil menang dalam pertempuran Ambarawa, sulit untuk 
mengkategorikan konflik bersenjata itu sebagai sebuah perang besar. Jenderal Nasution 
bahkan tak dikenal sebagai komandan pemenang pertempuran, namun  lebih sebagai pemikir 
strategi perang, terutama sesudah  menerbitkan buku Pokok-Pokok Gerilya. Sedangkan 
kancah pertempuran Jenderal Soeharto yaitu  sebagai komandan Serangan Umum 1 Maret 
1948 di Yogyakarta dan operasi Mandala dalam pembebasan Irian Jaya pada 1962. Kedua 
operasi militer ini tak berbuah kemenangan militer namun  menunjang tercapainya 
kemenangan politis dan diplomatis. 
Dengan mempertimbangkan argumen itu, agaknya pandangan Salim Said 
tentang latar belakang anugerah jenderal besar oleh TNI sebelas tahun silam itu lebih 
realistis. Pakar militer yang dekat dengan para petinggi TNI ini lebih melihat peran Jenderal 
Sudirman, Nasution, dan Soeharto dalam perkembangan peran politik militer di Indonesia. 
Ia melihat Jenderal Sudirman sebagai peletak dasar pemikiran bahwa militer yaitu  alat 
negara, bukan alat pemerintah. Ini dibuktikannya dengan tetap meneruskan perlawanan 
bersenjata kendati para pucuk pimpinan pemerintah sudah  ditangkap Belanda dan pusat 
pemerintahan sudah  diduduki musuh. 
Jenderal Nasution dianggap berjasa mengembangkan doktrin dwifungsi sebagai 
konsep peran politik TNI. Gagasan ini pertama kali dilontarkan Jenderal Nasution saat  
berpidato di depan Akademi Militer di Magelang, 11 November 1958. Dalam pidato tanpa 
teks itu Jenderal Nasution mengatakan bahwa TNI bukanlah sekadar alat pemerintah seperti 
di negara Barat dan juga bukan pemegang monopoli kekuasaan seperti di negara-negara 
Amerika Latin. TNI, menurut Nasution, memilih jalan tengah dan para perwira militer berhak 
untuk turut dan -bersama unsur masyarakat yang lain-mengambil peran nonmiliter dalam 
membangun negara. 
Jenderal Soeharto, menurut Salim Said, dianggap pihak militer berjasa dalam 
menerapkan konsep dwifungsi itu. Hal ini dilakukan sesudah  berhasil memberantas 
kelompok komunis, yang dikenal sebagai lawan politik utama militer di era Orde Lama pada 
1965. Ia lalu  mengkonsolidasi peran politik TNI dengan cara melemahkan partai-partai 
politik melalui usaha  depolitisasi, yaitu dengan menggulirkan gagasan "massa 
mengambang". Belakangan konsolidasi ini semakin kukuh melalui kebijakan 
penyederhanaan partai dan penerapan asas tunggal dan pemihakan TNI pada Golkar. 
Penerapan dwifungsi TNI versi Jenderal Soeharto itu tak selalu didukung penuh oleh 
kalangan militer. Pada akhir 1970-an, sesudah  terjadi kerusuhan dalam pemilihan umum 
1977, sekelompok perwira senior Angkatan Darat meluncurkan "Makalah Seskoad", yang 
pada intinya berpendapat bahwa peran politik militer terlalu berlebihan. Kelompok yang 
lalu  disebut Fosko itu menyerukan agar TNI kembali ke jalan yang murni dengan 
menjadikan dirinya di atas semua golongan. 
Kelompok ini lebih memilih TNI berperan seperti militer Turki, yang tak terlibat 
kegiatan politik sehari-hari dan hanya bergerak bila konstitusi sekuler progresif peninggalan 
Kemal Ataturk dianggap terancam. Penglima ABRI saat itu, Jenderal Yusuf, bahkan sudah  
menyiapkan rencana menarik sekitar 16 ribu personel TNI yang mendapat tugas kekaryaan 
di berbagai institusi sipil kembali ke tugas militer. Namun pandangan yang lalu  
didukung Jenderal Widodo, Kepala Staf TNI-AD saat itu, ditepis oleh Jenderal Soeharto. 
Tepisan itu dilakukan amat nyaring saat  Presiden Soeharto berpidato di Pekanbaru 
pada Maret 1980. Jenderal Widodo diganti dan para jenderal purnawirawan yang 
memprotes pidato di Pekanbaru dengan menandatangani Petisi 50 pun dicekal, termasuk 
Jenderal Nasution. Para pendukung Jenderal Soeharto, yang oleh pakar wartawan Australia 
David Jenkins disebut kelompok pragmatis, lalu  membuat konsep tandingan yang 
dikenal sebagai "Makalah Hankam". 
Sejarah mencatat, konsep kelompok pragmatis ini yang lalu  dijalankan 
Presiden Soeharto. Bagi kalangan yang sinis, pelaksanaan konsep ini di lapangan sebetulnya  
amat mirip dengan konsep pendudukan militer. Tentara menjadi alat pemerintahan 
Soeharto. Mitra sipil peran politik TNI yaitu  Golkar, yang oleh salah seorang tokohnya, 
Rahman Tolleng, disebut bukan partai yang berkuasa (ruling party) namun  partainya penguasa 
(ruler's party). Dengan dukungan kuat TNI melalui jaringan teritorial, temasuk kekaryaan, 
Golkar pun terus-menerus menang dalam pemilihan umum yang berlangsung setiap lima 
tahun. 
Jenderal Soeharto semakin ringan tangan dalam memanfaatkan militer untuk 
menjalankan tugas nonmiliter. Operasi pembersihan para preman yang dianggap 
mengganggu ketenteraman diberikan kepada tentara. Ribuan preman bertato pun tewas 
ditembak secara misterius. 
Kesibukan aparat militer di berbagai bidang nonmiliter ini pada akhirnya bermuara 
pada menurunnya kemampuan profesional militer TNI. Kecenderungan ini semakin buruk 
sesudah  pengaruh keluarga dan kroni Cendana mulai merasuk ke sistem promosi di jajaran 
militer. Jenderal L.B. Moerdani, seorang pendukung setia dari kelompok pragmatis yang 
mencoba mengingatkan Jenderal Soeharto tentang bahaya pengaruh nepotisme, malah 
terpental dari posisinya sebagai Panglima ABRI. 
Militer pun seolah menjadi lembaga kebal hukum dan ringan tangan dalam 
memakai  kekerasan. Peningkatan keterlibatan aparat militer dalam berbagai kegiatan 
bisnis dan politik memicu  maraknya antipati masyarakat terhadap tentara. Perangkat 
perang TNI memang makin modern dan canggih namun  pertautan hati dengan rakyat justru 
merenggang. 
Kerenggangan ini amat dirasakan oleh para perwira muda, terutama yang terlibat 
dalam berbagai operasi militer di Timor Timur, Aceh, dan Papua. Posisi mereka seolah 
terbalik dengan generasi 45. Para senior pendiri TNI melakukan perang gerilya bersama 
rakyat melawan musuh dari luar yang lebih profesional secara militer. Para perwira muda 
penerus justru memiliki perangkat militer yang lengkap dan dilatih secara profesional dan 
harus berhadapan dengan pemberontakan bersenjata yang setidaknya didukung oleh 
sebagian rakyat setempat. Di lapangan mereka mulai paham bahwa pemberontakan-
pemberontakan itu terjadi sebab  penyelesaian politik tak berjalan, bukan sebab  kegiatan 
musuh dari luar. Politik tak jalan sebab  dominasi militer terlalu kuat. 
Pandangan ini setidaknya diutarakan almarhum Jenderal Agus Wirahadikumah, yang 
mengatakan "ABRI mampu menjalankan apa pun kecuali di bidangnya sendiri". Alumni 
Akabri angkatan 1973 ini tak sendirian. Itu sebabnya berbagai diskusi dilakukan para perwira 
muda yang risau, bahkan angkatan 1973 pun akhirnya memutuskan menerbitkan pendapat 
mereka dalam sebuah buku. Salah satu anggotanya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, 
bahkan lalu  berperan aktif menyiapkan konsep paradigma baru TNI yang membawa 
militer aktif keluar dari kancah politik praktis. 
Pemberian gelar jenderal besar kepada Soeharto boleh jadi merupakan cara canggih 
para perwira muda ini menyampaikan pesan mereka. Pangkat kehormatan tertinggi TNI ini 
diberikan sekaligus kepada Jenderal Sudirman dan Jenderal Nasution, peletak dasar dan 
penggagas konsep peran militer yang, menurut mereka, sudah  dilanggar oleh Soeharto. 
Dan Jenderal Besar Soeharto kelihatannya menangkap pesan itu. Terbukti, dalam 
acara hari ulang tahun TNI pada 1997, saat  Soeharto pertama kali memakai  bintang 
lima di acara publik, ia mengatakan perlunya TNI bersikap "tut wuri handayani" alias 
mengurangi dominasinya di masyarakat. 
usaha  ini ternyata terlambat. Krisis ekonomi menerpa dan gelombang tsunami 
reformasi pun datang. Kali ini para pimpinan TNI membujuknya turun agar pihak militer tak 
harus berhadapan dengan rakyat dan tenggelam bersama rezim Orde Baru. Soeharto 
akhirnya sepakat sesudah  panglima TNI berjanji melindungi keamanan dan harkatnya. 
Janji itu terbukti dipegang TNI. Sampai sang Jenderal Besar diturunkan ke liang lahat, 
Senin pekan lalu.