popular
Sinar kuning kemilau tiba-tiba menyergap, garang.
Hitamnya malam buyar sesaat . Bantalan-bantalan rel
berderak kaget. arwah mpu sindok melangkah mundur. Kelopak
matanya terpejam, menahan silau. Angin keras menampar-
nampar wajahnya. Dingin. Menggigit. Dalam kegelapan
pandang ia dapat merasakan debu menyengat lubang
hidung; disertai bau sampah yang bertaburan di sekitarnya.
Kendang telinganya seakan pecah diledakkan suara hingar-
bingar yang sangat membisingkan.
saat semua prahara itu perlahan-lahan berlalu dan
arwah mpu sindok membuka kelopak matanya kembali, samar-
samar masih terlihat lampu belakang gerbong terakhir,
bergoyang lembut seperti penari yang kelelahan. Kian lama
kian menjauh. Tinggal titik kuning lemah yang kemudian
6
lenyap ditelan kegelapan malam yang kembali mengelam,
semakin hitam. Namun sayup sampai masih terdengar bunyi
nafas naga besi itu berdesas-desus teratur; seolah-olah sadar
bahwa tempat peraduan yang nyaman tetap menanti
dengan setia. Perjalanan panjang itu akan berakhir di stasiun
Bandung.
Dan di halte Cikudapateuh, perjalanan hidup
segelintir anak manusia justru baru saja dimulai.
arwah mpu sindok menyeberangi rel sambil terbatuk-batuk
sebab sisa debu masih menempel di lubang hidung. Ia
memasuki gang sempit yang membelah rumah-rumah liar
sepanjang rel kereta. Rumah-rumah tanpa beranda, tanpa
penerangan listrik – bahkan mungkin juga tanpa harapan
walau hanya sejumput belaka. Dari balik dinding bilik salah
satu rumah petak yang dilaluinya, terdengar suara cekikik
perempuan; mirip ringkik kuda binal tengah birahi. Dan suara
serak seorang lelaki mengumpatkan ucapan kotor
menyebut-nyebut sesuatu mengenai kemaluan si
perempuan.
arwah mpu sindok bergidik seram. Terus saja melangkahkan
kaki dalam kegelapan malam. Gang yang dilaluinya
membelok tidak karuan. Sekali ia hampir saja menabrak
pintu, tegak bingung lalu kemudian melihat sebuah celah
sempit di sebelah pintu untuk masuk ke gang berikutnya.
Baru dua tiga langkah memasuki celah tadi, arwah mpu sindok
dibuat kaget oleh makian kasar seseorang.
“Haram jadah! Kau babi busuk!”
arwah mpu sindok tertegun. Lalu terdengar suara lain
menimpali: “Aku tak sengaja kang...”
“Tak sengaja pantatmu. Lihat buku bonku basah
semua.”
“Nanti kujemur, kang...”
“Awas kalau rusak! Kau tahu, malam besok yang
keluar pasti nomor 35 atau 53. Lihat! Aku pasang 1000 untuk
35 dan 500 untuk 53. Dan justru kuah sayurmu pas tumpah
di bon bernomor mahal ini. Sialan! Sini, dekatkan lampu biar
kuperiksa, apakah...”
Geleng-geleng kepala arwah mpu sindok mendengar
pertengkaran sengit di balik dinding papan yang dilewatinya.
Teringat, baru tiga hari yang lalu surat kabar di kota ini
menyiarkan ucapan Walikota Bandung bahwa Bandung
sudah bebas dari judi buntut. Itu pun sesudah satu bulan
penuh diadakan razia besar-besaran oleh polisi dibantu
Laksusda. Mestinya arwah mpu sindok mendobrak masuk ke rumah
barusan, menyita barang bukti yang ada dan cukup
menangkap para pelaku. namun daerah ini tidak termasuk
wilayah hukum kantor dinasnya. Dan ia hadir di sini bukan
pula sebagai petugas. Melainkan sebagai pribadi. Itupun
dengan tujuan, yang semakin sedikit orang tahu akan
semakin baik.
Akhirnya ia melihat nyala lampu samar-samar di
depannya. Sebuah pintu tampak menganga terbuka.
Seseorang tampak menyelinap dari kegelapan di seberang
pintu. Siap masuk kembali ke dalam rumah. Namun segera
dia menunggu, saat melihat ada seorang pendatang tak
dikenal.
8
“Selamat malam... Neng,” sapa arwah mpu sindok sesudah
menyimak sebentar orang di depannya.
Perempuan itu berumur sekitar 25-an, agak pendek.
namun dadanya besar, begitu pula pinggulnya. Ia
mengenakan rok terusan warna gelap, dandanannya tidak
teratur. “Malam, Oom,” sahutnya seraya menyeringai
memperlihatkan sebaris gigi yang biar rapi toh tampak agak
kekuning-kuningan dalam jilatan lampu. “Cari teman tidur,
ya?”
Mendadak timbul pikiran iseng arwah mpu sindok .
Bagaimanapun ia toh seorang laki-laki, masih muda, dan
bujangan pula. “Lagi kosong?” ia bergumam dengan senyum
kaku.
“Yang di dalam,” perempuan itu mengerlingkan
mata lewat pintu yang terbuka. “Ia sudah selesai denganku.”
“Aku tak suka bekas orang.”
“Jangan kuatir, Oom. Aku barusan kencing. Sekalian
cuci itu-ku...” si perempuan tertawa genit, dibuat-buat.
“Di situ?” tanya arwah mpu sindok sambil menuding ke
saluran air di belakang si perempuan. Saluran itu sebuah got
pembuangan, yang di bawah siraman rembulan kelihatan
airnya kehitam-hitaman. Ada sebuah kakus kecil, mungkin
MCK rumah-rumah sekitar, dan di dekat kakus itu bertumpuk
segala macam sampah yang menimbulkan bau pesing.
Menyadari maksud arwah mpu sindok , perempuan itu
tertawa meringkik. “Aku punya obat pengharum di kamar,”
ujarnya, sambil menggandeng lengan arwah mpu sindok . “Ayolah
kita masuk. Kerbau sialan itu begitu memuntahkan laharnya
9
terus saja mendengkur di ranjangku. Kau bantulah aku
mengusirnya ke luar. Baru sesudah itu kita...”
“Biarkan saja dia. Kasihan,” sahut arwah mpu sindok . Segan
masuk.
“Oh. Jadi Oom lebih suka kita melantai,” bisik si
perempuan nakal, sambil mulai menciumi pipi arwah mpu sindok .
saat bibir perempuan itu mengarah ke mulutnya,
arwah mpu sindok mengelak dan melepaskan lengannya dari
genggaman si perempuan.
“Aku bukan mau begituan, Neng. Aku cuma
numpang tanya. Boleh?” kata arwah mpu sindok , lembut – kuatir
penolakannya membuat si perempuan tak senang.
“Nggak masuk dulu?”
“Ah. Di sini saja deh.”
“Oom. Di sini, aku paling muda. Paling cakep.
Paling...”
“Aku tahu.”
“Jadi?”
“Justru aku mau tanya, orang yang paling tua,
barangkali.”
“Eh, kok...?”
“Namanya Tribuana Tunggadewi .”
Si perempuan membelalak. “Nenek sihir itu? Hii..!”
ia bergidik seram. “Jadi Oom lebih suka ditemani tidur nenek
sihir itu? Astaga! Ia akan mengisap Oom sampai habis!”
matanya kemudian mengawasi arwah mpu sindok lagi. Dari wajah,
turun ke dada, turun lagi ke perut, turun lagi sejengkal ke
bawah – dan berhenti cukup lama di situ. Mulutnya
menyeringai, genit. Berdesah, “Kalau Oom senang diisap, aku
10
– aku juga bisa. Dan tidak seperti nenek sihir itu – punya Oom
akan kusisakan sedikit untuk isteri Oom di rumah!”
Bergemelutukan gigi arwah mpu sindok mendengarnya.
Mulutnya membuncah. Ingin meludah. Namun sebelum
wajahnya diludahi, perempuan tadi cepat menyingkir ke
pintu gubuknya. Siap untuk membantingkannya di depan
batang hidung arwah mpu sindok .
“Aku mencium bau polisi di tubuhmu,” katanya,
cemas.
“Neng...”
“Kau polisi ya?”
“Dengar, Neng. Aku sendirian. Dan kalaupun
misalnya aku polisi, aku tak bawa surat tugas. namun kalau
kau menutup pintu...”
Si perempuan membatalkan niatnya membanting
pintu. Ia malah membukanya semakin lebar. Wajahnya
sebentar pucat, sebentar memerah, pucat lagi. Lalu:
“Langgananku yang di dalam, belum bayar. Aku tak punya
uang. namun kalau kau mau – dan eh, soal isap-mengisap
kukira menarik juga. Aku belum pernah, namun ...”
“Persetan kau pernah atau tidak!” kesabaran
arwah mpu sindok mulai hilang. “Aku cuma menginginkan Tribuana Tunggadewi !”
“Pintu ketiga sesudah ini. Yang bercat biru!” si
perempuan menjelaskan buru-buru. Buru-buru pula ia
menutupkan pintu. Namun belum juga arwah mpu sindok sempat
menghela nafas, pintu itu sudah terbuka kembali. Sedikit
cuma. Cukup untuk meloloskan sebagian wajah pemiliknya,
yang berkata agak bimbang: “... kusarankan, Oom. Jangan
malam ini. Ia masih sakit.”
11
“Sakit? Sakit apa?”
“Entah ya. Mungkin darah tingginya kumat lagi.
Sudah sepuluh hari ia tidak mau terima tamu. Kerjanya
berkurung di kamar. Kalaupun kami boleh menengok, ia
marah-marah melulu. Sepertinya... sarap!”
Seolah takut oleh ucapannya sendiri, si perempuan
lekas-lekas menghilang dan kini benar-benar membanting
pintu. Menguncinya sekaligus. arwah mpu sindok termangu.
Bingung, dan mulai gelisah. Jadi ia telah menemui alamat
yang benar. Masalahnya sekarang, apakah ia orangnya
benar? Tribuana Tunggadewi hanyalah sebuah nama. Siapa pun boleh
memakainya.
Main isap?
“Astaga, mustahil dia melakukannya. Ia seorang
dewa penulis !” arwah mpu sindok menggigil. Keterangan itu terlalu
mengejutkan untuk ia terima begitu saja. Langkahnya
tertegun-tegun. Bimbang. namun toh sampai juga ia di depan
pintu biru itu. Pintu yang letaknya miring, mungkin sebab
salah satu engselnya hampir copot, pegangan platinanya
berkarat waktu dijamah arwah mpu sindok . “Jangan-jangan Tribuana Tunggadewi
yang ini, bukan Tribuana Tunggadewi yang pernah kukenal,” pikirnya.
Dengan perasaan segan, diketuknya pintu. Selagi
mengetuk, terbayang saat pertama ia pernah bertemu
dengan perempuan itu. Sang dewa penulis duduk di pojok
sebuah bar di salah satu sudut kota Jakarta. Sesuai dengan
usia remajanya saat itu, arwah mpu sindok sudah berkali-kali jatuh
cinta. Tiap kali mengencani seorang gadis, ia kemudian
menyadari bahwa masih ada gadis lain yang lebih cantik.
namun saat melihat perempuan itu, arwah mpu sindok sangat
12
terpesona. Kecantikannya demikian luar biasa. Ia berpakaian
gemerlapan, dandanannya bukan main. Tanpa pakaian serta
dandanan yang hebat itu pun, penampilan si perempuan
sudah sangat aduhai. Kalau ada orang berkata bahwa hanya
hasil seni saja yang bisa disebut antik dan artistik, maka
orang itu seharusnya datang untuk menyaksikan si
dewa penulis .
Saking kagum bahna ta’jub arwah mpu sindok sampai
tertegak diam, lupa tujuan sebenarnya datang ke bar itu. Ia
hanya melongo dengan mata tak pernah berkedip; kuatir
hanya sebab satu kerdipan saja, bidadari itu akan sirna dari
depan matanya.
“... mencari siapa, dik?” terngiang kembali suara
perempuan itu. Suara yang begitu lunak, begitu basah, yang
membuat arwah mpu sindok sempat tergetar sebab gairah
remajanya mendadak bangkit. Jiwa remajanya
memberontak, mengapa wanita itu bukan miliknya, bukan
kekasih pujaannya... namun milik ayahnya!
Ayahnya pulalah yang membebani arwah mpu sindok tugas
teramat berat. Sehingga kini ia merasa kesasar ke daerah ini,
menyelinap di antara rumah-rumah liar sepanjang rel kereta
api, untuk menemukan Tribuana Tunggadewi . “Kudengar, Tribuana Tunggadewi kini berada
di ambang kehancuran,” kata ayahnya. Dan sesudah
arwah mpu sindok berdiri di depan pintu biru yang miring itu, ia
malah lebih kuatir lagi dari ayahnya.
Pintu ini tak pantas menyembunyikan seorang
dewa penulis .
Dan Tribuana Tunggadewi bukan jenisnya orang yang digambarkan
pelacuran murahan tadi. Tribuana Tunggadewi boleh menjadi tua. namun
tukang isap...
Sejenak terlintas pikiran untuk mundur dan
melupakan pintu biru di depan matanya; ini memang Tribuana Tunggadewi ,
namun bukan Tribuana Tunggadewi yang ia harus cari dan temukan. namun
mengapa pula harus mundur? Kepalang basah, ketuk lagi
pintu itu. Hadapi kenyataan, bagaimanapun pahitnya. Yang
terpenting, ini menyangkut amanat seseorang. Yang bila
tidak dilaksanakan, besar kemungkinan membuat arwah
orang itu akan menggeliat resah di dalam kubur.
arwah mpu sindok menghela nafas panjang. Diketuknya lagi
pintu. Lebih keras.
***
Dua
“Siapa?” terdengar suara nyaring di dalam.
Menyentak.
“... aku,” sahut arwah mpu sindok . Kecut. Apakah ia akan
terkesima seperti dulu? Diperolok-olok, bahwa ia salah
alamat?
“Aku siapa?”
“Yanto.”
14
Sepi sejenak. Lalu: “Nama itu tak ada di kampung
ini!”
“Aku dari Jakarta...”
“Jakarta? Kau mau apa?”
“Nanti kujelaskan. Bukalah pintu.”
“Buka sendiri!”
Tadi arwah mpu sindok sudah menggerakkan pegangan
pintu. Ia lakukan sekali lagi. “Terkunci,” katanya.
“Anjing! Orang lagi enak-enak mimpi!” terdengar
suara memaki, lalu ranjang berderit, sandal yang diseret, lalu
detak anak kunci yang diputar dengan kasar. Pintu berkeriut
terbuka. Perempuan yang membukanya kemudian bergerak
mundur agar tamunya bisa masuk. Di bawah sinar lampu
listrik 25 watt, penampilan perempuan yang ini memang
sangat mirip dengan gambaran pelacur muda yang tadi.
Selain tua, lehernya agak bungkuk. Pipi bergelambir, hidung
menekuk seperti paruh burung, dagunya bergantung rendah
pula. Tampaknya, paling sedikit ia berusia 50 tahun, mungkin
lebih.
Bukan ini orang yang kucari, pikir arwah mpu sindok kecewa.
Mungkin orang ini memang bernama Tribuana Tunggadewi . Mungkin pula ia
ini seorang nenek sihir. Yang pasti, ia tidak punya tampang
seorang dewa penulis , tidak punya penampilan seorang wanita
pujaan yang untuk mencium tangannya saja harus
membayar mahal. Barangkali memang itulah julukan yang
pas untuknya: nenek sihir! sebab matanya yang sesat tadi
suram menakutkan, sekonyong-konyong bersinar
mengerikan. Lantas dari sela-sela bibirnya yang tebal
menggumpal terdengar desahan tajam.
15
“Kau...” mulut perempuan itu ternganga. Matanya
seakan mengenali arwah mpu sindok . Namun kalimat berikutnya,
jelas merupakan penolakan pada apa yang ia kira ia sangat
kenal: “Kau bukan dia.”
arwah mpu sindok terengah. “Dia siapa, bu?”
“Bambang. Tidak. Kau bukan Bambang...”
arwah mpu sindok tiba-tiba tersedak. “Memang bukan,”
ujarnya. Ngeri.
“Siapa kau?”
“Anaknya!”
Perempuan itu terdiam. Kemudian, tubuhnya
terguncang hebat. Tak satu pun suara keluar dari mulutnya
yang kering pucat. Pelan-pelan ia mundur, sempoyongan
menuju sebuah kursi plastik, ke benda mana kemudian
tubuhnya jatuh menghempas. Jatuhnya begitu ringan.
sebab perempuan itu selain kurus, juga tampak kering
bagaikan pohon tua yang sudah lapuk – berkeriput,
kehilangan rupanya yang asli. Sepasang mata tuanya
menatap arwah mpu sindok seperti seorang nenek sihir menatap
orang suruhan yang akan mengikatnya ke tiang gantungan
sebelum tiba waktu pembakaran.
“Boleh aku masuk?” arwah mpu sindok bertanya sesopan
mungkin, sesudah ia kini sadar siapa perempuan itu.
sesudah menunggu dan tak juga dipersilahkan, maka
arwah mpu sindok mempersilakan diri sendiri. Kepalanya terantuk
saat ia melangkah masuk. Rupanya bendul pintu lebih
rendah dari ukuran yang lazim. Sesaat, arwah mpu sindok nanar,
kepalanya agak pening oleh benturan itu. Untuk menutupi
kebodohannya ia kemudian menutup pintu dari dalam.
16
saat ia berbalik, ia segera berhadapan dengan sebuah
ruangan yang sangat mesum. Ruangan tunggal. Tanpa kamar
tidur sebab di pojok ada sebuah dipan dengan kasur tanpa
seprei. Tanpa dapur sebab di pojok lainnya ada sebuah
kompor yang tempat minyaknya mungkin bocor, lantai di
bawah kompor itu hitam dikotori minyak.
Kursi plastik yang diduduki perempuan itu jelas
sudah tidak utuh jalinan tali temalinya. Masih ada sebuah
kursi lagi. namun keadaannya demikian meragukan sehingga
arwah mpu sindok enggan mendudukinya. Ada meja kecil, sayang
kakinya tinggal tiga. Kaki satunya lagi pasti pernah patah dan
belum pernah diganti. Meja itu juga tak mungkin diduduki.
Apakah ia harus duduk di dipan? Namun sesudah melihat
warna kasurnya yang sudah tidak karuan, arwah mpu sindok
memutuskan untuk tetap berdiri saja.
“... mengapa kau kemari?” bisik perempuan itu.
Parau.
“Aku mengemban amanat,” jawab arwah mpu sindok .
“Bambang?”
“Ya.”
Memercik sinar aneh di mata perempuan itu.
Sekejap cuma. Sinar itu lantas pudar, sebelum arwah mpu sindok
sempat menangkap maknanya.
“Maafkan sambutanku ini...” ujar si perempuan
lemah. Lemah pula ia bangkit dari duduknya tanpa sempat
dicegah arwah mpu sindok . Terbungkuk-bungkuk ia berjalan ke arah
dipan. Sambil lalu ia sambar sebuah kutang tua yang
tergelimpang di lantai. Kutang itu ia lemparkan seenaknya ke
ujung dipan. Menggelepar sebentar di sana, kemudian jatuh
17
menggelinding ke tempat kosong di ujung sana dipan.
arwah mpu sindok kemudian menangkap bayangan setumpuk
pakaian lain yang berserakan di bawah dipan itu, bersama
botol-botol kosong serta berbagai macam rombengan
campur aduk.
“Ibu suka minum bir?” arwah mpu sindok menemukan
percakapan untuk membuang suasana kaku yang
menggantung di antara mereka. “Biar kubelikan untukmu,”
tambahnya, sambil menyesali diri mengapa tidak teringat
membawa oleh-oleh.
“Terima kasih. Aku hanya minum kalau seorang
tamu minta agar aku...” wajah si perempuan memerah
padam sesaat . “Ayo, kau duduklah. Jangan berdiri di situ.
Menambah sumpek kamarku saja... Punya rokok?”
arwah mpu sindok memberinya sebatang, sekalian
menyulutnya dengan korek api. Dari tempatnya duduk, ia
kemudian melihat bagaimana si perempuan menikmati
isapan rokok di mulutnya yang kering kerontang. Sekilas,
arwah mpu sindok membayangkan bagaimana kalau yang diisap
perempuan itu bukan sebatang rokok, melainkan...
“Jangan memandangku seperti itu!” rungut si
perempuan menyentak.
arwah mpu sindok terperanjat. “Maaf,” desahnya.
“Mereka tentunya sudah bercerita banyak mengenai
aku, ya?”
“Ah...”
“Semua itu benar. Apakah kau merasa jijik?”
“Aku...”
18
“Kau jijik. Bahkan saat kau menyulut rokokku, aku
tahu kau menahan nafas. Aku memang bau sekarang.
Bahkan busuk. Busuk sampai di dalam-dalamnya. namun aku
harus hidup. Aku takut menghadapi kematian. Kecuali
beberapa hari terakhir ini. Betapa inginnya aku dijemput
malaikat maut, betapapun kejam caranya nyawaku
direnggut...”
“Mengapa kau ingin mati?” tanya arwah mpu sindok hanya
sekedar berkata saja. Ia belum tahu bagaimana ia harus
memulai dan bagaimana ia harus mengutarakan maksudnya
datang. Kalaupun akhirnya maksudnya kesampaian, astaga!
Pantaskah perempuan ini masuk ke tengah lingkungan
keluarga mereka?
“Kau tanya mengapa aku ingin mati?” suara
perempuan itu berubah kering, mendengking. Tahu-tahu
saja ia memukuli dadanya. Dada yang sama keringnya.
Rokoknya dibanting ke lantai. Diinjak-injak sampai hancur.
“Hatiku terbelah!” katanya tersengal-sengal. Matanya pun
berubah liar. “Beberapa hari ini aku bermimpi buruk. Kulihat
tangan-tangan jahat menyayat dan merampas sebelah
hatiku. Dan aku tahu apa maksudnya!”
“Apa?”
“Bahwa kekasihku telah mati!” bisik si perempuan.
Matanya semakin liar. Ia kini seakan berbicara pada dirinya
sendiri. “Kekasihku mati. Tanpa memberitahu aku lebih dulu.
Anjing, babi, dedemit haram jadah! Coba kalau aku tahu
bahwa ia tak akan pernah lagi datang menemuiku...”
arwah mpu sindok sebelumnya telah berbicara dengan
ayahnya. Ia kemudian mengetahui lebih banyak lagi dari
19
ibunya. Dan ia lalu tahu, siapa yang dimaksud kekasih oleh
perempuan itu. Pengertian itu membuat mata arwah mpu sindok
berlinang. Pundaknya tergetar, saat ia bergumam getir:
“Ia memang – tak akan datang lagi. Tak akan pernah
menemuimu kembali.”
“Jadi dia...”
“Firasatmu tak salah. Papa sudah mati.”
Beberapa detik lamanya, perempuan itu terdiam.
Kemudian, seolah ada tenaga gaib menjelma dalam dirinya –
ia menerjang meja, melemparkan kursi, membanting-
bantingkan kaki ke lantai, melolong panjang seraya kukunya
mencakari daun pintu sampai papan pintu itu menggelepar
lalu berderak retak. Sumpah serapah serta segala macam
ungkapan kotor lepas dari mulutnya. Sampai ia akhirnya
kehabisan nafas dan jatuh terjerambab di lantai.
saat arwah mpu sindok tersadar dari kejutan mendadak
yang menguasai dirinya, ia segera berlari mendapatkan
perempuan itu.
“Tribuana Tunggadewi – Tribuana Tunggadewi , bu Tribuana Tunggadewi !” ia memanggil-manggil.
Perempuan itu tetap diam. Rupanya tidak sadarkan
diri lagi.
Pertama kali melihat orang pingsan, arwah mpu sindok
panik setengah mati. Konon pula yang pingsan itu ibunya
sendiri. Hari itu, dua jam pelajaran terakhir di sekolah
dibatalkan sebab guru matematika sedang mengikuti
penataran P4. Teman-teman arwah mpu sindok pada ribut pergi ke
Parung diajak salah seorang murid yang berulang tahun.
Orang tua yang merayakan ulang tahun itu punya kebun
durian di Parung yang kebetulan sedang panen.
Titik air liur arwah mpu sindok membayangkan betapa
asyiknya ramai-ramai makan durian, ‘jatuhan’ pula lagi.
namun ia tak mungkin ikut mereka. “Mamaku sakit,” katanya.
Ia agak terhibur sesudah kawan-kawannya berjanji.
“Jangan kuatir. Akan kami sisakan untuk kau dan ibumu.”
Lezatnya durian itu segera dilupakan arwah mpu sindok
setiba di rumah. Ibunya ia temukan merayap di lantai kamar,
mencoba naik ke tempat tidur. Wajah ibunya memuith
seperti kapas. Suaranya hampir-hampir tak terdengar:
“Perutku, nak. Ampun, sakitnya...!” Biji mata ibunya
kemudian terbalik-balik, sebelum mengatup ratap.
Tubuhnya mengejang sesaat, kemudian diam tak bergerak-
gerak.
“Mama mati. Mama mati. Mama...” arwah mpu sindok
melemparkan tas sekolahnya, mengguncang-guncang tubuh
ibunya sambil meratap berkepanjangan. Lolongannya
21
menggemparkan para tetangga. Mereka datang berlari-lari.
Berusaha menarik-narik arwah mpu sindok yang terus saja
memeluki ibunya seraya menangis histeris. Ia meronta ingin
melepaskan diri. namun mereka terus memeganginya,
membujuknya dengan kata-kata manis menghibur,
sementara yang lain berusaha menyadarkan ibunya.
“Ia cuma pingsan, nak,” kata mereka.
Salah seorang tetangga pergi mengambil mobil dari
rumahnya. Ibu arwah mpu sindok sesaat itu juga diangkut ke
rumah sakit. Dalam perjalanan, ibunya sempat menggeliat,
membuka mata dengan susah payah, lalu mengeluh:
“Anakku, mana dia?”
Mengetahui ibunya sadar, arwah mpu sindok tidak lagi
menangis. Ia tertawa tanpa malu-malu.
Di rumah sakit, dokter yang memeriksa ibunya
memanggil arwah mpu sindok .
“Nak. Ibumu terpaksa diopname. Mungkin harus
dibedah,” dokter itu memberitahu. “namun sebelumnya,
kami harus memperoleh persetujuan keluarga. Dapat kau
hubungi ayahmu sekarang juga, nak?”
Hubungan telepon ke kantor ayahnya sedang sibuk.
Lalu ia putuskan pergi naik taksi saja. Ternyata ayahnya tidak
ada di kantor. Sekretarisnya bilang: “Tadi pergi entah
kemana. Tapi katanya akan kembali.” Pegawai yang lain juga
tidak tahu kemana perginya ayah arwah mpu sindok . saat turun
lagi ke bawah, kebetulan ia lihat mobil ayahnya memasuki
halaman parkir. Sialnya, yang dicari tak ada di dalam mobil.
Supir bilang satu jam sebelumnya pergi mengantar
majikannya ke Ciputat. “Bapak menyuruhku mengantar
22
beberapa pucuk surat. Selesai itu, aku diperintahkan kembali
ke sini...”
“Ia akan lama di sana?”
“Katanya, mungkin sore baru pulang,” jawab supir.
arwah mpu sindok tak sabar menunggu selama itu. Supir itu
tampak enggan saat diharuskan kembali ke Ciputat.
“Macet sekali di jalan,” katanya berdalih. Namun sesudah ia
dengar penjelasan bahwa isteri majikannya diangkut ke
rumah sakit, supir itu lantas tancap gas. Untuk menghindari
kemacetan, supir itu menjauhi jalan-jalan protokol dan
memilih jalan-jalan samping yang lebih sepi. Memang makan
waktu, namun lebih cepat tiba di tujuan.
Menjelang pukul dua siang mobil dibelokkan
memasuki halaman sebuah rumah mungil tapi artistik
dengan arsitektur gaya Spanyol. Tampaknya daerah
perumahan yang baru dibuka; suasananya tenang, damai,
jauh dari kebisingan kota. Pintu dibuka oleh seorang
perempuan tengah baya yang menyambut arwah mpu sindok
dengan tatap mata curiga.
sebab pikirannya lagi kacau, arwah mpu sindok lupa
berbasa-basi. Ia langsung saja menyerbu: “Aku mau ketemu
papa.”
“Siapa?”
“Papa.”
“Kau salah alamat...” dengus perempuan itu sambil
akan menutupkan pintu kembali. Tentu saja arwah mpu sindok tidak
menerima perlakuan meremehkan itu. Ia menahan daun
pintu yang hampir tertutup. Memaksa masuk. Untunglah
Raden Wijaya , supir ayahnya buru-buru datang menengahi.
23
“Maaf, bu,” ujar Raden Wijaya sopan. “Dia ini anak majikan
saya. Orang yang tadi saya antarkan ke rumah ini. Bolehkah
kami bertemu dia sebentar?”
Perempuan itu ragu-ragu sebentar. Lalu: “Barusan
pergi,” katanya. “Dengan nyonya.”
“Nyonya siapa?” tanya Raden Wijaya , sementara
arwah mpu sindok agak tersentak mendengar sebutan nyonya itu.
“Majikan saya.”
“Ibu tahu mereka pergi kemana?” tanya Raden Wijaya lagi.
Si perempuan kembali tampak bimbang. Ia
mengawasi kedua orang tamunya silih berganti.
“Istri majikan saya mendadak masuk rumah sakit!”
Raden Wijaya menerangkan dengan jengkel.
Barulah perempuan itu memberitahu: “Kalau tidak
salah dengar, majikan saya bilang mereka pergi ke Tigapi.”
“Tigapi?” Raden Wijaya kebingungan. “Dimana itu?”
“Di... hm, sebentar ya?” perempuan itu bergumam
seraya menghilang ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul
lagi dengan sebuah buku nota telepon. Ia menunjuk salah
satu halaman, dan Raden Wijaya membacanya.
“Tiga V – Vini, Vidi, Vici. Ah, syukur ada nomor
teleponnya... Boleh pinjam telepon sebentar, bu?”
arwah mpu sindok yang dari tadi diam saja, pelan-pelan
buka suara: “Aku tahu tempatnya,” lalu ia menyeret Raden Wijaya
masuk kembali ke dalam mobil.
“Dapat tahu ari mana?” tanya Raden Wijaya sesudah
mereka tancap gas lagi.
arwah mpu sindok dengan senang hati menceritakan salah
satu pengalaman paling menarik dalam hidupnya. Suatu hari
24
salah seorang teman gadisnya mengajak arwah mpu sindok minum
di sebuah bar. “Tempatnya bukan main. Eksklusif, mirip
suasana di nite club. Tahu apa yang diminta gadis itu begitu
kami duduk di pojok bertirai?”
“Minta apa dia?”
“Minta cium!”
Raden Wijaya sempat tercengang, kemudian tertawa
bergelak. “Dan kau masih anak SMP. Kau penuhi
permintaannya?”
“Jelas dong!”
“Lantas?”
“Nggak usah ya. Nanti kau ceritain papa. Bisa
dipotong uang mingguanku. Lagi pula, yang mau kuceritakan
bukan soal pacarku. namun peristiwa lain.”
Ceritanya, di balik tirai yang ditempati arwah mpu sindok
dan pacarnya, duduk bercengkrama sepasang sejoli lain.
Mereka kelihatan begitu asyik sambil sesekali ngomong
porno. Di tempat berlawanan, tiga orang lelaki perlente
sedang bersantap siang sambil berbisik-bisik. arwah mpu sindok
tidak tahu apa yang mereka bisikkan. namun sebab salah
seorang lelaki perlente itu sesekali melirik ke pacar
arwah mpu sindok yang memang berpakaian serba ketat menyolok,
arwah mpu sindok menduga tingkah lakunya bersama pacarnyalah
yang mereka pergunjingkan. Hal itu membuat arwah mpu sindok
tidak senang.
Ia baru saja mau bangkit sebab marah, saat dua
dari lelaki itu kemudian pergi. Yang tadi meliriki pacar
arwah mpu sindok tetap tinggal. Ia kelihatan sibuk membenahi isi
tasnya, sebuah tas besar yang tak pernah lepas dari
25
pangkuannya. Pada saat itulah, kegiatan dua sejoli di sebelah
tirai tadi berhenti mendadak. Yang lelaki bangkit bergegas
meninggalkan pasangannya. Sambil bersiul-siul orang itu
berjalan ke arah kamar kecil. Namun begitu lewat di dekat si
perlente bertas besar, orang itu lantas mengeluarkan
sesuatu dari balik jaketnya seraya membentak tajam.
“Polisi. Jangan bergerak!”
Si perlente terperanjat dan mencoba bangkit,
mungkin untuk melawan atau lari. Gerakannya terhenti
manakala laras sepucuk pestol menempel di jidatnya. Si
perlente yang menyakitkan hati arwah mpu sindok itu terduduk
pucat, lemas. Dalam sekejap tangannya telah diborgol, dan
tasnya dirampas. Teman perempuan polisi itu sudah pula
mendatangi dan segera memeriksa isi tas. arwah mpu sindok tidak
tahu apa isi tas itu. Ia hanya melihat perempuan itu
menganggukkan kepala. Sementara temannya menjaga
tawanan mereka, si polisi wanita mengeluarkan walkie-talkie
dan berbicara melalui pesawat itu. Tak lama kemudian
muncullah dua buah mobil di halaman bar, dari mana
berhamburan sejumlah polisi berseragam.
“... aku begitu terkesan dengan permainan polisi
itu,” gumam arwah mpu sindok geleng-geleng kepala. “Bukan
main!”
“Itu sebanya kau pernah bilang, bercita-cita jadi
polisi,”cetus Raden Wijaya . arwah mpu sindok manggut-manggut. “Dan
bar pencetus cita-citamu itu, adalah Vini Vidi Vici...”
“Persis!”
“Sebuah tempat seronok untuk menemui kencan
rahasia, eh?” desak Raden Wijaya pula, seakan sambil lalu.
26
arwah mpu sindok akan menyahut. Tapi mulutnya segera
terkatup. Ia teringat ayahnya ada di bar itu sekarang. Dengan
seorang ‘nyonya.’ Nyonya siapa? Mungkinkah nyonya
ayahnya sendiri?
Mendadak, dada arwah mpu sindok penuh sesak...
Apa mau dikata, ledakan kemarahan arwah mpu sindok
mendadak terbang ke awang-awang. sesudah masuk ke bar
3-V dengan petentang petenteng membuat para pelayan
berlaku waspada, bertemulah apa yang dicari. Mula-mula
yang tampak hanya punggung namun ia dapat mengenali
suara ayahnya, tengah mengatakan sesuatu. Lalu ia melihat
perempuan itu.
Merasa ada orang memperhatikan dari balik tirai
manik-manik, si perempuan mengangkat muka.
arwah mpu sindok langsung terpana.
“Amboi, cantiknya!” ia membatin. Kagum.
Herannya, perempuan itu tidak marah sebab
diintip. Ia mengawasi arwah mpu sindok dengan wajah tak berubah.
Tetap ceria, cemerlang sinar matanya, renyah senyum
bibirnya sewaktu mendengar ucapan mesra ayah arwah mpu sindok ;
ia tetap bersikap sama sewaktu menegur si tukang intip.
27
“... mencari siapa, dik?”
Suaranya, wah!
arwah mpu sindok sampai melupakan ibunya yang dalam
keadaan kritis. Ia hanya ternganga-nganga bengong. Tak
tahu akan berkata apa. Saat itulah ayahnya berpaling, dan
tampak sangat terkejut.
“Eh, Yanto – apa...”
Barulah arwah mpu sindok sadar diri. Ia menelan ludah.
Ditambah satu tarikan nafas panjang. Rugi rasanya saat ia
diharuskan berpura-pura tidak melihat si perempuan.
Terbata-bata ia berkata: “Mama... sakti, papa.”
“Apa?” ayahnya terlonjak bangkit.
“Mama di rumah sakit.”
“Tuhanku!” ayahnya tersentak pucat. “Sakit apa?
Kapan? Di rumah sakit mana? Mengapa aku tak segera
diberitahu? Bagaimana keadaannya? Apakah dia – ,“ dan
sekeranjang lagi ucapan panik terlontar dari mulut ayahnya
sementara menarik lengan arwah mpu sindok pergi meninggalkan
bar dan masuk ke mobil yang masih menunggu di luar.
sesudah Raden Wijaya melarikan kendaraan itu, barulah ayahnya
menyadari (atau pura-pura lupa, pikir arwah mpu sindok ) bahwa ia
telah melupakan sesuatu.
Ia menyuruh Raden Wijaya menghentikan mobil
mengambil alih setir, menyuruh Raden Wijaya keluar dari mobil
sambil memerintah: “Kembalilah ke bar tadi. Katakan pada
Tribuana Tunggadewi aku minta maaf dan isteriku...” Ia membantingkan
tangan ke setir, menyuruh Raden Wijaya masuk kembali sambil
bersungut-sungut: “Biarlah nanti aku sendiri yang
mengatakan.”
28
Kemudian, mereka ngebut ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, ayahnya langsung menyerbu ke
kamar tempat ibunya dirawat. sesudah itu konsultasi dengan
dokter. arwah mpu sindok tak berani masuk. Ia duduk diam-diam di
luar. Kalau ia masuk, ia pasti akan berdusta pada ibunya. Kali
ini, ia tak akan tega. arwah mpu sindok sering membohongi ibunya
mengenai harga buku yang ia beli, atau mengenai PR
kelompok yang katanya harus dikerjakan di rumah teman,
namun sebagian waktu itu ia manfaatkan mengajak pacarnya
pergi ke bioskop.
Makin sering arwah mpu sindok berdusta, makin wajar pula
sikapnya. Polos, seakan tak berdosa. Namun tiap kali ia
memulai dusta yang baru, ibunya pasti tahu. Nah, kalau ia
masuk ke kamar tempat ibunya dirawat, pasti muncul
pertanyaan-pertanyaan.
“... di kantor?” ia bayangkan ibunya bertanya penuh
selidik. “Nak, matamu mengatakan kau bertemu papa bukan
di kantor.”
“Memang bukan,” ia terpaksa harus mengaku. “Papa
kutemui makan siang di restoran.”
“Sendirian?”
“Ya.”
“Itu bukan kebiasaan papa,” ibunya akan menuduh.
“Yah – ada temannya juga.”
“Teman? Siapa?”
Runyam, kalau ditanya sejauh itu. Bisa habis dia!
Di luar kamar perawatan, arwah mpu sindok gelisah alang
kepalang. Ia duduk, berdiri, duduk lagi, berjalan, dan ingin
29
merokok namun takut dilihat ayahnya. Ia ingat masih punya
sebatang di saku celananya. Maka diam-diam ia menyelinap
cukup jauh dan sesudah menemukan tempat sepi serta tidak
ada plakat tanda larangan merokok, isi sakunya dikeluarkan.
Sesaat itu juga ia memaki: “Kunyuk sialan!”
Ternyata rokok sebatang itu sudah patah tiga. Uang
bekal telah pula habis dipakai tadi untuk bayar ongkos taksi.
arwah mpu sindok pening bukan main, dan kembali lagi ke tempat
semula. Pas muncul NYI girah , kakaknya yang telah
dijemput Raden Wijaya dari konservatori. NYI girah masih
mengenakan pakaian tari, sehingga meskipun ia menangis,
penampilannya tampak lucu. Namun arwah mpu sindok tidak bisa
tertawa. Malah air matanya ikut keluar waktu mereka
berpelukan.
“Mana mama, Yanto?”
“Di dalam sana. Ranjangnya dekat jendela,” ia
menjawab, seraya mengingatkan: “Berhentilah menangis.
Mama belum mati kok...”
sesudah NYI girah masuk ke dalam, arwah mpu sindok
melihat ayahnya keluar dari ruangan dokter. Wajah ayahnya
tampak murung. Ia gugup saat melihat arwah mpu sindok . Lantas
mendatangi.
“... bagaimana pa?” tanya arwah mpu sindok , sama
gugupnya.
“Sore dan malam ini ibumu harus puasa. Operasinya
besok... kakakmu sudah datang?”
“Sudah. Ia di dalam dengan mama.”
“Kalau begitu, kau pulanglah.”
30
“Aku tetap di sini, pa.”
Ayahnya mencoba tersenyum, seraya menepuk-
nepuk pipi arwah mpu sindok . Lembut. Katanya: “Sementara ini, tak
ada sesuatu yang dapat kita perbuat untuk ibumu, nak.”
“Aku akan mendampinginya. Menghiburnya, pa.”
“Itu tugasku. Kakakmu pun bersama kami. Jadi kau
pulanglah. Ingat, minggu depan kau harus mengikuti EBTA.”
“Tapi pa...”
“Jangan membantah. Pulanglah. Raden Wijaya akan
kusuruh menemanimu di rumah. Kalaupun kau kesepian, kau
boleh memanggil beberapa temanmu untuk nginap...”
“Boleh aku pamit dulu pada mama?” akhirnya
arwah mpu sindok mengalah.
Ayahnya tersenyum. “Siapa melarangmu?”
Sambil masuk kamar perawatan, arwah mpu sindok
berpikir. Kalimat terakhir ayahnya itu sangat
membingungkan. Apakah ayahnya benar-benar rela, atau
terpaksa?
Ibunya berbaring di ranjang. Lemah dan pucat.
namun sinar kehidupan sudah kembali di matanya. Ia
tersenyum pada anaknya, berusaha tampak gembira saat
mengatakan, “Aku baik-baik saja, Yanto,” senang kedua
pipinya dikecup, sambil menambahkan, “Sebaiknya kau
pulang saja, anakku.”
“Kau ambilkan pulalah baju ganti untukku,”
NYI girah menimpali. “Suruh Raden Wijaya mengantarkannya
kemari.”
31
“Mama tak ingin apa-apa?” tanya arwah mpu sindok sedih
sebab harus berpisah dengan ibunya, walau sementara.
“Kirimi aku doa, nak.”
Sambil bermobil ke rumah, arwah mpu sindok tak henti-
hentinya memanjatkan doa pada Tuhan demi keselamatan
dan kesehatan ibunya. Di antara doanya, ia sempat
menyelipkan rintihan hati. “Katakan ya Tuhan, apakah papa
masih milik kami?”
sebab mereka secara kebetulan melewati toko
bunga, arwah mpu sindok menyuruh Raden Wijaya berhenti. Ia kemudian
memesan satu buket anggrek jingga, mencatatkan nama dan
alamat tempat ibunya dirawat. Di kartu pengantar ia tulis:
BUNGA KASIH SAYANG UNTUK MAMA SEORANG. Pada
pemilik toko ia wanti-wanti: “Antarkan sekarang juga ya?”
Baru saat akan membayar, ia lupa tak punya uang.
Mulanya ia akan meninggalkan arloji sebagai jaminan. namun
pemilik toko dengan ramah menolak.
“Boleh bayar besok saja,” katanya.
arwah mpu sindok sangat berterima kasih. Dan
mengingatkan Raden Wijaya agar besok jangan lupa
memberitahukan kalau ia punya hutang di toko bunga itu.
Pulang ke rumah, ia segera memilih baju yang kira-kira cukup
dan cocok dipakai NYI girah bermalam di rumah sakit.
Sebelum Raden Wijaya pergi mengantarkannya, arwah mpu sindok
mengajak supir mereka itu duduk minum sebentar.
Agak lama arwah mpu sindok menimbang-nimbang apakah
yang ada dalam benaknya patut disampaikan pada orang
lain; apakah Raden Wijaya harus ikut dilibatkan. namun kemudian
32
ia berpikir, persoalan itu terlalu berat untuk ia hadapi
sendirian. Mana ia harus bersiap-siap menghadapi ujian
akhir. Wali kelas sudah mengingatkan bahwa arwah mpu sindok
serta teman-temannya, bahwa mereka harus berprestasi
tinggi kalau ingin melanjutkan studi ke SMA. Yang anggap
enteng, atau anggap uang di atas segala-galanya,
kemungkinan besar terpaksa drop out.
“Ingat nyonya itu, bang Raden Wijaya ?”
“Nyonya yang mana?” Raden Wijaya pura-pura bodoh.
“Jangan berlagak pilon ah!”
“Habis?”
“Yang di Ciputat,” rungut arwah mpu sindok , dongkol.
“Agaknya kau ingin melindungi papa, ya?”
“Melindungnya? Aku? Seorang supir?”
arwah mpu sindok mulai kesal. “Mau bantu aku tidak?”
“Dengan senang hati, Yanto,” cepat Raden Wijaya
menjawab, sambil memandangi minuman di tangannya,
untuk menutupi kenyataan bahwa ia sesungguhnya tidak
menyenangi tugas yang dibebankan oleh anak majikannya.
Tugas itu belum disebut-sebut, namun ia sudah dapat
menyelami maksudnya.
“Aku akan mengusulkan agar mama menaikkan gaji
abang mulai bulan depan,” arwah mpu sindok membujuk.
“Yang membayar gajiku, ayahmu,” Raden Wijaya
mengingatkan.
“Eh, mau naik gaji tidak?”
“Yah – siapa pula yang tidak mau?” Raden Wijaya mencoba
tertawa. Riang. Dibuat-buat. Sambil terus juga memandangi
33
isi gelasnya, seolah menunggu sesuatu bakal muncul dari
dalam minuman itu untuk diajaknya berkelahi.
“Bagus!” ucap arwah mpu sindok senang. Dengan suara
sedikit dibuat keren, ia melanjutkan: “Cari tahu siapa
perempuan itu!”
“Kok aku.”
“Itu tugasmu.”
“Lho. Yang mau jadi polisi ‘kan kau, Yanto.”
“Hem. Betul juga,” arwah mpu sindok berpikir-pikir. Lalu:
“Begini saja. Anggap aku ini Kapten. Dan kau, Sersannya.”
“Letnan, kalau boleh nawar!” Raden Wijaya tersenyum
dikulum.
“Eh. Belum apa-apa sudah minta naik pangkat,”
arwah mpu sindok tertawa. Mendadak ia dirasuki perasaan senang.
Apa pun yang telah terjadi sepanjang hari itu, pikiran untuk
menyelidiki siapa gendak ayahnya benar-benar membuat
arwah mpu sindok keranjingan. Ia dirangsang melakukan sesuatu.
Sambil berharap siapa tahu, pekerjaan itu sebagai tantangan
dalam mencapai cita-citanya kelak di kemudian hari: polisi,
yang menyamar sebagai gelandangan dan akhirnya berhasil
membongkar jaringan sindikat narkotik yang
membahayakan negeri ini.
“Dapat menemukannya untukku?” tanya
arwah mpu sindok , sambil melamunkan ia duduk di belakang meja,
sementara sekian orang anak buahnya siap di depan
mejanya, menunggu perintah.
“Menemukan apa?” Raden Wijaya melongo.
“Perempuan itu.”
“Oh.”
34
“Dapat nggak?!”
“Yah. sebab aku ini pembantu kepercayaan polisi
tauladan, tentu saja aku dapatkan dia untukmu,” berkata
begitu, Raden Wijaya nyengir kuda. Jelas ia mencemooh, namun
anak majikannya yang sedang dirasuk lamunan selangit,
tidak memperhatikan. Ingin berpuas diri, Raden Wijaya malah
menambahkan: “Kemana nanti ia harus kubawa? Ke hotel?
Atau langsung ke kamarmu?”
“Jadah!” arwah mpu sindok memaki. “Aku tak main-main,
bang!”
Raden Wijaya menenggak habis minumannya. Lalu
tersedak. “Maaf,” katanya, tersendat.
“Nah. Pergilah.”
saat Raden Wijaya beranjak ke pintu membawa tas
pakaian NYI girah , sang anak majikan bertanya: “Perlu
uang?”
“Alaa. Bunga saja dihutang,” ledek Raden Wijaya sambil
berlalu cepat-cepat kuatir yang diledek, naik pitam.
sesudah ia sendirian, arwah mpu sindok duduk tercenung.
Tiba-tiba ia dihinggapi perasaan bersalah. Apa haknya
memata-matai ayahnya? Dan taruhlah perempuan cantik itu
benar gendak ayahnya. Apakah ia harus melapor pada
ibunya? Kemudian, ibu akan meminta tanggung jawab ayah.
Apakah ayahnya bersedia melepaskan perempuan itu?
Misalnya bersedia. Beres untuk ibunya. namun hubungan
arwah mpu sindok dengan ayahnya akan retak.
Andaikata tak bersedia? Gawat: keluarga mereka
akan pecah berantakan. Ibu dan ayahnya bertengkar, lalu
35
bercerai. arwah mpu sindok dan NYI girah kemudian punya ayah
tiri, punya ibu tiri. Lebih gawat lagi: ibunya putus asa, lantas
bunuh diri!
Malam itu, arwah mpu sindok bagai orang kesurupan.
Biasanya, paling ia menghabiskan dua batang rokok sehari.
Malam itu, ia menghabiskan sebelas batang, dan paginya ia
batuk dan muntah-muntah...
Hari berikutnya arwah mpu sindok muncul di rumah sakit
sekitar pukul sepuluh pagi. Sesaat itu juga ia kalang kabut.
Ibunya tidak ada di kamar yang kemarin. NYI girah tak
tampak batang hidungnya. Begitu pula ayah mereka. Gugup,
ia mendatangi suster jaga yang kemudian memberitahu
bahwa ibu arwah mpu sindok sudah masuk kamar operasi setengah
jam sebelumnya.
“Tahu tempatnya, dik?” suster itu bertanya.
arwah mpu sindok menggeleng. “Mari saya antarkan,” ajak suster.
Di depan kamar operasi, arwah mpu sindok tidak saja
melihat kakak serta ayahnya. Ia juga melihat kehadiran tiga
orang lain yang segera ia kenali sebagai paman serta Oom-
nya dari pihak ayah. Mereka lantas bergegas menyongsong
arwah mpu sindok , menyalaminya, memeluknya, bahkan
menangisinya sehingga arwah mpu sindok semakin kalang kabut.
36
“Mama,” ia mengerang ketakutan.
“Ibumu akan segera baik kembali, nak. Sabar dan
tenangkan hatimu,” bujuk pamannya. “Kau baru dari sekolah
ya? Kok cepat pulangnya...?”
“Tak ada pelajaran, paman. Dan besok kami libur.
Mana mama? Aku ingin bertemu dengannya.”
“Nantilah. Kau sudah makan? Ayo, kutemani ke
kantin. Kau boleh pilih, mau makan apa...”
“Aku tak lapar. Aku mau mama,” air mata arwah mpu sindok
berlinang.
Pamannya menyerah. Ia sendiri sudah tidak dapat
menahan air mata. Akhirnya ia biarkan anak itu berlari
mendapatkan kakaknya, dengan siapa arwah mpu sindok saling
rangkulan, sesenggukan. NYI girah menarik adiknya duduk
di sebuah bangku panjang. Tak jauh dari situ duduk ayah
mereka dengan bahu turun dan kepala menekur sampai
dagunya mencapai dada. Ayahnya bagaikan patung, diam tak
bergerak-gerak, matanya pun hampir tak berkedip.
“Papa mengapa?” bisik arwah mpu sindok , terbata-bata.
NYI girah menyeka air matanya. Menjawab
terputus-putus: “Rupanya papa – mengalami pukulan batin
– sangat berat. Sepanjang malam ia tak tidur barang sekejap.
Tak mau diajak ngobrol. Aku kuatir... papa jatuh sakit pula,
Yanto.”
arwah mpu sindok terkejut mendengarnya. Pasti ada apa-
apa.
“Mama?” ia mengisak.
37
NYI girah gemetar. Katanya, serak: “Sebelah ginjal
mama terpaksa diangkat...”
“Diangkat?”
Sadar adiknya belum cukup dewasa untuk mengerti,
NYI girah menjelaskan: “Diangkat oleh dokter. Lalu
dibuang!”
“Segawat itu?” arwah mpu sindok bergidik. Seram.
“Yanto. Rupanya selama ini kau kurang
memperhatikan. Mama suka mengeluh bahwa ia sakit
pinggang.”
“namun kemarin, ia bilang... ia sakit perut.”
“Untunglah mama mengalami sakit perut. Rupanya
ia menderita radang ulu hati. Masih bisa disembuhkan.
Waktu dironsen, baru ketahuan kalau ginjal mama sudah
busuk sebelah. Andai tak cepat diketahui, ginjal lainnya pasti
terkena pula...”
“Mama – tak apa-apa kan?”
“Mudah-mudahan.”
“Ia akan tetap hidup ya? Ia akan segera pulang ke
rumah? Berkumpul dengan kita lagi?”
“Mari kita do’akan, Yanto.”
Dan arwah mpu sindok berdo’a tak putus-putusnya, dengan
perasaan takut yang aneh menghantui pikirannya. Entah
mengapa ia dapat merasakan bahwa ia bukan takut
mengenai ibunya. Ia percaya Ibunya tetap hidup, ibunya
akan sehat kembali. Apa yang ia takutkan, adalah sesuatu
yang lain. Sesuatu, yang dapat ia rasakan, namun tak dapat
ia ketahui maknanya. Entah mengapa pula, secara naluriah ia
38
berpaling melihat ayahnya. Pas saat itu, sang ayah
memandangnya pula.
Sinar mata ayahnya, tampak gelap.
***
Manakala ibunya sadar di kamar perawatan, ucapan
pertama yang keluar dari bibir kebiru-biruan itu adalah:
“Mana Yanto?”
arwah mpu sindok menggenggam tangan ibunya. “Ini aku,
mama.”
Ibunya tersenyum getir. “Oh. Syukur kepada Tuhan.
Sebelum dibius tadi pagi, aku tak melihatmu anakku.”
“Aku sekolah, mama.”
“Bagus. Bagaimana pelajaranmu hari ini?”
“Nggak ada yang penting, mama. Hanya pengarahan
dari guru mengenai tata tertib EBTA mendatang. Besok, kami
mulai libur. Dan minggu depan...”
“Aku percaya, sepanjang malam tadi kau
menghapal...”
“... eh, ya. Aku menghapal sampai larut malam.”
“Mmmm,” ibunya tersenyum. “Matamu merah. Kau
tak tidur tadi malam. Kau juga tidak menghapal pelajaranmu.
Tak apa. sebab aku mengerti, sepanjang malam kau
memikirkan mama. Eh – coba ke sinikan tanganmu...” ibunya
menarik tangan arwah mpu sindok lebih dekat ke wajahnya.
Hidungnya membaui sesuatu. “Kau tak mandi tadi pagi ya?”
“Lupa, mama,” jawab arwah mpu sindok . Malu-malu.
“Bukan lupa. Malas.”
39
“Ya, mama. Malas.”
“Sini, mendekat. Ada yang akan mama bisikkan...”
dan sesudah arwah mpu sindok mendekatkan telinga ke bibir ibunya,
ia jadi bermerah muka. sebab ibunya berbisik: “Cepat kau
cuci tanganmu. Jangan sampai papa tahu kau habis
merokok!”
arwah mpu sindok sempat melirikkan ekor mata ke arah
ayahnya, dan berdenyut sesaat jantungnya. Untuk tiba-
tiba terdengar rengekan manja kakaknya: “Aku juga ada di
sini, mama.”
Senyum ibu merekah melebat. Sesaat berikutnya,
mengernyitkan dahi menahan sakit. Lalu susah payah
mencoba lagi tersenyum. Ujarnya: “Kau ini memang selalu
sirik pada adikmu, Tien.”
“Aku ingin cium mama. Boleh kan?” dan tanpa
menunggu persetujuan, NYI girah lantas sudah
membungkuk dan menciumi ibunya. Meledaklah tangis di
kamar perawatan itu.
arwah mpu sindok menyingkir diam-diam. Lamat-lamat ia
dengar ucapan selamat dan semoga sembuh yang ditujukan
pada ibunya. Ia tidak tahu dan tidak mau tahu siapa-siapa
saja yang mengucapkannya. Yang ia tahu, ia ingin pergi ke
kamar kecil dan mencuci bersih tangannya. Sekali cuci, masih
tercium bau rokok. Dua kali, masih juga.
Ia mencucinya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Agar lebih
yakin tak ada lagi sisa bau rokok di tangannya, arwah mpu sindok
mencari-cari kalau ada sesuatu yang dapat membantu di
kamar kecil rumah sakit itu. Potongan sabun, pasta gigi, apa
saja. Sayang, ia tak menemukan apa yang ia butuhkan.
40
Tapi ia tak habis akal. Ia buka celana. Kemudian,
tangannya dikencingi...
***
Enam
Awal bulan berikutnya, arwah mpu sindok berjingkat
memasuki dapur. Ibunya tengah asyik bekerja,
mempersiapkan makan siang. Tanpa bersuara arwah mpu sindok
terus mendekat dari belakang, lantas sekonyong-konyong ia
raba pundak ibunya.
Perempuan itu tentu saja kaget alang kepalang.
“Dedemit! Hantu...!” jeritnya, sambil menjatuhkan katel dari
tangannya. Katel itu menggelinding dari meja dapur ke
lantai, terbuntang-banting menimbulkan suara hingarbingar.
Ibunya lantas membalikkan tubuh yang gemetar. Tampak
wajahnya pucat lesi.
NYI girah yang tengah menyetrika di ruangan lain,
berlari-larian masuk ke dapur. Sama kaget dan pucatnya.
“Ada apa?” ia berteriak.
arwah mpu sindok jadi kaku sesaat . “Maaf, mama. Aku tak
bermaksud mengejutkanmu,” katanya, menyesal.
“Kau telah mengejutkannya!” jerit NYI girah seraya
berkacak pinggang. “Kau mamu mama sakit lagi ya?” Lalu
41
tiba-tiba Suprihati teringat sesuatu. Ia mendeliki adiknya,
berkata pedas: “Kau tak pergi ke sekolah ya? Tak pergi ya?”
“Aku baru pulang, kak.”
“Pulang dari mana, he? Main, ya? Main?!”
“Ya – dari sekolah, dong,” rungut arwah mpu sindok , keki.
“Lantas?” suara NYI girah merendah. Tatapan
matanya pun meredup. Was was. sebab arwah mpu sindok diam
saja, kakaknya semakin penasaran. Ia pegangi tangan
adiknya, begitu keras sehingga arwah mpu sindok meringis. “Apakah
kau...
Menahan sakit, arwah mpu sindok mengerang: “Aku lulus,
kak...”
“Puji syukur kepada Tuhan,” sesaat NYI girah
memeluknya. “Mengapa tak bilang-bilang dari tadi!” lalu pipi
sang adik habis diciumi. Hal yang sama kemudian diperbuat
pula oleh ibu mereka, sehingga arwah mpu sindok terpaksa harus
meronta-ronta akan melepaskan diri.
“Nafasku sesak,” rintihnya. “Lepaskan aku.”
“Bagus tidak nilaimu, dik?”
“Jelek!” arwah mpu sindok bersungut-sungut,
menyembunyikan hatinya yang kembali diliputi sukacita.
“Aku cuma rangking keenam di sekolah.”
“Rangking enam? Bukan main!” jerit kakaknya,
berjingkrak-jingkrak.
“Alhamdulillah...” gumam ibunya, dengan air mata
berlinang. “Segera beritahu papa mengenai kabar gembira
ini...”
“Aku sudah dengar!” bergaung suara berat dari
ruang depan. Langkah-langkah panjang terdengar mendekat
42
ke dapur. Sang ayah tahu-tahu sudah berdiri di depan
mereka. “Aku gelisah saja di kantor. Tak sabar menunggu
kabar apakah si jagoan selama ini cuma omong besar, atau ia
benar-benar anak papa. Maka kuputuskan pulang lebih cepat
dari biasa...”
Mata ayahnya berseri-seri gembira. “Anak papa,”
katanya bangga. Namun toh masih sempat mengomel:
“Mestinya ranking kesatu, nak!”
Diomeli begitu, arwah mpu sindok berubah murung, sedang
ibunya merengut tak senang. Malah arwah mpu sindok sudah siap-
siap mencerca ayahnya, manakala orang tua itu tertawa
lebar.
“Nah. Minta apa sebagai hadiah, Yanto?” ia
bertanya, lembut.
Cerah lagi wajah arwah mpu sindok . Kesempatanku tiba
sekarang, katanya. Lalu takut-takut, ia menjawab: “Sudah
lama aku ingin melakukan sesuatu, papa...”
“Melakukan sesuatu. Bukan ingin sesuatu?” ayahnya
sangat tertarik. “Apa itu?”
“Papa tak marah?”
“Asal yang tidak yang bukan-bukan...”
“Kalau begitu, tak jadi deh,” arwah mpu sindok merajuk.
“Oke. Oke. Papa menyerah. Bilanglah.”
“Benar papa tak marah?” ulang arwah mpu sindok lagi,
harap-harap cemas.
“Ibu dan kakakmu saksiku. Papa tak marah.”
arwah mpu sindok tersenyum kecil. Agak gemetar, ia
merogoh saku celana. Dari dalam saku celananya itu ia
keluarkan sebatang rokok yang dengan sigap diselipkan di
43
antara kedua bibirnya. Ia busungkan dada, tengadahkan
dagu, benar-benar bergaya. Rokok di bibirnya hampir
terlepas waktu ia coba berbicara sejelas mungkin. “Tolong
dong pa, sulutkan rokok Yanto.”
Sesaat wajah ayahnya merah padam. Ibunya
memandang dengan kuatir, sementara NYI girah
terbungkuk-bungkuk menahan ketawa. sesudah tegang
sejenak, sang ayah akhirnya mengeluarkan mancis dari
sakunya. “Brengsek!” ia menggerutu.
“Lho. Tadi bilang tak akan marah,” NYI girah
mengingatkan.
Barulah ayahnya tersenyum.
“Jadilah!” ia berkata lalu menyulut rokok di bibir
anaknya, yang oleh arwah mpu sindok segera dihisap dalam-dalam,
dinikmati benar-benar. saat tegak lagi memperhatikan
gaya anaknya yang berlebihan itu, lelaki yang terpojok itu
akhirnya bergumam ikhlas: “Tahun ini kau sudah duduk di
SMA. Papa dapat menjamin. Jadi, sebab kau sudah anak
SMA, bolehlah merokok sesekali. namun ingat. Tidak boleh
lebih dari dua batang sehari.”
Lalu sang ayah menyingkir dari dapur seraya geleng-
geleng kepala.
“Kelakuanmu sangat tidak pantas, Yanto,” sang ibu
mendengus.
“Lho. Kalau papa boleh, mengapa aku tidak, ma?”
“Boleh sih boleh. Cuma belum waktunya. Dan papa
membeli rokok dari hasil jerih payahnya sendiri.”
“Aku juga merokok dari hasil jerih payahku,”
arwah mpu sindok tidak mau kalah.
44
“Oh ya?”
“Aku disuruh sekolah. Dipaksa harus rajin belajar...”
arwah mpu sindok menerangkan, tenang-tenang. “Untuk
kepatuhanku, maka aku pun diberi uang jajan. Itu juga mata
pencaharian, bukan?”
“Wah, ini anak!” NYI girah tertawa geli.
Mau tak mau, ibu mereka ikut tersenyum. Namun
tak lupa mengingatkan: “Awas ya; Papa sudah bilang. Tak
lebih dari dua batang sehari.”
“Itu kan usul papa. Mama lain dong. Mama tahu
selagi di SMP aku sudah mengisap dua batang sehari. sebab
kelak aku akan naik SMA, jatahku ikut naik juga dong. Lima
batang, cukuplah...”
“Dua!” ibunya bersikeras.
“Lima,” arwah mpu sindok bersitegang.
“Tiga...” ibunya menawar.
“Empat,” arwah mpu sindok mendesak.
“Jangan memaksa, nak. Kau mau mama sakit sebab
memikirkan kenakalanmu?” sang ibu membujuk.
“Iya deh. Tiga!” arwah mpu sindok menyerah.
Dan besok malamnya, mereka undang para tetangga
dan sanak famili dekat untuk makan malam bersama di
rumah mereka. Syukuran sebab arwah mpu sindok lulus sekolah.
Dalam acara itu, arwah mpu sindok membaca ayat-ayat suci Al
Qur’an. Sementara di kakus, sebab takut ketahuan
ayahnya... diam-diam arwah mpu sindok menikmati rokok ketiga
dan terakhir yang boleh ia isap hari itu.
45
Waktu itulah arwah mpu sindok teringat bagaimana ia
terpaksa mengencingi tangannya demi menghilangkan bau
rokok. Ingatan itu berkembang ke asal muasal ia sampai
merokok sedemikian banyak. Apa yang sebelum ini telah ia
lupakan sebab terus memikirkan EBTA serta ibunya yang
sakit keras, mendadak tampil lagi ke permukaan.
Usai syukuran, ia mengajak Raden Wijaya pergi berdua
meninggalkan rumah. “Kutraktir abang makan kambing
guling di Tomang,” ujarnya.
Nyatanya, sambil menikmati kambing guling
arwah mpu sindok langsung saja mengemukakan isi hatinya. “Sudah
kau temukan Nyonya itu untukku, bang Raden Wijaya ?”
Raden Wijaya agak kaget, namun segera menguasai diri.
“Sudah,” jawabnya.
“Dan?”
“Ia sudah pindah. Kata mereka, pindahnya terburu-
buru...”
“Pindah?” ganti arwah mpu sindok yang kaget. “Pindah
kemana?”
“Penghuni baru rumah itu bilang, Tribuana Tunggadewi tidak mau
memberitahu.”
“Tribuana Tunggadewi ?” arwah mpu sindok tertarik. “Abang maksud,
pelayan judes itu?”
“Aku tak tahu nama pelayan itu. Yang bernama
Tribuana Tunggadewi , majikannya. Sang Nyonya...”
‘Oh, oh. Kok jelek amat. Kontra dengan orangnya.”
“Apalah artinya nama!” Raden Wijaya berlagak puitis.
“Yang penting, orangnya.”
“Ia punya suami?”
46
“Tidak.”
“Janda, kalau begitu.”
“Juga tidak.”
“Gadis?” arwah mpu sindok membelalak. “Ia masih gadis?”
“Aku yakin, tidak.”
“Bagaimana abang yakin?”
“sebab aku telah tanya sana tanya sini. Sumber-
sumberku dapat dipercaya, pak Kapten!” Raden Wijaya senyum-
senyum.
“Oke, Sersan!” arwah mpu sindok balas tersenyum. “Apa
kata sumbermu?”
“Tribuana Tunggadewi kelas atas.”
“Apa?”
“Kelas atas. Langganannya pilihan. Taripnya sekali
pakai, di atas seratus ribu...”
“Maksud abang, dia...” arwah mpu sindok tak lagi dapat
menikmati makanannya. Juga tak mampu meneruskan kata-
katanya.
Raden Wijaya yang meneruskan: “Tribuana Tunggadewi itu seorang
wanita panggilan. Jelasnya, Tribuana Tunggadewi itu pelacur!”
arwah mpu sindok menenggak minumannya. Berucap:
“Syukur!”
“Lho. Kok malah bersyukur?”
Jawab arwah mpu sindok puas: “Tadinya, kukira ia itu isteri
muda papaku...” Lantas menambahkan: “Aneh ya. Kok dia
buru-buru pindah?”
***
47
Tujuh
“Apanya yang aneh?”
Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan, yang
diucapkan acuh tak acuh. arwah mpu sindok berhenti menulis. Diam
mendengarkan. Rupanya televisi telah dimatikan. Dari
arlojinya arwah mpu sindok menyadari malam telah larut.
“Mama tak pernah menaruh curiga ya?” Ia dengar
suara NYI girah , kakaknya.
Lalu suara ibunya lagi menjawab: “Mengapa pula aku
harus mencurigai ayah kalian, nak?”
“Coba pikir mama. Dulu, semenjak mama keluar dari
rumah sakit. Paling cuma lima bulan papa betah bersama
kita. Sekali sebulan, mengajak kita sekeluarga piknik. Tiap
akhir pekan, membawa mama jalan-jalan atau mengunjungi
sanak famili. Selalu pulang kantor pada waktunya untuk
makan siang di rumah...” NYI girah menjelaskan panjang
lebar. Lanjutnya: “Lima bulan cuma. Yah, taruhlah tujuh
bulan – sebab dua bulan berikutnya kelakuan papa belum
kita perhatikan benar. Dan sesudah itu? Papa kembali dengan
kebiasaannya yang lama.”
“Ayahmu seorang kepala bagian di kantornya, nak. Ia
orang sibuk.”
“Bagaimana yang lima bulan itu? Kok papa tidak
sibuk?”
“sebab aku belum sembuh benar, nak. Ayahmu
ingin agar aku betul-betul sudah cukup sehat, sehingga ia...”
“Mama membuat kesalahan besar!” potong
NYI girah pedas.
48
“Lho. Kok lantas aku yang disalahkan, NYI girah ?”
“Mama sih. Kurang taktik!”
“Kurang taktik bagaimana?”
“Mestinya mama dapat mempertahankan keadaan
yang menyenangkan itu. Mempertahankan, agar papa betah
di rumah.”
“Caranya?”
“Mama pura-pura masih sakit.”
Ibu tertawa berderai. Katanya: “Kau ini macam-
macam saja, nak. Aku ‘kan bukan anak kecil. Lagipula ayahmu
tak pantas dibohongi. Dan...”
arwah mpu sindok tercenung, menatap meja belajarnya.
Percakapan kakak dan ibunya di ruang tengah, tidak lagi
menarik perhatiannya. Terngiang ucapan NYI girah
barusan: pura-pura sakit! Terngiang pula ucapan Handini...
pacarnya yang kedua sejak duduk di bangku kelas satu SMA:
“Bawa aku lari. Sehari dua hari, seminggu, kalau perlu
sebulan. Kemudian kita pulang. Dan berpura-pura, bahwa
aku telah hamil!”
Pura-pura hamil! Alangkah nekadnya Handini.
Rupanya gadis itu tidak tahan, terus dimarahi ayahnya
semenjak menjalin hubungan cinta dengan arwah mpu sindok .
Alasan orang tua itu, sebab puterinya dan arwah mpu sindok masih
kelas satu SMA. Belum waktunya menikah. Belum pantas
memikirkan cinta! namun menurut apa yang sempat didengar
Handini dari ibunya, gadis itu sudah dijodohkan dengan
Sofyan, putera kesayangan Uwa perempuan Handini.
Softyan masih melanjutkan studi di Jerman. Tiga tahun
49
mendatang, studi Sofyan diharapkan sudah selesai. Ia akan
pulang ke Indonesia. Pekerjaan menarik sudah menantinya
di perusahaan milik keluarga. Handini pun diharapkan sudah
tamat SMA, dan sudah pantas untuk dikawinkan.
Handini belum pernah bertemu muka dengan
Sofyan. namun pemuda itu sering berkirim fotonya, juga
bingkisan hadiah-hadiah menarik dari Jerman. “Aku sedikit
pun tidak tertarik pada Sofyan,” kata Handini. “Aku hanya
mencintai kau seorang, Yanto... Apa pun akan kukorbankan,
demi cintaku padamu.”
Handini tidak begitu cantik. namun ia punya dada
besar, punya pinggul besar – tipe kegemaran arwah mpu sindok . Ia
juga bukan sekedar omong di mulut. Pernah mereka berdua
piknik ke Pelabuhan Ratu. saat hari sudah sore, Handini
enggan pulang ke Jakarta. Gadis itu mengajak arwah mpu sindok
nginap satu malam di hotel. “Aku yang bayar. Uangku
banyak,” kata gadis itu bersemangat.
Mereka kemudian mendaftar di sebuah hotel.
Handini minta satu kamar untuk mereka berdua. Penerima
tamu memandangi mereka sebentar, lalu berbisik-bisik
dengan seorang temannya. Orang kedua itu mendatangi
arwah mpu sindok , menanyakan apakah mereka punya KTP. Tentu
saja mereka tidak punya. Petugas itu kemudian memandangi
pakaian yang dikenakan arwah mpu sindok ; astaga, ia masih
mengenakan seragam sekolah. Habis, tak ada rencana
tadinya untuk piknik, apalagi nginap. Ajakan Handini begitu
mendadak. Anehnya, dalam tas sekolah Handini tersedia
pakaian ganti. Rupanya sudah ada rencana sebelumnya.
50
“Dik...” kata petugas hotel itu, sopan. “Pulanglah.
Dan jangan biasakan bolos dari sekolah.”
arwah mpu sindok malu sekali.
Ia langsung menarik Handini pergi, memaksa gadis
itu pulang saja ke Jakarta. Mulanya Handini menolak. Kita ke
hotel lain saja, katanya marah. Gadis itu malah menuduh
arwah mpu sindok pengecut, mau diperhinakan oleh pelayan hotel.
arwah mpu sindok pun ikut-ikutan marah mendengar ucapan
Handini. Baru sesudah menyadari arwah mpu sindok juga marah,
Handini minta maaf dan bersedia pulang ke Jakarta. Air
matanya bahkan berlinang. Hukumlah aku sebab aku salah,
kata gadis itu terisak-isak. arwah mpu sindok tersenyum. Air mata
gadis itu sesaat mencairkan amarahnya.
Orang tua Handini lah yang marah bukan main.
Menyangka Handini sakit, teman sebangku gadis itu
berkunjung ke rumah Handini sepulang sekolah.
Ketahuanlah bahwa Handini bolos. Lebih parah lagi, Handini
baru pulang lewat pukul sepuluh malam. Gadis itu kena
tampar dan arwah mpu sindok diusir.
“Enyah! Sekali tampangmu kulihat lagi di rumahku,
kepalamu kubikin perkedel!” maki ayah Handini, naik pitam.
Untunglah arwah mpu sindok sabar. Ia sadar ia telah
bersalah. sebab dia, Handini kena tampar. Ia merasa iba
pada pacarnya itu, dan berjanji dalam hati akan meminta
maaf pada Handini dan lain kali akan menjaga agar gadisnya
itu tidak ditampar ayahnya lagi.
Sial, niatnya itu tidak pernah kesampaian. Sejak hari
itu Handini tidak diperkenankan masuk sekolah oleh orang
tuanya. Suatu hari, teman sebangku Handini memberitahu
51
bahwa gadis itu akan dikirimkan orang tuanya ke Padang,
meneruskan sekolah di sana di bawah pengawasan
neneknya. Hastuti, teman sebangku Handini itu menyatakan
sebenarnya dia yang bersalah; tidak tanya-tanya dulu
sebelum bertindak sehingga Handini dihukum keluarganya.
Ia telah berkunjung lagi ke rumah Handini. Kebetulan ayah
Handini tidak di rumah dan Hastuti dititipi surat untuk
diteruskan pada arwah mpu sindok .
“... aku tak sudi ditransmigrasi ke Padang,” begitu
antara lain isi surat Handini. “Kau pun tak akan
membiarkannya, bukan? Aku cinta padamu, Yanto. Tanpa
kau, hidup ini bagaikan terminal tanpa bis. Bagaikan bis
tanpa penumpang. Kosong melompong. Lama-lama,
karatan. Aku tak mau karatan, Yanto. Lebih baik aku bunuh
diri ketimbang jadi bis reot terdampar di sebuah terminal
tua. Jawablah suratku ini, Yanto, kalau tidak aku benar-benar
akan gantung diri.”
Lewat Hastuti, surat itu dijawab arwah mpu sindok . Ia
mengakui terus terang: “Apa yang harus kuperbuat, Dini?”
Tiga hari kemudian, datang balasannya. Surat
Handini itu diantarkan oleh salah seorang pembantu rumah
tangga si gadis. arwah mpu sindok tersentak membaca isi surat
Handini: “Kita harus minggat. Bawa aku lari...” dan
seterusnya.
***
52
“Sudah kau periksa pintu dan jendela, NYI girah ?”
terdengar suara ibunya yang tengah berbenah di ruang
tengah.
“Aman, mama.”
“Nah, mari kita tidur. Mama sudah ngantuk.”
“Lho, tidak menunggu papa pulang?”
“Astaga, apakah aku lupa memberitahu kalian?
Ayahmu lusa baru pulang. Ia ke Palembang. Mewakili
pimpinan untuk menghadiri rapat di kantor cabang...”
“Rapat, mama?”
“Eh! Apa pula maksud ucapanmu yang sinis itu,
NYI girah ?”
“Nggak kok ma...” jawab NYI girah , terkejut
mendengar hardikan ibunya.
saat menuju kamar tidurnya, NYI girah melewati
kamar arwah mpu sindok . Terdengar ia menggerutu panjang-
pendek: “Rapat! Rapat! Hem... paling juga ngendon di rumah
bini muda!”
“Tien?”
Langkah NYI girah tertegun di depan pintu kamar
arwah mpu sindok . “Ya, mama?”
“Coba lihat adikmu. Kalau tidur ia suka buka baju.
Selimuti dia baik-baik...”
arwah mpu sindok terperanjat. Reflek ia melirik ke pintu
kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit. Cepat-cepat ia
padamkan lampu, dan bersijingkat ke tempat tidur.
NYI girah masuk ke kamarnya. Berbisik pelan: “Sudah tidur,
anak nakal?”
arwah mpu sindok balas berbisik: “Sudah...”
53
NYI girah tertawa kecil. “Lagi mikirin pacar ya?” ia
balik bertanya.
“Nggak!”
“Bohong...”
“Perduli!”
“Pasti barusan kau sedang menulis surat pada
pacarmu!”
“Nggak!”
“Hem. Coba, kuhidupkan lampu...” NYI girah
mengancam.
“Iya deh. Iya deh. Nulis surat!” cepat arwah mpu sindok
mencegah. “Jangan baca, kak.”
“Tak boleh?”
“Tidak.”
“Kalau aku memaksa?”
arwah mpu sindok berpikir sejenak. Lalu katanya: “Kukasih
tahu papa, kalau kakak masih suka nyelundup ke rumah bang
Parlaungan!”
NYI girah terdiam. Lalu menarik nafas panjang.
Terus berjalan keluar, menutup pintu, dan menghilang ke
kamar tidurnya sendiri. Dalam kegelapan kamar, arwah mpu sindok
tiba-tiba menyesal. Tak semestinya ia menyakiti hati
kakaknya. Tentunya NYI girah saat ini menangis terisak-
isak. Hatinya perih, teringat ancaman ayah mereka agar
NYI girah memutuskan segera hubungannya dengan
Parlaungan, apabila NYI girah masih ingin dianggap anak
papa.
Hei, bukankah itu juga yang kini harus diderita
Handini
54
Ia teringat lagi surat gadis itu. Handini bilang, lusa ia
harus sudah naik pesawat ke Padang. Handini katanya
hampir gila memikirkan kekejaman ayahnya. Dalam suratnya
itu Handini menulis rencana yang katanya sudah dipikirkan
matang-matang. Besok, pagi-pagi benar Handini pura-pura
sibuk membantu ibunya masak di dapur. Lebih dulu ia telah
menumpahkan ke kloset semua garam yang ada. Biasanya
Handini yang disuruh ibunya pergi ke warung membeli
persediaan dapur. Kesempatan itu akan dipergunakan
Handini untuk kabur.
“Kutunggu kau di terminal bis Rawamangun,” tulis
Handini. “Pukul tujuh, persis di depan jongko sop kaki
kambing pak Jenggot, langganan kita itu. Tolonglah
kekasihmu yang malang ini, Yanto. Kalau pukul tujuh pagi kau
tak muncul, aku akan lari menyongsong bis pertama yang
memasuki termina. Aku takut mati, Yanto-ku. namun lebih
baik mati daripada harus berpisah dengan engkau...”
Lamunan arwah mpu sindok terus menerawang. Sesuai
dengan rencana Handini, dari terminal Rawamangun mereka
akan kabur keluar kota. Mungkin ke Plered, Purwakarta. Di
sana ada seorang bibi Handini yang pasti bersedia menolong.
Mereka dapat juga mengambil bis jurusan Banjar, dari sana
terus ke Pangandaran, kalau perlu ke Cilacap sehingga
mereka akan sulit ditemukan. Bila dicari, mereka lari,
sembunyi, lari, sembunyi lagi. Benar-benar sebuah
petualangan menarik. Rencana Handini itu tampak
sederhana, masuk akal, juga tak sulit melaksanakannya.
Tidak sulit? Tidak, kalau yang mencari hanya
keluarga Handini saja. namun bagaimana kalau mereka lantas
55
melapor pada polisi? Dilaporkan, Handini minggat.
Dilaporkan, sesudah diselidiki, Handini ternyata dilarikan oleh
arwah mpu sindok . Bunyi laporannya pasti hebat: Handini diculik!
Polisi akan mengerahkan anggota-anggota terlatih dan
terpercaya untuk mencari, menemukan, menangkap
mereka. Teringat kenangan berkesan dulu di bar Vini-Vidi-
Vici itu, arwah mpu sindok percaya polisi akhirnya toh akan
menemukan mereka juga. Siapa tahu, seorang pengrajin
keramik di Plered selagi menawarkan kendi, tahu-tahu
mengeluarkan sepucuk pistol. Atau seorang tukang perahu
di perkampungan nelayan Cilacap, mendadak punya borgol...
Astaga! Ia arwah mpu sindok bin Bambang Prakoso, seorang
calon polisi, ditangkap polisi.
Tidak. Hal itu tidak boleh sampai terjadi. arwah mpu sindok
menggeliat di ranjangnya. Gelisah.
***
Delapan
LIMA menit kurang pukul tujuh pagi, arwah mpu sindok
melangkah dengan hati waswas ke jongko Pak Jenggot di
sudut terminal Rawamangun. Ternyata Handini sudah tiba
lebih dulu. Dari jauh tampak gadis itu berlari-lari
menyongsong. Wajahnya pucat, matanya ketakutan,
senyumnya menyedihkan. Dua langkah sebelum lengannya
yang terkembang siap memeluk sang kekasih pujaan,
56
Handini tertegun. Lengannya lunglai di sisi tubuhnya yang
seronok bentuknya itu.
Kata-katanya bernada kuatir: “Tak bawa tas?”
arwah mpu sindok berusaha keras agar tetap dapat tenang.
“Cukuplah pakaian yang melekat di badan saja,” jawabnya.
Air mata Handini melelehi pipi. Ia sangat kecewa.
Terbukti dari tuduhannya: “Kau tak mau pergi denganku!”
arwah mpu sindok memegang tangan gadis itu. “Mana
tasmu?” ia sendiri mulai ketakutan. Takut gadis itu saking
kecewa lantas menjerit-jerit, lari menghambur ke bis-bis
besar yang memasuki terminal tanpa mengurangi
kecepatan. namun gadis itu terlalu kecewa, terlalu lemah
untuk memberontak. Ia hanya mampu menggerakkan dagu
ke arah jongko. Tanpa melepaskan Handini dari cekalan
tangannya, arwah mpu sindok mengambil tas gadis itu. Tak ada
tanda-tanda Handini baru makan atau minum, jadi tak ada
yang perlu dibayar. Sambil manggut pada si empunya jongko,
arwah mpu sindok kemudian menyeret kekasihnya keluar dari
terminal. “Tak baik kita bicara di sini. Siapa tahu ada yang
melihat...” ujarnya.
Ia merasakan ketegangan lengan Handini dalam
pegangannya. Juga betapa tegangnya suara gadis itu. “Kau
tak cinta lagi padaku. Kau lebih cinta Fitri...!”
“Fitri masih anak-anak. Mata duitan lagi. Untuk kau,
ia telah kulepaskan bukan?”
“Lalu, mengapa...”
sesudah mencari-cari, akhirnya arwah mpu sindok melihat
sebuah warung es tak jauh dari pintu masuk terminal. Tak
ada yang minum es sepagi itu. Sepi di dalam, tertutup lagi.
57
arwah mpu sindok menarik gadisnya masuk dan kepada pemilik
warung yang baru saja siap-siap menyusun bakal
dagangannya, arwah mpu sindok minta dibuatkan segelas kopi
untuknya dan coklat susu untuk Handini. Pemilik warung
terheran-heran sebentar, lalu kemudian pergi ke warung
kopi di sebelahnya untuk mengambil pesanan arwah mpu sindok .
“Kau tak mau pergi!” sekujur tubuh Handini
bergetar. Wajahnya semakin pucat saja.
“Aku tak bilang aku tak mau pergi.”
“Lantas, mengapa...”
“Kita harus berpikir tenang, Dini. Bukan dengan cara
begini kita meruntuhkan benteng pertahanan keluargamu.
Masih ada...”
“Dalih!” Handini mulai terisak.
“Janganlah menangis. Malu dilihat orang.”
“Kau tak cinta lagi padaku, Yanto.”
“Aku cinta.”
“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Janganlah sikap
ayahku kau buat alasan...”
“He, pernahkah aku cerita padamu, bahwa kelak aku
ingin jadi polisi?” tanya arwah mpu sindok sambil tersenyum. sebab
Handini tidak menyahut, malah isaknya makin jadi,
arwah mpu sindok meneruskan sendiri: “Kalau aku ingin jadi polisi,
Dini, catatan riwayat hidupku kelak harus bersih. Dan...”
Pemilik warung masuk membawa pesanan tamunya.
namun bukan itu yang menyebabkan arwah mpu sindok
menghentikan pembicaraannya. Lewat pintu masuk warung,
ia melihat sebuah mobil yang akan memasuki terminal,
58
berhenti sebentar sebab terhalang oleh sebuah bis di
depannya. Mobil itu disupiri oleh ayahnya!
arwah mpu sindok merungkut di tempatnya duduk. Ia
merendahkan kepala, takut terlihat. Kepalanya baru
diangkat sesudah mobil itu masuk ke dalam terminal lalu
berhenti di pelataran parkir khusus pegawai. arwah mpu sindok
mendongakkan kepala, mengintip lewat tabir atas jongko
dan melihat seorang perempuan kurus berkebaya turun dari
mobil. Rasanya arwah mpu sindok agak ingat-ingat lupa siapa
perempuan tua itu. Namun ia tak akan pernah melupakan
perempuan lain, yang menyusul turun lalu berjalan dengan
langkah gemulai mengiringi si perempuan berkebaya menuju
sebuah bis antar kota. Ia segera mengenali perempuan yang
begitu turun dari mobil begitu jadi pusat perhatian orang-
orang di sekitar tempat ia lewat. Betapa tidak. Sudah
berwajah cantik, tubuhnya pun berbalut blus ketat sehingga
payudaranya semakin menggembung padat. Jin-nya juga
ketat, memperlihatkan pinggul yang padat berisi dengan
goyangannya yang teramat aduhai.
Demikian kuat daya tarik perempuan itu sehingga
arwah mpu sindok segera melupakan Handini. Tanpa sadar ia
bangkit dan menyelinap ke luar dari warung. sesudah itu
menyelinap pula di antara kerumunan orang yang keluar
masuk terminal, sambil berusaha sejauh mungkin terlindung
dari pandangan ayahnya yang duduk menanti dalam mobil.
Sungguh kebetulan, ayahnya sambil menunggu lantas
membuka surat kabar. Terlindung oleh sebuah mikrolet,
arwah mpu sindok dapat melihat perempuan cantik itu lebih dekat.
Sekarang arwah mpu sindok benar-benar yakin.
59
Tak syak lagi. Perempuan itu adalah Tribuana Tunggadewi , yang oleh
Raden Wijaya disebutkan ‘bertarif seratus ribu rupiah sekali pakai,’
seorang pelacur yang tidak sembarangan memilih
langganan. Itu untuk ‘sekali pakai’. Kalau ‘all-night’ tarifnya
bisa lipat ganda dua tiga kali lipat. Melihat penampilan
perempuan itu sedekat sekarang, sempat pula terlintas
dalam benak kelelakian arwah mpu sindok : “Andai aku punya uang,
setengah juga pun aku berani!”
Sebelum perempuan berkebaya yang ternyata
pelayannya naik ke dalam bis, Tribuana Tunggadewi terdengar berpesan:
“Jangan berlama-lama di Tasik bi Ijah. Aku bisa sakit perut
kalau harus masak sendiri.”
“Cuma menjenguk orang sakit kok, Non,” jawab si
pelayan.
“Cepat kembali ya?”
“Saya, Non,” lalu perempuan itu naik ke dalam bis.
Sebentar Tribuana Tunggadewi memperhatikan. Kelihatannya kuatir
pelayannya tidak mendapatkan tempat duduk yang enak,
baru sesudah itu melambai dan kembali ke mobil yang masih
menunggu; kembali pula jadi pusat perhatian, bahkan ada
yang bersuit-suit nakal.
Mobil itu kemudian meluncur menuju pintu keluar.
“arwah mpu sindok tidak berpikir panjang lagi. Ia kembali
menyelinap dari belakang, naik ke sebuah taksi yang
kebetulan kosong. Pada supirnya, arwah mpu sindok berkata gugup.
“Ikuti Volvo merah hati yang di depan itu, bang.
Jangan terlalu dekat...”
Haa! Dia benar-benar jadi polisi sekarang. Ia akan
menguntit ayahnya, membuktikan bahwa kecurigaannya
60
selama ini benar yakin, ayahnya berbini muda. Raden Wijaya jelas
keliru mengatakan perempuan itu seorang pelacur. sebab
untuk seorang pelacur, ayahnya tidak perlu memberi dalih
pada ibunya bahwa ia harus pergi beberapa hari ke
Palembang. Ya, ya, Raden Wijaya pasti keliru. namun arwah mpu sindok
dapat mengerti. Bukankah Raden Wijaya hanya Sersan-nya, sedang
ia sendiri adalah Kaptennya? Seorang Kapten, harus lebih
tahu, lebih efektif ketimbang anak buahnya. Dan ia akan
membuktikannya sekarang juga...
Ia bayangkan mobil yang dikuntitnya masuk ke
sebuah rumah entah di mana. Ia kemudian akan menelepon
ke rumahnya sendiri, meminta ibunya datang secepat ibunya
bisa, tak peduli ibu sedang berak. Ayahnya akan mati kutu.
Ayahnya tak akan lagi melarang NYI girah pacaran dengan
Parlaungan. Ayahnya juga tak akan lagi berani ngomong
padanya, begini: “Buang kebiasaanmu gonta-ganti pacar,
Yanto. Selain berbahaya, itu juga bukan perbuatan laki-laki
terhormat.”
Supir taksi yang dinaiki arwah mpu sindok , sudah berumur.
namun hal itu tak perlu dikuatirkan. sebab mobil yang
mereka kuntit lajunya pun santai-santai saja. Ayahnya
memang bukan tukang ngebut, lagi pula jalan yang mereka
lalui lumayan macet. Supir taksi kebetulan pula











.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
