Senin, 15 Desember 2025

Popular 1



  popular 



Sinar kuning kemilau tiba-tiba menyergap, garang. 

Hitamnya malam buyar sesaat . Bantalan-bantalan rel 

berderak kaget. arwah mpu sindok  melangkah mundur. Kelopak 

matanya terpejam, menahan silau. Angin keras menampar-

nampar wajahnya. Dingin. Menggigit. Dalam kegelapan 

pandang ia dapat merasakan debu menyengat lubang 

hidung; disertai bau sampah yang bertaburan di sekitarnya. 

Kendang telinganya seakan pecah diledakkan suara hingar-

bingar yang sangat membisingkan. 

saat  semua prahara itu perlahan-lahan berlalu dan 

arwah mpu sindok  membuka kelopak matanya kembali, samar-

samar masih terlihat lampu belakang gerbong terakhir, 

bergoyang lembut seperti penari yang kelelahan. Kian lama 

kian menjauh. Tinggal titik kuning lemah yang kemudian 

 6 

lenyap ditelan kegelapan malam yang kembali mengelam, 

semakin hitam. Namun sayup sampai masih terdengar bunyi 

nafas naga besi itu berdesas-desus teratur; seolah-olah sadar 

bahwa tempat peraduan yang nyaman tetap menanti 

dengan setia. Perjalanan panjang itu akan berakhir di stasiun 

Bandung. 

Dan di halte Cikudapateuh, perjalanan hidup 

segelintir anak manusia justru baru saja dimulai. 

arwah mpu sindok  menyeberangi rel sambil terbatuk-batuk 

sebab  sisa debu masih menempel di lubang hidung. Ia 

memasuki gang sempit yang membelah rumah-rumah liar 

sepanjang rel kereta. Rumah-rumah tanpa beranda, tanpa 

penerangan listrik – bahkan mungkin juga tanpa harapan 

walau hanya sejumput belaka. Dari balik dinding bilik salah 

satu rumah petak yang dilaluinya, terdengar suara cekikik 

perempuan; mirip ringkik kuda binal tengah birahi. Dan suara 

serak seorang lelaki mengumpatkan ucapan kotor 

menyebut-nyebut sesuatu mengenai kemaluan si 

perempuan. 

arwah mpu sindok  bergidik seram. Terus saja melangkahkan 

kaki dalam kegelapan malam. Gang yang dilaluinya 

membelok tidak karuan. Sekali ia hampir saja menabrak 

pintu, tegak bingung lalu kemudian melihat sebuah celah 

sempit di sebelah pintu untuk masuk ke gang berikutnya. 

Baru dua tiga langkah memasuki celah tadi, arwah mpu sindok  

dibuat kaget oleh makian kasar seseorang. 

“Haram jadah! Kau babi busuk!”

arwah mpu sindok  tertegun. Lalu terdengar suara lain 

menimpali: “Aku tak sengaja kang...” 

“Tak sengaja pantatmu. Lihat buku bonku basah 

semua.” 

“Nanti kujemur, kang...” 

“Awas kalau rusak! Kau tahu, malam besok yang 

keluar pasti nomor 35 atau 53. Lihat! Aku pasang 1000 untuk 

35 dan 500 untuk 53. Dan justru kuah sayurmu pas tumpah 

di bon bernomor mahal ini. Sialan! Sini, dekatkan lampu biar 

kuperiksa, apakah...” 

Geleng-geleng kepala arwah mpu sindok  mendengar 

pertengkaran sengit di balik dinding papan yang dilewatinya. 

Teringat, baru tiga hari yang lalu surat kabar di kota ini 

menyiarkan ucapan Walikota Bandung bahwa Bandung 

sudah bebas dari judi buntut. Itu pun sesudah  satu bulan 

penuh diadakan razia besar-besaran oleh polisi dibantu 

Laksusda. Mestinya arwah mpu sindok  mendobrak masuk ke rumah 

barusan, menyita barang bukti yang ada dan cukup 

menangkap para pelaku. namun  daerah ini tidak termasuk 

wilayah hukum kantor dinasnya. Dan ia hadir di sini bukan 

pula sebagai petugas. Melainkan sebagai pribadi. Itupun 

dengan tujuan, yang semakin sedikit orang tahu akan 

semakin baik. 

Akhirnya ia melihat nyala lampu samar-samar di 

depannya. Sebuah pintu tampak menganga terbuka. 

Seseorang tampak menyelinap dari kegelapan di seberang 

pintu. Siap masuk kembali ke dalam rumah. Namun segera 

dia menunggu, saat  melihat ada seorang pendatang tak 

dikenal. 

 8 

 

“Selamat malam... Neng,” sapa arwah mpu sindok  sesudah  

menyimak sebentar orang di depannya. 

Perempuan itu berumur sekitar 25-an, agak pendek. 

namun  dadanya besar, begitu pula pinggulnya. Ia 

mengenakan rok terusan warna gelap, dandanannya tidak 

teratur. “Malam, Oom,” sahutnya seraya menyeringai 

memperlihatkan sebaris gigi yang biar rapi toh tampak agak 

kekuning-kuningan dalam jilatan lampu. “Cari teman tidur, 

ya?” 

Mendadak timbul pikiran iseng arwah mpu sindok . 

Bagaimanapun ia toh seorang laki-laki, masih muda, dan 

bujangan pula. “Lagi kosong?” ia bergumam dengan senyum 

kaku. 

“Yang di dalam,” perempuan itu mengerlingkan 

mata lewat pintu yang terbuka. “Ia sudah selesai denganku.” 

“Aku tak suka bekas orang.” 

“Jangan kuatir, Oom. Aku barusan kencing. Sekalian 

cuci itu-ku...” si perempuan tertawa genit, dibuat-buat. 

“Di situ?” tanya arwah mpu sindok  sambil menuding ke 

saluran air di belakang si perempuan. Saluran itu sebuah got 

pembuangan, yang di bawah siraman rembulan kelihatan 

airnya kehitam-hitaman. Ada sebuah kakus kecil, mungkin 

MCK rumah-rumah sekitar, dan di dekat kakus itu bertumpuk 

segala macam sampah yang menimbulkan bau pesing. 

Menyadari maksud arwah mpu sindok , perempuan itu 

tertawa meringkik. “Aku punya obat pengharum di kamar,” 

ujarnya, sambil menggandeng lengan arwah mpu sindok . “Ayolah 

kita masuk. Kerbau sialan itu begitu memuntahkan laharnya 

 9 

terus saja mendengkur di ranjangku. Kau bantulah aku 

mengusirnya ke luar. Baru sesudah  itu kita...” 

“Biarkan saja dia. Kasihan,” sahut arwah mpu sindok . Segan 

masuk. 

“Oh. Jadi Oom lebih suka kita melantai,” bisik si 

perempuan nakal, sambil mulai menciumi pipi arwah mpu sindok . 

saat  bibir perempuan itu mengarah ke mulutnya, 

arwah mpu sindok  mengelak dan melepaskan lengannya dari 

genggaman si perempuan. 

“Aku bukan mau begituan, Neng. Aku cuma 

numpang tanya. Boleh?” kata arwah mpu sindok , lembut – kuatir 

penolakannya membuat si perempuan tak senang. 

“Nggak masuk dulu?” 

“Ah. Di sini saja deh.” 

“Oom. Di sini, aku paling muda. Paling cakep. 

Paling...” 

“Aku tahu.” 

“Jadi?” 

“Justru aku mau tanya, orang yang paling tua, 

barangkali.” 

“Eh, kok...?” 

“Namanya Tribuana Tunggadewi .” 

Si perempuan membelalak. “Nenek sihir itu? Hii..!” 

ia bergidik seram. “Jadi Oom lebih suka ditemani tidur nenek 

sihir itu? Astaga! Ia akan mengisap Oom sampai habis!” 

matanya kemudian mengawasi arwah mpu sindok  lagi. Dari wajah, 

turun ke dada, turun lagi ke perut, turun lagi sejengkal ke 

bawah – dan berhenti cukup lama di situ. Mulutnya 

menyeringai, genit. Berdesah, “Kalau Oom senang diisap, aku 

 10 

– aku juga bisa. Dan tidak seperti nenek sihir itu – punya Oom 

akan kusisakan sedikit untuk isteri Oom di rumah!” 

Bergemelutukan gigi arwah mpu sindok  mendengarnya. 

Mulutnya membuncah. Ingin meludah. Namun sebelum 

wajahnya diludahi, perempuan tadi cepat menyingkir ke 

pintu gubuknya. Siap untuk membantingkannya di depan 

batang hidung arwah mpu sindok . 

“Aku mencium bau polisi di tubuhmu,” katanya, 

cemas. 

“Neng...” 

“Kau polisi ya?” 

“Dengar, Neng. Aku sendirian. Dan kalaupun 

misalnya aku polisi, aku tak bawa surat tugas. namun  kalau 

kau menutup pintu...” 

Si perempuan membatalkan niatnya membanting 

pintu. Ia malah membukanya semakin lebar. Wajahnya 

sebentar pucat, sebentar memerah, pucat lagi. Lalu: 

“Langgananku yang di dalam, belum bayar. Aku tak punya 

uang. namun  kalau kau mau – dan eh, soal isap-mengisap 

kukira menarik juga. Aku belum pernah, namun ...” 

“Persetan kau pernah atau tidak!” kesabaran 

arwah mpu sindok  mulai hilang. “Aku cuma menginginkan Tribuana Tunggadewi !” 

“Pintu ketiga sesudah  ini. Yang bercat biru!” si 

perempuan menjelaskan buru-buru. Buru-buru pula ia 

menutupkan pintu. Namun belum juga arwah mpu sindok  sempat 

menghela nafas, pintu itu sudah terbuka kembali. Sedikit 

cuma. Cukup untuk meloloskan sebagian wajah pemiliknya, 

yang berkata agak bimbang: “... kusarankan, Oom. Jangan 

malam ini. Ia masih sakit.” 

 11 

“Sakit? Sakit apa?” 

“Entah ya. Mungkin darah tingginya kumat lagi. 

Sudah sepuluh hari ia tidak mau terima tamu. Kerjanya 

berkurung di kamar. Kalaupun kami boleh menengok, ia 

marah-marah melulu. Sepertinya... sarap!” 

Seolah takut oleh ucapannya sendiri, si perempuan 

lekas-lekas menghilang dan kini benar-benar membanting 

pintu. Menguncinya sekaligus. arwah mpu sindok  termangu. 

Bingung, dan mulai gelisah. Jadi ia telah menemui alamat 

yang benar. Masalahnya sekarang, apakah ia orangnya 

benar? Tribuana Tunggadewi  hanyalah sebuah nama. Siapa pun boleh 

memakainya. 

Main isap? 

“Astaga, mustahil dia melakukannya. Ia seorang 

dewa penulis !” arwah mpu sindok  menggigil. Keterangan itu terlalu 

mengejutkan untuk ia terima begitu saja. Langkahnya 

tertegun-tegun. Bimbang. namun  toh sampai juga ia di depan 

pintu biru itu. Pintu yang letaknya miring, mungkin sebab  

salah satu engselnya hampir copot, pegangan platinanya 

berkarat waktu dijamah arwah mpu sindok . “Jangan-jangan Tribuana Tunggadewi  

yang ini, bukan Tribuana Tunggadewi  yang pernah kukenal,” pikirnya. 

Dengan perasaan segan, diketuknya pintu. Selagi 

mengetuk, terbayang saat pertama ia pernah bertemu 

dengan perempuan itu. Sang dewa penulis  duduk di pojok 

sebuah bar di salah satu sudut kota Jakarta. Sesuai dengan 

usia remajanya saat  itu, arwah mpu sindok  sudah berkali-kali jatuh 

cinta. Tiap kali mengencani seorang gadis, ia kemudian 

menyadari bahwa masih ada gadis lain yang lebih cantik. 

namun  saat  melihat perempuan itu, arwah mpu sindok  sangat 

 12 

terpesona. Kecantikannya demikian luar biasa. Ia berpakaian 

gemerlapan, dandanannya bukan main. Tanpa pakaian serta 

dandanan yang hebat itu pun, penampilan si perempuan 

sudah sangat aduhai. Kalau ada orang berkata bahwa hanya 

hasil seni saja yang bisa disebut antik dan artistik, maka 

orang itu seharusnya datang untuk menyaksikan si 

dewa penulis . 

Saking kagum bahna ta’jub arwah mpu sindok  sampai 

tertegak diam, lupa tujuan sebenarnya datang ke bar itu. Ia 

hanya melongo dengan mata tak pernah berkedip; kuatir 

hanya sebab  satu kerdipan saja, bidadari itu akan sirna dari 

depan matanya. 

“... mencari siapa, dik?” terngiang kembali suara 

perempuan itu. Suara yang begitu lunak, begitu basah, yang 

membuat arwah mpu sindok  sempat tergetar sebab  gairah 

remajanya mendadak bangkit. Jiwa remajanya 

memberontak, mengapa wanita itu bukan miliknya, bukan 

kekasih pujaannya... namun  milik ayahnya! 

Ayahnya pulalah yang membebani arwah mpu sindok  tugas 

teramat berat. Sehingga kini ia merasa kesasar ke daerah ini, 

menyelinap di antara rumah-rumah liar sepanjang rel kereta 

api, untuk menemukan Tribuana Tunggadewi . “Kudengar, Tribuana Tunggadewi  kini berada 

di ambang kehancuran,” kata ayahnya. Dan sesudah  

arwah mpu sindok  berdiri di depan pintu biru yang miring itu, ia 

malah lebih kuatir lagi dari ayahnya.  

Pintu ini tak pantas menyembunyikan seorang 

dewa penulis . 


Dan Tribuana Tunggadewi  bukan jenisnya orang yang digambarkan 

pelacuran murahan tadi. Tribuana Tunggadewi  boleh menjadi tua. namun  

tukang isap... 

Sejenak terlintas pikiran untuk mundur dan 

melupakan pintu biru di depan matanya; ini memang Tribuana Tunggadewi , 

namun  bukan Tribuana Tunggadewi  yang ia harus cari dan temukan. namun  

mengapa pula harus mundur? Kepalang basah, ketuk lagi 

pintu itu. Hadapi kenyataan, bagaimanapun pahitnya. Yang 

terpenting, ini menyangkut amanat seseorang. Yang bila 

tidak dilaksanakan, besar kemungkinan membuat arwah 

orang itu akan menggeliat resah di dalam kubur. 

arwah mpu sindok  menghela nafas panjang. Diketuknya lagi 

pintu. Lebih keras. 

 

 

*** 

 

 

Dua 

 

“Siapa?” terdengar suara nyaring di dalam. 

Menyentak. 

“... aku,” sahut arwah mpu sindok . Kecut. Apakah ia akan 

terkesima seperti dulu? Diperolok-olok, bahwa ia salah 

alamat? 

“Aku siapa?” 

“Yanto.” 

 14 

Sepi sejenak. Lalu: “Nama itu tak ada di kampung 

ini!” 

“Aku dari Jakarta...” 

“Jakarta? Kau mau apa?” 

“Nanti kujelaskan. Bukalah pintu.” 

“Buka sendiri!” 

Tadi arwah mpu sindok  sudah menggerakkan pegangan 

pintu. Ia lakukan sekali lagi. “Terkunci,” katanya. 

“Anjing! Orang lagi enak-enak mimpi!” terdengar 

suara memaki, lalu ranjang berderit, sandal yang diseret, lalu 

detak anak kunci yang diputar dengan kasar. Pintu berkeriut 

terbuka. Perempuan yang membukanya kemudian bergerak 

mundur agar tamunya bisa masuk. Di bawah sinar lampu 

listrik 25 watt, penampilan perempuan yang ini memang 

sangat mirip dengan gambaran pelacur muda yang tadi. 

Selain tua, lehernya agak bungkuk. Pipi bergelambir, hidung 

menekuk seperti paruh burung, dagunya bergantung rendah 

pula. Tampaknya, paling sedikit ia berusia 50 tahun, mungkin 

lebih. 

Bukan ini orang yang kucari, pikir arwah mpu sindok  kecewa. 

Mungkin orang ini memang bernama Tribuana Tunggadewi . Mungkin pula ia 

ini seorang nenek sihir. Yang pasti, ia tidak punya tampang 

seorang dewa penulis , tidak punya penampilan seorang wanita 

pujaan yang untuk mencium tangannya saja harus 

membayar mahal. Barangkali memang itulah julukan yang 

pas untuknya: nenek sihir! sebab  matanya yang sesat tadi 

suram menakutkan, sekonyong-konyong bersinar 

mengerikan. Lantas dari sela-sela bibirnya yang tebal 

menggumpal terdengar desahan tajam. 

 15 

“Kau...” mulut perempuan itu ternganga. Matanya 

seakan mengenali arwah mpu sindok . Namun kalimat berikutnya, 

jelas merupakan penolakan pada apa yang ia kira ia sangat 

kenal: “Kau bukan dia.” 

arwah mpu sindok  terengah. “Dia siapa, bu?” 

“Bambang. Tidak. Kau bukan Bambang...” 

arwah mpu sindok  tiba-tiba tersedak. “Memang bukan,” 

ujarnya. Ngeri. 

“Siapa kau?” 

“Anaknya!” 

Perempuan itu terdiam. Kemudian, tubuhnya 

terguncang hebat. Tak satu pun suara keluar dari mulutnya 

yang kering pucat. Pelan-pelan ia mundur, sempoyongan 

menuju sebuah kursi plastik, ke benda mana kemudian 

tubuhnya jatuh menghempas. Jatuhnya begitu ringan. 

sebab  perempuan itu selain kurus, juga tampak kering 

bagaikan pohon tua yang sudah lapuk – berkeriput, 

kehilangan rupanya yang asli. Sepasang mata tuanya 

menatap arwah mpu sindok  seperti seorang nenek sihir menatap 

orang suruhan yang akan mengikatnya ke tiang gantungan 

sebelum tiba waktu pembakaran. 

“Boleh aku masuk?” arwah mpu sindok  bertanya sesopan 

mungkin, sesudah  ia kini sadar siapa perempuan itu. 

sesudah  menunggu dan tak juga dipersilahkan, maka 

arwah mpu sindok  mempersilakan diri sendiri. Kepalanya terantuk 

saat  ia melangkah masuk. Rupanya bendul pintu lebih 

rendah dari ukuran yang lazim. Sesaat, arwah mpu sindok  nanar, 

kepalanya agak pening oleh benturan itu. Untuk menutupi 

kebodohannya ia kemudian menutup pintu dari dalam. 

 16 

saat  ia berbalik, ia segera berhadapan dengan sebuah 

ruangan yang sangat mesum. Ruangan tunggal. Tanpa kamar 

tidur sebab  di pojok ada sebuah dipan dengan kasur tanpa 

seprei. Tanpa dapur sebab  di pojok lainnya ada sebuah 

kompor yang tempat minyaknya mungkin bocor, lantai di 

bawah kompor itu hitam dikotori minyak. 

Kursi plastik yang diduduki perempuan itu jelas 

sudah tidak utuh jalinan tali temalinya. Masih ada sebuah 

kursi lagi. namun  keadaannya demikian meragukan sehingga 

arwah mpu sindok  enggan mendudukinya. Ada meja kecil, sayang 

kakinya tinggal tiga. Kaki satunya lagi pasti pernah patah dan 

belum pernah diganti. Meja itu juga tak mungkin diduduki. 

Apakah ia harus duduk di dipan? Namun sesudah  melihat 

warna kasurnya yang sudah tidak karuan, arwah mpu sindok  

memutuskan untuk tetap berdiri saja. 

“... mengapa kau kemari?” bisik perempuan itu. 

Parau. 

“Aku mengemban amanat,” jawab arwah mpu sindok . 

“Bambang?” 

“Ya.” 

Memercik sinar aneh di mata perempuan itu. 

Sekejap cuma. Sinar itu lantas pudar, sebelum arwah mpu sindok  

sempat menangkap maknanya.  

“Maafkan sambutanku ini...” ujar si perempuan 

lemah. Lemah pula ia bangkit dari duduknya tanpa sempat 

dicegah arwah mpu sindok . Terbungkuk-bungkuk ia berjalan ke arah 

dipan. Sambil lalu ia sambar sebuah kutang tua yang 

tergelimpang di lantai. Kutang itu ia lemparkan seenaknya ke 

ujung dipan. Menggelepar sebentar di sana, kemudian jatuh 

 17 

menggelinding ke tempat kosong di ujung sana dipan. 

arwah mpu sindok  kemudian menangkap bayangan setumpuk 

pakaian lain yang berserakan di bawah dipan itu, bersama 

botol-botol kosong serta berbagai macam rombengan 

campur aduk. 

“Ibu suka minum bir?” arwah mpu sindok  menemukan 

percakapan untuk membuang suasana kaku yang 

menggantung di antara mereka. “Biar kubelikan untukmu,” 

tambahnya, sambil menyesali diri mengapa tidak teringat 

membawa oleh-oleh. 

“Terima kasih. Aku hanya minum kalau seorang 

tamu minta agar aku...” wajah si perempuan memerah 

padam sesaat . “Ayo, kau duduklah. Jangan berdiri di situ. 

Menambah sumpek kamarku saja... Punya rokok?” 

arwah mpu sindok  memberinya sebatang, sekalian 

menyulutnya dengan korek api. Dari tempatnya duduk, ia 

kemudian melihat bagaimana si perempuan menikmati 

isapan rokok di mulutnya yang kering kerontang. Sekilas, 

arwah mpu sindok  membayangkan bagaimana kalau yang diisap 

perempuan itu bukan sebatang rokok, melainkan... 

“Jangan memandangku seperti itu!” rungut si 

perempuan menyentak. 

arwah mpu sindok  terperanjat. “Maaf,” desahnya. 

“Mereka tentunya sudah bercerita banyak mengenai 

aku, ya?” 

“Ah...” 

“Semua itu benar. Apakah kau merasa jijik?” 

“Aku...” 

 18 

“Kau jijik. Bahkan saat  kau menyulut rokokku, aku 

tahu kau menahan nafas. Aku memang bau sekarang. 

Bahkan busuk. Busuk sampai di dalam-dalamnya. namun  aku 

harus hidup. Aku takut menghadapi kematian. Kecuali 

beberapa hari terakhir ini. Betapa inginnya aku dijemput 

malaikat maut, betapapun kejam caranya nyawaku 

direnggut...” 

“Mengapa kau ingin mati?” tanya arwah mpu sindok  hanya 

sekedar berkata saja. Ia belum tahu bagaimana ia harus 

memulai dan bagaimana ia harus mengutarakan maksudnya 

datang. Kalaupun akhirnya maksudnya kesampaian, astaga! 

Pantaskah perempuan ini masuk ke tengah lingkungan 

keluarga mereka? 

“Kau tanya mengapa aku ingin mati?” suara 

perempuan itu berubah kering, mendengking. Tahu-tahu 

saja ia memukuli dadanya. Dada yang sama keringnya. 

Rokoknya dibanting ke lantai. Diinjak-injak sampai hancur. 

“Hatiku terbelah!” katanya tersengal-sengal. Matanya pun 

berubah liar. “Beberapa hari ini aku bermimpi buruk. Kulihat 

tangan-tangan jahat menyayat dan merampas sebelah 

hatiku. Dan aku tahu apa maksudnya!” 

“Apa?” 

“Bahwa kekasihku telah mati!” bisik si perempuan. 

Matanya semakin liar. Ia kini seakan berbicara pada dirinya 

sendiri. “Kekasihku mati. Tanpa memberitahu aku lebih dulu. 

Anjing, babi, dedemit haram jadah! Coba kalau aku tahu 

bahwa ia tak akan pernah lagi datang menemuiku...” 

arwah mpu sindok  sebelumnya telah berbicara dengan 

ayahnya. Ia kemudian mengetahui lebih banyak lagi dari 

 19 

ibunya. Dan ia lalu tahu, siapa yang dimaksud kekasih oleh 

perempuan itu. Pengertian itu membuat mata arwah mpu sindok  

berlinang. Pundaknya tergetar, saat  ia bergumam getir:  

“Ia memang – tak akan datang lagi. Tak akan pernah 

menemuimu kembali.” 

“Jadi dia...” 

“Firasatmu tak salah. Papa sudah mati.” 

Beberapa detik lamanya, perempuan itu terdiam.  

Kemudian, seolah ada tenaga gaib menjelma dalam dirinya – 

ia menerjang meja, melemparkan kursi, membanting-

bantingkan kaki ke lantai, melolong panjang seraya kukunya 

mencakari daun pintu sampai papan pintu itu menggelepar 

lalu berderak retak. Sumpah serapah serta segala macam 

ungkapan kotor lepas dari mulutnya. Sampai ia akhirnya 

kehabisan nafas dan jatuh terjerambab di lantai. 

saat  arwah mpu sindok  tersadar dari kejutan mendadak 

yang menguasai dirinya, ia segera berlari mendapatkan 

perempuan itu. 

“Tribuana Tunggadewi  – Tribuana Tunggadewi , bu Tribuana Tunggadewi !” ia memanggil-manggil. 

Perempuan itu tetap diam. Rupanya tidak sadarkan 

diri lagi. 

 

  

 


 

Pertama kali melihat orang pingsan, arwah mpu sindok  

panik setengah mati. Konon pula yang pingsan itu ibunya 

sendiri. Hari itu, dua jam pelajaran terakhir di sekolah 

dibatalkan sebab  guru matematika sedang mengikuti 

penataran P4. Teman-teman arwah mpu sindok  pada ribut pergi ke 

Parung diajak salah seorang murid yang berulang tahun. 

Orang tua yang merayakan ulang tahun itu punya kebun 

durian di Parung yang kebetulan sedang panen. 

Titik air liur arwah mpu sindok  membayangkan betapa 

asyiknya ramai-ramai makan durian, ‘jatuhan’ pula lagi. 

namun  ia tak mungkin ikut mereka. “Mamaku sakit,” katanya. 

Ia agak terhibur sesudah  kawan-kawannya berjanji. 

“Jangan kuatir. Akan kami sisakan untuk kau dan ibumu.” 

Lezatnya durian itu segera dilupakan arwah mpu sindok  

setiba di rumah. Ibunya ia temukan merayap di lantai kamar, 

mencoba naik ke tempat tidur. Wajah ibunya memuith 

seperti kapas. Suaranya hampir-hampir tak terdengar: 

“Perutku, nak. Ampun, sakitnya...!” Biji mata ibunya 

kemudian terbalik-balik, sebelum mengatup ratap. 

Tubuhnya mengejang sesaat, kemudian diam tak bergerak-

gerak. 

“Mama mati. Mama mati. Mama...” arwah mpu sindok  

melemparkan tas sekolahnya, mengguncang-guncang tubuh 

ibunya sambil meratap berkepanjangan. Lolongannya 

 21 

menggemparkan para tetangga. Mereka datang berlari-lari. 

Berusaha menarik-narik arwah mpu sindok  yang terus saja 

memeluki ibunya seraya menangis histeris. Ia meronta ingin 

melepaskan diri. namun  mereka terus memeganginya, 

membujuknya dengan kata-kata manis menghibur, 

sementara yang lain berusaha menyadarkan ibunya. 

“Ia cuma pingsan, nak,” kata mereka. 

Salah seorang tetangga pergi mengambil mobil dari 

rumahnya. Ibu arwah mpu sindok  sesaat  itu juga diangkut ke 

rumah sakit. Dalam perjalanan, ibunya sempat menggeliat, 

membuka mata dengan susah payah, lalu mengeluh: 

“Anakku, mana dia?” 

Mengetahui ibunya sadar, arwah mpu sindok  tidak lagi 

menangis. Ia tertawa tanpa malu-malu. 

Di rumah sakit, dokter yang memeriksa ibunya 

memanggil arwah mpu sindok . 

“Nak. Ibumu terpaksa diopname. Mungkin harus 

dibedah,” dokter itu memberitahu. “namun  sebelumnya, 

kami harus memperoleh persetujuan keluarga. Dapat kau 

hubungi ayahmu sekarang juga, nak?” 

Hubungan telepon ke kantor ayahnya sedang sibuk. 

Lalu ia putuskan pergi naik taksi saja. Ternyata ayahnya tidak 

ada di kantor. Sekretarisnya bilang: “Tadi pergi entah 

kemana. Tapi katanya akan kembali.” Pegawai yang lain juga 

tidak tahu kemana perginya ayah arwah mpu sindok . saat  turun 

lagi ke bawah, kebetulan ia lihat mobil ayahnya memasuki 

halaman parkir. Sialnya, yang dicari tak ada di  dalam mobil.  

Supir bilang satu jam sebelumnya pergi mengantar 

majikannya ke Ciputat. “Bapak menyuruhku mengantar 

 22 

beberapa pucuk surat. Selesai itu, aku diperintahkan kembali 

ke sini...” 

“Ia akan lama di sana?” 

“Katanya, mungkin sore baru pulang,” jawab supir. 

arwah mpu sindok  tak sabar menunggu selama itu. Supir itu 

tampak enggan saat  diharuskan kembali ke Ciputat. 

“Macet sekali di jalan,” katanya berdalih. Namun sesudah  ia 

dengar penjelasan bahwa isteri majikannya diangkut ke 

rumah sakit, supir itu lantas tancap gas. Untuk menghindari 

kemacetan, supir itu menjauhi jalan-jalan protokol dan 

memilih jalan-jalan samping yang lebih sepi. Memang makan 

waktu, namun  lebih cepat tiba di tujuan. 

Menjelang pukul dua siang mobil dibelokkan 

memasuki halaman sebuah rumah mungil tapi artistik 

dengan arsitektur gaya Spanyol. Tampaknya daerah 

perumahan yang baru dibuka; suasananya tenang, damai, 

jauh dari kebisingan kota. Pintu dibuka oleh seorang 

perempuan tengah baya yang menyambut arwah mpu sindok  

dengan tatap mata curiga. 

sebab  pikirannya lagi kacau, arwah mpu sindok  lupa 

berbasa-basi. Ia langsung saja menyerbu: “Aku mau ketemu 

papa.” 

“Siapa?” 

“Papa.” 

“Kau salah alamat...” dengus perempuan itu sambil 

akan menutupkan pintu kembali. Tentu saja arwah mpu sindok  tidak 

menerima perlakuan meremehkan itu. Ia menahan daun 

pintu yang hampir tertutup. Memaksa masuk. Untunglah 

Raden Wijaya , supir ayahnya buru-buru datang menengahi.  

 23 

“Maaf, bu,” ujar Raden Wijaya  sopan. “Dia ini anak majikan 

saya. Orang yang tadi saya antarkan ke rumah ini. Bolehkah 

kami bertemu dia sebentar?” 

Perempuan itu ragu-ragu sebentar. Lalu: “Barusan 

pergi,” katanya. “Dengan nyonya.” 

“Nyonya siapa?” tanya Raden Wijaya , sementara 

arwah mpu sindok  agak tersentak mendengar sebutan nyonya itu. 

“Majikan saya.” 

“Ibu tahu mereka pergi kemana?” tanya Raden Wijaya  lagi. 

Si perempuan kembali tampak bimbang. Ia 

mengawasi kedua orang tamunya silih berganti.  

“Istri majikan saya mendadak masuk rumah sakit!” 

Raden Wijaya  menerangkan dengan jengkel.  

Barulah perempuan itu memberitahu: “Kalau tidak 

salah dengar, majikan saya bilang mereka pergi ke Tigapi.” 

“Tigapi?” Raden Wijaya  kebingungan. “Dimana itu?” 

“Di... hm, sebentar ya?” perempuan itu bergumam 

seraya menghilang ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul 

lagi dengan sebuah buku nota telepon. Ia menunjuk salah 

satu halaman, dan Raden Wijaya  membacanya. 

“Tiga V – Vini, Vidi, Vici. Ah, syukur ada nomor 

teleponnya... Boleh pinjam telepon sebentar, bu?” 

arwah mpu sindok  yang dari tadi diam saja, pelan-pelan 

buka suara: “Aku tahu tempatnya,” lalu ia menyeret Raden Wijaya  

masuk kembali ke dalam mobil. 

“Dapat tahu ari mana?” tanya Raden Wijaya  sesudah  

mereka tancap gas lagi. 

arwah mpu sindok  dengan senang hati menceritakan salah 

satu pengalaman paling menarik dalam hidupnya. Suatu hari 

 24 

salah seorang teman gadisnya mengajak arwah mpu sindok  minum 

di sebuah bar. “Tempatnya bukan main. Eksklusif, mirip 

suasana di nite club. Tahu apa yang diminta gadis itu begitu 

kami duduk di pojok bertirai?” 

“Minta apa dia?” 

“Minta cium!” 

Raden Wijaya  sempat tercengang, kemudian tertawa 

bergelak. “Dan kau masih anak SMP. Kau penuhi 

permintaannya?” 

“Jelas dong!” 

“Lantas?” 

“Nggak usah ya. Nanti kau ceritain papa. Bisa 

dipotong uang mingguanku. Lagi pula, yang mau kuceritakan 

bukan soal pacarku. namun  peristiwa lain.” 

Ceritanya, di balik tirai yang ditempati arwah mpu sindok  

dan pacarnya, duduk bercengkrama sepasang sejoli lain. 

Mereka kelihatan begitu asyik sambil sesekali ngomong 

porno. Di tempat berlawanan, tiga orang lelaki perlente 

sedang bersantap siang sambil berbisik-bisik. arwah mpu sindok  

tidak tahu apa yang mereka bisikkan. namun  sebab  salah 

seorang lelaki perlente itu sesekali melirik ke pacar 

arwah mpu sindok  yang memang berpakaian serba ketat menyolok, 

arwah mpu sindok  menduga tingkah lakunya bersama pacarnyalah 

yang mereka pergunjingkan. Hal itu membuat arwah mpu sindok  

tidak senang. 

Ia baru saja mau bangkit sebab  marah, saat  dua 

dari lelaki itu kemudian pergi. Yang tadi meliriki pacar 

arwah mpu sindok  tetap tinggal. Ia kelihatan sibuk membenahi isi 

tasnya, sebuah tas besar yang tak pernah lepas dari 

 25 

pangkuannya. Pada saat itulah, kegiatan dua sejoli di sebelah 

tirai tadi berhenti mendadak. Yang lelaki bangkit bergegas 

meninggalkan pasangannya. Sambil bersiul-siul orang itu 

berjalan ke arah kamar kecil. Namun begitu lewat di dekat si 

perlente bertas besar, orang itu lantas mengeluarkan 

sesuatu dari balik jaketnya seraya membentak tajam. 

“Polisi. Jangan bergerak!” 

Si perlente terperanjat dan mencoba bangkit, 

mungkin untuk melawan atau lari. Gerakannya terhenti 

manakala laras sepucuk pestol menempel di jidatnya. Si 

perlente yang menyakitkan hati arwah mpu sindok  itu terduduk 

pucat, lemas. Dalam sekejap tangannya telah diborgol, dan 

tasnya dirampas. Teman perempuan polisi itu sudah pula 

mendatangi dan segera memeriksa isi tas. arwah mpu sindok  tidak 

tahu apa isi tas itu. Ia hanya melihat perempuan itu 

menganggukkan kepala. Sementara temannya menjaga 

tawanan mereka, si polisi wanita mengeluarkan walkie-talkie 

dan berbicara melalui pesawat itu. Tak lama kemudian 

muncullah dua buah mobil di halaman bar, dari mana 

berhamburan sejumlah polisi berseragam. 

“... aku begitu terkesan dengan permainan polisi 

itu,” gumam arwah mpu sindok  geleng-geleng kepala. “Bukan 

main!” 

“Itu sebanya kau pernah bilang, bercita-cita jadi 

polisi,”cetus Raden Wijaya . arwah mpu sindok  manggut-manggut. “Dan 

bar pencetus cita-citamu itu, adalah Vini Vidi Vici...” 

“Persis!” 

“Sebuah tempat seronok untuk menemui kencan 

rahasia, eh?” desak Raden Wijaya  pula, seakan sambil lalu. 

 26 

arwah mpu sindok  akan menyahut. Tapi mulutnya segera 

terkatup. Ia teringat ayahnya ada di bar itu sekarang. Dengan 

seorang ‘nyonya.’ Nyonya siapa? Mungkinkah nyonya 

ayahnya sendiri? 

Mendadak, dada arwah mpu sindok  penuh sesak... 

 

 

 

Apa mau dikata, ledakan kemarahan arwah mpu sindok  

mendadak terbang ke awang-awang. sesudah  masuk ke bar 

3-V dengan petentang petenteng membuat para pelayan 

berlaku waspada, bertemulah apa yang dicari. Mula-mula 

yang tampak hanya punggung namun ia dapat mengenali 

suara ayahnya, tengah mengatakan sesuatu. Lalu ia melihat 

perempuan itu. 

 

Merasa ada orang memperhatikan dari balik tirai 

manik-manik, si perempuan mengangkat muka. 

arwah mpu sindok  langsung terpana. 

“Amboi, cantiknya!” ia membatin. Kagum.  

Herannya, perempuan itu tidak marah sebab  

diintip. Ia mengawasi arwah mpu sindok  dengan wajah tak berubah. 

Tetap ceria, cemerlang sinar matanya, renyah senyum 

bibirnya sewaktu mendengar ucapan mesra ayah arwah mpu sindok ; 

ia tetap bersikap sama sewaktu menegur si tukang intip. 

 27 

“... mencari siapa, dik?” 

Suaranya, wah! 

arwah mpu sindok  sampai melupakan ibunya yang dalam 

keadaan kritis. Ia hanya ternganga-nganga bengong. Tak 

tahu akan berkata apa. Saat itulah ayahnya berpaling, dan 

tampak sangat terkejut.  

“Eh, Yanto – apa...” 

Barulah arwah mpu sindok  sadar diri. Ia menelan ludah. 

Ditambah satu tarikan nafas panjang. Rugi rasanya saat  ia 

diharuskan berpura-pura tidak melihat si perempuan. 

Terbata-bata ia berkata: “Mama... sakti, papa.” 

“Apa?” ayahnya terlonjak bangkit. 

“Mama di rumah sakit.” 

“Tuhanku!” ayahnya tersentak pucat. “Sakit apa? 

Kapan? Di rumah sakit mana? Mengapa aku tak segera 

diberitahu? Bagaimana keadaannya? Apakah dia – ,“ dan 

sekeranjang lagi ucapan panik terlontar dari mulut ayahnya 

sementara menarik lengan arwah mpu sindok  pergi meninggalkan 

bar dan masuk ke mobil yang masih menunggu di luar. 

sesudah  Raden Wijaya  melarikan kendaraan itu, barulah ayahnya 

menyadari (atau pura-pura lupa, pikir arwah mpu sindok ) bahwa ia 

telah melupakan sesuatu. 

Ia menyuruh Raden Wijaya  menghentikan mobil 

mengambil alih setir, menyuruh Raden Wijaya  keluar dari mobil 

sambil memerintah: “Kembalilah ke bar tadi. Katakan pada 

Tribuana Tunggadewi  aku minta maaf dan isteriku...” Ia membantingkan 

tangan ke setir, menyuruh Raden Wijaya  masuk kembali sambil 

bersungut-sungut: “Biarlah nanti aku sendiri yang 

mengatakan.” 

 28 

Kemudian, mereka ngebut ke rumah sakit. 

Tiba di rumah sakit, ayahnya langsung menyerbu ke 

kamar tempat ibunya dirawat. sesudah  itu konsultasi dengan 

dokter. arwah mpu sindok  tak berani masuk. Ia duduk diam-diam di 

luar. Kalau ia masuk, ia pasti akan berdusta pada ibunya. Kali 

ini, ia tak akan tega. arwah mpu sindok  sering membohongi ibunya 

mengenai harga buku yang ia beli, atau mengenai PR 

kelompok yang katanya harus dikerjakan di rumah teman, 

namun  sebagian waktu itu ia manfaatkan mengajak pacarnya 

pergi ke bioskop. 

Makin sering arwah mpu sindok  berdusta, makin wajar pula 

sikapnya. Polos, seakan tak berdosa. Namun tiap kali ia 

memulai dusta yang baru, ibunya pasti tahu. Nah, kalau ia 

masuk ke kamar tempat ibunya dirawat, pasti muncul 

pertanyaan-pertanyaan.  

“... di kantor?” ia bayangkan ibunya bertanya penuh 

selidik. “Nak, matamu mengatakan kau bertemu papa bukan 

di kantor.” 

 

“Memang bukan,” ia terpaksa harus mengaku. “Papa 

kutemui makan siang di restoran.” 

“Sendirian?” 

“Ya.” 

“Itu bukan kebiasaan papa,” ibunya akan menuduh. 

“Yah – ada temannya juga.” 

“Teman? Siapa?” 

Runyam, kalau ditanya sejauh itu. Bisa habis dia! 

Di luar kamar perawatan, arwah mpu sindok  gelisah alang 

kepalang. Ia duduk, berdiri, duduk lagi, berjalan, dan ingin 

 29 

merokok namun  takut dilihat ayahnya. Ia ingat masih punya 

sebatang di saku celananya. Maka diam-diam ia menyelinap 

cukup jauh dan sesudah  menemukan tempat sepi serta tidak 

ada plakat tanda larangan merokok, isi sakunya dikeluarkan. 

Sesaat  itu juga ia memaki: “Kunyuk sialan!” 

Ternyata rokok sebatang itu sudah patah tiga. Uang 

bekal telah pula habis dipakai tadi untuk bayar ongkos taksi. 

arwah mpu sindok  pening bukan main, dan kembali lagi ke tempat 

semula. Pas muncul NYI girah , kakaknya yang telah 

dijemput Raden Wijaya  dari konservatori. NYI girah  masih 

mengenakan pakaian tari, sehingga meskipun ia menangis, 

penampilannya tampak lucu. Namun arwah mpu sindok  tidak bisa 

tertawa. Malah air matanya ikut keluar waktu mereka 

berpelukan.  

“Mana mama, Yanto?” 

“Di dalam sana. Ranjangnya dekat jendela,” ia 

menjawab, seraya mengingatkan: “Berhentilah menangis. 

Mama belum mati kok...” 

 

sesudah  NYI girah  masuk ke dalam, arwah mpu sindok  

melihat ayahnya keluar dari ruangan dokter. Wajah ayahnya 

tampak murung. Ia gugup saat  melihat arwah mpu sindok . Lantas 

mendatangi. 

“... bagaimana pa?” tanya arwah mpu sindok , sama 

gugupnya. 

“Sore dan malam ini ibumu harus puasa. Operasinya 

besok... kakakmu sudah datang?” 

“Sudah. Ia di dalam dengan mama.” 

“Kalau begitu, kau pulanglah.” 

 30 

“Aku tetap di sini, pa.” 

Ayahnya mencoba tersenyum, seraya menepuk-

nepuk pipi arwah mpu sindok . Lembut. Katanya: “Sementara ini, tak 

ada sesuatu yang dapat kita perbuat untuk ibumu, nak.” 

“Aku akan mendampinginya. Menghiburnya, pa.” 

“Itu tugasku. Kakakmu pun bersama kami. Jadi kau 

pulanglah. Ingat, minggu depan kau harus mengikuti EBTA.” 

“Tapi pa...” 

“Jangan membantah. Pulanglah. Raden Wijaya  akan 

kusuruh menemanimu di rumah. Kalaupun kau kesepian, kau 

boleh memanggil beberapa temanmu untuk nginap...” 

“Boleh aku pamit dulu pada mama?” akhirnya 

arwah mpu sindok  mengalah. 

Ayahnya tersenyum. “Siapa melarangmu?” 

Sambil masuk kamar perawatan, arwah mpu sindok  

berpikir. Kalimat terakhir ayahnya itu sangat 

membingungkan. Apakah ayahnya benar-benar rela, atau 

terpaksa? 

 

Ibunya berbaring di ranjang. Lemah dan pucat. 

namun  sinar kehidupan sudah kembali di matanya. Ia 

tersenyum pada anaknya, berusaha tampak gembira saat  

mengatakan, “Aku baik-baik saja, Yanto,” senang kedua 

pipinya dikecup, sambil menambahkan, “Sebaiknya kau 

pulang saja, anakku.” 

“Kau ambilkan pulalah baju ganti untukku,” 

NYI girah  menimpali. “Suruh Raden Wijaya  mengantarkannya 

kemari.” 

 31 

“Mama tak ingin apa-apa?” tanya arwah mpu sindok  sedih 

sebab  harus berpisah dengan ibunya, walau sementara. 

“Kirimi aku doa, nak.” 

Sambil bermobil ke rumah, arwah mpu sindok  tak henti-

hentinya memanjatkan doa pada Tuhan demi keselamatan 

dan kesehatan ibunya. Di antara doanya, ia sempat 

menyelipkan rintihan hati. “Katakan ya Tuhan, apakah papa 

masih milik kami?” 

sebab  mereka secara kebetulan melewati toko 

bunga, arwah mpu sindok  menyuruh Raden Wijaya  berhenti. Ia kemudian 

memesan satu buket anggrek jingga, mencatatkan nama dan 

alamat tempat ibunya dirawat. Di kartu pengantar ia tulis: 

BUNGA KASIH SAYANG UNTUK MAMA SEORANG. Pada 

pemilik toko ia wanti-wanti: “Antarkan sekarang juga ya?” 

Baru saat  akan membayar, ia lupa tak punya uang. 

Mulanya ia akan meninggalkan arloji sebagai jaminan. namun  

pemilik toko dengan ramah menolak. 

“Boleh bayar besok saja,” katanya. 

 

arwah mpu sindok  sangat berterima kasih. Dan 

mengingatkan Raden Wijaya  agar besok jangan lupa 

memberitahukan kalau ia punya hutang di toko bunga itu. 

Pulang ke rumah, ia segera memilih baju yang kira-kira cukup 

dan cocok dipakai NYI girah  bermalam di rumah sakit. 

Sebelum Raden Wijaya  pergi mengantarkannya, arwah mpu sindok  

mengajak supir mereka itu duduk minum sebentar. 

Agak lama arwah mpu sindok  menimbang-nimbang apakah 

yang ada dalam benaknya patut disampaikan pada orang 

lain; apakah Raden Wijaya  harus ikut dilibatkan. namun  kemudian 

 32 

ia berpikir, persoalan itu terlalu berat untuk ia hadapi 

sendirian. Mana ia harus bersiap-siap menghadapi ujian 

akhir. Wali kelas sudah mengingatkan bahwa arwah mpu sindok  

serta teman-temannya, bahwa mereka harus berprestasi 

tinggi kalau ingin melanjutkan studi ke SMA. Yang anggap 

enteng, atau anggap uang di atas segala-galanya, 

kemungkinan besar terpaksa drop out. 

“Ingat nyonya itu, bang Raden Wijaya ?” 

“Nyonya yang mana?” Raden Wijaya  pura-pura bodoh. 

“Jangan berlagak pilon ah!” 

“Habis?” 

“Yang di Ciputat,” rungut arwah mpu sindok , dongkol. 

“Agaknya kau ingin melindungi papa, ya?” 

“Melindungnya? Aku? Seorang supir?” 

arwah mpu sindok  mulai kesal. “Mau bantu aku tidak?” 

“Dengan senang hati, Yanto,” cepat Raden Wijaya  

menjawab, sambil memandangi minuman di tangannya, 

untuk menutupi kenyataan bahwa ia sesungguhnya tidak 

menyenangi tugas yang dibebankan oleh anak majikannya. 

Tugas itu belum disebut-sebut, namun ia sudah dapat 

menyelami maksudnya. 

“Aku akan mengusulkan agar mama menaikkan gaji 

abang mulai bulan depan,” arwah mpu sindok  membujuk. 

“Yang membayar gajiku, ayahmu,” Raden Wijaya  

mengingatkan. 

“Eh, mau naik gaji tidak?” 

“Yah – siapa pula yang tidak mau?” Raden Wijaya  mencoba 

tertawa. Riang. Dibuat-buat. Sambil terus juga memandangi 

 33 

isi gelasnya, seolah menunggu sesuatu bakal muncul dari 

dalam minuman itu untuk diajaknya berkelahi. 

“Bagus!” ucap arwah mpu sindok  senang. Dengan suara 

sedikit dibuat keren, ia melanjutkan: “Cari tahu siapa 

perempuan itu!” 

“Kok aku.” 

“Itu tugasmu.” 

“Lho. Yang mau jadi polisi ‘kan kau, Yanto.” 

“Hem. Betul juga,” arwah mpu sindok  berpikir-pikir. Lalu: 

“Begini saja. Anggap aku ini Kapten. Dan kau, Sersannya.” 

“Letnan, kalau boleh nawar!” Raden Wijaya  tersenyum 

dikulum. 

“Eh. Belum apa-apa sudah minta naik pangkat,” 

arwah mpu sindok  tertawa. Mendadak ia dirasuki perasaan senang. 

Apa pun yang telah terjadi sepanjang hari itu, pikiran untuk 

menyelidiki siapa gendak ayahnya benar-benar membuat 

arwah mpu sindok  keranjingan. Ia dirangsang melakukan sesuatu. 

Sambil berharap siapa tahu, pekerjaan itu sebagai tantangan 

dalam mencapai cita-citanya kelak di kemudian hari: polisi, 

yang menyamar sebagai gelandangan dan akhirnya berhasil 

membongkar jaringan sindikat narkotik yang 

membahayakan negeri ini. 

“Dapat menemukannya untukku?” tanya 

arwah mpu sindok , sambil melamunkan ia duduk di belakang meja, 

sementara sekian orang anak buahnya siap di depan 

mejanya, menunggu perintah. 

“Menemukan apa?” Raden Wijaya  melongo. 

“Perempuan itu.” 

“Oh.” 

 34 

“Dapat nggak?!” 

 

“Yah. sebab  aku ini pembantu kepercayaan polisi 

tauladan, tentu saja aku dapatkan dia untukmu,” berkata 

begitu, Raden Wijaya  nyengir kuda. Jelas ia mencemooh, namun  

anak majikannya yang sedang dirasuk lamunan selangit, 

tidak memperhatikan. Ingin berpuas diri, Raden Wijaya  malah 

menambahkan: “Kemana nanti ia harus kubawa? Ke hotel? 

Atau langsung ke kamarmu?” 

“Jadah!” arwah mpu sindok  memaki. “Aku tak main-main, 

bang!” 

Raden Wijaya  menenggak habis minumannya. Lalu 

tersedak. “Maaf,” katanya, tersendat. 

“Nah. Pergilah.” 

saat  Raden Wijaya  beranjak ke pintu membawa tas 

pakaian NYI girah , sang anak majikan bertanya: “Perlu 

uang?” 

“Alaa. Bunga saja dihutang,” ledek Raden Wijaya  sambil 

berlalu cepat-cepat kuatir yang diledek, naik pitam. 

sesudah  ia sendirian, arwah mpu sindok  duduk tercenung.  

Tiba-tiba ia dihinggapi perasaan bersalah. Apa haknya 

memata-matai ayahnya? Dan taruhlah perempuan cantik itu 

benar gendak ayahnya. Apakah ia harus melapor pada 

ibunya?  Kemudian, ibu akan meminta tanggung jawab ayah. 

Apakah ayahnya bersedia melepaskan perempuan itu?  

Misalnya bersedia. Beres untuk ibunya. namun  hubungan 

arwah mpu sindok  dengan ayahnya akan retak. 

Andaikata tak bersedia? Gawat: keluarga mereka 

akan pecah berantakan. Ibu dan ayahnya bertengkar, lalu 

 35 

bercerai. arwah mpu sindok  dan NYI girah  kemudian punya ayah 

tiri, punya ibu tiri. Lebih gawat lagi: ibunya putus asa, lantas 

bunuh diri! 

Malam itu, arwah mpu sindok  bagai orang kesurupan. 

Biasanya, paling ia menghabiskan dua batang rokok sehari. 

Malam itu, ia menghabiskan sebelas batang, dan paginya ia 

batuk dan muntah-muntah... 

 

  

 

Hari berikutnya arwah mpu sindok  muncul di rumah sakit 

sekitar pukul sepuluh pagi. Sesaat  itu juga ia kalang kabut. 

Ibunya tidak ada di kamar yang kemarin. NYI girah  tak 

tampak batang hidungnya. Begitu pula ayah mereka. Gugup, 

ia mendatangi suster jaga yang kemudian memberitahu 

bahwa ibu arwah mpu sindok  sudah masuk kamar operasi setengah 

jam sebelumnya. 

“Tahu tempatnya, dik?” suster itu bertanya. 

arwah mpu sindok  menggeleng. “Mari saya antarkan,” ajak suster. 

Di depan kamar operasi, arwah mpu sindok  tidak saja 

melihat kakak serta ayahnya. Ia juga melihat kehadiran tiga 

orang lain yang segera ia kenali sebagai paman serta Oom-

nya dari pihak ayah. Mereka lantas bergegas menyongsong 

arwah mpu sindok , menyalaminya, memeluknya, bahkan 

menangisinya sehingga arwah mpu sindok  semakin kalang kabut. 

 36 

 

“Mama,” ia mengerang ketakutan. 

“Ibumu akan segera baik kembali, nak. Sabar dan 

tenangkan hatimu,” bujuk pamannya. “Kau baru dari sekolah 

ya? Kok cepat pulangnya...?” 

“Tak ada pelajaran, paman. Dan besok kami libur. 

Mana mama? Aku ingin bertemu dengannya.” 

“Nantilah. Kau sudah makan? Ayo, kutemani ke 

kantin. Kau boleh pilih, mau makan apa...” 

“Aku tak lapar. Aku mau mama,” air mata arwah mpu sindok  

berlinang. 

Pamannya menyerah. Ia sendiri sudah tidak dapat 

menahan air mata. Akhirnya ia biarkan anak itu berlari 

mendapatkan kakaknya, dengan siapa arwah mpu sindok  saling 

rangkulan, sesenggukan. NYI girah  menarik adiknya duduk 

di sebuah bangku panjang. Tak jauh dari situ duduk ayah 

mereka dengan bahu turun dan kepala menekur sampai 

dagunya mencapai dada. Ayahnya bagaikan patung, diam tak 

bergerak-gerak, matanya pun hampir tak berkedip.  

“Papa mengapa?” bisik arwah mpu sindok , terbata-bata. 

NYI girah  menyeka air matanya. Menjawab 

terputus-putus: “Rupanya papa – mengalami pukulan batin 

– sangat berat. Sepanjang malam ia tak tidur barang sekejap. 

Tak mau diajak ngobrol. Aku kuatir... papa jatuh sakit pula, 

Yanto.” 

arwah mpu sindok  terkejut mendengarnya. Pasti ada apa-

apa. 

“Mama?” ia mengisak. 

 37 

NYI girah  gemetar. Katanya, serak: “Sebelah ginjal 

mama terpaksa diangkat...” 

 

“Diangkat?” 

Sadar adiknya belum cukup dewasa untuk mengerti, 

NYI girah  menjelaskan: “Diangkat oleh dokter. Lalu 

dibuang!” 

“Segawat itu?” arwah mpu sindok  bergidik. Seram. 

“Yanto. Rupanya selama ini kau kurang 

memperhatikan. Mama suka mengeluh bahwa ia sakit 

pinggang.” 

“namun  kemarin, ia bilang... ia sakit perut.” 

“Untunglah mama mengalami sakit perut. Rupanya 

ia menderita radang ulu hati. Masih bisa disembuhkan. 

Waktu dironsen, baru ketahuan kalau ginjal mama sudah 

busuk sebelah. Andai tak cepat diketahui, ginjal lainnya pasti 

terkena pula...” 

“Mama – tak apa-apa kan?” 

“Mudah-mudahan.” 

“Ia akan tetap hidup ya? Ia akan segera pulang ke 

rumah? Berkumpul dengan kita lagi?” 

“Mari kita do’akan, Yanto.” 

Dan arwah mpu sindok  berdo’a tak putus-putusnya, dengan 

perasaan takut yang aneh menghantui pikirannya. Entah 

mengapa ia dapat merasakan bahwa ia bukan takut 

mengenai ibunya. Ia percaya Ibunya tetap hidup, ibunya 

akan sehat kembali. Apa yang ia takutkan, adalah sesuatu 

yang lain. Sesuatu, yang dapat ia rasakan, namun tak dapat 

ia ketahui maknanya. Entah mengapa pula, secara naluriah ia 

 38 

berpaling melihat ayahnya. Pas saat itu, sang ayah 

memandangnya pula. 

Sinar mata ayahnya, tampak gelap. 

 

*** 

 

Manakala ibunya sadar di kamar perawatan, ucapan 

pertama yang keluar dari bibir kebiru-biruan itu adalah: 

“Mana Yanto?” 

arwah mpu sindok  menggenggam tangan ibunya. “Ini aku, 

mama.” 

Ibunya tersenyum getir. “Oh. Syukur kepada Tuhan. 

Sebelum dibius tadi pagi, aku tak melihatmu anakku.” 

“Aku sekolah, mama.” 

“Bagus. Bagaimana pelajaranmu hari ini?” 

“Nggak ada yang penting, mama. Hanya pengarahan 

dari guru mengenai tata tertib EBTA mendatang. Besok, kami 

mulai libur. Dan minggu depan...” 

“Aku percaya, sepanjang malam tadi kau 

menghapal...” 

“... eh, ya. Aku menghapal sampai larut malam.” 

“Mmmm,” ibunya tersenyum. “Matamu merah. Kau 

tak tidur tadi malam. Kau juga tidak menghapal pelajaranmu. 

Tak apa. sebab  aku mengerti, sepanjang malam kau 

memikirkan mama. Eh – coba ke sinikan tanganmu...” ibunya 

menarik tangan arwah mpu sindok  lebih dekat ke wajahnya. 

Hidungnya membaui sesuatu. “Kau tak mandi tadi pagi ya?” 

“Lupa, mama,” jawab arwah mpu sindok . Malu-malu. 

“Bukan lupa. Malas.” 

 39 

“Ya, mama. Malas.” 

“Sini, mendekat. Ada yang akan mama bisikkan...” 

dan sesudah  arwah mpu sindok  mendekatkan telinga ke bibir ibunya, 

ia jadi bermerah muka. sebab  ibunya berbisik: “Cepat kau 

cuci tanganmu. Jangan sampai papa tahu kau habis 

merokok!” 

arwah mpu sindok  sempat melirikkan ekor mata ke arah 

ayahnya, dan berdenyut sesaat  jantungnya. Untuk tiba-

tiba terdengar rengekan manja kakaknya: “Aku juga ada di 

sini, mama.” 

Senyum ibu merekah melebat. Sesaat berikutnya, 

mengernyitkan dahi menahan sakit. Lalu susah payah 

mencoba lagi tersenyum. Ujarnya: “Kau ini memang selalu 

sirik pada adikmu, Tien.” 

“Aku ingin cium mama. Boleh kan?” dan tanpa 

menunggu persetujuan, NYI girah  lantas sudah 

membungkuk dan menciumi ibunya. Meledaklah tangis di 

kamar perawatan itu. 

arwah mpu sindok  menyingkir diam-diam. Lamat-lamat ia 

dengar ucapan selamat dan semoga sembuh yang ditujukan 

pada ibunya. Ia tidak tahu dan tidak mau tahu siapa-siapa 

saja yang mengucapkannya. Yang ia tahu, ia ingin pergi ke 

kamar kecil dan mencuci bersih tangannya. Sekali cuci, masih 

tercium bau rokok. Dua kali, masih juga.  

Ia mencucinya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Agar lebih 

yakin tak ada lagi sisa bau rokok di tangannya, arwah mpu sindok  

mencari-cari kalau ada sesuatu yang dapat membantu di 

kamar kecil rumah sakit itu. Potongan sabun, pasta gigi, apa 

saja. Sayang, ia tak menemukan apa yang ia butuhkan. 

 40 

Tapi ia tak habis akal. Ia buka celana. Kemudian, 

tangannya dikencingi... 

 

 

*** 

 

 

 

Enam 

 

Awal bulan berikutnya, arwah mpu sindok  berjingkat 

memasuki dapur. Ibunya tengah asyik bekerja, 

mempersiapkan makan siang. Tanpa bersuara arwah mpu sindok  

terus mendekat dari belakang, lantas sekonyong-konyong ia 

raba pundak ibunya. 

Perempuan itu tentu saja kaget alang kepalang. 

“Dedemit! Hantu...!” jeritnya, sambil menjatuhkan katel dari 

tangannya. Katel itu menggelinding dari meja dapur ke 

lantai, terbuntang-banting menimbulkan suara hingarbingar. 

Ibunya lantas membalikkan tubuh yang gemetar. Tampak 

wajahnya pucat lesi. 

NYI girah  yang tengah menyetrika di ruangan lain, 

berlari-larian masuk ke dapur. Sama kaget dan pucatnya. 

“Ada apa?” ia berteriak. 

arwah mpu sindok  jadi kaku sesaat . “Maaf, mama. Aku tak 

bermaksud mengejutkanmu,” katanya, menyesal.  

“Kau telah mengejutkannya!” jerit NYI girah  seraya 

berkacak pinggang. “Kau mamu mama sakit lagi ya?” Lalu 

 41 

tiba-tiba Suprihati teringat sesuatu. Ia mendeliki adiknya, 

berkata pedas: “Kau tak pergi ke sekolah ya? Tak pergi ya?” 

“Aku baru pulang, kak.” 

“Pulang dari mana, he? Main, ya? Main?!” 

“Ya – dari sekolah, dong,” rungut arwah mpu sindok , keki. 

“Lantas?” suara NYI girah  merendah. Tatapan 

matanya pun meredup. Was was. sebab  arwah mpu sindok  diam 

saja, kakaknya semakin penasaran. Ia pegangi tangan 

adiknya, begitu keras sehingga arwah mpu sindok  meringis. “Apakah 

kau... 

Menahan sakit, arwah mpu sindok  mengerang: “Aku lulus, 

kak...” 

“Puji syukur kepada Tuhan,” sesaat  NYI girah  

memeluknya. “Mengapa tak bilang-bilang dari tadi!” lalu pipi 

sang adik habis diciumi. Hal yang sama kemudian diperbuat 

pula oleh ibu mereka, sehingga arwah mpu sindok  terpaksa harus 

meronta-ronta akan melepaskan diri. 

“Nafasku sesak,” rintihnya. “Lepaskan aku.” 

“Bagus tidak nilaimu, dik?”  

“Jelek!” arwah mpu sindok  bersungut-sungut, 

menyembunyikan hatinya yang kembali diliputi sukacita. 

“Aku cuma rangking keenam di sekolah.” 

“Rangking enam? Bukan main!” jerit kakaknya, 

berjingkrak-jingkrak. 

“Alhamdulillah...” gumam ibunya, dengan air mata 

berlinang. “Segera beritahu papa mengenai kabar gembira 

ini...” 

“Aku sudah dengar!” bergaung suara berat dari 

ruang depan. Langkah-langkah panjang terdengar mendekat 

 42 

ke dapur. Sang ayah tahu-tahu sudah berdiri di depan 

mereka. “Aku gelisah saja di kantor. Tak sabar menunggu 

kabar apakah si jagoan selama ini cuma omong besar, atau ia 

benar-benar anak papa. Maka kuputuskan pulang lebih cepat 

dari biasa...” 

Mata ayahnya berseri-seri gembira. “Anak papa,” 

katanya bangga. Namun toh masih sempat mengomel: 

“Mestinya ranking kesatu, nak!” 

Diomeli begitu, arwah mpu sindok  berubah murung, sedang 

ibunya merengut tak senang. Malah arwah mpu sindok  sudah siap-

siap mencerca ayahnya, manakala orang tua itu tertawa 

lebar. 

“Nah. Minta apa sebagai hadiah, Yanto?” ia 

bertanya, lembut. 

Cerah lagi wajah arwah mpu sindok . Kesempatanku tiba 

sekarang, katanya. Lalu takut-takut, ia menjawab: “Sudah 

lama aku ingin melakukan sesuatu, papa...” 

“Melakukan sesuatu. Bukan ingin sesuatu?” ayahnya 

sangat tertarik. “Apa itu?” 

“Papa tak marah?” 

“Asal yang tidak yang bukan-bukan...” 

“Kalau begitu, tak jadi deh,” arwah mpu sindok  merajuk. 

“Oke. Oke. Papa menyerah. Bilanglah.” 

“Benar papa tak marah?” ulang arwah mpu sindok  lagi, 

harap-harap cemas. 

“Ibu dan kakakmu saksiku. Papa tak marah.” 

arwah mpu sindok  tersenyum kecil. Agak gemetar, ia 

merogoh saku celana. Dari dalam saku celananya itu ia 

keluarkan sebatang rokok yang dengan sigap diselipkan di 

 43 

antara kedua bibirnya. Ia busungkan dada, tengadahkan 

dagu, benar-benar bergaya. Rokok di bibirnya hampir 

terlepas waktu ia coba berbicara sejelas mungkin. “Tolong 

dong pa, sulutkan rokok Yanto.” 

Sesaat wajah ayahnya merah padam. Ibunya 

memandang dengan kuatir, sementara NYI girah  

terbungkuk-bungkuk menahan ketawa. sesudah  tegang 

sejenak, sang ayah akhirnya mengeluarkan mancis dari 

sakunya. “Brengsek!” ia menggerutu. 

“Lho. Tadi bilang tak akan marah,” NYI girah  

mengingatkan.  

Barulah ayahnya tersenyum.  

“Jadilah!” ia berkata lalu menyulut rokok di  bibir 

anaknya, yang oleh arwah mpu sindok  segera dihisap dalam-dalam, 

dinikmati benar-benar. saat  tegak lagi memperhatikan 

gaya anaknya yang berlebihan itu, lelaki yang terpojok itu 

akhirnya bergumam ikhlas: “Tahun ini kau sudah duduk di 

SMA. Papa dapat menjamin. Jadi, sebab  kau sudah anak 

SMA, bolehlah merokok sesekali. namun  ingat. Tidak boleh 

lebih dari dua batang sehari.” 

Lalu sang ayah menyingkir dari dapur seraya geleng-

geleng kepala.  

“Kelakuanmu sangat tidak pantas, Yanto,” sang ibu 

mendengus. 

“Lho. Kalau papa boleh, mengapa aku tidak, ma?” 

“Boleh sih boleh. Cuma belum waktunya. Dan papa 

membeli rokok dari hasil jerih payahnya sendiri.” 

“Aku juga merokok dari hasil jerih payahku,” 

arwah mpu sindok  tidak mau kalah. 

 44 

“Oh ya?” 

“Aku disuruh sekolah. Dipaksa harus rajin belajar...” 

arwah mpu sindok  menerangkan, tenang-tenang. “Untuk 

kepatuhanku, maka aku pun diberi uang jajan. Itu juga mata 

pencaharian, bukan?” 

“Wah, ini anak!” NYI girah  tertawa geli.  

Mau tak mau, ibu mereka ikut tersenyum. Namun 

tak lupa mengingatkan: “Awas ya; Papa sudah bilang. Tak 

lebih dari dua batang sehari.” 

“Itu kan usul papa. Mama lain dong. Mama tahu 

selagi di SMP aku sudah mengisap dua batang sehari. sebab  

kelak aku akan naik SMA, jatahku ikut naik juga dong. Lima 

batang, cukuplah...” 

“Dua!” ibunya bersikeras. 

“Lima,” arwah mpu sindok  bersitegang. 

“Tiga...” ibunya menawar. 

“Empat,” arwah mpu sindok  mendesak. 

“Jangan memaksa, nak. Kau mau mama sakit sebab  

memikirkan kenakalanmu?” sang ibu membujuk. 

“Iya deh. Tiga!” arwah mpu sindok  menyerah. 

Dan besok malamnya, mereka undang para tetangga 

dan sanak famili dekat untuk makan malam bersama di 

rumah mereka. Syukuran sebab  arwah mpu sindok  lulus sekolah. 

Dalam acara itu, arwah mpu sindok  membaca ayat-ayat suci Al 

Qur’an. Sementara di kakus, sebab  takut ketahuan 

ayahnya... diam-diam arwah mpu sindok  menikmati rokok ketiga 

dan terakhir yang boleh ia isap hari itu. 

 

 45 

Waktu itulah arwah mpu sindok  teringat bagaimana ia 

terpaksa mengencingi tangannya demi menghilangkan bau 

rokok. Ingatan itu berkembang ke asal muasal ia sampai 

merokok sedemikian banyak. Apa yang sebelum ini telah ia 

lupakan sebab  terus memikirkan EBTA serta ibunya yang 

sakit keras, mendadak tampil lagi ke permukaan. 

Usai syukuran, ia mengajak Raden Wijaya  pergi berdua 

meninggalkan rumah. “Kutraktir abang makan kambing 

guling di Tomang,” ujarnya. 

Nyatanya, sambil menikmati kambing guling 

arwah mpu sindok  langsung saja mengemukakan isi hatinya. “Sudah 

kau temukan Nyonya itu untukku, bang Raden Wijaya ?” 

Raden Wijaya  agak kaget, namun segera menguasai diri.  

“Sudah,” jawabnya. 

“Dan?” 

“Ia sudah pindah. Kata mereka, pindahnya terburu-

buru...” 

“Pindah?” ganti arwah mpu sindok  yang kaget. “Pindah 

kemana?” 

“Penghuni baru rumah itu bilang, Tribuana Tunggadewi  tidak mau 

memberitahu.” 

“Tribuana Tunggadewi ?” arwah mpu sindok  tertarik. “Abang maksud, 

pelayan judes itu?” 

“Aku tak tahu nama pelayan itu. Yang bernama 

Tribuana Tunggadewi , majikannya. Sang Nyonya...” 

‘Oh, oh. Kok jelek amat. Kontra dengan orangnya.” 

“Apalah artinya nama!” Raden Wijaya  berlagak puitis. 

“Yang penting, orangnya.” 

“Ia punya suami?” 

 46 

“Tidak.” 

“Janda, kalau begitu.” 

“Juga tidak.” 

“Gadis?” arwah mpu sindok  membelalak. “Ia masih gadis?” 

“Aku yakin, tidak.” 

“Bagaimana abang yakin?” 

“sebab  aku telah tanya sana tanya sini. Sumber-

sumberku dapat dipercaya, pak Kapten!” Raden Wijaya  senyum-

senyum. 

“Oke, Sersan!” arwah mpu sindok  balas tersenyum. “Apa 

kata sumbermu?” 

“Tribuana Tunggadewi  kelas atas.” 

“Apa?” 

“Kelas atas. Langganannya pilihan. Taripnya sekali 

pakai, di atas seratus ribu...” 

“Maksud abang, dia...” arwah mpu sindok  tak lagi dapat 

menikmati makanannya. Juga tak mampu meneruskan kata-

katanya. 

Raden Wijaya  yang meneruskan: “Tribuana Tunggadewi  itu seorang 

wanita panggilan. Jelasnya, Tribuana Tunggadewi  itu pelacur!” 

arwah mpu sindok  menenggak minumannya. Berucap: 

“Syukur!” 

“Lho. Kok malah bersyukur?” 

Jawab arwah mpu sindok  puas: “Tadinya, kukira ia itu isteri 

muda papaku...” Lantas menambahkan: “Aneh ya. Kok dia 

buru-buru pindah?” 

 

*** 

 

 47 

Tujuh 

 

“Apanya yang aneh?”  

Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan, yang 

diucapkan acuh tak acuh. arwah mpu sindok  berhenti menulis. Diam 

mendengarkan. Rupanya televisi telah dimatikan. Dari 

arlojinya arwah mpu sindok  menyadari malam telah larut. 

“Mama tak pernah menaruh curiga ya?” Ia dengar 

suara NYI girah , kakaknya.  

Lalu suara ibunya lagi menjawab: “Mengapa pula aku 

harus mencurigai ayah kalian, nak?” 

“Coba pikir mama. Dulu, semenjak mama keluar dari 

rumah sakit. Paling cuma lima bulan papa betah bersama 

kita. Sekali sebulan, mengajak kita sekeluarga piknik. Tiap 

akhir pekan, membawa mama jalan-jalan atau mengunjungi 

sanak famili. Selalu pulang kantor pada waktunya untuk 

makan siang di rumah...” NYI girah  menjelaskan panjang 

lebar. Lanjutnya: “Lima bulan cuma. Yah, taruhlah tujuh 

bulan – sebab  dua bulan berikutnya kelakuan papa belum 

kita perhatikan benar. Dan sesudah  itu? Papa kembali dengan 

kebiasaannya yang lama.” 

“Ayahmu seorang kepala bagian di kantornya, nak. Ia 

orang sibuk.” 

“Bagaimana yang lima bulan itu? Kok papa tidak 

sibuk?” 

“sebab  aku belum sembuh benar, nak. Ayahmu 

ingin agar aku betul-betul sudah cukup sehat, sehingga ia...” 

“Mama membuat kesalahan besar!” potong 

NYI girah  pedas. 

 48 

 

“Lho. Kok lantas aku yang disalahkan, NYI girah ?” 

“Mama sih. Kurang taktik!” 

“Kurang taktik bagaimana?” 

“Mestinya mama dapat mempertahankan keadaan 

yang menyenangkan itu. Mempertahankan, agar papa betah 

di rumah.” 

“Caranya?” 

“Mama pura-pura masih sakit.” 

Ibu tertawa berderai. Katanya: “Kau ini macam-

macam saja, nak. Aku ‘kan bukan anak kecil. Lagipula ayahmu 

tak pantas dibohongi. Dan...” 

arwah mpu sindok  tercenung, menatap meja belajarnya. 

Percakapan kakak dan ibunya di ruang tengah, tidak lagi 

menarik perhatiannya. Terngiang ucapan NYI girah  

barusan: pura-pura sakit! Terngiang pula ucapan Handini... 

pacarnya yang kedua sejak duduk di bangku kelas satu SMA: 

“Bawa aku lari. Sehari dua hari, seminggu, kalau perlu 

sebulan. Kemudian kita pulang. Dan berpura-pura, bahwa 

aku telah hamil!” 

Pura-pura hamil! Alangkah nekadnya Handini. 

Rupanya gadis itu tidak tahan, terus dimarahi ayahnya 

semenjak menjalin hubungan cinta dengan arwah mpu sindok . 

Alasan orang tua itu, sebab  puterinya dan arwah mpu sindok  masih 

kelas satu SMA. Belum waktunya menikah. Belum pantas 

memikirkan cinta! namun  menurut apa yang sempat didengar 

Handini dari ibunya, gadis itu sudah dijodohkan dengan 

Sofyan, putera kesayangan Uwa perempuan  Handini. 

Softyan masih melanjutkan studi di Jerman. Tiga tahun 

 49 

mendatang, studi Sofyan diharapkan sudah selesai. Ia akan 

pulang ke Indonesia. Pekerjaan menarik sudah menantinya 

di perusahaan milik keluarga. Handini pun diharapkan sudah 

tamat SMA, dan sudah pantas untuk dikawinkan. 

Handini belum pernah bertemu muka dengan 

Sofyan. namun  pemuda itu sering berkirim fotonya, juga 

bingkisan hadiah-hadiah menarik dari Jerman. “Aku sedikit 

pun tidak tertarik pada Sofyan,” kata Handini. “Aku hanya 

mencintai kau seorang, Yanto... Apa pun akan kukorbankan, 

demi cintaku padamu.” 

Handini tidak begitu cantik. namun  ia punya dada 

besar, punya pinggul besar – tipe kegemaran arwah mpu sindok . Ia 

juga bukan sekedar omong di mulut. Pernah mereka berdua 

piknik ke Pelabuhan Ratu. saat  hari sudah sore, Handini 

enggan pulang ke Jakarta. Gadis itu mengajak arwah mpu sindok  

nginap satu malam di hotel. “Aku yang bayar. Uangku 

banyak,” kata gadis itu bersemangat. 

Mereka kemudian mendaftar di sebuah hotel. 

Handini minta satu kamar untuk mereka berdua. Penerima 

tamu memandangi mereka sebentar, lalu berbisik-bisik 

dengan seorang temannya. Orang kedua itu mendatangi 

arwah mpu sindok , menanyakan apakah mereka punya KTP. Tentu 

saja mereka tidak punya. Petugas itu kemudian memandangi 

pakaian yang dikenakan arwah mpu sindok ; astaga, ia masih 

mengenakan seragam sekolah. Habis, tak ada rencana 

tadinya untuk piknik, apalagi nginap. Ajakan Handini begitu 

mendadak. Anehnya, dalam tas sekolah Handini tersedia 

pakaian ganti. Rupanya sudah ada rencana sebelumnya. 

 50 

“Dik...” kata petugas hotel itu, sopan. “Pulanglah. 

Dan jangan biasakan bolos dari sekolah.” 

arwah mpu sindok  malu sekali.  

Ia langsung menarik Handini pergi, memaksa gadis 

itu pulang saja ke Jakarta. Mulanya Handini menolak. Kita ke 

hotel lain saja, katanya marah. Gadis itu malah menuduh 

arwah mpu sindok  pengecut, mau diperhinakan oleh pelayan hotel. 

arwah mpu sindok  pun ikut-ikutan marah mendengar ucapan 

Handini. Baru sesudah  menyadari arwah mpu sindok  juga marah, 

Handini minta maaf dan bersedia pulang ke Jakarta. Air 

matanya bahkan berlinang. Hukumlah aku sebab  aku salah, 

kata gadis itu terisak-isak. arwah mpu sindok  tersenyum. Air mata 

gadis itu sesaat  mencairkan amarahnya. 

Orang tua Handini lah yang marah bukan main. 

Menyangka Handini sakit, teman sebangku gadis itu 

berkunjung ke rumah Handini sepulang sekolah. 

Ketahuanlah bahwa Handini bolos. Lebih parah lagi, Handini 

baru pulang lewat pukul sepuluh malam. Gadis itu kena 

tampar dan arwah mpu sindok  diusir. 

“Enyah! Sekali tampangmu kulihat lagi di rumahku, 

kepalamu kubikin perkedel!” maki ayah Handini, naik pitam. 

Untunglah arwah mpu sindok  sabar. Ia sadar ia telah 

bersalah. sebab  dia, Handini kena tampar. Ia merasa iba 

pada pacarnya itu, dan berjanji dalam hati akan meminta 

maaf pada Handini dan lain kali akan menjaga agar gadisnya 

itu tidak ditampar ayahnya lagi. 

Sial, niatnya itu tidak pernah kesampaian. Sejak hari 

itu Handini tidak diperkenankan masuk sekolah oleh orang 

tuanya. Suatu hari, teman sebangku Handini memberitahu 

 51 

bahwa gadis itu akan dikirimkan orang tuanya ke Padang, 

meneruskan sekolah di sana di bawah pengawasan 

neneknya. Hastuti, teman sebangku Handini itu menyatakan 

sebenarnya dia yang bersalah; tidak tanya-tanya dulu 

sebelum bertindak sehingga Handini dihukum keluarganya. 

Ia telah berkunjung lagi ke rumah Handini. Kebetulan ayah 

Handini tidak di rumah dan Hastuti dititipi surat untuk 

diteruskan pada arwah mpu sindok .  

“... aku tak sudi ditransmigrasi ke Padang,” begitu 

antara lain isi surat Handini. “Kau pun tak akan 

membiarkannya, bukan? Aku cinta padamu, Yanto. Tanpa 

kau, hidup ini bagaikan terminal tanpa bis. Bagaikan bis 

tanpa penumpang. Kosong melompong. Lama-lama, 

karatan. Aku tak mau karatan, Yanto. Lebih baik aku bunuh 

diri ketimbang jadi bis reot terdampar di sebuah terminal 

tua. Jawablah suratku ini, Yanto, kalau tidak aku benar-benar 

akan gantung diri.” 

Lewat Hastuti, surat itu dijawab arwah mpu sindok . Ia 

mengakui terus terang: “Apa yang harus kuperbuat, Dini?” 

Tiga hari kemudian, datang balasannya. Surat 

Handini itu diantarkan oleh salah seorang pembantu rumah 

tangga si gadis. arwah mpu sindok  tersentak membaca isi surat 

Handini: “Kita harus minggat. Bawa aku lari...” dan 

seterusnya. 

 

 

*** 

 

 52 

“Sudah kau periksa pintu dan jendela, NYI girah ?” 

terdengar suara ibunya yang tengah berbenah di ruang 

tengah. 

“Aman, mama.” 

“Nah, mari kita tidur. Mama sudah ngantuk.” 

“Lho, tidak menunggu papa pulang?” 

“Astaga, apakah aku lupa memberitahu kalian? 

Ayahmu lusa baru pulang. Ia ke Palembang. Mewakili 

pimpinan untuk menghadiri rapat di kantor cabang...” 

“Rapat, mama?” 

“Eh! Apa pula maksud ucapanmu yang sinis itu, 

NYI girah ?” 

“Nggak kok ma...” jawab NYI girah , terkejut 

mendengar hardikan ibunya. 

saat  menuju kamar tidurnya, NYI girah  melewati 

kamar arwah mpu sindok . Terdengar ia menggerutu panjang-

pendek: “Rapat! Rapat! Hem... paling juga ngendon di rumah 

bini muda!” 

“Tien?” 

Langkah NYI girah  tertegun di depan pintu kamar 

arwah mpu sindok . “Ya, mama?” 

“Coba lihat adikmu. Kalau tidur ia suka buka baju. 

Selimuti dia baik-baik...” 

arwah mpu sindok  terperanjat. Reflek ia melirik ke pintu 

kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit. Cepat-cepat ia 

padamkan lampu, dan bersijingkat ke tempat tidur. 

NYI girah  masuk ke kamarnya. Berbisik pelan: “Sudah tidur, 

anak nakal?” 

arwah mpu sindok  balas berbisik: “Sudah...” 

 53 

NYI girah  tertawa kecil. “Lagi mikirin pacar ya?” ia 

balik bertanya. 

“Nggak!” 

“Bohong...” 

“Perduli!” 

“Pasti barusan kau sedang menulis surat pada 

pacarmu!” 

“Nggak!” 

“Hem. Coba, kuhidupkan lampu...” NYI girah  

mengancam. 

“Iya deh. Iya deh. Nulis surat!” cepat arwah mpu sindok  

mencegah. “Jangan baca, kak.” 

“Tak boleh?” 

“Tidak.” 

“Kalau aku memaksa?” 

arwah mpu sindok  berpikir sejenak. Lalu katanya: “Kukasih 

tahu papa, kalau kakak masih suka nyelundup ke rumah bang 

Parlaungan!” 

NYI girah  terdiam. Lalu menarik nafas panjang. 

Terus berjalan keluar, menutup pintu, dan menghilang ke 

kamar tidurnya sendiri. Dalam kegelapan kamar, arwah mpu sindok  

tiba-tiba menyesal. Tak semestinya ia menyakiti hati 

kakaknya. Tentunya NYI girah  saat ini menangis terisak-

isak. Hatinya perih, teringat ancaman ayah mereka agar 

NYI girah  memutuskan segera hubungannya dengan 

Parlaungan, apabila NYI girah  masih ingin dianggap anak 

papa. 

Hei, bukankah itu juga yang kini harus diderita 

Handini 

 54 

Ia teringat lagi surat gadis itu. Handini bilang, lusa ia 

harus sudah naik pesawat ke Padang. Handini katanya 

hampir gila memikirkan kekejaman ayahnya. Dalam suratnya 

itu Handini menulis rencana yang katanya sudah dipikirkan 

matang-matang. Besok, pagi-pagi benar Handini pura-pura 

sibuk membantu ibunya masak di dapur. Lebih dulu ia telah 

menumpahkan ke kloset semua garam yang ada. Biasanya 

Handini yang disuruh ibunya pergi ke warung membeli 

persediaan dapur. Kesempatan itu akan dipergunakan 

Handini untuk kabur. 

“Kutunggu kau di terminal bis Rawamangun,” tulis 

Handini. “Pukul tujuh, persis di depan jongko sop kaki 

kambing pak Jenggot, langganan kita itu. Tolonglah 

kekasihmu yang malang ini, Yanto. Kalau pukul tujuh pagi kau 

tak muncul, aku akan lari menyongsong bis pertama yang 

memasuki termina. Aku takut mati, Yanto-ku. namun  lebih 

baik mati daripada harus berpisah dengan engkau...” 

Lamunan arwah mpu sindok  terus menerawang. Sesuai 

dengan rencana Handini, dari terminal Rawamangun mereka 

akan kabur keluar kota. Mungkin ke Plered, Purwakarta. Di 

sana ada seorang bibi Handini yang pasti bersedia menolong. 

Mereka dapat juga mengambil bis jurusan Banjar, dari sana 

terus ke Pangandaran, kalau perlu ke Cilacap sehingga 

mereka akan sulit ditemukan. Bila dicari, mereka lari, 

sembunyi, lari, sembunyi lagi. Benar-benar sebuah 

petualangan menarik. Rencana Handini itu tampak 

sederhana, masuk akal, juga tak sulit melaksanakannya. 

Tidak sulit? Tidak, kalau yang mencari hanya 

keluarga Handini saja. namun  bagaimana kalau mereka lantas 

 55 

melapor pada polisi? Dilaporkan, Handini minggat. 

Dilaporkan, sesudah  diselidiki, Handini ternyata dilarikan oleh 

arwah mpu sindok . Bunyi laporannya pasti hebat: Handini diculik! 

Polisi akan mengerahkan anggota-anggota terlatih dan 

terpercaya untuk mencari, menemukan, menangkap 

mereka. Teringat kenangan berkesan dulu di bar Vini-Vidi-

Vici itu, arwah mpu sindok  percaya polisi akhirnya toh akan 

menemukan mereka juga. Siapa tahu, seorang pengrajin 

keramik di Plered selagi menawarkan kendi, tahu-tahu 

mengeluarkan sepucuk pistol. Atau seorang tukang perahu 

di perkampungan nelayan Cilacap, mendadak punya borgol... 

Astaga! Ia arwah mpu sindok  bin Bambang Prakoso, seorang 

calon polisi, ditangkap polisi. 

Tidak. Hal itu tidak boleh sampai terjadi. arwah mpu sindok  

menggeliat di ranjangnya. Gelisah. 

 

 

*** 

 

 

Delapan 

 

LIMA menit kurang pukul tujuh pagi, arwah mpu sindok  

melangkah dengan hati waswas ke jongko Pak Jenggot di 

sudut terminal Rawamangun. Ternyata Handini sudah tiba 

lebih dulu. Dari jauh tampak gadis itu berlari-lari 

menyongsong. Wajahnya pucat, matanya ketakutan, 

senyumnya menyedihkan. Dua langkah sebelum lengannya 

yang terkembang siap memeluk sang kekasih pujaan, 

 56 

Handini tertegun. Lengannya lunglai di sisi tubuhnya yang 

seronok bentuknya itu. 

Kata-katanya bernada kuatir: “Tak bawa tas?” 

arwah mpu sindok  berusaha keras agar tetap dapat tenang. 

“Cukuplah pakaian yang melekat di badan saja,” jawabnya. 

Air mata Handini melelehi pipi. Ia sangat kecewa. 

Terbukti dari tuduhannya: “Kau tak mau pergi denganku!” 

arwah mpu sindok  memegang tangan gadis itu. “Mana 

tasmu?” ia sendiri mulai ketakutan. Takut gadis itu saking 

kecewa lantas menjerit-jerit, lari menghambur ke bis-bis 

besar yang memasuki terminal tanpa mengurangi 

kecepatan. namun  gadis itu terlalu kecewa, terlalu lemah 

untuk memberontak. Ia hanya mampu menggerakkan dagu 

ke arah jongko. Tanpa melepaskan Handini dari cekalan 

tangannya, arwah mpu sindok  mengambil tas gadis itu. Tak ada 

tanda-tanda Handini baru makan atau minum, jadi tak ada 

yang perlu dibayar. Sambil manggut pada si empunya jongko, 

arwah mpu sindok  kemudian menyeret kekasihnya keluar dari 

terminal. “Tak baik kita bicara di sini. Siapa tahu ada yang 

melihat...” ujarnya. 

Ia merasakan ketegangan lengan Handini dalam 

pegangannya. Juga betapa tegangnya suara gadis itu. “Kau 

tak cinta lagi padaku. Kau lebih cinta Fitri...!” 

“Fitri masih anak-anak. Mata duitan lagi. Untuk kau, 

ia telah kulepaskan bukan?” 

“Lalu, mengapa...” 

sesudah  mencari-cari, akhirnya arwah mpu sindok  melihat 

sebuah warung es tak jauh dari pintu masuk terminal. Tak 

ada yang minum es sepagi itu. Sepi di dalam, tertutup lagi. 

 57 

arwah mpu sindok  menarik gadisnya masuk dan kepada pemilik 

warung yang baru saja siap-siap menyusun bakal 

dagangannya, arwah mpu sindok  minta dibuatkan segelas kopi 

untuknya dan coklat susu untuk Handini. Pemilik warung 

terheran-heran sebentar, lalu kemudian pergi ke warung 

kopi di sebelahnya untuk mengambil pesanan arwah mpu sindok . 

“Kau tak mau pergi!” sekujur tubuh Handini 

bergetar. Wajahnya semakin pucat saja. 

“Aku tak bilang aku tak mau pergi.” 

“Lantas, mengapa...” 

“Kita harus berpikir tenang, Dini. Bukan dengan cara 

begini kita meruntuhkan benteng pertahanan keluargamu. 

Masih ada...” 

“Dalih!” Handini mulai terisak. 

“Janganlah menangis. Malu dilihat orang.” 

“Kau tak cinta lagi padaku, Yanto.” 

“Aku cinta.” 

“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Janganlah sikap 

ayahku kau buat alasan...” 

“He, pernahkah aku cerita padamu, bahwa kelak aku 

ingin jadi polisi?” tanya arwah mpu sindok  sambil tersenyum. sebab  

Handini tidak menyahut, malah isaknya makin jadi, 

arwah mpu sindok  meneruskan sendiri: “Kalau aku ingin jadi polisi, 

Dini, catatan riwayat hidupku kelak harus bersih. Dan...” 

Pemilik warung masuk membawa pesanan tamunya. 

namun  bukan itu yang menyebabkan arwah mpu sindok  

menghentikan pembicaraannya. Lewat pintu masuk warung, 

ia melihat sebuah mobil yang akan memasuki terminal, 

 58 

berhenti sebentar sebab  terhalang oleh sebuah bis di 

depannya. Mobil itu disupiri oleh ayahnya! 

arwah mpu sindok  merungkut di tempatnya duduk. Ia 

merendahkan kepala, takut terlihat. Kepalanya baru 

diangkat sesudah  mobil itu masuk ke dalam terminal lalu 

berhenti di pelataran parkir khusus pegawai. arwah mpu sindok  

mendongakkan kepala, mengintip lewat tabir atas jongko 

dan melihat seorang perempuan kurus berkebaya turun dari 

mobil. Rasanya arwah mpu sindok  agak ingat-ingat lupa siapa 

perempuan tua itu. Namun ia tak akan pernah melupakan 

perempuan lain, yang menyusul turun lalu berjalan dengan 

langkah gemulai mengiringi si perempuan berkebaya menuju 

sebuah bis antar kota. Ia segera mengenali perempuan yang 

begitu turun dari mobil begitu jadi pusat perhatian orang-

orang di sekitar tempat ia lewat. Betapa tidak. Sudah 

berwajah cantik, tubuhnya pun berbalut blus ketat sehingga 

payudaranya semakin menggembung padat. Jin-nya juga 

ketat, memperlihatkan pinggul yang padat berisi dengan 

goyangannya yang teramat aduhai. 

Demikian kuat daya tarik perempuan itu sehingga 

arwah mpu sindok  segera melupakan Handini. Tanpa sadar ia 

bangkit dan menyelinap ke luar dari warung. sesudah  itu 

menyelinap pula di antara kerumunan orang yang keluar 

masuk terminal, sambil berusaha sejauh mungkin terlindung 

dari pandangan ayahnya yang duduk menanti dalam mobil. 

Sungguh kebetulan, ayahnya sambil menunggu lantas 

membuka surat kabar. Terlindung oleh sebuah mikrolet, 

arwah mpu sindok  dapat melihat perempuan cantik itu lebih dekat. 

Sekarang arwah mpu sindok  benar-benar yakin. 

 59 

Tak syak lagi. Perempuan itu adalah Tribuana Tunggadewi , yang oleh 

Raden Wijaya  disebutkan ‘bertarif seratus ribu rupiah sekali pakai,’ 

seorang pelacur yang tidak sembarangan memilih 

langganan. Itu untuk ‘sekali pakai’. Kalau ‘all-night’ tarifnya 

bisa lipat ganda dua tiga kali lipat. Melihat penampilan 

perempuan itu sedekat sekarang, sempat pula terlintas 

dalam benak kelelakian arwah mpu sindok : “Andai aku punya uang, 

setengah juga pun aku berani!” 

Sebelum perempuan berkebaya yang ternyata 

pelayannya naik ke dalam bis, Tribuana Tunggadewi  terdengar berpesan: 

“Jangan berlama-lama di Tasik bi Ijah. Aku bisa sakit perut 

kalau harus masak sendiri.” 

“Cuma menjenguk orang sakit kok, Non,” jawab si 

pelayan. 

“Cepat kembali ya?” 

“Saya, Non,” lalu perempuan itu naik ke dalam bis. 

Sebentar Tribuana Tunggadewi  memperhatikan. Kelihatannya kuatir 

pelayannya tidak mendapatkan tempat duduk yang enak, 

baru sesudah  itu melambai dan kembali ke mobil yang masih 

menunggu; kembali pula jadi pusat perhatian, bahkan ada 

yang bersuit-suit nakal. 

Mobil itu kemudian meluncur menuju pintu keluar. 

“arwah mpu sindok  tidak berpikir panjang lagi. Ia kembali 

menyelinap dari belakang, naik ke sebuah taksi yang 

kebetulan kosong. Pada supirnya, arwah mpu sindok  berkata gugup.  

“Ikuti Volvo merah hati yang di depan itu, bang. 

Jangan terlalu dekat...” 

Haa! Dia benar-benar jadi polisi sekarang. Ia akan 

menguntit ayahnya, membuktikan bahwa kecurigaannya 

 60 

selama ini benar yakin, ayahnya berbini muda. Raden Wijaya  jelas 

keliru mengatakan perempuan itu seorang pelacur. sebab  

untuk seorang pelacur, ayahnya tidak perlu memberi dalih 

pada ibunya bahwa ia harus pergi beberapa hari ke 

Palembang. Ya, ya, Raden Wijaya  pasti keliru. namun  arwah mpu sindok  

dapat mengerti. Bukankah Raden Wijaya  hanya Sersan-nya, sedang 

ia sendiri adalah Kaptennya? Seorang Kapten, harus lebih 

tahu, lebih efektif ketimbang anak buahnya. Dan ia akan 

membuktikannya sekarang juga... 

Ia bayangkan mobil yang dikuntitnya masuk ke 

sebuah rumah entah di mana. Ia kemudian akan menelepon 

ke rumahnya sendiri, meminta ibunya datang secepat ibunya 

bisa, tak peduli ibu sedang berak. Ayahnya akan mati kutu. 

Ayahnya tak akan lagi melarang NYI girah  pacaran dengan 

Parlaungan. Ayahnya juga tak akan lagi berani ngomong 

padanya, begini: “Buang kebiasaanmu gonta-ganti pacar, 

Yanto. Selain berbahaya, itu juga bukan perbuatan laki-laki 

terhormat.” 

Supir taksi yang dinaiki arwah mpu sindok , sudah berumur. 

namun  hal itu tak perlu dikuatirkan. sebab  mobil yang 

mereka kuntit lajunya pun santai-santai saja. Ayahnya 

memang bukan tukang ngebut, lagi pula jalan yang mereka 

lalui lumayan macet. Supir taksi kebetulan pula 


Popular 2

 



tak banyak 

bicara. Agaknya usia tua membuatnya berpikir, diam itu 

emas. Jadi arwah mpu sindok  dapat berpikir lebih leluasa. Misalnya, 

haruskah yang ia telepon ibunya? Bukankah sudah cukup 

NYI girah  saja yang ia suruh datang sebagai saksi? Lalu, 

perlukah ibu mereka diberitahu kelakuan ayah? Padahal 

dokter sudah wanti-wanti: kesehatan ibumu memang sudah 

 61 

pulih, namun  ia tak boleh bekerja berat, tak boleh berpikir 

terlalu berat, ia harus dijauhkan dari hal-hal yang dapat 

menyebabkannya jatuh sakit kembali, malah dapat berakibat 

fatal... 

Hem, mama tak usah tahu, pikir arwah mpu sindok . Kakak 

juga. Perempuan mulutnya sukar dipercaya, apalagi kalau 

punya sifat suka bergunjing. Apakah NYI girah  suka 

bergunjing? Ah, tak usahlah memikirkan hal itu. Pikirkan saja 

apa yang kau hadapi sekarang. Pergoki papa, suruh ia 

menceraikan bini mudanya, berjanjilah akan tetap pegang 

rahasia; dan apa pun yang kau minta, akan selalu dikabulkan 

papa! Dugaan arwah mpu sindok  ternyata meleset. 

saat  mobil itu berhenti untuk pertama kali, 

berhentinya bukan di rumah isteri muda ayahnya. 

Melainkan, di depan kantor ayahnya. Sesuai dengan 

kebiasaan yang ia baca dalam buku atau yang ia saksikan di 

bioskop, maka arwah mpu sindok  menyuruh taksi terus saja lewat. 

Agak jauh di depan baru berhenti. arwah mpu sindok  lalu mengintip 

hati-hati lewat kaca belakang taksi. Ia lihat ayahnya baru saja 

turun sambil menenteng tas kerja kemudian menghilang di 

pintu masuk kantor. 

Volvo merah hati itu tidak menunggu. Volvo itu 

meneruskan perjalanan. Kini yang duduk di belakang setir 

adalah Tribuana Tunggadewi  sendiri. Perempuan itu melewati taksi mereka 

tanpa curiga. Sesaat sebelum Volvo itu lewat, arwah mpu sindok  

membenamkan diri dalam-dalam di jok belakang taksi. 

Kemudian menyuruh supir kembali mengikuti Volvo. Supir 

menurut patuh. Tak omong sepatah kata pun, benar-benar 

ingin lepas tangan kalau terjadi apa-apa. Sekarang, kita 

 62 

menuju rumah bini muda papa, pikir arwah mpu sindok  bangga. 

sesudah  itu...Meleset lagi. 

Volvo merah hati itu ternyata membelok masuk 

halaman sebuah hotel berbintang empat di kawasan Jakarta 

Pusat. Kembali arwah mpu sindok  memerintah supir menjalankan 

mobil sepelan mungkin, lalu berhenti menjelang gerbang 

masuk halaman hotel tadi. Ia lihat Tribuana Tunggadewi  keluar dari dalam 

Volvo. Tempatnya digantikan pelayan hotel yang kemudian 

membawa Volvo itu ke pelataran parkir sebelah dalam. 

Tribuana Tunggadewi  menghilang di balik pintu lobby. Jadi sejak kemarin 

papa menginap di hotel ini, masih di Jakarta, bukan di 

Palembang... dengus arwah mpu sindok  murung sebab  ingat pada 

ibunya yang malang. 

Ia segera turun dari taksi. Sebelumnya, ia memang 

membawa semua uang sakunya sebab  mungkin saja 

Handini memaksanya ikut minggat. Ia lalu membayar sewa 

taksi secukupnya, tak lupa menambahkan dengan penuh 

aksi. “Kembaliannya untuk abang!” saat itu pun ia 

berpakaian yang terbaik. Tadinya memang siap kalau harus 

bepergian. Petugas hotel di depan pintu lobby mengawasi 

arwah mpu sindok . Seperti dalam buku, arwah mpu sindok  melempar 

senyum kaku pada petugas itu. Seperti dalam film, ia 

memasuki lobby seraya bersenandung kecil, seakan ia 

memang tamu hotel dimaksud. 

Tampak Tribuana Tunggadewi  baru saja mengobrol dengan petugas 

desk. Kemudian menyelinap ke dalam lift. Dari tempatnya, 

arwah mpu sindok  tak mungkin mengawasi lampu-lampu lift untuk 

mengetahui di lantai ke berapa wanita itu turun. Sejenak ia 

berpikir, lalu memutuskan berjalan menyeberangi lobby, 

 63 

langsung menuju desk. Jantungnya berdebur kencang, 

sebab  ia belum tahu bagaimana caranya ia melacak kamar 

tempat perempuan itu menginap, dan apa yang akan ia 

lakukan sesudah  itu. 

namun  arwah mpu sindok  diam-diam memang sudah 

menyimpan bakat yang diperlukan oleh seorang polis. Ia 

menggangguk pada gadis petugas desk, seorang gadis manis 

dengan tatap mata agak sedikit nakal. Melihat pemuda 

perlente lagi tampan mendekat, gadis itu langsung 

menyambut dengan senyuman berbunga.  

“Dapat saya bantu, bung?” sapanya. Enak juga tutur 

katanya. Harum bener parfumnya. Jantung arwah mpu sindok  

berdetak. 

Ia tak boleh ragu-ragu, kalau tak ingin ketahuan. 

Maka ia menjawab tuntas: “Saya harus menemui kakak saya. 

Segera.” 

“Namanya?” sambil petugas yang manis itu menarik 

buku tamu di hadapannya. 

“Tribuana Tunggadewi .” 

Perempuan itu meneliti buku tamu dengan seksama. 

Ada kerutan di dahinya, pertanda ia tidak menemukan apa 

yang dicari. Sebelum gadis itu mengatakan sesuatu, 

arwah mpu sindok  sudah mendahului: “Kakak saya memang bukan 

tamu terdaftar. Ia bilang, ia harus menemui seseorang di 

hotel ini. Bisnis...” Gadis itu mulai curiga tampaknya. 

arwah mpu sindok  menambahkan segera: “Ia barusan kulihat masuk 

lift. Tadi, yang sempat ngobrol dengan nona. Blus hijau tua, 

celana jin coklat tanah...” 

*** 

 64 

Sembilan 

 

Kelopak mata gadis petugas desk itu mengerjap. 

Sesaat  matanya bersinar. Mulutnya pun bergumam. “Oh, 

dia...” sambil kembali ia mengawasi pemuda di seberang 

mejanya.  

“Jadi dewa penulis  itu kakakmu ya? Pantas...” 

“Pantas apanya?” arwah mpu sindok  tersedak. 

“Kakaknya cantik. Adiknya cakep,” gadis itu 

tersenyum. 

arwah mpu sindok  mau tak mau ikut tersenyum pula. 

Hidungnya mengembang. Namun tidak sampai lupa diri. Ia 

melihat kesempatan terbuka untuk mengetahui lebih banyak 

mengenai perempuan ‘buronan’ nya. Lantas dengan lagak 

sedikit angkuh, ia mendengus: “Jadi kakakku dewa penulis  di 

hotel ini ya?” 

“Bukan di hotel ini saja,” sahut si gadis, gembira 

dapat mengetahui suatu rahasia besar. Bagaikan seorang 

penggemar yang beruntung banyak tahu mengenai bintang 

pujaan semua orang, ia pun lantas bercerita bahwa Tribuana Tunggadewi  

juga adalah dewa penulis -nya hotel anu, anu dan anu – sambil 

ia sebut nama beberapa hotel terkemuka. Caranya bercerita 

membuat arwah mpu sindok  membayangkan bahwa ‘kakak’ nya itu 

bintangnya dunia ‘kelas atas’ se-Jakarta. Langganan 

‘kakak’nya sangat pilihan: pengusaha-pengusaha kelas 

kakap, pejabat-pejabat penting, tamu-tamu asing dari 

kalangan diplomat. Dibayar tidak saja dengan mata uang 

rupiah, namun  juga mata uang asing, seringkali dalam bentuk 

cheque. 

 65 

“... kami tahu hal itu,” celoteh si gadis gembira. 

“sebab  beberapa kali kakakmu nginap di sini. Ia suka 

memberi pelayan tip uang dollar. Aku sendiri pernah 

dipanggil ke kamarnya untuk sesuatu urusan. Kemudian aku 

dimintai tolong menukarkan selembar cheque, mungkin 

baru ia terima dari tamunya. Nilai cheque itu setengah juta 

rupiah. sesudah  kutukarkan, tahu berapa imbalan yang 

kuperoleh? Sepuluh persen, bung! Lima puluh ribu rupiah, 

hanya untuk menukarkan cheque itu ke kasir...” 

“Bukan main!” arwah mpu sindok  membelalak, namun  

kemudian sadar “siapa” dirinya, dan segera meralat 

kecerobohannya dengan kalimat: “Yah kakak orangnya 

memang royal...” 

“namun  ia juga tidak sembarang memberi. 

Tergantung...” gadis itu tidak melanjutkan celotehnya. Tiga 

orang tamu hotel – kelihatannya orang-orang Jepang, datang 

mendekat ke meja desk. Si gadis melayani mereka dengan 

gerak bermalas-malasan. sesudah  ketiga tamunya berlalu, ia 

bersungut-sungut: “Mahluk-mahluk kikir. Mereka itu, 

bung...” lagi-lagi celotehnya terputus. saat  ia menoleh, 

teman bicaranya sudah menghilang. 

 

*** 

 

Keluar dari hotel, arwah mpu sindok  tidak tahu mau berbuat 

apa. Terus ke sekolah tak mungkin. Ia tak bawa buku, juga 

tidak memakai seragam. Barulah ia teringat pada Handini. 

Buru-buru ia memanggil taksi, pergi ke Rawamangun. Setiap 

sudut terminal ia awasi, telinganya pun mendengar-

 66 

dengarkan kalau-kalau sebelumnya ada bis menabrak 

seorang gadis, atau gadis itu yang nekad menabrak bis. Sia-

sia pula matanya menjilati landasan terminal. Tak ada bekas 

genangan darah. Yang ada cuma debu, kotoran sampah, 

bocoran air karburator, serta gumpalan asap knalpot bis-bis 

yang menyesakkan nafas. Akhirnya ia pulang ke rumah. 

Ibunya tampak lega, menyambut dengan ucapan 

cemas. “Dari mana kau, nak? Pagi-pagi, sudah menghilang...” 

“Mengantar teman, ma,” sahutnya malas. Ia 

memang mengantarkan Handini. namun  ke mana? Apakah 

gadis itu terus minggat, atau pulang kembali ke rumah orang 

tuanya? Ia terus ke dapur, membuat segelas kopi. Di pintu 

dapur ia berpapasan dengan kakaknya. 

“Lho. Bolos?” NYI girah  mendelik. 

“Libur sendiri!” jawab arwah mpu sindok  seenaknya. 

NYI girah  mengomel panjang-pendek, namun  arwah mpu sindok  

acuh tak acuh saja. sesudah  membuatkan kopi, ia menyelinap 

masuk ke kamarnya. Ranjang tidur di kamarnya 

mengingatkan ia pada Tribuana Tunggadewi , sang dewa penulis . Tentunya 

perempuan itu kini tengah ‘menggoyang’ salah seorang laki-

laki langganannya. Selain cantik rupawan, ‘goyang’ Tribuana Tunggadewi  

pasti selangit. Kalau tidak, tak akan ayahnya tergila-gila, terus 

mengejar si perempuan, sambil di rumah terus mendustai 

keluarga. Berapa banyak sudah yang dihabiskan ayahnya 

untuk ditemani tidur oleh Tribuana Tunggadewi ? Pasti jumlahnya sudah 

jutaan rupiah, hanya untuk ‘digoyang’ saja. Sedang untuk 

arwah mpu sindok , ayahnya hanya memberi nasihat: “Biasakan 

untuk hidup prihatin!” Pernah ia ingin membeli sepatu 

 67 

Adidas. Apa jawab ayahnya: “Bata juga bagus, Yanto!” 

Rokok? Satu hari, cukup dua batang! 

Bunyi dering bel mengejutkannya. 

Lewat pintu kamarnya yang terbuka, ia lihat 

kakaknya berlari-lari ke ruang depan. Pakaian yang 

dikenakan NYI girah  gemerlapan, sekilas tampak wajahnya 

yang riang gembira. arwah mpu sindok  segera tahu siapa yang 

membel. Segera ia duduk di kursinya, pura-pura menekuni 

buku-buku pelajaran yang sengaja ia serak-serakkan di meja. 

Benar saja dugaannya. Tak lama ia dengar langkah 

kaki, dan suara berat menyapa: “Hai, kawan!” 

arwah mpu sindok  mengangkat muka. Sahutnya: “Hai, bang 

Laung.” 

“Lagi asyik belajar ya? Bagus. Calon adikku harus 

anak pintar. Supaya kelak, bisa jadi polisi tauladan. Nih. 

Kubawakan sesuatu untukmu,” dan Parlaungan, kekasih 

tetap kakaknya menyodorkan sebuah bingkisan yang 

diterima arwah mpu sindok  dengan malu-malu. “Nggak usah repot-

repot bang,” ujarnya berbasa-basi. Dulu, Parlaungan yang 

akhirnya membelikan arwah mpu sindok  sepasang sepatu Adidas. 

Bingkisannya kali ini, satu set pulpen Parker, model terbaru. 

“Terima kasih, bang Laung. Aku akan belajar sungguh-

sungguh,” arwah mpu sindok  mengikrarkan janji. 

Dari belakang punggung Parlaungan yang tinggi 

kekar itu, terdengar suara NYI girah  mengoceh: “Apa! 

Buktinya, hari ini dia bolos lagi!” 

arwah mpu sindok  ingin mencakar kakaknya. Untung 

Parlaungan menengahi. “Kalau tak pernah bolos sekolah, 

bukan laki-laki namanya...” Namun toh Parlaungan tidak 

 68 

semurah hati itu. Ia melanjutkan dengan pertanyaan sambil 

lalu: “Apa hukumannya kalau mangkir sekolah lebih dari tiga 

hari, Yanto?” 

“Diberi peringatan oleh wali kelas, bang,” jawab 

arwah mpu sindok  tersipu. 

“Kau senang dibikin malu di depan teman-

temanmu?” 

“Tidak dong!” 

Parlaungan tertawa lembut, terus berlalu ke 

belakang untuk menemui calon mertua perempuannya. 

NYI girah  menguntit di belakang kekasihnya, masih terus 

mengomel: “Kau terlalu memanjakan adikku, bang Laung. 

Kau pula yang dulu mengajarinya merokok...”  

Di kamarnya, arwah mpu sindok  nyengir kuda. Ia sudah tahu 

apa jawaban Parlaungan: laki-laki yang tidak merokok itu, 

banci! arwah mpu sindok  kemudian teringat, apa nasihat Parlaungan 

dulu, yang sampai sekarang dipatuhinya. “Kalau ingin 

merokok, Yanto, belilah dari uang sakumu. Jangan dari saku 

orang lain.” 

sesudah  kakaknya meninggalkan rumah bersama 

Parlaungan, arwah mpu sindok  diperingatkan ibunya agar tidak lupa 

mandi dan makan pagi. Ia mematuhi perintah itu, kemudian 

membantu ibunya menyetrika. saat  itulah ia lihat air mata 

menggenangi pipi ibunya. 

“Mama menangis,” desah arwah mpu sindok , terkejut. 

Cepat-cepat ibunya menyeka air mata, lantas 

mencoba tertawa. Jawabnya: “Lihat. Aku tidak menangis lagi 

bukan?” 

 

 69 

“Mengapa mama menangis?” arwah mpu sindok  mendesak, 

dan diam-diam kuatir bahwa ibunya menangis akibat 

kelakuan ayahnya. Ayahnya yang mengakus sebagai manusia 

terhormat, berlagak suci di rumah, nyatanya di luar sana 

mengencani pelacur. 

Ibunya membenahi pakaian yang sudah selesai 

disetrika, menarik nafas dalam, kemudian: “Kau senang sama 

bang Laung, nak?” 

“Jelas, dong!” 

“Kau suka ia kawin dengan kakakmu?” 

“Selalu kudoakan, mama.” 

“Aku juga,” ujar ibunya lirih dan wajahnya kembali 

murung. “Sayang, ayah kalian lebih suka kakakmu 

dijodohkan dengan orang lain. Bukan dengan Parlaungan...” 

“Kenapa sih papa benci bang Laung, mama?” 

“Ayahmu tidak membenci orangnya, nak. Ayahmu 

membenci lingkungan yang melahirkan Parlaungan.” 

“Apa kurangnya bang Laung, mama? Ia Insinyur 

jebolan ITB. Ia bekerja, punya penghasilan cukup. Ayahnya 

Kolonel, punya jabatan terhormat di Kodam. Keluarga 

mereka tidak punya cela. Mereka juga setuju dengan calon 

isteri pilihan bang Laung. Apa lagi?” 

“Kau tak mengerti, nak. Tak mengerti...” dan air mata 

ibunya meleleh lagi. 

“Maksud mama? 

“Eh, aku mencium bau hangus di dapur...” 

Ibunya bergegas ke dapur, kemudian terdengar 

suaranya yang dikeraskan: “Berapa banyak famili kita yang 

kau kenal selama ini, Yanto? Maksudku, famili dekat. Yang 

 70 

rajin berkunjung ke rumah kita, atau sebaliknya kita kunjungi 

mereka...” 

“Yah.. Paman Supangkat, paman Abdullah, Tante 

Maryam, Uwa Hasbullah, nenek... Wah, banyak deh ma!” 

“Coba ingat. Keluarga pihak mana mereka itu 

semua?” 

Tiba-tiba arwah mpu sindok  memahami maksud ibunya. 

Semua yang ia sebutkan adalah keluarga dari pihak ayah. Ia 

memang pernah mendengar tentang keluarga mereka dari 

pihak ibu. Sebagian terbesar di Medan, yang lain di 

Kalimantan, ada pula yang di Irian Jaya. Di Jakarta ini juga ada 

dua tiga orang, namun hubungannya selain tidak begitu 

dekat, juga jarang saling kunjung-mengunjungi. Sesekali ia 

tanyakan juga pada ayah atau ibunya mengapa mereka tidak 

begitu akrab dengan keluarga dari pihak ibunya. Biasanya, 

jawaban yang ia dengar hanya: mereka orang-orang sibuk, 

jauh pula. Mengapa tidak kita kunjungi sesekali? Jawabnya: 

nantilah, kalau ongkosnya sudah cukup. Kami pernah 

menyurati, namun  tak pernah dibalas. Jawabnya: mungkin 

surat kalian tak sampai. Dan banyak pertanyaan lain, yang 

dijawab lain-lain pula. Dan sebab  hubungan dengan 

keluarga pihak ibunya pun begitu renggang sehingga 

arwah mpu sindok  tidak berminat untuk terus mendesak.  

Ingin tahu, arwah mpu sindok  mendesah: “Mengapa tiba-

tiba mama ingin menanyakan hal itu?” 

Ibunya yang baru keluar dari dapur, menjawab lirih: 

“sebab  aku kasihan pada bang Laungmu.” 

“Aneh. Mengapa pula ia harus dikasihani. Kan ia...” 

“Bukan dia, nak. Lingkungan, yang melahirkannya!” 

 71 

“Lingkungan bagaimana, ma?” 

“Daerah asalnya...” 

“Batak?” 

“Betul.” 

“Heran. Kok papa tidak menyukai orang Batak. 

namun  sebaliknya, punya isteri orang Batak!” 

“Jodoh, nak. Jodoh manusia ada di tangan Tuhan. 

“Aku tak mengerti...” 

“Kelak, Yanto. Kelak, kau akan mengerti sendiri...” 

ujar ibunya, yang terus memanggil bi Yati pembantu mereka 

yang tengah sibuk bekerja di kamar cuci. “Tolong lihat-lihat 

masakanku di dapur, bi. Aku mau belanja ke pasar.” 

“Kutemani ya ma?” 

“Tak usah, nak. Mama nanti sekalian pergi arisan.” 

“Oh!” dan sesudah  ibunya pergi, arwah mpu sindok  sadar 

kalau ibunya tidak ingin memperpanjang persoalan. 

Sayangnya, ibunya meninggalkan pertanyaan yang sama 

panjangnya. Pertanyaan, yang teramat sulit untuk dijawab, 

kecuali oleh ayah arwah mpu sindok  sendiri... 

Satu hal jelas sudah. Setiap kali ayah pergi untuk 

waktu yang lama, NYI girah  mempergunakan 

kesempatannya. Menyuruh Parlaungan datang, atau ia yang 

mendatangi kekasihnya itu. Pernah ia dengar NYI girah  

mendesak kekasihnya dengan penuh emosi; “Kita kawin lari 

saja!” Parlaungan menolak. Jawabannya teguh: “Memang 

bisa saja. namun  aku tak suka efeknya di kemudian hari!” 

Kini, arwah mpu sindok  mendadak teringat lagi pada 

Handini. 

 72 

Efek di kemudian hari itulah yang ingin dihindari 

arwah mpu sindok . Keluarga yang naik pitam, berurusan dengan 

polisi, dan sebagainya. Kalaupun toh percintaan mereka 

pada akhirnya disetujui, sisa-sisa keretakan tetap akan 

terasa, tetap akan menimbulkan akibat. Mungkin sampai ke 

anak cucu. 

Dipikir-pikir, ada untungnya Tribuana Tunggadewi  muncul di 

terminal Rawamangun. Waktu itu arwah mpu sindok  belum punya 

pendirian tetap. Ia dalam keadaan labil, bingung memikirkan 

Handini begitu nekad. Apabila Tribuana Tunggadewi  tak muncul dan Handini 

memaksa, tentulah ia telah mengikuti Handini minggat entah 

kemana. Dan entah bagaimana pula masa depan 

arwah mpu sindok ... 

Akan namun , beberapa hari kemudian sempat juga 

arwah mpu sindok  menyesali telah mengabaikan Handini.  

Suatu hari ia menerima sepucuk surat pos kilat 

khusus. Tidak ada alamat si pengirim. Dari cap posnya, 

arwah mpu sindok  tahu bahwa surat itu dikirim dari kantor pos 

Padang. Tak syak lagi, pasti Handini yang mengirimnya. 

Tulisan Handini sangat jelek. Isinya lebih jelas lagi: 

“Kau, haram jadah terkutuk!” 

Tak ada nama si penulis, tak ada tanda tangan. Yang 

ada, hanya itu: arwah mpu sindok  seorang haram jadah, terkutuk 

pula! 

Ia tak perlu marah. Tak usah kecewa. Ia memang 

pantas dicap sebejat itu. Yang penting ia sudah tahu bahwa 

Handini masih takut mati. Tanpa Handini, ia tak akan 

kesepian. Masih ada Fitri. Juga Nina dan Ossi. namun  soal 

ukuran payudara, Handini nomor satu. Sayang juga. Padahal 

 73 

Handini pernah menawarkan miliknya yang yahud itu untuk 

dikunyah oleh arwah mpu sindok  seorang. Coba, kalau waktu itu ia 

mau diajak Handini nginap satu malam di Pelabuhan Ratu... 

 

 

*** 

 

 

Sepuluh 

 

Pernah satu saat , di sekolah. Della, murid teman 

sekelas arwah mpu sindok  ditempeleng oleh pak Saleh, guru mata 

pelajaran Bahasa Indonesia. Sewaktu berdeklamasi di depan 

kelas, Della dengan semangat tinggi membacakan sebuah 

puisi dan merubah sebutan Pancasila menjadi sebuah 

ungkapan memalukan, yang dikaitkan dengan salah satu ras. 

Seisi kelas terdiam, manakala pak Saleh menegur: 

“Pancasila lahir di tengah kancah perjuangan bangsa. 

Kamu harus menghormatinya, Della!” 

“Itu dulu,” jawab Della, berani. Murid perempuan 

yang memang terkenal berjiwa pemberontak itu, 

melanjutkan dengan semangat meluap-luap: “Apa sekarang? 

Coba lihat. Kalau kita dengar ada pejabat yang korup, siapa 

orang-orang yang berdiri di belakangnya? Ternyata mereka 

itu orang...” 

“Della!” hardik pak Saleh. “Kita tidak berbicara 

mengenai koruptor. Kita berbicara tentang puisimu. Ada pun 

Pancasila...” Beliau belum selesai berbicara, Della menyela 

lantang dengan ungkapannya yang memalukan. 

 74 

“Eh, ini anak bandel benar!” umpat pak Saleh, lantas 

‘plak-plak’, pipi Della ditempeleng dua kali. Guru Bahasa 

Indonesia itu menambahkan: “Ini sekedar pelajaran 

untukmu, supaya tahu menghormati para pahlawan 

bangsa...” 

Terjadi keributan di dalam kelas. Pas saat  itu 

berbunyi lonceng istirahat. Guru meninggalkan kelas, dan 

murid-murid ramai mempertengkarkan peristiwa barusan. 

Akhirnya lahirlah sebuah petisi. Isinya memohon agar kepala 

sekolah memperingatkan, kalau perlu memecat pak Saleh 

yang memperhinakan Della di depan semua teman sekelas. 

Hanya sebagian kecil yang memihak pak Saleh. Bagian 

terbesar, membela Della. Kata mereka: “Seorang 

pemberontak, adalah seorang pahlawan!” 

saat  tiba gilirannya menandatangani petisi, 

arwah mpu sindok  menolak. Ia mengakui memang tak setuju Della 

diperlakukan sedemikian rupa. “namun ,” katanya lagi, 

“jangan sebab  tingkah seorang Della, satu kelas ini 

dikenakan skorsing!”  

Akibatnya, sampai bubaran sekolah arwah mpu sindok  

dikucilkan teman-temannya. Besok juga demikian. 

Perdebatan sengit masih terjadi. Yang menandatangani 

semakin banyak, tinggal sembilan orang yang abstain, 

termasuk arwah mpu sindok . Kesembilan orang itu lantas dimusuhi 

dan dicap pengkhianat, tidak punya rasa setia kawan. 

Petisi itu jadi disampaikan pada kepala sekolah. 

Terjadilah heboh. Satu sekolah gempar. Kepala sekolah 

memanggil semua guru untuk mengadakan rapat kilat. Dari 

balik pintu tertutup ruang rapat itu, kemudian tercium kabar 

 75 

santer. Bahwa ulah Della tidak bisa ditolerir. Sebaliknya, 

tindakan pak Saleh dicela, sebab  menyimpang dari anjuran 

Ki Hajar Dewantara. Guru-guru dan semua murid kemudian 

diapelkan di lapangan olahraga. Kepala sekolah berbicara 

panjang lebar. Antara lain yang dipetuahkannya ialah: 

“... memang, dari generasi muda dituntuk 

keberanian. namun  kebebasan mimbar ada waktunya, ada 

tempatnya, ada pula batasnya.” 

“Kalian semua di sini untuk menuntut ilmu. Orang 

tua kalian banting tulang memeras keringat mencari seperak 

dua perak, demi kalian. Agar kalian jadi orang!” 

Dan banyak lagi. Kemudian ia mendadak bertanya 

dengan suara lantang: “Kalau hujan turun dan rumah kalian 

bocor, apakah kalian lantas merobohkan seluruh ruman?” 

“Tidaaaak...!” terdengar jawaban serempak. 

“Bagus! Jadi apa yang harus kalian lakukan?” 

Jawaban serempak lagi. “Mengganti atap yang 

bocor...!” 

“Bagus sekali. Kalian semua memang anak-anak 

pintar. Tak percuma kalian jadi murid sekolah yang kita 

banggakan ini!” 

Guru-guru tersenyum dikulum, murid-murid tertawa 

berderai. sesudah  keriuhan itu mereda, kepala sekolah 

langsung menyuntikkan jarumnya yang tajam menusuk. 

“Begitu pulalah Pancasila. Yang salah dan harus dibongkar 

sampai ke akar-akarnya, bukan Pancasilanya. Melainkan 

orang-orang yang telah salah mengamalkannya, orang-orang 

yang menggerogotinya!” 

 76 

Tepuk tangan disertai tempik sorai membahana 

sesaat , membuat lapangan olahraga seakan bergetar. Apel 

dibubarkan. Pelajaran yang tertunda dilanjutkan di kelas 

masing-masing. Dan di ruang guru-guru, dipertemukanlah 

pak Saleh dengan Della serta semua murid yang telah 

menandatangani petisi. Kepala sekolah kembali angkat 

bicara. Dengan gayanya yang khas, lemah lembut namun  

tajam menusuk. Pak Saleh mengkambing hitamkan udara 

panas sebagai penyebab ‘emosinya tidak terkendali.’ Dengan 

tulus hati ia bernasihat pula pada Della: “Belajarlah yang 

baik. Berjuanglah jadi pemimpin. Kelak, bila semua itu kau 

capai, barulah kau sebar-luaskan ide-idemu...!” 

Kepala sekolah menambahkan: “Yang salah bukan 

pak Saleh, bukan pula Della. Yang salah, keadaan.” 

Della mengakui: “Saya tidak membenci pak Saleh. 

Maafkan akan keteledoran saya.”  

Kejujurannya mengakui kesalahan dipuji oleh kepala 

sekolah. Ancaman terkena skorsing kemudian dibatalkan. 

Begitu pula aman hukuman untuk para pendukungnya. 

Mereka masih diberi nasihat dan pengarahan. sesudah  itu 

persoalannya dianggap selesai dan harap dianggap tidak 

pernah terjadi. Beres! 

Beres untuk mereka. 

Belum beres untuk arwah mpu sindok . sesudah  gurunya 

menempeleng Della dan arwah mpu sindok  menolak 

menandatangani petisi, pulang ke rumah ia sempat 

menceritakan hal itu pada ibunya. Seraya menggenggam 

tangan anaknya dengan penuh kasih dan sayang, ibunya 

berpesan: “Kalau kau berpegang pada kebenaran, anakku, 

 77 

dan orang lain kemudian mengucilkanmu sebab nya... 

Janganlah membenci mereka. namun  berdoalah, semoga 

Tuhan mengampuni dan membuka mata mereka akan 

kebenaran yang kau pertahankan itu...” 

 

*** 

 

Nasihat berharga ibunya itu tak pernah dilupakan 

arwah mpu sindok . namun  nasihat itulah yang sekarang, justru 

membuat jiwa arwah mpu sindok  terombang-ambing tidak 

menentu. Sepulang ayahnya dari ‘rapat dinas di Palembang’, 

arwah mpu sindok  seolah-olah merasakan terjadi perubahan 

suasana di rumah mereka. Ayah membencinya, ibu 

menjauhinya, kakak mengacuhkannya. Keadaan itu 

berlangsung selama berbulan-bulan. Bahkan saat  ia naik 

kelas, arwah mpu sindok  menolak dirayakan. Ia merasa, kebaikan 

hati mereka itu tidak berdasarkan hati yang ikhlas. 

arwah mpu sindok  juga tidak menuntut hadiah. Dari hasil menabung 

sisa uang sakunya, ia kemudian merayakannya sendiri 

bersama beberapa orang teman di luar rumah. Mereka 

merokok sebanyak-banyaknya, menenggak minuman keras 

sampai ada yang mabuk, dan saling tukar cerita mengenai 

pengalaman mereka dengan pacar masing-masing. 

Usai perayaan itu, arwah mpu sindok  mengajak teman 

kencannya Ronggolawe  pulang. Kebetulan di rumah si gadis tak ada 

orang, kecuali pelayan. Orang tua dan saudara-saudaranya 

pergi menghadiri jamuan keluarga. Ronggolawe  mengatakan 

kepalanya pening dan ia mau muntah. 

 78 

“Kau terlalu banyak minum tadi,” kata arwah mpu sindok  

mencela. “Obatnya, guyur dengan air kemudian tidur.” 

Ia mengantar Ronggolawe  ke kamar mandi. sesudah  berada 

di dalam, Ronggolawe  melarang arwah mpu sindok  meninggalkannya. 

“Bantulah aku mengguyurku sampai pening-pening ini 

hilang...” katanya. 

arwah mpu sindok  memenuhi permintaan gadis itu. Ronggolawe  

menjerit-jerit gembira, kemudian balas mengguyur 

arwah mpu sindok . Dalam sekejap, pakaian keduanya sudah basah 

kuyup. Ronggolawe  nekad menanggalkan pakaiannya. Tinggal celana 

dalam saja, sebab  rupanya ia tidak memakai beha. Melihat 

kebugilan gadisnya, darah muda arwah mpu sindok  melonjak-lonjak 

penuh birahi. Tanpa dapat menahan diri, ia memeluk gadis 

itu, menciuminya bertubi-tubi. Ronggolawe  mulanya kaget, namun  

kemudian pasrah. Malah pelan-pelan ia menanggalkan pula 

pakaian yang melekat di tubuh arwah mpu sindok . Persentuhan kulit 

tubuh mereka seakan bersentuhnya api dengan api. 

Ronggolawe  mengerang saat  tubuhnya diseret arwah mpu sindok  

rebah di lantai kamar mandi. Kecelakaan yang sebelumnya 

tidak dikehendaki, sudah membayang di depan mata. Ronggolawe  

benar-benar sudah lupa diri. arwah mpu sindok  gemetar. Birahinya 

kian menjadi. Pelan-pelan ia copot sisa pakaian yang melekat 

di bagian bawah tubuh gadisnya. Dan saat  itulah ia melihat 

genangan air di lantai kamar mandi telah berubah menjadi 

merah. 

arwah mpu sindok  terlompat kaget. 

“Kau terluka, Ronggolawe !” desahnya, ketakutan.  

“Apa?” Ronggolawe  masih terpejam, menanti. namun  jelas 

wajahnya kelihatan pucat. 

 79 

“Kau berdarah! Lihat! Kau mengeluarkan darah...” 

Barulah Ronggolawe  membuka matanya, dan melihat ke 

lantai di sekitar pahanya. Ronggolawe  terkejut, buru-buru bangkit. Ia 

menggapai handuk menutupi tubuh telanjangnya sambil 

memaki tak tentu alamat: “Sialan. Aku mens lagi!” 

Ronggolawe  sangat malu akan keadaan dirinya, sehingga ia 

tidak keberatan waktu arwah mpu sindok  bergegas pamit. Dengan 

membawa buntalan plastik berisi pakaian yang basah, 

arwah mpu sindok  lantas pulang ke rumah. 

Hanya NYI girah  seorang yang menyambutnya. 

Kakaknya memandangi arwah mpu sindok  dari ujung rambut ke 

ujung kaki, lantas berseru: “Hei, pakaianmu kebesaran. 

Dapat pinjam ya?” 

“He eh!” rungut arwah mpu sindok , terus ke belakang dan 

memberikan pakaiannya yang basah kepada bi Yati untuk 

dicuci. NYI girah  menguntit dengan setia di belakangnya. 

Bertanya: 

“Punya siapa?” 

“Teman,” jawab arwah mpu sindok , berjalan ke kamarnya. 

“Teman gadis ya?” 

arwah mpu sindok  membuka lemari pakaian miliknya. “Aku 

tak doyan gadis buntet...” sambil ia mengembang-

ngembangkan pinggang baju dan paha celanan yang ia pakai, 

sekedar membuktikan kebenaran kata-katanya. 

“Barangkali saja, yang kau pinjam itu pakaian 

bapaknya,” NYI girah  tidak mau kalah. 

“Memang!” 

Sejenak, NYI girah  melongo. Kemudian memekik: 

“Ya Tuhan... kau apakan gadis itu, Yanto? Jangan-jangan...” 

 80 

“Jangan kuatir, kak. Aku cuma terpeleset di jamban 

mereka. Pakaianku kotor dan baunya bukan main. Maka, 

sebab  gadis itu kebetulan tidak punya saudara laki-laki, aku 

lantas dipinjami baju bapaknya. Titik.” 

“Masih koma!” potong NYI girah  tak puas. 

“Bapaknya setuju?” 

arwah mpu sindok  menangkap arah pertanyaan kakaknya. 

Maka dengan lihay ia menjawab: “Gadis itu lari terbirit-birit 

manakala aku buka kancing celana!” dan dengan gerakan 

menantang dia pun nekad membukai kancing celana di 

depan kakaknya. 

“Amit-amit!” pekik NYI girah . 

Lantas ia pun minggat dari kamar arwah mpu sindok , lari 

terbirit-birit. 

 

*** 

 

 

Sebelas 

 

Affair di kamar mandi itu bukannya tidak 

menimbulkan akibat. Si burung dara terus mengeram di 

sarangnya. Sulit dipancing keluar. Begitu mengenali suara 

arwah mpu sindok  di telepon, gadis itu selalu menjawab: “Maaf, 

salah sambung!” 

Ditunggu sepulang sekolah, si gadis lekas menggaet 

satu dua temannya mengajak berkomplot. Kepada ‘si 

penjaga gerbang yang setia’, mereka berkata: “Kami mau 

 81 

membuat paper, atau, “Kami mau pergi praktek ke apotek,” 

sebab  si burung dara memang sekolahnya di SAA. Dikirimi 

surat, selalu kembali tanpa dibuka disertai catatan: Pindah 

Alamat. Didatangi ke rumahnya, disambut oleh pembantu 

yang mengatakan: “Neng Ronggolawe  sedang pergi.” Kalau 

kebetulan kepergok lalu gadis itu lari bersembunyi, 

pembantunya berkata begini: “Maaf ya. Neng Ronggolawe  katanya 

sakit perut...!” 

Akan namun  arwah mpu sindok  tidak habis akal. Sebenarnya, 

bakat polisinyalah yang muncul tanpa ia sadari.  

Dari kejauhan diam-diam ia mengintip kebiasaan 

Ronggolawe . Kemudian ia ketahui bahwa setiap Selasa dan Jumat 

sore, gadis itu privat les Bahasa Inggris di rumahnya. Pada 

waktu bersamaan, ibunya berangkat meninggalkan rumah 

untuk les senam. Ayahnya, seorang kontraktor bangunan, 

baru pulang malam hari. Puas menyelidiki Ronggolawe , arwah mpu sindok  

ganti menyelidiki guru privat itu. Dengan segala kesabaran 

dan ketekunan akhirnya ia ketahui alamat serta nama guru 

privat Ronggolawe , bahkan juga nama dan pekerjaan suaminya. 

arwah mpu sindok  lalu menyusun rencana. 

Sewaktu NYI girah  lengah, arwah mpu sindok  

mempergunakan kesempatannya. Ia mencuri pinjam 

sejumlah milik pribadi kakaknya. Blus katun, beha, beberapa 

helai saputangan, wig sebatas pundak, kacamata gelap. Ia 

juga tak lupa menyambar kotak bedak serta lipstik. Celana, ia 

tak usah kuatir. Guru privat Ronggolawe  suka pakai celana longgar. 

arwah mpu sindok  dapat mempergunakan celananya sendiri, namun  

yang agak sempit. Guru privat itu memang tidak setegap 

arwah mpu sindok , namun ukuran tinggi mereka mujur hampir 

 82 

sama. Perlengkapan itu dijejalkan arwah mpu sindok  ke sebuah tas 

tangan kakaknya yang cukup besar untuk memuat semua 

benda-benda itu. NYI girah  tidak akan segera mengetahui 

perbuatan adiknya. sebab  tiap hari Jumat NYI girah  kuliah 

siang sampai sore dan biasanya diteruskan kencan dengan 

Parlaungan. 

sesudah  ibunya tidur, arwah mpu sindok  menyelinap ke luar 

rumah. Ia naik mikrolet ke tempat tujuan. Tidak jauh dari 

rumah Ronggolawe , ia turun. Ia masuk ke sebuah restoran. Makan, 

sambil menunggu. sesudah  waktu yang ia perkirakan tepat, ia 

pergi ke telepon umum tidak jauh dari restoran. Uang 

recehan ia bawa secukupnya. Pertama-tama ia menelepon 

ke kantor ayah si gadis. Dengan suara dibesarkan, ia 

mengarang nama dan alamat palsu, menjelaskan bahwa ia 

dan ‘sejumlah teman’ bermaksud membangun sebuah 

supermarket. Lalu berkata serius, “.... sebelumnya, kami 

ingin konsultasi dulu dengan Pak Suparjan,” ia menyebutkan 

nama ayah Ronggolawe . 

Ia memperoleh jawaban bahwa orang yang ia cari 

kebetulan sedang pergi menghadiri undangan makan 

seorang pembantu Walikota. Pulangnya mungkin agak 

malam dan tidak akan kembali ke kantor.  

“Di sini ada wakil beliau. Perlu kami panggilkan?” 

ujar orang yang menerima telepon.  

“Tak usahlah. Nanti kami telepon lagi!” 

arwah mpu sindok  meletakkan telepon, memasukkan koin 

uang logam lima-puluhan lalu memutar nomor telepon guru 

privat Ronggolawe . 

“Hallo? Apa saya berbicara dengan zus Lilian?” 

 83 

“Benar. Ini dari mana ya?” 

arwah mpu sindok  sengaja menarik nafas panjang. Pura-

pura bimbang sebentar, baru kemudian: “Ini dari kantor 

DLLAJR Pulo Gadung, zus. Saya teman sekerja bung Tarjo, 

suami zus. Bagian kir kendaraan...” ia gantung suaranya 

sekali lagi. 

“Ya, ya. Ada apa? Apa yang terjadi?” guru privat yang 

malang itu mendesak tak sabar. 

“Ada... eh, kecelakaan kecil. Tak seberapa parah... 

Benar, bung Tarjo cedera... Oh, ada pengemudi lalai, dan... 

Tidak, ia tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Hanya sedikit 

lecet, begitu. Oh... oh, tak usah, zus. Katanya ia dapat pulang 

sendiri.” 

Sesuai dengan harapan arwah mpu sindok , lawan bicaranya 

mendengus tak sabar: “Saya akan ke sana segera!” lalu 

hubungan pun putus. Perempuan itu sampai lupa 

mengucapkan terima kasih. Memang tak perlu, saat ini. 

Nanti di Pulo Gadung, boleh saja. Terima kasih untuk Tuhan, 

sebab  suaminya sehat wal’afiat adanya. 

Telepon terakhir, langsung ke alamat rumah Ronggolawe . 

Ternyata dipakai. arwah mpu sindok  menunggu tiga menit, 

kemudian menghubungi lagi nomor-nomor yang sama. 

Jantung arwah mpu sindok  berdegup kencang. Semoga bukan ibu 

Ronggolawe  yang menerima. Dan memang bukan. sebab  ia segera 

mengenali suara Ronggolawe : “Halo?” 

arwah mpu sindok  sesaat gemetar. Sesaat pula, hampir 

bergerak memperkenalkan dirinya, menyatakan cinta dan 

kerinduannya yang sudah tak tertahankan lagi. Untung ia 

 84 

dapat menahan diri. Dengan suara dikecilkan, ia berkata di 

telepon: “Halo. Boleh bicara sebentar dengan Tante Sofie?” 

“Mama barusan pergi. Ini siapa?” 

“Pergi? Ke mana?” 

“Biasa, senam. Ini siapa?” 

“Temannya. Sudah ya?” 

arwah mpu sindok  berdesah panjang sesudah  selesai 

menelpon. “Hebat!” setengah berseru, ia memuji diri sendiri. 

“Luar biasa!” Kemudian bergegas lagi ia masuk ke restoran. 

Pelayan masih mengingatnya sebagai pemuda yang tadi 

sesudah  makan lalu memberi tip besar sebelum pergi. 

Mendengar pertanyaan arwah mpu sindok , pelayan itu terkejut: 

“Apakah hidangan kami tak cocok dengan perut Tuan 

muda?”  

“Tidak, tuan muda hanya ingin kencing sebentar.” 

Dengan senang hati pelayan itu mengantarkan 

sampai ke depan pintu kamar kecil.  

Tak ada pintu samping dekat kamar kecil. Mungkin 

menjaga kemungkinan pengunjung yang nakal tak mau 

bayar. Jadi terpaksa harus lewat pintu depan, arwah mpu sindok  

mengeluh dalam hati seraya menyelinap ke dalam kamar 

kecil. Lima menit kemudian, arwah mpu sindok  keluar dari kurungan 

berbau amoniak itu. Satu dua orang pengunjung restoran 

memperhatikan dengan mata dan senyum genit sementara 

arwah mpu sindok  melangkah dengan lenggang gemulai ke pintu 

depan restoran. Si pelayan, ternganga sejenak, menepuk-

nepuk jidatnya, lantas menggerutu: “Huh! Kalau aku tahu dia 

itu wadam...!” 

 85 

Di jalan, arwah mpu sindok  melambai Helicak kosong yang 

kebetulan lewat. Guru privat Ronggolawe  sering datang dengan naik 

Vespa, namun  sesekali juga naik Helicak atau Bajaj. arwah mpu sindok  

menyebut kemana supir harus mengantarkannya. Dan pada 

supir yang menyeringai melihat penampilannya, arwah mpu sindok  

membentak dengan suara berat: “Apa lihat-lihat!” 

“Ja-ilee. Galaknya!” sahut supir Helicak seraya 

menjalankan kendaraannya. Supir itu masih menyeringai 

saat  arwah mpu sindok  membayar dan turun di depan rumah 

Ronggolawe . Sambil mengebut Helicak-nya, sang supir terdengar 

tertawa ngakak, sambil mengejek: “Cakep sih cakep. Tapi 

baunya...!” 

Terkesiap juga arwah mpu sindok . Ternyata ia lupa memakai 

parfum. Tak apalah. Toh nanti pintu yang dia ketuk, tidak 

punya hidung. Sekarang, maju, serbu, selagi lawan lengah! 

Kuatir penampilannya jauh berbeda dengan sang guru privat, 

arwah mpu sindok  cepat melenggang memasuki halaman rumah 

besar di depannya. 

Bel ditekan. Ning-nong...! 

Jantung berpacu. Dak-duk-dak-duk! 

Lamat-lamat terdengar suara langkah mendekat di 

sebelah dalam pintu. Hampir saja arwah mpu sindok  

memperlihatkan seringai lewat kaca jendela tembus sebelah, 

sebab  hal itulah yang selalu dilakukan sang guru privat 

sebelum pintu dibuka. Ingat diri, arwah mpu sindok  memutar tubuh, 

pura-pura asyik memperhatikan lalu lintas di jalan raya. Tas 

ditekankan ke dada, sambil meraba-raba apakah ‘payudara’ 

nya kiri kanan sama besar, atau letaknya tinggi sebelah. 

 86 

Maklum, sapu tangan yang digumpal-gumpalkan di balik 

beha, tak dapat dipercaya... 

“Selamat sore, Tante Lilian...” arwah mpu sindok  pucat pasi 

mendengar suara Ronggolawe  yang lembut, ramah. “Lagi lihat apa, 

Tante?” 

arwah mpu sindok  meski gugup, masih mampu menguasai 

diri. Kepalanya dirundukkan dalam, kemudian menyelinap 

masuk dengan langkah bergegas, seperti tikus menyerobot 

masuk ke liang sebab  takut oleh kucing. Ronggolawe  yang dilewati 

begitu saja, sempat terheran-heran, kemudian terdengar ia 

memekik tertahan. arwah mpu sindok  masih tegak di tengah ruang 

depan itu, membelakangi Ronggolawe . Ia mulai kalang kabut, dan 

sempat berpikir, kabur saja sekarang sebelum Ronggolawe  berteriak 

minta tolong. Sayang, sendi-sendi lututnya sekali ini tidak 

mau bekerja sama. Ia hanya berdiri mematung, tak berani 

berpaling. 

Kemudian, ia mendengar suara Ronggolawe . Bukan suara 

jerit ketakutan. Melainkan, suara mengejek: “Sepatunya 

cantik, Tante. Dapat beli di mana?” 

Tercengang, arwah mpu sindok  mengawasi kakinya, dan 

saat  melihat sepatunya sadarlah bahwa ia telah melupakan 

untuk mencuri pinjam juga sepatu berhak tinggi milik 

kakaknya. Ia mengenakan sepatunya sendiri, sepatu laki-laki! 

Tak sadar, ia memaki: “Sialan!” 

Di belakangnya, terdengar suara tertawa membadai, 

disertai ucapan terputus-putus: “Yanto... yang ma... lang, apa 

tak gatal... tuh, kepalanya...” 

arwah mpu sindok  jatuh terhempas di kursi. 

 

 87 

Barulah ia lihat Ronggolawe  membungkuk terpingkal-

pingkal, begitu hebatnya sampai air mata Ronggolawe  berleleran. 

Tak berapa lama kemudian, tawa Ronggolawe  tersentak-sentak, ia 

memegangi perutnya, duduk dengan susah payah sambil 

mengeluh: “Aduh, perutku.” 

namun  sesudah  melihat tampang arwah mpu sindok  yang 

tidak karu-karuan, lebih-lebih wignya yang sangat semrawut, 

tawa Ronggolawe  meledak lagi. 

Bi Asem pembantu rumah mereka berlari-larian dari 

dapur sebab  ingin tahu. arwah mpu sindok  berpaling dan mendeliki 

perempuan itu, yang sesaat  berubah pucat. Matanya 

ketakutan setengah mati, lantas mundur tak teratur sambil 

terengah-engah: “Naudzubillah – ada dedemit masuk 

rumah...” dan berikutnya, terdengar pelayan itu 

membanting pintu. Nyumput di kamarnya. 

Tawa Ronggolawe  kian menjadi-jadi. 

Pelan-pelan, arwah mpu sindok  akhirnya dapat juga 

tertawa. Makin lama, makin berderai-derai. Wignya copot, 

terbang ke lantai. Blusnya terguncang-guncang, sehingga 

sebelah payudaranya tetap mencuat, sebelah lainnya 

bertambah gepeng. Dari bawah bagian dada gepeng itu, 

lewat tepi blus yang terbuka, jatuh berhamburan helai demi 

helai sapu tangan. 

Lima menit berikutnya, arwah mpu sindok  dan Ronggolawe  saling 

tukar pandang. Beha telah ditanggalkan arwah mpu sindok . Blus 

kakaknya ternyata serasi juga dengan ketampanan 

wajahnya. Rambutnya yang tidak teratur, semakin 

menambah kematangan penampilannya. Matanya menatap 

lurus ke mata Ronggolawe . Gadis itu membalasnya. Hangat. 

 88 

 

“Mestinya, aku mengusirmu,” Ronggolawe  berbisik lirih. 

“Usirlah.” 

“Mestinya, aku memakimu.” 

“Makilah.” 

“Mestinya aku membencimu.” 

“Bencilah.” 

“Tahukah kau, betapa aku merindukanmu?” bisik 

Ronggolawe  lagi, tergetar. 

“Aku juga.” 

“Aku kehilangan kau.” 

“Aku juga.” 

“Kau terlalu!” 

“Kau juga.” 

“Yanto...” 

“... Ronggolawe .” 

Mereka berdua bangkit serempak dari kursi masing-

masing, lengan saling mengembang, lalu saling meraih, saling 

memagut. Wajah yang satu mendekati wajah yang lain. Dua 

pasang bibir, cari-carian celah dengan gelisah. Dan saat  

bertemu, pertemuan itu lama sekali, seakan tak mau 

dilepaskan. 

Ronggolawe  kemudian jatuh bersimpuh di lantai dengan 

nafas tersengal.  

arwah mpu sindok  ikut bersimpuh.  

“... mengapa, Ronggolawe ?” desah arwah mpu sindok , getir. 

“Apanya?’ 

“Kau juga menyingkirkan aku.” 

“Menyingkirkan kau?” 

 89 

“Ya.” 

Ronggolawe  menelan ludah. “Kau tahu?” ia bergumam. 

“Apa?” 

“Peristiwa di kamar mandi itu...” 

Memerah kulit muka arwah mpu sindok . “Ya?” ia mengeluh. 

“Kau memanfaatkan keadaanku,” suara Ronggolawe  tajam 

menusuk. 

“Keadaanmu?” 

“Waktu itu aku masih mabuk.” 

“Ronggolawe ...” 

“Benar, bukan?” 

“Tidak.” 

“Bohong!” 

“Demi Tuhan!” 

“Sungguh?” 

“Ya.” 

“Lalu... mengapa kau tak menyadarkan aku?” 

“Gairahku sangat terkutuk, Ronggolawe .” 

“Siapa yang lebih dulu buka baju?” 

“Kau, Ronggolawe .” 

“Bohong!” 

“Demi Tuhan!” 

“Untung tak jadi, ya?” Ronggolawe  tersenyum. 

“Ya. Untung tak jadi...” arwah mpu sindok  ikut tersenyum. 

“Untung aku mens ya?” 

“Ya. Untung kau mens.” 

“Memalukan bukan?” 

 90 

“Ya. Memalukan...” arwah mpu sindok  tersentak, lantas 

buru-buru memperbaiki: “Maksudku, sikapku waktu itu 

sangat memalukan...” 

Ronggolawe  tertawa. Lunak. “Tak akan lagi bukan?” 

bisiknya. 

“Apa?” 

“Peristiwa memalukan itu.” 

“Ya. Tak akan lagi, Ronggolawe .” 

“Kecuali...” 

“Kecuali apa, Ronggolawe ?” 

“Kita menikah.” 

“Oh!” 

“Kok oh, Yanto?” 

“Kita masih... masih sekolah, Ronggolawe .” 

“Ah. Kau benar.” 

“Kita masih punya waktu.” 

“Ya. Kita masih punya waktu...” 

“Selama tidak ada orang lain di hatimu, Ronggolawe .” 

“Hanya kau seorang, Yanto.” 

“...” 

“Bagaimana dengan gadis-gadismu yang lain? Fitri. 

Nina...” 

“Telah kulupakan, Ronggolawe .” 

“Bohong!” 

“Demi Tuhan!” 

“Kau bisa?” 

“Ya.” 

“Mengapa?” 

 91 

“sesudah  peristiwa di kamar mandi itu, Ronggolawe . Aku 

merasa sangat bersalah. Aku telah menjamah tubuhmu, di 

luar batas.” 

“Belum terjadi Yanto.” 

“Hampir Ronggolawe .” 

“Aku yang salah.” 

“Bukan kau, Ronggolawe . Aku.” 

“Aku, Yanto.” 

“Aku, Ronggolawe .” 

“Baiklah. Kita berdua sama-sama bersalah.” 

“Betul juga!” 

“Yanto...” 

“Hem?” 

“Tadi itu...” 

“Yang mana?” 

“Kau bilang, aku juga menyingkirkanmu. Apa 

maksudmu?” 

arwah mpu sindok  menarik nafas. Katanya, murung: “Aku 

dibenci papa. Dijauhi mama. Diacuhi kak Tien!” 

“... oh!” 

“Sudah lama aku tak betah di rumah. Pergi sekolah 

lebih pagi. Pulang lebih sore. Dan makin sering aku nginap di 

rumah teman. Dengan alasan, mengerjakan PR.” 

“Mengapa, Yanto?” 

“Entahlah.” 

“Apa kesalahanmu?” 

“Tak tahu.” 

“Aneh...” 

“Mungkin sebab  rahasia itu, Ronggolawe .” 

 92 

“Rahasia?” 

“Ya, mengenai papa.” 

Ronggolawe  membuka mulut. Ingin bertanya. namun  segera 

mengatupkan mulutnya kembali. Ibunya selalu bilang: 

“Jangan campuri urusan orang lain, kecuali diminta.” Ia 

menunggu arwah mpu sindok  mengajukan permintaan itu. Yang 

ditunggunya, tak kunjung tiba. Dari wajah arwah mpu sindok  yang 

bertambah murung, ia kemudian memahami, bahwa diam-

diam arwah mpu sindok  menyesal sebab  terlanjur ngomong. 

“Mau minum, Yanto?” 

Si pemuda manggut. Lesu. 

“Tunggu ya sebentar.” 

Ronggolawe  beranjak ke dapur. Dan selama Ronggolawe  di dapur, 

arwah mpu sindok  berfikir keras. Pikirnya: “NYI girah  tidak lagi 

ngomel-ngomel kalau aku pulang terlambat. Mama tidak lagi 

menanyakan mengapa aku sering pergi ke sekolah tanpa 

lebih dulu makan pagi. Papa tak lagi menegur, mengapa aku 

makin sering tidur di rumah orang.” 

Jiwanya serasa dicabik-cabik. Pundaknya 

terguncang.  

Tiba-tiba, ia dengar suara lembut Ronggolawe . “Kau 

menangis, Yanto.” Gadis itu membungkuk, mengambil 

tangan arwah mpu sindok , membawanya ke dadanya. Katanya, lebih 

lembut lagi: “Aku ingin menangis bersamamu, Yanto. namun  

dengan menangis... persoalanmu tidak akan dapat kita 

selesaikan.”  

Namun toh saat  arwah mpu sindok  mendekapnya begitu 

kuat, terisak-isak di bahunya, merembes juga air mata Ronggolawe ... 

*** 

 93 

Dua belas 

 

Lama juga waktu berlalu sebelum akhirnya 

arwah mpu sindok  menyadari kekeliruannya.  

Ia sudah duduk di bangku kelas tiga SMA, saat  

NYI girah  menyelesaikan studinya di Akademi Bahasa Asing. 

Tawaran pekerjaan sudah datang untuknya dari sebuah 

perusahaan swasta yang bonafiditasnya tidak pernah 

diragukan umum. Sambil menimbang-nimbang apakah 

tawaran itu ia terima saja atau lebih baik melamar jadi 

pegawai negeri, NYI girah  lebih dulu ingin memperoleh 

keputusan dari ayah mereka. Keputusan yang jauh lebih 

penting daripada ijazah ABA-nya, keputusan yang jauh lebih 

berharga daripada tawaran pekerjaan perusahaan manapun 

juga. 

Keputusan itu, mengenai pernikahannya. 

sesudah  dipilih waktu yang tepat, ayah pun sedang 

rilek pula, maka berlangsunglah peperangan itu! 

Bermula dengan obrolan santai kian kemari. Ujung-

ujungnya, NYI girah  berdehem-dehem. Ibu menangkap 

makna deheman itu, lantas berpaling pada suaminya. 

Dengan ketetapan hati, beliau berkata seolah sambil lalu: 

“Pak. Anak kita, Alhamdulillah, telah berhasil 

menyelesaikan kuliahnya. Jadi, masa depannya tidak lagi 

begitu kita kuatirkan. Yang kini harus kita pikirkan, adalah 

usianya. NYI girah  sudah waktunya memulai hidup baru,” 

dia berhenti sebentar mencari kata-kata terbaik untuk 

diucapkan. Lalu, “Bagaimana menurut pandanganmu, pak. 

 94 

Apakah NYI girah  kerja dulu baru menikah, atau menikah 

dulu baru bekerja?” 

Sepi sejenak. NYI girah  bergidik. arwah mpu sindok  dapat 

merasakannya. Sang kepala keluarga, menyedot pipa 

cangklongnya kuat-kuat. Akhirnya:  

“Bagaimana baiknya sajalah,” jawab ayah mereka, 

datar. 

Itu bukan jawaban yang dikehendaki. Namun sang 

isteri dapat menahan sabar. Gumamnya: “Maksudmu, pak?” 

“Lho. Maksudku jelas. Aku tak berhak menjawab 

pertanyaan itu. Yang lebih berhak orangnya.” 

Sang penengah, berpaling memandangi anak 

perempuannya. Meski sudah tahu apa jawabannya, toh ia 

bertanya pula: “Bagaimana, nak? Ayahmu memberimu 

kebebasan memilih.” 

NYI girah  merundukkan kepala, menekuri kakinya. 

Ia tersipu malu. namun  jauh dalam hati sanubarinya, ia 

ketakutan setengah mati. Lama, baru ia menyahuti: “Aku 

sih... maunya berumah tangga dulu...” ia memperdengarkan 

tawa orang sakit gigi. Meneruskan: “Lagi pula soal bekerja, 

ada baiknya dimintakan pendapat calon suamiku.” 

“Pikiran bagus,” sela ayah. “Pikiran bagus. Kudengar-

dengar, Praktikto mendambakan seorang isteri tipe ibu 

rumah tangga tulen. Ia agak kuno, memang. Tidak mau 

punya isteri seorang wanita karier. Alasannya kumengerti. 

sebab  ia sendiri mempunyai penghasilan lebih dari cukup, 

dan dia...” 

 95 

Di kamarnya, bolpen di tangan arwah mpu sindok  lepas, 

menggelinding ke lantai. Di ruang tengah, NYI girah  

bertanya setengah menjerit: “Si... siapa pa?” 

“Praktikto. Putera bungsu Hasbullah, Uwamu. 

Mereka sudah lama menanti. namun  memahami 

keinginanmu menyelesaikan kuliah lebih dulu, mereka mau 

mengerit. Sekarang... hei, kau sakit, NYI girah ?” 

Ibu tidak bertanya apa-apa. Rupanya ibu mendadak 

hilang gairah. NYI girah  akhirnya bersuara juga: “Aku tak 

apa-apa, papa. Aku hanya...” lalu tiba-tiba saja ia menangis 

tersedu-sedu. Sambil menangis, ia mengeluarkan jeritan 

hatinya: “Mas Praktikto tidak pantas memperisteri aku, 

papa... 

“Apa pula maksudmu?” ayah membentak. “Apakah 

kau tetap ingin mempersuamikan orang Batak sialan itu?” 

Terdengar keluhan berat, keluhan sakit. Keluhan ibu. 

Namun sang suami yang egois itu tidak menyadari telah 

menyakiti hati isterinya. Ia terus menggebu-gebu: “Si Laung 

telah meracunimu, Prihatin. Si Laung telah mendukunimu, 

sehingga kau tidak pernah bisa melepaskan diri dari 

cengkeramannya!” 

“Itu tidak benar, papa!” NYI girah  membela dengan 

sengit. “Justru Parlaungan berulang kali menasihati aku agar 

melupakannya saja dan mencari jodoh yang papa setujui. Ia 

tidak mau hubunganku dengan papa retak, sebab  dirinya. 

namun  aku tahu ia sangat mencintaiku, papa. Aku tak pernah 

punya niat meninggalkannya!” 

“Tidak bisa!” ayah memukul meja begitu kuatnya, 

sehingga meja itu berderak. “Tidak bisa. Tak akan 

 96 

kuperkenankan kau kawin dengan keturunan orang-orang 

yang pernah memperhinakan aku!” 

“Papa. Mereka tidak...” 

“Mereka menghinaku! Mereka menghancurkan 

impianku! Mereka memporak-porandakan kebahagiaanku!” 

papa berubah histeri. 

“... mereka siapa... papa?” NYI girah  terperanjat. 

“Orang-orang Batak itu! Keluarga... tanyakan 

sendirilah pada ibumu! Hai, bu, bu... tak usahlah menangis! 

Coba ingat, apa kata orang tuamu dulu? Apa ha? Batak 

tetaplah Batak, Jawa tetaplah Jawa! Dan hal itu tetap berlaku 

sampai detik ini.” 

“Pak...” suara ibu bagaikan suara orang yang tengah 

sekarat. “Semuanya telah lama berlalu. 

“Aku juga menganggapnya begitu. namun  semua itu 

muncul kembali. sesudah  anakmu ini... si NYI girah  yang 

tidak tahu diri ini, membawa orang sesukumu yang busuk 

hati itu ke rumahku. Parlaungan, hah! Andai aku tahu kau 

masih berhubungan dengan dia di belakangku, NYI girah , 

dia... dia... awas, akan kucari dia mulai besok. Dia harus 

melepaskan anakku, atau...” 

“Persoalannya tidak segampang itu, papa,” potong 

NYI girah , tenang. sebab  kecewa, sebab  sakit hati 

kekasihnya tercinta diumpat dicerca, keberaniannya timbul 

kembali, tegak dengan gagahnya. “Papa tak mungkin lagi 

memisahkan kami.” 

“Apa.. apa pula itu, NYI girah ?” 

“Minggu lalu aku mengunjungi dokter...” 

“Dokter?” 

 97 

“Ya. Dokter kandungan. Aku positif sudah 

mengandung tiga bulan!” 

Sepi menyentak. Sunyi, mencekik. Di ruang tengah, 

seakan tak pernah dihuni manusia, seakan dunia sudah lama 

mati. namun  di kamarnya, arwah mpu sindok  mendadak tersenyum-

senyum. “Itu kan akal bulus si Handini,” ia membatin. “Si Dini 

bilang, kita pura-pura mengaku dia sudah bunting.” Hem 

ilmu Handini ternyata laris juga. NYI girah  kini 

memamerkan ilmu Handini yang belum sempat diamalkan 

itu. 

Lamunan arwah mpu sindok  buyar, manakala sekonyong-

konyong terdengar suara hingar-bingar seperti kursi terbalik 

dan meja terlempar, lalu suara nafas ayahnya yang bagaikan 

nafas kuda habis berpacu, suara kakaknya yang seakan 

tercekik, disusul suara pekik ngeri ibunya: “Ya Allah, pak! 

Jangan! Jangan kau bunuh anakmu!” 

Bagai disengat kalajengking, arwah mpu sindok  terlonjak 

dari kursinya. Tadi ia tidak ambil perduli. Toh mereka juga 

tidak mau perduli padanya. Terbukti, untuk urusan sebesar 

itu ia tidak diajak bermusyawarah. Baru saja arwah mpu sindok  

ambil ancang-ancang untuk menyerbu keluar kamarnya, 

sudah keburu terdengar keluhan ayah:  

“Astagfirulah. Apa yang... kuperbuat.” 

NYI girah  menimpali, kejam nadanya: “Mengapa 

berhenti, papa? Teruslah. Bunuh aku sekalian. Biar 

semuanya selesai...” 

“NYI girah . Aduh!” ibu memekik, memperingatkan. 

“Toh tadi papa sudah mencekik leherku!” NYI girah  

membalas, tak mau tahu. “Aku tidak tahu dan tidak ikut 

 98 

terlibat dalam masa lampau papa. Lalu kenapa pula aku 

harus jadi korban masa lampaunya?” 

Terdengar suara-suara langkah-langkah kaki berat, 

berjalan ke pintu depan. Pintu itu direnggut terbuka, 

kemudian dibantingkan dengan keras. Menyusul suara mesin 

mobil yang menggeram garang, kemudian menderum ke 

jalan raya, suaranya kian lama kian menjauh. 

arwah mpu sindok  terhenyak lagi di kursinya. Geleng kepala. 

“Anak kecil itu minggat sendiri,” gerutunya. 

Ibunya masih menangis terisak-isak. 

NYI girah  tetap tenang. Tetap tabah. Baru sesudah  

ibu bertanya apakah ia sungguh-sungguh dengan 

pengakuannya, bukan hanya pura-pura hamil agar ayah 

takluk, yang dijawabnya benar bahwa ia sudah hamil; 

NYI girah  terkejut oleh raungan ibunya: 

“Dan ayahmu kini pergi, nak. Bagaimana kalau 

terjadi apa-apa atas diri ayahmu, lebih-lebih lagi atas diri 

calon suamimu?” 

“Tuhanku. Jangan!” desis NYI girah , ngeri. 

“Diamlah. Tak usah kau yang pergi. Biar adikmu yang 

kusuruh menyusul ayah kalian...” ujar ibunya. 

Kemudian pintu kamar arwah mpu sindok  digedor kuat-

kuat. Pintu itu mementang terbuka dengan sendirinya. 

sebab  memang semenjak tadi sengaja dibiarkan renggang. 

arwah mpu sindok  terkesima memandangi wajah ibunya yang 

seolah kesurupan. 

“Mengapa kau diam saja, Yanto. Ayo, lekas susul 

ayahmu,” ibunya memohon dengan suara panik. 

arwah mpu sindok  duduk saja. Tenang-tenang. 

 99 

“Yanto!” hardik ibunya. 

arwah mpu sindok  menyahut: “Mengapa pula aku harus ikut 

sibuk? Biarkan saja papa minggat. Toh ia tidak memerlukan 

bantuanku. Toh sudah lama ia membenciku!” 

“Astaga. Apa maksudmu, arwah mpu sindok ?” 

“Sudah hampir dua tahun aku diperlakukan bagai 

orang asing di rumah ini. Papa tak pernah lagi menegur, 

marah, membujuk, mengajak. Papa sudah lama tidak ambil 

open padaku.” 

“Tidak benar itu, nak,” ibunya gemetar hebat. “Kau 

salah sangka. Justru ayahmu sangat menyayangimu, 

memanjakanmu, mengasihimu. namun  tidak mau 

memperlihatkannya terang-terangan. Ia bilang, kau sudah 

berangkat dewasa. Kau harus dibiarkan mencoba berpikir 

sendiri, memutuskan sendiri, berdiri sendiri. Ia tidak ingin 

mengekangmu. Ia justru membiarkan kau berkembang 

semakin dewasa, oleh dorongan jiwamu dari dalam. Ia 

bilang, kau bukan lagi anak kecil yang harus digiring-giring 

menuruti kemauan kami, orang tuamu!” 

arwah mpu sindok  terperanyak mendengarnya. Namun 

belum puas hatinya. Ia menuntut: “Dan mama? Mama juga 

menjauhiku!” 

“Siapa yang menjauhimu, nak? Oh... oh... aku 

mengerti. Ini memang salah ibumu, nak. Selain aku menuruti 

nasihat ayahmu, aku... aku sendiri juga, oh!” ibunya terisak-

isak lagi. “Ini salahku. Aku terlalu larut oleh nasib malangku 

sendiri. Ya Allah...” 

Tahu-tahu NYI girah  sudah tegak di pintu kamar 

adiknya. 

 100 

Ia berkata dingin: “Ingin pula menuduhku, 

arwah mpu sindok ?” sebab  yang ditanya diam saja, NYI girah  

menjawab sendiri: “Aku pun seperti Mama. Aku juga larut 

oleh nasib malangku sendiri. Yang kupikirkan cuma usiaku 

yang kian menua, cintaku yang terancam kandas, dan ayah 

kita yang berhati sekeras baja. Kalau itulah tuduhanmu atas 

diriku, arwah mpu sindok . Aku minta maaf...” 

“Kak...,” arwah mpu sindok  gelagapan. 

“Katakan padaku, dik. Apa yang membuatmu 

berpikir seburuk itu? Kau tidak punya salah, bukan?” 

arwah mpu sindok  tiba-tiba terbuka pintu hatinya. Luapan 

kebencian akan kelakuan ayahnya, nyatanya ia pendam di 

hati. Ia seorang anak yang sudah terbiasa patuh dan hormat 

pada orang tua, sehingga ia tidak pernah punya keberanian 

menuntut ayahnya. Ia juga tidak punya keberanian menyakiti 

hati ibunya. sebab  itu, ia kemudian menyimpan rahasia 

besar yang berhasil dibongkarnya. Rahasia, yang sebab  

didikan keras dan disiplin yang ditanamkan di bawah kasih 

sayang... membuat ia terpaksa harus menyembunyikan 

rapat-rapat dalam dadanya. Ia sendiri yang menjauhi 

ayahnya, sebab  takut ia akhirnya menuntut. Ia sendiri yang 

menjauhi ibunya, sebab  kuatir rahasia itu melukai hati 

ibunya. NYI girah ? Ah. Tak perlu ia tahu rahasia arwah mpu sindok . 

sebab  NYI girah  sudah tenggelam oleh rahasia hatinya 

sendiri. 

“Katakan arwah mpu sindok . Tidak ada waktu untuk 

berahasia-rahasiaan lagi!” NYI girah  mendesak, agaknya 

dapat menyelami jalan pikiran adiknya. 

 101 

“Tapi, mama...” arwah mpu sindok  memandangi ibunya 

dengan cemas. 

Ibunya sudah berhenti menangis. Ia menganggukkan 

kepala, lemah. Berujar, dengan senyuman mendorong, 

senyuman dipaksakan: “Katakanlah, anakku. Tak ada lagi 

yang ibu takuti saat ini.” 

arwah mpu sindok  menelan ludah. 

Kemudian mengatakannya. Pendek saja: “Tribuana Tunggadewi .” 

NYI girah  mengernyitkan dahi. “Tribuana Tunggadewi ? Siapa itu 

Tribuana Tunggadewi ?” 

“Sang dewa penulis . Ia...” 

Terdengar suara keluhan getir, lalu tubuh ibunda 

mereka tersayang meliuk limbung, jatuh ke lantai. Tak 

sadarkan diri. 

 

*** 

 

 

 

Tiga belas 

 

Syukurlah, bencana yang ditakutkan itu tidak sampai 

terjadi.  

sesudah  ibunya siuman dan mengatakan ia baik-baik 

saja, arwah mpu sindok  menyambar Vespa NYI girah  lantas terbang 

ke rumah Parlaungan. Tak ada mobil ayahnya di pekarangan 

rumah itu. Syukur lagi. Jadi papa belum kemari, pikirnya. 

Herannya, di dalam rumah terang benderang. Dan belum 

 102 

juga arwah mpu sindok  memijit bel, pintu sudah terbuka sendiri. 

Sosok tubuh tinggi besar tahu-tahu sudah tegak di depannya. 

“Ah, kau Yanto. Masuklah. Dan jangan bilang 

kakakmu cidera!” ia setengah berseru, kuatir. 

arwah mpu sindok  tidak masuk. Ia langsung menceracau, 

lebih kuatir lagi: “Kakak sih tak apa-apa. Yang kutakutkan 

papa. Menyingkirlah jauh-jauh, bang Laung. Papa akan 

membunuhmu!” 

“Terima kasih, dik. namun  aku tak akan lari. Apa yang 

terjadi?” 

“Gempar, bang, aduh! Mereka berkelahi. Kakak 

dicekik... ah, ah, maksudku hampir dicekik. Kemudian papa 

minggat dari rumah. Katanya ia akan membunuhmu, dan... 

ah, jangan-jangan ia sedang dalam perjalanan kemari, bang 

Laung. Ayolah, jangan berdiri bengong begitu. Larilah, 

lekas...!” 

“Sudah kubilang, dik. Aku tak akan kemana-mana...” 

Wajah Parlaungan tampak keruh. “Hem, sudah kuduga, ayah 

kalian pasti ngamuk. Dan... eh, nanti dulu. Jadi dia minggat 

ya? Siapa yang duluan meninggalkan rumah. Kau, atau 

ayahmu?” 

“Papa.” 

“Kalau begitu, ia belum kesini, dan kalau memang ia 

bermaksud membunuhku, maka ia akan mendahului kau. 

Jangan-jangan... he, Yanto. Kau masukkan Vespamu ke 

dalam. Kau ikut dengan mobilku saja,” Parlaungan 

menghambur masuk. 

“Kita ke mana?” tanya arwah mpu sindok  bingung seraya 

memasukkan Vespa ke dalam. Dari kamarnya, terdengar 

 103 

jawaban Parlaungan yang panik: “Ayahmu. Justru beliau 

yang harus kita kuatirkan!” 

Parlaungan selesai bersalin pakaian, mengeluarkan 

mobilnya dari garasi, lantas ngebut membelah kegelapan 

malam. Wajahnya makin keruh saja, dan beberapa kali ia 

memukul-mukul setir sambil mengumpat-ngumpat tak 

karuan, jelas sangat menyesali dirinya sendiri. arwah mpu sindok  

yang diam saja sebab  masih bingung, batuk-batuk kecil. 

Barulah Parlaungan sadar ia tidak seorang diri, katanya: 

“Coba kau ceritakan aku, Yanto. Bagaimana terjadinya...” 

arwah mpu sindok  menceritakannya. Dan mengakhirinya 

dengan perasaan kuatir yang belum juga hilang: “Mestinya 

abang lari saja. Abang malah cari penyakit!” 

Parlaungan mencoba tersenyum. Bergumam: “Kau 

ini perempuan atau laki-laki, dik?” 

“Laki-laki dong, bang Laung.” 

“Nah. Kalau yang seperti ini terjadi pada dirimu 

sendiri, apa yang akan kau perbuat?” 

arwah mpu sindok  tersedak. Sesaat  ia sadar arah 

pertanyaan Parlaungan. Ia menyesal. “Maaf, bang. Tadi 

aku...” ia batuk-batuk kecil lagi. “Soalnya kalau sampai terjadi 

apa-apa... Ya, ya. Kalau aku sih, tak akan lari, bang!” 

“Bagus! Itu namanya laki-laki. Tak percuma aku 

punya adik ipar macam kau, dik...” Parlaungan menepuk-

nepuk pundak arwah mpu sindok , membuat yang ditepuk-tepuk 

bangga bukan main. Kemudian, “Sekarang, Yanto. Sebagai 

seorang calon polisi, coba tebak. Kemana kita harus pergi 

mencari ayahmu? Seorang ayah yang sedang marah, putus 

asa, kehilangan akal sehat...” 

 104 

Semakin lama semakin rendah suara Parlaungan. Ia 

menggumamkan kata-kata tak karuan lagi. Lupa arwah mpu sindok  

belum menjawab pertanyaannya, ia mendengus:  

“Tak kusangka kakakmu senekad itu.” 

“Nekad bagaimana, bang?” 

“Mengatakan ia telah... ah ya, sudahlah, kau toh 

sudah dengar sendiri dari mulutnya. Yah, tak kusangka ia 

nekad mengatakan pada ayah kalian, kalau ia sudah hamil.” 

arwah mpu sindok  teringat lagi saat ia mendengar hal itu 

dari kakaknya. Teringat pula pada tafsirannya sendiri. 

Teringat pada Handini. Tiba-tiba muncul keingintahuannya, 

“Benarkah begitu, bang?” ia nyelutuk. 

“Sebenarnya semua itu kesalahanku juga,” 

Parlaungan tidak langsung menjawab. “Telah beberapa kali 

terjadi sebelumnya. Namun aku dan kakakmu, mula-mula 

masih dapat bertahan. Masih ingat diri. Masih takut pada 

dosa. Takut akan segala akibatnya. namun  toh, akhirnya tidak 

terelakkan juga.” Sampai di situ Parlaungan terdiam. Ia 

setengah melamun. arwah mpu sindok  ingin bertanya: bagaimana 

terjadinya? Ah, itu bukan pertanyaan yang sopan. Jadi ia 

diam saja. Menunggu. 

“Waktu itu kami piknik berdua. Tanpa rencana. Ke 

Ciater, Subang. Mandi air panas, kau tahu... Bukan hari libur 

waktu itu, dan kami tiba di Ciater sudah agak sore. Jadi sepi. 

Kuajak kakakmu berenang di kolam. namun  ia memilih 

kamar-kamar mandi tertutup. Jadi, kami memilih dua kamar, 

bersebelahan. Baru juga aku nyemplung ke bak mandi yang 

hangat itu, terdengar pekik tertahan kakakmu. Tak sadar 

kalau aku masih bugil, langsung saja aku menghambur ke 

 105 

kamar sebelah. Kakakmu sedang berendam di baknya, namun  

merungkut di pojok. Ia menunjuk ke lantai bak dan aku 

melihat sesuatu yang tampaknya seperti ular. Langsung saja 

aku terjun, berusaha merenggut apa yang tampaknya ular 

itu. Ternyata cuma potongan ranting busuk, yang masuk 

lewat saluran air ke dalam bak. namun  kakakmu yang sudah 

ketakutan, telah memelukku. Tak mau melepaskan aku lagi. 

Kau tahu... kami sama-sama tanpa busana, setengah 

terbenam dalam air hangat... dalam kamar tertutup... sepi di 

sekeliling kami. Dan... astaga! Mestinya itu tidak kami 

lakukan!” 

“.... untung aku tidak,” nyelutuk arwah mpu sindok , 

setengah melamun. 

“Apa?” 

“Di kamar mandi juga. Dengan Ronggolawe . Salah seorang 

pacarku. Kami juga seperti kalian, tanpa penghalang lagi...” 

“Dan?” 

“Dia keluar darah...” 

“Ha, apa?” 

“Dia mens.” 

Parlaungan melongo sesaat, kemudian tertawa 

bergelak. “Lantas, tak jadi?” tanyanya di antara gelak 

ketawanya. 

arwah mpu sindok  manggut. Lalu: “Ah, mestinya tak 

kuceritakan pada abang ya? Malu...” 

“Tak apa. Kita toh sesama lelaki juga.” 

“namun  bang, wah marahnya dia bukan main...” 

“Marah? sebab  tak jadi?” 

 106 

“Bukan. Dia marah, sebab  ia menyangka kejadian 

itu kusengaja. Dia sangka, aku ingin mencelakakannya. 

Untung dapat kami bereskan...” 

Lama Parlaungan membisu. Ujarnya: “Sedang aku 

dan kakakmu, malah tak beres...” 

NYI girah , katanya bercerita, sudah memberitahu 

bahwa malam ini akan meminta ketegasan dari orang 

tuanya. Parlaungan menawarkan diri untuk mendampingi, 

namun  ditolak keras oleh NYI girah . Ia akan menghadapinya 

sendiri, katanya, sebab  pilihannya pun hanya dua: diterima, 

atau ditolak mentah-mentah.  

“Aku sangat kuatir, ia lepas omong mengenai 

kehamilannya... jadi aku tak bisa tidur. Gelisah setengah 

mati. Aku takut terjadi apa-apa. Ternyata benar. Itulah 

sebabnya begitu kudengar bunyi motormu memasuki 

pekarangan, aku langsung membuka pintu. Ahh...” 

Mobil terus dikebut sambil mereka terus bertukar 

cerita. Mereka singgahi rumah sakit Cikini, Cipto, 

Pertamina... mereka keluar masuk kantor-kantor polisi. 

Apakah ada laporan kecelakaan lalu lintas  baru masuk? 

Mobil yang jungkir balik, menabrak pohon, menabrak rumah, 

menabrak mobil lainnya... Namanya? Oh ya, Bambang 

Prakoso. Merk mobilnya, warnanya? Oh ya, Holden Gemini, 

krem... Tidak? Syukurlah. Terima kasih pak, terima kasih, 

terima kasih. 

“... mungkin dia ngeram di kantor,” gumam 

arwah mpu sindok  sesudah  mereka ngebut lagi di jalanan yang sunyi 

sepi. 

 107 

namun  penjaga kantor bilang, yang masuk kantor 

larut malam begitu pasti cuma hantu yang ingin menelan 

arsip. 

“Uh, kemana lagi kita harus mencari?” Parlaungan 

menepuk jidat. 

“... Tribuana Tunggadewi .” 

“Tribuana Tunggadewi ? Siapa itu Tribuana Tunggadewi ?” 

“Dia... eh. Itu nama kelab malam, bang Laung.” 

“Mungkin juga. Sayang, aku bukan tukang keluyuran 

malam, jadi tak tahu ada kelab bernama seperti itu. Hem. 

Apakah kalau sedang amuk-amukan, ayahmu suka 

melupakan sakit kepalanya dengan berajojing?” 

“Hanya kadang-kadang. Biasanya, ia pergi ke bar.” 

“Kalau begitu, kita harus menjelajahi setiap pelosok 

Jakarta. Kecuali kau tahu ke bar mana biasanya ayahmu 

sering menghabiskan waktu.” 

arwah mpu sindok  menyebut beberapa nama bar, sambil 

bersyukur Parlaungan tidak lagi menyinggung-nyinggung 

soal Tribuana Tunggadewi . Ya ampun, hampir dia lepas omong! Coba tadi 

kalau ia tak keburu ingat diri, wah. Runyam dah, berantakan 

semua, yang memang sudah mulai berantakan. Coba, siapa 

pula yang tak malu punya ayah tukang lacur? 

 

*** 

 

Holden Gemini krem itu akhirnya mereka temukan di 

parkir di halaman bar ‘Exotic’ di kawasan Tanah Abang, yang 

ternyata tidak begitu jahu letaknya dari rumah tempat 

Parlaungan kost. arwah mpu sindok  berpikir, mungkin ayahnya telah 

 108 

ke rumah Parlaungan namun  keburu mereka berdua pergi. 

Mungkin juga ayahnya bermaksud ke rumah Parlaungan, 

namun sebab  sesuatu hal, dibatalkan sendiri. Kemungkinan 

mana pun yang paling benar, persoalannya sama saja. Ayah 

yang terhina itu memang berniat mendatangi orang yang 

telah menghinanya. 

arwah mpu sindok  kembali ketakutan. Berharap Holden 

Gemini itu bukan punya ayahnya. namun  plat nomornya 

cocok, juga variasi lampunya. Ia bermaksud turun 

mendahului calon abang iparnya, bermaksud menahan laki-

laki itu menunggu saja di mobil. Parlaungan memang 

bertubuh tinggi besar. Lebih tinggi, lebih besar dari ayahnya. 

namun  yang dihadapi Parlaungan adalah seorang ayah yang 

sedang naik pitam, dan mungkin sudah mabuk. Alangkah 

memalukannya! 

Parlaungan menyeret arwah mpu sindok  masuk lagi ke 

mobil. “Kau diam di sini saja!” katanya, tegas. Matanya 

memancar lebih tegas lagi, tanpa kompromi. Tulang-tulang 

pipi serta dagunya menonjol semakin keras; ciri khas 

Bataknya yang pantang menyerah. 

“Tapi bang...” 

“Kubilang, tunggu di sini. Kalau nanti kupanggil, kau 

baru boleh masuk. Mengerti?” 

arwah mpu sindok  mengalah. “Hati-hati, bang Laung,” 

katanya. Ia hanya pura-pura mengalah. Ia tidak mau 

Parlaungan cedera, sebab  ia sayang pada calon abang 

iparnya itu. Sebaliknya, ia juga ingin ayahnya baik-baik saja, 

sebab  arwah mpu sindok  anaknya. sesudah  sebentar bimbang tak 

menentu, arwah mpu sindok  diam-diam meluncur turun dari mobil. 

 109 

Begitu Parlaungan lenyap di dalam bar, arwah mpu sindok  lekas 

memburu. Ia tidak masuk, hanya berdiri di luar mengawasi 

lewat jendela kaca. Bar itu remang-remang, sepi di dalam. 

Hanya ada dua tiga orang pengunjung. Satu-satunya tamu di 

meja bar, hanya ayahnya seorang. Ayah yang memegang 

sloki kristal berkaki tinggi di tangan, isinya setengah kosong, 

cairan minuman itu merah saga, seperti juga kulit wajah 

ayahnya, memerah saga. 

Bambang Prakoso, ayahnya tengah memutar-mutar 

sloki minuman di depan matanya, seolah ingin memutar-

mutar leher orang yang dibencinya. Jantung arwah mpu sindok  

berdebar kencang, wajahnya terasa bagai dilapisi es batu. Ia 

lihat Parlaungan melangkah tenang-tenang ke arah bar. 

Tampak punggungnya yang besar, pundaknya yang lebar, 

otot-otot lengannya yang kekar, langkah-langkah kakinya 

yang perkasa. 

Bambang Prakoso mendengar ada orang 

mendekatinya. Ia menoleh.  

Parlaungan tertegun, mungkin terperanjat 

dipandangi begitu tiba-tiba. Dari balik jendela, arwah mpu sindok  

seakan dapat melihat pundak Parlaungan bergetar. Dan dari 

balik pintu yang setengah terbuka, ia dengar suara berat dan 

sopan: “Boleh saya ikut minum, pak?” yang bicara, 

Parlaungan. 

Gelas kristal di telapak tangan Bambang Prakoso, 

berderak. Kepingan-kepingan gelas itu jatuh ke lantai. 

Pelayan bar memandang terkejut, lalu pucat. Wajah-wajah 

suram di meja-meja bar, berpaling ingin tahu, namun tak 

seorangpun yang tertarik untuk menengahi. Malah wajah-

 110 

wajah yang tadinya suram itu mendadak berubah cerah. 

Senang bukan main: ada tontonan gratis! 

arwah mpu sindok  menggigil. Siap untuk menyerbu ke 

dalam. namun  persendian lututnya seakan copot. Tak mau 

kerja sama. Dan tahu-tahu ayahnya bergerak. Tinjunya 

melayang, keras sekali. Mendarat di wajah Parlaungan. Yang 

ditinju, tidak mengelak. Parlaungan terdongak, namun 

tubuhnya tetap kukuh, tak mundur walau setapak. Bambang 

Prakoso memaki-maki: “Ayo berkelahilah kalau kau merasa 

dirimu seorang laki-laki!” lalu tinjunya melayang lagi, lagi dan 

lagi, mendarat bertubi-tubi di wajah dan perut Parlaungan. 

Tubuh tinggi besar itu perlahan-lahan meliuk, limbung, namun  

tidak sampai terjatuh. Dengan perkasa, Parlaungan sudah 

tegak lagi. 

“Hayo, kau mahluk pejantan. Lawanlah!” bentak 

ayah arwah mpu sindok , bergemuruh. “Atau beranimu cuma 

menghamili anak perempuanku, eh?” 

“Cukup, pak!” untuk pertama kali, Parlaungan 

membentak tajam. 

“Cukup nenekmu! Mestinya nenekmu saja yang kau 

buntingi dan...” ucapan ayahnya terputus sampai di situ. 

Tinju Parlaungan sudah melayang. Tampaknya tidak begitu 

keras, namun ayah arwah mpu sindok  sesaat  terhempas 

membentur meja bar. Dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, 

Parlaungan sudah menyambarnya. Dengan sebelah tangan ia 

merogoh saku, meletakkan beberapa lembar uang ribuan di 

meja bar. Dan dengan sebelah tangan lainnya, ia mulai 

menyeret ayah arwah mpu sindok  ke pintu. Tubuh yang diseret itu 

diam saja, juga saat  dengan gerakan ringan Parlaungan 

 111 

mengangkatnya ke pundak, dan kemudian mendudukkannya 

di jok belakang mobil. 

“He, Yanto. Kau kemana?” seru Parlaungan mencari-

cari. 

arwah mpu sindok  tersadar dari kejutnya. Ia lari 

menghambur dari beranda bar, masuk ke dalam mobil 

dengan cemas. Ayahnya pingsan, namun tidak ada bagian 

tubuhnya yang cedera. 

Terdengar rungutan Parlaungan: “Ia mabuk.” 

Dan mobil meluncur ke jalan. Pulang ke rumah. 

Barulah sesudah  ayahnya dibaringkan di kamar tidur 

di bawah perawatan ibunya, arwah mpu sindok  melihat Parlaungan 

tengah dirawat sambil ditangisi NYI girah . Bibir Parlaungan 

pecah, mata kirinya bengkak membiru, perut dan dadanya 

memar-memar. 

Menjelang pagi, Parlaungan diminta calon ibu 

mertuanya masuk ke kamar. NYI girah  dilarang ikut, begitu 

pula arwah mpu sindok . namun  mana arwah mpu sindok  sudi ketinggalan 

berita! Jadi ia tempelkan kuping di daun pintu yang tertutup. 

Ia dengar desah nafas berat ayahnya. Dan isak tangis ibunya 

yang ditahan. Ia juga mendengar suara lirih Parlaungan, 

minta maaf atas kejadian di bar tadi. 

“Sungguh mati, aku tak berniat melukai Bapak,” 

desahnya. 

“Kau telah melukai hatiku, bung!” rungut ayah 

arwah mpu sindok , hambar. Mabuknya jelas sudah hilang. Tinggal 

nafasnya yang berat dan makin berat saja. Lalu keluarlah 

ultimatum itu: “Kau bersedia menikahi NYI girah , 

puteriku?” 

 112 

“Tentu.” 

“Yaaah, tentu! Kau toh sudah membuntinginya!” 

“Pak!” ibu arwah mpu sindok  mengeluh, tajam.  

Ayah mendengus, tak perduli: “Orang tuamu di 

Siantar sudah kau beritahu?” 

“Sudah, pak.” 

“Mereka setuju?” 

“Mereka bahagia, pak.” 

“Bahagia. Bah!” 

Mendengar rungutan ayahnya di dalam, di luar pintu 

arwah mpu sindok  tidak dapat menahan tertawanya.  

“Manusia sialan mana yang ngakak itu, he?” 

terdengar ayahnya memekik. 

arwah mpu sindok  pucat pasi. Ngacir dari pintu. Terbirit-

birit. 

 

*** 

 

  

 113 

BAB TIGA – KERIKIL TAJAM 

 

Empat belas 

 

“Sudah kau catat semua, Yanto?” 

“Sudah, mama.” 

“Berapa jumlah yang diundang?” 

“Hampir dua ratus orang, mama. Tetangga-tetangga 

sekitar, teman-teman arisan mama, teman-teman sekantor 

papa, famili...” 

“Tak ada yang terlewat?” 

“Rasanya sih tidak, mama...” 

“Coba sini, aku lihat.” 

arwah mpu sindok  menyodorkan berlembar-lembar kertas 

berisi catatan nama-nama dan alamat-alamat. Ibunya 

menyimak sebentar, kemudian dahinya berkerut. Suaranya 

terdengar murung saat  ia berkata: “Kau melupakan 

mereka, nak.” 

“Mereka siapa, mama?” 

“Familimu.” 

“namun , mama...” 

“Yang kau catat di sini, baru famili dari pihak ayahmu 

saja...” 

arwah mpu sindok  tersentak. “Oh, iya ya...” gumamnya 

terbata-bata, dan sangat menyesali kealpaannya manakala ia 

lihat wajah ibunya yang sendu. “Kalau diundang, apakah 

mereka akan datang mama? Mereka jauh-jauh tinggalnya, 

dan selama ini...” 

 114 

“Kewajiban tetaplah kewajiban, anakku. Soal datang 

atau tidaknya, bukan hak kita lagi. Nah. Catatlah...” 

Surat undangan untuk famili dari pihak ibunya itu, 

dilampiri pula masing-masing sepucuk surat yang ditulis 

tangan oleh ibunya pula. arwah mpu sindok  tergerak untuk 

membaca isinya, namun  hati nuraninya menolak. Itu adalah 

rahasia orang tua, pikirnya. Adapun ayahnya, bagaimanapun 

didesak tetap tidak mau menulis surat. saat  akhirnya ia 

menyerah juga, ayah arwah mpu sindok  cuma berkata: “Bilang saja, 

bu. Aku kirim salam, begitu.” 

Surat-surat itu dikirim jauh sebelum waktunya 

mengirim surat undangan yang lain. Satu minggu kemudian, 

datanglah balasannya. Tidak serempak. Mula-mula yang dari 

Banjarmasin, lalu yang dari Medan, terakhir yang dari Irian 

Jaya. Setiap menerima surat dari saudaranya itu, ibu 

arwah mpu sindok  tidak langsung membukanya. Ia menyimpannya 

dengan hati-hati, dan berpesan keras agar tidak seorangpun 

yang boleh membukanya sebelum diijinkan.  

NYI girah  bertanya penasaran: “Yang dari 

Banjarmasin serta dari Medan sudah datang. Mengapa 

mama harus tunggu yang dari Irian?” 

Ibu mereka jelas tegang saat  menjawabnya. 

Katanya, ia ingin mebuka setiap surat yang datang sesaat  

itu juga. namun  ia ingin tahu, apakah ketiga orang saudaranya 

akan membalasnya semua. Dan kalau sudah, baru ia buka. 

Dengan begitu, ia berharap: apabila yang satu mengatakan 

tak mau datang, semoga yang lain mengatakan mau datang. 

Jadi luka hatinya tidak seberapa. 

 115 

“Bagaimana kalau ketiganya tidak datang?” celetuk 

arwah mpu sindok . 

Sebelum ibunya menjawab, sang ayah sudah 

mendahului. Kalimatnya pedas bukan main: “Sudah pasti 

mereka tak datang. Sudah pasti, mereka hanya ingin 

memperhinakan kita lagi!” 

“Jangan memastikan sesuatu yang belum terjadi, 

papa. Itu namanya mendahului Tuhan!” NYI girah  

mencerca. 

saat  akhirnya ketiga pucuk surat yang ditunggu 

sudah terkumpul, ibu masuk ke kamarnya. Ia tidak ingin 

diganggu selama membukai surat-surat itu. arwah mpu sindok  dan 

NYI girah  saling bertukar pandang. Jelas, keduanya sama 

cemas. Sedang ayah mereka, acuh tak acuh saja. Pura-pura 

asyik dengan surat kabar di tangannya. 

Kemudian terdengar suara dari dalam kamar. Suara 

ibu menangis. 

Ayah meletakkan surat kabarnya dengan jengkel. 

Bersungut lebih jengkel lagi: “Apa kubilang! Percuma saja 

me