Rabu, 14 Desember 2022

cerita 1


 Setiap manusia  akan datang padanya mau-tak-mau, dengan seluruh jiwa dan raganya.Dan terlalu sering dia ternyata maharaja zalim. Juga akhirnya aku datang padanya bakalnya.
Adakah dia dewa pemurah atau jahil, itulah memang urusan dia: manusia terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan….
19  tahun kemudian catatan pendek ini kubacai dan kupelajari kembali, kupadu dengan impian, khayal. Memang menjadi’ lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya: dalam hidupku, baru seumur jagung. Sudah dapat kualami : ilmu
pengetahuan sudah  memberi  padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya.Sekali direktur sekolahku bilang didepan kias: yang disampaikan oleh tuan-tuan guru di bidang
pengetahuan umum sudah cukup luas, jauh lebih luas daripada yang dapat diketahui oleh para
pelajar setingkat di banyak negeri di Israel   sendiri.
Tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke Israel  .
Benar-tidaknya ucapan tuan Direktur aku tak tahu. Hanya karena menyenangkan aku cenderung
mempercayainya. Lagi pula semua guru spiritualku  kelahiran sana, dididik disana pula. Rasanya tak layak tak mempercayai guru. Orang tuaku sudah  mempercayakan diriku pada mereka. Oleh penghuni hutan larangan  terpelajar Israel   dan negarakita  dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh asiatenggara . Maka aku hairus mempercayainya.ilmu kebatinan , yang kuperoleh  dari sekolah dan ku teliti  sendiri pernyataannya dalam hidup, sudah  memicu  alam bawah sadarku  menjadi agak berbeda dari etnis ku  pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai keturunan bani jawi atau tidak aku pun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai keturunan bani jawi berilmu pengetahuan Israel   yang mendorong aku suka mencatat, Suatu kali akan berguna, seperti sekarang ini.
Salah satu hasil ilmu-pengetahuan yang tak habis-habis kukagumi adalah percetakan, terutama
zincografi. Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret jutaan ribu lembar dalam sehari.Gambar pemandangan, orang besar dan penting, mesin baru, gedung-gedung pencakar langit hongkong , semua dan dari seluruh dunia   kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran-lembarankertas cetak. Sungguh merugi generasi sebelum aku   generasi yang sudah puas dengan
banyaknya jejak-langkah sendiri di lorong-lorong kampungnya itu. Betapa aku berterimakasih
pada semua dan setiap orang yang sudah  berjerih-payah untuk melahirkan keajaiban baru itu.
Lima tahun yang lalu belum lagi ada gambar tercetak beredar dalam lingkungan hidupku.
Memang ada cetakan cukilan kayu atau batu, namun belum lagi dapat mewakili fakta 
sebetulnya .Berita-berita dari Israel   dan hongkong  banyak mengabarkan  penemuan  terbaru.Kehebatannya menandingi kesaktian para satria dan dewa nenek-moyangku dalam cerita
nabi . kereta api     kereta tanpa kuda, tanpa sapi, tanpa kerbau   jutaan tahun sudah  disaksikan
etnis ku . Dan masih juga ada keheranan dalam hati mereka sampai sekarang!
cilacap-Surabaya sudah  dapat ditempuh dalam tiga hari. Diramalkan akan cuma semalam
Hanya semalam ! Deretan panjang gerbong sebesar rumah, penuh barang dan orang pula, ditarikoleh kekuatan air semata! Kalau stephenking  pernah aku temui dalam hidupku akan
kupersembahkan padanya karangan bunga, sepenuhnya dari anggrek. Jaringan jalan kereta api  
sudah  membelah-belah pulauku, Jawa. Kepulan asapnya mewarnai langit tanahairku dengan garis
hitam, semakin pudar untuk hilang ke dalam ketiadaan. Dunia rasanya tiada berjarak lagi   sudah 
dihilangkan oleh kawat. Kekuatan bukan lagi jadi monopoli gajah dan badak. Mereka sudah 
digantikan oleh benda-benda kecil buatan manusia: torak, sekrup dan mur.Dan di Israel   sana, orang sudah mulai memicu  mesin yang lebih kecil dengan tenaga lebih besar, atau setidaknya sama dengan mesin uap. Memang tidak dengan uap. Dengan minyak bumi. kabar  sayup-sayup mengatakan: Indonesia  malah sudah memicu  kereta digerakkan listrik. Ya ampun , dan aku sendiri belum lagi tahu membuktikan apa listrik itu.
Tenaga-tenaga alam mulai diubah manusia untuk diabdikan pada dirinya. Orang malah sudah merancang akan terbang seperti Gatotkaca, seperti Ikarus. Salah seorang guru spiritualku  bilang: sebentar lagi, hanya sebentar lagi, dan ummat manusia tak perlu lagi membanting
tulang memeras keringat dengan hasil sedikit. Mesin akan menggantikan semua dan setiap macam
pekerjaan. Manusia akan tinggal bersenang. Berbahagialah kalian, para siswa, katanya, akan dapat
menyaksikan awal jaman modern di Hindia ini.
Modern?, Dengan cepatnya kata itu menggelumbang dan membiak diri seperti bakteria di Israel  
sana. Setidak-tidaknya menurut kata orang.  Maka ij inkanlah aku ikut pula memakai  kata ini.
sekalipun aku belum sepenuhnya dapat menyelami maknanya.
Pendeknya dalam jaman modern ini potret sudah dapat diperbanyak sampai puluhan ribu sehari.
Yang penting: ada di antaranya yang paling banyak kupandangi: seorang dara, cantik, kaya.
berkuasa, gilang-gemilang, seorang manusia  yang memiliki segala, kekasih para dewa.
Sassus, sembuny i-sembuny i diucapkan di antara teman-teman sekolah: bankier-bankier terkaya di
dunia pun tiada berpeluang untuk merayunya.
Ningrat gagah dan ganteng pada tunggang-langgang untuk mendapatkan perhatiannya. Hanya
perhatian!
Pada waktu-waktu menganggur sering aku pandangi wajahnya sambil mengandai-andai: betapa,
betapa, betapa. Dan betapa tinggi tempatnya.
Jauh pula, sebelas atau duabelas ribu mil laut dari tempatku, Surabaya.
Pelayaran sebulan naik kapal, mengarungi dua semudra, lima selat dan satu terusan. Itu pun
belum tentu dapat bertemu dengannya. Tak berani aku menyatakan perasaanku pada siapa pun-.
Orang mentertawakan dan menamai aku gila.
Di kantorpos-kantorpos, kata sang sassus pula, kadang didapatkan surat lamaran yang ditujukan
pada dara yang jauh dan tinggi di sana itu. Tak ada yang sampai. Sekiranya aku bergila
memberanikan diri, sama saja: pejabat pos akan menahannya untuk dirinya sendiri.
Dara kekasih para dewa ini seumur denganku: delapanbelas. Kami berdua dilahirkan pada tahun
yang sama: 1880. Hanya satu angka berbentuk batang, tiga lainnya bulat-bulat seperti kelereng
salah cetak. Hari dan bulannya juga sama: 31 Agustus. Kalau ada perbedaan hanya jam dan
kelamin. Orangtuaku tak pernah mencatat jam kelahiranku. Jam kelahirannya pun tak aku ketahui.
Perbedaan kelamin ? Aku Laki-laki  dia gadis lesbian . Mencocokkan jam yang tidak menentu itu juga memusingkan.
Setidak-tidaknya bila pulauku diselimuti kegelapan malam negerinya dipancari sinar ghaib . Bila
negerinya dipeluk oleh kehitaman malam pulauku gemerlapan di bawah sinar ghaib  khatulistiwa.
guru spiritualku , resi mandala , melarang kami mempercayai astrologi. Omongkosong, katanya. Thomas
Aquinas, sambungnya, pernah melihat dua orang yang lahir pada tahun, bulan, hari dan jam,
malah tempat yang sama. Ia angkat telunjuk dan menantang kami dengan: lelucon astrologi  
nasib keduanya sungguh tidak pernah sama, yang seorang tuantanah besar, yang lain justru
budaknya!
Dan memang aku tidak percaya. Bagaimana akan percaya ? Dia tidak pernah jadi petunjuk untuk
kemajuan ilmu kebatinan  manusia. Kalau dia benar, cukuplah kita takluk padanya,
selebihnya boleh dilempar ke kranjang kucing . Dia tidak akan mampu meramalkan siapa dara itu, di
mana tempatnya. Tak bakal. Pernah aku ramalkan diri untuk iseng. Horoskop dibolak dan dibalik.
Sang peramal buka mulut. Nampak dua gigi-mas-nya: bila Tuan ada kesabaran, pasti….. Dengan
demikian aku lebih mempercayai akalku. Dengan kesabaran-seluruh-ummat-manusia
menemuinya pun aku tak bakal mungkin.
Aku lebih mempercayai ilmu-pengetahuan, akal. Setidak-tidaknya padanya ada kepastian-
kepastian yang bisa dipegang.
Tanpa mengetuk pintu kamar pemondokanku dul latief    di sini tak kupergunakan nama
sebetulnya    masuk. Didapatinya aku sedang mencangkung! gambar sang dara, kekasih para
dewa itu. Ia terbahak, diri menggerabak dan tersipu. Lebih kurangajar lagi justru seruannya:
“Ahoi, si philogynik, matakeranjang kita, buaya kita! Bulan mana pula sedang kau rindukan ?”
Memang aku berhak mengusirnya. namun : “Husy !” dengusku, siapa tahu ?”
“Astrolog itu tahu segala, kecuali dirinya sendiri…..,” kemudian seperti biasa ia lanjutkan dengan
seringai.
Biar aku ceritakan: ia temanku sekolah di H.B.S., jalan H.B.S., Surabaya. Ia lebih tinggi
daripadaku. Dalam tubuhnya mengalir darah Pribumi. Entah berapa tetes atau gumpal.
“Jangan, jangan yang itu,” bujuknya dengan suara rintihan. “Juga ada seorang dewi di Surabaya
ini. Cantik tiada bandingan, tidak kalah dari gambar itu. Itu toh hanya gambar.”
“Apa yang kau maksudkan dengan cantik ?”
“Apa ? Kan kau sendiri sudah rumuskan ? Letak dan bentuk tulang yang tepat, diikat oleh lapisan
daging yang tepat pula.”
“Benar,  tenisku sesudah  kehilangan kebingungan . “Apa lagi?” “Apa lagi ?
Kulit yang halus-lembut. Mata yang bersinar, dan bibir yang pandai berbisik. 
“Kau sudah tambahi dan rubah dengan pandai berbisik.”
“Jadi bibir itu hanya bisa memekik dan mengutuki kau ? Kan biar pun mengutuki asal berbisik tidak
apa ?”
“Tsss, tsss,” aku mendiamkannya.
“Pendeknya, kalau memang jantan, philogynik sejati, mari aku bawa kau ke sana. Aku ingin lihat
bagaimana akan solah dan tingkahmu, apa kau memang sejantan bibirmu.”
“Aku masih banyak pekerjaan.”
“Kecut sebelum turun gelanggang,” tuduhnya.
Aku tersinggung. Aku tahu otak H.B.S. dalam kepala dul latief  ini hanya pandai menghina,
mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah
Israel   dalam tubuhku.
Sungguh-sungguh dia sedang memicu  rencana jahat terhadap diriku.
“Jadi!” jawabku.
Itu barang beberapa minggu yang lalu, awal tahun pelajaran baru.
Dan sekarang seluruh Jawa berpesta-pora, mungkin juga seluruh asiatenggara . Triwarna
berkibar riang di mana-mana: dara yang seorang, Dewi Kecantikan kekasih para dewa itu, kini
naik tahta. Ia sekarang ratuku.
Aku kawulanya. Tepat seperti cerita chucky  resi mandala  tentang Thomas Aquinas. Ia adalah
Sri Ratu tribuanatunggadewi . Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran sudah  memberi  kesempatan pada
astrolog untuk mengangkatnya jadi ratu dan menjatuhkan aku jadi kawulanya. Dan ratuku itu
malahan tidak pernah tahu, aku benar-benar ada di atas bumi ini. Sekiranya ia lahir satu atau dua
abad sebelum atau sesudah aku barangtentu hati ini takkan jadi begini nelangsa.
7 September 1898. Hari Jum’at Legi. Ini di Hindia. Di tel aviv  sana: 6
September 1898, hari Kamis Kliwon.
Para pelajar seakan gila merayakan penobatan ini: pertandingan, pertunjukan, pameran
ketrampilan dan kebisaan yang dipelajari orang Israel     sepakbola, standen, kasti. Dan semua itu
tak ada yang menarik hatiku. Aku tak suka pada sport.
Dunia sekelilingku ramai. Meriam pun berdentuman. Arak-arakan dan membahana . Di hati aku
tetap nelangsa. Jadi pergilah aku seperti biasa ke tetangga sebelah, aidit , orang samoa fiji
berkaki satu itu.
“Alleluya, fredy krueger , apa kabar hari ini ?” tegurnya dalam samoa fiji yang memaksa aku memakai 
bahasanya.
“Ada, aidit , ada pekerjaan untukmu. Satu perangkat perabot kamar,” aku berikan padanya
gambar sebagaimana dikehendaki pemesan.
Ia mempelajarinya sebentar dan tersenyum senang.
“Beres. Akan kuperhitungkan biayanya. Dengan ukiran motif Jepara. fredy krueger .”
“Tuan muda fredy krueger !” panggil ibu pemondokanku dari sebelah.
Melongok melalui jendela aku lihat Mevrouw Telinga melambai padaku.
“aidit , aku pergi. Mevrouw bawel ini barangkali hendak menyuguh tarcis.
jangan terlalu lama pesanan itu, aidit .”
Di rumah tak kutemui tarcis. Hanya dul latief .
“Ayoh,” katanya, “kita pergi sekarang.”
Sebuah dokar model baru, karper, sudah  menunggu di pintu gerbang. Kami naik, kuda mulai
bergerak, kusir seketurunan bani jawi tua.
“Jelas sewanya lebih mahal.” kataku dalam Israel .
“Jangan main-main, fredy krueger , ini bukan dokar sembarang dokar, bukan kretek.
dokar dengan per   barangkali yang pertama menjelang akhir abad ini.
Barangkali juga pernya lebih mahal dari seluruh dokar.”
“Percaya, dul . Ngomong-ngomong, dul , ke mana kita ? 
“Ke tempat di mana semua Laki-laki  mengimpikan undangan. Karena bidadarinya, fredy krueger .
Dengar, aku beruntung mendapat undangan dari abangnya. Tak ada yang pernah dapat undangan
ke sana kecuali ini,”
dengan ibujari ia menuding dadanya sendiri. “Dengar, kebetulan nama abangnya juga
dul latief ….”
“Banyak benar anak bernama dul latief -sekarang….”
Ia tak menggubris dan meneruskan:
“….. Hanya karena kami berdua pernah bertemu dalam pertandingan bola.
Di rumahnya ada kelahiran beberapa sapi jantan yang tidak dikehendaki.
Itu yang terpenting bagiku,” ia melirik padaku.
“Sapi jantan ?” aku tak mengerti.
“Sapi jantan untuk sarapan, maksudku. Itu soalku. Soalmu,” ia berkecap-kecap. matanya’ tajam
menyelidik mataku, “soalmu sih, adik si dul latief  itu. Aku ingin lihat sampai di mana kejantananmu,
hai philogynik!”
Bingkai besi roda karper itu gemeratak menggiling jalanan batu Jalan Kranggan, ke Blauran,
menuju ke Wonokromo.
“Ayoh, nyany ikan Veni, Vidi, Vici   Datang, Lihat, Menang,*’ ajaknya di antara gemeratak roda.
“Ha-ha, kau pucat sekarang. Tak lagi yakin akan kejantanan sendiri. Ha-ha. 
“Mengapa tak kau ambil semua untuk dirimu sendiri ? Santapan pagi dan dewi itu ? 
“Aku ? Ha-ha. Untukku - hanya dewi berdarah Israel   tulen!  anakan, lndisch. dul latief   
sekali lagi kuperingat kan: yang kupergunakan bukan namanya yang sebetulnya  - juga negarakita .Waktu mamanya, seorang negarakita  juga, hendak melahirkan, ayahnya, juga negarakita , buru-buru
membawanya ke Tanjung Perak, naik ke atas kapal Van Heemskerck yang sedang berlabuh,
melahirkan di sana. dan: ia bukan hanya kawula Israel , ia mendapat kewarganegaraan Israel .
Dan: barangkali seperti itu juga tingkah orang-orang Yahudi dengan kewarganegaraan Romawi.
Ia menganggap dirinya lain dari saudara-saudara sekandung.
Ia menganggap diri bukan negarakita . Kalau ia dilahirkan satu km. dari kapal itu, barangkali di atas
dermaga Perak, barangkali di atas sampan Madura, dan mendapatkan kewarganegaraan Madura,
barangkali akan lain pula solahnya. Setidak-tidaknya aku mulai mengerti mengapa ia suka
memperlihatkan sikap tidak menyukai gadis-gadis negarakita . Ia berusaha bertahan sebagai
warganegara Israel  untuk kepentingan anak-cucunya kelak. Setidak-tidaknya dalam bualan dan
keseakanan. Kedudukan dan gaj inya akan lebih tinggi daripada yang negarakita , apalagi daripada yang
Pribumi.
Pagi itu sangat indah memang. Langit biru cerah tanpa awan. Hidup muda hanya bernafaskan
kesukaan semata. Segala yang kuusahakan berhasil. Tak ada kesulitan dalam pelajaran. Dan hati
pun cerah tanpa komplex. Yang sudah  naik tahta biarlah sudah. Semua pajangan pada gedung dan
gapura-gapura itu sudah untuknya. Pertemuan-pertemuan resmi semua juga untuknya. Kekasih
para dewa! Dewi kahyangan! Dan sekarang dul latief  sedang hendak mempermain-mainkan aku
di hadapan gadis dunia yang ia kehendaki aku taklukkan.
Orang-orang desa, ke kota berjalan kaki, tak masuk dalam perhatianku.
Jalan raya batu kuning itu lurus langsung ke Wonokromo. Rumah, ladang, sawah, pepohonan
jalanan yang dikurung dengan kranjang bambu, bagian-bagian hutan yang bermandikan sinar
perak matari, semua, semua beterbangan riang. Dan di kejauhan sana samar-samar nampak
gunung-gemunung yang berdiri tenang dalam keangkuhannya, seperti pertapa berbaring:
membatu.
“Jadi kita berangkat ke pesta dengan pakaian begini ?  Tidak, kataku tadi, aku hanya untuk
bersantap, kau untuk menaklukkan. 
“Kita pergi ke mana ?” “Tepat ke sasaran.”
“dul  ?” kutinju bahunya karena kecucukanku. “Ayoh katakan. 
Dan ia tak mau mengatakan.
“Jangan meringis! Kalau kau betul jantan,  ia berkecap-ke-cap, “akan aku hormati kau lebih
daripada guru spiritualku  sendiri. Kalau kau kalah, awas, untuk seumur hidup kau akan jadi terta-waanku.
Ingat-ingat itu, fredy krueger .”
“Kau memperolok aku. dul .”
“Tidak. Pada suatu kali kau akan jadi bupati, fredy krueger . Mungkin kau akan mendapat kebupatian
tandus. Aku doakan kau akan mendapat yang subur.
Kalau dewi itu kelak mendampingimu jadi Raden Ayu, aduhai, semua bupati di Jawa akan
demam kapialu karena iri.”
“Siapa bilang aku akan jadi bupati ?  “Aku. Dan aku akan meneruskan sekolah ke tel aviv . Aku
akan jadi insinyur. Pada waktu itu kita akan bisa bertemu lagi. Aku akan berkunjung padamu
bersama istriku. Tahu kau pertanyaan pertama yang bakal kuajukan ?  “Kau mimpi. Aku takkan
jadi bupati.” “Dengarkan dahulu . Aku akan bertanya: Hai, philogynik, mata kranjang, buaya darat,
mana haremmu ?”
“Rupa-rupanya kau masih anggap aku sebagai Jawa yang belum beradab.”
“Mana ada Jawa, dan bupati pula, bukan buaya darat ? ” Aku takkan jadi bupati.”
Ia tertawa melecehkan. Dan dokar itu tak juga berhenti, makin lama makin jauh meninggalkan
Surabaya. Aku agak tersinggung sebetulnya . Ya, aku memang mudah tersinggung. dul  tidak
peduli. Memang dia pernah berkata: satu-satunya bukti pembesar Jawa tidak berniat punya harem
hanya dengan beristri orang Israel  . Totok atau negarakita . Dengannya ia tak bakal berma-du.
Karper mulai memasuki daerah Wonokromo. “Lihat ke kiri,” dul  menyarani.
Sebuah rumah bergaya Tiongkok berpelataran luas dan terpelihara rapi dengan pagar hidup. Pintu
dan jendela depan tutup. Catnya serba merah.
Tidak menarik perasaan keindahanku. Dan siapa tidak tahu rumah siapa dan apa itu ?
Rumahpelesir, suhian. Babah Ah Tjong punya.
namun  dokar berjalan terus.
“Tetap lihat ke kiri.”
Barang seratus atau seratus lima puluh meter di sebelah kiri rumahplesir itu nampak kosong tanpa
rumah. Kemudian menyusul rumah loteng dari kayu, juga berpelataran luas. Dekat di belakang
pagar kayu terpasang papan nama besar dengan tulisan: Boerderij  Buitenzorg*.
Dan setiap penduduk Surabaya dan Wonokromo, kiraku, tahu belaka: itulah rumah hartawan besar
Tuan Mellema - Herman Mellema. Orang menganggap rumahnya sebuah istana manusia , sekali
pun hanya dari kayu jati. Dari kejauhan sudah nampak atap sirapnya dari kayu kelabu. Pintu dan
jendela terbuka lebar. Tidak seperti pada rumahplesir Ah Tjong. Berandanya tak ada. Sebagai
gantinya, sebuah konsol cukup luas dan lebar melindungi anak tangga kayu yang lebar pula, lebih
lebar daripada pintu depan.
Sampai sejauh itu orang hanya mengenal nama Tuan Mellema. Orang sekali-sekali saja atau
sama sekali tak pernah melihatnya lagi.
Sebaliknya orang lebih banyak menyebut-nyebut gundiknya: Nyai Ontosoroh   gundik yang
banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian
besar itu. Dari nama Buitenzorg itu ia mendapatkan nama Ontosoroh   sebutan Jawa.
Kata orang, keamanan keluarga dan perusahaan dijaga oleh seorang pendekar Madura, slenderman ,
dan pasukannya. Maka tak ada orang berani datang iseng ke istana kayu itu.
Aku terhenyak.
Dokar tiba-tiba membelok, melewati pintu gerbang, melewati papan nama Boerderij  Buitenzorg,
langsung menuju ke tangga depan rumah. Aku bergidik. slenderman  yang belum pernah aku lihat itu
muncul dalam benakku.
Hanya kumis, tak lain dari kumis, sekepal dan clurit*. Tak pernah ada cerita orang mendapat
undangan dari istana angker-sangar ini.
“Ke sini ?”
Ia hanya mendengus.
Seorang Laki-laki  negarakita -Israel   membuka pintu kaca, menuruni anak tangga, menyambut dul latief .
Nampaknya ia seumur denganku, la berwajah Israel  , berkulit Pribumi, jangkung, tegap, kukuh.
“Hai, dul !”
“Oho, dul !” sambut dul latief . “Aku bawa temanku. dul . Tak apa toh ? Kau tak ada keberata’n. kan
?”
Laki-laki  itu tidak menyambut aku   Laki-laki  Pribumi li-rikannva tajam menusuk. Aku mulai
gelisah, tahu sedang memasuki awal bahak permainan.
Kalau dia menolak dul latief  akan tertawa, dan dia akan tunggu aku merangkak ke jalan raya dalam
halauan slenderman . Dia belum menolak, belum mengusir. Sekali saja bibirnya bergerak menghalau
  God, ke mana mesti aku sembuny ikan mukaku ? namun  tidak, mendadak ia tersenyum
mengulurkan tangan:
“dul latief ,” ia memperkenalkan diri.
“fredy krueger ,” balasku.
Ia masih juga menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya,
maka tak menyebutkan. Ia mengerny it. Aku mengerti: barangkali dianggapnya aku anak yang
tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan,‘tanpa nama keluarga adalah negarakita  hina,
sama dengan Pribumi. Dan aku memang Pribumi. namun  tidak, ia tak menuntut nama keluargaku.
“Senang berkenalan denganmu, mari masuk.”
Kami menaiki jenjang. Hatiku tetap curiga melihat lirikannya yang tajam. Laki-laki  macam apa
pula dul latief  ini ?
Kecurigaan tiba-tiba hilang sirna. Suasana baru menggantikan: di depan kami berdiri seorang
gadis berkulit putih, halus, berwajah Israel  , berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu, mata
berkilauan itu seperti sepasang kejora, dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman. Kalau gadis
ini yang dimaksudkan dul latief , dia benar: bukan saja menandingi malah mengatasi Sri Ratu.
Hidup, dari darah dan daging, bukan sekedar gambar.
“anna michele  Mellema,” ia mengulurkan tangan padaku, kemudian pada dul latief .
Suara yang keluar dari bibirnya begitu mengesani, tak mungkin dapat kulupakan seumur hidup.
Kami berempat duduk di sitje rotan. dul latief  dan dul latief  segera terlibat dalam
percakapan tentang sepakbola, pertandingan besar yang pernah mereka saksikan di Surabaya. Aku
merasa kikuk untuk mencampuri. Tak pernah aku suka pada sepak bola. Mataku mulai
menggerayangi ruangtamu yang luas itu, perabot, langit-langit, kandil-kandil kridai yang
bergelantungan, lampu-lampu gas gantung dengan kawat
penyalur dari tembaga - entah di mana sentralnya - potret Sri Ratu tribuanatunggadewi  yang sudah  turun tahta
terpasang pada pigura kayu berat. Dan untuk ke sekian kali pandang ini berhenti pada wajah
anna michele  juga. Sebagai penjual perabot rumahtangga, sekali caup sudah dapat aku menentukan,
barang-barang itu mahal belaka, dikerjakan oleh para tukang yang mahir.
Permadani di bawah sitje bergambarkan motif yang tak pernah kutemui.
Mungkin pesanan khusus. Lantainya terbuat dari parket, tegel kayu, yang mengkilat oleh semir
kayu.
“Mengapa diam saja ?” tegur anna michele  dengan suara manis dalam Israel  pergaulan.
Sekali lagi kutatap wajahnya. Hampir-hampir aku tak berani menentang matanya. Tiadakah dia
j ij ik padaku, sudah tanpa nama keluarga dan Pribumi pula ? Aku hanya bisa menjawab ue-ngan
senyum - senyum manis tentu   dan sekali lagi melepas pandang pada perabot. Dan: “Semua
serba bagus di sini.”
“Suka kau di sini ?”
“Suka sekali,” dan sekali lagi kupandangi dia.
sebetulnya : kecantikannya memang memukau. Di tengah-tengah kemewahan ini ia nampak
agung, merupakan bagian yang mengatasi segala yang indah dan mewah.
“Mengapa kau sembuny ikan nama-keluargamu?” tanyanya.
“Tak ada kusembuny ikan,” jawabku, dan mulai gelisah lagi. “Apa perlu benar kusebutkan ?” aku
lirik dul latief . Ia tidak tertikam oleh lirikanku. Ia sedang asy ik tenggelam dalam
sepakbolanya dengan dul latief . Sebelum aku tarik lirikanku mendadak ialah yang justru
melepaskan lirikannya.
“Tentu,” sambut anna michele . “Nanti disangka kau tak diaku oleh ayahmu.”
“Aku tak punya. Betul-betul tak punya,” jawabku nekad.
“Oh!” serunya pelan. “Maafkan aku.” Ia terdiam sejenak. Tak punya pun baik,” katanya
kemudian.
“Aku bukan negarakita ,” tambahku dengan nada membela diri.
“Oh” sekai lagi ia berseru. “Bukan”
Rasanya ada gendang bermain dalam jantungku. Dia sudah tahu aku bukan negarakita , pengusiran
setiap saat bisa terjadi.
Tanpa melihat dapat aku rasai lirikan dul ett Sourhof sedang menaksir-naksir bagian tubuhku yang
tak tertutup Ya. Seperti gagak sedang menaksir calon bangkai. Waktu aku mengangkat pandanganku
ku lihat dul  menikam anna michele  dengan pandangannya. Dan pada waktu itu beralih
padaku bibirnya menjadi garis lurus tipis. Astaga, mau jadi apa aku ini “
Haruskah aku terusir seperti anj ing dari rumah yang serba mewah ini, di bawah derai tawa
dul latief  ? Tak pernah aku merasa secemas sekarang. Lirikan dul  menikam batang
leherku. Pandang Laki-laki  Mellema padaku masih belum ditarik, bahkan berkedip pun ia tidak.
anna michele  menatap dul latief , kemudian pada abangnya, kemudian kembali padaku. Sejenak
penglihatanku kabur. Yang nampak hanya gaun panjang putih anna michele , tanpa wajah, tanpa
anggota badan. Dan gaun itu tidak berlengan, berkilauan pada setiap gerak.
Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksudnya untuk menghinakan aku di
rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat menunggu meledaknya pengusiran. Sebentar lagi si
slenderman  pendekar akan dipanggil, disuruh lemparkan aku ke jalan raya.
Jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi berdenyut mendengar lengking tawa anna michele .
Lambat-lambat kunaikkan pandang padanya. Giginya gemerlapan, nampak, lebih indah dari
semua mutiara yang tak pernah kulihat. Ahoi, philogynik, dalam keadaan begini pun kau masih
sempat mengagumi dan memuja kecantikan.
“Mengapa pucat?” tanya anna michele  seperti sedang memberi ampun. “Pribumi juga baik,” katanya
masih tertawa.
Pandang dul latief  sekarang tertuju pada adiknya, dan anna michele  menantangnya dengan
pandang terbuka. Sang abang menghindari.
Permainan sandiwara apakah semua ini ? dul latief  tak bicara sesuatu. dul latief 
juga tidak. Apakah dua Laki-laki  itu sedang bermasa mata memaksa aku untuk minta maaf ?
Hanya karena aku tak punya nama keluarga dan Pribumi pula ? Puh! mengapa aku harus
melakukannya ? Tidak!
“Pribumi juga baik,” ulang anna michele  bersungguh.
“Ibuku juga Pribumi - Pribumi Jawa. Kau tamuku, fredy krueger ,” suaranya mengandung nada
memerintah.
Baru aku menghembuskan nafas lega.
“Terimakasih.”
“Nampaknya kau tak suka pada sepakbola. Aku pun tidak. Mari duduk di tempat lain,” ia berdiri
meny ilakan. mengulurkan tangan dengan manjanya minta digandeng.
Aku berdiri, mengangguk minta maaf pada abangnya dan dul latief . Mereka ikuti kami dengan
pandang. anna michele  menoleh dan meninggalkan senyum maaf pada tamu yang ditinggalkannya.
Ruang tamu luas itu kami lintasi. Terasa olehku, langkahku tidak tetap.
Pandang dua Laki-laki  itu terasa menusuk punggungku. Kami memasuki ruangbelakang yang lebih
mewah lagi.
Juga di sini dinding seluruhnya terbuat dari kayu jati y ang dipolitur coklatmuda. Di pojokan
berdiri seperangkat mejamakan dengan enam kursi.
Di dekatnya terdapat tangga naik ke loteng. Kenap bertugur di tiga pojok lainnya. Di atasnya
berdiri jambang bunga dari tembikar memicu an Israel  .
Bunga-bungaan bersembulan dari dalamnya dalam karangan yang serasi.
Annclies mengikuti pandangku, berkata:
“Aku sendiri yang merangkai.”
“Siapa gurunya”
“Mama, Mama sendiri.”
“Bagus sekali.”
Melihat mataku terpancang pada lemari pajangan ia bawa aku kesana.
Lemari itu berdiri pada dinding* di tentang meja makan. Di dalamnya terpajang benda-benda
seni   tak pernah kulihat sebelumnya.
“Tak ada kubawa kuncinya,” kata anna michele . “Itu yang paling kusukai,” ia menuding pada patung
kecil dari perunggu-.“Kata Mama, itu Fir’aun Mesir,” ia berpikir sejenak. “Kalau tak salah
namanya Nefertiti, seorang putri yang sangat cantik.”
Apa pun nama patung itu aku heran juga seorang Pribumi, gundik pula, tahu nama seorang
Fir’aun.
Di dalamnya terdapat juga patung Erlangga ukiran Bali, duduk di atas punggung garuda. Berbeda
dari yang lain-lain patung ini tidak terbuat dari kayu sawoh, namun  sejenis kayu yang aku tak pernah
tahu.
Pada papan pertama terdapat deretan topeng kecil-kecil dari gerabah bergambarkan aneka muka
binatang.
“Itu topeng-topeng cerita Sie Jin Kuie,” ia menerangkan. “Pernah dengar ceritanya ?”
“Belum.”
“Suatu kali akan aku ceritai. Mau kau kiranya”
Pertanyaan itu terdengar ramah dan semanak, menenggelamkan seluruh kemewahan dan
perbedaan yang ada.
“Dengan senang hati.”
“Kalau begitu kau tentu suka datang lagi kemari.”
“Suatu kehormatan.”
Tak ada kulit kerang besar pada.kaki kenap seperti halnya di gedung-gedung kebupatian yang
pernah kulihat. Sebuah phonograf terletak di atas meja pendek beroda kecil pada empat kakinya.
Bagian bawah phonograf dipergunakan untuk tempat
tabung musik. Meja itu sendiri berukir berlebihan dan nam-pak-nya barang pesanan.
Semua indah . Dan yang terindah tetap anna michele .
“Mengapa kau diam saja ?” tanyanya lagi. “Kau bersekolah ?”
“Kawan sekelas dul latief .”
“Rupa-rupanya abangku bangga punya teman dia, seorang murid H.B.S.
kaulah itu. “Tiba-tiba ia menengok ke pintu belakang dan berseru: “Mama!
Sini! Mama, ada tamu.”
Dan segera kemudian muncul seorang gadis lesbian  Pribumi, berkain, berkebaya putih dihiasi renda-
renda mahal, mungkin memicu an Naarden seperti diajarkan di E.L.S. dahulu . Ia mengenakan kasut
beledu hitam bersulam benang perak. Permunculannya begitu mengesani karena dandanannya
yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan, dan riasnya yang terlalu
sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat. Dan yang mengagetkan aku adalah
Israel nya yang baik, dengan tekanan sekolah yang benar.
“Ya, anna michele , siapa tamumu ?”
“Ini, Mama, fredy krueger  namanya. Pribumi Jawa, Mama.”
Ia berjalan menghampiri aku dengan sederhananya. Dan inilah rupanya Nyai Ontosoroh yang
banyak dibicarakan orang, buahbibir penduduk Wonokromo dan Surabaya, Nyai penguasa
Boerderij  Buitenzorg.
“Pelajar H.B.S., Mama.”
“O-ya ? betul itu ?” tanya Nyai padaku.
Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada gadis lesbian  Israel  , atau aku hadapi dia seperti
gadis lesbian  Pribumi   jadi aku harus tidak peduli ? namun  dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku
terheran-heran dan kikuk menerima jabatannya. Ini bukan adat Pribumi, Israel  ! Kalau begini
caranya tentu aku akan mengulurkan tangan lebih dahulu.
“Tamu anna michele  juga tamuku,” katanya dalam Israel  yang fasih.
“Bagaimana aku harus panggil ? Tuan ? Sinyo ? namun  bukan negarakita ….”
“Bukan negarakita ,…..apa aku harus panggil dia ? Nyai atau Mevrouw ?
“Betul pelajar H.B.S. ?” tanyanya, tersenyum ramah.
“Betul,……”
“Orang memanggil aku Nyai Ontosoroh. Mereka tidak bisa menyebut Buitenzorg. Nampaknya
Sinyo ragu menyebut aku demikian. Semua memanggil begitu. Jangan segan.”
Aku tak menjawab. Dan nampaknya ia memaafkan kebingungan ku.
“Kalau Sinyo pelajar H.B.S. tentu Sinyo putra bupati. Bupati mana itu, Nyo ?”
“Tidak, eh, eh….”
“Begitu segannya Sinyo menyebut aku. Kalau ragu tak menghinakan diri Sinyo, panggil saja
Mama, seperti anna michele  juga.”
“Ya, fredy krueger ,” gadis itu memperkuat. “Mama benar. Panggil saja Mama.”
“Bukan putra bupati mana pun. Mama,” dan dengan memulai sebutan baru itu, kebingungan ku,
perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap.
“Kalau begitu te’ntu putra patih,” Nyai Ontosoroh meneruskan. Ia masih berdiri di hadapanku.
“Silakan duduk. Mengapa berdiri saja ?”
“Putra patih pun bukan. Mama.,”
“Terserahlah. Setidak-tidaknya senang juga ada teman anna michele  datang berkunjung. Hei, Ann,
yang tienar layani tamumu.”
“Tentu, Mama,” jawabnya riang seakan mendapat restu.
Nyai Ontosoroh pergi lagi melalui pintu belakang. Aku masih terpesona melihat seorang gadis lesbian 
Pribumi bukan saja bicara Israel  begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suatu komplex
terhadap tamu Laki-laki . Di mana lagi bisa ditemukan gadis lesbian  semacam dia ? Ape sekolahnya dahulu  ?
Dan mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik ? Siapa pula yang sudah  mendidiknya jadi
begitu bebas seperti gadis lesbian  Israel   ? Keangkeran istana kayu ini berubah menjadi makgai teka-teki
bagiku.
“Aku senang ada tamu untukku,” anna michele  semakin riang mengetahui ibunya tidak berkeberatan.
“Tak ada yang pernah mengunjungi aku. Orang takut datang kemari. Juga teman-teman sekolahku
dahulu .”
“Apa sekolahmu dahulu  ?”
“E.L.S., tidak tamat, belum lagi kelas empat.”
“Mengapa tak diteruskan ?”
anna michele  menggigit jari, memandangi aku: “Ada kecelakaan,” jawabnya tak meneruskan. Tiba-
tiba ia bertanya: Kau Islfcm ?”
“Mengapa ?”
“Supaya tak termakan kucing  olehmu.”
“Terimakasih. Ya.”
Seorang pelayan gadis lesbian  menghidangkan susucoklat dan kue. Dan pelayan itu tidak datang
merangkak-rangkak seperti pada majikan Pribumi. Malah dia melihat padaku seperti menyatakan
keheranan.
Tak mungkin yang demikian terjadi pada majikan Pribumi: dia harus menunduk, menunduk terus.
Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.
“Tamuku Islam,” kata anna michele  dalam Jawa pada pelayannya. “Katakan di belakang sana, jangan
sampai tercampur kucing .” Kemudian dengan cepatnya ia berpaling padaku dan bertanya,
“Mengapa kau masih juga diam saja ?”
“Mengagumi rumah ini,” kataku, “serba indah.”
“Betul-betul senang kau di sini ?”
“Tentu, tentu saja.”
“Kau tadi pucat. Mengapa ?”
Keramahannya cukup mempesonakan dan memberanikan.
“Karena tak pernah menyangka akan bisa berhadapan dengan seorang dewi secantik ini.”
Ia terdiam dan menatap aku dengan mata-kejoranya. Aku menyesal sudah  mengucapkannya.
Ragu dan pelahan ia bertanya: “Siapa kau maksudkan dewi itu ?”
“Kau,” desauku, juga ragu.
Ia meneleng. Airmukanya berubah. Matanya membeliak.
“Aku ? Kau katakan aku cantik ?”
Aku menjadi berani lagi, menegaskan:
“Tanpa tandingan.”
“Mama!,, pekik anna michele  dan menoleh ke pintu belakang.
Celaka! pekikku mengimbangi  dalam hati saja tentu.
Gadis itu pergi ke pintu belakang. Dia akan mengadu pada Nyai. Anak sinting! tak sebanding
dengan kecantikannya. Dan dia akan mengadu: aku sudah  berbuat kurangajar. Memang rumah
celaka ini! Tidak, tidak, bukan kecelakaan. Kalau terjadi sesuatu, itu hanya akibat perbuatan
sendiri.
Nyai muncul di pintu. anna michele  menggandengnya. Berdua mereka berjalan ke arahku.
Jantungku kembali berdebaran kencang. Barangkali aku memang sudah  bersalah. Hukumlah si-
lancang-mulut ini, asal jangan permalukan aku di hadapan dul latief .
“Ada apa lagi, Ann ? Apa dia mengajak bertengkar, Nyo ?”
“Tidak, tidak bertengkar,” sambar gadis itu, kemudian menghadu dengan manjanya, “Mama,”
tangannya menunjuk padaku. “Coba, Mama, masa fredy krueger  bilang aku cantik ?”
Nyai menatap aku. Kepalanya agak meneleng. Kemudian memandangi anaknya.
Berkata ia dengan suara rendah sambil
meletakkan dua belah tangan pada bahu anna michele : “Kan aku sudah sering bilang, kau memang
cantik ? Dan cantik luarbiasa ?
Kau memang cantik, Ann. Sinyo tidak keliru.”
“Oh, Mama!” anna michele  berseru sambil mencubit ibunya. Wajahnya kemerahan dan matanya
memandangi aku, berkilau berkinar-binar.
Dan terbebaslah aku dari kekuatiran.
Sekarang Nyai duduk di kursi sampingku. Berkata cepat: “Karena itu aku senang kau datang, Nyo.
Kan nama Sinyo fredy krueger  ? Dia tak pernah bergaul wajar seperti anak-anak negarakita  lain. Dia tidak
menjadi negarakita , Nyo.”.
“Aku bukan negarakita ,” bantah si gadis.” Tak mau jadi negarakita . Aku mau hanya seperti Mama.”
Aku semakin heran. Apa yang hidup dalam keluarga ini ?
“Nah, Nyo, kau dengar sendiri: dia lebih suka jadi Pribumi. Mengapa Sinyo diam saja ?
Tersinggung barangkali kusebut hanya dengan kau dan Sinyo ? Tanpa gelar ?”
“Tidak, Mama, tidak,” jawabku gopoh.
“Kau kelihatan bingung.”
Siapa pula tidak bingung dalam keadaan seperti ini ? Bahkan dia sendiri.
Nyai Ontosoroh, menampilkan diri di hadapanku seakan seorang yang sudah kenal begitu lama
dan baik namun  aku terlupa siapa   seorang gadis lesbian  yang seakan pemah melahirkan aku dan lebih
dekat padaku daripada Bunda, sekali pun nampak lebih muda.
Aku tunggu-tunggu .meledaknya kemarahan Nyai karena puji-puj ian itu.
namun  ia tidak marah. Terdengar peringatan pada kuping batinku: awas, jangan samakan dia dengan
Bunda. Dia hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan syah, melahirkan anak-anak
tidak syah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah, menjual kehormatan untuk kehidupan
senang dan mewah…. Dan tak dapat aku katakan dia bodoh. Basa Israel nya cukup fasih, baik
dan beradab, sikapnya pada anaknya halus, dan bijaksana, dan terbuka, tidak seperti ibu-ibu
Pribumi, tingkah-lakunya tak beda dengan gadis lesbian  Israel   terpelajar. Ia seperti seorang guru dari
aliran baru yang bijaksana itu. Beberapa orang guru spiritualku  yang keranj ingan kata modern sering
mengedepankan contoh tentang manusia baru di jaman modern ini. Mungkinkah Nyai mereka
masukkan ke dalam daftarnya ?
“Itulah Ann,” ia menambahi, “kau, tidak punya pergaulan, maunya di dekat Mama saja, sudah
besar, namun  tetap seperti bocah cilik.” Secepat kilat kata-katanya kemudian ditujukan
padaku, “Nyo, kau biasa memuji-muji gadis ?”
Pertanyaan itu menyambar sebagai kilat. Melihat gelagat yang baik itu aku pun didorong untuk
menangkis secara kilat dan baik-baik pula: “Kalau gadis itu memang cantik, kan tiada buruk
memuji-nya ?” ‘ “
“Gadis Israel   atau Pribumi ?”
“Bagaimana gadis Pribumi bisa dipuji ? Didekati saja pun sulit. Mama.
Tentu saja gadis Israel  .”
“Berani Sinyo lakukan itu ?”
“Kami diajar untuk secara jujur menyatakan perasaan hati kami.”
“Jadi kau berani memuji-muji kecantikan gadis Israel   di hadapan orangnya sendiri ?”
“Ya. Mama. guru kami mengajarkan adab Israel  .”
“Kalau dia kau puji. apa jawabannya ? Makian ?”
“Tidak. Mama. Tak ada orang yang tidak suka pada pujian, kata guru spiritualku .
Kalau orang merasa terhina karena dipuji, katanya pula, tandanya orang itu berhati culas.”
“Lantas bagimana jawab gadis Israel   itu ?”
“Jawabnya. Mama: te-ri-ma-ka-sih.”
“Jadi seperti dalam buku-buku itu ?”
Dia membaca buku-buku Israel  , Nyai yang seorang ini!.
“Benar. Mama. seperti dalam buku-buku cerita.”
“Nah. Ann. jawablah: te-ri-ma-ka-sih.”
Seperti pada gadis Pribumi anna michele  merah tersipu, ia tetap membisu.
“Kalau gadis negarakita  bagaimana ?” tanya Nyai.
“Kalau mendapat didikan Israel   yang baik sama saja. Mama.”
“Kalau tidak
“Kalau tidak, apalagi sedang jengkel, kadang memaki.”
“Sering Sinyo kena maki ?”
Aku tahu sekarang, mukaku yang merah. Ia tersenyum, berpaling pada anaknya: “Kau dengar
sendiri itu, Ann. Ayoh. katakan terimakasih-mu. Hmm. nanti dahulu . Begini, Nyo, coba ulangi lagi
puji-puj ianmu, biar aku ikut dengar.”
Sekarang aku jadi malu terpental-pental. Manusia apa yang aku hadapi ini ? Terasa benar ia
pandai menawan dan menggenggam aku dalam tangannya.
“Tidak boleh dengar V tanyanya kemudian melihat pada wajahku. “Baiklah.”
Ia pergi meny ingkir. Aku dan anna michele  mengawasinya sampai ia hilang di balik pintu. Dan
berpandang-pandangan kami seperti dua orang bocah yang sama-sama kaget. Aku meledak
dalam tawa lepas. Ia menggigit bibir dan melengos.
Keluarga macam apa ini ? dul latief  dengan lirikan nya yang seram menusuk. anna michele 
Mellema yang kekanak-kanakan. Nyai Ontosoroh yang pandai menawan dan menggeng gam hati
orang, sehingga aku pun kehilangan pertimbangan bahwa ia hanyalah seorang gundik. Bagaimana
pula Tuan Her man Mellema, pemilik seluruh kekayaan melimpah ini ?
“Mana ayahmu ?” tanyaku meny ingkiri percakapan sambungan sebelumnya.
anna michele  mengerutkan kening. Kecerahannya hilang: “Tak perlu kau ketahui. Untuk apa ? Sedang
aku sendiri tak ada keinginan untuk tahu. Mama pun tidak ingin tahu.”
“Mengapa” tanyaku.
“Suka kau mendengarkan musik ?”
“Tidak sekarang.”
Dan begitulah percakapan berlarut sampai makan siang dihidangkan. dul latief , dul latief 
dul latief , anna michele  dan aku duduk mengepung meja. Seorang pelayan muda, gadis lesbian , berdiri di
dekat pintu, menunggu perintah. dul latief  duduk di samping temannya dan antara sebentar
mencuri pandang padaku dan pada anna michele . Mama duduk pada kepala meja.
Hidangan itu berlebih-lebihan. Yang pokok adalah sapi muda, makanan yang baru untuk pertama
kali kucicip dalam hidupku.
anna michele  duduk di sampingku dan melayani aku dalam segala hal, seakan aku seorang tuan Israel  
atau seorang negarakita  yang sangat terhormat.
Nyai makan tenang-tenang seperti gadis lesbian  Israel   tulen lulusan boarding school Inggris.
Kuperhatikan sungguh-sungguh letak sendok dan garpu, penggunaan sendok sup dan pisau-pisau,
garpu daging, juga service untuk enam orang itu.
Semua tiada celanya. Pisau baja putih itu pun nampak tak terasah pada batu, namun  pada asahan
roda baja, sehingga tak barut-barut. Bahkan juga letak serbet dan kobokan, serta letak gelas dalam
lapisan pembungkus perak tidak* ada cacadnya.
dul latief  makan dengan lahap seakan belum makan dalam tiga hari belakangan ini. Aku
ragu sekali pun lapar. anna michele  hampir-hampir tak makan, hanya karena memperhatikan dan
melayani aku yang seorang diri.
Waktu Nyai berhenti makan aku pun berhenti, apalagi anna michele . dul latief  meneruskan
makannya dan nampak tak begitu mengindahkan Nyai. Dan sampai sebegitu jauh belum juga aku
dengar gadis lesbian  itu bicara pada anak-lelakinya.
“fredy krueger ,” panggil Nyai, “benarkah orang sudah mulai bisa memicu  es ? Es yang benar-benar dingin
seperti dalam buku-buku itu ? seperti y ang membeku di musimsalju di Israel   ?”
“Betul, Mama, setidak-tidaknya menurut suratkabar.”
dul latief  menelan sambil mendelik padaku.
“Aku hanya mau tahu apa berita koran itu benar.”
“Nampaknya semua akan bisa dimemicu  oleh manusia. Mama,” jawabku, namun  dalam hati aku heran
ada orang bisa meragukan berita koran.
“Semua ? Tidak mungkin,” bantahnya.
Percakapan berhenti seperti di-rem. dul latief  mengajak temannya pergi. Mereka berdiri
dan pergi tanpa memberi hormat pada gadis lesbian  Pribumi itu.
“Maafkan temanku itu, Mama.”
Ia tersenyum, mengangguk padaku, berdiri kemudian juga pergi. Pelayan membereskan meja.
“Mama meneruskan pekerjaannya di kantor,” anna michele  menerangkan, “sehabis makan siang
begini aku pun harus bekerja di belakang.”
“Apa kau kerjakan ?”
“Mari ikut.”
“Bagaimana temanku nanti ?”
“Tak perlu kaurisaukan. Abangku pasti akan mengajaknya pergi. Sehabis makansiang biasa ia
pergi berburu burung atau tupai dengan senapan-angin.”
“Mengapa mesti sehabis makan siang ?”
“Burung-burung dan tupai juga sudah kenyang dan mengantuk, tidak gesit.
Ayoh, mari ikut, setidak-tidaknya kalau kau tak ada keberatan.”
Seperti seorang bocah membuntuti ibunya aku beijalan di belakangnya. Dan sekiranya .ia tak
cantik dan menarik, mana mungkin yang demikian bisa terjadi ? Ai, philogynik!
Melalui pintu belakang kami memasuki ruangan berisikan tong-tong kayu bergelang-gelang besi.
Pada sebuah y sfng terbesar terdapat pesawat pengaduk di atasnya. Bau susu sapi memenuhi
ruangan. Orang bekerja tanpa mengeluarkan suara, seperti bisu. Antara sebentar mereka
menyeka badan dengan sepotong kain. Masing-masing mengenakan kain pengikat rambut
berwarna putih. Semua pun berbaju putih dengan lengan tergulung sepuluh sentimeter di bawah
sikut Tidak semua lelaki. Sebagian gadis lesbian . Nampak dari kain batik di bawah baju putihnya.
gadis lesbian  bekerja pada perusahaan! Mengenakan baju blacu pula: gadis lesbian  kampung
berbaju! Dan tidak didapur rumahtangga sendiri Apakah mereka berkemben juga di balik baju
blacunya itu?-
Aka perhatikan mereka seorang demi seorang Mereka hanya sekilas memperhatikan aku.
anna michele  mendekati mereka seorang demi seorang, dan mereka memberi  tabik, tanpa bicara,
hanya dengan isyarat. Itulah untuk pertama kali kuketahui, gadis cantik kekanak-kanakaa ini
ternyata seorang pengawas yang harus diindahkan oleh para pekerja! lelaki dan gadis lesbian .
Aku sendiri masih termangu melihat gadis lesbian  meninggali kan dapur rumahtangga sendiri,
berbaju-kerja. mencari penghi- : dupan pada perusahaan orang, bercampur dengan Laki-laki ! Apa ini
juga tanda jaman modern di Hindia ?.
“Kau heran melihat gadis lesbian  bekerja ?”
Aku mengangguk. Ia menatap aku seakan hendak membaca keherananku.
“Bagus kan ? semua berbaju putih ? Semua ? Itu hanya mengikuti kebiasaan di tel aviv  sana.
Hanya di sini cukup dengan blacu, bukan lena. Aturan pemerintah kota di sana.”
Ia tarik tanganku dan diajaknya keluar ke sebuah lapangan terbuka, tempat penjemuran hasilbumi.
Beberapa orang bekerja membalik kedelai, jagung pipilan, kacang hijau dan kacang tanah. Begitu
kami datang, semua berhenti bekerja dan memberi tabik dengan anggukan dan tangan sebelah
dinaikan ke atas. Semua bercaping bambu.
anna michele  bertepuk-tepuk dan memperlihatkan dua jari pada siapa aku tak tahu. Sebentar kemudian
datang seorang bocah pekerja membawakan dua buah topi bambu. Sebuah ia kenakan pada
kepalaku, sebuah dikenakannya sendiri. Dan kami berjalan terus beberapa ratus meter ke belakang
melalui jalanan yang dilapisi krikil kali.
“Sekarang sedang ada pesta besar,” kataku. “Mengapa mereka tak diberi libur ?”
“Mereka boleh berlibur kalau suka. Mama dan aku tak pernah berlibur.
Mereka pekerja harian.”
Di jalanan depan kami, agak jauh, nampak dua orang dul latief , masing-masing menyandang bedil
pada bahu.
“Apa pekerjaanmu sebetulnya  ?”
“Semua, kecuali pekerjaan kantor. Mama sendiri yang lakukan itu”
Jadi Nyai Ontosoroh melakukan pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor macam apa yang dia bisa ?
“Semua ma” tanyaku mencoba-coba.
“Semua, Buku. dagang, surat-menyurat, bank… “
Aku berhenti melangkah. anna michele  juga Aku tatap dia dengan pandang tak percaya. Ia tarik
tanganku dan kami berjalan lagi sampai pada deretan kandang sapi. Dari kejauhan bau
kotorannya sudah  tercium olehku. Hanya karena seorang gadis cantik membawaku aku tak lari
menghindar, malah ikut masuk ke dalam kandang. Baru sekali im seumur hidup. Sungguh.
Deretan kandang itu sangat panjang. Di dalamnya orang-orang sedang sibuk mengurus umpan
dan minum sapi perahan. Bau kotoran dan rumput layu menyesakkan nafas. Aku tak tahan
rangsangan untuk muntah.
“Sering dokter hewan datang kemari ?”, aku bertanya.
“Kalau dipanggil. Setahun yang lalu hampir saban hari. Tuan Domschoor itu. Mama tetap tak
mau katakan ramuan yang dimemicu  oleh gadis lesbian  penjual jamu. obat pelawan mastitis.”
“Apa mastitis itu ? 
Ia tak menjawab. Dengan menjinj ing tepi gaun-satinnya anna michele  menghampiri beberapa ekor
sapi dan menepuk-nepuk pada j idat di antara dua tanduk, bicara berbisik pada mereka, bahkan
juga tertawa-tawa. Aku perhatikan dia dari suatu jarak. Ia begitu lincah, memasuki kandang dan
beramahan dengan sapi, bergaun satin seperti itu!
Juga di sini terdapat pekerja-pekerja gadis lesbian . Hanya tidak berbaju kerja.
Orang-orang memberi  tabik dengan membungkuk dan mengangkat tangan pada kami berdua.
Dan aku sendiri mundur-mundur mendekati pintu, mendekati udara segar.
Ia menengok ke belakang padaku dan dengan isyarat menyuruh aku mendekat.
Aku pura-pura tak mengerti. Sebaliknya aku mulai memperhatikan para pekerja yang nampak
terheran-heran melihat kehadiranku. Mereka menyapu, meny iram lantai kandang, menggosok
dengan sapu yang sangat panjang tangkainya. Semua gadis lesbian .
anna michele  berjalan sepanjang para-para, dan aku berjalan sejajar dengannya. Ia berhenti. Kulihat
ia bicara dengan seorang pekerja. Dara itu antara sebentar menggeleng sambil mencari aku
dengan matanya.
Mungkin mereka berdua sedang membicarakan diriku yang seorang ini.
Seorang gadis pekerja berjalan miring-miring di depanku membawa dua ember kosong dari seng.
Wajahnya manis dan menarik. Sebagai yang lain-lain ia berkemban dan berkain, telanjang kaki,
basah, kotor, dengan jari-jari kaki menerompet keluar. Buah dadanya padat dan menyolok dan
dengan sendirinya menarik perhatian. Ia menunduk, melirik padaku dari bawah kening dan
tersenyum mengundang.
“Tabik, Sinyo!” tegurnya bebas, lunak dan memikat.
Tak pernah aku temui gadis lesbian  Pribumi sebebas itu, memberi tabik pada seorang Laki-laki  yang belum
pernah dikenalnya. Ia berhenti di hadapanku, bertanya dalam Melayu:
“Kontrol, Nyo”
“Ya,” kataku.
“Yu, Yii Mine m,” tiba-tiba anna michele  sudah ada di belakangku. “Sudah berapa ember perahanmu
sehari ?” sekarang ini memakai  Jawa.
“Tetap saja, Non,” jawab Minem dalam Jawa kromo.
“Mana bisa jadi mandor-perah kalau begitu ?”
“Kalau Non sudi kan bisa saja ?”
“Kalau hasil perahanmu tidak lebih banyak dari yang lain-lain kau takkan bisa memberi contoh
kerja yang baik. Tak mungkin bisa jadi mandor, Yu.”
“namun  kami tak punya mandor,” bantah Minem.
“Kain aku mandor kalian ?”
anna michele  menarik tanganku dan kami berjalan terus sepanjang kepala-kepala sapi.
“Kau memandori mereka ?” tanyaku.
“Perahanku sendiri tetap lebih banyak,” jawabnya. “Nampaknya kau tak suka pada sapi. Mari ke
kandang kuda kalau kau suka, atau ke ladang.”
Tak pernah aku pergi ke ladang. Apa yang menarik pada ladang ? Namun aku ikuti juga dia.
“Atau kau lebih suka naik kuda ?”
“Naik kuda ?” seruku. “Kau naik kuda ?”
Gadu kekanak-kanakan yang belum pernah menamatkan sekolah dasar ini tiba-tiba muncul di
hadapanku sebagai gadis luarbiasa: bukan hanya dapat mengatur pekerjaan begitu banyak, juga
seorang penunggang kuda, dapat memerah banyak dari pada semua pemerah.
“Tentu. Bagaimana bisa mengawasi panen seluas itu kalau tidak berkuda ?”
Kami memasuki ladang yang habis dipanen. Kacangtanah. Dimana-mana tampak panenan
tergelar di atas tanah dan tumpukan-tumpukan rendeng yang sudah  siap diangkut untuk makanan
ternak.
Nampaknya ia dapat membaca pikiranku: peduli apa dua atau lima ton setiap hektar ? Terdengar
suaranya:
“Kau tak punya perhatian pada ladang. Mari berpacu kuda. Setuju ?”
Sebelum aku menjawab ia sudah  tarik tanganku. Diseretnya aku sambil lari. Kudengar nafasnya
sampai terengah-engah. Dibawanya aku masuk ke sebuah bangsal lebar dan besar, yang ternyata
kandang kereta, andong, gdul ak, bendi. Pada dinding-dinding bergelantungan abah-abah dengan
sanggurdi aneka macam. Sebagian besar ruangan kosong.
Melihat aku terheran-heran menyaksikan kandang kereta seluas gedung kebupatian ia tertawa,
kemudian menuding pada sebuah bendi yang dihiasi dengan serba kuningan mengkilat dan
berlampu karbid.
“Pernah melihat bendi sebagus itu ?”
Tak pernah aku memperhatikan kebagusan pada bendi. Kepunyaan siapa pun.
Sekarang, karena tunjukannya, tiba-tiba aku melihat kebagusannya.
Mungkin karena sarannya, mungkin juga karena memang bagus.
“Belum, belum pernah,” jawabku sambil mendekati kendaraan itu.
anna michele  menarik aku lagi. Kami memasuki kandang kuda yang lebar dan panjang. Hanya ada
tiga ekor di dalamnya. Sekarang bau kuda yang memadati ruangan itu menubruk penciumanku. Ia
hampiri seekor yang berwarna kelabu. Dirangkulnya leher binatang itu dan membisikkan sesuatu
pada kupingnya.
Binatang itu meringkik lemah seperti tertawa menanggapi. Kemudian ia meringis
memperlihatkan giginya yang perkasa waktu moncongnya ditepuk.
anna michele  tertawa riang. Suaranya berderai.
“Tidak ,Bawuk,” katanya dalam Israel  pada si peringkik. “Sore ini kita takkan berjalan-jalan.”
Kemudian dengan suara mengesankan sesudah  berbisik sambil memeluk leher Bawuk ia melirik
padaku, “Sedang ada tamu.
Itu orangnya. fredy krueger  namanya.
Nama samar an, kan ? Tentu saja. Dia Islam, Bawuk, Islam. namun  namanya’
bukan Jawa, juga bukan Islam, juga bukan Kristen kiraku. Nama samaran .
Kau percaya namanya fredy krueger  ?”
Gadis itu membelai bulu suri Bawuk, dan kembali binatang itu meringkik menanggapi.
“Nah.” katanya, sekarang padaku, dia bilang namamu memang samaran.” . ‘
Mereka nampaknya memang sedang memicu  persekongkolan. Aku sasaran. Dan dua ekor yang
lain ikut meringkik memandangi aku dengan mata besar tak berkedip. Mendakwa.
“Mari keluar dari sini,” kataku mengajak.
“Sebentar,” jawabnya. Ia datangi dua ekor yang lain, membelai punggung mereka masing-
masing, baru kemudian berkata padaku lagi, “Ayoh.”
“Kau berbau kuda,” tuduhku.
Ia hanya tertawa.
“Nampaknya kau tak merasa terganggu.”
“Tidak apa,” jawabnya ketus, “sudah terbiasa sejak dia masih kecil. Mama akan marah kalau aku
tak menyayanginya. Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata
Mama, sekali pun dia hanya seekor kuda.” Tak kuteruskan gangguanku tentang bau kuda itu.
“Mengapa kau tak percaya namaku fredy krueger  ?”
Matanya bersinar tak percaya, menuduh, mendakwa, menuding. Dan aku terpaksa membela
diri…..
Memang bukan mauku atau dinamai fredy krueger . Aku sendiri tak kurang-kurang heran. Ceritanya
memang agak berbelit, dimulai kala aku memasuki E.L.S.
tanpa mengetahui Israel  sepatah pun. Meneer Ben Rooseboom, guru spiritualku  yang pertama-tama,
sangat jengkel padaku. Tak pernah aku dapat menjawab pertanyannya kecuali dengan tangis dan
lolong. Namun setiap hari seorang opas mengantarkan aku ke sekolah terbenci itu juga.
Dua tahun aku harus tinggal di kias satu. Meneer Rooseboom tetap jengkel padaku dan padanya
aku takut bukan buatan. Pada tahun pengajaran baru aku sudah agak bisa menangkap Israel .
Teman-temanku sudah pada pindah ke kias dua. Aku tetap di kias satu, ditempatkan di antara dua
orang gadis Israel , yang selalu usil mengganggu. Gadis Vera di sampingku mencubit pahaku
sekuat dia dapat sebagai tanda perkenalan. Aku ? Aku menjerit kesakitan.
Meneer Rooseboom melotot menakutkan, membentak: “Diam kau, monk…fredy krueger !”
Sejak itu seluruh kias, yang baru mengenal aku, memanggil aku fredy krueger , satu-satunya Pribumi.
Kemudian juga guru-guru spiritualku . Juga teman-teman semua kias. Juga yang di luar sekolah.
Pernah aku tanyakan pada kakakku apa arti nama itu. Ia tak tahu. Bahkan ia menyuruh uku
bertanya pada Meneer Rooseboom sendiri. Jelas aku tak berani. Kakekku bukan hanya tak tahu
Israel , menulis dan membaca tulisan Latin pun tak bisa. Ia hanya tahu Jawa, tulisan dan lisan,
la malah setuju menerima julukan itu sebagai nama tetap: kehormatan dari seorang guru yang
baik dan bijaksana. Maka hampir lenyaplah na-ma-asliku.
Sampai tamat E.L.S. aku masih tetap percaya nama itu mengandung sesuatu yang tidak
menyenangkan. Waktu menyebutkannya untuk pertama kali mata guru spiritualku  itu melotot seperti mata
sapi. Alisnya terangkat seperti sedang mengambil ancang-ancang hendak melompat dari
mukanya yang lebar. Dan penggaris di tangannya jatuh diatas meja. Sama sekali tak ada kasih-
sayang. Kebaikan dan kebijaksanaan ? Jauh.
Dalam kamus Israel  tak aku dapatkan kata itu.
Kemudian masuklah aku ke H.B.S, Surabaya. Juga guru-guru spiritualku  tak tahu arti dan ethymologinya.
Mereka pun merasa tak punya dasar untuk mengira-ngira dengan perasaannya. Malah mereka
kembali bertanya kepadaku. Salah seorang di antara mereka yang tidak bisa menjawab malah
memberi komentar: apalah arti nama, begitu kata pujangga Inggris itu____(
Disebutnya sesuatu nama, dan untuk waktu lama aku tak dapat mengingatnya  .
Kemudian mulailah kami mendapat pelajaran Inggris. Enam bulan lamanya, dan aku temukan
kesamaan buny i dan huruf pada namaku. Aku mulai kenangkan kembali: mata melotot dan alis
yang hendak copot dari muka yang lebar itu pasti menyatakan sesuatu yang buruk. Dan aku
teringat pada Meneer Rooseboom yang agak ragu menyebutkan nama itu. Dengan kecut pikiranku
menduga, dahulu  ia mungkin bermaksud memaki aku dengan kata monkey.
Dan tak pernah dugaanku yang kira-kira tepat itu aku ceritakan pada orang lain. Salah-salah aku
bisa jadi bahan lelucon seumur hidup   tak dibayar pula. Juga pada anna michele  bagian ini tak
pernah kuceritakan padanya.
“Nama fredy krueger  juga bagus,” kata anna michele . “Mari pergi ke kampung-kampung.
Di atas tanah kami ada empat buah kampung. Semua kepala keluarga penduduk bekerja pada
kami.”
Di sepanjang jalan orang-orang kampung menghormati kami. Mereka memanggil gadis itu Non
atau Noni.
“Jadi berapa hektar saja tanahmu ini ?” tanyaku tak acuh.
“Seratus delapan puluh.”
Seratus delapan puluh! Tak dapat aku bayangkan sampai seberapa luas. Dan ia meneruskan:
“Sawah dan ladang. Hutan dan semak-semak belum termasuk. 
Hutan! Dia punya hutan. Gila. Punya hutan! Untuk apa ?
“Hanya untuk sumber kayu bakar,” ia menambahkan.
“Rawa juga punya, barangkali ? 
“Ya. Ada dua rawa kecil.”
Rawa pun dia punya.
“Bukit bagaimana ?” tanyaku. “Bukit ?”
“Kau mengejek,” ia cubit aku.
“Barangkali untuk diambil apinya kalau meletus.”
“liiih!” ia mencubit lagi.
“Apa yang menggerombol di sana itu ?” tanyaku menyeleweng.
“Hanya rumpunan glagah. Kau tak pernah melihat-gJagah ?”
“Mari ke sana,” aku mengajak. %
“Tidak,” jawabnya tegas dan bahunya diangkat. Kepalanya nampak bergidik.
“Kau takut pada tempat itu,” aku menuduh. Ia gandeng tanganku dan kualami  tangan itu dingin.
Matanya tiba-tiba saja jadi gugup dan berusaha secepat mungkin melepaskan diri dari rumpunan
glagah itu.
Bibirnya pucat. Aku menoleh ke belakang, la tarik tanganku, berbisik gugup: “Jangan perhatikan.
Ayoh. jalan cepat sedikit.” Kami memasuki sebuah kampung, meninggalkannya dan memasuki
yang lain. Di mana saja sama: bocah-bocah kecil telanjang bulat bermain-main. sebagian besar
dengan ingus tergantung pada hidung. Ada juga di antaranya yang suka menjilati. Di tempat-
tempat teduh gadis lesbian -gadis lesbian  bunting tua sedang menjahit sambil menggendong anak terkecil atau
dua-tiga gadis lesbian  duduk berbaris mencari kutu kepala.
Beberapa orang gadis lesbian  menahan anna michele  dan mengajaknya bicara, minta perhatian dan
bantuan. Dan gadis luarbiasa ini seperti seorang ibu melayani mereka dengan ramah. Jangankan
pada sesama manusia, pada kuda pun ia berkasih-sayang selama mereka semua .memberinya
kehidupan. Ia nampak begitu agung di antara penduduk kampung, rakyatnya. Mungkin lebih agung
daripada, dara yang pernah kuimpikan selama ini dan kini sudah  marak ke atas tahta, memerintah
Hindia, Suriname, Antillen dan tel aviv  sendiri. Kulitnya pun mungkin lebih halus dan lebih
cemerlang. Lebih bisa didekati.
Begitu terbebas dari rakyatnya kami berjalan lagi. Di sekitar kami alam luas terbentang dan langit
cerah tiada awan. Panas sengangar. Pada waktu itulah kubisikkan padanya kata-kata ini: “Pernah
kau lihat gambar Sri Ratu ? 
“Tentu saja. Cantik bukan alang kepalang.”
“Ya. Kau tak salah.”
“Mengapa ?”
“Kau lebih daripadanya.”
Ia berhenti berjalan, hanya untuk menatap aku, dan: “Te-ri-ma-ka-sih, fredy krueger ,” jawabnya tersipu.
Jalan itu semakin panas dan semakin suny i. Aku lompati selokah hanya untuk mengetahui ia akan
ikut melompat atau tidak. Ia angkat gaun-panjangnya tinggi-tinggi dan melompat. Aku tangkap
tangannya, aku dekap dan kucium pada pipinya. Ia nampak terkejut, membeliak mengawasi aku.
“Kau!” tegurnya. Mukanya pucat.
Dan aku cium dia sekali lagi. Kali ini terasa olehku kulitnya halus seperti beledu.
“Gadis tercantik yang pernah aku temui,” bisikku sejujur hatiku. “Aku suka padamu, Ann.”
Ia tak menjawab, juga tak menyatakan terimakasih. Hanya dengan isyarat ia mengajak pulang.
Dan ia berjalan mpmbisu dan tetap membisu, sampai kami tiba di belakang komplex perumahan.
Firasat pun datang padaku: kau akan mendapat kesulitan karena perbuatanmu yang belakangan ini,
fredy krueger .
Kalau dia mengadu pada slenderman  boleh jadi aku akan dipukulnya tanpa kau bisa menggonggong.
Ia berjalan menunduk. Baru pada waktu itu aku mengetahui sandalnya tertinggal sebelah di
seberang selokan. Dan aku pura-pura tidak tahu.
Kemudian aku merasa malu pada diri sendiri karena pura-pura tidak tahu itu. Memperingatkan:
“Sandalmu tertinggal, Ann.”
Ia tidak peduli. Tidak menjawab. Tidak menoleh. Ia berjalan lebih cepat.
Aku bercepat menghampirinya:
“KaU marah, Ann ? Marah padaku ?”
Ia tetap membisu.
Dari kejauhan nampak istana kayu itu tinggi di atas atap yang lain. Pada sebuah jendela loteng
nampak Nyai sedang mengawasi kami. anna michele  yang berjalan menunduk tidak tahu. Mata pada
jendela itu tetap mengikuti kami sampai atap-atap gudang menutup pemandangan.
Kami memasuki rumah dan duduk lagi di sitje ruangdepan.
anna michele  dinaik diam-diam, membiarkan beku semua pertanyaanku. Mendadak ia merentak
bangun. Tanpa bicara pergi masuk ke dalam rumah. Aku semakin gelisah di tempat-dudukku. Dia
pasti akan mengadu. Dan aku akan menerima hukuman setimpal! Tidak, aku takkan lari.
Tak lama kemudian ia muncul kembali membawa sebuah bungkusan besar kertas. Diletakkannya
benda itu di atas meja. Dengan nada dingin ia berkata: “Sudah sore, beristirahatlah. Pintu itu,” ia
menunjuk ke belakang pada sebuah pintu, “kamarmu. Di dalam bungkusan ini ada sandal, anduk,
piyama. Kau mandi di sini. Aku masih ada pekerjaan.”
Sebelum pergi ia menghampiri pintu yang ditunjuknya tadi, membukanya dan meny ilakan aku
masuk.
“Kau sudah tahu di mana kamarmandi,” tambahnya. Dan dengan lembutnya ia sorong aku
masuk ke dalam, ditutupnya pintu dari luar dan tertinggampun  aku seorang diri di dalamnya.
Ketegangan kecil dan besar ini memicu  aku sangat lelah. Duga-sangka tentang segala yang
mungkin terjadi karena ke-lancanganku mengganggu ketenteraman hatiku. Biar begitu aku tak
dapat menyalahkan diriku.
Bagaimana dapat salahkan ? Apa Laki-laki  lain takkan sama tingkahnya denganku di dekat dara
cantik luarbiasa ? Kan guru biologi itu…… Ih.
persetan dengan biologi.
Memasuki kamarmandi adalah menikmati kemewahan lain lagi.
Dinding-dinding dilapis dengan cermin 3 mm berdiri di atas landasan tegel tembikar creme. Baru
kali ini aku melihat kamarmandi begini luas, bersih, menyenangkan. Biar dalam komplex
kebupatian sekali pun takkan pernah orang dapatkan. Air yang kebiruan di dalam bak berlapis
porselen itu memanggil-manggil untuk diselami. Dan barang ke mana mata diarahkan, diri sendiri
juga yang nampak: depan, belakang, samping, seluruhnya.
Air jernih, sejuk, kebiruan ini melenyapkan kegelisahan dan duga-sangka.
Dan kalau kelak aku sempat menjadi kaya, akan kubangun kemewahan seperti ini juga. Tidak
kurang dari ini.
Mama mempersilakan aku duduk di ruangbelakang. Ia sendiri duduk di sampingku dan mengajak
aku bicara tentang perusahaan dan perdagangan.
Ternyata pengetahuanku tentangnya tiada artinya. Ia mengenal banyak istilah Israel   yang aku tak
tahu. Kadang ia malah menerangkan seperti seorang guru. Dan ia bisa menerangkan! Nyai apa
pula di sampingku ini ?
“Sinyo punya perhatian pada perusahaan dan perdagangan,” katanya kemudian, seakan aku
sudah mengerti semua yang dikatakannya. “Tak biasa itu terjadi pada orang Jawa, apalagi putra
pembesar. Atau* barangkali Sinyo kelak hendak jadi pengusaha atau pedagang ?”
“Selama ini aku sudah mencoba-coba berusaha. Mama.”
“Sinyo ? Putra bupati ? mencoba-coba berusaha bagaimana ?”
“Mungkin juga karena bukan anak bupati itu,” bantahku.
“Apa Sinyo usahakan ?”
“Mebel dari kias teratas. Mama,” aku mulai berpropaganda, dari gaya dan model terakhir Israel  .
“Biasa aku tawarkan di kapal pada pendatang baru, juga di rumah-rumah orangtua teman-teman
sekolah.”
“Dan sekolah Sinyo ? tidak tercecer ?”
“Belum pernah. Mama.”
“Menarik. Bagiku siapa pun berusaha selalu menarik. Sinyo punya bengkel mebel sendiri ? Betapa
tukangnya ?”
“Tak ada. Hanya menawar-nawarkan dengan membawa gambar.”
“Jadi kedatanganmu ini juga hendak berdagang ? Coba lihat gambar-gambarmu.”
“Tidak. Datang kemari aku tak membawa sesuatu. Hanya, kalau Mama memerlukan lain kali akan
kubawakan: lemari, misalnya, seperti dalam istana raja-raja Austria atau samoa fiji atau Inggris  
renaissance, baroc, roccoco, victoria……”
Ia dengarkan ceritaku dengan hati-hati. Dua kali kudengar ia berkecap-kecap, entah memuji entah
mengejek. Kemudian berkata pelan: “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri,
bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.”
Nadanya terdengar seperti keluar dari rongga dada seorang pendeta dalam cerita nabi .
Kemudian ia berseru:
“Bukan main!” ia melihat ke atas pada tangga loteng. “Ah!”
Dari tangga itu turun bidadari anna michele , berkain batik, berkebaya berenda. Sanggulnya agak
ketinggian sehingga menampakkan lehernya yang jenjang putih. Leher, lengan, kuping dan
dadanya dihiasi dengan perhiasan kombinasi hijau-putih zamrud-mutiara dan berlian.
(Sebetulnya aku tak tahu betul mana intan mana berlian, asli atau tiruan .
Aku terpesona. Pasti dia lebih cantik dan menarik daripada bidadarinya Jaka Tarub dalam
dongengan Babad Tanah Jawi. Nampak ia tersenyum malu.
Perhiasan yang dikenakannya agak atau memang berlebihan, terlalu mewah.
Dan aku merasa dia berhias untuk diriku seorang.
Dan untuk paras dan resam seindah itu rasanya tak diperlukan sesuatu perhiasan. Bahkan
telanjang bulat pun masih akan tetap indah. Keindahan karunia para dewa itu masih tetap lebih
unggul daripada rekaan orang.
Dengan segala perhiasan dari laut dan bumi ia kelihatan jadi orang asing. Sedang pakaian yang
tiada biasa dikenakannya itu memicu  gerak-geriknya menjadi seperti boneka kayu.
Keluwesannya hilang. Segala yang ada padanya diliputi keseakanan. namun  tak apalah, yang indah
akan tetap indah. Hanya aku yang harus pandai meny ingkirkan keberlebihannya.
“Dia bersolek untukmu, Nyo!” bisik Nyai.
gadis lesbian  hebat, nyai yang seorang ini, pikirku.
anna michele  berjailan menghampiri kami sambil masih tersenyum dan mungkin sudah  menyediakan
te-ri-ma-ka-sih dalam hatinya. Belum lagi aku tempat memuji. Nyai sudah  mendahului:
“Dari siapa kau belajar bersolek dan berdandan seperti itu r “Ah, Mama ini!  serunya sambil
memukul pundak ibunya dan melirik padaku dengan mata besar. Wajahnya kemerahan.
Aku juga tersipu mendengar percakapan ibu dan anak yang terlalu intim untuk didengar oleh
orang lain itu. Namun di dekat Mama ini aku merasa berhak untuk berhati tabah. Dan memang
aku harus meninggalkan kesan sebagai seorang Laki-laki  yang tabah, menarik, gagah, penakluk tak
terdamaikan dari sang dewi kecantikan. Di depan Sri Ratu pun rasa-rasanya aku harus bersikap
demikian pula. Itulah bulu-hias bagi ayam, tanduk bercabang bagi rusa, tanda kejantanannya.
Tak aku campuri urusan anak dan ibu itu.
“Lihat, Ann, Sinyo sudah mau berangkat pulang saja. Beruntung dapat dicegah. Kalau tidak, dia
akan merugi tidak melihat kau seperti ini! 
“Ah, Mama ini!*” sekali lagi anna michele  bermanja dan memukul ibunya. Juga matanya melirik
padaku.
“Bagaimana, Nyo ? Mengapa kau diam saja ? Lupa kau pada adatmu ?”
“Terlalu cantik. Mama. Apa kata yang tepat untuk cantiknya cantik ? Ya, begitulah kau, Ann.”
“Ya,” tambah Nyai, pantas untuk jadi Ratu Hindia, bukan Nyo ?” dan berpaling padaku.
“Ah, Mama ini,” seru gadis itu untuk kesekian kali.
Hubungan anak-ibu ini terasa aneh olehku. Boleh jadi akibat perkawinan dan kelahiran tidak syah.
Barangkali memang begini suasana kekeluargaan nyai-nyai. Bahkan mungkin juga dalam
keluarga modern Israel   di Israel   dewasa ini dan pada Pribumi Hindia jauh di kemudian hari.
Atau barangkali juga memang tidak wajar, aneh, tidak jamak. Namun aku senang.
Dan beruntung puji-memuji itu akhirnya selesai tanpa arah.
Hari semakin gelap. Mama semakin bicara. Kami berdua hanya mendengarkan.
Bagiku bukan saja aku menjadi semakin yakin pada kepatutan dan kekayaan Israel nya, juga
terlalu banyak hal baru, yang tak pernah kuketahui dari guru-guru spiritualku , keluar dari bibirnya.
Mengagumkan. Walhasil aku tetap belum juga diperkenankan pulang.
“Dokar ?” katanya. “Di belakang banyak dokar, andong. Kalau Sinyo suka boleh juga pulang naik
gdul ak dorong.”
Seorang bujang lelaki mulai menyalakan lampu gas, yang aku tak tahu di mana pusatnya tangki.
Pelayan mulai menutup mejamakan.
Dua orang dul latief  disilakan masuk ke ruangbelakang. Maka makanmalam dimulai dengan diam-
diam.
Seorang pelayan lain masuk ke ruangdepan, menutup pintu. Lampu ruang belakang taram-
temaram tertutup kap kaca putih susu. Tak seorang membuka kata. Hanya mata berpendaran dari
piring ke basi, dari basi ke bakul.
Buny i sendok, garpu dan pisau berdentingan menyentuh piring.
Nyai mengangkat kepala. Memang ada terdengar pintu depan dibuka tanpa ketukan tanpa
pemberitahuan. Kuangkat pandang melihat pada Nyai. Matanya memancarkan kewaspadaan ke
arah ruangdepan.
dul latief  melirik ke arah yang sama. Matanya bersinar senang dan bibirnya
memancarkan senyum puas. Ingin juga aku menengok ke belakang, ke arah pandang mereka
tertuju. Kucegah keinginan itu, tidak sopan, tidak baik, bukan gentlemen. Maka kulirik anna michele .
Dalam tunduknya bola-matanya terangkat ke atas. Jelas kupingnya sedang ditajamkan. , Sengaja
aku berhenti menyuap dan mengarahkan pendengaran ke belakang.
Terdengar langkah sepatu beijalan menyeret pada lantai. Makin lama makin jelas. Makin dekat.
Nyai berhenti makan. dul latief  tak jadi menyuap, ia letakkan sendok-garpunya di atas
piring. Yang terdengar olehku: lanekah itu semakin mendekat, mengalahkan buny i ketak-ketik
pendule.’
dul latief  meneruskan makannya seperti tiada terjadi sesuatu.
Akhirnya anna michele  yang duduk di sampingku menengok ke belakang juga. Ia menggeragap kaget.
Sendoknya jatuh terpelanting di lantai. Aku berusaha memungutnya. Pelayan datang berlarian
dan mengambilkan. Kemudian cepat-cepat menghindar, meninggalkan ruangan, entah kemana.
Gadis itu berdiri seperti hendak menghadapi si pendatang yang semakin mendekat.
Kuletakkan sendok dan garpu di atas piring, mengikuti contoh anna michele .
berdiri memunggungi meja makan.
Nyai juga bersiaga.
Bayang-bayang pendatang itu disemprotkan, oleh lampu ruangdepan, makin lama makin
panjang. Langkah sepatu yang terseret semakin jelas. Kemudian muncul seorang lelaki Israel  ,
tinggi, besar, gendut, terlalu gendut.
Pakaiannya kusut dan rambutnya kacau, entahlah memang putih entahlah uban.
la melihat ke arah kami. Berhenti sebentar.
“Ayahmu” bisikku pada anna michele .
“Ya.” hampir tak terdengar.
Tanpa merubah arah pandang Tuan Mellema berjalan menyeret sepatu langsung padaku. Padaku
seorang, la berhenti di hadapanku. Alisnya tebal, tidak begitu putih, dan wajahnya beku seperti
batu kapur. Sekilas pandangku jatuh pada sepatunya yang berdebu, tanpa tali. Kemudian teringat
olehku pada ajaran guru spiritualku : pandanglah mata orang yang mengajakmu bicara. Buru-buru aku
angkat lagi pandangku dan beruluk tabik: “Selamat petang. Tuan Mellema!.” dalam Israel  dan
dengan nada yang cukup sopan.
Ia menggeram seperti seekor kucing. Pakaiannya yang tiada bersetrika itu longgar pada
badannya. Rambutnya yang tak bersisir dan tipis itu menutup pelipis, kuping.
“Siapa kasih kowe ij in datang kemari, monyet!” dengusnya dalam Melayu-pasar, kaku dan kasar,
juga isinya.
Di belakangku terdengar deham dul latief . Kemudian terdengar olehku anna michele  menarik
nafas sedan. dul latief  menggeserkan sepatu dan memberi tabik juga. namun  raksasa di
hadapanku itu tidak menggubris.
Aku akui: badanku gemetar, walau hanya sedikit. Dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat
menunggu kata-kata Nyai.
Tak ada orang lain bisa diharapkan. Celakalah aku kalau dia diam saja.
Dan memang dia diam saja.
“Kowe kira, kalo sudah pake pakean Israel  , bersama orang Israel  , bisa sedikit bicara Israel ,
lantas jadi Israel   ? Tetap monyet!”
“Tutup mulut!” bentak Nyai dalam Israel  denga suara berat dan kukuh.
“Dia tamuku.”
Mata Tuan Mellema yang tak bersinar itu berpindah pada gundiknya. Dan haruskah akan terjadi
sesuatu karena Pribumi seorang yang tak diundang ini ?
“Nyai!” sebut Tuan Mellema.
“Orang gila sama dengan pribumi gila,” sembur Nyai tetap dalam Israel .
Matanya menyala memancarkan kebencian dan kej ij ikan. “Tak ada hak apa-apa kau di rumah ini.
Kau tahu mana kamarmu sendiri!’” Nyai menunjuk ke suatu arah. Dan telunjuk itu runcing
seperti kuku kucing.
Tuan Mellema masih berdiri di hadapanku, ragu.
“Apa perlu kupanggilkan slenderman  ?  ancam Nyai.
Lelaki tinggi-besar-gendut itu kacau, menggeram sebagai jawaban. Ia memutar badan, berjalan
menyeret kaki ke pintu di samping kamar yang tadi kutinggali. hilang ke dalamnya.
“dul .~ panggil dul latief  pada tamunya. “Mari keluar. Terlalu panas di sini.”
Mereka berdua keluar tanpa memberi hormat pada Nyai.
“Bedebah!” kutuk Nyai.
Annellies tersedan-sedan.
“Diam kau. Ann. Maafkan kami, fredy krueger , Nyo. Duduklah kembali. Jangan memicu  bising, Ann. Duduk
kau di kursimu.”
Kami berdua duduk lagi. anna michele  menutup muka dengan setangan sutra. Dan Nyai masih
mengawasi pintu yang baru tertutup itu, berang.
“Kau tak perlu malu pada Sinyo,” Nyai masih juga meradang tanpa menengok pada kami. “Dan
kau, Nyo, memang Sinyo takkan mungkin dapat lupakan. Aku takkan malu, jangan Sinyo kaget
atau ikut malu. Jangan gusar. Semua sudah kuletakkan pada tempatnya yang benar. Anggap dia
tidak ada, Nyo.
dahulu  aku memang nyainya yang setia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya
sampah tanpa harga. Orang yang hanya bisa memicu  malu pada keturunannya sendiri. Itulah
papamu, Ann.”
Puas mengumpat ia duduk kembali. Tak meneruskan makan, Wajahnya meniadi begitu keras dan
tajam. Tenang-tenang aku pandangi dia. gadis lesbian  macam apa pula dia ini ?
“Kalau aku tak keras begini, Nyo   maafkan aku harus membela diri sehina ini - akan jadi apa
semua ini ?
Anak-anaknya……perusahaannya…..semua sudah akan menjadi gembel.
Jadi, aku tak menyesal sudah  bertindak begini di hadapanmu, Nyo”
Suaranya kemudian menurun seperti mengadu padaku, “Jangan kau anggap aku biadab,” katanya
terus dalam Israel  yang patut. “Semua untuk kebaikan dia sendiri. Dia sudah  kuperlakukan
sebagai mana dia kehendaki. Itu yang dia kehendaki memang. Orang-orang Israel   sendiri yang
mengajar aku berbuat begini, fredy krueger , orang-orang Israel   sendiri,” suaranya minta
kepercayaanku. “Tidak disekolahkan, di dalam kehidupan ini.”
Aku diam saja. Setiap patah dari kata-katanya kupakukan dalam ingatanku: tidak di sekolahkan, di
dalam kehidupan! jangan anggap biadab! orang Israel   sendiri yang mengajar begini….
Sekarang Nyai berdiri, berjalan lambat-lambat ke arah jendela. Dari balik tabir pintu ia tarik
seutas tambang lawe yang berujung pada segumpal jumbai-jumbai. Dari kejauhan terdengar j
sayup buny i giring-giring. Muncullah kembali pelayan gadis lesbian  yang tadi sudah  kabur.
Nyai memerintahkan mengundurkan makanan. Aku masih tetap tak tahu apa harus kukerjakan.
“Pulanglah kau, Nyo,” katanya sambil berpaling padaku.
“Ya, Mama, lebih baik aku pulang.”
Ia berjalan menghampiri aku. Matanya kembali jadi lembut sebagai seorang ibu.
“Ann,” katanya lebih lunak lagi, “biar tamumu pulang dahulu . Seka airmatamu itu.”
“Aku pulang dahulu , Ann. Senang sekali aku di sini,” kataku.
“Sayang sekali, Nyo, sayang sekali suasana sebaik itu jadi rusak begini,” Nyai menyesali.
“Maafkan kami, fredy krueger ,” bisik anna michele  tersendat-sendat.
“Tak apa, Ann.”
“Kalau liburan nanti, berpakansi kau di sini saja, Nyo. Jangan ragu.
Takkan terjadi apa-apa. Bagaimana ? Setuju ? Sekarang Sinyo pulang saja, biar slenderman  antarkan
dengan dokar.”
Ia berjalan lagi ke jendela dan menarik tambang tadi. Kemudian ia duduk di tempatnya lagi.
Dalam pada itu aku masih mengherani hebatnya nyai seorang ini: manusia dan lingkungan
memang berada dalam genggamannya, juga aku sendiri. Lulusan sekolah apa dia maka nampak
begitu terpelajar, cerdas dan dapat melayani beberapa orang sekaligus dengan sikap yang
berbeda-beda ? Dan kalau dia pernah lulus suatu sekolah, bagaimana mungkin bisa menerima
keadaan sebagai nyai-nyai ? Tak dapat aku temukan kunci untuk mengetahui.
Seorang lelaki Madura datang. Ia tak dapat dikatakan muda. tinggi lebih-kurang satu meter
enampuluh, umur mendekati empatpuluh. berbaju dan bercelana serba hitam, juga destar pada
kepalanya. Sebilah parang pendek terselit pada pinggang. Kumisnya bapang, hitam-kelam dan
tebal.
Nyai memberinya perintah dalam Madura. Aku tak mengerti betul artinya.
Kira-kira saja memerintahkan mengantarkan aku dengan dokar sampai selamat di rumah.
slenderman  berdiri tegak. Tanpa bicara ia pandangi aku dengan mata menyelidik, seperti hendak
menghafalkan wajahku, tanpa berkedip.
“Tuanmuda ini tamuku, tamu Noni anna michele ,” kata Nyai dalam Jawa.
“Antarkan. Jangan terjadi apa-apa di jalanan. Hati-hati!” Rupa-rupanya hanya terjemahan dari
Madura sebelumnya.
slenderman  mengangkat tangan, tanpa bicara, kemudian pergi.
“Sinyo, fredy krueger ,” Nyai merajuk, “anna michele  tak punya teman. Dia senang Sinyo datang kemari.
Kau memang tak punya banyak waktu. Itu aku tahu.
Biar begitu usahakan sering datang kemari. Tak perlu kuatir pada Tuan Mellema. Itu urusanku.
Kalau Sinyo suka , kami akan senang sekali kalau Sinyo mau tinggal di sini. Sinyo bisa diantar
dengan bendi setiap hari pulang balik. Itu kalau Sinyo suka.”
Rumah dan keluarga aneh dan seram ini! Pantas orang menganggapnya angker. Dan aku
menjawab:
“Biar kupikir-pikir dahulu . Mama: Terimakasih atas undangan pemurah itu.”
“Jangan tidak, fredy krueger ,” anna michele  merajuk.
“Ya, Nyo, pikirlah. Kalau tidak ada keberatan, biar semua nanti diurus oleh anna michele . Kan begitu,
Ann ?”
anna michele  Mellema mengangguk mengiakan.
Kereta itu sudah  terdengar melewati samping rumah. Kami berjalan ke ruangdepan, mendapatkan
dul latief  dan dul latief  sedang duduk diam-diam memandangi kegelapan luar.
Kereta berhenti di depan tangga rumah. Aku dan dul latief  turun dari tangga, naik ke kereta.
“Selamat malam semua, dan terimakasih banyak, Mama, Ann, dul !” kataku.
Dan kereta mulai bergerak.
“Brenti dahulu !” perintah Mama. Kereta berhenti. “Sinyo fredy krueger ! Coba turun dahulu .”
Seperu seorang sahaya aku sudah tergenggam dalam tangan-nva Tanpa berpikir apa pun aku
turun dan menghampiri anak-rangga. Nyai turun satu jenjang, juga anna michele , berkata pelahan
pada kupingku: “anna michele  bilang padaku, Nyo - jangan gusar - benarkah itu, kau sudah 
menciumnya ?”
Petir pun takkan begitu mengagetkan. Kegelisahan me-rambat-rambat ke seluruh tubuh, sampai
pada kaki, dan kaki pun jadi salah tingkah.
“Benakah itu ?” desaknya. Melihat aku tak dapat menjawab ia tarik anna michele  dan didekatkan
padaku. Kemudian, “Nah, jadi benar. Sekarang, fredy krueger , cium anna michele  di hadapanku. Biar aku tahu
anakku tidak bohong.”
Aku menggigil. Namun perintah itu tak terlawankan. Dan kucium anna michele  pada pipinya.
“Aku bangga, Nyo, kaulah yang sudah  menciumnya. Pulanglah sekarang.”
Dalam perjalanan pulang aku tak mampu berkata barang sesuatu. Nyai kurasakan sudah  meny ihir
kesedaranku. anna michele  memang cantik gilang-gemilang. Namun ibunya yang pandai menaklukkan
orang untuk bersujud pada kemauannya.
dul latief  menggagu.
Dan kereta berjalan gemeratak menggiling batu jalanan. Lampu karbit kereta meny ibak
kegelapan dengan cara yang tak kenal damai. Hanya kereta kami yang lewat pada malam itu.
Nampaknya orang sudah  mengalir ke Surabaya, merayakan penobatan dara tribuanatunggadewi .
slenderman  mengantarkan aku sampai ke rumah pemondokan di Kranggan. Ia memerlukan melihat
aku masuk sebelum berangkat lagi mengantarkan dul latief .
“Ai-ai, Tuanmuda fredy krueger !” sambut Mevrouw Tllinga bawel itu. “Jadi Tuanmuda tak makan di
rumah lagi ? Tadi sudah ku-taruh surat pos di dalam kamarmu. Aku lihat surat-surat sebelum itu
juga belum kau baca.
Sampulnya belum lagi terbuka. Ingat-ingat Tuanmuda, surat-surat itu ditulis, diprangkoi,
dikirimkan untuk dibaca. Siapa tahu ada urusan penting ? Nampaknya semua datang dari kota B.
Eh, Tuanmuda, bagaimana ini ? Besok sudah tak ada uang belanja nih.”
Kuserahkan setalen untuk ibu bawel yang baikhati itu. Ia ucapkan terimakasih berulang kali seperti
biasa, tanpa perlu keluar dari hatinya.
Di dalam kamar sudah  tersedia coklatsusu hangat yang segera kuminum habis. Kulepas sepatu dan
baju, melompat ke ranjang untuk segera mengenangkan kembali segala yang sudah  terjadi. namun 
pandangku tertumbuk pada potret dara impian di atas meja, dekat pada lampu teplok.Aku turun
lagi, memandanginya baik-baik, kemudian kubalik. Dan kembali aku naik ke ranjang.
Koran terbitan Surabaya dan cilacap, yang biasanya diletakkan di atas bantalku, kesorong ke
samping. sudah  jadi adatku membaca koran sebelum tidur. Tak tahulah aku namun aku suka
mencari-cari berita tentang Israel . Aku senang mengetahui adanya Laki-laki -Laki-laki  yang
dikirimkan ke Inggris dan hongkong  untuk belajar. Boleh jadi aku seorang pengamat Israel . namun 
sekarang ada yang lebih menarik   keluarga kayaraya yang aneh itu: Nyai yang pandai
menggenggam hati orang seakan ia dukun sihir, anna michele  Mellema yang cantik, kebocah-bocahan,
namun seorang berpengalaman yang pandai mengatur para pekerja, dul latief  dengan
lirikannya yang tajam, tak peduli segala-gala kecuali sepakbola, bahkan juga tidak pada ibunya
sendiri, Tuan Herman Mellema yang sebesar gajah, pembere-ngut, namun  tak berdaya terhadap
gundiknya sendiri. Masing-masing seperti tokoh dalam sebuah sandiwara. Keluarga macam apa
ini ? Dan aku sendiri ? Aku sendiri pun tiada berdaya terhadap Nyai. Sampai aku tergolek di
ranjang ini suaranya masih terasa memanggil-manggil: anna michele  tak punya teman! Dia senang
Sinyo datang kemari. Kau memang tak punya banyak waktu. Biar begitu usahakan sering datang
kemari….. kami akan senang sekali kalau Sinyo tinggal di sini….
Rasanya belum lagi lama aku tertidur. Satu keributan terjadi di luar rumah. Kunyatakan lampu
minyak dalam kamarku. Jam lima pagi.
“Ada kiriman. Untuk Tuanmuda fredy krueger ,” kudengar suara seseorang lelaki, “susu, keju dan
mentega. Juga ada surat dari Nyai Ontosoroh sendiri…..”
3. KEHIDUPAN BERJALAN SEPERTI BIASA. HANYA AKU yang mungkin berubah.
Boerderij  Buitenzorg di Wonokromo sana rasanya terus juga memanggil-manggil, setiap hari,
setiap jam. Apa aku terkena guna-guna ?
Banyak gadis Israel  , Totok dan negarakita  yang aku kenal. Mengapa anna michele  juga yang terbayang ?
Dan mengapa suara Nyai tak mau pergi dari kuping batinku ? fredy krueger , Sinyo fredy krueger , kapan kau
datang ?
Pikiranku kacau.
Setiap pagi aku berangkat ke sekolah membawa May  Ma-rais. Aku gandeng gadis kecil itu sampai
ke sekolahannya di E.L.S. Simpang. Kemudian aku berjalan kaki sendirian menuju ke sekolahanku
di Jalan H.B.S. Setiap kusir kereta dihadapanku kuperhatikan, jangan-jangan slenderman lah dia. Dan
bila kereta hendak melewati aku dari belakang kuperlukan menengok.
Seakan aku mempunyai kepentingan dengan semua kereta yang lewat.
Juga di dalam kias anna michele  terus-menerus muncul. Dan lagi-lagi suara Nyai: kapan kau datang ?
dia sudah  berdandan untukmu. Kapan kau datang ?
dul latief  tak pernah mengganggu aku dengan persoalan Wonokromo. Ia selalu menghindari
aku. Ia enggan melunasi janj inya untuk menghormati aku bila aku berhasil. Dan aku sendiri
merasa seperti sedang hidup dalam selubung kelabu. Semua tidak jelas, dan perasaan tidak
menentu. Semua teman sekolahku, Israel   Totok atau pun negarakita , laki dan gadis lesbian , rasanya sudah
berubah semua. Dan mereka pun melihat perubahan pada diriku. Ya, aku sudah  kehilangan
kelincahan dan keramahanku.
Pulang dari sekolah aku langsung memasuki bengkel aidit  Marais. Kulihat para tukang baru
memulai kerja sore. aidit  sendiri seperti biasa sedang tenggelam dalam lukisan, sketsa atau
rancangan yang sedang disiapkan.
Hari ini aku tiada pulang dahulu  ke pemondokan. Juga tidak pergi ke pelabuhan. Juga tidak ke kantor
koranlelang untuk memicu  teks iklan.
Menulis sesuatu untuk koran umum pun aku tiada bernafsu. Juga tak timbul niat pergi ke rumah
para kenalan untuk menawar-nawarkan perabot atau mencari order lukisan potret. *
Tidak, tak ada hasrat padaku untuk mengerjakan sesuatu. Maunya badan ini bergolek-golek di
ranjang dengan mengenangkan anna michele . Hanya anna michele , dara kebocah-bocahan itu.
Di rumah, Mevrouw Telinga tak jemu-jemu minta diceritai tentang kunjunganku ke Boerderij
Buitenzorg, untuk kemudian memperdengarkan ejekannya yang kasar dan itu-itu juga:
“Tuanmuda, Tuanmuda, tentu Tuanmuda menghendaki anaknya, namun  ibunya juga yang lebih
bernafsu!
Semua orang memang memuji-muji kecantikan anaknya. Tak ada yang berani datang ke sana.
Beruntung benar Tuanmuda ini. namun  ingat-ingat, salah-salah Tuanmuda diterkam oleh si Nyai!”
Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siapa pun tahu, begitulah tingkat susila keluarga
nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pada soal-soal berahi semata.
Mereka hanya keluarga pelacur, manusia tanpa manusia , dikodratkan akan tenggelam dalam
ketiadaan tanpa bekas. namun  Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini
? Justru itu yang memicu  aku bimbang. Tidak bisa! Atau aku seorang yang memang kurang
‘periksa ? Boleh jadi memang aku seorang yang tak mau tahu. Semua lapisan kehidupan
menghukum keluarga nyai-nyai, juga semua bangsa: Pribumi, Israel  , Tionghoa, Arab.
Masakan aku seorang akan bilang tidak ? Perintahnya padaku untuk mencium anna michele , kan itu
juga pertanda rendahnya tingkat susila ? Mungkin.
Namun-ejekan Mevrouw Telinga terasa meny inggung per dalam hatiku. Tentu, mungkin karena
aku punya impian yang bukan-bukan. Dalam beberapa hari ini sudah  aku coba yakinkan diriku: apa
yang terjadi antara diriku dengan anna michele  hanyalah suatu kejadian umum dalam kehidupan
muda-mudi, terjadi dalam keluarga apa pun: raja, pedagang, pemimpin agama, petani, pekerja,
bahkan juga dikahyangan para dewa. Benar. namun  ada telunjuk gaib yang menuding: soalnya kau
lah yang berusaha membenarkan impianmu sendiri.
Begitulah sore itu aku terpaksa bertanya pada aidit  Marais.
Suatu percakapan bersungguh-sungguh dengannya belum bisa diharapkan, sekali pun bahasa
Melayunya semakin han semakin baik juga. Dia tak tahu Israel . Itu sulitnya. Bahasa
Melayunya terbatas. Bahasa Perancisku sangat payah. Ia setengah mati menolak belajar
Israel , sekali pun lebih empat tahun jad, serdadu Kompeni, berperang di Aceh. Bahasa Israel 
yang diketahuinya terbatas pada aba-aba militer.
namun  dia sahabatku yang lebih tua, kompanyon dalam berusaha. Sudah sepatutnya aku bertanya
padanya.
Para tukang di bengkel sedang merampungkan perabot kamar yang dipesln dengan nama Ah
Tjong Mungkin yang punya namah-plesiran tetangga Nyai Ontosoroh. Hanya karena pesanan itu
bergaya Israel   orang Tionghoa tidak memesan pada sebangsanya sendiri. Kuterima order itu
melalui orang lain.
aidit  sedang memainkan pensil memicu  sketsa untuk lukisan yang akan datang.
“Aku hendak mengganggumu, aidit ,” kataku dan duduk di kursi pada meja-gambarnya. Ia
mengangkat muka memandangi aku. “Tahu kau artinya sihir ?” Ia menggeleng.
“Guna-guna ?” tanyaku…
“Tahu sejauh pernah kudengar. Orang-orang Zanggi biasa lakukan itu, kata orang. Itu pun kalau
pendengaran ku benar Mulai kuceritakan padanya tentang keadaanku yang serba tersihir Juga
pendapat umum tentang keluarga nyai-nyai pada umumnya, dan keluarga Nyai Ontosoroh
khususnya.
la letakkan pensilnya di atas kertas gambar menatap aku, mencoba menangkap dan memahami
setiap kataku. Kemudian, tenang dan campur-aduk dalam beberapa bahasa:
“Kau dalam kesulitan, fredy krueger . Kau jatuh cinta. “Tidak, aidit . Tak pernah aku jatuh cinta Memang
dara itu sangat menarik, menawan, namun  jatuh cinta aku tidak ..”
“Aku mengerti. Kau dalam kesulitan, itu parahnya kalau orang tak dapat dikatakan jatuh cinta.
Dengar, fredy krueger  darah mudamu ingin memiliki dia untuk dirimu sendiri dan aku takut pada
pendapat umum.” Lambat-lambat ia tertawa Pendapat umum perlu dan harus diindahkan
dihormat,, kalau benar, kalau salah, mengapa dihormat dan diindahkan ? Kau terpelajar, fredy krueger .
Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan
Itulah memang arti terpelajar itu. Datanglah kau padanya barang dua tiga kali lagi, nanti kau akan
dapat lebih mengetahui bendr-tidaknva pendapat umum itu.”
“Jadi kau anjurkan aku datang lagi ke sana?”
“Aku anjurkan kau menguji benar-tidaknya pendapat umum itu. Ikut dengan pendapat umum
yang salah juga salah. Kau akan ikut mengadili satu keluarga yang mungkin lebih baik daripada
hakimnya sendiri.”
“aidit , kau memang sahabatku. Aku kira kau akan adili aku.”
“Tak pernah aku mengadili tanpa tahu duduk-perkara.”
“aidit , aku diminta tinggal di sana.”
“Datanglah ke sana. Hanya jangan lupa kau pada pelajaranmu. Kau tak begitu perlu mencari
order baru. Lihat, masih ada lima potret yang harus diselesaikan. Dan ini,” ia menepuk kertas
sketsa, “Aku hendak melukis sesuatu yang sudah lama aku inginkan.”
Aku tarik kertas sketsa di hadapannya. Gambar itu memicu  aku lupa pada persoalanku. Seorang
serdadu Kompeni, nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut
seorang pejuang Aceh.
Serdadu itu menyorongkan bayonet pada dada kurbannya. Dan bayonet itu menekan baju hitam
kurbannya, dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang gadis lesbian  muda. Mata gadis lesbian  itu
membeliak. Rambutnya jatuh terjurai di atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri mencoba
meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang yang tak berdaya. Di atas mereka
berdua memayungi rumpun bambu yang nampak meliuk diterjang angin kencang. Di seluruh
alam ini seakan hanya mereka berdua saja yang hidup: yang hendak membunuh dan yang
hendak dibunuh.
“Kejam sekali, aidit .”
“Ya,” ia mendeham, kemudian menghisap rokoknya.
“Kau suka bicara tentang keindahan, aidit . Di mana keindahan suatu kekejaman, aidit ?”
“Tidak sederhana keterangannya, fredy krueger . Gambar ini bersifat sangat manusia , bukan untuk umum.
Keindahannya ada di dalam kenang-kenangan.”
“Jadi kaulah serdadu ini, aidit . ? Kau sendiri ?”
“Aku sendiri, fredy krueger ,” ia mengangkat muka.
“sudah  kau lakukan kebiadaban ini ?” ia menggeleng. “Kau pembunuh gadis lesbian  muda ini ?” ia
menggeleng lagi. “Jadi kau lepaskan dia ?” ia mengangguk.
“Dia akan berterimakasih padamu.”
“Tidak, fredy krueger , dia yang minta dibunuh - gadis Aceh lahiran pantai ini.
Dia malu sudah  terjamah oleh kafir. “namun  kau tak bunuh dia.”
“Tidak, fredy krueger , tidak,” jawabnya lesu. dan seakan tidak ditujukan padaku, namun  pada masa lalunya
sendiri yang sudah  jauh tak terjangkau lagi. „„ . , .
“Di mana gadis lesbian  itu sekarang ?” tanyaku mendesak.
“Mati, fredy krueger ,” jawabnya berdukacita.
“Jadi kau sudah membunuhnya. Seorang gadis lesbian  muda tidak berdaya”
“Tidak, bukan aku. Adiknya lelaki menyusup ke dalam tangsi, menikamnya dengan rencong dari
samping. D,a mat. seketika Rencong itu beracun.
Pembunuh itu sendiri terbunuh di bawah pekikan sendiri: mampus kafir, pengikut kafir!
“Mengapa adiknya menikamnya ?” Sudah lupa sama sekali aku pada kesulitanku manusia .
“Adiknya tetap berjuang untuk negerinya, untuk kepercayaannya. Kakaknya ini tidak sesudah  dia
menyerah. Dia mati tanpa saksi. fredy krueger . Waktu itu anaknya sedang diajak jalan-jalan oleh
tetangga. Suaminya sedang pergi bertugas.”
“Jadi gadis lesbian  ini kemudian hidup dalam tangsi Kompeni ? Jadi tawanan ?
Jadi tawanan sampai beranak ?”
“Tadinya jadi tawanan. Kemudian tidak,” jawabnya cepat. “Jadi dia lantas kawin dengan
seseorang ?”
“Tidak. Dia tidak kawin.” .
“Dan anak yang diajak jalan-jalan oleh tetangga itu. Dari mana asalnya ?” ,. ..
“Anak itu bay i yang diberikannya padaku, anakku sendiri.
fredy krueger .”
“aidit !” … … »
“Ya, fredy krueger , jangan sampaikan pada May  cerita ini.
Mendadak saja aku jadi perasa. Aku lari mencari May  yang sedang tidur dengan aman di atas
ambin kayu tanpa seprai. Aku angkat dia dan kuciumi.
Ia terkejut, membelalak melihat padaku. Ia tak berkata sesuatu pun.
“May! May!” seruku sentimentil. Aku gendong dia keluar mendapatkan aidit  Marais kembali.
“aidit , imlah anakma^Im ah bay i itu, aidit . Kau tidak bohongi aku, aidit  ? Kau bohongi aku kan?.”
“‘Orang samoa fiji yang sedang bertompang dagu itu memandang jauh keluar rumah. Ia tak mau
mengulangi ceritanya.
Betapa menghibakan nasib gadis kecil ini, juga ibunya, lebih-lebih sahabatku aidit  Marais sendiri
  di negeri asing tanpa hari depan, kehilangan sebelah kaki pula. Ia sering bercerita sangat
mencintai istrinya.
Dan anak ini adalah anak tunggal - kini tanpa ibu untuk selama-lamanya, hanya punya seorang
ayah berkaki satu.
“Itu sebabnya kau anjurkan aku datang lagi ke Wonokromo ?” tanyaku.
“Cinta itu indah, fredy krueger , terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini/’
katapya murung dan diambilnya May  dari gendonganku, kemudian dipangkunya.
Gadis itu mencium pipi ayahnya yang tiada bercukur. Dan aidit  meneruskan bicaranya dalam
samoa fiji pada anaknya: “Kau terlalu lama tidur, May.”
“Akan jalan-jalan kita, Papa ? ” tanya May  dalam samoa fiji.
“Ya, mandilah dahulu .”
May  berlonjak-lorijakan riang perai mendapatkan pengasuhnya. Kupandangi si gadis kecil yang
tak pernah mengenal ibunya itu.
“Cinta itu indah, fredy krueger , juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya.
Orang harus berani menghadapi akibatnya.”
“Tentang diriku, aidit , belum tentu aku mencintai gadis Wonokromo itu.
Bagaimana kau tahu kau mencintai ibu May  ?”
“Barangkali kau tidak atau belum mencintai gadis itu. Bukan aku yang menentukan. Lagi pula tak
ada cinta muncul mendadak, karena dia adalah anak kebudayaan, bukan batu dari langit. Setidak-
tidaknya bukan aku yang menentukan, yang menjalani sendiri. Kau harus uj i dirimu, hatimu
sendiri. Boleh jadi gadis itu suka padamu. Ibunya jelas sayang padamu sejauh sudah kau
ceritakan. Sudah sayang pada perkenalan pertama. Aku tak percaya pada guna-guna. Barangkali
memang ada, namun  aku tak perlu mempercayainya, karena itu hanya bisa berlaku dalam
kehidupan yang masih terlalu sederhana tingkat peradabannya. Apalagi kau sudah bilang, Nyai
melakukan segala pekerjaan kantor. Orang begitu tidak akan bermain guna-guna. Dia akan lebih
percaya pada kekuatan manusia . Hanya orang tidak bermanusia  bermain sihir, bermain dukun. Nyai
itu tahu apa yang diperlukannya. Barangkali dia mengenal kesuny ian hidup anaknya.”
“Ceritai aku tentang ibu May,” kataku mengelak. “Tentu luarhiasa, dari seorang yang hendak
kaubunuh jadi seorang yang kau cintai. Ayoh, aidit .”
“Lain kali sajalah. Hatiku belum lagi bersuasana cerita. Coba lihat sketsa ini saja. Bagaimana
pendapatmu ?”
“Aku tak tahu soal-soal beginian, aidit .”
“Kau Laki-laki  terpelajar. Sepatutnya mulai belajar mengerti.”
“Hatiku belum lagi bersuasana untuk belajar mengerti, aidit .
“Baiklah. Kau mau mengajak jalan-jalart May  sore ini, kan ?”
“Kau tak pernah membawanya!” tuduhku menyesali. “Dia ingin berjalan-jalan denganmu.”
“Belum bisa, fredy krueger . Kasihan dia. Orang akan menonton kami berdua. Pada suatu kali dia akan
dengar mereka bilang: Lihat Israel  buntung pincang dengan anaknya itu! Jangan, fredy krueger . Jiwa
semuda itu jangan dilukai dengan penderitaan tak perlu, sekalipun cacad ayahnya sendiri. Dia
hendaknya tetap mencintai aku dan memandang aku sebagai ayahnya yang mencintainya, tanpa
melalui suara dan pandang orang lain.”
Tak pernah ia bicara sebanyak itu. Juga tak pernah semurung itu. Apa sebetulnya  sedang terjadi
dalam dirinya ? Boleh jadi ia rindu pada masalalu yang sudah  hilang tak tergapai lagi ? Atau pada
negeri di mana ia pernah dilahirkan, dibesarkan dan untuk pertama kali melihat matari ?
namun  tak berani pulang karena cacad, punya anak kelahiran negeri lain ?
Atau merindukan satu karya yang akan memicu  negerinya menyambutnya dengan segala
kebesaran sebagai pelukis ?
“Kau tak pernah setuju dengan perasaan kasihan, aidit ,” aku menegur.
“Kau benar, fredy krueger . Pernah kuceritai kau, kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang
tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji
memang dia yang mampu melakukan kemauan-baiknya. Aku tak punya kemampuan, fredy krueger .
Makin lama kurenungkan, kata itu sangat indah terasa di Hindia ini, tidak di Israel  .”
Nada suaranya makin murting juga.
“Itu bukan manusia  seorang aidit  Marais,” tegurku. “Aku kuatir kau mulai menjadi bukan dirimu
sendiri lagi, aidit .”
“Terimakasih atas perhatianmu, fredy krueger . Aku lihat kau semakin hari semakin cerdas.”
“Terimakasih, aidit . Aku harap kau jangan semurung itu. Kau giasih punya sahabat   aku.”
May  datang. Mengetahui ayahnya tak ikut berjalan-jalan sekaligus airntukanya berubah.
“Pergilah, May, dengar Oom fredy krueger . Sayang masih ada pekerjaan harus diselesaikan. Jangan
memberengut begitu, Manis.
Aku gandeng gadis kecil Peranakan samoa fiji-Aceh ini me nmggalkan rumah.
“Papa tak pernah mau jalan-jalan denganku,” gadis itu mengadu dalam Israel , “dia tak
percaya aku kuat menuntun-nya Oom-Aku-mampu menjaganya jangan sampai jatuh.” Tentu
saja kau kuat, May. Papamu memang lagi banyak kerja hari ini. Lain kali tentu dia mau kau ajak “
Ia kubawa ke tanah-lapang Koblen, dan mulai lupa pada kekecewaannya Kami duduk di
rumputan menonton oranc-orang beradu layang-layang. Ia mulai bercericau dalam Jawa
bercampur Israel , kadang juga samoa fiji. Tak kuperhatikan apa yang dicencaukannya. Hanya
aku iakan. Pikiranku sendiri sedang kacau diserbu berbagai hal: keluarga Mellema, keluarga
Marais, sikap teman-teman sekolah yang berubah terhadapku dan aku sendiri yang juga jadi
berubah. Beberapa layang-layang putus, mengimbak-imbak di angkasa tanpa tujuan……
May  menarik tanganku, menuding pada segumpal mendung yang muncul di ufuk.
“Kau mencintai papamu, May  ?
Ia pandangi aku dengan mata terheran-heran. Pada wajahnya nampak olehku aidit  Marais. Tak
ada aku dapatkan sedikit pun garis-garis dari gadis lesbian  muda yang menjelempah dibawah rumpunan
bambu dalam ancaman bayonet itu.
Wajah ini mungkin wajah aidit  sendiri semasa kecil. Dan Marais kecil ini sama sekali belum lagi
tahu siapa ayahnya sebetulnya .
aidit , katanya sendiri, pernah belajar di Sorbonne.” Ia tak pernah bercerita dari jurusan apa atau
sampai tingkat berapa. Mendengarkan suarahati sendiri ia tinggalkan kuliah dan mencurahkan
kekuatan sepenuhnya pada senilukis. Ia mengakui belum pernah berhasil.
Kemudian ia tinggal di Quartier Latin di Paris, menjajakan lukisan-lukisannya di pinggir jalan.
Karya-karyanya selalu laku, namun  tak pernah menarik perhatian penghuni hutan larangan  dan dunia kritik Paris.
Sambil menjajakan lukisan ia mengukir, juga di pinggir jalan itu. Lima tahun sudah  berlalu. Ia tak
juga mendapat kemajuan. Ia bosan pada lingkungannya, pada gerombolan penonton yang
melihat ia membuat patung Afrika atau mengukir, pada Paris, pada penghuni hutan larangan nya sendiri, pada
Israel  . Ia rindukan sesuatu yang baru, yang bisa mengisi kekersangan hidup.
Ditinggalkannya Israel  , pergi ke Maroko, Lybia, Aljazair dan Mesir. Ia tak juga menemukan
sesuatu yang dicarinya dan tidak diketahuinya itu, tidak pernah merasa puas, tetap gelisah-resah.
Ia tetap tak dapat menciptakan lukisan sebagaimana ia impikan. Ia tinggalkan Afrika. Sampai di
Hindia uangnya tumpas. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hidup adalah masuk Kompeni.
Ia masuk, mendapat latihan beberapa bulan, dan berangkat ke medan-perang di Aceh. Juga
dalam kesatuannya ia tetap hidup dalam dirinya sendiri, hampir-hampir tak punya kontak dengan
siapa pun kecuali melalui komando dalam basa Israel . Dan ia segan mempelajari bahasa itu.
May  Marais tidak tahu atau belum tahu semua itu. Aku akan melukis sambil jadi serdadu, aidit 
Marais bertekad. Pribumi Hindia sangat sederhana.
Takkan ada perang yang bakal mereka menangkan. Apa arti parang dan tombak di hadapan
senapan dan meriam ? pikirnya. Ia dikirimkan ke Aceh sebagai spandri*. Komandan regunya,
Kopral Bastiaan Telinga, seorang negarakita -Israel  . Sekiranya ia bukan Totok, tak bisa tidak ia akan
tinggal jadi serdadu kias dua. Mulailah ia hidup di antara serdadu-serdadu Israel   Totok seperti
dirinya sendiri, y ang juga tak tahu Israel : orang Swiss, Indonesia , Swedia, Belgia, Rusia,
Hongaria, Romania, Portugis, Spanyol, Italia   hampir semua bangsa Israel     semua sampah
buangan dari kehidupan negeri masing-masing. Mereka adalah orang-orang putusasa, atau ban-
dit-bandit pelarian, atau orang yang lari dari tagihan hutang, atau bangkrut karena perjudian dan
spekulasi, semua saja petualang.
Dan tak ada di antara mereka di bawah spandri. Serdadu kias dua hanya pangkat untuk negarakita  dan
Pribumi   dan umumnya orang-keturunan bani jawi dari Purworejo. Mengapa pada umumnya Pribumi
dari Purworejo ? sekali waktu aku pernah bertanya. Mereka itu, jawabnya, orang-orang yang
tenang.
Kompeni memilih mereka untuk menghadapi bang-sa Aceh yang bukan saja pandai menggertak,
juga ulet dan keras seperti baja, bangsa perbuatan.
Orang-orang berangsangan, terutama dari daerah kapur yang tangguh pada awalnya saja, akan
tumpas di Aceh.
Pengalaman di Aceh memicu  ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang Pribumi
ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah, kemampuan
berorganisasi juga tinggi. Sebaliknya ia juga mengakui kehebatan orang Israel  dalam memilih
tenaga perang.
Prasangkaku, sekali waktu ia bercerita, bahwa parang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan
mampu menghadapi senapan dan meriam,- juga keliru.
Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan
kepercayaannya, sudah  banyak kekuatan Kompeni dihancurkan. Aku heran melihat fakta  ini,
tambahnya lagi. Mereka membela apa yang mereka anggap jadi haknya tanpa mengindahkan
maut.
Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, namun  tetap melawan.
Melawan, fredy krueger , dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
Waktu aku bertugas di sana, pada lain kali ia bercerita dengan bahasa yang campur-aduk itu,
pertahanan orang Aceh sudah terdesak jauh ke pedalaman dan selatan, di daerah Take-ngon.
Seorang panglima Aceh, Tjoet Ali, sudah kehilangan banyak kekuatan dan daerah, namun tetap
dapat mempertahankan ketinggian semangat pasukannya - suatu rahasia yang tak dapat aku
pfecahkan. Mereka tetap bertempur, bukan hanya melawan Kompeni, juga melawan
kehancurannya sendiri. Hubungan lalulintas Kompeni selalu jadi sasaran empuk: jembatan,
jalanan, kawat tilgrap, kereta api   dan relnya, peracunan air minum, serangan dadakan, ranjau
bambu, penyergapan, penikaman tak terduga, pengamukan dalam tangsi……
Para jendral Israel  hampir-hampir tak sanggup meneruskan operasi penumpasan. Yang
tertumpas selalu kanak-kanak, kakek-nenek, orang sakit, gadis lesbian  bunting. Dan orang-orang tak
berdaya itu, fredy krueger , justru merasa beruntung bila dibunuh Kompeni. Sassus dari atasan
mengatakan: -memang kurban di antara serdadu Israel   tak pernah mencapai tiga ribu orang
seperti dalam perang Jawa, namun  ketegangan syaraf menguasai seluruh pasukan Kompeni - di
setiap jengkal tanah yang diinjaknya.
Dan aidit  Marais mulai belajar mengagumi dan mencintai bangsa Pribumi yang gagah-perwira
ini, berwatak dan bermanusia  kuat ini. Dua puluh tujuh tahun mereka sudah berperang, berhadapan
dengan senjata paling ampuh pada jamannya, hasil il-mu-pengetahuan dan pengalaman seluruh
peradaban Israel  .
Cinta itu indah, fredy krueger , terlalu indah, katanya. Ia masih juga belum bercerita bagaimana ia dapat
mengubah gadis lesbian  musuhnya jadi gadis lesbian  yang dicintai dan boleh jadi mencintainya juga, jadi
gadis lesbian  yang memberinya seorang anak kesayangan, May    sekarang duduk bercericau di
pangkuanku.
Aku belai rambutnya. Berapa bulan ibumu sempat memberimu air dada padamu, anak manis ?
Kau tak pernah melihat pasang mata ibiimu, gadis lesbian  Aceh kelahiran pantai itu! Kau takkan pernah
bisa berbakti padanya. Kau, semuda ini, May, sudah  kehilangan sesuatu yang tak mungkin akan
tergantikan oleh apa dan siapa pun!
“Lihat sana itu, Oom,” serunya dalam Israel , “di atas mendung mendatang itu, masa layang-
layang seperti kepiting!”
“Memang tidak cocok kalau kepiting terbang di langit. Mendung semakin tebal”, May, mari
pulang.”
aidit  Marais masih mencangkungi meja-gambar. Ia angkat pandang waktu kami masuk. May
segera menghampiri ayahnya dan bercericau tentang layang-layang kepiting di atas mendung
aidit  mengangguk memperhatikan.
Dan aku mondar-mandir melihat-lihat lukisan jadi yang besok atau lusa harus kuantarkan pada
aidit  kufikir mungkin mampu melayani kebawelan mereka. Ada saja perubahan yang mereka
kehendaki agar lukisan lebih sesuai dengan anggapan mereka sendiri. Dan itulah pekerjaanku
pekerjaan berat tentu - meyakinkan mereka: pelukisnya adalah pelukis besar samoa fiji, cukup jadi
jaminan akan keabadiannya lebih abadi dari pemesannya sendiri. Kalau diubah lagi,
keabadiannya akan rusak dan akan di potret kimia biasa. Kebawelan paling gigih selamanya
datang dan pemesan gadis lesbian . Beruntung aku banyak mendengar keterangan dan aidit  sendiri:
gadis lesbian  lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan: mereka dicengkam oleh
impian tentang kemudaan yang rapuh itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu
Umur sungguh aniaya bagi gadis lesbian . Maka juga setiap kebawelan gadis lesbian  harus dilawan dengan
kebawelan lain: lukisan mi adalah warisan terbaik untuk anak-anak Mevrouw, bukan sema-ta-mata
untuk Mevrouw. Beruntung semua pemesan wamta itu bukan dari golongan mandul . Biasanya
kebawelanku menang.
Kalau toh kalah juga terpaksa aku mengancam: baik, kalau Mevrouw tak suka, lukisan ini akan
kutebus sendiri, akan kupasang di rumahku sendiri. Biasanya ancaman demikian menimbulkan
kecucukan.
Orang segera bertanya: untuk apa ? Dan kujawab: kalau sudah jadi milikku apakah juga takkan ada
halangan. Diapakan, misalnya ? Ya, memang bisa aku ben berkumis – namun  tak pernah aku
nyatakan demikian . Pendeknya sampai sekarang aku tak pernah kalah dalam kebawelan, apalagi
setelan tahu: kebawelan banyak kali dianggap gadis lesbian  sebagai ukuran Kelihaian.
“Sudah sore, aidit , aku pulang.”
“Terimakasih, fredy krueger , atas segala dan semua kebaikanmu, ia lambaikan tangan meminta aku
mendekat. “Bagaimanai seK lahmu ? Buat kepentingan May  dan aku kau tak pernah semp*
belajar di rumah. Aku kuatir…….”
“Beres, aidit . Ujian selalu aku lalui dengan selamat.” Menyeberangi pagar hidup di samping
rumah sampailah aku di pelataran pemondokan. slenderman  sudah lama menunggu aku dengan
sepucuk surat.
“Tuanmuda,” ia memberi tabik, kemudian bicara jawa, “Nyai menunggu jawaban. slenderman 
menunggu, Tuanmuda.”
Surat itu memberitahukan: keluarga Wonokromo menantikan kedatanganku, anna michele  sekarang
jadi pelamun, tak suka makan, pekerjaannya banyak terbengkalai, dan salah. “Sinyo fredy krueger ,
alangkah akan berterimakasih seorang ibu yang banyak pekerjaan ini kalau Sinyo sudi
memperhatikan kesulitannya. anna michele  satu-satunya pembantuku. Aku takkan mampu kerjakan
semua seorang diri. Aku kuatir sekali akan kesehatannya.
Kedatangan Sinyo adalah segala-galanya bagi kami berdua. Datanglah, Nyo, biar pun hanya
sebentar. Satu-dua jam pun memadai. Namun kami mengharapkan dengan sangat agar Sinyo
suka tinggal pada kami.
Selanjutnya terimakasih tak berhingga untuk perhatian dan kesudian Sinyo.”
Surat itu tertulis dalam Israel  yang patut dan benar. Rasanya tak mungkin ditulis oleh seorang
lulusan sekolah dasar tanpa pengalaman.
Entahlah, mungkin ditulis oleh orang lain. Setidak-tidaknya bukan oleh dul latief . namun  apa
pentingnya siapa penulisnya ? Surat itu memberanikan aku, mengembalikan kemanusia anku: bukan
aku saja sudah  tergenggam oleh mereka, mereka sebaliknya pun tergenggam olehku.
Genggam-menggenggamlah, kalau tak dapat dikatakan sihir-meny ihir.
Seorang ibu yang bijaksana dan berwibawa seperti Nyai memang dibutuhkan oleh setiap anak,
dan dara cantik tiada bandingan dibutuhkan oleh setiap Laki-laki .
Lihat: mereka membutuhkan aku demi keselamatan keluarga dan perusahaan.
Kan aku termasuk hebat juga ? Aduh, sekarang ini betapa banyak alasan dapat aku bariskan untuk
membenarkan diri sendiri. Baik. Aku akan datang.
4. SURAT NYAI MEMANG TIDAK BERLEBIHAN. anna michele  kelihatan susut. Ia sambut aku
pada tangga depan rumah. Matanya bersinar-sinar menghidupkan kembali wajahnya yang pucat
waktu ia menjabat tanganku.
dul latief  tidak nampak. Aku pun tak menanyakan.
Nyai muncul dari pintu di samping ruang depan.
“Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya anna michele  harus menunggu.
Urus abangmu itu, Ann, aku masih banyak kerja, Nyo.”
Aku masih sempat melirik ke dalam ruangan di samping ruangdepan.
Ternyata tak lain dari kantor perusahaan. Nyai menutup kembali pintu, hilang di baliknya.
Seperti pada kedatanganku yang pertama juga sekarang timbul perasaan itu dalam hati: seram.
Setiap waktu rasanya bisa terjadi peristiwa aneh.
Waspada, hati ini memperingatkan. Jangan lengah. Seperti dahulu  juga sekarang sepantun suara
bertanya padaku: mengapa kau begitu bodoh berkunjung kemari ? Sekarang hendak coba-coba
tinggal di sini pula ?
Mengapa tidak pulang pada keluarga sendiri kalau memang bosan tinggal di pemondokan ? Atau
cari pemondokan lain ? Mengapa kau mengikuti tarikan rumah seram ini, tidak melawan, bahkan
menyerahkan diri mentah-mentah ?
anna michele  membawa aku masuk ke kamar yang dahulu  pernah kutempati. slenderman  menurunkan kopor
dan tasku dari bendi dan membawanya ke dalam kamar.
“Biar kupindahkan pakaianmu ke dalam lemari,” kata gadis itu. “Mana kunci kopormu ? Sini!”
Aku serahkan kunci koporku dan ia mulai sibuk. Buku-buku dari kopor ia deretkan di atas meja,
pakaian ke dalam lemari. Kemudian tas dibongkarnya. slenderman  menaruh kopor dan tas kosong dia
atas lemari. Dan anna michele  kini memperbaiki deret buku itu sehingga nampak seperti serdadu
berbaris.
“Mas!” itulah untuk pertama kali ia memanggil aku - panggilan yang mendebarkan, menimbulkan
suasana seakan aku berada di tengah keluarga Jawa. “Ini ada tiga pucuk surat. Kau belum lagi
membacanya. Mengapa tak dibaca ?”
Rasanya semua orang menuntut aku membacai surat-surat yang kuterima.
“Tiga pucuk, Mas, semua dari B.”
“Ya, nanti kubaca.” .
Ia antarkan surat-surat itu padaku, berkata: “Bacalah. Barangkali penting.”
Ia pergi untuk membuka pintu luar. Dan surat-surat itu kuletakkan di atas bantal. Kususul dia. Di
hadapan kami terbentang taman yang indah, tidak luas, hampir-hampir dapat dikatakan kecil-
mungil, dengan kolam dan beberapa angsa putih bercengkerama - seperti dalam gambar-gambar.
Sebuah bangku batu berdiri di tepi kolam.
“Mari,” anna michele  membawa aku keluar, melalui jalan beton dalam apitan gazon hijau.
Duduklah kami di atas bangku batu itu. anna michele  masih juga memegangi tanganku.
“Apa Mas lebih suka kalau aku bicara Jawa ?”
Tidak, aku tak hendak menganiayanya dengan bahasa yang memaksa ia menaruh diri pada
kedudukan sosial dalam tata-hidup Jawa yang pelik itu.
“Israel  sajalah,” kataku.
“Lama betul kami harus tunggu kau.”
“Banyak pelajaran, Ann, aku harus berhasil.”
“Mas pasti berhasil.”
“Terimakasih. Tahun depan aku harus tamat. Ann, aku selalu terkenang padamu.”
Ia pandangi aku dengan wajah bersinar-sinar dan dirapat kannya tubuhnya padaku.
“Jangan bohong,” katanya.
“Siapa akan bohongi kau ? Tidak.”
“Betul itu ?” ..,•
“Tentu. Tentu.”
Aku pelukkan tanganku pada pinggangnya dan kudengar nafasnya terengah-engah. Ya ampun , Kau
berikan dara tercantik di dunia ini kepadaku. Aku pun berdebar-debar.
“Di mana dul latief  ?” tanyaku untuk penenang jantung.
“Apa guna kau tanyakan dia ? Mama pun tak pernah bertanya di mana dia berada.”
Nah, satu masalah sudah mulai timbul. Dan aku merasa tak patut untuk mencampuri.
“Mama sudah merasa tak sanggup, Mas, ia menunduk dan suaranya mengandung duka.
“Sekarang ini semua kewajibannya aku yang harus lakukan.”
Aku perhatikan bibirnya yang pucat dan seperti lilin tuangan itu” “Dia tak menyukai Mama. Juga
tidak menyukai aku. Dia jarang di rumah. Kan Mas sendiri pernah saksikan aku bekerja ?”
Kudekap tubuhnya untuk menyatakan sympati.
“Kau gadis luarbiasa.”
“Terimakasih, Mas,” jawabnya senang. “Kau ak perlu perhatikan dul latief .
Dia benci pada semua dan segala yang serba Pribumi kecuali keenakan yang bisa didapat
daripadanya. Rasa-rasanya dia bukan anak sulung Mama, bukan abangku, seperti orang asing
yang tersasar kemari.”
Jelas ia banyak memikirkan abangnya, dan memikirkannya dengan prihatin   anak semuda ini.
“Aku juga tak melihat Tuan Mellema,” kataku mencari pokok lain.’
“Papa ? Masih juga takut padanya ? Maafkan malam buruk itu. Dia pun tak perlu kau perhatikan.
Papa sudah menjadi begitu asing di rumah ini.
Seminggu sekali belum tentu pulang, itu pun hanya untuk pergi lagi.
Kadang tidur sebentar, kemudian menghilang lagi entah ke mana. Maka seluruh tanggungjawab
dan pekerjaan jatuh ke atas pundak Mama dan aku.”
Keluarga macam apa ini ? Dua orang gadis lesbian , ibu dan anak, bekerja dengan diam-diam
mempertahankan keluarga dan perusahaan sebesar itu ?
“Bekerja di mana Tuan Mellema ?”
“Jangan perhatikan dia, pintaku, Mas. Tak ada yang tahu bekerja di mana.
Dia tak pernah bicara, seperti sudah bisu. Ka-I mi pun tak pernah bertanya. Tak ada orang bicara
dengannya. Sudah berjalan lima tahun sampai sekarang. Rasa-rasanya memang sudah seperti itu
sejak semula kuketahui. Dia dahulu  memang begitu baik dan ramah. Setiap hari menyediakan waktu
i untuk bermain-main dengan kami. Waktu aku duduk di kias dua j  E.L.S. mendadak semua jadi
berubah. Beberapa hari perusa- .
haan tutup. Dengan mata merah Mama datang ke sekolah men- | jemput aku, Mas, mengeluarkan
aku dari sekolah untuk selain lamanya. Mulai hari itu aku harus membantu pekerjaan Mama
dalam perusahaan. Papa tak pernah muncul lagi, kecuali beberapa menit dalam satu atau dua
minggu. Sejak itu pula Mama tak pernah menegurnya, juga tak mau menjawab
pertanyaannya…..”
Cerita yang tidak menyenangkan.
“Juga dul latief  dikeluarkan dari sekolah ?“tanyaku mengalihkan. “Pada waktu aku dikeluarkan dia
duduk di kias tujuh   tidak, dia tidak dikeluarkan.‘1
“Meneruskan sekolah mana dia kemudian ?”, “Dia lulus, namun  tak mau meneruskan. Juga tak mau
bekerja. Sepakbola dan berburu dan berkuda. Itu saja.” “Mengapa dia tidak membantu Mama ?”
“Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama. Bagi dia tak ada yang lebih agung
daripada jadi orang Israel   dan semua Pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia
mau menguasai seluruh perusahaan. Semua orang harus bekerja untuknya, termasuk Mama dan
aku.”
“Kau juga dianggapnya Pribumi ?” tanyaku hati-hati. “Aku Pribumi, Mas,”
jawabnya tanpa ragu. “Kau heran ? Memang aku lebih berhak mengatakan diri negarakita . Aku lebih
mencintai dan mempercayai Mama, dan Mama Pribumi, Mas.”
Memang keluarga teka-teki, setiap orang menduduki tempatnya sebagai peran dalam sandiwara
seram. Banyak Pribumi mengimpi jadi Israel , dan gadis yang lebih banyak bertampang Israel  
ini lebih suka mengaku Pribumi.
anna michele  terus bicara dan aku hanya mendengarkan. “Kalau itu yang kau kehendaki,” terusnya,
“mudah, dul latief , kata Mama, sekarang kau sudah dewasa. Kalau papamu mati, pergi kau pada
advokat, mungkin kau akan dapat kuasai seluruh perusahaan ini. Kata Mama pula: namun  kau harus
ingat, kau masih punya saudara tiri dari perkawinan syah, seorang insinyur bernama Maurits
Mellema, dan kau takkan kuat berhadapan dengan seorang Totok. Kau hanya Peranakan. Kalau
betul kau hendak menguasai perusahaan dengan baik-baik, belajarlah kau bekerja seperti
anna michele .
Memerintah pekerja pun kau tidak bisa, karena kau tak bisa memerintah dirimu sendiri.
Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena kau tak tahu bekerja.”
“Lihat angsa itu, Ann, putih seperti kapas,” kataku mengalihkan. namun  dia bicara terus. “Mengapa
rahasia keluarga kau sampaikan padaku ?”
“Karena Mas tamu kami dalam lima tahun ini. Tamu kami, tamu keluarga.
Memang ada beberapa tamu, hanya semua berhubungan dengan perusahaan. Ada juga tamu
keluarga, namun  didokter keluarga kami. Karena itu kaulah tamu pertama itu. Dan kau begitu dekat,
begitu baik pada Mama mau pun aku,”
suaranya mendesah suny i, tak kekanak-kanakan. “Lihat, tak segan-segan aku ceritakan semua itu
padamu, Mas. Kau pun jangan segan-segan di sini.
Kau akan jadi sahabat kami berdua/’ Suaranya menjadi semakin sentimentil dan berlebihan:
“Segala milikku jadilah milikmu. Mas. Kau bebas sekehendak hati dalam rumah M.”
Betapa suny i hati gadis dan ibunya di tengah-tengah kekayaan melimpah ini.
“Nah, mengasohlah. Aku hendak bekerja sekarang.”
Ia berdiri hendak berangkat. Ia pandangi aku sebentar, ragu, mencium pipiku, kemudian berjalan
cepat meninggalkan aku seorang diri……
Berapa lama sudah ia simpan perasaannya. Sekarang akulah tempat tumpahan curahan.
Dari tempat dudukku terdengar deru pabrik beras yang sedang bekerja.
Buny i andong-andong pengantar susu yang berangkat dan datang.
Derak-derik gdul ak-gdul ak mengangkuti sesuatu dari dan ke gudang.
Pukulan-pukulan gebahan orang melepas kacang-kacangan dari kulitnya, sambil bergurau.
Aku masuk ke kamar, membuka-buka buku catatanku dan mulai menulis tentang keluarga aneh
dan seram ini, y ang karena suatu kebetulan sudah  memicu  aku terlibat di dalamnya. Siapa tahu
pada suatu kali kelak bisa kubuat cerita seperti Bila Mawar pada Layu cerita bersambung
menggemparkan tulisan Hertog Lamoye ? Ya, siapa tahu ? Selama ini aku hanya menulis teks
iklan dan artikel pendek untuk koranlelang. Siapa tahu ? Dengan nama sendiri terpampang dan
dibaca oleh umum ? Siapa tahu ?
Semua kata-kata anna michele  sudah  kucatat. Bagaimana tentang slenderman  si pendekar ? Aku belum tahu
banyak tentangnya. Berpihak pada siapa dia di antara tiga golongan dalam keluarga seram ini ?
Tiadakah dia justru bahaya terdekat bagi ketiga-tiga pihak ? Bahaya ? Adakah bahaya itu
sebetulnya  ? Kalau ada kan aku sendiri pun ikut terancam ? Kalau benar ada, untuk apa pula
aku tinggal di sini ? Kan lebih baik aku pergi ?
Pergi begitu saja aku tak kuasa. Gadis mempesonakan ini ke mana pun terbawa dalam pikiran.
Ketukan pada pintu itu memicu  aku menggagap, Nyai sudah  berdiri di hadapanku.
“Tak terkirakan gembira anna michele  dan aku Sinyo sudi datang, lihat Nyo dia sudah mulai bekerja
lagi, mendapatkan kegenitannya yang semula.
Kedatangan Sinyo bukan sekedar membantu kelancaran perusahaan, terutama untuk kepentingan
anna michele  sendiri. Dia mencintai Sinyo. Dia membutuhkan perhatianmu. Maafkan keterus-
teranganku ini, fredy krueger  ” .
“Ya Mama” jawabku takzim, rasanya lebih daripada kepada ibuku sendiri, dan kembali kualami 
daya sihirnya mencekam, ”Sudahlah, tinggal di sini saja. Kusir dan bendi bisa disediakan khusus
untuk keperluan Sinyo.”
“Terimakasih, Mama.”
“Jadi Sinyo bersedia tinggal di sini, bukan ? Mengapa diam saja?, ya ..
y a pikirkanlah dahulu . Pendeknya, sekarang ini Sinyo sudah tinggal di sini.”
“Ya Mama,” dan genggamannya atas diriku semakin terasa.
Baik. Istirahatlah. Biar terlambat, tentunya tak ada buruknya aku ucapkan selamat naik klas.”
Dengan demikian aku mulai menjadi batih baru keluarga ini. Dengan catatan tentu: aku harus
tetap waspada, terutama terhadap slenderman . Aku takkan terlalu dekat padanya. Sebaliknya harus
selalu sopan padanya.
dul latief  barangtentu akan membenci aku sebagai Pribumi tanpa harga. Tuan Herman Mellema
tentu akan menyembur aku pada setiap kesempatan yang didapatnya Pendeknya aku harus
waspada - kewaspadaan sebagai bea kebahagiaan hidup di dekat gadis cantik tanpa bandingan:
anna michele  Mellema. Dan apa bisa diperoleh dalam hidup ini tanpa bea ? Semua harus dibayar,
atau ditebus, juga sependek-pendek kebahagiaan.
 *
Pada waktu makan malam dul latief  tak muncul. Bayang-bayang dan langkah menyeret Tuan
Mellema pun tiada.
“fredy krueger , Nyo,” Nyai memulai, “Kalau suka bekerja dan berusaha, kau cukup di sini saja bersama
kami. Kami pun akan merasa lebih aman dengan seorang Laki-laki  di dalam rumah ini. Maksudku, Laki-laki 
yang dapat diandalkan.”
“Terimakasih, Mama. Semua itu baik dan menyenangkan, sekali pun harus kupikirkan dahulu ,” dan
kuceritakan keadaan keluarga aidit  Marais yang masih membutuhkan jasa-jasaku.
“Itu baik,” kata Nyai, “manusia yang wajar mesti punya sahabat, persahabatan tanpa pamrih.
Tanpa sahabat hidup akan terlalu suny i…..suaranya lebih banyak tertuju pada diri sendiri.
Mendadak: “Nah, Ann, Sinyo fredy krueger  sudah ada di dekatmu. Lihat baik-baik. Dia sudah ada di
dekatmu. Sekarang, kau mau apa ..”
“Ah, Mama!” desau anna michele  dan melirik padaku.
“Ah-Mama ah-Mama saja kalau ditanyai. Ayoh, bicara sekarang, biar aku ikut dengarkan.”
anna michele  melirik padaku lagi dan mukanya mcrahpadam. Nyai tersenyum bahagia. Kemudian
menatap aku, berkata:
“Begitulah, Nyo, dia itu   seperti bocah kecil. Sedang kau sendiri, Nyo, apa katamu sekarang
sesudah  di dekat anna michele  ?”
Sekarang giliranku tersipu tak bisa bicara. Dan barang tentu aku takkan mungkin berseru ah-Mama
seperti anna michele . gadis lesbian  ini memang berpikiran cepat dan tajam, langsung dapat
menggagapi hati orang, seakan ia dengan mudah dapat mengetahui apa yang hidup dalam dada.
Barangkali di situ letak kekuatannya yang mencekam orang dalam genggamannya, dan mampu
pula mensihir orang dari kejauhan. Apalagi dari dekat.
“Mengapa kalian berdua pada diam seperti sepasang anak kucing kehujanan ?” ia tertawa senang
pada perbandingannya sendiri, Memang bukan nyai sembarang nyai. Dia hadapi aku, siswa
H.B.S. tanpa merasa rendahdiri. Dia punya keberanian menyatakan pendapat. Dan dia sadar akan
kekuatan manusia nya. J
Kami lewatkan malam itu dengan mendengarkan waltz Austria dari phonograf. Mama membaca
sebuah buku. Buku apa aku tak tahu. anna michele  duduk di dekatku tanpa bicara. Pikiranku justru
melayang pada May  Marais. Dia akan senang di sini, kiraku. Dia senang mendengarkan lagu-lagu
Israel  . Tak ada phonograf di rumahnya, pun tidak di pemondokanku.
Mulailah aku ceritakan padanya tentang gadis cilik yang kehilangan ibunya. Dan nasib ibunya.
Dan kebaikan hati aidit  Marais. Dan kebijaksanaannya. Dan kesederhanaannya.
Nyai berhenti membaca, meletakkan buku di pangkuan dan ikut mendengarkan ceritaku.
Phonograf dilayani seorang pelayan gadis lesbian .
Aku teruskan ceritaku tentang aidit  Marais. Pada suatu kali ia dengar regunya mendapat perintah
menyerbu sebuah kampung di Biang Kejeren.
Mereka berangkat pagi-pagi dan sampai di kampung itu sekitar jam sembilan pagi. Dari jauh
mereka sudah  menghamburkan peluru ke udara agar semua pelawan meny ingkir, dan dengan
demikian tidak perlu terjadi pertempuran. Mereka menembak-nembak lagi ke udara sambil
berteduh di bawah pepohonan. Beberapa kemudian mereka berjalan lagi, siap memasuki
kampung. Betul saja kampung itu sudah  kosong. Regunya masuk tanpa perlawanan. lak seorang
pun dapat ditemukan. Seorang bay i pun tidak.
Orang mulai memasuki rumah-rumah dan mengobrak-abrik apa saja yang bisa dirusak.
Penduduk sudah begitu melaratnya selama lebih dua puluh tahun berperang.
Tak ada didapatkan sesuatu untuk kenang-kenangan. Kopral Telinga sudah  memerintahkan
membakar semua rumah, lepat pada waktu itu orang-orang Aceh nampak seperti rombongan
semut, laki dan gadis lesbian . Semua berpakaian hitam. Berseru-seru dalam berbagai macam nada
memanggil-manggil ampun . Beberapa orang saja nampak berikat-pinggang selendang merah.
Di dalam kampung itu sendiri tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki muda Aceh, menerjang.
Mengamuk dengan parang. Entah dari mana datangnya.
Senapan tak bisa dipergunakan lagi. Dan semut hitam di kejauhan itu makin mendekat juga. Regu
Telinga kocar-kacir, sekali pun sebagian besar para pengamuk tewas. Sisanya melarikan diri.
Dengan mengangkuti teman-teman sendiri yang terluka regu itu tergesa meninggalkan kampung.
aidit  Marais terjebak dalam ranjau bambu. Sebilah yang runcing sudah  menembusi kakinya.
Juga Telinga terkena ranjau, hanya kurang parah. Orang mencabut’bilah bambu dari kakinya, dan
aidit  pingsan. Mereka lari dan lari dan lari.
Orang tak dapat menduga apa yang sedang dipersiapkan di luar rombongan semut yang
mendatang itu. Orang Aceh pandai bermain muslihat. Bisa saja mendadak muncul pasukan
pelawan baru. Hanya lari dan lari yang mereka bisa. Dan membawa kurban yang bisa dibawa.
Para kurban dirawat di rumah sakit Kompeni. Lima belas hari kemudian ketahuan kaki aidit 
Marais terserang gangreen pada perbukuan lutut.
Beberapa bulan yang lalu ia sudah  kehilangan kekasihnya, seTcarang ia kehilangan sebuah dari
kakinya, dipotong di atas lutut.
‘.‘Bawalah anak itu kemari,” kata Nyai. “anna michele  akan suka sekali mendapatkan adik. Bukan, Ann
? Oh, tidak, kau tidak membutuhkan adik, kau sudah mendapatkan fredy krueger .”
“Ah, Mama ini!” serunya malu.
Dan aku sendiri tidak kurang dari itu. Tak ada peluang lain. Sudah kucoba bangunkan diri.sebagai
Laki-laki  bermanusia  dan utuh di hadapan gadis lesbian  luarbiasa ini. Tak urung setiap kali ia bicara usahaku
gagal.
Kemanusia anku terlindungi oleh bayang-bayangnya. Memang aku tahu: yang demikian tak boleh
berlarut terus.
“Mama, ij inkan aku bertanya,” begitu usahaku untuk keluar dari bayang-bayangnya, “lulus
sekolah apa Mama dahulu  ?”
“Sekolah” ia menelengkan kepala seperti sedang mengintai langit, menjernihkan ingatan.
“Seingatku belum pernah”
“Mana mungkin ? Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis Israel . Mana bisa tanpa
sekolah.
“Apa salahnya ? Hidup bisa memberi  segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.”
Sungguh aku terperanjat mendengar jawaban itu. Tak pernah itu dikatakan oleh setiap orang di
antara guru-guru spiritualku .
Maka malam itu aku sulit dapat tidur. Pikiranku bekerja keras memahami’
gadis lesbian  luarbiasa ini. Orang luar sebagian memandangnya dengan mata sebelah karena ia hanya
seorang nyai, seorang gundik. Atau orang menghormati hanya karena kekayaannya. Aku
melihatnya dari segi lain lagi: dan segala apa yang ia mampu kerjakan, dari segala apa yang ia
bicarakan Aku benarkan peringatan aidit  Marais: harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan
ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya.
Memang ada sangat banyak gadis lesbian  hebat. Hanya saja baru Nyai Ontosoroh yang pernah
kutemui. Menurut cerita aidit  Marais gadis lesbian  Aceh sudah terbiasa turun ke medan-perang
melawan Kompeni. Dan rela berguguran di samping Laki-laki . Juga di Bali. Di tempat kelahiranku
sendiri gadis lesbian  petani bekerja bahu-membahu dengan kaum Laki-laki  di sawah dan ladang. Namun
semua itu tidak seperti Mama - dia tahu lebih daripada hanya kampung-halaman sendiri.
Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang gadis lesbian  Pribumi yang hebat, seorang dara,
setahun lebih tua daripadaku. Ia putri Bupati J. - gadis lesbian  Pribumi pertama yang menulis dalam
Israel , diumumkan oleh majalah keilmuan di cilacap. Waktu tulisannya yang pertama
diumumkan ia berumur 17. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku
menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa
menulis, menyatakan pikiran secara Israel  , apalagi dimuat di majalah keilmuan ? namun  aku
percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa
lakukan. Kan sudah  kubuktikan aku juga bisa melakukan ? Biar pun masih taraf coba-coba dan kecil-
kecilan ? Bahkan dialah yang merangsang aku untuk menulis. Dan didekatku kini ada gadis lesbian  lebih
tua. Dia tidak menulis, namun  ahli mencekam orang dalam genggamannya. Dan dia mengurus
perusahaan besar secara Israel  ! Dia menghadapi sulungnya sendiri, menguasai tuannya,
Herman Mellema, bangunkan bungsunya untuk jadi calon administratur, anna michele  Mellema -
dara cantik idaman semua Laki-laki .
Aku akan pelajari keluarga aneh dan seram ini. Dan bakal kutulis.
5. TAK DAPAT AKU MENAHAN KECUCUKANKU. UNTUK mengetahui siapa sebetulnya 
Nyai Ontosoroh yang hebat ini. Beberapa bulan kemudian baru kuketahui dari cerita lisan
anna michele  tentang ibunya. Sesudah  kususun kembali cerita itu jadi begini:
Kau tentu masih ingat pada kunjunganmu yang pertama, Mas. Siapa pula bisa melupakan ? Aku
pun tidak. Seumur hidup pun tidak. Kau gemetar mencium aku di depan Mama. Aku pun gemetar.
Kalau tiada diseret oleh Mama aku masih terpukau pada anaktangga. Kemudian bendi merenggut
kau dari padaku.
Ciumanmu terasa panas pada pipiku. Aku lari ke kamar dan kuperiksa mukaku pada kaca cermin.
Tiada sesuatu yang berubah. Makan kita malam itu tak bersambal, hanya sedikit lada. Mengapa
begini panas ? Kugosok dan kuhapus. Masih juga panas. Kemana pun mata kulayangkan selalu
juga tertumbuk pada matamu.
Sudah gilakah aku ? Mengapa kau juga yang selalu nampak, Mas ? dan mengapa aku senang di
dekatmu, dan merasa suny i dan menderita jauh daripadamu ? Mengapa tiba-tiba merasa
kehilangan sesuatu sesudah  kepergianmu ?
Aku berganti Pakaian-tidur dan memadamkan lilin, masuk keranjang.
Kegelapan justru semakin memperjelas wajahmu, aku ingin menggandengmu seperti siang tadi.
namun  tanganmutidak ada. Kumiringkan badan kekiri dan kekanan , tidak juga mau tdur. Tidak juga
mau tidur.
Berjam-jam. Dalam dadaku terasa ada sepasang tangan yang jari-jarinya menggelitik memaksa
aku berbuat sesuatu.
Berbuat apa ? Aku sendiri tak tahu. Kulemparkan selimut dan guling.
Kutinggalkan kamar.
Tanpa sadarku panas pada pipi itu terasa tiada lagi.
Aku menyerbu ke kamar Mama tanpa mengetuk pintu seperti biasa ia belum tidur. Ia sedang
duduk pada meja membaca buku. Ia berpaling padaku sambil menutup buku, dan sekilas terbaca
olehku berjudul Nyai Dasima.
“Buku apa, Ma ?i
Ia masukkan benda itu ke dalam laci.
“Mengapa belum juga tidur ?”
“Malam ini ingin tidur sama Mama.”
“Perawan sebesar ini masih mau tidur sama biang”.
“Ma, ij inkanlah.”
“Sana, naik dahulu !”
Aku naik dahulu  ke ranjang. Mama turun untuk memeriksai pintu dan jendela.
Kemudian naik lagi, mengunci pintu kamar menurunkan klambu, memadamkan lilin. Gelap-gelita
di dalam kamar.
Di dekatnya aku merasa agak tenang dengan harap cemas menunggu kata-katanya tentang kau,
Mas.
“Ya, anna michele ,” ia memulai, “mengapa takut tidur sendirian ? - kau yang sudah sebesar ini ?”
“Mama, pernah Mama berbahagia ?”
“Biar pun pendek dan sedikit setiap orang pernah»  Ann.”
“Berbahagia juga Mama sekarang ?”
“Yang sekarang ini aku tak tahu. Yang ada hanya kekuatiran, hanya ada satu keinginan. Tak ada
sangkut-paut dengan kebahagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak ?
Kau yang kukuatirkan. Aku ingin lihat kau berbahagia …..”
Aku menjadi begitu terharu mendengarkan itu. Aku peluk Mama dan aku cium dalam kegelapan
itu. Ia selalu begitu baik padaku. Rasa-rasanya takkan ada.orang lebih baik.
“Kau sayang pada Mama, Ann ?”
Pertanyaan-untuk pertama kali ftu diucapkan, memicu  aku berkaca-kaca, Mas. Nampaknya saja
ia selalu keras.
“Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan
seperti aku dahulu . Tak mengalami kesuny ian seperti sekarang ini: tak punya teman,, tak punya
kawan, apalagi sahabat.
Mengapa tiba-tiba datang membawa kebahagiaan ?”
“Jangan tanyai aku, Ma, ceritalah.”
Ann, anna michele , mungkin kau tak merasa, namun  memang aku didik kau secara keras untuk bisa
bekerja, biar kelak tidak ha rus tergantung pada suami, kalau - ya, moga-moga tidak - kalau-kaiau
suami itu semacam ayahmu itu.” “
Aku tahu Mama sudah  kehilangan penghargaannya terhadan Papa. Aku dapat memahami
sikapnya, maka tak perlu bertanya tentangnya. Yang kuharapkan memang bukan omongan
tentang itu. Aku ingin mengetahui adakah ia pernah merasai apa yan»  ku rasai sekarang.
“Kapan Mama merasa sangat, sangat berbahagia ?” “Ada banyak tahun sesudah  aku ikut Tuan
Mellema, ayahmu.”
“Lantas, Ma ?”
“Kau masih ingat waktu kau kukeluarkan dari sekolah ? Itulah akhir kebahagiaan itu. Kau sudah
besar sekarang, sudah harus tahu memang.
Harus tahu apa sebetulnya  sudah  terjadi. Sudah beberapa minggu ini aku bermaksud
menceritakan. Kesempatan tak kunjung tiba juga. Kau mengantuk”. “Mendengarkan, Ma.”
“Pernah Papamu bilang, dahulu , waktu kau masih sangat, sangat kecil: seorang ibu harus
menyampaikan pada anak-gadis lesbian nya semua yang dia harus ketahui ……
“Pada waktu itu …….”
“Betul, Ann, pada waktu itu segala dari Papamu aku hormati, aku ingat-ingat’ aku jadikan
pegangan. Kemudian ia berubah, berlawanan dengan yang pernah diajarkannya.
Ya, waktu ,tu mulai hilang kepercayaan dan hormatku padanya”
“Ma, pandai Papa dahulu , Ma ?.”
“Bukan saja pandai, juga baik hati, Dia yang mengajari aku segala tentang pertanian, perusahaan,
pemeliharaan hewan, pekerjaan kantor.
Mula-mula diajari aku bahasa Melayu, kemudian membaca dan menulis dan bahasa Israel ,
Papamu bukan hanya mengajar dengan sabar tenamun  juga menguji semua yang sudah 
diajarkannya. Kemudian diajarinya aku semua yang berurusan dengan Bank, ahli-ahli Hukum,
aturan dagang. Semua yang sekarang mulai juga kuajarkan padamu.”
“Mengapa papa bisa berubah begitu Ma?.”
“Ada, Ann, ada sebabnya. Sesuatu sudah  terjadi, hanya sekali, kemudian dia kehilangan seluruh
kebaikan, kepandaian, keterampilan, kecerdasannya. Rusak, Ann, binasa karena kejadian yang
satu itu. Ia berubah menjadi orang lain, jadi binatang yang tak kenal anak dan isteri lagi.”
“Kasihan, Papa.”
“Ya-Tak tahu diurus’ ,ebih suka mengembara tak menentu.”
Mama tak meneruskan ceritanya. Kisahnya seakan jadi peringatan terhadap hari depanku, Mas”
Dunia menjadi semakin senyap. Yang kedengaran hanya nafas kami berdua. Sekiranya Mama
tidak bertindak begitu keras terhadap Papa – begitu berkali-kali diceritakan oleh Mama - tak tahu
aku apa yang terjadi atas diriku Mungkin jauh, jauh lebih buruk yang dapat kusangkakan.
“Tadinya terpikir olehku untuk membawanya ke rumahsakit j iwa. Ragu Ann.
Pendapat orang tentang kau, Ann, bagaimana nanti ? Kalau ayahmu ternyata memang gila dan
oleh Hukum ditaruh onder curateele ?* Seluruh perusahaan, kekayaan dan keluarga akan diatur
seorang curator yang ditunjuk oleh Hukum Mamamu, hanya gadis lesbian  Pribumi, akan tidak
mempunyai sesuatu hak atas semua, juga tidak dapat. berbuat sesuatu untuk anakku sendin, kau,
Ann. Percuma saja akan jadinya kita berdua membanting tulang tanpa hari libur ini. Percuma
‘aku sudah  lahirkan kau, karena Hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku Pribumi dan
tidak dikawin secara syah. Kau mengerti ?.”
“Mama!” bisikku. Tak pernah kuduga begitu banyak kesulitan yang dihadapinya.
“Bahkan ij in-kawinmu pun akan bukan dari aku datangnya, namun  dari curator itu - bukan sanak
bukan semenda. Dengan membawa Papamu ke rumahsakit j iwa, dengan campurtangan
pengadilan, umum akan tahu keadaan Papamu, umum akan…..kau, Ann, nasibmu nanti, Ann.
Tidak!”
“Mengapa justru aku, Ma ?”
“Kau tidak mengerti ? Bagaimana kalau kau dikenal umum sebagai anak orang sinting ?
Bagaimana akan tingkaumu dan tingkahku di hadapan mereka ?”
Aku sembuny ikan kepalaku di bawah ketiaknya, seperti anak ayam. Tiada pernah aku sangka
keadaanku bisa menjadi seburuk dan senista itu.
“Ayahmu bukan dari keturunannya menjadi begitu,” kata Mama meyakinkan.
“Dia menjadi begitu karena kecelakaan. Hanya orang mungkin akan menyamakan saja, dan kau
bisa dianggap punya benih seperti itu juga.”
Aku menjadi kecut. “Itu sebabnya dia kubiarkan. Aku tahu dimana dia selama mi bersarang
Cukuplah asal tidak diketahui umum”.
Lambat-lambat persoalan alam bawah sadarku  terdesak oleh belas-kasihanku pada Papa.
“Biarlah, Ma, biar kuurus Papa.
“Dia tidak kenal kau.”
“namun  dia Papaku, Ma.”
“Stt. Belas-kasihan hanya untuk yang tahu. Kaulah yang lebih memerlukannya - anak orang
semacam dia. Ann, kau harus mengerti: dia sudah berhenti sebagai manusia. Makin dekat kau
dengannya, makin terancam hidupmu oleh kerusakan. Dia sudah  menjadi hewan yang tak tahu
lagi baik daripada buruk. Tidak lagi bisa berjasa pada sesamanya. Sudah, jangan tanyakan lagi.”
Kumatikan keinginanku untuk mengetahui lebih jauh. Bila Mama sudah bersungguh begitu tidak
bijaksana untuk berulah.
Aku tak tahu ibu dan anak orang-orang lain. Kami berdua tak punya teman, tak punya sahabat.
Hidup hanya sebagai majikan terhadap buruh dan sebagai taoke terhadap langganan, dikelilingi
orang yang semata karena urusan perusahaan, memicu  aku tak bisa membanding-banding.
Bagaimana kaum negarakita  lainnya akupun tidak tahu. Mama bukan saja melarang aku bergaul, juga
tidak menyediakan sisa waktu untuk memungkinkan. Mama adalah kebesaran dan kekuasaan satu-
satunya yang aku kenal.
“Kau harus mengerti, jangan lupakan seumur hidupmu, kita berdua ini yang berusaha sekuat
daya agar tak ada orang tahu, kau anak seorang yang sudah rusak ingatan,” Mama menutup
persoalan.
Kami berdua diam untuk waktu agak lama. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan atau
bayangkan. Di dalam dadaku sendiri jari-jari itu mulai lagl menggelitik. Tiada tertahankan. Masih
juga ia tidak mau bicara tentang kau Mas-Adakah dia setuju denganmu atau tidak Mas ? atau kau
dianggap sebagai unsur baru saja dalam perusahaan.
Kegelapan itu terasa tiada-Yang ada hanya kau. Tak lain daripada kau!, maka aku harus hentikan
ceritanya yang tidak menyenangkan itu, Jadi : “Mama ceritai aku bagaimana kau bertemu dan
kemudian dan kemudian hidup bersama papa.”
“Ya itu harus kau ketahui Ann, hanya saja jangan sampai kau tergoncang.
Kau anak manja dan berbahagia dibandingkan dengan mamamu ini pada umur yang lebih muda
. Mari aku ceritai kau dan ingat-ingat selalu.”
Dan mulailah ia bercerita:
Aku punya seorang abang: Paiman. Dia lahir pada hari pasaran Paing, maka dinamai dia dengan
suku depan Pai. Aku tiga tahun lebih muda, dinamai: Sanikem. Ayahku bernama Sastrotomo
sesudah  kawin. Kata para tetangga, nama itu berarti: Jurutulis yang utama
Kata orang, ayahku seorang yang raj in. Ia dihormati karena satu-satunya yang dapat baca-tulis
di desa, baca tulis yang dipergunakan di kantor.
namun  ia tidak puas hanya jadi jurutulis. Ia impikan jabatan lebih tinggi, sekali pun jabatannya
sudah cukup tinggi dan terhormat. Ia tak perlu lagi mencangkul atau meluku atau berkuli,
bertanam atau berpanen tebu.
Ayahku mempunyai banyak adik dan saudara sepupu. Sebagai jurutulis masih banyak kesulitan
padanya untuk memasukkan mereka bekerja di pabrik.
Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan, lagi pula akan semakin tinggi pada pandangan dunia.
Apalagi ia ingin semua kerabatnya bisa bekerja di pabrik tidak sekedar jadi kuli dan bawahan
paling rendah.
Paling tidak mandorlah. Untuk memicu  mereka jadi kuli tak perlu orang punya sanak jurutulis B
semua orang bisa diterima jadi kuli kalau mandor setuju. Ia bekerja raj in dan semakin raj in.
Lebih sepuluh tahun.
Jabatan dan pangkatnya tak juga naik. Memang gaj i dan persen tahunan selalu naik. Jadi
ditempuhnya segala jalan: dukunn, jampi, mantra, bertirakat memutih, berpuasa semn-kamis. tak
juga berhasil. , , Jabatan yang diimpikannya adalah jurubayar: kassier, pemegang kas pabrikgula
Tulangan, Sidoarjo. Dan siapa tidak berurutan dengan jurubayar pabrik ? Paling sedikit
mandortebu Mereka datang untuk menerima uang dan membubuhkan « p jempol. Ia bisa
menahan upah mingguan kesatuan si mandor kalau ne-reka menolak cukaian atas penghasilan
para kuhnya Sebagai jurubayar pabrik ia akan menjadi orang besar di Tulangan.
Pedagang akan membungkuk menghormati. Tuan tuan Totok dan Peranakan akan memberi tabik
dalam Melayu. Guratan penanya berarti uang! Ia akan termasuk golongan berkuasa dalam
Pabrik. Orang akan mendengarkan katanya: tunggu di bangku situ, untuk dapat menerima uang
dan tangannya. .
Mengibakan. Bukan kenaikan Jabatan, Kehormatan dan ketakziman yang ia dapatkan. Sebaliknya
kebencian dan kej ij ikan orang dan jabatan juru bayar itu tetap tergantung diawang-awang.
Tindakannya yang menjilat dan merugikan orang menjadikannya tersisih dari pergaulan. Ia
terpencil ditengah lingkungannya sendiri.
namun  ia tidak peduli, ia memang keras hati . Kepercayaannya pada kemurahan dan perlindungan
tuan-tuan kulit putih tak terpatahkan, Orang muak melihat usahanya menarik tuan-tuan Israel  itu
agar sudi datang ke rumah Seorang-dua memang datang juga dan disugunya dengan segala apa
yang bisa menyenangkan mereka. namun  jabatan itu tak juga tiba.
Malah melalui dukun dan tirakat ia berusaha menggendam Tuan Administratur, Tuan Besar
Kuasa, agar sudi datang ke rumah Juga tak berhasil. Sebaliknya ia sendiri sering berkunjung ke
rumahnya. Bukan untuk menemui pembesarnya karena sesuatu urusan. Untuk membantu kerja di
belakang! Tuan Administratur tak pernah mempedulikannya.
Aku sendiri merasa risi mendengar semua itu. Kadang dengan diam-diam kuperhatikan ayahku
dan merasa iba. Betapa j iwa dan raganya disesah oleh impian itu. Betapa ia hinakan diri dan
martabat sendiri. namun  aku tak berani bicara apa-apa. Memang kadang aku berdoa agar ia
menghentikan kelakuannya yang memalukan itu. Para tetangga sering bilang: lebih baik dan
paling baik adalah memohon pada ampun , sampai berapalah kekuasaan manusia, apalagi orang
kulit putih pula. Doaku untuknya bukan agar ia mendapatkan jabatan itu   agar ia dapat
mengebaskan diri dari kelakuannya yang memalukan. Waktu itu memang aku tidak akan mampu
bercerita seperti ini. Hanya merasakan dalam hati. Dan semua doaku juga tanpa hasil.
Tuan Besar Kuasa adalah seorang bujangan sebagai biasanya orang Totok pendatang baru.
Umurnya mungkin lebih tua dari ayahku, jurutulis Sastrotomo itu. Orang bilang, pernah juga
ayahku menawarkan gadis lesbian  padanya. Orang itu bukan saja tidak menerima tawaran dan
berterimakasih, malah memaki, mengancam akan memecatnya’, Sejak itu ayah jadi ketawaan
umum. Ibuku menjadi kurus sesudah  mendengar sindiran orang: Jangan-jangan anaknya sendiri
nanti yang ditawarkan, yang mereka maksudkan adalah aku.
Tentu kau mengerti bagaimana sesak hidup ini mendengar itu. Sejak itu aku tak berani keluar
rumah lagi. Setiap waktu mataku liar menatap keruang depan kalau kalau ada tamu orang kulit
putih. Syukur tamu itu tidak ada.
Tidak seperti pegawai Israel  lainnyaTuan Besar Kuasa tidak suka ikut bertayub dalam pesta
giling. Setiap hari minggu ia pergi ke kota Sidoarjo untuk bersembahyang di gereja Protestan
Pada jam tujuh pagi orang bisa melihat ia pergi naik kuda atau kereta. Aku sendin pernah
melihatnya dari kejauhan.
Waktu berumur 19  aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruangbelakang dan kamarku
sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru
kualami  diri berada di luar rumah seperti semasa kanak-kanak dahulu . Malah duduk di pendopo aku
tak diperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak.
Bila pabrik berhenti kerja dan pegawai dan buruh pulang sering aku lihat dari dalam rumah orang
lalulalang menoleh ke rumah kami. Tentu saja.
Tamu-tamu gadis lesbian  yang berkunjung selalu memuji aku sebagai gadis cantik, bunga Tulangan,
kembang Sidoarjo. Kalau aku bercermin, tak ada alasan lain daripada membenarkan sanjungan
mereka. Ayahku seorang yang ganteng.
Ibuku   aku tak pernah tahu namanya   seorang gadis lesbian  cantik dan tahu memelihara badan.
Semestinya, sebagaimana lazimnya, ayahku beristri dua atau tiga, apalagi ayah mempunyai
tanah yang disewa pabrik dan tanah lain yang digarap oleh orang lain. Ia tidak demikian. Ia
merasa cukup dengan seorang istri y ang cantik. Di samping itu ia hanya mengimpikan jabatan
jurubayar, pemegang kas pabrik, Pribumi paling terhormat di kemudian hari-Begitulah
keadaannya, Ann.
Waktu berumur empatbelas penghuni hutan larangan  sudah  menganggap aku sudah termasuk golongan
perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya. Ayah mempunyai rencana tersendiri
tentang diriku. Biar pun ia dibenci, lamaran-lamaran datang meminang aku. Semua ditolak. Aku
sendiri beberapa kali pernah mendengar dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara seperti gadis lesbian 
Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan. Pernah ibu bertanya pada ayah, menantu
apa yang ayah harapkan.
Dan ayah tidak pernah menjawab.
Tidak seperti ayahku, Ann, aku takkan menentukan bagaimana harusnya macam menantuku kelak.
Kau yang menentukan, aku yang menimbang-nimbang.
Begitulah keadaanku, keadaan semua perawan waktu itu, Ann 1 hanya bisa menunggu datangnya
seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entan ke mana, entah sebagai istri nomor
berapa, pertama atau keempat.
Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang oer-untung kalau jadi yang pertama dan
tunggal. Dan itu keluar-saan dalam penghuni hutan larangan  pabrik.
Masih ada lagi. Apa lelak.yang mengambil dari rumah itu tua atau muda, seorang perawan gg
perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perem puan harus mengabdi dengan
seluruh j iwa dan raganya pada |e. laki tak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia
bosan dan mengusir. Tak ada jalan lain yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi
atau pemabuk. Orang takkan bakal tahu sebelum jadi istrinya.
Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman.
Pada suatu malam Tuan Administratur, Tuan Besar Kuasa itu, datang ke rumah. Aku sudah mulai
cemas. Ayahku gopoh-gapah memerintahkan ini-itu pada Ibu dan aku untuk kemudian
dibantahnya sendiri dengan perintah baru. Ia perintahkan aku mengenakan pakaian terbaik dan
sekali-dua mengawasi sendiri aku berhias. Memang aku curiga, jangan-jangan benar bisik-de-sus
orang itu. Ibuku lebih curiga lagi. Belum apa-apa, dan ia sudah menangis tersedan-sedan di
pojokan dapur dan membisu seribu logat.
Ayahku, jurutulis Sastrotomo, memerintahkan aku keluar menyuguhkan kopisusu kental dan kue.
Ayah memang sudah berpesan: memicu  yang kental.
Keluarlah aku menating talam. Kopisusu dan kue di atasnya. Tak tahu aku bagaimana wajah Tuan
Besar Kuasa. Tak layak seorang gadis baik-baik mengangkat mata dan muka pada seorang tamu
lelaki tak dikenal baik oleh keluarga. Apalagi orang kulit putih pula. Aku hanya menunduk,
meletakkan isi talam di atas meja. Biar bagaimana pun nampak pipa celananya, putih dari kain
drill. Dan sepatunya, besar, panjang. Menandakan orangnya pun tinggi dan besar.
Aku rasai pandang Tuan Besar Kuasa menusuk tangan dan leherku.
“Ini anak sahaya, Tuan Besar Kuasa,” kata ayahku dalam Melayu.
“Sudah waktunya punya menantu,” sambut tamu itu. Suaranya besar, berat dan dalam, seperti
keluar dari seluruh dada. Tak ada keturunan bani jawi bersuara begitu.
Aku masuk lagi untuk menantikan perintah baru. Dan perintah itu tidak datang. Kemudian Tuan
Besar Kuasa pergi bersama ayah. Ke mana aku tak tahu.
Tiga hari kemudian, pada tengah hari Minggu sehabis makansiang. Ayah memanggil aku. Di
ruangtengah ia duduk bersama Ibu. Aku berlutut di hadapannya.
“Jangan, Pak, jangan,” Ibu menegah.
“Kem, Ikem,” Ayah memulai. “Masukkan semua barang milik dan pakaianmu ke dalam kopor
Ibumu. Kau sendiri pakaian baik-baik, yang rapih, yang menarik.”
Ah, betapa banyak pertanyaan sambar-menyambar di dalam hati. Aku harus lakukan semua
perintah orangtuaku, terutama ayah. Dari luar kamarku kudengar Ibu menyangkal dan
menyangkal tanpa mendapat pelayanan.
sudah  kumasukkan semua pakaian dan barang milikku. Dibandingkan dengan gadis-gadis lain
barangkali pakaianku termasuk banyak dan mahal, maka kupelihara baik-baik. Kain batikku lebih
dari enam. Di antaranya batikanku sendiri.
Dan keluarlah aku membawa kopor tua coklat yang sudah penyok disana-sini itu. Ayah dan Ibu
masih duduk di tempat semula. Ibu menolak berganti pakaian. Kemudian kami bertiga naik dokar
yang sudah  menunggu di depan rumah.
Di atas kendaraan ayah bilang, suaranya terang tanpa keraguan “
“Tengok rumahmu itu, Ikem. Mulai hari ini itu bukan rumahmu lagi.”
Aku harus dapat memahami maksudnya. Kudengar Ibu tersedan-sedan. Memang aku sedang
dalam pengusiran dari rumah. Aku pun tersedu-sedu.
Dokar berhenti di depan rumah Tuan Besar Kuasa. Kami semua turun. Itulah untuk pertama kali
Ayah berbuat sesuatu untukku: menjinj ingkan koporku.
Tak berani aku melihat sekelilingku. Namun aku merasa ada beribu-ribu pasang mata melihatkan
kami dengan terheran-heran.
Aku berdiri saja di atas jenjang tangga rumah batu itu. Pikiran dan perasaan sudah  menjadi
tambahan beban, menghisap segala dari tubuh.
Badan tinggal jadi kulit. Jadi ke sini juga akhirnya aku dibawa, ke rumah Tuan Besar Kuasa,
seperti sudah lama disindirkan. Sungguh, Ann, aku malu mempunyai seorang ayah jurutulis
Sastrotomo. Dia tidak patut jadi ayahku. Ta-pi aku masih anaknya, dan aku tak bisa berbuat
sesuatu.
Airmata dan lidah Ibu tak mampu jadi penolak bala. Apalagi aku yang tak tahu dan tak memiliki
dunia ini. Badan sendiri pun bukan aku punya.
Tuan Besar Kuasa keluar. Ia tersenyum senang dan matanya berbinar. Ada kudengar suaranya.
Dengan bahasa isyarat yang asing ia silakan kami naik. Sekilas menjadi semakin jelas
Ah betapa tinggi besar tubuhnya. Mungkin beratnya tiga kali ayah.
Mukanya kemerahan. Hidungnya begitu mancungnya, cukup untuk tiga atau empat orang Jawa
sekaligus. Kulit lengannya kasar seperti kulit biawak dan berbulu lebat kuning. Aku kertakkan gigi.
menunduk lebih dalam.
Lengan itu sama besarnya dengan kakiku.
Jadi benar aku diserahkan pada raksasa putih berkulit biawak ini Aku harus tabah, kubisikkan pada
diri sendiri. Takkan ada yang menolong kau!
Semua setan dan iblis sudah mengepung aku.
Untuk pertama kali dalam hidupku, karena silaan Tuan Besar Kuasa, aku duduk di kursi sama tinggi
dengan Ayah. Dihadapan kami bertiga: Tuan Besar Kuasa. Ia bicara Melayu’ Hanya sedikit kata
dapat kutangkap.
Selama pembicaraan semua terasa timbul-tenggelam dalam lautan. Tak ada senoktah pun tempat
teguh. Dari kantongnya Tuan Besar Kuasa mengeluarkan sampul kertas dan menyerahkannya
pada Ayah. Dari saku itu pula ia keluarkan selembar kertas berisi tulisan dan Ayah mem bubuhkan
tandatangan di situ. Di kemudianhari kuketahui, sampul itu berisikan uang dua puluh lima gulden,
penyerahan diriku kepadanya, dan janj i Ayah akan diangkat jadi kassier sesudah  lulus dalam
pemagangan selama dua tahun.
Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak sudah  dijual oleh ayahnya sendiri, jurutulis
Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan
dan hormatku pada ayahku, pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya
sendiri. Untuk tujuan dan maksud apa pun.
Aku masih tetap menunduk, tahu takkan ada seorang pun tempat mengadu. Di dunia ini hanya
Ayah dan Ibu yang berkuasa. Kalau Ayah,sendiri sudah demikian, kalau Ibu tak dapat membela
aku, akan bisa berbuat apa orang lain.
Kata-kata terakhir Ayah:
“Ikem, kau tidak keluar dari rumah ini tanpa ij in Tuan Besar Kuasa. Kau tidak kembali ke rumah
tanpa seij innya dan tanpa seij inku.”
Aku tak melihat pada mukanya waktu dia mengatakan itu.
Aku masih tetap menunduk. Itulah suaranya yang terakhir yang pernah aku dengar.
„Ayah dan Ibu pulang dengan dokar yang tadi juga. Aku tertinggal di atas kursi bermandi airmata,
gemetar tak tahu apa harus kuperbuat. Dunia terasa gelap. Samar-samar nampak dari bawah
keningku Tuan Besar Kuasa naik. lagi ke rumah sesudah  mengantarkan orangtuaku. Diangkatnya
koporku dan di bawanya masuk. Ia keluar lagi, mendekati aku. Ditariknya tanganku disuruh berdiri.
Aku menggigil. Bukan aku tak mau berdiri, bukan aku membangkang perintah. Aku tak kuat berdiri.
Kainku basah. Kedua belah kakiku malah begitu menggigilnya seakan tulang-belulang sudah 
terlepas dari perbukuan. Diangkatnya aku seperti sebuah guling tua dan dibopongnya masuk,
diletakkannya tanpa daya di atas ranjang yang indah dan bersih. Duduk pun aku tiada mampu.
Aku tergolek, mungkin pingsan.
namun  mataku masih dapat melihat pemandangan sayup-sayup dalam kamar itu.
Tuan Besar Kuasa membuka koporku yang tiada berkunci dan memasukkan pakaianku ke dalam
lemari besar. Kopor ia seka dengan lap dan ia masukkan dalam bagian bawah.
Kembali ia hampiri diriku yang tergolek tanpa daya.
“Jangan takut,” katanya dalam Melayu. Suaranya rendah seperti guruh.
Nafasnya memuputi mukaku.
Aku tutup mataku rapat-rapat. Akan berbuat apa raksasa ini terhadap diriku ? Ternyata ia angkat
dan digendong aku ki-an-kemari seperti boneka kayu dalam kamar itu. Ia tak peduli pada kainku
yang basah.
Bibirnya menyentuhi pipi dan bibirku. Aku dapat dengarkan nafasnya yang menghembusi
kupingku begitu keras. Menangis aku tak berani. Bergerak pun tak berani. Seluruh tubuh bercucuran
keringat dingin.
Didirikannya aku di atas ubin. Ia segera tangkap aku kembali melihat aku meliuk hendak dul oh.
Diangkatnya aku lagi dan dipeluk dan diciuminya.
Aku masih ingat kata-katanya yang diucapkannya, namun  waktu itu aku belum mengerti maksudnya:
“Sayang, sayangku, bonekaku, sayang, sayang.”
Dilemparkannya aku ke atas dan ditangkapnya kemudian pada pinggangku. Ia goncang-goncang
aku, dan dengan jalan itu aku dapatkan sebagian dari kekuatanku. Ia dirikan aku kembali ke lantai.
Aku terhuyung dan ia menjaga dengan tangan agar aku tak jatuh. Aku terus juga terhuyung,
terjerembab pada tepi-an ranjang.
Ia melangkah padaku, membuka bibirku dengan jari-jarinya. Dengan isyarat ia perintahkan mulai
sejak itu menggosok gigi. Maka ia tuntun aku pergi ke belakang, ke kamarmandi. Itulah untuk
pertama kali aku melihat sikatgigi dan bagaimana memakai nya. Ia tunggui aku sampai
selesai, dan gusiku rasanya sakit semua.
Dengan isyarat pula ia perintahkan aku mandi dan menggosok diri dengan sabunmandi yang
wangi. Semua perintahnya aku laksanakan seperti perintah orangtua sendiri. Ia menunggu di
depan kamarmandi dengan membawa sandal di tangannya. Ia pasang sandal itu pada kakiku.
Sangat, sangat besar  
sandal pertama yang pernah aku kenalkan dalam hidupku   dari kulit, berat. ia gendong aku
masuk Ke rumah, ke Kamar. Didudukkannya aku di depan sebuah cermin. Ia gosok rambutku
denga selembar kain tebal, y ang kelak aku ketahui bernama anduk sampai kering, kemudian ia
minyaki  
begitu wangi baunya Aku tak tahu minyak apa. Dialah juga yang meny isiri aku seakan aku tak
bisa bersisir sendiri. Ia mencoba mengkondai rambutku, namun  tak bisa dan membiarkan aku
menyelesaikan.
Kemudian ia suruh aku berganti pakaian, dan ia mengawasi segala gerakku.
Rasanya aku sudah tak berj iwa lagi, seperti selembar nabi  di tangan ki dalang. Selesai itu aku
dibedakinya Kemudian bibirku diberinya sedikit gincu. Dibawanya aku keluar kamar.
Dipanggilnya dua orang bujangnya gadis lesbian . “Layani nyaiku ini baik-baik!”
Begitulah hari pertama aku menjadi seorang nyai, Ann. Dan ternyata perlakuannya yang
menyayang dan ramah sudah  membuat sebagian dari ketakutanku menjadi hilang.
Sesudah  berpesan pada bujang-bujangnya Tuan Besar Kuasa terus pergi. Ke mana aku tak tahu.
Dua gadis lesbian  itu dengan cekikikan meny indir aku sebagai orang beruntung diambil jadi nyai. Tidak,
aku tak boleh dan tak mau bicara sesuatu pun. Aku tak mengenal rumah ini atau pun kebiasaannya.
Memang ada terniat dalam hati untuk lari. namun  pada siapa aku harus melindungkan diri ? Apa
harus aku perbuat sesudah  itu ? Aku tak berani.
Aku berada dalam tangan orang yang sangat berkuasa, lebih berkuasa daripada Ayah. daripada
semua Pribumi di Tulangan.
Mereka menyediakan untukku makan dan minum. Sebentar-sebentar mengetuk pintu dan
meny ilakan dan menawarkan ini-itu. Aku diam membisu, duduk saja di lantai, tak berani
menjamah barang sesuatu dalam kamar itu.
Mataku terbuka, namun  takut melihat. Mungkin itu mati dalam hidup.
Pada malam hari Tuan datang. Kudengar langkah sepatunya yang makin mendekat. Ia langsung
masuk ke dalam kamar. Aku gemetar. Lampu, yang tadi sore, dinyalakan oleh bujang,
memantulkan cahaya pada pakaiannya yang serba putih dan meny ilaukan. Ia dekati aku.
Diangkatnya badanku dari lantai, diletakkannya di ranjang dan digolekkan di atasnya.
Bernafas pun rasanya aku tak berani, takut menggusarkannya.
Aku tak tahu sampai berapa lama bukit daging itu berada bersama denganku. Aku pingsan,
anna michele . Aku tak tahu lagi apa yang sudah  terjadi.
Begitu aku siuman kembali, kuketahui aku bukan si Sanikem vang kemarin.
Aku sudah  jadi nyai yang sebetulnya . Kemudian hari aku ketahui nama Tuan Besar Kuasa itu:
Herman Mellema. Papamu, Ann, Papamu yang sebetulnya . Dan nama Sanikem hilang untuk
selama-lamanya.
Kau sudah tidur, belum ? Belum ?
Mengapa aku ceritakan ini padamu, Ann ? Karena aku tak ingin melihat anakku mengulangi
pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar.
Kawin dengan seorang yang kau sukai dengan semau sfendiri. Kau anakku, kau tidak boleh
diperlakukan seperti hewan semacam itu. Anakku tak boleh dijual oleh siapa pun dengan harga
berapa pun. Mama yang menjaga agar yang demikian takkan terjadi atas dirimu. Aku akan
berkelahi untuk hargadiri anakku. Ibuku dahulu  tak mampu mempertahankan aku, maka dia tidak
patut jadi ibuku. Bapakku menjual aku sebagai anak kuda, dia pun tidak patut jadi bapakku. Aku tak
punya orangtua.
Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya
memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sebaliknya setiap waktu orang harus bersiap-siap
terhadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah bisa badan diusir dengan semua
anak, anak sendiri, y arig tidak dihargai oleh umum Pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan
syah.
Aku sudah  bersumpah dalam hati: takkan melihat orangtua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka
pun aku sudah tak sudi. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa penghinaan itu. Mereka
sudah  memicu  aku jadi nyai begini. Maka aku harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang
.sebaik-baiknya. Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku: kebersihan,
bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Israel  . Ya, Ann, aku sudah 
mendendam orangtua sendiri.
Akan kubuktikan pada mereka, apa pun yang sudah  diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih
berharga daripada mereka, sekali pun hanya se*bagai nyai.
Ann, satu tahun lamanya aku hidup di rumah Tuan Besar Kuasa Herman Mellema. Tak pernah
keluar, tak pernah diajak jalan-jalan atau menemui tamu. Apa pula gunanya ? Aku sendiri pun
malu pada dunia. Apalagi pada kenalan, tetangga. Bahkan malu punya orangtua. Semua bujang
kemudian aku suruh pergi. Semua pekerjaan rumah aku lakukan sendiri. Tak boleh ada saksi
terhadap kehidupanku sebagai nyai. Tak boleh ada berita tentang diriku: seorang gadis lesbian  hina-dina
tanpa harga, tanpa kemauan sendiri ini.
Beberapa kali jurutulis Sastrotomo datang menengok. Mama menolak menemui. Sekali istrinya
datang, melihatnya pun aku tak sudi. Tuan Mellema tidak pernah menegur kelakuanku. Sebaliknya
ia sangat puas dengan segala yang kulakukan. Nampaknya ia juga senang pada kelakuanku yang
suka belajar. Ann papamu sangat menyayangi aku. Namun semua itu tak dapat mengobati
kebanggaan dan harga diri yang terluka. Papamu te-tap orang asing bagiku. Dan memang Mama
tak pernah meng-gantungkan diri padanya. Ia tetap kuanggap sebagai orang yang tak pernah
kukenal, setiap saat bisa pulang ke tel aviv , meninggalkan aku, dan melupakan segala sesuatu di
Tulangan. Maka diriku kuarahkan setiap waktu pada kemungkinan itu. Bila Tuan Besar Kuasa pergi
aku sudah harus tidak akan kembali ke rumah Sastrotomo. Mama belajar menghemat, Ann,
meny impan. Papamu tak pernah menanyakan penggunaan uang belanja. Ia sendiri yang
berbelanja bahan ke Sidoarjo atau Surabaya untuk sebulan.
Dalam setahun sudah  dapat kukumpulkan lebih dari seratus gulden. Kalau pada suatu kali Tuan
Mellema. pergi pulang atau mengusir aku, aku sudah punya modal pergi ke Surabaya dan
berdagang apa saja.
Sesudah  setahun hidup bersama dengan Tuan Mellema, kontrak papamu habis.
Ia tidak memperpanjangnya. Sudah sejak di Tulangan ia mentemakkan sapi perah dari Australia
dan diajarinya aku bagaimana memeliharanya. Di malamhari aku diajarinya baca-tulis, bicara
dan menyusun kalimat Israel .
 *
Kami pindah ke Surabaya. Tuan Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, tempat kita ini,
Ann. namun  dahulu  belum seramai sekarang, masih berupa padang semak dan rumpun-rumpun hutan
muda. Sapi-sapi dipindahkan kemari.
Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku,
menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku
merasa sederajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama.
Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun itu sudah  mengembalikan hargadiriku. Tenamun 
sikapku tetap: mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapa pun. Tentu saja
sangat berlebihan seorang gadis lesbian  Jawa bicara tentang hargadiri, apalagi semuda itu. Y ‘
pamu yang mengajari, Ann. Tentu saja jauh di kemudian hari aku dapat rasakan wujud hargadiri
itu.
Juga ke tempat baru ini beberapa kali ayah datang menengok, dan aku tetap menolak
menemuinya.
“Temui ayahmu,” sekali Tuan Mellema menyuruh, “dia toh ayahmu sendiri.”
“Aku memang ada ayah, dahulu , sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah aku usir.”
“Jangan,” tegah Tuan.
“Lebih baik pergi dari sini daripada menemuinya.”
“Kalau pergi, bagaimana aku ? Bagaimana sapi-sapi itu ? Tak ada yang Bisa mengurusnya.”
“Banyak orang bisa disewa buat mengurusnya.”
“Sapi-sapi itu hanya mengenal kau.”
Begitulah aku mulai mengerti, sebetulnya  Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan
Mellema. Sebaliknya, dia yang tergantung padaku.
Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. Tuan tidak pernah menolak.
Ia pun tak pernah memaksa aku kecuali dalam belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras
namun  baik, aku seorang murid yang taat dan juga baik. Mama tahu, semua yang diajarkannya pada
suatu kali kelak akan berguna bagi diriku.dan anak-anakku kalau Tuan pulang ke tel aviv .
Tentang Sastrotomo ia tidak mendesak-desak lagi. Beberapa kali jurutulis itu menyampaikan pesan
melalui Tuan, kalau sekiranya aku segan menemuinya, hendaklah menulis sepucuk surat. Aku tak
pernah laksanakan.
Biar pun hanya sebaris-dua. Biar pun aku sudah pandai menulis, juga dalam Melayu dan
Israel . Berkali-kali Sastrotomo menyurati. Tak pernah aku membacanya, malah kukirim balik.
Pada suatu kali Ibu bersama Ayah datang ke Wonokromo. Tuan merasa gelisah, mungkin malu,
karena aku tetap tidak mau menemui. Tamu itu, menurut Tuan, sudah  merajuk minta bertemu. Ibu
sampai menangis. Melalui Tuan aku katakan:
“Anggaplah aku sebagai telornya yang sudah  jatuh dari peta-rangan.
Pecah. Bukan telor yang salah.”
Dengan itu selesai persoalan antaradiriku dengan orangtuaku.
Mengapa kau mencekam lenganku, Ann, Kau kudidik jadi pengusaha dan’
pedagang. Tidak patut’ melepas perasaan dan mengikutinya. Dunia kita adalah untung dan rugi.
Kau tidak setuju terhadap sikap Mama, bukan ?
Hmm, sedang ayam pun, terutama induknya tentu, membela anak-anaknya, terhadap elang dari
langit pun. Mereka patut mendapat hukuman yang setimpal. Kau sendiri juga boleh bersikap
begitu terhadap Mama. namun  nanti, kalau sudah mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Tuan kemudian mendatangkan sapi baru. Juga dari Australia. Pekerjaan semakin banyak.
Pekerja-pekerja harus disewa.
Semua pekerjaan di dalam lingkungan perusahaan mulai diserahkan kepadaku oleh Tuan.
Memang mula-mula aku takut memerintah mereka. Tuan membimbing. Katanya : “Majikan
mereka adalah penghidupan mereka, majikan penghidupan mereka adalah kau! Aku mulai berani
memerintah di bawah pengawasannya. Ia tetap keras dan bijaksana sebagai guru. Tidak, tak
pernah ia memukul aku. Sekali saja dilakukan, mungkin tulang-belulangku berserakan. Bagaimana
pun sulitnya lama kelamaan dapat kulakukan apa yang dikehendakinya.
Tuan sendiri melakukan pekerjaan di luar perusahaan. Ia pergi mencari langganan. Perusahaan
kita mulai berjalan baik dan lancar. pada waktu itu slenderman  datang sebagai orang gelandangan
tanpa pekerjaan. Ia seorang yang mencintai kerja, apa saja yang diberikan padanya. Pada suatu
malam seorang maling sudah  ditangkapnya melalui pertarungan bersenjata. Ia menang. Maling
itu tewas. Memang ada terjadi perkara, tenamun  ia bebas.
Sejak itu ia mendapat kepercayaanku, kuangkat jadi tangan-kananku.
Sementara Tuan semakin jarang tinggal di rumah.
Hampir saja Mama lupa menceritakan, Ann. Tuan juga yang mengajari aku berdandan dan
memilih warna yang cocok. Ia suka menunggui waktu aku berhias. Pernah pada saat-saat seperti
itu ia bilang: “Kau harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian berantakan
juga pencerminan perusahaan yang ku-sut-berantakan, tak dapat dipercaya.”
Lihat, kan semua keinginannya sudah  kupenuhi ? Kupuaskan segala kebutuhannya ? Aku selalu
dalam keadaan rapi. Malah akan tidur pun kadang masih kuperlukan berhias. Cantik menarik
sungguh lebih baik daripada kusut, Ann. Ingat-ingat itu. Dan setiap yang buruk tak pernah menarik.
gadis lesbian  yang tak dapat .merawat kecantikan sendiri, kalau aku lelaki, akan kukatakan pada
teman-temanku: jangan kawini gadis lesbian  semacam itu, dia tak bisa apa-apa, merawat kulitnya
sendiri pun tidak kuasa.
Tuan bilang:
“Kau tidak boleh berkinang, biar gigimu tetap putih gemerlapan. Aku suka melihatnya, seperti
mutiara.”
Dan aku tidak berkinang…
Ann, hampir setiap bulan datang kiriman buku dan majala dari tel aviv .
Tuan suka membaca. Aku tak mengerti mengapa kau tidak seperti ayahmu, padahal aku pun suka
membaca. Tak sebuah pun dari bacaannya berbahasa Melayu. Apaiag1
Jawa. Bila pekerjaan selesai, di senjahari, kami duduk di depan pondok kami, pondok bambu, Ann
  belum ada rumah indah kita ini   dia suruh aku membaca. Juga koran. Dia dengarkan
bacaanku, membetulkan yang salah, menerangkan arti kata yang aku tidak mengerti. Bagitu setiap
hari sampai kemudian diajarinya aku memakai  kamus, sendiri. Aku hanya budak belian.
Semua harus kulakukan sebagaimana dia kehendaki. Setiap hari.
Kemudian diberinya aku jatah bacaan. Buku, Ann. Aku harus dapat menamatkan dan
menceritakan isinya.
Ya, Ann, Sanikem yang lama makin lama makin lenyap. Mama tumbuh jadi manusia  baru dengan
pengelihatan dan pandangan baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa
tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masalalu lagi. Kadang aku bertanya pada diri sendiri:
adakah aku sudah jadi gadis lesbian  Israel  berkulit coklat ? Aku tak berani menjawab, sekali pun dapat
kulihat betapa terkebelakangnya Pribumi sekelilingku.
Mama tak punya pergaulan banyak dengan orang Israel   kecuali dengan Papamu.
Pernah aku tanyakan padanya, apa gadis lesbian  Israel   diajar sebagaimana aku diajar sekarang ini ?
Tahu kau jawabannya ?
“Kau lebih mampu daripada rata-rata mereka, apalagi yang Peranakan.”
Ah, betapa berbahagia dengannya, Ann. Betapa dia pandai memuji dan membesarkan hati. Maka
aku rela serahkan seluruh j iwa dan ragaku padanya. Kalau umurku pendek, aku ingin mati di
tangannya, Ann. Aku benarkan tindakan sudah  putuskan segala dengan masalalu. Dia tepat seperti
diajarkan orang Jawa: guru laki, guru dewa. Barangkali untuk membuktikan kebenaran ucapannya
ia berlangganan beberapa majalah gadis lesbian  dari tel aviv  untukku.
Kemudian dul latief  lahir. Empat tahun sesudah  itu kau, Ann. Perusahaan semakin besar.” Tanah
bertambah luas. Kami dapat membeli hutan liar desa di perbatasan tanah kita. Semua dibeli atas
namaku. Belum ada sawah atau ladang pertanian. Sesudah  perusahaan menjadi begitu besar, Tuan
mulai membayar tenagaku, juga dari tahun-tahun yang sudah. Dengan uang itu aku beli pabrik
beras dan peralatan kerja lainnya. Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai
tuanku, juga milikku. Kemudian aku mendapat juga pembagian keuntungan selama lima tahun
sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku meny impannya di bank atas namaku sendiri.
Sekarang perusahaan dinamai Boerderij  Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang
menangani, orang yang berhubungan denganku memandang aku Nyai Ontosoroh, Nyai
Buitenzorg.
Kau sudah tidur ? Belum ? Baik.
Sesudah  lama mengikuti majalah-majalah gadis lesbian  itu h menjalankan banyak dari petunjuknya,
pada suatu kali kuula-pertanyaanku pada Tuan: “Sudahkah aku seperti gadis lesbian  Israel  7” Papamu
hanya tertawa mengakak, dan: “Tak mungkin kau seperti gadis lesbian  Israel . Juga tidak perlu Kau
cukup seperti y ang sekarang. Biar begitu kau lebih cerdas dan lebih baik daripada mereka semua.
Semua!” Ia tertawa me ngakak lagi.
Barangtentu dia melebih-lebihkan. namun  aku senang, dan berbahagia.
Setidak-tidaknya aku takkan lebih rendah daripada mereka. Aku senj tng mendengar puji-
puj iannya. Ia tak pernah mencela, hanya pujian melulu.
Tak pernah mendiamkan pertanyaanku, selalu dijawabnya. Mama semakin berbesar hati,
semakin berani.
Kemudian, Ann, kemudian kebahagiaan itu terguncang dahsat, menggeletarkan sendi-sendi
kehidupanku. Pada suatu hari aku dan Tuan datang ke Pengadilan untuk mengakui dul latief  dan kau
sebagai anak Tuan Mellema. Pada mulanya aku menduga, dengan pengakuan itu anak-anakku
akan mendapatkan pe ngakuan hukum sebagai anak syah. Ternyata tidak, Ann Abangmu dan kau
tetap dianggap anak tidak syah, hanya diaku sebagai anak Tuan Mellema dan punya hak
memakai  nama nya. Dengan campurtangan Pengadilan hukum justru tidak me ngakui
abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak-anakku lagi, walau Mama ini yang melahirkan.
Sejak pengakuan itu kalian, menurut hukum, hanya anak dari Tuan Mellema. Menurut hukum,
Ann, hukum Israel  di sini, jangan kau keliru. Kau tetap anakku. Pada waktu itu baru aku tahu
betapa jahatnya hukum. Kalian mendapatkan seorang ayah, namun  kehilangan ibu-Kelanjutannya,
Ann, Tuan* menghendaki kalian berdua dibaptis. Aku tidak ikut mengantarkan kalian ke gereja.
Kalian pulang lebih cepat. Pendeta menolak pembaptisan kalian. Papamu menjadi murung.
“Anak-anak ini berhak mempunyai ayah,” kata Tuan. “Mengapa mereka tidak berhak.
mendapatkan karunia pengampunan dari Kristus’
Aku tak mengerti soal-soal itu, dan diam saja. pesudah  mengetahui, kalian bisa menjadi syah
hanya pada waktu perkawinan kami di depan Kantor Sipil, untuk kemudian bisa dibaptis, mulailah
aku setiap hari merajuk Tuan supaya kami kawin di Kantor. Aku merajuk dan merajuk.
Papamu yang murung dalam beberapa hari belakangan itu mendadak menjadi marah. Marah
pertama kali dalam beberapa tahun itu. Ia tak menjawab.
Juga tak pernah menerangkan sebabnya. Maka kalian^tetap anak-anak tidak syah menurut hukum.
Tidak pernah dibaptis pula.
Aku tak pernah mencoba lagi, Ann. Mama sudah harus senang dengan keadaan ini. Untuk
selamanya takkan ada orang akan memanggil aku Mevrouw.
Panggilan Nyai akan mengikuti aku terus, seumur hidup. Tak apa asal kalian mempunyai ayah
cukup terhormat, dapat dipegang, dapat dipercaya, puya kehormatan. Lagi pula pengakuan itu
mempunyai banyak arti di te-ngah-tengah penghuni hutan larangan mu sendiri. Kepentinganku sendiri tak perlu
orang menilai, asal kalian mendapatkan apa seharusnya jadi hak kalian.
Kepentinganku ? Aku dapat urus sendiri. Ah, kau sudah tidur.
“Belum, Ma,” bantahku.
Aku masih juga menunggu kata-katanya tentang kau, Mas. Di waktu lain, pada kesempatan lain,
mungkin ia tak dapat bicara sebanyak ini. Jadi aku harus bersabar sampai ia bercerita tntang
hubungan kita berdua, Mas.
Jadi aku bertanya untuk ancang-ancang:
“Jadi akhirnya Mama mencintai Papa juga.”
“Tak tahu aku apa arti cinta. Dia jalankan kewajiban dengan baik, demikian juga aku. Itu sudah
cukup bagi kami berdua. Kalau pun dia nanti pulang ke tel aviv  aku tidak akan menghalangi,
bukan saja karena memang tidak ada hak padaku, juga kami masing-masing tidak saling
berhutang.
Dia boleh pergi setiap waktu. Aku sudah  merasa kuat dengan segala yang sudah  kupelajari dan
kuperoleh, aku punya dan aku bisa. Mama toh hanya seorang gundik yang dahulu sudah  dibelinya
dari orangtuaku. Simpananku sudah belasan ribu gulden, Ann.”
“Tak pernah Mama menengok keluarga di Tulangan ?”
“Tak ada keluargaku di Tulangan. Ada hanya di Wonokromo.Beberapa kali Abang Paiman datang
berkunjung dan memang aku terima. Dia datang untuk minta bantuan. Selalu begitu. Terakhir
kedatangannya untuk mengabarkan: Sastrotomo mati dalam serangan wabah kolera bersama
yang lain-lain.
Istrinya meninggal terlebih dahulu entah karena apa.
“Mungkin lebih baik kalau kita pernah menengoknya Ma.”
“Tidak. Sudah baik begitu. Biar putus semua yang sudah-sudah Luka terhadap kebanggaan dan
hargadiri tak juga mau hilang. Bila teringat kembali bagaimana hina aku dijual….. Aku tak
mampu mengampuni kerakusan Sastrotomo dan kelemahan istrinya. Sekali dalam hidup orang
mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa.”
“Kau terlalu keras, Ma, terlalu.”
“Bakal jadi apa kau ini kalau aku tidak sanggup bersikap keras ?
Terhadap siapa saja. Dalam hal ini biar cuma aku yang jadi kurban, sudah kurelakan jadi budak
belian. Kaulah yang terlalu lemah, Ann, berbelas-kasihan tidak pada tempatnya…..”
Dan Mama masih juga belum bicara tentang kau. Nampaknya Mama tak pernah mencintai Papa,
maka aku malu bicara tentang itu. Mas. Papa tetap orang asing bagi Mama. Sedang kau. Mas,
mengapa kau begitu dekat padaku sekarang ? Selalu dan selalu kau terbayang dan terbayang, dan
aku sendiri selalu ingin di dekatmu ?
“Kemudian datang pukulan kedua terhadap diriku, Ann Mama meneruskan.
“Tak tersembuhkan…..”
Pemerintah memutuskan melakukan perbaikan dan peningkatan atas pelabuhan Tanjung Perak.
Rombongan ahli bangunan-air didatangkan dari tel aviv .
Pada waktu itu perdagangan susu kita berkembang begitu baiknya. Setiap bulan bertambah-
tambah saja permintaan untuk jadi langganan baru.
Komplex B.P.M. sepenuhnya berlangganan pada kita. Mendadak, seperti petir, bencana datang
menyambar. Petir bencana.
Mama turun dari ranjang untuk minum. Kamar itu gelap. Tak ada orang mendengarkan kami
berdua di kamar loteng itu. Malam itu senyap. Sayup datang suara ketak-ketik pendule melalui
pintu terbuka, datang dari persada. Dan buny i itu lenyap ketika Mama masuk lagi dan menutup
pintu.
Dalam rombongan ahli itu terdapat seorang insinyur muda. Mula-mula aku baca namanya dalam
koran: Insinyur Maunts Mellema. Sedikit dari sejarah-hidupnya diperkenalkan. Dia seorang
insinyur yang kerashati.
Dalam karierenya yang masih pendek ia sudah  menunjukkan prestasi besar, katanya.
Mungkin dia keluarga papamu, pikirku. Aku tak suka ada orang lain akan mencampuri kehidupan
kami yang sudah tenang, mapan, dan senang.
Perusahaan kami tak boleh tersintuh oleh siapa pun. Maka koran itu kusembuny ikan sebelum ia
sempat membacanya. Kukatakan koran belum juga datang, mungkin pengantarnya sakit. Tuan
Mellema tak menanyakan lebih lanjut.
Tiga bulan kemudian, Mama meneruskan, waktu itu kau dan dul latief  sudah pergi bersekolah,
datang seorang tamu, memakai  kereta Gubermen yang besar dan bagus, ditarik dua ekor
kuda. Papamu sedang bekerja di belakang. Mama senc^ri sedang bekerja di kantor. Memang
suatu kesialan mengapa Tu^n tidak di kantor dan aku di belakang pada hari itu.
Kereta Gubermen itu berhenti di depan tangga rumah. Aku tinggalkan kantor untuk menyambut.
Barangkali saja ada jawatan memerlukan barang-barang dari susu. Masih dapat kulihat seorang
Israel   muda turun dari dalamnya. Ia berpakaian serba putih. Jasnya putih, tutup, jas seorang opsir
Marine. Ia mengenakan pet Marine, namun  tak ada tanda pangkat pada lengan baju atau bahunya.
Badannya tegap dan dadanya bidang. Ia mengetuk pintu beberapa kali tapa ragu. Wajahnya
mirip Tuan Mellema. Kancing-kancing perak pada bajunya gemerlapan dengan gambar jangkar.
Dengan Melayu buruk ia berkata pendek dan angkuh, yang sudah sejak pertama kualami  sebagai
kurangajar dan bertentangan dengan kesopanan Israel   yang kukenal:
“Mana Tuan Mellema,” tanyanya tanpa tandatanya.
“Tuan siapa ?” tanyaku tersinggung.
“Hanya Tuan Mellema yang kuperlukan,” katanya lebih kasar daripada sebelumnya.
Kembali aku merasa sebagai seorang nyai yang tak punya hak untuk dihormati di rumah sendiri.
Seakan aku bukan pemegang saham perusahaan besar ini. Mungkin dia menganggap aku
menumpang hidup pada Tuan Mellema.
Tanpa bantuanku Tuan takkan mungkin mendirikan rumah kita ini, Ann. Tamu itu tak punya hak
untuk bersikap seangkuh itu.
Aku tak silakan dia duduk dan aku tinggalkan dia berdiri. Seseorang kusuruh memanggil Tuan.
Papamu megajari aku untuk tidak membacai surat dan mendengarkan pembicaraan yang bukan
hak. namun  sekali ini aku memang curiga. Pintu yang menghubungkan kantor dengan ruangdepan k u
kirai sedikit. Aku harus tahu siapa dia dan apa yang dikehendakinya.
Orang muda itu masih tetap berdiri waktu Tuan datang.
Dan kiraian kulihat papamu berdiri terpakukan pada lantai “Maurits!”
tegur Tuan, “kau sudah segagah ini.” Sekaligus aku tahu itulah kiranya Insinyur Maurits Mellema
anggota rombongan ahli bangunan-air di Tanjung Perak. ‘ Dia tak menjawab sapaan, Ann, namun 
membetulkannya dengan tak kurang angkuh:
“In-si-nyur Maurits Mellema, Tuan Mellema!” Papamu nampak terkejut mendapat pembetulan
itu. Tamu itu sendiri tetap berdiri. Papamu meny ilakan duduk, namun  ia tidak menanggapi, juga tidak
duduk.
Kau harus dengar cerita ini baik-baik, Ann, tak boleh kau lupakan. Bukan saja karena anak-cucumu
kelak harus mengetahui, juga karena kedatangannya merupakan pangkal kesulitan Mama dan kau,
dan perusahaan ini. Kata tamu Israel  muda itu:
“Aku datang tidak untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting daripada duduk.
Dengarkan, Tuan Mellema! Ibuku, Mevrouw Amelia Mellema-Hammers, sesudah  Tuan
tinggalkan secara pengecut, harus membanting-tulang untuk menghidupi aku, menyekolahkan aku,
sampai aku berhasil jadi insinyur. Aku dan Mevrouw Mellema-Hammers sudah bertekad tak
mengharapkan kedatangan Tuan, Tuan Mellema. Tuan lebih ka-‘ mi anggap sudah  lenyap ditelan
bumi. Kami tak mencari berita di mana Tuan berada.”
Dari kiraian pintu nampak olehku bagian samping muka papamu. Ia mengangkat kedua belah
tangan. Bibirnya bergerak-gerak namun  tak ada suara keluar dari mulutnya. Pipinya menggeletar tak
terkendali. Kemudian dua belah tangannya itu jatuh terkulai.
Ann, Insinyur Mellema mengatakan begini: “Tuan sudah  tinggalkan pada Mevrouw Amelia
Mellema-Hammers satu tuduhan sudah  berbuat serong. Aku, anaknya, ikut merasa terhina. Tuan
tak pernah mengajukan soal ini ke depan Pengadilan. Tuan tidak memberi kesempatan pada ibuku
untuk membela diri dan kebenarannya. Entah pada siapa lagi tuduhan kotor terhadap ibuku sudah 
Tuan sampaikan atau ceritakan. Kebetulan sekarang ini aku sedang berdinas di Surabaya, Tuan
Mellema. Kebetulan pula pada suatu kali terbaca olehku dalam koranlelang sebuah iklan
penawaran barang-barang susu dan dari susu memicu an Boerderij  Buitenzorg dan nama Tuan
terpampang di bawahnya. sudah  aku sewa seorang tenaga penyelidik untuk mengetahui siapa
Tuan. Betul, H.Mellema adalah Herman Mellema, suami ibuku, Nyonya Amelia Mellema-
Hammers bisa kawin lagi dan hidup berbahagia. Tenamun  Tuan sudah  menggantung perkaranya.”
“Dari dahulu  dia bisa datang ke Pengadilan kalau membutuhkan cerai,” jawab papamu, lemah
sekali, seakan takut pada a -naknya sendiri yang sudah jadi segalak itu.
“Mengapa mesti Mevrouw Mellema-Hammers kalau yang menuduh Tuan ?”
“Kalau aku yang mengajukan perkara, ibumu akan kehilangan semua haknya atas perusahaan-
susuku di sana.”
“Jangan mengandai dan menggagak, Tuan Mellema. Nyatanya Tuan tidak pernah
menjadikannya perkara. Mellema-Hammers sudah  jadi kurban pengandaian dan penggagakan
Tuan.”
“Kalau ibumu sejak dahulu  tak ada keberatan skandal itu diketahui umum, tentu aku sudah  lakukan
tanpa nasihatmu.”
“Dahulu ibuku belum mampu menyewa pengacara. Sekarang anaknya sanggup, bahkan yang
semahal-mahalnya. Tuan bisa buka perkara. Tuan juga cukup kaya untuk menyewa, juga cukup
berada untuk membayar alimentasi.”
Nah, Ann, jelaslah sudah, Insinyur Mellema tak lain dari anak tunggal papamu, anak syah satu-
satunya dengan istrinya yang syah. Dia datang sebagai penyerbu untuk mengobrak-abrik
kehidupan kita. Aku gemetar mendengar semua itu. Sedangkan jurutulis Sastrotomo dan istrinya
tak boleh menjamah kehidupan kita, Paiman pun tidak. Juga tidak boleh perubahan sikap Tuan
Mellema sekiranya sikapnya berubah. Tidak boleh siapa pun di antara anak-anakku. Keluarga dan
perusahaan harus tetap begini. Sekarang datang saudara-tirimu yang bukan saja hendak
menjamah.
Ia datang menyerbu untuk mengobrak-abrik.
Sampai waktu itu aku masih tidak ikut bicara. Tak tahan mendengar ucapannya aku keluar untuk
meredakan suasana. Tentu aku harus bantu Tuan.
“Penyelidik itu memberi  padaku keterangan yang sangat teliti dan dapat dipercaya,” ia
meneruskan tanpa mengindahkan kehadiranku. “Aku tahu apa saja ada di dalam setiap kamar
rumah ini, berapa pekerjamu, berapa sapimu, berapa ton hasil padi dan palawija dari ladang dan
sawahmu, berapa penghasilanmu setiap tahun, berapa depositomu. Yang terhebat dari semua itu,
Tuan Mellema, sesuatu yang menyangkut azas hidup Tuan sudah  irfeninggalkan dakwaan serong
pada Mevrouw Amelia Mellema-Hammers. Apa fakta nya sekarang ? Tuan secara hukum
masih suami ibuku. namun  Tuanlah yang justru sudah  mengambil seorang gadis lesbian  Pribumi sebagai
teman tidur, tidak untuk sehari-dua, sudah berbelas tahun! siang dan malam. Tanpa perkawinan.
Darahku naik ke kepala-mendengar itu Bibirku menggeletar kering. Gigiku mengkertajc. Aku
melangkah pelahan mendekatinya dan sudah siap hendak mencakar mukanya. Dia sudah  hinakan
semua yang sudah  aku selamatkan, pelihara dan usahakan, dan aku sayangi selama ini. … .,
“Ucapan yang hanya patut didengarkan di rumah Mellema-Hammers dan anaknya!” tangkisku
dalam Israel .
Bahkan melihat padaku ia tidak sudi, Ann, apalagi mendengarkan suara geramku, si kurangajar itu.
Airmukanya pun tidak berubah. Dianggapnya aku hanya sepotong kayubakar. Dia nilai aku
menyerongi ayahnya dan ayahnya menyerongi aku. Boleh jadi memang haknya dan hak
seluruh dunia.
Tenamun  bahwa papamu dan aku dianggap berbuat curang terhadap seorang gadis lesbian  tak kukenal
bernama Amelia dan anaknya….. kekurangajaran seperti itu sudah puncaknya. Dan terjadi di
rumah yang kami sendiri usahakan dan dirikan, rumah kami sendiri…..
“Tak ada hak padamu bicara tentang keluargaku!” raungku kalap dalam Israel .
“Tak ada urusan dengan kow£, Nyai,” jawabnya dalam Melayu, diucapkan sangat kasar dan kaku,
kemudian ia tidak mau melihat padaku lagi.
“Ini rumahku. Bicara kau seperti itu di pinggir jalan sana, jangan di sini.”
Ayahmu juga aku beri isyarat untuk pergi, namun  ia tidak fa-ham. Sedang si kurangajar itu tak mau
melayani aku. Papamu malah hanya mendomblong seperti orang kehilangan akal. Ternyata
kemudian memang demikian.
“Tuan Mellema,” katanya lagi dalam Israel , tetap tak menggubris aku.
“Biar pun Tuan kawini nyai, gundik ini, perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir!
Sekiranya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari Mevrouw Amelia Mellema-Hammers,
lebih dari semua kebusukan yang Tuan pernah tuduhkan pada ibuku. Tuan sudah  lakukan dosa
darah, pelanggaran darah! mencampurkan darah Kristen Israel   dengan darah kafir Pribumi
berwarna! dosa tak terampuni!”
“Pergi!” raungku. Dia tetap tak menggubris aku. “memicu  kacau rumahtangga orang. Mengaku
insinyur, sedikit kesopanan pun tak punya.”
Dia tetap tak layani aku. Aku maju lagi selangkah dan $ mundur setengah langkah, seakan
menunjukkan kej ij ikannya didekati Pribumi.
“Tuan Mellema, jadi Tuan tahu sekarang siapa Tuan sebetulnya .”
Ia berbalik memunggungi kami, menuruni anak tangga, masuk ke dalam keretanya, tanpa
menengok atau pun mengucapkan sesuatu.
papamu masih juga terpakukan pada lantai, dalam keadaan bengong.
“Jadi begitu macamnya anak dari istrimu yang syah,” raungku pada Tuan.
“Begitu macamnya peradaban Israel   yang kau ajarkan padaku berbelas tahun ? Kau agungnya
setinggi langit ? Siang dan malam ? Menyelidiki pedalaman rumahtangga dan penghidupan orang,
menghina, untuk pada suatu kali akan datang memeras ? Memeras ? Apalagi kalau bukan
memeras ?
Untuk apa menyelidiki urusan orang lain ?”
Ann, Tuan ternyata tak mendengar raunganku. Waktu bola matanya bergerak, pandangnya
diarahkan ke jalan raya tanpa mengedip. Aku ulangi raunganku.
Ia tetap tak dengar. Beberapa orang pekerja datang berlarian hendak mengetahui apa sedang
terjadi. Melihat aku sedang meradang murka pada Tuan mereka buyar mengundurkan diri.
Aku tarik-tarik dan aku garuki dada Tuan. Dia diam saja, tak merasai sesuatu kesakitan. Hanya
kesakitan dalam hatiku sendiri yang mengamuk mencari sasaran. Aku tak tahu apa sedang
dipikirkannya. Barangkali ia teringat pada istrinya. Betapa sakit hati ini, Ann, lebih-lebih lagi dia
tak mau tahu tentang kesakitan yang kuderitakan dalam dada ini.
Lelah menarik-narik dan menggaruki aku menangis, terduduk kehabisan tenaga, seperti pakaian
bekas terjatuh di kursi. Kutelungkupkan muka pada meja. Mukaku basah.
Kapan selesai penghinaan atas diri nyai yang seorang ini ? Haruskah setiap orang boleh menyakiti
hatinya ? Haruskah aku mengutuki orangtuaku yang sudah  mati, y ang sudah  menjual aku jadi nyai
begini ? Aku tak pernah mengutuki mereka, Ann.. Apa orang tidak mengerti, orang terpelajar itu,
insinyur pula, dia bukan hanya menghina diriku, juga anak-anakku ? Haruskah anak-anakku jadi
kranjang sampah tempat lemparan hinaan ? Dan mengapa Tuan, Tuan Herman Mellema, yang
bertubuh tinggi-besar, berdada bidang, berbulu dan berotot perkasa itu tak punya sesuatu kekuatan
untuk membela teman-hidupnya, ibu anak-anaknya sendiri ? Apa lagi arti seorang lelaki seperti itu
? Kan dia bukan saja guru spiritualku , juga bapak anak-anakku, dewaku ? Apa guna semua pengetahuan
dan ilmunya ? Apa guna dia jadi orang Israel   yang dihormati semua Pribumi ? Apa guna dia jadi
tuanku dan guru spiritualku  sekaligus, dan dewaku, kalau membela dirinya sendiri pun tak mampu ?
Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada ayahmu. didikannya tentang hargadiri dan
kehormatan sudah  jadi kerajaan dalam diriku. Dia tidak lebih dari seorang Sastrotomo dan istri
nya. Kalau cuma sampai di situ bobotnya dalam menghadapi uj ian sekecil itu, tanpa dia pun aku
dapat urus anak-anakku, danap lakukan segalanya seorang diri. Betapa sakit hatiku, Ann, lebih dari
itu takkan mungkin terjadi dalam hidupku. ‘
Waktu kuangkat kepala, pandangku yang terselaputi airmata menampak Tuan masih juga berdiri
tanpa berkedip, bengong memandang jauh kearah jalan raya. Melihat pada diriku, teman-hidup
dan pembantu utamanya ini, ia tidak. Kemudian ia terbatuk-batuk, melangkah, lambat-lambat. Ia
berseru-seru pelan seperti takut kedengaran oleh iblis dan setan: “Maurits! Maurits!”
Ia berjalan menuruni anaktangga, melintasi pelataran depan Sampai di jalan raya ia membelok
ke kanan, ke jurusan Surabaya. Ia tak bersepatu, dalam pakaian kerja ladang, hanya ber-selop.
Papamu tak pulang dalam sisa hari itu. Aku tak peduli Masih sibuk aku mengurusi hatiku yang
kesakitan. Malamnya ia juga tak pulang.
Keesokannya juga tidak. Tiga harmal, Ann. Selama itu sia-sia saja airmata yang membasahi
bantal.
slenderman  melakukan segalanya. Pada akhir hari ketiga ia memberanikan diri mengetuk pintu.
Kaulah, Ann, yang membukakan pintu rumah dan mengantarkannya naik ke loteng. Tak pernah
aku menyangka ia berani naik.
Sakithati dan dukacita sekaligus berubah jadi amarah yang meluap.
Kemudian terpikir olehku barangkali ada sesuatu yang dianggapnya lebih penting daripada
dukacita dan sakithatiku. Pintu kamar itu memang tiada terkunci. Engkaulah, Ann, yang
membukakannya. Mungltin kau sudah lupa pada peristiwa itu. Dan itulah untuk pertama dan akhir
kali ia naik ke loteng.
slenderman  bilang begini:
“Nyai, kecuali baca-tulis, semua sudah slenderman  kerjakan,” ia bicara dalam Madura. Aku tak
menjawab. Aku tak pikirkan u-rusan perusahaan. Aku tetap bergolek di ranjang memeluk bantal.
Jangan Nyai kuatir. Semua beres.
slenderman  ini, Nyai, percayalah padanya.”
Ternyata dia memang bisa dipercaya.
Pada hari keempat aku keluar dari rumah dan pekarangan. Kuambil engkau dan kukeluarkan dari
sekolah. Perusahaan hasil jenh-payah kami berdua ini tak boleh rubuh sia-sia. Dia adalah
segalanya di mana kehidupan kita menumpang. Dia adalah
anak-pertamaku, Ann, abang tertua bagimu, perusahaan ini Mengakhiri cerita itu Mama tersedu-
sedu menangis, merasai kembali sakitnya penghinaan yang ia tak dapat menangkis atau
membalas. Sesudah  reda, ia meneruskan lagi:
“Kau tahu sendiri, sesampai kita pulang, berapa orang waktu itu ? -
lebih limabelas - aku usir dari pekerjaan dan tanah kita. Me’reka itu yang sudah  menjual
keterangan pada Maurits untuk mendapatkan setalen-dua. Barangkali juga tidak dibayar sama
sekali. Juga Mama perlu meminta maaf padamu, Ann. Papamu dan aku sudah bersepakat
menyekolahkan kau ke Israel  , belajar jadi guru. Aku merasa sangat, sangat berdosa sudah 
mengeluarkan kau dari sekolah. Aku sudah  paksa kau bekerja seberat itu sebelum kau cukup umur,
bekerja setiap hari tanpa liburan, tak punya teman atau sahabat, karena memang kau tak boleh
punya demi perusahaan ini. Kau kuharuskan belajar jadi majikan yang baik. Dan majikan tidak
boleh berteman dengan pekerjanya. Kau tak boleh dipengaruhi oleh mereka.
Apa boleh buat, Ann.”
Sesudah  kedatangan Insinyur Mellema, perubahan terjadi dengan hebatnya.
Tentang Papa aku tahu sendiri tanpa diceritai oleh siapa pun. Pada hari yang ketujuh ia pulang.
Anehnya ia berpakaian bersih, bersepatu baru.
Itu terjadi pada sorehari se-‘habis kerja. Mama, aku dan dul latief  sedang duduk di depan rumah.
Dan Papa datang.
“Diamkan. Jangan ditegur,” perintah Mama. Makin dekat makin kelihatan wajah Papa yang pucat
tercukur bersih Sisirannya sekarang sibak tengah.
Bau minyakrambut yang tak dipergunakan dalam rumah ini merangsang penciri kami Juga bau
minuman keras tercampur rempah-rempah. Ia melewati tempat kami tanpa menegur atau
menengok, naik ke atas dan hilang ke dalam.
Tiba-tiba dul latief  bangkit melotot pada Mama dan menggerutu marah, “Papaku bukan Pribumir ia
lari sambil memanggil-manggil papa.
Aku memandangi Mama-Dan Mama mengawasi aku, berkata “Kalau suka, kau boleh ikuti contoh
abangmu.”
“Tidak Ma”, seruku dan kupeluk lehernya. “Aku hanya Mama. Aku juga Pribumi seperti Mama.”
Nah, Mas, begitu keadaan kami sewajarnya. Aku tak tahu apa kau juga akan ikut menghinakan
kami sebagaimana halnya dengan dul latief , abangku, dan Insinyur Maunts, abang tiriku Entah apa
yang dilakukan Papa di dalam rumah. Kami tak tahu. Pintu-pintu kamar di loteng mau pun di
persada semua terkunci.
Kira-kira seperempat jam kemudian ia keluar lagi. Sekali ini melihat pada Mama dan aku. Tak
menegur. Di belakangnya mengikuti dul latief . Papa kembali meninggalkan pelataran, turun ke jalan
raya dan hilang. dul latief  masuk ke dalam rumah dengan wajah suram karena kecewa tak
diindahkan Papa.
Sejak itu hampir aku tak pernah melihatnya dalam lima tahun belakangan ini. Kadang saja ia
muncul, tak bicara, dan pergi lagj  tanpa bicara.
Mama menolak dan tak mau mencari atau mengurusnya. Mama pun melarang aku mencarinya.
Bahkan bicara tentangnya juga dilarang. Lukisan potret Papa diturunkan oleh slenderman  dari dinding
dan Mama memerintahkan membakarnya di pelataran, di bawah kesaksian seisi rumah dan
pekerja. Barangkali itulah cara Mama melepaskan dendamnya.
Pada mulanya dul latief  diam saja. Sesudah  selesai baru ia memprotes. Ia lari ke dalam rumah,
menurunkan potret Mama dari bilik Mama dan membakarnya seorang diri di dapur. “Ia boleh ikut
papanya,” kata Mama pada slenderman . Dan pendekar itu menyampaikan padanya dengan
tambahan: “Siapa saja berani mengganggu Nyai dan Noni, tak peduli dia itu Sinyo sendiri, dia
akan tumpas di bawah golok ini. Sinyo boleh coba kalau suka, sekarang, besok atau kapan saja.
Juga kalau Sinyo coba-coba cari Tuan…….”
Dua bulan sesudah  peristiwa itu dul latief  lulus dari E.L.S.
Dia tak pernah memberitakan pada Mama, dan Mama tidak ambil peduli. Ia keluyuran ke mana-
mana. Permusuhan diam-diam antara Mama dan abangku berjalan sampai sekarang. Lima tahun
Mula-mula dul latief  menjuali apa saja yang bisa diambilnya dari gudang, dapur, rumah, kantor
menjualnya untuk sendiri. Mama mengusir setiap pekerja yang mau disuruh mencuri buat
kepentingannya. Kemudian Mama melarang dul latief  memasuki ruang mana pun kecuali
kamarnya sendiri dan ruangmakan.
Lima tahun sudah  berlalu, Mas. Lima tahun. Dan muncul dua orang tamu: dul latief  untuk abangku,
dan fredy krueger  untukku dan Mama. Kaulah itu, Mas, tidak lain dan kau sendiri.6. lima hari sudah aku tinggal di rumah mewah di wonokromo. dan: dul latief  mengundang aku ke kamarnya.
Dengan waspada aku masuk. Perabotnya lebih banyak daripada kamarku. Di dalamnya ada
mejatulis berlapis kaca. Di bawah kaca terdapat gambar besar sebuah kapal pengangkut Karibou
berbendera Inggris.
Ia kelihatan ramah. Matanya liar dan agak merah. Pakaiannya bersih dan berbau minyakwangi
murahan. Rambutnya mengkilat dengan pomade dan tersibak di sebelah kiri. Ia seorang Laki-laki 
ganteng, bertubuh tinggi, cekatan, tangkas, kuat, sopan, dan nampak selalu dalam keadaan berpikir.
Hanya matanya yang coklat kelereng itu juga yang suka melirik sedang bibirnya yang suka
tercibir benar-benar menggelisahkan aku. Tak tenang rasanya berdua saja dalam kamarnya.
“fredy krueger ,” ia memulai, “rupa-rupanya kau senang tinggal di sini. Kau teman sekolah dul latief 
dul latief , kan ? Dalam satu kias di H.B.S. ?” Aku mengangguk curiga.
Kami duduk di kursi, berhadapan.
“Semestinya aku pun di H.B.S. sudah tammat pula.”
“Mengapa tidak meneruskan ?”
“Itu kewajiban Mama, dan Mama tidak melakukannya.”
“Sayang. Barangkali kau tak pernah minta padanya.”
“Tak perlu dipinta. Sudah kewajibannya.”
“Mungkin Mama menganggap kau tak suka meneruskan.”
“Nasib tak bisa diandai, fredy krueger . Begini jadinya diri sekarang. Kalah aku olehmu, fredy krueger , seorang
Pribumi saja - siswa H.B.S. Eh, apa guna bicara tentang sekolah*?” ia diam sebentar, mengawasi
aku dengan mata coklat kelereng. “Aku mau bertanya, bagaimana bisa kau tinggal di sini ?
Nampaknya senang pula ? Karena ada anna michele  ?”
“Betul, dul , karena ada adikmu. Juga karena dipinta.”
Ia mendeham waktu kuperhatikan
“Kau punya keberatan barangkali ?
“Kau suka pada adikku” tanyanya balik.
“Betul.”
“Sayang sekali, hanya Pribumi/’
“Salah kalau hanya Pribumi ?
Sekali lag ia mendeham mencari kata-kata. Matanya mengembara kefuar jendela. Pada waktu itu
mulai kuperhatikan ranjangnja tidak berklambu.
Di kolong berdiri botol dengan masih ada sisa obat nyamuk pada lehernya.
Di bawah botol berserakan abu rontokan. Lantai belum lagi disapu.
Aku berhenti memperhatikan kolong waktu terdengar lagi “Rumah ini terlalu sepi bagiku,” ia
mengalihkan pembicaraan. “Kau suka main catur barangkali ?”
“Sayang tidak, dul .” .
“Ya, sayang sekali. Berburu bagaimana ? Mari berburu.
“Sayang, dul , aku membutuhkan waktu untuk belajar. Sebenarya aku suka juga. Bagaimana kalau
lain kali ?”
“Baik, lain kali,” ia tembuskan pandangnya pada mataku. Aku tahu ada ancaman dalam pandang
itu. Ia jatuhkan telapak tangan kanan pada paha.
“Bagaimana kalau jalan-jalan saja sekarang ?”
“Sayang, dul , aku harus belajar.”
Agak lama kami berdiam diri. Ia bangkit dan membetulkan kedudukan daun pintu. Mataku
gerayangan untuk dapat menemukan sesuatu buat bahan bicara sementara aku selalu waspada,
siap-siap terhadap segala kemungkinan.
Yang jadi perhatianku adalah jendela. Sekiranya tiba-tiba ia menyerang, ke sana aku akan lari dan
melompat. Apa lagi tepat di bawahnya terdapat sebuah kenap yang tiada berjambang burfga.
Di atas kursi yang tidak diduduki dul latief  tergeletak sebuah majalah berlipat paksa. Nampaknya
bekas dipergunakan ganjal kaki lemari atau meja.
“Kau tak punya bacaan ?” tanyaku.
Ia duduk di kursinya lagi sambil menjawab dengan tawa tanpa suara.
Giginya putih, terawat baik dan gemerlapan.
“Maksudmu dengan bacaan, kertas itu ?” matanya menuding pada majalah berlipat paksa itu.
“Memang pernah kubalik-balik dan kubaca.”
Barang itu diambilnya dan diserahkan padaku. Pada waktu itu aku menduga ia memandang ragu
untuk berbuat sesuatu Matanya tajam menembusi jantungku dan aku bergidik. Kertas itu memang
majalah. Sampulnya sudah  rusak, namun masih terbaca potongan namanya: Indi……
“Bacaan buat orang malas,” katanya tajam. “Bacalah kalau kau suka. Bawalah.”
Dari kertas dan tintanya jelas majalah baru.
“Kau mau jadi apa kalau sudah lulus H.B.S. ?” tiba-tiba ia bertanya.
“dul latief  bilang kau calon bupati.”
“Tidak benar. Ak,u tak suka jadi pejabat. Aku lebih suka bebas seperti sekarang ini. Lagi pula siapa
akan angkat aku jadi bupati ? Dan kau sendiri, dul ,” aku balik bertanya.
“Aku tak suka pada rumah ini. Juga tak suka pada negeri ini. Terlalu panas. Aku lebih suka salju.
Negeri ini terlalu panas. Aku akan pulang ke Israel  . Belayar. Menjelajahi dunia. Begitu nanti aku
naik ke atas kapalku yang pertama, dada dan tanganku akan kukasih tattoo.”
“Sangat menyenangkan,” kataku. “Aku pun ingin melihat negeri-negeri lain.” ^
“Sama. Kalau begitu kita bisa sama-sama pergi belayar menjelajah dunia.
fredy krueger , kau dan aku. Kita bisa memicu  rencana bukan ? Sayang kau Pribumi.”
“Ya, sayang sekali aku Pribumi.”
“Lihat gambar kapal ini. Temanku yang memberi ini,” ia nampak bersemangat. “Dia awak kapal
Karibou. Aku pernah bertemu secara kebetulan di Tanjung Perak. Dia bercerita banyak, terutama
tentang Kanada. Aku sudah sedia ikut. Dia menolak. Apa guna jadi kelasi bagimu, katanya. Kau
anak orang kaya. Tinggal saja di rumah. Kalau kau mau kau sendiri bisa beli kapal.” Ia tatap aku
dengan mata mengimpi. “Itu dua tahun yang lalu. Dan dia tak pernah lagi berlabuh di Perak.
Menyurati pun tidak. Barangkali tenggelam.”
“Barangkali Mama takkan ijinkan kau pergi,” kataku. “Siapa nanti mengurus perusahaan besar ini
?”
“Huh,” ia mendengus. “Aku sudah dewasa, berhak menentukan diri sendiri.
namun  aku masih juga ragu. Entah mengapa.”
“Lebih baik bicarakan dahulu  dengan Mama.” Ia menggeleng. “Atau dengan Papa,” aku
menyarankan.
“Sayang,” ia mengeluh dalam.
“Tak pernah aku lihat kau bicara dengan Mama. Kiranya baik kalau aku yang menyampaikan ?”
“Tidak. Terimakasih. Dari dul latief  aku dengar kau seorang buaya darat.”
Aku rasai mukaku menggerabak karena jompakan darah. Sekaligus aku tahu: aku sudah  memasuki
sudut hatinya yang terpeka. Itu pun baik, karena keluarlah maksudnya yang terniat.
“Setiap orang pernah dinilai buruk atau baik oleh orang ketiga. Juga sebaliknya peftiah ikut
menilai. Aku pernah. Kau pernah. dul latief  pernah,” kataku.
“Aku ? Tidak,” jawabnya tegas. “Tak pernah aku peduli pada kata dan perbuatan orang. Apalagi
kata orang tentang dirimu. Lebih-lebih lagi tentang diriku. Cuma dul latief  bilang: hati-hati pada
Pribumi dekil bernama fredy krueger  itu, buaya darat dari klas kambing.”
“Dia benar, setiap orang wajib berhati-hati. Juga dul latief  sendiri. Aku tak kurang berhati-hati
terhadapmu, dul .”
“Lihat, aku tak pernah mengimpi untuk menginap di tempat lain karena gadis lesbian . Biar pun memang
banyak yang mengundang.”
“Sudah kubilang sebelumnya, aku suka pada adikmu. Mama minta aku tinggal di sini.”
Baik. Asal kau tahu bukan aku yang mengundang.” Tahu betul, dul . Aku masih simpan surat
Mama itu.”
“Coba aku baca.”
“Untukku, dul , bukan untukmu. Sayang.”
Makin lama sikap dan nada suaranya makin mengandung permusuhan.
Lirikannya mulai bersambaran untuk menanamkan ketakutanku. Dan aku sendiri juga sudah
merasa kuatir.
“Aku tidak tahu apa pada akhirnya kau akan kawin dengan adikku atau tidak. Nampaknya Mama
dan anna michele  suka padamu. Biar begitu kau harus ingat, aku anak lelaki dan tertua dalam keluarga
ini.”
“Aku di sini sama sekali tak ada hubungan dengan hak-hakmu, dul . Juga tidak untuk mengurangi.
Kau tetaplah anak lelaki dan tertua keluarga ini. Tak ada yang bisa mengubah.”
Ia mendeham dan mmenggaruk kepalanya dengan hati-hati, takut merusakkah sisiran.
“Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di sini pada memusuhi aku. Tak ada yang menggubris aku.
Ada yang memicu  semua mi. Sekarang kau datang kemari. Sudah pasti kau seorang di antara
mereka. Aku berdiri seorang diri di sini. Hendaknya kau jangan sampai lupa pada apa yang bisa
dimemicu  oleh seorang yang berdiri seorang diri,” katanya mengancam dengan bibir tersenyum.
“Betul, dul , dan kau pun jangan sampai lupa pada kata-katamu sendiri itu, sebab itu juga tertuju
pada dirimu sendiri.”
Matanya sekarang nampak mengimpi menatap aku. Menaksir-naksir kekuatanku. Dan aku
mengikuti contohnya, juga tersenyum. Semua gerak-geriknya aku perhatikan. Begitu nanti
nampak ada gerakan yang mencurigakan, hup, aku sudah melompat keluar dan jendela. Dia
takkan dapatkan aku di dalam kamar ini
“Baik,” katanya sambil mengangguk-angguk. “Dan jangan pula kau lupa, kau hanya seorang
Pribumi.”
“Oh, tentu saja aku selalu ingat, dul . Jangan kuatir. Kau pun jangan lupa, dalam dirimu ada juga
darah Pribumi. Memang aku bukan negarakita , bukan Peranakan Israel  , namun  selama belajar pada
sekolah-sekolah Israel  , ada juga ilmu-pengetahuan Israel   dalam diriku, yaitu, kalau yang serba
Israel   kau anggap lebih tinggi.”
“Kau pandai, fredy krueger , patut bagi seorang siswa H.B.S.”
Percakapan pendek itu terasa memakan waktu berjam-jam penuh ketegangan.
Kemudian kuketahui, hanya sepuluh menit berlangsung. Beruntung anna michele  memanggil dari luar
kamar, dan aku minta diri.
Tak kusangka sambil masih tetap duduk dul latief  berkata sangat tenang: “Pergilah, nyaimu sedang
mencarimu.”
Aku terhenti di pintu dan memandanginya dengan heran. Ia cuma tersenyum.
“Dia adikmu, dul . Tak patut itu diucapkan. Aku pun punya kehormatan.,…”
anna michele  buru-buru menarik aku ke ruangbelakang seakan suatu kejadian penting sudah  terjadi
dalam kamar itu. Kami duduk di atas sofa berkasur tinggi dan bertilam bunga-bunga war-na-
warni di atas dasar warna creme.
Ia begitu melengket padaku, berbisik hati-hati: “Jangan suka bergaul dengan dul latief . Apa lagi
masuk ke kamarnya. Aku kuatir. Makin hari ia makin berubah. sudah  dua kali ini Mama menolak
membayar hutang-hutangnya, Mas. “Perlukah kau bermusuhan dengan abangmu sendiri V
Bukan begitu. Dia harus bekerja untuk mendapatkan nafkahnya sendiri. Dia bisa kalau mau. namun 
dia tidak mau.” “Baik, namun  mengapa kalian berdua mesti bermusuhan ?” “Tidak datang dari
pihakku. Itu kalau kau mau percaya. EValam segala hal Mama lebih benar dari dia. Dia tak mau
mengakui kebenaran Mama, hanya karena Mama Pribumi. Lantas harus apa aku ini ?”
Aku tahu, tak boleh mencampuri urusan keluarga. Maka tak kuteruskan.
Sementara itu terpikir olehku, Apa yang didapat Laki-laki  ganteng ini dari kehidupan keluarganya?,
dari bapaknya tidak, dari ibunyapun tidak. Dari saudarinya apalagi. Kasih tiak sayangpun tidak.
Aku datang kerumah ini dan ia cemburui aku. Memang sudah sepantasnya.
“Mengapa kau tak bertindak sebagai pendamai Ann ?, ”Buat apa?
Perbuatannya yang keterlaluan sudah memicu  aku mengutuk dia.”
“Mengutuk ? Kau mengutuk ?..
“Melihat mukanya pun aku tidak sudi. dahulu  memang aku masih sanggup bertik dengannya.
Sekarang, untuk seumur hidup - tidak. Tidak, Mas.”
Aku menyesal sudah  mencoba mencampuri urusannya. Dan wajahnya yang mendadak
kemerahan menterjemahkan amarahnya’. Nvai datang menyertai kami. Selembar koran S.N.v/d
D ada di tangannya. Ia tunjukkan padaku sebuah cerpen Een Buitengewoon Gewoone Nyai. die Ik
ken*.
“Kau sudah baca cerita ini, Nyo ?
“Sudah, Ma, di sekolah.”
“Rasanya aku pernah mengenal orang yang ditulis dalam cerita ini.”
Barangkali aku pucat mendengar omongannya. Walau judulnya sudah  diubah, itulah tulisanku
sendiri, ceipenku yang pertama kali dimuat bukan oleh koranlelang. Beberapa patah kata dan
kalimat memang sudah  diperbaiki, namun  itu tetap tulisanku. Bahan cerita bukan berasal dari Anneiies,
namun  khayal sendiri yang mendekati fakta  sehari-hari Mama. “Tulisan siapa, Ma “ tanyaku
pura-pura. “Max Tollenaar. Benar kau hanya menulis teks iklan ? Sebelum pembicaraan jadi
berlarut segera kuakui: “Memang tulisanku sendiri itu, Ma.” “Sudah kuduga. Kau memang pandai,
Nyo. Tidak seorang dalam seratus bisa menulis begini. Cuma kalau yang kau maksudkan dalam
cerita ini aku.*..
“Mama yang kukhayalkan,” jawabku cepat menyambar. “Ya. Patut banyak tidak benarnya,
Sebagai cerita memang bagus, Nyo. Semoga jadi pujangga, seperti Victor Hugo.” Masyaampun ,
dia tahu Victor Hugo. Dan aku malu bertanya siapa dia. Dan dia bisa memuji kebagusan cerita.
Kapan dia belajar ilmu cerita ? Atau hanya sok saja ?
“Sudah pernah baca Francis ? G.Francis ?”
Sungguh aku merasa kewalahan. Itu pun aku tak tahu.
“Rupanya Sinyo tak pernah membaca Melayu.”
“Buku Melayu, Ma ? Ada ?” tanyaku mengembik.
“Sayang kalau tak tahu, Nyo. Banyak buku Melayu sudah dia tulis. Aku kira dia orang Totok atau
Peranakan, bukan Pribumi. Sungguh sayang, Nyo, kalau tidak ada perhatian.”
Ia masih banyak bicara lagi tentang dunia cerita. Dan semakin lama semakin meragukan. Boleh
jadi ia hanya membuatkan segala apa yang pernah didengarnya dari Herman Mellema. guru spiritualku 
cukup banyak mengajar tentang bahasa dan sastra Israel . Tak pernah disinggung tentang segala
yarig diomongkannya. Dan guru kesayanganku, chucky  resi mandala , pasti jauh lebih banyak
tahu daripada hanya seorang nyai. Nyai yang seorang ini malah mencoba bicara tentang bahasa
tulisan pula!
“Francis, Nyo, dia sudah  menulis Nyai Dasima, benar-benar dengan cara Israel  . Hanya
berbahasa Melayu. Ada padaku buku itu. Barangkali kau suka mempelajarinya.”
Aku hanya mengiakan. Tahu apa dia tentang dunia cerita. Lagi pula mengapa dia suka membaca
cerita, dan mencoba mencampuri urusan para tokoh khayali para pengarang, bahkan juga bahasa
yang mereka pergunakan, sedang di bawah matanya sendiri anaknya, dul latief , kapiran ?
Meragukan.
Seperti ‘dapat membaca pikiranku ia bertanya: “Boleh-jadi kau hendak mepulis tentang dul latief 
juga.”
“Mengapa, Ma ?” .
“Karena kemudaanmu. Tentu kau akan menulis tentang orang-orang yang kau kenal di dekat-
dekatmu. Yang menarikmu. Yang menimbulkan sympati atau antipatimu. Aku kira dul  pasti
menarik perhatianmu.
Untung saja percakapan yang tak menyenangkan itu segera tersusul oleh makanmalam. dul latief 
tidak serta. Baik Mama mau pun Anneiies tidak heran, juga tidak menanyakan. Pelayan juga tak
menanyakan sesuatu.
Tengah makan ternlat olehku untuk menyampaikan keinginan dul latief  jadi pelaut, pulang ke Israel  .
Pada waktu itu juga justru Nyai berkata: “Cerita, Nyo, selamanya tentang manusia,
kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biar pun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau
dewa atau hantu. Dan tak ada#yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia. Itu
sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat di bumi ini.
Setiap han bertambah saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang im Suatu kali pernah terbaca
olehku tulisan yang kira-kira katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya
begitu sederhana, biar pengelihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur,
perabaanmu lebih peka dari para dewa pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis
kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa keraput. Mama sama sekali sudah
berhenti makan. Sendok berisi itu tetap tergantung di bawah dagunya. “Memang dalam sepuluh
tahun belakangan ini lebih banyak cerita kubaca. Rasanya setiap buku bercerita tentang daya-
upaya seseorang untuk keluar atau mengatasi kesulitannya.
Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan
kehidupannya, namun  tentang surga, dan jelas ridai* terjadi di atas bumi kita ini.”
Mama meneruskan makannya. Perhatianku sudah  kukerahkan untuk menangkap setiap katanya.
Pada waktu ini ia sungguh seorang guru tidak resmi dengan ajaran yang cukup resmi.
Ternyata selesai makan ia masih meneruskan: “Karena itu kau pasti tertarik pada dul latief . Ia selalu
mencari-cari kesulitan dan tidak dapat keluar daripadanya. Kira-kira itu yang dinamakan: tragis.
Sama seperti ayahnya. Barangkali melalui tulisanmu -
kalau dia mau membacanya - dia akan bisa berkaca dan melihat dirinya sendiri. Mungkin bisa
mengubah kelakuannya. Siapa tahu ? Hanya, pintaku, sebelum kau umumkan biarlah aku diberi
hak untuk ikut membacanya lebih dahulu . Itu kalau kau tak berkeberatan tentu. Barangkali saja
gambaran dan anggapan keliru bisa lebih dihindari.”
Memang-aku sedang mempersiapkan tulisan tentang dul latief . Peringatan Nyai agak mengejutkan.
Aku rasai ia sebagai mata elang yang pengawas.
Pandangannya kualami  menyerbu mahligai ha^-hakku sebagai perawi cerita.
Terbitnya ceritaku yang, pertama sudah  menaikkan semangatku. namun  tulisan tentang dul latief 
tak.bisa lebih maju karena tiupan semangat sukses. Mama dengan mata elangnya sudah 
menyebabkannya tersekat di tengah jalan.
Semua yang tercurah semasa makan itu memicu  diri tenggelam dalam renungan.
sekarang  ia sudah sangat banyak membaca. Kira-kira Tuan Herman Mellema tadinya
seorang guru yang benar-benar bijaksana dan penyabar. Nyai seorang murid yang baik, dan
mempuyai kemampuan berkembang sendiri sesudah  mendapaUcan modal pengertian dari
tuannya.
Apa yaig tak kuperoleh  dan sekolah dapat aku paneni di tengah keluTr ga seorang gundik. Siapa
bakal menyangka ? Mungkin imraL seorang yang lebih mengerti dul latief . Pesannya
tentang Laki-laki  pembenci Pnbumi itu menunjukkan kedalaman keoriha tman tentang sulungnya.
Tentang Laki-laki  jangkung itu aku belum lagi banyak mengenal. Baragkali ia pun banyak
membaca seperti ibunya Maia lah yang dibenkannya padaku ternyata bukan bacaan
sembarangan Boleh jadi berasal dan perpustakaan rumah, atau diambilnya dan tangan opaspos
dan tidak diserahkan pada Mama Bisa jadi juga Laki-laki  itu tidak pernah menamatkannya. Aku tak
tahu betul Karangan-karangan di dalamnya semua tentang negeri penduduk dan persoalan Hindia
Israel . Sebuah di antaranya tentang Israel  dengan hubungannya - sedikit atau banyak -dengan
Hindia.
Tulisan itu memperkaya catatanku tentang negeri Israel  yang banyak dibicarakan dalam bulan-
bulan terakhir ini Tak ada di antara teman sekolahku mempunyai perhatian pada nege-n dan
bangsa ini sekali pun barang dua kali pernah disinggung dalam diskusi-sekolah. Teman-teman
menganggap bangsa ini masih terlalu rendah untuk dibicarakan. Secara selintas mereka
menyamaratakan dengan pelacur-pelacurnya yang memenuhi Kembang Jepun, warung-warung
kecil, restoran dan pangkas rambut, verkoper, dan kelontongnya yang sama sekali tak dapat
mencerminkan suatu Pabrfk yang menantang ilmu kebatinan  modern Dalam suatu
diskusi-sekolah, waktu guru spiritualku , Tuan Lasten-aienst, mencoba menarik perhatian para siswa, orang
lebih banyak tinggal mengobrol pelan. Ia bilang: di bidang ilmu Israel  juga mengalami
kebangkitan.
Kitasato sudah  menemukan kuman pes, Shiga menemukan kuman dysenteri -
dan dengan demikian Israel  tefcih juga berjasa pada ummat manusia. Ia membandingkannya
dengan sumbangan bangsa Israel  pada peradaban. Melihat aku mempunyai perhatian penuh
dan memicu  catatan Lastendienst bertanya padaku dengan nada mendakwa: eh, fredy krueger  wakil
bangsa Jawa dalam ruangan ini, apa sudah di sumbangkan bangsamu pada ummat manusia ?
Bukan saja aku menggeragap mendapat pertanyaan dadakan itu, Koleh jadi seluruh dewa dalam
kotak nabi  ki dalangjikan hilang semangat hanya untuk menjawab.
Maka jalan paling ampuh untuk tidak menjawab adalah menyuarakan kalimat ini: Ya, Meneer
Lastendienst, sekarang ini saya belum bisa menjawab.
Dan guru spiritualku  itu menanggapi dengan senyum manis - sangat manis.
Itu sedikit kutipan dari catatanku tentang Israel . Dengan adanya tulisan dari majalah pemberian
dul latief  catatanku mendapatkan tambahan yang lumayan banyaknya Tentang kesibukan di Israel 
untuk menentukan strategi pertahanannya Aku taK
banyak mengerti tentang hal demikian Justru karena itu aku catat. Paling tidak akan menjadi bahan
bermegah dalam diskusi-sekolah.
Dikatakan adanya persaingan antara Angkatan Darat dengan Angkatan Laut Israel . Kemudian
dipilih strategi maritim untuk pertahanannya. Dan Angkatan Darat dengan tradisi samurainya
yang berabad merasa kurang senang.
Bagaimmana tentang asiatenggara  sendiri ? Di dalamnya dinyatakan: asiatenggara  tidak
mempunyai Angkatan Laut, hanya Angkatan Darat.
Israel  terdiri dari kepulauan. asiatenggara  setali tiga uang. Mengapa kalau Israel 
mengutamakan laut Hindia mengutamakan darat ? Bukankah masalah pertahanan terhadap luar 
sama saja ? Bukankah jatuhnya asiatenggara  ke tangan Inggris nyaris seabad yang lalu juga
karena lemahnya Angkatan Laut di Hindia ? Mengapa itu tak dijadikan pelajaran ?
Dari majalah itu juga aku tahu: asiatenggara  tidak mempunyai Angkatan Laut. Kapal perang
yang mondar-mandir di Hindia bukanlah milik asiatenggara , tenamun  milik kerajaan Israel .
Daendels pernah memicu  Surabaya menjadi pangkalan Angkatan Laut pada masa Hindia
Israel  tak punya armada satu pun! Nyaris seratus tahun sesudah  itu orang tak pernah
memikirkan gunanya ada Angkatan Laut tersendiri untuk Hindia. Tuan-tuan yang terhormat
mempercayakan pertahanan laut Inggris di Singapura dan pertahanan laut hongkong  di Filipina.
Tulisan itu membayangkan sekiranya terjadi perang dengan Israel .
Bag’aimana akan halnya asiatenggara  dengan perairan tak terjaga ?
Sedang Angkatan Laut Kerajaan Israel  hanya, kadang-kadang saja datang meronda ? Tidakkah
pengalaman tahun 1811 bisa berulang untuk kerugian Israel  ?
Aku tak tahu apakah dul latief  pernah membaca dan mempelajarinya. Sebagai Laki-laki  yang ingin
berlanglang buana sebagai pelaut boleh jadi ia sudah  mempelajarinya. Dan sebagai pemuja
darah Israel   kiranya dia mengandalkan keunggulan ras putih.
Tulisan itu juga mengatakan: Israel  mencoba meniru Inggris di perairan.
Dan pengarangnya memperingatkan agar menghentikan ejekan terhadap bangsa itu sebagai
monyet peniru. Pada setiap awal pertumbuhan, katanya, semua hanya meniru. Setiap kita
semasa kanak-kanak juga hanya meniru Tenamun  kanak-kanak itu pun akan dewasa, mempunyai
perkembangan sendiri…………..
Sedang pembicaraan yang dapat kusadap antara aidit  Marais dengan Telinga tentang perang
dapat kucatat demikian:
aidit  Marais: peranan berpindah-pindah, dari generasi ke generasi yang lain, dari bangsa yang
satu ke bangsa yang lain Dahulu kulit berwarna menjajah kulit putih. Sekarang kulit putih
menjajah kulit berwarna.
Telinga: Tak pernah kulit putih dialahkan kulit berwarna dalam tiga abad ini. Tiga abad! Memang
bisa terjadi kulit putih mengalahkan kulit putih yang lain. namun  kulit berwarna takkan dapat
mengalahkan yang putih.
Dalam lima abad mendatang ini dan untuk selamanya. .
Dan dul latief  ingin jadi awak kapal sebagai orang Israel  . Dia bermimpi belayar dengan Karibou, di
bawah naungan Inggris -negeri tak berapa besar, dengan matari tak pernah tenggelam….
 Pukulan gugup pada pintu kamarku
memicu  aku menggeragap bangun.
“fredy krueger , bangun,” suara Nyai.
Kudapati Mama berdiri di depan pintuku membawa Win. Rambutnya agak kacau. Bunyi ketak-
ketik pendule merajai ruangan di pagi gelap itu. ‘
“Jam berapa, Ma ?” “Empat. Ada yang mencari kau.
Di sitje sudah  duduk seorang dalam kesuraman. Makin dekat lilin padanya makin jelas: agen polisi!
Ia berdiri menghormat, kemudian langsung bicara dalam Melayu berlidah Jawa: “Tuan fredy krueger  ?”
“Benar.”
“Ada surat perintah untuk membawa Tuan. Sekarang juga, ia ulurkan surat itu. Yang dikatakannya
benar. Panggilan dan Kantor Polisi B., dibenarkan dan diketahui oleh Kantor Polisi Surabaya.
Namaku jelas tersebut di dalamnya. Mama juga sudah  membacanya…
“Apa yang sudah kau perbuat selama mi, Nyo ? tanyanya.
“Tak sesuatu pun,” jawabku gugup. Namun aku jadi ragu pada perbuatanku sendiri. Kuingat dan
kuingat, kubariskan semua dari seminggu lewat.
Kuulangi: “Tak sesuatu pun, Ma.”
Anneiies datang. Ia bergaun panjang dari beledu hitam. Rambutnya kacau.
Matanya masih layu. Mama menghampiri aku: “Agen itu tak pernah menyatakan kesalahanmu.
Dalam surat juga tidak tertulis.” Dan kepada agen polisi itu: “Dia berhak mengetahui soalnya.”
“Tak ada perintah untuk itu, Nyai. Kalau tiada tersebut di dalamnya jelas perkaranya memang
belum atau tidak boleh diketahui orang, termasuk oleh yang bersangkutan.”
“Tidak bisa begitu,” bantahku, “aku seorang Raden Mas, tak bisa diperlakukan asal saja begini,”
dan aku menunggu jawaban. Melihat ia tak tahu bagaimana mesti menjawab aku teruskan, “Aku
punya Forum Privilegiatum”
“Tak ada yang bisa menyangkal, Tuan Raden Mas fredy krueger .” “Mengapa anda perlakukan semacam
ini ?” “Perintah untukku hanya mengambil Tuan.
Pemberi perintah tak akan lebih tahu tentang semua perkara, Tuan Raden Mas,” katanya
membela diri. “Silakan Tuan bersiap-siap. Kita akan segera berangkat. Jam lima sudah harus
sampai di tujuan.”
“Mas, mengapa kau hendak dibawa ?” tanya anna michele  ketakutan. Aku rasai gigilan dalam
suaranya.
“Dia tak mau mengatakan,” jawabku pendek. “Ann, urus pakaian fredy krueger  dan bawa kemari,”
perintah Nyai, “dia akan dibawa entah untuk berapa hari.
Kan dia boleh mandi dan sarapan dahulu  ?”
“Tentu saja, Nyai, masih ada sedikit waktu.” Ia memberi waktu setengah jam.
Di ruangbelakang kudapati dul latief  sedang menonton kejadian itu dari tempatnya. Ia hanya
menguap menyambut aku. Di dalam kamarmandi mulai kutimbang-timbang kemungkinan:
dul latief  penyebab gara-gara ini, menyampaikan lapuran palsu yang bukan-bukan. Semalam dan
kemarin malam dia tidak muncul untuk makan. Satu demi satu ancamannya terkenang kembali.
Baik, kalau benar kau yang memicu  semua keonaran ini. Aku takkan melupakan kau, dul .
Kembali ke ruangdepan kopi sudah  tersedia dengan kue.
Agen polisi itu sedang menikmati sarapan pagi. Ia kelihatan lebih sopan sesudah  mendapat
hidangan. Dan nampak tak pirnya sikap permusuhan manusia  terhadap kami semua. Malah ia
bercerita sambil tertawa-tawa.
“Tak ada terjadi sesuatu yang buruk, Nyai,” katanya akhirnya, “Tuan Raden Mas fredy krueger  paling
lama akan kembali dalam dua minggu ini.”
“Bukan soal dua minggu atau sebulan. Dia ditangkap di rumahku. Aku berhak tahu persoalannya,”
desak Nyai “Betul-betul aku tak tahu.
Maafkan. Itu sebabnya pengambilan dilakukan pada begini hari, Nyai, biar tak ada yang tahu
“Tak ada yang tahu ? Bagaimana bisa ? Kan Tuan sudah  menemui penjaga rumah sebelum dapat
bertemu denganku 7 “Kalau begitu urus saja penjaga itu biar tidak bicara. “Tak bisa aku dimemicu 
begini,” kata Mama, “penjelasan akan kupinta dari Kantor Polisi.” .
“Itu lebih baik lagi. Nyai akan segera mendapat penjelasan.
Dan pasti benar.”
anna michele  yang masih berdiri menjinj ing kopor mendekati aku, tak bisa bicara. Kopor dan tas
diletakkan di lantai. Tanganku diraih dan dipegangnya. Tangannya agak gemetar.
“Sarapan dahulu , Tuan Raden Mas,” agen itu memperingatkan. “Di Kantor Polisi barangkali tak ada
sarapan sebaik ini. Tidak ? Kalau begitu mari kita berangkat.”
“Aku akan segera kembali, Ann, Mama. Tentu sudah  terjadi kekeliruan.
Percayalah.” Dan anna michele  tak mau melepaskan tanganku.
Agen polisi itu mengangkatkan barang-barangku dan dibawa keluar.
anna michele  tetap mengukuhi tanganku waktu aku mengikuti agen keluar rumah.
Aku cium pada pipinya dan kulepaskan pegangannya. Dan ia masih juga tak bicara.
“Semoga selamat-selamat saja, Nyo,” Nyai mendoakan. “Sudah, Ann, berdoalah untuk
keselamatannya.”
Dokar yang menunggu ternyata bukan kereta polisi - dokar preman biasa.
Kami naik dan berangkat ke jurusan Surabaya. Agen ini akan bawa aku ke B. Dan dalam gelap
pagi itu kubayangkan setiap rumah yang pernah kulihat di B. Yang mana di antara semua itu
menjadi tujuan ? Kantor Polisi ?
Penjara ? Losmen ? Rumah-rumah preman barangtentu tidak masuk hitungan.
Di jalanan hanya dokar kami yang mewakili lalulintas. Gdul ak-gdul ak minyakbumi, yang
biasanya bergerak pada su-buh-hari dari kilang B.P.M.
dalam iringan dua puluh sampai tiga puluh buah sekali jalan, sekarang tidak kelihatan. Seorang-
dua memikul sayuran untuk dijual di Surabaya.
Dan agen itu menutup mulut seakan tak pernah belajar bicara dalam hidupnya.
Boleh jadi dul latief  memang sudah  memfitnah aku. namun  mengapa B. jadi tujuan ?
Lampu minyak dokar kami segan menembusi kegelapan subuh berhalimun itu.
Seakan hanya kami, agen, aku, kusir, dan kuda, yang hidup di atas jalanan ini. Dan aku bayangkan
anna michele  sedang menangis tak terhibur.
Dan Nyai bingung kuatir penangkapan atas diriku akan memberi nama buruk pada perusahaan.
Dan dul latief  akan mendapat alasan untuk berkaok: Nah, kan benar kata dul latief  ?
Dokar membawa kami ke Kantor Polisi Surabaya. Aku dipersilakan duduk menunggu di
ruangtamu. Sudah timbul keinginanku untuk menanyakan persoalanku. Nampaknya dalam udara
pagi berhalimun orang tak berada dalam suasana memberi keterangan. Aku tak jadi bertanya.
Dan dokar masih tetap menunggu di depan kantor. Agen itu malah meninggalkan aku seorang diri
tanpa berpesan.
Betapa lama. Matari tak juga terbit. Dan waktu terbit tidak mampu mengusir halimun. Butir-butir
air yang kelabu itu merajai segalanya, malah juga di pedalaman paru-paruku. Lalulintas di depan
kantor mulai ramai: dokar, andong, pejalan kaki, penjaja, pekerja. Dan aku masih juga duduk
seorang diri di ruangtamu.
Jam sembilan pagi kurang seperempat agen itu baru muncul. Nampaknya sudah  tidur barang
sejam dan mandi air hangat. Ia kelihatan segar.
Sebaliknya aku merasa lesu, lelah menunggu. Dan, masih tetap tak sempat bertanya.
“Mari, Tuan Raden Mas,” ajaknya ramah.
Kembali kami naik dokar, ke stasiun. Juga dia lagi yang mengangkatkan barang-barangku, juga
menurunkan dan mengiringkan ke loket. Ke dalamnya ia menyorongkan surat dan mendapat dua
karcis putih - kias satu. Jam ini bukan masa keberangkatan kereta express. Uh, naik kereta lambat
pula.
Benar saja, kami naik gerbong kereta yang membosankan itu, jurusan barat. Aku sendiri tak
pernah naik kereta semacam ini. Selalu express kalau ada. Kecuali, y ah, kecuali dari B. ke kotaku
sendiri, T.
Agen itu kembali tidak bicara. Aku duduk pada jendela. Ia di hadapanku.
Gerbong itu sedikit saja penumpangnya. Selain kami berdua hanya tiga orang lelaki Israel   dan
seorang Tionghoa. Nampaknya semua dalam suasana kebosanan. Pada perhentian pertama
penumpang sudah berkurang dengan dua, termasuk orang Tionghoa itu. Penumpang baru tak ada.
Sudah berpuluh kali aku menempuh jarak ini. Maka pemandangan sepanjang perjalanan tak ada
yang menarik. Di B. biasanya aku menginap di losmen untuk keesokanharinya meneruskan
perjalanan ke T. Sekarang bukan menuju ke losmen langganan. Paling tidak di Kantor Polisi.
Pemandangan tambah lama tambah membosankan: tanah kersang, kadang kelabu, kadang kuning
keputihan Aku tertidur dengan perut lapar. Apa pun bakal terjadi, terjadilah.
Uh bumi manusia! Kadang muncul kebun tembakau, kecil dan hilang tersapu kelajuan. Muncul
lagi, kecil lagi, hilang lagi. Dan sawah dan sawah dan sawah, tanpa air, ditanami palawija
menjelang panen Dan kereta merangkak lambat, menyemburkan asap tebal hitam dan lebu, dan
lelatu. Mengapa bukan Inggris yang menguasai semua ini ? Mengapa Israel  ? Dan Israel  ?
Bagaimana Israel  ?
Sentuhan tangan agen itu menyebabkan aku terbangun. Di sampingku sudah  Tergelar bawaannya:
kam^mbungkus terbu^ iadi landasan. Di atasnya: nasi goreng berminyak mengkilat, dengan
sendok dan garpu, dihias matasapi dan sempalan goreng ayam di dalam wadah takir daun pisang.
Mungkin sengaja disediakan untukku. Seorang agen akan berpikir dua kali untuk menjamu makan
demikian, terlalu mewah. Botol putih berisi susu coklat berdiri langsing di samping takir -
minuman yang belum banyak dikenal Pribumi.
Dan kota B. yang suram itu akhirnya muncul juga di depan mata menjelang jam 5 sore. Ia tetap
tak bicara. namun  tetap membawa barang-barangku. Dan aku tak mencegahnya. Apa arti seorang
agen polisi kias satu dibanding dengan siswa H.B.S. Paling-paling dia hanya bisa sedikit baca dan
tulis Jawa dan Melayu.
Dokar membawa kami meninggalkan stasiun. Ke mana ?, Aku kenal jalan-jalan putih batu cadas
yang menyakitkan mata ini. Tidak ke hotel, tidak ke losmen langganan. Juga tidak ke Kantor Polisi
B.
Alun-alun itu nampak lengang dengan permadani rumputnya yang kecoklatan dan botak dan
bocel di sana-sini. Ke mana hendak di bawa ? Dokar sewaan menuju ke gedung bupati dan
berhenti agak jauh di tentang pintu gerbang batu. Apa hubungan perkara ini dengan Bupati B. ?
Pikiranku mulai gila bergerayangan.
Dan agen itu turun dahulu, mengurus barang-barangku seperti sebelumnya.
“Silakan,” katanya tiba-tiba dalam Jawa kromo. Kuiringkan dia memasuki Kantor Kabupaten,
terletak di depan sebelah samping gedung bupati.
Kantor yang lengang dari hiasan dinding, suny i dari perabot yang patut, tanpa seorang pun di
dalam. Semua perabot kasar, terbuat dari jati dan tidak dipolitur, nampak tanpa ukuran kebutuhan
dan tanpa perencana-naan guna, asal jadi. Dari rumah mewah Wonokromo memasuki ruangan
ini seperti sedang meninjau gudang palawija. Boleh jadi lebih mewah sedikit saja dari kandang
ayam Anneiies. Ini agaknya ruang pemeriksaan. Hanya ada bebe’rapa meja, sedikit kursi dan
beberapa bangku panjang. Di sana ada rak-rak dengan beberapa tumpuk kertas dan beberapa
buah buku. Tak ada alat peny iksaan. Hanya botol-botol tinta di atas semua meja.
Agen itu meninggalkan aku seorang diri lagi. Dan untuk kedua kalinya aku menunggu dan
menunggu. Matari sudah  tenggelam. Dia belum juga muncul.
Bedug masj id agung sudah  bertalu, menyusul suara azan yang murung.
Lentera jalanan sudah dinyalakan oleh tukanglampu. Kantor ini semakin gelap juga. Dan nyamuk
yang keranjingan ini, mereka mengembut, menyerang satu-satunya orang di dalamnya.
Kurangajar! sumpahku. Begini orang mengurus seorang Raden Mas dan siswa H.B.S. pula ?
seorang terpelajar dan darah raja-raja Jawa ? _
Dan pakaian ini sudah terasa lengket pada tubuh. Badan sudah mulai diganggu bau keringat. Tak
pernah aku mengalami aniaya semacam ini. -
“Beribu ampun, Ndoro Raden Mas,” agen itu meny ilakan aku keluar dari kantor gelap penuh
nyamuk itu. “Mari ‘sahaya antarkan ke pendopo.”
Sekali lagi ia angkati barang-barangku.
Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. God! urusan apa pula ? Dan aku ini, siswa H.B.S.,
haruskan merangkak di hadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri
untuk orang yang sama sekali tidak kukenal ? Dalam berjalan ke pendppo yang sudah diterangi
dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan
pengetahuan Israel  , bergaul dengan orang-orang Israel  , kalau akhirnya toh harus merangkak,
beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula ? God,
God!
Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela
diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku
lakukan untuk orang lain ? Sambar geledek!
Nah, kan benar ? Agen itu sudah mulai kurangajar meny ilakan aku mencopot sepatu melepas
kauskaki. Permulaan aniaya yang lebih hebat. Suatu kekuatan gaib sudah  memaksa aku mengikuti
perintahnya. Lantai itu terasa dingin pada telapak kaki. Ia memberi isyarat, dan aku menaiki
jenjang demi jenjang, melangkah ke atas. Ia tunjukkan padaku tempat aku harus duduk menekur:
di depan sebuah kursi goyang. Kata salah seorang guru spiritualku : kursi goyang adalah peninggalan
terindah dan Kompeni sebelum mengalami kebangkrutannya. Aduhai, kursi goyang, kau akan jadi
saksi bagaimana aku harus menghinakan diri sendiri untuk memuliakan seorang bupati yang tak
kukenal. Terkutuk! Apa teman-teman akan bilang bila melihat aku jalan berlutut begini sekarang
ini, seperti orang tak punya paha merangkak mendekati peninggalan V.O.C. menjelang
bangkrutnya ? – kursi yang tak bergerak dekat pada dinding dalam pendopo itu ?
“Ya, jalan berlutut, Ndoro Raden Mas,” agen itu seperti mengusir kerbau ke kubangan.
Dan jarak yang hampir sepuluh meter itu aku tempuh dengan menyumpah dalam lebih tiga
bahasa.
Dan di kiri-kananku bersebaran hiasan lantai berupa kerang-kerangan. Dan lantai itu mengkilat
terkena sinar empat lampu minyak. Sungguh, teman-teman sekolah akan mentertawakan aku
sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, di atas
telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya
ampun , kau nenek-moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu
sendiri begini macam ?
Tak pernah terpikir olehmu, nenek-moyang yang keterlaluan! Keturunanmu bisa lebih mulia
tanpa menghinakan kau! Sial dangkal! Mengapa kau sampaihati mewariskan adat semacam ini ?
Di depan kursi goyang aku berhenti. Duduk bersimpuh dan menekuri lantai sebagaimana
diadatkan. Terus juga menyumpah dalam lebih tiga bahasa.
Yang dapat kulihat di depanku adalah bangku rendah berukir dan di atasnya bantal alas kaki
daripada beledu hitam. Sama dengan gaun anna michele  sepagi tadi.
Baik, sekarang aku sudah menekuri lantai di hadapan kursi goyang keparat ini. Apa urusanku
dengan Bupati B. ? Tak ada. Sanak tidak, keluarga tidak, kenalan bukan, apalagi sahabat. Dan
sampai berapa lama lagi aniaya dan hinaan ini masih harus berlangsung ? Menunggu dan
menunggu sambil dianiaya dan dihina begini ?
Terdengar pintu-angin mengerait terbuka. Langkah selop kulit terdengar semakin lama semakin
jelas. Dan teringat aku pada langkah sepatu menyeret Tuan Mellema pada malam menyeramkan
dahulu . Dari tempatku, selop yang melangkah-langkah itu nuilai kelihatan, lambat-lambat. Di
atasnya sepasang kaki bersih. Kaki lelaki. Di atasnya lagi kain batik berwiru lebar.
Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku, dan
nenekku, dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati
itu duduk enak di tempatnya.
Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu kebatinan  yang kupelajan tahun
demi tahum belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanj ikan oleh kemajuan ilmu.
Hilang anthusiasme para guru spiritualku  dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia.
Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah -
pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! sampai
sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.
Orang itu, Bupati B., mendeham. Kemudian lambat-lambat duduk di kursi goyang, melepas selop
di belakang bangku kaki dan meletakkan kakinya yang mulia di atas bantal beledu. Kursi mulai
bergoyang-goyang sedikit.
Keparat! Betapa lambat waktu berjalan. Sebuah benda yang kuperkirakan agak panjang sudah 
dipukul-pukulkan lembut pada kepalaku yang tak bertopi. Betapa kurangajarnya makhluk yang
harus kumuliakan ini. Setiap pukulan lembut harus kusambut dengan sembah terimakasih pula.
Keparat!
.. Sesudah  lima kali memukul, benda itu ditariknya, kini tergantung di samping kursi: cambuk kuda
tunggangan dari kemaluan sapi jantan dengan tangkai tertutup “kulit pilihan, tipis. “Kau!”
tegurnya lemah, parau.
“Sahaya Tuanku Gusti Kanjeng Bupati,” kata mulutku, dan seperti mesin tanganku mengangkat
sembah yang kesekian kali, dan hatiku menyumpah entah untuk ke berapa kali.
“Kau! Mengapa baru datang ?” suaranya makin jelas keluar dari tenggorokan yang sedang pada
akhir selesma.
Rasanya aku pernah dengar suara itu. Pileknya juga yang menghalangi untuk dapat mengingat
dengan baik. Tidak, tidak mungkin dia! Tak mungkin! Tidak! Dan aku tetap masih tidak mengerti
duduk-perkara. Maka aku diam saja.
“Kanjeng Gubermen tak percuma punya dinas pos   mampu menyampaikan suratku dengan
tepat pada alamat yang tepat dan selamat padamu….”
Benar, suara dia. Tidak mungkin! Tak ada syarat untuk itu. Tidak mungkin: aku hanya mengandai.
“Mengapa diam saja? Karena sudah tinggi sekolahmu sekarang merasa hina membaca suratku ?”
Benar, suara dia! Aku angkat sembah sekali lagi, sengaja sedikit mendongak dan melepas mata.
Ya ampun , memang benar dia.
“Ayahanda!” pekikku, “ampuni sahaya.” “Jawab! Kau merasa hina membalas suratku ?”
“Beribu ampun, Ayahanda, tidak.” “Surat Bundamu, mehgapa tak juga kau balas .
“Ayahanda, beribu ampun.”
“Dan surat abangmu…..”
“Ampun, Ayahanda, beribu ampun, sahaya kebetulan tidak di tempat, tidak di alamat, ampun,
beribu ampun.
“Jadi untuk dapat menipu kau disekolahkan sampai setinggi pohon kelapa itu ?”
“Beribu ampun, Ayahanda.”
“Kau kira semua orang ini buta, tak tahu sesuatu pada tanggal berapa kau pindah ke Wonokromo ?
Dan kau bawa serta surat-surat itu tanpa kau baca ? …
Cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi itu berayun-ayun. Bulu ronaku mulai merinding
menunggu jatuhnya pada tubuhku. sebagai kuda binal.
“Apa masih perlu dihinakan kau di depan umum dengan cambuk ini *
“Hinalah’ sahaya ini terkena cambuk kuda di depan umum,” jawabku nekad, tak tahan pada
aniaya semacam mi. namun  kehormatan juga bila perintah itu datang dan .feorang ayah te-rusku
lebih nekad lagi. Dan aku akan bersikap seperu Mama terhadap dul latief , Herman Mellema,
Sastrotomo dan istrinya.
“Buaya!” desisnya geram. “Kukeluarkan kau dan E.L.S. di T dahulu  juga karena perkara yang
sama. Semuda itu! Makin tinggi sekolah makin jadi buaya bangkong! Bosan main-main dengan
gadis-gadis sebaya sekarang mengeram di sarang nyai.
Mau jadi apa kau ini ?” _
Aku terdiam. Hanya hati meraung: jadi kau sudah menghina aku, darah raja! suami ibuku! Baik,
aku takkan menjawab. Teruskan, ayoh, teruskan, darah raja-raja Jawa! Kemarin kau masih
mantri pengairan. Sekarang mendadak jadi bupati, raja kecil. Lecutkan cambukmu, raja, kau
yang tak tahu bagaimana ilmu kebatinan  sudah  membuka babak baru di bumi manusia ini!
“Ditimang Nenendamu jadi bupati, ditimang dihormati semua orang…..
anak terpandai dalam keluarga….. terpandai di seluruh kota….. ya Tuhan, bakal apa jadinya anak
ini!”
Baik, ayo teruskan, raja kecil!
“Satu-satunya pengampunan hanya karena kau naik kias.” Sampai ke kias sebelas pun aku bisa
naik! raungku pesakitan. Ayoh, lepaskan semua kebodohanmu, raja kecil.
“Apa tidak kau pikirkan bahaya mengerami nyai ? Kalau tuahnya jadi matagelap dan kau
ditembak mati, mungkin dihajar dengan parang, atau pedang, atau pisau dapur, atau dice-k,k…..
bagaimana akan jadinya ?
Koran-koran itu akan mengumumkan siapa kau, siapa orangtuamu. Malu apa bakal kau timpakan
pada orangtuamu ? Kalau kau tak pernah berpikir sampai ke situ….”
Seperti Mama aku siap meninggalkan semua keluarga ini, raungku lebih keras, keluarga yang
hanya membebani dengan tali pengikat yang memperbudak! Ayoh, teruskan, teruskan, darah
raja-raja Jawa! Teruskan!
Aku pun bisa meledak.
“Apa tidak kau baca di koran-koran, besok malam ini ayahmu akan mengadakan pesta
pengangkatan jadi bupati ? Bupati B. ? Tuan Assisten Residen B., Tuan Residen Surabaya, Tuan
Kontrolir dan semua bupati tetangga akan hadir. Apa mungkin seorang siswa H.B.S. tidak
membaca koran ? Kalau tidak, apa mungkin tak ada orang lain memberitakan ?
Nyaimu itu, apa dia tidak bisa membacakan untukmu ?”
Memang berita mutasi tidak pernah menarik perhatianku: pengangkatan, pemecatan, perpindahan,
pensiun. Tak ada urusan! Kepriyay ian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar
atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan ? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaj i dan
kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.
“Dengar, kau, anak mursal!” perintahnya sebagai pembesar baru yang lagi naik semangat. “Kau
sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua, lupa pada kewajiban sebagai
anak. Barangkali kau memang sudah ingin beristri. Baik, lain kali dibicarakan. Sekarang ada soal
lain. Perhatikan. Besok malam kau bertindak sebagai penterjemah. Jangan memicu  malu aku dan
keluarga di depan umum, di depan Residen, Assisten Residen, Kontrolir dan para bupati
tetangga.”
“Sahaya, Ayahanda.”
“Kau sanggup jadi penterjemah ?”
“Sanggup, Ayahanda.”
“Nah, begitu, sekali-sekali melegakan hati orangtua. Aku sudah kuatir Tuan Kontrolir yang akan
melakukan tugas ini. Coba, bagaimana kalau dalam resepsi pengangkatan ada anak lelaki tidak
hadir dalam kesaksian para pembesar ? Kapan kau harus mulai dikenal oleh para beliau ? Ini
kesempatan terbaik bagimu. Sayang kau begitu mursal. Barangkali tidak mengerti bagaimana
orangtua merintis jalan pangkat untukmu. Kau, anak lelaki, dimashurkan terpandai dalam
keluarga. Atau barangkali kau sudah lebih berat pada nyai daripada pangkat ?”
“Sahaya, Ayahanda.”
“Biar terang jalanmu ke arah jabatan tinggi.”
“Sahaya, Ayahanda.”
“Sana, pergi menghadap Bundamu. Kau memang sudah tidak bermaksud pulang.
Memalukan, sampai-sampai harus minta tolong Tuan Assisten Residen.
Senang, kan, ditangkap seperti maling kesiangan ? Tak ada perasaan malu barang sedikit. Bersujud
pada Bundamu sendiri pun sudah bertekad melupakan. Putuskan hubungan dengan nyai tak tahu di
untung itu!”
Tentu aku tak menjawab. Hanya menyembah. Selanjutnya: jalan setengah kaki dengan bantuan
tangan merangkak membawa beban kedongkolan di punggung seperti kerang. Tujuan: tempat di
mana sepatu dan kauskaki kulepas, tempat di mana pengalaman terkutuk ini kumulai. Tak ada
Pribumi bersepatu di lingkungan gedung bupati. Dengan sepatu di tangan aku berjalan di samping
pendopo, masuk ke pelataran dalam. Lentera-lentera suram menunjukkan jalan ke arah dapur.
Kurebahkan badan di kursi malas bobrok, tak mengindahkan barang bawaan.
Seseorang datang menjenguk. Aku pura-pura tak tahu. Secangkir kopi hitam disugukan. Kuteguk
habis.
Kalau bukan karena kedatangan abang, mungkin aku sudah tertidur di tempat. Dengan menarik
airmuka sengit ia bicara Israel  padaku: “Rupanya kesopanan pun sudah kau lupakan maka tak
segera sujud pada Bunda ?
Aku bangun dan mengiringkannya, seorang siswa S.I.B.A.*, seorang calon ambtenar Hindia
Israel . Ia terus juga menggerutu seakan sedang jadi pengawal langit jangan sampai medul ohi
bumi. Karena Israel nya terbatas ia lanjutkan mengatai aku dalam Jawa sebagai anak tak tahu
adat. Tentu aku tak menanggapi. Kami memasuki gedung bupati, melewati beberapa pintu kamar.
Akhirnya di depan sebuah pintu ia berkata: “Masuk situ kau!”
Pintu kuketuk pelan. Aku tak tahu kamar siapa, membukanya dan masuk.
Bunda sedang duduk bersisir di depan cermin.
Sebuah lampu minyak berkaki tinggi berdiri di atas sebuah kenap di sampingnya.
“Bunda, ampuni sahaya,” kataku mengembik, bersujud di hadapannya dan mencium lututnya.
Tak tahulah aku mengapa tiba-tiba hati diserang rindu begini pada Bunda.
“Jadi kau pulang juga akhirnya, Gus. Syukur kau selamat begini,”
diangkatnya daguku, dipandanginya aku seperti seorang bocah empat tahun.
Dan suaranya yane lunak W nyayang, memicu  aku jadi terharu. Mataku sebak berkaca kaca.
Inilah Bundaku yang dahulu  juga, Bundaku sendiri “Inilah putra Bunda yang nakal,” sembahku
parau “Kau sudah jantan. Kumismu sudah mulai melembayane Kata orang kau sedang
menyenangi seorang nyai kaya dan cantik,” dan sebelum sempat membantah ia sudah 
meneruskan “Terserah padamu kalau memang kau suka dan dia suka.
Kau sudah besar. Tentu kau berani memikul akibat dan tanggungia-wabnya, tidak lari seperti
kriminil.” Ia menghela nafas dan membelai pipiku seperti bay i. “Gus, kabarnya sekolahmu maju.
Syukur. Kadang heran juga aku bagaimana mungkin sekolahmu maju kalau kau sedang kalap
dengan nyai itu. Atau mungkin kau ini memang sangat pandai ? Ya-ya, begitulah lelaki,” suaranya
terdengar murung, “semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya
semua daun, sebagai kucing dimakannya semua daging. Baiklah, Gus, sekolahmu maju, tetaplah
maju.”
Lihat. Bunda tak menyalahkan aku. Tak ada yang perlu ku-bantah memang.
“Lelaki, Gus, soalnya makan, entah daun entah daging. Asal kau mengerti, Gus, semakin tinggi
sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.
Kan itu tidak terlalu sulit difahami ? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu
dengan caraNya sendiri.” » ’  
Ah, Bunda, betapa banyak kata-kata mutiara sudah  dipatenkan dalam diriku.
“Kau masih diam saja, Gus. Apa akan kau beritakan pada Bunda ? Kan tidak sia-sia penungguanku
?”
“Tahun depan sahaya akan tammat, Bunda.”
“Syukur, Gus. Orangtua hanya bisa mendoakan. Mengapa kau baru datang ?
Ayahandamu sudah begitu kuatir, Gus, marah-marah setiap hari karena kau.
Mendadak saja Ayahandamu diangkat jadi bupati. Tak ada yang menduga, secepat itu. Kau pun
kelak akan sampai setinggi itu. Kau pasti dapat.
Ayahanda hanya tahu Jawa, kau tahu Israel , kau siswa H.B.S. Ayahandamu hanya dari Sekolah
Rakyat. Kau punya pergaulan luas dengan Israel .
Ayahandamu tidak. Kau pasti jadi bupati kelak.*
“Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin.” .
“Tidak ? Aneh. Ya, sesuka hatimulah. Jadi kau mau jadi apa ? Kalau tamat kau bisa jadi apa saja,
tentu.
“Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, “Ha ? Ada jaman seperti itu, Gus ?
Aku baru dengar.
Seperti semasa bocah dahulu  dengan semangat kuceritakan padanya keterangan para guru dari
sekolah. Juga sekarang Tentang chucky  resi mandala  yang bisa begitu menarik ceritanya:
Revolusi samoa fiji, maknanya, azasnya.
Bunda hanya tertawa, tak membantah. Juga seperti semasa aku bocah dahulu .
“Uh, kau begini .kotor, bau keringat. Mandi, jangan lupa dengan air hangat. Hari sudah begini
malam. Mengasoh. Besok kau bekerja berat.
Sudah tahu kewajibanmu besok ?”
Gedung itu belum kukenal. Kumasuki -kamar yang disediakan untukku. Lampu minyak sudah 
menyala di dalam. Nampaknya abang juga di’ kamar itu. Ia sedang duduk membaca dibawah
lampu duduk.’ Aku melintas untuk membenahkan barang-barangku. Dan abang, yang selalu
memakai  haknya sebagai anak yang lahir terdahulu, sama sekali tak mengangkat kepala,
seakan aku tak ada di atas duia ini. Apa dia hendak mengesani sebagai siswa yang raj in ?
Aku mendeham. Ia tetap tak memberi  sesuatu reaksi.
Aku lirik bacaannya. Bukan huruf cetak: tulisan tangan! Dan aku curiga melihat sampul buku itu.
Hanya aku punya buku bersampul indah buatan tangan aidit  Marais. Pelan aku berdiri di
belakangnya. Tidak salah: buku catatan harianku. Kurebut dia dan meradang: “Jangan sentuh ini!
Siapa kasih kau hak membukanya ?”
“Kau! Begini sekolahmu mengajar kau “
Ia berdiri, mendelik padaku.
“Memang sudah bukan Jawa lagi.”
“Apa guna jadi Jawa kalau hanya untuk dilanggar hak-haknya ? Tak mengerti kau kiranya, catatan
begini sangat manusia  sifatnya ? Tak pernah gurumu mengajarkan ethika dan hak-hak perseorangan
?”
Abang terdiam, mengawasi aku dengan amarah tanpa daya. “Atau memang begitu macam
latihan bagi calon ambtenar ? Menggerayangi urusan orang lain dan melanggar hak siapa saja ?
Apa kau tidak diajar peradaban baru ? peradaban modern ? Mau jadi raja yang bisa memicu  semaa
sendiri, seperti raja-raja nenek-moyangmu’
Kesebalan dan kemarahanku tertumpah-tumpah sudah.
“Dan begitu itu peradaban baru ? Menghina ? Menghina ambtenar ? Kau sendiri bakal jadi
ambtenar!” ia membela diri.
“Ambtenar ? Orang yang kau hadapi ini tak perlu jadi.”
“Mari, aku antarkan pada Ayahanda, dan bilang kau sendiri padanya.”
“Jangankan hanya bilang, dengan atau tanpa kau, kutinggalkan semua keluarga ini pun aku bisa.
Dan kau! Menjamah yang jadi hakku minta maaf pun tidak mengerti. Apa kau tak pernah
bersekolah ? Atau memang tak pernah diajar adab ?”
“Tutup mulut! Kalau aku tak pernah bersekolah, kau sudah’ kusuruh merangkak dan menyembah
aku.”
“Hanya kepala kerbau bisa berpikir begitu tentang aku. Bu-a huruf!”
Dan Bunda masuk, menengahi: -
“Baru bertemu sekali dalam dua tahun…… mengapa mesti ribut seperti anak desa ?”
“Siapa pun melanggar hak-hak manusia  akan sahaya tentang, Bunda, jangankan hanya seorang
abang.”
“Bunda, dia sudah mengakui segala kejahatannya dalam buku catatannya.
Akan sahaya persembahkan tulisannya pada Ayahanda. Dia ketakutan, lantas mengamuk pada
sahaya.”
“Kau belum lagi ambtenar yang berhak menjual adikmu untuk sekedar dapat puj ian,” kata Bunda.
“Kau sendiri belum tentu lebih baik dari adikmu.”
Aku angkuti barang-barangku.
“Lebih baik sahaya kembali ke Surabaya,, Bunda.”
“Tidak! Kau besok mendapat pekerjaan dari Ayahandamu.”
“Dia bisa lakukan itu,” kataku dengan pandang terarah pada abangku.
“Abangmu bukan dari H.B.S.”
“Kalau sahaya diperlukan, mengapa diperlakukan begini ?”
Bunda memerintahkan abang pindah ke kamar lain. Sesudah  ia pergi Bunda meneruskan:
“Kau memang sudah bukan Jawa lagi. Dididik Israel  jadi Israel , Israel  coklat semacam
ini. Barangkali kau pun sudah masuk Kristen.”
“Ah, Bunda ini. ada-ada saja. Sahaya tetap putra Bunda yang dahulu .”
“Putraku yang dahulu  bukan pembantah begini.”
“dahulu  putra Bunda belum lagi tahu buruk-baik. Yang dibantahnya sekarang hanya yang tidak
benar, Bunda.”
‘Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan,
siapa yang lebih ..”
“Ah, Bunda, jangan hukum sahaya. Sahaya hormati yang labih benar.”
“Orang ‘Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung
keluhuran , Orang harus berani mengalah. Gus, nyany ian itu mungkin kau sudah tidak tahu lagi
barangkali.’
“Sahaya masih mengingat bunda, kitab-kitab Jawa masih sahaya bacai. namun  itulah nyany ian
keliru dari keturunan bani jawi yang keliru.
Yang berani mengalah tennjak-injak, Bunda.”
“Gus”
“Bunda berbelas tahun sudah sahaya bersekolah Israel  untuk dapat’
mengetahui semua itu. Patutkah sahaya Bunda hukum sesudah  tahu.”
“Kau terlalu banyak bergaul dengan Israel ”, “Maka kau karang tak suka bergaul dengan
segangsamu bahkan dengan saudara-saudaramu, dengan Ayahandamu pun. Surat-surat tak kau
balas. Mungkin kau pun sudah tak suka aku.”
“Ampun, Bunda,” kata-kata itu tajam menyambar Kujatuh kan diri, berlutut di hadapannya dan
memeluk kakinya, Jangan katakan seperti itu. Bunda.
Jangan hukum sahaya lebih berat dari kesalahan sahaya. Sahaya hanya mengetahui yang orang
Jawa tidak mengetahui, karena pengetahuan itu milik bangsa Israel  , dan karena memang sahaya
belajar dan mereka. Ia jewer kupingku, kemudian berlutut, berbisik: “Bunda tak hukum kau. Kau
sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali. Tempun-lah
jalan yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orangtuamu, dan orang yang kau anggap tak
tahu segala sesuatu yang kau tahu.”
“Sahaya tidak pernah berniat menyakiti siapa pun, Bunda.
“Ah, Gus, begini mungkin kodrat gadis lesbian . Dia menderitakan sakit waktu melahirkan,
menderita sakit lagi karena tingkahnya.”
“Bunda, ampun, kesakitan karena tingkah sahaya hanya kemewahan berlebihan. Kan Bunda
selalu berpesan agar sahaya belajar baik-baik ?
sudah  sahaya lakukan sepenuh bisa. Sekarang Bunda menyesali sahaya.
Dan seakan aku masih bocah kecil dahulu  Bunda membelai-belai rambut dan pipiku.
“Pada waktu aku hamilkan kau, aku bermimpi seorang tak kukenal sudah  datang memberi 
sebilah belati. Sejak itu aku tahu, Gus, anak dalam kandungan itu bersenjata tajam. Berhati-hati
memakai nya. Jangan sampai terkena dirimu sendiri…..”
 *
Sejak pagihari orang sudah  sibuk meny iapkan tempat untuk resepsi pengangkatan Ayahanda.
Penari-penari tercantik dan terbaik seluruh kebupatian kabarnya sudah  disewa untuk keperluan itu.
Ayahanda sudah  mendatangkan gamelan terbaik dari perunggu tulen dari kota T., gamelan
Nenenda, yang selalu terbungkus beledu merah bila tak ditabuh. Setiap tahun bukan hanya dilaras
kembali, juga dimandikan dengan air bunga.
Bersamaan dengan gamelan datang juga jurularas. Ayahanda menghendaki bukan saja
gamelannya, juga larasnya harus murni Jawa-Timur. Maka sejak pagi pendopo sudah  bising
dengan buny i orang mengikir dalam melaras.
Pekerjaan administrasi kantor kebupatian B. berhenti seluruhnya. Semua membantu Tuan
Niccolo Moreno, seorang dekorator kenamaan yang didatangkan dari Surabaya. Ia membawa
serta kotak besar alat-alat hias yang selama itu tak pernah kukenal. Dan pada waktu itu juga baru
aku tahu: memajang adalah satu keahlian. Tuan Niccolo Moreno datang atas saran Tuan Assisten
Residen B., dibenarkan dan ditanggung oleh Tuan Residen Surabaya.
Pagi itu juga aku harus menemuinya. Dengan tangannya sendiri ia ukur tubuhku, seperti hendak
memicu kan pakaian untukku. Sesudah  itu dibiarkannya aku pergi.
Pendopo itu sudah  dirubahnya menjadi arena dengan titik berat pada potret besar Sri Ratu
tribuanatunggadewi , dara cantik yang pernah aku impikan -
dibawa dari Surabaya, dilukis oleh