Selasa, 13 Desember 2022
kudeta 2
Desember 13, 2022
kudeta 2
mengetahui sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI, katanya. Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno. Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka, jawab Untung.
Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya
dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman lah yang paling berperanserta dalam pergerakan ini . Kepercaya an itu muncul saat pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan pergerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru
Pono dan Sjam lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih
banyak diam. Saya tidak melihat peranserta Untung dalam memimpin rangkaian pergerakan atau operasi ini (G 30 S), kata Heru saat ditemui Tempo. Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of negara kita ‘s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel
Latif maupun Untung. namun ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada
kaitannya dengan rencana kudeta. Itu tak masuk akal, kata Soeharto. Saya mengenal Untung
sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya percaya PKI berada di belakang
pergerakan Letkol Untung, katanya kepada Retnowati. Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. namun perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan. Tjakrabirawa, Dul Arief dan „Madura Connection‟ Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang menculik para jenderal yaitu komunitas Madura , yang di antaranya sudah dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950 an. laki laki tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan susah payah ia menyuapkan nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh di atas seprai.
Sudah 6 bulan ini Boengkoes, nama laki laki 82 tahun itu, terbaring lemah di tempat tidur.
Stroke melumpuhkannya. Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah
anaknya di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di atas dipan besi.
Boengkoes yaitu salah seorang pelaku dalam tragedi 30 September 1965. laki-laki berdarah
Madura, yang saat itu berpangkat sersan mayor, ini bekerja menjemput Mayor Jenderal M.T.
Harjono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dalam sebuah wawancara dengan
Tempo sesudah bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes menceritakan misi nya itu
dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar pukul 15.00. Dalam briefing itu dikatakan
ada sekelompok jenderal yang akan 'menggerakan gerakan ' sukarno , yang disebut Dewan Jenderal.
Wah, ini gawat, berdasar keterangan saksi saya.
Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan sesudah 5 Oktober 1965. Namun, pada pukul
08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan
harinya, kata Boengkoes, komandan komandan pasukan berkumpul lagi. Lalu, pasukan Tjakra
dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih mengetahui sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal M.T.
Harjono, kata Boengkoes. Boengkoes lalu berhasil menembak M.T. Harjono. sesudah
sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul Arief. Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson, dari Universitas Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi ke negara kita menemui Boengkoes di Besuki. Pertemuannya itu menghasilkan paper setebal 61 halaman, The World of Sergeant Mayor
Bungkus, yang dimuat di Jurnal negara kita Nomor 78, Oktober 2004. Paper ini, berdasar keterangan saksi Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada 1966 setahun sesudah peristiwa berdarah bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di lapangan yaitu orang orang Jawa. Anggapan ini berubah sesudah Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang dipekerjakan menculik berdarah Madura. Pimpinan
lapangannya juga berdarah Madura. Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, yaitu Dul Arief. Dul Arief yaitu serdadu berdarah Madura. Nah, berdasar keterangan saksi Ben, Dul Arief yaitu orang yang pernah dekat
dengan Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi
Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950 an. mengenai apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba memeriksa kepada Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan: Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo, kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo. Dalam paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura yaitu Djahurup. Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM
(Purnawirawan) Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto), yaitu orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September, namun dihadang , Ben menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes sudah mengenal akrab Dul Arief sejak 1947. Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut di Bondowoso. Boengkoes memulai karier saat revolusi di Batalion Semut Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situbondo. sesudah Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung dengan Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu. Sebagian besar personel Andjing Laut yaitu orangorang setempat keturunan Madura.
Selama clash kedua dengan Belanda, Boengkoes bertempur di beberapa daerah, seperti di
Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Ia juga pernah bekerja di Seram. Pada 1953, pasukan Andjing Laut ditarik dari Seram. Seluruh personel Andjing Laut tak kembali ke Brawijaya, melainkan bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah. Di Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari 701 menjadi 448. Namun, nama Andjing Laut tetap mereka pertahankan. lalu Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Hampir seluruh personelnya berdarah Madura. Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes berada dalam satu batalion 448 Kodam Diponegoro, kata Heru Atmodjo. Dan yang mengejutkan lagi: Komandannya waktu itu Kolonel Latief, kata Heru. Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief pun sudah mengenal para eksekutor Tjakrabirawa sejak dahulu . sesudah menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Boengkoes dipindah ke Cadangan Umum di Salatiga. Cadangan Umum yaitu gabungan pasukan Garuda I dan II yang baru pulang bekerja di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang, yaitu baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan informasi yang mengagetkan lagi:
komandan baret hijau di Srondol saat itu, berdasar keterangan saksi Boengkoes, yaitu Untung!
saat bekerja di Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng Raiders I di
Magelang. Tak lama lalu ia direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meski sudah bersama dengan
Untung sejak di Banteng Raiders, Boengkoes mengaku kepada Ben Anderson baru bertemu
dengan Untung saat sudah di Jakarta. Saya belum kenal dia waktu di Srondol, tuturnya.
Boengkoes tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes
menderita wasir dan disentri. Penyakit itu saya sudah katakan. namun besoknya, saya diberitahu bahwa saya sehat. Jadi saya senang. Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi. Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi, kata Boengkoes. misi mereka menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden. Kepada Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup semati. Keduanya sering berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu waktu dia dan Dul Arief pergi jalan jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di sebuah pertigaan, ada warung cendol. Di papan
namanya tertulis Dawet Pasuruan . Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang
cendol itu. Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. namun kok mereka lalu tersenyum senyum. Saya mulai curiga, kata Boengkoes. Ternyata lalu , pemilik
warung ini mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur. Dan kedua gadis ini mengerti bahasa Madura. Wah, mati aku, kata Boengkoes.
Yang aneh, berdasar keterangan saksi Ben Anderson, sesudah tragedi September itu Dul Arief, si anak angkat Ali Moertopo, dan Djahurup seolah hilang tak berbekas. berdasar keterangan saksi Heru, beberapa hari sesudah G 30 S dinyatakan gagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang mereka. Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, menceritakan ke 60 orang ini mampir di sebuah asrama TNI di Cirebon sebab tidak membawa bawa bekal makanan. Salah satu prajurit di asrama ini berinisiatif melapor kepadanya. Saya perintahkan mereka untuk ditahan dahulu . Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput, kata Maulwi. namun Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono, bawahan Dul Arief, yang lalu disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para jenderal ini . Dul Arief dan Djahurup tidak bisa dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub), kata Heru. Apakah keduanya diamankan Ali Moertopo, Entahlah.Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel
Di mata Sadali, teman masa kecilnya, Untung yaitu seorang prajurit cerdas. Sadali, yang
sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu. Untung, kata Sadali,
memulai dinas militernya di Heiho pada 1943.
sesudah Jepang hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia . Kariernya
mulai bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di Gombel,
dekat Semarang, Jawa Tengah. Pada 1961, pangkatnya sudah mayor. Ada satu melati putih di pangkatnya. Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali percaya, Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.
Dari mulut Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak umum . sesudah diterjunkan di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota kota. Sebaliknya hutan hutan
dibuatnya benderang. Belanda tertipu, kata Sadali. Untung bersama pasukannya berhasil
masuk ke kota kota. Entah dengan cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.
Prestasi di Irian Barat memicu Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang
Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya yaitu
Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel. Dia pun secara khusus
diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan pengawal Tjakrabirawa. Hingga dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun, bagi
warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat sekaligus. Dengan
takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung.
Jenderal Untung dikenal karismatis, Mashud Efendi, 69 tahun , yang tinggal berdekatan
dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun ikut menyebutnya
Jenderal Untung. Paling tidak ada orang Kebumen yang berhasil membebaskan Irian Barat, kata Asibun, 40 tahun . Mereka bukannya tak mengetahui soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat. namun mereka tidak terlalu peduli. Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui keterlibatan Untung dalam peristiwa G 30 S melalui radio. Massa yang marah sempat menjadi rumah Sukendar sebagai sasaran. Sekitar seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov, kata Syukur, yang kini 71 tahun . Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Kendati Syukur mendengar Untung terlibat G 30 S, ia tak percaya laki-laki itu bersalah. Dia hanya alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto. Sebaliknya, ia percaya Untung orang yang jujur dan bertanggung jawab. Dan, seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang
menjadi pahlawan pembebasan Irian Barat.
Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun , yang masih terhitung kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya
warga kebanggaan Kedung Bajul itu terlibat penculikan para jenderal. Pada tengah malam kejadian, kata dia, Untung nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin sekarang. Yang lebih unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. Ia menjadi kasepuhan atau paranormal, kata orang yang tak pernah bertemu dengan Untung itu. Di Kebumen, Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan Tien yang mendadak memicu tuan rumah kebingungan menyambutnya. Dusun yang tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu begitu panas menyengat saat Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan pedagang peci. dahulu , daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945 1950.
orang Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang
taat. Tua muda rajin beribadah dan mendaras Al Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran
Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman masa kecil mengingatnya sebagai Kusmindar
atau Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.
Dari percakapan dengan penduduk setempat, Tempo memperoleh informasi Untung tak memiliki darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma hanya sekedar tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah. Meski cuma hanya sekedar buruh, Mukri dinamakan penakluk wanita. Ia kawin cerai sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri. Ibunya pemain wayang orang desa kami, kata Sadali, 71 tahun , tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama wanita yang minggat, menikah dengan laki laki lain saat Untung masih 10 tahun , itu. Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak memiliki anak. sebab itu, Dia lebih dinamakan Untung bin Samsuri, kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III. Seperti kakaknya, Samsuri buruh perajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan. Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa, bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan, Kartopuran, Solo.
mungkin sebab Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat
Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat
sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yaitu saat
Jepang masuk ke negara kita . Sejak itu ia terus berkarier di militer. Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957 1958, berdasar keterangan saksi Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata Sadali, pulang ke rumah Samsuri saban bulan saat masih berdinas di kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang. Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati. Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu. Selebihnya, orang Kedung Bajul tak mengetahui lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan
Hartati digelar megah pada 1963, setahun sesudah kepulanganya dari Irian Barat. Pesta paling meriah waktu itu, kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun , tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.
Untung menikahi Hartati sesudah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung, kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen. Hartati yaitu anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan
terpandang. Dia memiliki banyak kuli, kata Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen yaitu
hasil karyanya. Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati Untung yang digelar siang hari dibuat megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.
Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. sesudah itu ia
mengenakan pakaian kebesaran militer.
Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto
dan Tien Soeharto pun datang. Soeharto datang mendadak, memicu tuan rumah sedikit
kebingungan menyambut kedatangannya, kata Syukur, yang sempat dipenjara 6 tahun
sebab dituduh terlibat G 30 S. Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari pun tidak. Mungkin sebab ia sudah menjadi orang besar, kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang. sesudah menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung memperoleh seorang anak laki laki , Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.
Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil
di Bandung., Idul Adha, Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput Istana Presiden. Ia di saf terdepan. Tiba tiba seorang laki-laki di saf keempat berdiri menghunus pistol. Ia membidik Presiden. Tar! Tembakannya luput. Peluru mengoyak dada KH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong itu meninggal setahun lalu .
Sudah berkali kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah digranat, dibidik pesawat MIG, namun
insiden Hari Raya korban inilah yang tergawat. Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongan
di halaman Istana, yang dijaganya 24 jam.
sebab itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution memanggil Letnan
Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan pengawal
presiden. sebetulnya itu bukan gagasan baru, namun selalu ditolak Soekarno. Namun, kali ini
Nasution berhasil mempercayakan Soekarno bahwa keberadaan pasukan itu umum di semua
negara. sebab tak ada waktu untuk menyeleksi personel kesatuan baru itu, Nasution memerintahkan setiap angkatan menyetorkan pasukan khususnya. Masing masing satu batalion. Kepolisian menyumbangkan Mobrig (Brimob), Angkatan Laut memberikan Korps Komando (KKO), dan Angkatan Udara menyetor Pasukan Gerak Tjepat. Angkatan Darat seharusnya mengirimkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). L.B. Moerdani waktu itu masih berpangkat mayor RPKAD sudah digadang gadang sebagai komandan di kesatuan itu. Namun, pasukan elite ini menolak misi ini dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai pasukan tempur. Sebagai gantinya, mereka memberikan pasukan Kostrad (waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Dua kompi di antaranya dari Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang dikenal dengan sebutan Batalion Raiders atau Banteng Raiders.
Batalion ini sebetulnya memiliki catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya berasal dari
Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. saat pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat dibersihkan dari unsur PKI. Namun, sebelum rampung, Belanda melancarkan agresi militer kedua.
namun soal itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer dalam operasi
PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani, yang dekat
dengan Soekarno, dahulu dari batalion ini.
Pada hari ulang tahun nya, 6 Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu. Ia memberi nama
Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Ia
juga lah yang memilihkan seragamnya: baju warna cokelat tua dengan baret merah gelap.
Setahun lalu , pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba canggih.
Maklum, pasukan ini memperoleh anggaran langsung dari pemerintah pusat, bukan dari kantong ABRI. Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakrabirawa sesudah itu cuma hanya sekedar berisi tragedi. sebetulnya cuma hanya sekedar dua kompi Tjakra yang jahat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Pagi 1 Oktober 1965, kata Suhardi kepada Tempo, ia saat itu kapten menemukan, di markasnya di Wisma Kala Hitam hanya ada kompi Jawa Barat dan Jawa Timur. Harusnya ada empat. Kompi Raiders dari Jawa Tengah dua duanya tidak ada. Belakangan, sebagian anggota kompi itu tertangkap di Cirebon. Rupanya, sesudah aksi makarnya gagal, mereka melakukan long march ke pangkalannya di Srondol, Semarang, di bawah pimpinan Dul Arief. Sial, di Kota Udang, pasukan ini kehabisan ransum. Berdasarkan pemeriksaan di Cirebon oleh Mayor Soetardjo, diketahui bahwa yang terlibat pergerakan Untung hanya 86 orang. namun ada versi lain. berdasar keterangan saksi Antonie Dake dalam bukunya, Soekarno File, ada banyak Tjakra terlibat. Mereka bahkan sudah menyiapkan kedatangan Soekarno ke Halim sehari sebelum 30 September. Ini dibantah Kolonel Maulwi Saelan. berdasar keterangan saksi Maulwi, langkah mengungsikan Soekarno ke Halim diambil semata mata agar dia dekat dengan pesawat kepresidenan Jet Star, yang mangkal di sana. Tudingan terhadap Tjakra juga dilontarkan pengamat politik militer Australia, Ulf Sundhaussen. Dia mengatakan, pada 3 Oktober Saelan memimpin Tjakrabirawa pergi ke Lubang Buaya untuk menghilangkan jejak penculikan atas perintah Soekarno. Itu menutup diri yang menjijikkan, kata Maulwi. Seperti laporan Soetardjo, yang terlibat hanya 86 orang.
Ia memang ke Lubang Buaya bersama pasukannya. namun ini berkat informasi dari agen polisi Sukitman, yang terculik bersama para jenderal dan lalu ditemukan oleh pasukannya.
saat memeriksa lokasi yang disebut Sukitman yang sudah mereka serahkan ke Kostrad
pasukannya menemukan sumur tempat para jenderal itu dibuang. Gara gara aksi Untung, resimen ini bahkan coreng moreng oleh perbuatan yang tidak mereka lakukan. Pada 1996, contohnya , Tjakra dituduh menembak mahasiswa Universitas Indonesia , Arief Rahman Hakim. Maulwi, dalam bukunya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, menulis, penembaknya sebetulnya anggota Pom Dam V yang jadi patroli garnisun. Riwayat resimen ini tamat pada 22 Maret 1966. misi kalian sudah selesai, kata Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean kepada para petinggi resimen ini di Markas Angkatan Darat. Ia meminta anggota Tjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putra terbaik angkatan), kembali ke kesatuannya.
Enam hari sesudah nya, Saboer menyerahkan pengawalan presiden kepada Polisi Militer
Angkatan Darat. Namun, kisah Tjakra masih berlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilang tak
berbekas. Anggota kompinya dijebloskan ke rumah tahanan militer. Memang banyak anggota Tjakra yang tak dipenjara dan dipulang kan ke kesatuan lamanya. Namun, berdasar keterangan saksi Maulwi, di kesatuannya, mereka rata rata disisihkan. Kami yang diperintahkan setia kepada Presiden dianggap kekuatan Soekarno yang harus disingkirkan, kata Maulwi. Saya kasihan pada anggota Tjakra. Mereka prajurit cemerlang namun berada di posisi salah. Tjakra seperti bertukar nasib dengan Tjaduad, Maulwi menambahkan. Tjaduad hanya tempat untuk tentara yang sudah masuk kotak... seperti Soeharto, yang akan dipensiunkan. Gelap. Saya coba cari stop kontak, saya raba raba dinding. Tiba tiba ada bayangan putih lari. Anak buah saya berteriak, 'Pak, ada bayangan putih.' Saya mengangkat senjata dan dor.... Hernawati baru saja menyiapkan makan siang untuk ayahnya. Menunya: nasi putih dan telur mata sapi. Meski rapuh, laki laki tua itu menolak disuapi. Ia berkeras makan dengan tangannya sendiri. Sambil melatih tangan, kata Hernawati, 50 tahun . laki laki yang kini berusia 82 tahun itu yaitu Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Pangkat terakhirnya sebelum mendekam selama 33 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, yaitu sersan mayor. berdasar keterangan saksi Hernawati, anak kedua Boengkoes, sudah 6 bulan ini ayahnya tergolek lemah sebab stroke. Ia susah berbicara. Tangan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Ia kini terbaring di rumah anak keempatnya, Juwatinah, yang berdempetan dengan rumah Hernawati di Jalan PG Demaas, Dusun Kalak, Desa Demaas, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur. Hernawati tak mengizinkan Tempo menemui ayahnya. Ia hanya mengizinkan Slamet
Wagiyanto, 30 tahun , anak keduanya, untuk memotret sang kakek. Percuma hanya sekedar , Bapak tidak bisa bicara dan ingat apa pun, kata Hernawati. Boengkoes tinggal di Situbondo sesudah memperoleh grasi dari Presiden B.J. Habibie pada 25 Maret 1999. Di kota inilah istri dan anak anaknya tinggal sesudah Boengkoes masuk bui. Sebelumnya, keluarga Boengkoes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia menikah dengan Jumaiyah (kini 70 tahun ) dan dianugerahi 6 anak. Hernawati berkata kata , sebelum menderita stroke, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktunya di pekarangan belakang rumah. Di atas lahan berukuran 10 x 15 meter itu, Boengkoes merawat 10 ayam kampung dan suka menanam pisang. Ayamnya sekarang tinggal 3 ekor sebab nggak ada yang ngerawat lagi, kata Hernawati. Hobi lain laki laki kelahiran Desa Buduan, Besuki, itu yaitu menyanyikan lagu keroncong. Lagu favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Bengawan Solo. berdasar keterangan saksi Hernawati, hanya itulah kegiatan Boengkoes sesudah bebas dari bui. Ia tak aktif di kegiatan kampung. Boengkoes juga tak pernah bertemu dengan temantemannya sesama mantan tahanan politik. Kepada anak anaknya pun ia tak pernah bercerita mengenai pengalamannya di dalam penjara atau saat berdinas di Tjakrabirawa.
Hernawati mengatakan ayahnya tak mau menambah beban keluarganya. dahulu , setiap tahun beban itu terasa makin berat saat televisi memutar film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Saat film itu diputar, keluarganya tak pernah berani keluar dari rumah. Hampir seisi kampung mengetahui Boengkoes terlibat dalam pembunuhan para jenderal. Namun, sepahit apa pun pengalaman masa lalu ayahnya, Hernawati tetap percaya ayahnya tak bersalah. Ayah cuma hanya sekedar bawahan yang menjalankan perintah atasan, tuturnya. Boengkoes pada 1999, selepas keluar dari penjara, dalam sebuah kesempatan wawancara, mengatakan hal yang sama, Nggak ada, tentara kok merasa bersalah, mana ada.... Boengkoes kini terkena stroke. Entah apakah ia masih ingat detik detik saat masuk mendobrak rumah M.T. Harjono. Thompsonnya melepaskan tembakan pada bayangan putih itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuh M.T. Harjono tak berdaya. Peluru menembus tubuhnya dari punggung sampai perut.
Di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, Untung menghadirkan saksi Perwira Rudhito Kusnadi
Herukusumo, yang mendengar rekaman rahasia rapat Dewan Jenderal. Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri layaknya seorang pelaku kriminal. Turun dari panser, laki laki cepak bertubuh tegap itu tampak menggigil ketakutan. Kepalanya menunduk, takut menatap ratusan orang yang tak henti menghujatnya. Bekas Komandan Batalion I Tjakrabirawa itu juga ragu-ragu saat akan menembus barikade massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia , yang menyemut di pelataran parkir gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. saat itu, Rabu, 23 Februari 1966, pukul 9 pagi. Di lantai 2 gedung di Jalan Taman Suropati Nomor 2 itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili Untung, 40 tahun , bekas Ketua Dewan Revolusi Indonesia , dengan tuduhan makar. Saat akan memasuki gedung itulah Untung terus memperoleh hujatan dan cemoohan massa. Letnan I Dra Sri Hartani, yang saat itu menjadi protokoler atau seperti pembawa acara sidang, ingat intimidasi massa ini memicu nyali Untung ciut. Untung terlihat takut dan tidak terlihat seperti ABRI. Padahal jika ABRI tidak begitu, kata Sri, kini 69 tahun , kepada
Tempo di rumahnya di Jakarta Pusat pada pertengahan September lalu. Sri menyatakan Untung menjadi orang kedua sesudah Njono, tokoh Partai Komunis Indonesia , yang diperiksa dan diadili di Mahmilub 2 Jakarta. Di depan Mahmilub, Untung sangat percaya bahwa Dewan Jenderal itu ada. berdasar keterangan saksi Untung, ia mendengar adanya Dewan Jenderal dari Rudhito Kusnadi Herukusumo, seorang perwira menengah Staf Umum Tentara Nasional
negara kita Angkatan Darat 6. Untung mengatakan, kepada dirinya, Rudhito mengaku
mendengar rekaman tape hasil rapat Dewan Jenderal pada 21 September 1965 di gedung
Akademi Hukum Militer (AHM), Jalan Dr Abdurrachman Saleh I, Jakarta. Rekaman itu berisi pembicaraan mengenai kudeta dan susunan kabinet sesudah kudeta. Itu sebabnya, Untung bersikeras menghadirkan Rudhito sebagai saksi dalam persidangan. Rudhito lalu dihadirkan di Mahmilub 2. Dalam kesaksiannya, seperti dapat kita baca dalam buku proses mahmilub Untung (1966), Rudhito memang mengaku pernah melihat tape rekaman ini dan sudah melaporkannya kepada Presiden Soekarno. Rudhito menjelaskan, dirinya menerima tape rekaman yang dia dengar dan catatan mengenai
isinya pada 26 September 1965 di ruangan depan gedung Front Nasional. Dia menerima bukti
itu dari 4 orang, yaitu Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution, keduanya dari Nahdlatul
Ulama, plus Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang dari IP KI. berdasar keterangan saksi Rudhito, keempat orang itu mengajaknya membantu melaksanakan rencana rencana Dewan Jenderal. Mereka mengajak sebab kapasitasnya selaku Ketua Umum Ormas Central
Comando Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia . Rencana Dewan Jenderal itu yaitu mengudeta Soekarno seperti cara cara di luar negeri. contohnya Soekarno akan disingkirkan seperti matinya Presiden Republik Korea Selatan Sihgman Ree. Selanjutnya, tutur Rudhito, jika belum berhasil, akan dibuat seperti hilangnya Presiden Bhao dari Vietnam Selatan. jika masih tidak bisa juga, Soekarno akan 'di bela‘, laki-laki
berusia 40 tahun ini menjelaskan isi rekaman di depan Mahkamah. Di bela maksudnya yaitu dikudeta dengan cara seperti Jenderal Boumedienne terhadap Presiden Aljazair bernama Ahmad Ben Bella. Lebih jauh rekaman ini , berdasar keterangan saksi Rudhito, juga berisi pembicaraan mengenai siapa nanti yang duduk dalam kabinet jika kudeta sukses dijalankan. Ada nama Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai calon perdana menteri, Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai wakil perdana menteri I merangkap menteri pertahanan dan keamanan, Letnan Jenderal Ruslan Abdul Gani sebagai wakil perdana menteri II merangkap menteri penerangan, dan Mayor Jenderal S. Parman sebagai menteri jaksa agung dan masih ada beberapa nama lagi. Dalam rekaman, saya ingat almarhum Jenderal S. Parman yang membacakan susunan kabinet itu, kata Rudhito. Bukti manuscript manuscript Dewan Jenderal, berdasar keterangan saksi Rudhito, sebagian besar ada pada Brigadir
Jenderal Supardjo. manuscript itu juga sudah sampai di tangan Presiden Soekarno, Komando
Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi dan Departemen Kejaksaan Agung. Nah, dari manuscript yang dipegang Supardjo itu sebetulnya terendus ada uang cek penerimaan
dari luar negeri untuk anggota Dewan Jenderal yang aktif. jika tidak salah hal itu sudah dipidatokan Presiden Soekarno bahwa uang Rp 150 juta itu merupakan suatu fondsen atau
dana pensiun bagi masing masing anggota Dewan Jenderal yang aktif, tutur Rudhito
Hanya, Rudhito mengaku di Mahmilub tak menyimpan tape rekaman itu. Dan hal itu dinilai
oleh Mahkamah sebagai unus testis nullus testis, yang berarti keterangan saksi sama sekali tak
diperkuat alat alat bukti lainnya, sehingga tak memiliki kekuatan bukti sama sekali.
Selain itu, apa yang dikemukakan Rudhito, berdasar keterangan saksi Mahkamah, sama sekali tak benar. Rapat Dewan Jenderal yang diadakan di gedung AHM pada 21 September 1965 nyatanya cuma hanya sekedar suatu
commander's call Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat berdasarkan surat bukti
hasil rapat ini yang didapat Mahkamah. Mahkamah berpendapat, Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta ternyata baru
merupakan kabar yang bersumber dari Sjam Kamaruzzaman dan Pono utusan Ketua CC PKI
D.N. Aidit yang tak terbukti kebenarannya.
Berdasarkan itu, Mahkamah memvonis Untung bersalah sebab melakukan kejahatan makar,
pemberontakan bersenjata, samen spanning atau konspirasi jahat, dan dengan sengaja menggerakkan orang lain melakukan pembunuhan yang direncanakan. Ahad, 6 Maret 1966, Mahkamah memutuskan menghukum Untung dengan hukuman mati. Saat
itu yang bertindak sebagai hakim ketua yaitu Letnan Kolonel Soedjono Wirjohatmojo, SH,
dengan oditur Letnan Kolonel Iskandar, SH, dan panitera Kapten Hamsil Rusli. Dan tak lama
berselang Untung dikabarkan meregang nyawa di depan regu tembak. Cornell Paper , yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey sesudah meletus pergerakan 30 September, mengesankan bahwa pergerakan itu merupakan peristiwa internal Angkatan Darat dan terutama menyangkut Komando Daerah Militer Diponegoro. Tentu saja pandangan ini merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut. sesudah tiga dekade di penjara, soebandrio , Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen, mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama sama berasal dari Diponegoro, ada trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali Moertopo). Dari dua trio itu terlihat bahwa baik pelaku pergerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama, yaitu Kodam Diponegoro. Itu juga yang menjelaskan bahwa pergerakan ini tampil hanya di Jakarta dan di wilayah Kodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari. Alasan itulah yang dipakai kenapa Soeharto tidak masuk daftar orang yang diculik: ia dianggap kawan , minimal bukan musuh . Soeharto dan Latief sama sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang lalu dijadikan hari sangat bersejarah oleh pemerintah Orde Baru. Pada tengah malam 30 September 1965, Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latief bersama istrinya sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Walau tidak sedekat dengan Latief, Soeharto berhubungan baik dengan Untung. Kabarnya, saat Untung menikah di Kebumen, Soeharto menghadiri nya. Di jalur yang lain, hubungan Yoga Soegama dan Ali Moertopo terbina saat mereka melakukan serangkaian manuver untuk mendukung Soeharto menjadi Komandan Teritorium IV, yang lalu menjadi Kodam Diponegoro. saat pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962, ada satu batalion Angkatan Darat. Sejak Mei 1965, batalion ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang sebab keberaniannya dalam operasi Tritura memperoleh Bintang Sakti. Ada informasi yang perlu diteliti lagi bahwa Kapten Rochadilah yang mengajak Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden. Rochadi yaitu anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi negara kita ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak itu terhalang pulang . Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama menjadi Rafiuddin Umar (meninggal pada 2005). Di kalangan eksil 65 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten Rochadi berasal dari batalion yang pernah dipimpin Letnan Kolonel Untung di Kodam Diponegoro. Ben Anderson memulai analisa nya dengan mengutarakan karakter Jawa dari Divisi
Diponegoro yang Panglima Kodamnya sejak awal sampai 1965 berasal dari Yogya Banyumas
Kedu . Sulit dibayangkan seorang Batak atau Minahasa menjadi Panglima Kodam Diponegoro,
seperti yang terjadi pada Kodam Siliwangi. Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang sangat padat penduduk, pangan tidak seimbang, dan berpaham komunisme dan sentimen anti aristokrat cukup kuat. Ketidakpuasan muncul di kalangan perwira Diponegoro, seperti
Kolonel Suherman, Kolonel Marjono, dan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto (dan di Jakarta
ada Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung) terhadap para perwira tinggi yang dinilai
hidup mewah di tengah kemiskinan rakyat, termasuk tentara. Stroke ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya manuscript Gilchrist dan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta (5 Oktober 1965) menambah panas suasana politik. Sebagai komandan batalion militer dalam pasukan yang misi nya mengamankan presiden, Untung terpanggil untuk menyelamatkan presiden dari ancaman para jenderal ini dengan mendahului mereka melalui pergerakan 30 September.
Walaupun namanya tertulis sebagai komandan pergerakan ini , fakta di lapangan
memperlihatkan bahwa Untung bukanlah pemimpin utama aksi ini, sebab berbagai hal
ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro khusus sentral PKI. saat banyak persiapan (tank,
senjata, logistik, dan personel) masih kacau, Untung tidak mengambil keputusan menunda aksi
ini. Mereka lebih mendengar Sjam, yang berkata , jika mau revolusi saat masih muda,
jangan tunggu sampai tua, dan saat awal revolusi banyak yang takut, namun saat revolusi
berhasil semua ikut. pergerakan 30 September yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari. manuscript Supardjo dianggap cukup sahih memperlihatkan bahwa kelemahan utama pergerakan 30 September yaitu tidak adanya satu komando. ada dua kelompok pimpinan, yaitu kalangan militer (Untung, Latief, dan Sudjono) dan pihak Biro khusus sentral PKI (Sjam, Pono, dan Bono). Sjam memegang peranserta sentral sebab ia berada dalam posisi penghubung di antara kedua pihak ini. Namun, saat usaha ini tidak memperoleh dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta agar dihentikan, kebingungan terjadi. Kedua kelompok itu terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedang Biro khusus sentral melanjutkan.
Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan kedua dan ketiga ada
selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam usaha kudeta merupakan kesalahan besar.
Pada pagi hari, mereka mengumumkan bahwa presiden dalam kondisi selamat. sedang
pengumuman berikutnya pada siang hari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi
dan pembubaran kabinet). Jadi, dalam tempo lima jam, operasi penyelamatan Presiden Soekarno berubah 180 derajat menjadi percobaan makar melalui radio . Uraian di atas sekali lagi memperlihatkan bahwa Untung bukanlah komandan pergerakan 30 September yang sebetulnya . Ia bisa diatur oleh Sjam Kamaruzzaman. Untung dieksekusi pada 1969. Sebelumnya, di penjara Cimahi, ia menuturkan kepada Heru Atmodjo (Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo pada 1965 menjabat Asisten Direktur Intelijen AURI) bahwa ia tidak percaya akan ditembak mati sebab hubungan baiknya dengan Jenderal Soeharto. Namun, Untung memang tidak beruntung. Resimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Panglima Tertinggi Angkatan perang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962 tanggal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resimen khusus di bawah Presiden yang diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga keselamatan pribadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan perang Republik Indonesia ditambah keluarganya. Resimen ini terdiri atas Detasemen Kawal Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, dan Batalion Kawal Kehormatan. Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962 saat Presiden bersembahyang Idul Adha di Masjid Baitturahman di kompleks Istana Merdeka, Jakarta. Sebagai suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu kesatuan militer yang memiliki kualifikasi setingkat kesatuan komando. Dalam suatu wawancara dengan Benedict Anderson dan Arief Djati (negara kita No. 78, Oktober 2004), mantan komandan peleton Tjakrabirawa, Sersan Mayor Boengkoes, menceritakan sulitnya rangkaian tes yang harus dijalani oleh seorang prajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa. Tidak seperti pembentukan kesatuan kesatuan baru lainnya yang sekadar mengandalkan penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk membentuk satu batalion, resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan kumpulan anggotanya yang berhasil lulus dari rangkaian tes seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak dari data bahwa hanya 3 4 prajurit dari satu kompi suatu batalion yang berkualifikasi raider atau paratrooper atau airborne yang memperoleh panggilan untuk mengikuti tes seleksi. Letnan Kolonel Untung, yang berperanserta sebagai pimpinan militer pergerakan 30 September, contohnya , dari 1954 sampai 1965 bekerja di Batalion 454 Banteng Raiders yang memiliki kualifikasi paratroop airborne. Pada 1961, Untung memimpin salah satu kompi relawan dalam Operasi Naga yang memulai tahap infiltrasi penyerbuan Irian Barat di bawah pimpinan Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto. Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung, bersama L.B. Moerdani sebagai pimpinan kompi relawan lainnya, memperoleh penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Pada Februari 1965, Letkol Untung, yang saat itu menjabat Komandan Batalion 454 Banteng Raiders, dipromosikan menjadi Komandan Batalion I Tjakrabirawa.
Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidak langsung menjadi Tjakrabirawa suatu
kesatuan militer yang mampu melakukan kudeta pada 1 Oktober 1965. Kompi Tjakrabirawa di
bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati untuk
melaksanakan operasi penculikan para jenderal sebab kesatuan ini berada langsung di bawah
Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD) sehingga saat melaksanakan operasi tidak akan
memicu kecurigaan dari para jenderal TNI AD.
Keterlibatan Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosok Letkol Untung, yang memiliki rekam jejak
militer yang memungkinkannya membangun jejaring militer dengan kesatuan kesatuan AD
lainnya yang bergabung dalam pergerakan 30 September, yaitu Batalion 454, Batalion 530, dan
Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan ini memperkuat Pasukan Pasopati. Batalion
454 dan 530 juga digelar untuk melakukan pengamanan Istana dan kantor RRI. Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 sudah dibangun sejak 1954. Saat pergerakan 30
September digelar, Batalion 454 dipimpin oleh Mayor Kuntjoro Judowidjojo, yang menjadi wakil
komandan batalion saat Letkol Untung menjabat Komandan Batalion 454. Kedekatan Letkol
Untung dengan Komandan Brigade I Kodam Djaya Kolonel A. Latief, yang juga berperanserta dalam
pergerakan 30 September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkan ke Jakarta pada 1963,
Brigade I merupakan bagian dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) yang bermarkas
di Ungaran, dekat dengan markas Batalion 454.
Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukan untuk mengurai keterlibatan kesatuan
kesatuan AD dalam pergerakan 30 September, pusat jejaring pergerakan ini bisa dilacak dari
Batalion 454 Banteng Raiders. Secara taktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan titik
akhir pergerakan 30 September yaitu Batalion 454. Karier militer cemerlang Letkol Untung yang membawa bawa nya ke jabatan Komandan Batalion I Tjakrabirawa berawal dari Batalion 454. Komandan Kompi Tjakrabirawa yang juga Komandan Pasukan Pasopati, Letnan Satu Dul Arif, juga pernah bekerja di Banteng Raiders langsung di bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo. Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat Banteng Raiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontak dan bergabung dalam pergerakan Darul Islam di perbatasan Jawa Tengah Jawa Barat. Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh Kolonel Ahmad Yani pada Juni 1952. Sebagai komandan brigade di wilayah Jawa Tengah bagian barat, Kolonel Ahmad Yani memiliki ide membentuk kesatuan khusus yang dapat diandalkan untuk melawan pemberontakan Darul Islam. Kesatuan Banteng Raiders bentukan Ahmad Yani ini akhirnya menjadi Batalion 454.
Pada 1961, Batalion 454 (dan Batalion 530) dijadikan bagian dari Tjaduad yang dipimpin oleh
Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad yang dibentuk oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution ini ditingkatkan menjadi Kostrad pada Februari 1963. Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengundang Batalion 454 (dan Batalion
530) untuk berpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober 1965. Sebagai Panglima Kostrad, Mayor
Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan operasional AD dan memimpin operasi
penumpasan pergerakan 30 September. Dalam operasi penumpasan ini, Panglima Kostrad
memerintahkan pasukan baret merah RPKAD menghentikan petualangan militer pasukan baret
hijau Batalion 454. Sejarah mencatat bahwa penumpasan pergerakan 30 September berakhir dengan gelar operasi khusus yang dipimpin oleh Letkol Ali Moertopo yang juga alumnus Banteng Raiders. Operasi khusus ini menjadi awal kelahiran Kopkamtib yang turut memperkuat rezim politik militer Orde Baru. IA berbeda dari orang komunis biasanya . Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu pro rakyat dan menggelorakan semangat perjuangan . Ia menghapus The Old
Man and the Sea film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway dari daftar film Barat
yang diharamkan Partai Komunis Indonesia . Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, namun tak menganggap yang kapitalis harus selalu dimusuhi. Ia yaitu Njoto yang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain dari sejarah
pergerakan 30 September 1965. Kecuali buku buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak menemukan keterlibatan Njoto dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI , Dipa Nusantara Aidit menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat dengan Soekarno. namun sejarah resmi 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang setengah berdosa dan berdosa penuh . Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya
ada komunis atau bukan komunis. sebab itu, sang pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak. Menulis Njoto, sesudah 44 tahun tragedi 1965, yaitu ikhtiar untuk tak terseret logika tumpas kelor itu. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh. Sejarah selalu menyimpan orang yang berbeda.
tujuh puluh tahun silam. Njoto kecil terpesona pada sepatu roda, mainan yang tergolong mewah waktu itu, apalagi di Jember, kota kecil di ujung Jawa Timur. Kulo nyuwun dipundhutke sepatu roda, kira kira begitu permintaan Njoto kepada ibunya, Masalmah. Sengaja si bocah tak mengajukan permintaan kepada ayahanda, Raden
Sosro Hartono, seorang keturunan ningrat Solo yang disegani sebab perbawanya. Njoto memang lebih dekat kepada sang ibu. Saat itu sebetulnya Njoto memiliki sepeda baru, hadiah dari bapaknya. Dengan sepeda itu bocah lanang semata wayang dari tiga bersaudara ini saban pagi berangkat ke
sekolah, HIS (Hollands Inlandsche School, setaraf sekolah dasar) di Jember. namun mengayuh sepeda saja belum cukup . Ingin benar Njoto kecil menjelajahi jalanan Jember dengan sepatu ajaib beroda yang mungkin dilihatnya di surat kabar itu. Singkat kata, permintaan sepatu roda Njoto ini sampai juga ke telinga Raden Sosro. Beruntung, pemilik usaha pembuatan blangkon dan jamu ini mengabulkan permintaan Njoto. Sepatu roda pun dibeli. Pak Raden secara khusus memerintahkan dua penjaga Yosobusono, toko batik milik keluarga Sosro, untuk menjaga Njoto agar tidak jatuh saat belajar meluncur dengan sepatu roda.
Walhasil, saban sore sesudah toko batik tutup, Njoto siap beraksi. Dua karyawan toko yang masih terhitung kerabat Pak Raden itu turut sibuk bergerak. Mereka berjaga di sisi kanan dan kiri Njoto yang limbung ke sana kemari. Lek Njot, si anak majikan, tak boleh jatuh. Tak lama, Njoto mulai lancar bersepatu roda. Dalam sehari saja ia sudah bisa, kata Sri Windarti, adik Njoto yang selisih dua tahun umurnya dengan sang kakak. Sri tinggal di Medan, bersama keluarga Iramani, adik bungsu Njoto yang terpaut usia 18 tahun .
laki laki blasteran Solo Jember ini lahir pada 12 Januari 1927 di rumah kakeknya, Marjono, seorang pemborong yang memiliki rumah bertingkat tiga di Jember. Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti wanti anak anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran.
Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut dan . Ini sebab Raden Sosro ingin anak anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih teratur
kurikulumnya, dibandingkan sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar
30 kilometer utara Jember. Sepulang sekolah, Njoto terkadang bermain sepak bola di lapangan tak jauh dari rumah kakeknya. Tentu juga menjelajahi jalanan dengan sepatu roda. Masa kecil yang riang. Urusan belajar bukan berarti terabaikan. Menjelang sore, bersama Sri Windarti, dia naik dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo. Waktu belajar
plus ini mulai pukul lima sore hingga delapan tengah malam . Njoto kecil tumbuh dengan cita cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya, Njoto juga
menyampaikan tekadnya untuk menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis. Sejak kecil Njoto tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung kaku. Pada hari raya Idul Fitri, contohnya , dia merasa tak nyaman melihat suasana feodal Jawa itu di rumah orang tuanya di Bondowoso. saat sanak kerabat dan para pekerja
batik sowan menghadap Pak Raden, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan
nongkrong di tempat pemandian umum Tasnan. Pemandian ini terletak sekitar tujuh kilometer dari rumah dan masih ada hingga kini. Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uiebreid Lager Onderwijs (MULO), seperti sekolah menengah pertama, di Jember, yang bisa dimasukinya tanpa tes. Namun, saat tentara pendudukan Jepang datang, sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal. Di kota ini, Raden Sosro membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di kawasan Kauman. Selain sebagai tempat tinggal kedua anaknya, rumah ini 0men jadi tempat
membuka usaha batik tulis, yang memproduksi sarung batik, kain panjang, kemben, blangkon.
Sabar Anantaguna, salah satu penggiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat, pernah satu
sekolah dan sekelas dengan Njoto di MULO Solo. Penampilan Njoto, seingatnya, cukup rapi dan terawat. Dia pakai celana panjang, kata Sabar, sedang saya pakai celana pendek sebab miskin. Di sini ia tetap bersepeda saat pergi pulang sekolah. Njoto pintar bergaul. Tak aneh jika guru menunjuknya sebagai ketua kelas. Bakatnya di bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding olahraga. Suatu saat Njoto memicu karangan mengenai para penjudi sepak bola yang kecewa. Para penjudi itu, begitu ia menulis, sudah berkumpul di pinggir lapangan siap melihat pertandingan. Apa daya, hujan tiba tiba turun dan pertandingan langsung bubar. Para penjudi kecewa sebab batal bertaruh. Karangan ini, seperti beberapa karangan Njoto lainnya, dibacakan guru di depan kelas. Selain pintar menulis, Sri Windarti mengenang, kakaknya hobi menikmati musik klasik, bermain gitar, dan mengarang beberapa lagu. Dia sendiri tidak menyanyi. Saya yang disuruh menyanyi, kata Windarti. Njoto membentuk grup Suara Putri, yang berisi empat penyanyi remaja putri yang salah satunya yaitu Windarti. Mereka berlatih bernyanyi sambil diiringi petikan gitar Njoto.
Salah satunya lagu Wanita Asia, yang sempat mereka nyanyikan di stasiun radio di Solo
dan belakangan direkam dalam piringan hitam. Lagu ini memuji ketegaran wanita Asia plus menyanjung kedatangan Jepang yang melibas Belanda. sesudah Jepang hengkang pada 1945, lagu ini dilarang. Tempo mencoba menelusuri rumah di Desa Kemlayan Wetan itu, tempat Njoto
menghabiskan hari hari yang penuh energi. Rumah bertembok tinggi di Jalan Empu Gandring 141 itu kini menjadi rumah kos. Pintu gerbangnya yang cokelat tertutup rapat. Tembok pagar setinggi sekitar tiga meteran itu berwarna putih dan kusam. Seorang wanita yang membuka pintu mengatakan, Pemilik rumah tidak ada. Semuanya kos di sini. Pintu gerbang kembali ditutup. Jalanan lengang. Sri Honing, 74 tahun , warga asli Kemlayan, berkata kata kepada Tempo. Honing masih ingat salah seorang warga pendatang yang bernama Njoto. Dia bersekolah di sini, kata Sri Honing, yang tinggal tak jauh dari rumah kost tadi. Njoto, berdasar keterangan saksi Honing, tidak lama tinggal di Kemlayan, hanya sekitar tiga tahun Kemlayan dinamakan kampung seni. Ini tecermin dari nama kampung itu,
Kemlayan, yang berasal dari kata mloyo, yang merujuk pada para penabuh gamelan Keraton Kasunanan Surakarta, yang banyak tinggal di sini.
Tempo lalu menelusuri jejak MULO. Sekolah peninggalan Belanda itu sudah berubah menjadi Sekolah Menengah Kristen Mertoyudan, dengan enam kelas dan 203 siswa. Sebuah prasasti bertahun 1924 tampil di halaman. Saya tidak mengetahui dahulu sekolah apa pada zaman Belanda, kata Nanik Setiawati, salah satu guru.
Di Jawa Timur, jejak rumah orang tua Njoto di Jalan P.B. Sudirman, Bondowoso, juga tertinggal samar. Rumah itu sudah berubah menjadi rumah toko yang sudah tak lagi beroperasi. berdasar keterangan saksi Umi, salah satu kerabat keluarga Njoto, toko itu sekarang dimiliki
seorang pedagang Tionghoa dan sudah lama tutup. Itu dahulu rumah ayah Lek Njot, kata
dia menunjuk ke seberang dari tokonya yang berjualan tape. Sebuah warung pecel ada
di depan rumah. Bapak saya yang menyewa sejak setahun lalu, kata Titut, penjual pecel. Nasib rumah Marjono, kakek Njoto, di Kampung Tempean, Jember, tak kalah sunyi. Pemiliknya, orang Situbondo, pulang kampung sebab sakit, kata Saenal, Ketua RW. Rumah itu terletak di Gang Tiga persis berseberangan dengan makam seorang tokoh lokal, Mas Cholilah, di Jalan Samanhudi. Jupri Ahmari, 74 tahun , sesepuh di Kampung Tempean, bertutur mengenai asal mula
nama kampung. dahulu , banyak orang memicu tempe, maka disebut Tempean, katanya. Kampung ini termasuk basis komunis pada era 1960. Kini, jejak itu memudar seiring dengan berkembangnya sebuah taman pendidikan Al Quran. dalam bayangan anak anaknya, laki-laki itu bertubuh tinggi, tegap, berkulit gelap, dan
sering memakai blangkon. Sosok yang disiplin, mencintai buku, dan gemar bermain bola.
Dia Sosro Hartono, pedagang batik tulis asal Solo keturunan bangsawan. Menikah dengan Masalmah, anak Raden Marjono, anemer dari Jember, Jawa Timur, Sosro memiliki tiga anak: Njoto, Sri Windarti, dan Iramani. Njoto lahir pada 1927, dua tahun lebih tua dibandingkan Windarti dan 18 tahun lebih tua dibandingkan Iramani.
Sosro mendidik anaknya dengan keras, tegas, dan disiplin. Adapun Masalmah santun, dengan tutur kata halus. namun Bapak tak pernah main pukul, kata Windarti. sesudah menikah, Sosro menyewa bangunan dari pedagang Cina di Bondowoso. Ia
mendirikan toko batik Solo dan jamu Jawa. Sosro memberi nama toko itu Yosobusono, artinya memicu pakaian dalam bahasa Jawa. Di toko ini tersedia sarung dan kain batik, kemben, dan blangkon. Yosobusono bukan toko biasa. Ia juga tempat mangkal aktivis kemerdekaan. Sosro
menyokong mereka secara materi. Setiap hari ada saja pertemuan dan rapat pejuang, termasuk yang pernah dibuang ke Digul. Para om Digul itu suka ngobrol dan nengok saya dan Njoto, kata Windarti. Sosro sering meluangkan waktu bersama anaknya meski sibuk dengan urusan toko dan para pejuang. Ia selalu menanyakan pelajaran dan cita cita kepada Njoto dan Windarti.
Sosro juga sering menemani dan melatih Njoto bermain bola. Sosro dan Njoto sama sama hobi bermain bola. Ayah itu senangnya bisnis, kata Iramani. Bisnis yaitu bisnis, keluarga yaitu keluarga. Sosro juga tak pernah melarang anaknya bermain. Ia hanya meminta anaknya
menomorsatukan sekolah, belajar, dan membaca. Sosro tak pernah mengarahkan anaknya membaca buku komunis. Ayah saya pembela Republik, kata Iramani. Keluarga Sosro dan Masalmah termasuk ningrat Jawa yang menganggap pendidikan sangat penting bagi anaknya. Mereka mengirim anak anak sekolah sampai ke Solo. Di kota inilah, Sosro membeli rumah yang menjadi pusat produksi batik, sekaligus tempat tinggal Njoto dan Windarti.
Suatu hari, saat sedang berjalan pulang di pinggir rel, Windarti tiba tiba diberitahu bahwa ayahnya ditangkap Belanda. namun tak ada penjelasan mengenai sebab musababnya. Windarti lalu mencari pamannya, Maskan, yang lalu mengajaknya menemui Njoto di Yogyakarta. Waktu itu, Njoto sudah menjadi anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat, wakil Partai Komunis Indonesia Banyuwangi. Di Yogyakarta itu, Windarti dan Njoto baru memperoleh penjelasan lebih lengkap mengenai penangkapan sang ayah. Belanda ternyata mengendus kegiatan di Yosobusono yang sering menjadi tempat berkumpul pejuang. Sosro semula ditahan di penjara Bondowoso, namun dipindah ke penjara Kalisosok, Surabaya. Sekitar seratus orang, termasuk Sosro, diangkut dengan kereta, dengan gerbong tanpa ventilasi. Perjalanan hampir 15 jam dari Bondowoso ke Stasiun Wonokromo, Surabaya, tanpa memperoleh udara segar. Insiden yang terkenal dengan Gerbong Maut itu memakan korban puluhan orang. Sosro selamat tiba di Stasiun Wonokromo sebab seorang penumpang memecahkan kaca kecil di gerbong. namun kondisinya lemah. Ia dipulang kan ke Bondowoso dan dirawat oleh Dokter Koesnadi di rumah. Dan akhirnya Sosro mengembuskan napas terakhir tanpa disaksikan anak anaknya. Kami mengetahui satu bulan sesudah Bapak meninggal, kata
Windarti. Njoto awalnya tak menunjukkan paras sedih begitu mendengar ayahnya meninggal.
namun begitu pulang ke Solo, Njoto langsung ke kamar dan menumpahkan air mata. Njoto nangis macam anak kecil, kata Windarti. Sosro dimakamkan di kompleks pemakaman Desa Tegal Ampel, Bondowoso. Istrinya, Masalmah, yang meninggal pada 1968, juga dimakamkan di tempat yang sama. KARL Marx, Stalin, Lenin. Nama nama itu akrab sejak Njoto belia. Buku buku karya
tokoh revolusioner itu menjadi santapan sehari hari. Padahal ia masih duduk di bangku
Meer Uiebreid Lager Onderwijs (MULO), seperti sekolah menengah pertama di Solo, Jawa Tengah. Buku koleksinya ada yang setebal telapak tangan.
Buku buku berat berbahasa asing itu dipilih atas kemauannya sendiri, tidak ada yang mengarahkan, kata Sri Windarti, adik kandung Njoto, awal September lalu. Buku buku tokoh kiri itu dibaca Njoto sehabis belajar. Budaya membaca kuat tertanam di keluarga itu. Ayahnya, Raden Sosro Hartono, membiasakan anak anaknya gemar membaca dari kecil. Mereka bebas membaca apa
saja, asalkan urusan belajar dan sekolah tidak terbengkalai. Njoto bahkan memiliki kebiasaan membaca di mana mana, meski tengah kumpul bersama keluarga. Selalu saja ada buku atau koran yang ia pegang. Ketertarikan Njoto akan buku ideologi pergerakan bisa jadi mekar jauh sebelum itu. Sebelum Njoto meneruskan sekolah ke Solo, toko milik Raden Sosro Hartono di
Bondowoso, Jawa Timur, sering kedatangan tamu eks Digulis aktivis pergerakan politik
yang dibuang Belanda ke Boven Digul, Papua. Raden Sosro sering mengadakan rapat dengan mereka di situ. Om om bekas tahanan Digul itu suka menengok saya dan Njoto, lalu mengajak ngobrol, kata Windarti, kini 80 tahun . Namun, baik kepada Windarti maupun teman temannya, Njoto tertutup dalam urusan politik. berdasar keterangan saksi dia, Njoto belajar politik secara sembunyi sembunyi. Pada masa itu Jepang melarang masyarakat bicara mengenai politik. Alhasil, Njoto tidak pernah terlihat seperti aktivis. Dia tidak pernah mendiskusikan pergerakan politik, kata Sabar Anantaguna, teman sekelasnya di Solo, yang di sekolah duduk persis di belakang Njoto. Sabar masih ingat, Njoto tiba tiba menghilang pada saat naik kelas dua. Kepada
Windarti, ia pamit pulang ke rumah orang tua di Jember, Jawa Timur. namun tidak pernah
kembali ke Solo. Usut memiliki usut, dia malah pergi ke Surabaya, saat api revolusi perjuangan tengah membara. Mungkin saat itu ia merasa kemampuan berpolitiknya sudah cukup , kata Windarti. Njoto terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember.
Hingga lalu menyembul sepucuk berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, wakil PKI Banyuwangi. Usianya 16 tahun , namun ia
mencatut umur lebih tua dua tahun . Saya dengar sendiri, saat itu ia masih di bawah umur, kata almarhum Joesoef Isak, sahabat Njoto, saat diskusi di kantor Tempo, Agustus lalu.
Ia tinggal di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro, bersama beberapa menteri. Kantor Komite Nasional letaknya tak jauh dari situ. Kabinet Sjahrir baru saja dipindahkan dari Jakarta ke Yogya. Dari Solo, Windarti sempat menemuinya di Yogya. Njoto sering mengajaknya makan siang.
Di kota ini satu tahun lalu Njoto bertemu Aidit dan M.H. Lukman. Saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit, berkat bimbingan Alimin, yang baru pulang dari Uni Soviet, menjadi anggota Comite Central dalam Kongres PKI
Januari 1947. Aidit dan Lukman keduanya sudah bertemu sejak 1943 di Menteng 31, sarang pemuda aktivis kemerdekaan lalu tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Sejak itu Aidit, Njoto, Lukman menjadi akrab. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja
KNIP. Foto Njoto berpidato di Malang terpampang di sebuah koran. Sabar terkejut . Saya baru sadar bahwa ia seorang pemimpin, kata Sabar, yang belakangan bergiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). laki-laki 82 tahun itu lalu teringat cerita Sudarnanto, kawan sekolah di Solo, yang pernah melihat bahwa di kamar Njoto
terpampang foto tokoh komunis. Darah aktivis pemuda berkacamata tebal itu, kata Sabar, menetes dari ayahnya. Karakter Njoto kebetulan sama seperti Ayah, Windarti menambahkan.
Njoto bersama Aidit dan Lukman lalu masuk Komisi Penterjemah PKI pada awal 1948, yang misi nya menerjemahkan Manifes Partai Komunis, karya Karl Marx dan Frederich Engels.
Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama sama jadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus bidang agraria, Lukman di Sekretariat Agitasi dan Propaganda, sedang Njoto menjalin relasi dengan badan badan perwakilan. Hingga pecahlah geger Madiun, 19 September 1948.
Partai limbung, tercerai berai. Aidit, Njoto, Lukman bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Ketiganya menghidupkan partai dan bisa memicu partai lebih besar. Mereka lalu dinamakan trisula PKI.
Aidit sempat tertangkap, namun dibebaskan sebab tak ada yang mengenalnya. Ibarruri
Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan bahwa ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan
menyamar menjadi pedagang Cina. Njoto dan Lukman lalu menyusul ke Jakarta. Papan nama PKI dari kayu jati mereka boyong dari Yogya ke Jakarta. Di Jakarta trio Aidit, Lukman, Njoto menyantap asam garam pergerakan . Mereka
menggodok orientasi partai. Terbunuhnya banyak kader dalam peristiwa Madiun memicu mereka mandiri. Mereka jadi independen sebab tak memiliki lagi tempat bertanya, kata almarhum Murad Aidit, dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.
Tiga serangkai diam diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di komite sentral. Situasinya sulit sebab hampir setiap kabinet alergi komunisme. Sampai sampai trio Aidit Lukman Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang berkata sebetulnya mereka ke Medan. Ada
yang berkata ke Jakarta. Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran, tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai pada tahun 1950. Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka menerbitkan stensilan Suara Rakyat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto bergabung pada Januari 1951.
Dua tahun lalu tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi Sekretaris Jenderal, Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto Wakil Sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959). Usia mereka saat itu jauh lebih muda dari pimpinan partai lain di negara kita , bahkan setengah usia dibandingkan pemimpin partai komunis negara lain. Bambang Sindhu dalam Harian Minggu terbitan Mei 1954 menulis, kondisi lah yang menghendaki tenaga tenaga muda yang militan tampil ke permukaan. Orang orang tua, pemimpin tua, biarlah di samping saja, tulis Bambang. Bila perlu, malah ditinggal di belakang.... Sebagai ketua, Aidit bertanggung jawab terhadap politik secara umum. Lukman memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda diemban Njoto. Tak cuma hanya sekedar
organisasi, untuk meluaskan jaringan mereka juga mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas. Usaha itu berbuah. Dalam Pemilihan Umum 1955, Partai Komu nis menduduki urutan
keempat. Persahabatan ketiganya berlanjut hingga Njoto menempati rumah di Jalan Malang,
Menteng, Jakarta. Aidit dan Lukman sering datang dan mengadakan rapat di rumah itu. Kadang ngobrol di ruang tamu, kadang masuk ke kamar kerja liat liat koleksi buku, kata Windarti. Tempe goreng dan nasi rawon yaitu hidangan yang biasa disajikan Soetarni, istri Njoto. Tiga serangkai itu juga pergi bersama sama bila ada pameran lukisan. Lukman selalu lebih dahulu menjemput Njoto. Saya hanya ikut, tidak mengerti mereka ngomong apa, kata Windarti. Aidit dan Njoto, kata Windarti, tipikal sosok yang serius, terutama dalam urusan pekerjaan. sedang Lukman lebih supel dan suka guyon. Lukman, kata Iramani adik
bungsu Njoto bahkan suka menawarinya pisang goreng. BOGOR, 6 Oktober 1965. Hampir sepekan sesudah peristiwa penculikan enam jenderal
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menggegerkan Jakarta. Presiden Soekarno
memanggil semua menteri Kabinet Dwikora dan menggelar rapat mendadak di Istana Bogor.
Sekitar empat puluh menteri hadir pula saat itu. Hampir semuanya berpakaian putih putih
seragam para pembantu Presiden kala itu. Pengamanan mereka amat ketat, sebagian
datang dengan dikawal panser tentara.
Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani yang belakangan dipenjara sebab dituduh terlibat pergerakan 30 September tampak hadir pula . Adapun Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution tak ada. Dia salah satu target operasi Cakrabirawa yang lolos sepekan sebelumnya. Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit juga tidak kelihatan di antara Anggota rapat. sedang Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto justru
muncul. Suasana tegang. Setiap orang tampak waswas dan curiga satu sama lain. Soekarno lalu membuka sidang. Pada kesempatan pertama, dia meminta Menteri Negara dan Wakil Ketua II Comite Central PKI Njoto bicara. Saudara Njoto, kamu memiliki pernyataan untuk disampaikan, Silakan, kata Soekarno, seperti dikutip Menteri
Transmigrasi Mochamad Achadi kepada Tempo pada 2003. Ia yaitu salah satu Anggota rapat.
Njoto mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan dan mulai bicara. PKI tidak
bertanggung jawab atas peristiwa G30S, katanya tegas. Kejadian itu yaitu masalah internal Angkatan Darat. Pernyataannya singkat saja.
Soekarno lalu bicara. Sang Bung Besar menegaskan bahwa peristiwa 30 September itu
yaitu hal biasa dalam perjalanan sejarah bangsa. Selalu ada peruncingan peruncingan kekuatan. jika Darul Islam merupakan peruncingan kanan,
PRRI/Permesta peruncingan nasionalis, maka ini peruncingan kiri, kata Soekarno. Presiden juga menyebut bahwa peristiwa G30S hanyalah tonggak kecil dalam perjalanan revolusi negara kita . een rimpeltje in de oceaan..., katanya. Hanya sebuah riak di tengah samudra.
PAGI sebelum rapat, M.H. Lukman, Menteri Negara dan Wakil Ketua I Comite Central
PKI, menjemput Njoto di rumahnya, Jalan Malang 22, Menteng, Jakarta Pusat. Njoto bergegas menyongsong kameradnya, yang baru keluar dari mobil dinas menteri bermerek Dodge Dart, dan langsung bertanya, Apa sebetulnya yang terjadi, Lukman menggeleng, Saya juga tak mengetahui .
Pada saat insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal terjadi enam hari sebelumnya, Njoto sedang berada di Medan, Sumatera Utara, ikut kunjungan kerja Wakil Perdana Menteri I soebandrio . Hal pertama yang dia lakukan setibanya kembali ke Ibu Kota yaitu mengungsikan keluarganya keluar dari rumah dinas di Menteng. pergerakan 30 September memang direncanakan tanpa sepengetahuan Njoto. John Roosa, sejarawan University of British Columbia, Kanada, dalam bukunya, Dalih
Pembunuhan Massal, menulis bagaimana Pemimpin Redaksi Harian Rakjat itu sudah
lama dijauhkan dari pengambilan keputusan penting di dalam Politbiro PKI. Dia mengutip catatan yang dibuat panitera Politbiro PKI, Iskandar Subekti. Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutdan kan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis, ia mencatat. Aidit, berdasar keterangan saksi Subekti, menganggap Njoto lebih Soekarnois dibandingkan komunis. Catatan lain menyebutkan bahwa Njoto saat itu lebih condong pada poros komunis Uni Soviet, bertentangan dengan Aidit yang merapat pada poros Peking. Dalam sebuah wawancara dengan koran Jepang, Asahi Shimbun, pada 2 Desember 1965, Njoto mempertanyakan dasar logika pergerakan 30 September. Apakah premis Letkol Untung mengenai adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup
d'etat, katanya. Tidak hanya Njoto, umumnya anggota Comite Central PKI juga tidak mengetahui pergerakan 30 September. Dalam pleidoinya di Mahkamah Militer Luar Biasa yang dibacakan pada 1972, Iskandar Subekti menjelaskan bahwa rapat Politbiro PKI pada Agustus 1965 hanya memutuskan akan memberikan dukungan politis kepada sebuah aksi militer yang dirancang beberapa perwira progresif . Pada akhir Agustus, keputusan Politbiro itu disampaikan kepada Comite Central PKI. Aidit memimpin sendiri rapat itu. Tidak ada diskusi, kata Subekti. Dalam pleidoinya, Subekti menjelaskan partai tidak pernah memberikan dukungan fisik atas pergerakan 30 September. Partai hanya akan membela perjuangan itu melalui pemberitaan pers dan sidang sidang pemerintah. Itu sikap politik yang wajar dan biasa, berhubungan dengan perkembangan situasi dan garis politik PKI saat itu, tulisnya. Garis politik itulah yang diikuti Harian Rakjat, edisi Sabtu, 2 Oktober 1965. Koran yang dipimpin Njoto itu terbit sehari sesudah Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Mayor
Jenderal Umar Wirahadikusumah melarang semua media terbit, kecuali harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha dua koran yang berafiliasi dengan TNI AD. Judul kepala berita Harian Rakjat dicetak besar besar, Letkol Untung, Komandan Bataljon Tjakrabirawa, Menjelamatkan Presiden dan RI dari gerakan gerakan Dewan Djendral . Di bawahnya, ada subjudul: pergerakan 30 September Semata mata pergerakan dalam AD . Meski mendukung, Tajuk Rencana Harian Rakjat hari itu justru mengambil jarak dengan
pergerakan 30 September. Kita rakyat memahami betul apa yang dikemukakan oleh
Letkol Untung dalam melakukan pergerakan nya yang patriotik itu, tulis editorial harian itu.
namun bagaimanapun juga persoalan ini yaitu persoalan intern AD. Meski terkesan hati hati, pernyataan itu terasa menantang sebab dirilis pada saat tentara sudah melarang penerbitan semua media. Apalagi, saat itu pasukan TNI AD
sudah mengepung Halim Perdanakusuma dan melumpuhkan pasukan pendukung pergerakan 30 September yang tersisa. Njoto dan redaksi Harian Rakjat tampaknya tidak paham dan tidak menduga akan ada perkembangan politik yang amat drastis pada hari hari pertama sesudah pergerakan 30 September. Ada satu hal lagi yang menguatkan dugaan Njoto tidak terlibat pergerakan 30 September. Dalam sebuah diskusi di Tempo, akhir Agustus lalu, kawan dekat Njoto, bekas Pemimpin Redaksi Harian Merdeka Joesoef Isak, membeberkan fakta bahwa Njoto sejak 1964 sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partainya. Dia diam saja, semua dia pikul, seakan akan dia ikut (pergerakan 30 September), kata Joesoef. Rapat Kabinet Dwikora di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Seusai sidang, semua menteri bergegas pulang . Jurnalis Harian Rakjat, Amarzan Ismail Hamid, yang hadir pula saat itu, mengaku melihat Presiden Soekarno berbincang sebentar dengan Njoto, sebelum
masuk ke Istana. Itulah terakhir kali saya melihat Bung Njoto, katanya pekan lalu. Di halaman Istana, seorang Menteri Negara, Kolonel Polisi Boegi Sumpeno, sempat mengajak Njoto pulang bersama ke Jakarta, dikawal panser. Ikut rombongan saya saja, kata Boegi menawarkan. Njoto tersenyum dan menolak. joesoef Isak mengetahui rahasia sahabatnya, Njoto, dari sumber tak terduga. saat itu, pada 1968, mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka itu ditahan di Blok R Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Suatu hari, tahanan politik di blok sebelah melemparkan
buku kecil ke selnya. Tetangga sebelah itu, Sugi, yaitu mantan anggota Comite Central Partai Komunis Indonesia . Rupanya Sugi dengan tekun menjahit kertas rokok menjadi buku kecil. Di
buku itu dia menuliskan kisah pengadilan Njoto oleh pimpinan kolektif PKI, pada 1964.
Sebagai anggota CC, Sugi turut mengadili Njoto. Di sidang itu, Njoto, yang menjabat Wakil Ketua II CC PKI, diputuskan bersalah dan dijatuhi sanksi skorsing. Semua jabatannya di partai dilucuti.
Sugi, saat itu 70 tahun , memaksakan diri memanjat pohon ceri agar bisa memberikan
buku itu kepada Joesoef. Saya tanya, 'Kenapa Pak Sugi menyampaikan ini pada saya, ', Joesoef bercerita. Dia berkata , ini harus ditulis, dan dia memilih saya sebab saya wartawan. sebab itulah Joesoef percaya , Njoto tak mengetahui pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat oleh pergerakan 30 September. Sebetulnya, Njoto bisa lepas tangan dari pergerakan lantaran tak lagi menjabat posisi strategis di partai. namun dia memikul semua, seolah olah ikut dan , kata Joesoef. saat diwawancarai Risuke Hayashi dan Takehiko Tadokoro, koresponden harian Jepang, Asahi Shimbun, di Jakarta, dua pekan sebelum hilang, Njoto masih gigih membela partainya. berdasar keterangan saksi Njoto, pimpinan Partai Komunis sama sekali tak mengetahui soal pergerakan 30 September. Dia mengatakan, di mata partainya, pergerakan itu merupakan masalah internal tentara. Bahkan, kata Njoto, saat peristiwa pembunuhan para petinggi TNI Angkatan Darat itu terjadi, dia sedang bersama Wakil Perdana Menteri I soebandrio dan beberapa petinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Kepolisian berkeliling Sumatera. Mereka baru mengetahui soal pergerakan itu saat berada di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Kami sama
sama terenyak, katanya kepada Asahi Shimbun.
DI antara empat tokoh kunci PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sudisman Njoto paling muda. Pada usia 19 tahun , dia sudah mewakili PKI Banyuwangi di Komite Nasional negara kita Pusat. Tak terang benar, sejak kapan sebetulnya Njoto bergabung dengan Partai Komunis, dan siapa yang mempengaruhinya. Dia belajar diam diam, kata Sri Windarti, adik Njoto. Tokoh tokoh muda di Partai Komunis saat itu berhasil menggusur pemimpin sepuh, seperti Tan Ling Djie, Alimin, Wikana, dan Ngadiman Hardjosubroto, dan mengambil alih kepemimpinan partai. Aidit menjabat Ketua, Lukman menduduki posisi Wakil Ketua I, Njoto sebagai Wakil Ketua II, dan Sudisman mengisi kursi Sekretaris Jenderal.
Sebagai Wakil Ketua II, Njoto bertanggung jawab atas Departemen Agitasi dan Propaganda. Lewat Harian Rakjat dan majalah teori Bintang Merah, Njoto menghajar lawan lawan politiknya. Sebaliknya, lewat kolom Catatan Seorang Publisis di Harian Rakjat, Iramani nama pena Njoto tampil lebih lembut dan sastrawi . Salah satu polemik paling keras terjadi antara Harian Rakjat melawan Merdeka pada Juni hingga Juli 1964. Harian Rakjat, contohnya , memuat tulisan panjang bertajuk Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah . Lewat tulisannya itu, Harian
Rakjat menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya kaum rebelli . Silat pena itu
baru berakhir sesudah Jaksa Agung Soeprapto turun tangan. wanita itu bernama Rita. Anak Rusia ini penerjemah untuk tokoh tokoh PKI yang sedang melawat ke Negeri Beruang Merah ini . Sedemikian serius kisah asmara Njoto dengan Rita, hingga hampir berujung ke ranjang pengantin. Padahal, saat itu Njoto sudah beristrikan Soetarni. Niat Njoto meninggalkan Soetarni tentulah memicu Partai gerah. Comite Central PKI, berdasar keterangan saksi Semaun, sebetulnya sudah berkali kali memperingatkan Njoto, agar
memutuskan hubungan dengan Rita. Hubungan mereka bisa mencemarkan citra Partai, kata Semaun. Selain soal citra, mantan anggota Comite Central PKI, Rewang, mengatakan pimpinan PKI curiga Rita merupakan agen Partai Komunis Uni Soviet, sehingga hubungan itu bisa
membahayakan partai. Sidang partai akhirnya digelar untuk membahas masalah ini . Njoto dicecar dari berbagai penjuru. Suasana sidang itu panas sekali, kata Joesoef Isak. Dia memperoleh cerita dari Sugi, anggota Comite Central yang hadir pula dalam rapat itu. namun Njoto sangat terbuka. Semua pertanyaan dia jawab. D.N. Aidit akhirnya turun tangan, meminta waktu berbicara empat mata dengan Njoto. Hampir 2 jam mereka berbicara dan membiarkan Anggota sidang menunggu. Njoto, yang semula bersikeras , akhirnya bersedia mengubur niatnya. Aidit dan Njoto berpelukan. Namun keputusan sidang soal disiplin partai tetap tak bisa ditawar. Njoto dijatuhi skorsing dan sementara melepaskan berbagai jabatannya di partai. Sanksi ini rencananya akan disahkan dalam Kongres Partai pada 1965. namun hubungan Njoto dengan Aidit sama sekali tidak berubah, kata Rewang. Njoto tetap aktif mengikuti pertemuan partai, termasuk rapat rapat menjelang September 1965. Bahkan Njoto juga lah yang membawa bawa surat Aidit dan membacakannya di sidang kabinet beberapa hari sesudah peristiwa pembunuhan enam jenderal. Menjelang tumbangnya PKI, memang santer beredar kabar perbedaan jalan di antara pucuk pimpinan PKI, yaitu D.N. Aidit, Njoto, dan Sudisman. Haluan politik Aidit semakin dekat dengan Partai Komunis Cina dibandingkan ke Uni Soviet. Dalam pleidoi di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, dan juga otokritiknya terhadap partai (keduanya ditulis sesudah pergerakan 30 September), Sudisman menilai Aidit sudah menyeret partai pada petualangan atau avonturisme. Dukungan pemimpin partai terhadap pergerakan 30 September, berdasar keterangan saksi Sudisman, tidak didasari kesadaran dan kepercayaan massa. Njoto dianggap sudah kelewat dekat dengan Soekarno. saat berpidato di Palembang, pada 1964, isi pidatonya dianggap lebih Soekarnois dibandingkan Marxis. Itu titik awal Njoto dianggap memiliki jalan sendiri, kata seorang mantan wartawan Harian Rakjat.Rewang, mantan anggota Comite Central PKI, mengakui perbedaan sikap antara Aidit, Njoto, dan Sudisman. Namun Semaun Utomo, mantan Ketua Lembaga Sejarah Comite Central PKI, meragukan kabar ini . Pimpinan partai, kata Semaun, hanya berbeda
pendapat, namun tidak sampai pecah. Kabar itu omong kosong, kata Joesoef Isak. Njoto
mengagumi Aidit, dan Aidit mencintai Njoto hingga saat saat terakhir. Soekarnoisme dan wanita Rusia DI Istana Tampaksiring, Bali, Presiden Soekarno tampak gelisah. Njoto, menteri negara yang menjadi penulis pidato Presiden, tak ketahuan berada di mana. Padahal upacara kenegaraan 17 Agustus 1965 tinggal sepekan. Njoto, yang juga Wakil Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia , yaitu
penulis andalan si Bung untuk pidato pidatonya yang membakar itu. Dua penulis lain soebandrio dan Ruslan Abdoelgani sejak 1960 mulai jarang dipakai. sukarno merasa pemikirannya cocok dengan Njoto, kata Joesoef Isak, sahabat
Njoto sekaligus teman dekat sukarno , sehari sebelum wafat, pertengahan Agustus lalu. Wakil Perdana Menteri soebandrio lalu memberitahu sukarno , Njoto sedang di Amsterdam, Belanda, bersama Joesoef, menegosiasi pembelian pesawat terbang Fokker. sesudah berkeliling Afrika, sebab Konferensi Asia Afrika ke 2 batal di Aljazair akibat kudeta di negeri itu, Njoto ngelencer ke Belanda, lalu ke Rusia, untuk menghadiri
Konferensi Tingkat Tinggi Partai Komunis. Njoto segera pulang begitu menerima kawat bahwa Presiden mencarinya. Padahal di Moskow ia sedang melawat bersama Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit. Menjelang akhir kekuasaannya itu, hubungan Soekarno dan Njoto memang berbentuk rapat dan unik. sukarno yaitu pendiri Partai Nasional negara kita yang pamornya
sedang meredup, sementara PKI sedang berjaya di seluruh negeri. Dan Njoto, 38 tahun , yaitu tokohnya yang paling menonjol .berdasar keterangan saksi Joesoef, keduanya saling mengagumi, saling menyukai. sukarno menyukai Njoto sebab ia satu satunya pentolan PKI yang liberal , pragmatis, dan tak dogmatis. Selain selalu tampil rapi dan dandy, menteri negara ini menyukai musik klasik, jazz, bisa memainkan hampir semua alat musik, menulis, dan menyukai puisi dan seni rupa. Kedekatan itu tak hanya dalam urusan kerja, namun menyangkut hal hal pribadi. berdasar keterangan saksi Koneksi Njoto di Harian Rakjat, sukarno memanggil laki laki yang terpaut usia 26 tahun itu dengan sebutan Dik . Ini panggilan tak umum di kalangan pejabat dan aktivis politik waktu itu, katanya. Umumnya sesama pejabat memanggil 'Bung'. Njoto sering terlihat dalam pesta lenso yang digelar di Istana Negara. Sehabis upacara upacara resmi, sukarno biasanya menggelar pesta dengan mengundang penyanyi top Ibu Kota macam Titiek Puspa, Rima Melati, atau Suzanna. sesudah tamu negara pulang , pasukan Cakrabirawa dengan sigap menyiapkan panggung hiburan . Para pejabat negara, wartawan, atau siapa pun yang hadir pula
bergiliran menyanyi dan menari. Njoto tak pernah ketinggalan menyumbang suara. Suatu saat , berdasar keterangan saksi sumber Tempo, Dik Njoto naik panggung dan siap menyumbangkan suara, sukarno menghampiri lalu merapikan kerah jas Njoto yang terlipat. Seperti itulah hubungan mereka, dekat sekali. Selain sama sama doyan pesta, Njoto orator ulung seperti sukarno . Sabar Anantaguna, teman SMP Njoto di Solo, Jawa Tengah, bersaksi bahwa sejak remaja laki laki berkacamata ini jagoan podium. jika berpidato, dia seperti dalang, semua orang
terpukau, katanya. Sama seperti Soekarno, Njoto juga menguasai beberapa bahasa asing dan puluhan bahasa daerah. Ia juga penerjemah Marxisme yang mumpuni. sukarno pernah
menjuluki Njoto Marhaenis sejati merujuk pada ideologi kerakyatan yang dipelopori Soekarno. Sebaliknya, Njoto yaitu orang pertama yang menelurkan istilah Soekarnoisme . Istilah
yang dilontarkannya dalam sebuah pidato di Palembang pada April 1964 itu lalu dipakai oleh kawan sekaligus musuh sukarno . Kelompok anti PKI malah mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme pada September 1964. Mereka khawatir panglima tertinggi itu makin jatuh ke pelukan PKI, apalagi sukarno sudah mencetuskan poros Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom), sebagai asas front persatuan nasional. Sebaliknya, kubu PKI terutama D.N. Aidit
4
menyangka Njoto sudah dipakai Soekarno untuk melemahkan PKI. Njoto dianggap berkhianat dengan memicu istilah baru dalam wacana ideologi. Sebab, bagaimanapun, asas PKI yaitu Marxisme Leninisme. Soekarnoisme dianggap lema baru yang bisa merongrong komunisme.
Dan Njoto memang serius dengan istilah barunya itu. berdasar keterangan saksi sumber Tempo,
pemimpin umum koran PKI itu menganggap Marxisme terlalu asing bagi petani dan borjuis kecil yang ingin digarap PKI menjadi basis massa ideologinya. sedang Soekarnoisme itu lebih jelas, dan orangnya juga masih hidup. Sikap Njoto inilah, antara lain, yang memicu para pemimpin PKI hilang kepercayaan kepadanya. Aidit sampai menerbitkan harian Kebudajaan Baru sebagai pesaing Harian Rakjat, sebab memecat Njoto sebagai pemimpin Harian Rakjat akan memicu konflik menjadi terbuka dan sama sekali tak akan menguntungkan PKI. Aidit akhirnya melepaskan Njoto dari jabatan Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI. namun , berdasar keterangan saksi Joesoef Isak, alasan utama skorsing itu yaitu urusan wanita . Waktu itu Njoto dianggap terlibat hubungan gelap dengan seorang wanita Rusia. Aidit memaksa Njoto memutuskan cinta terlarang itu. PKI memang tegas dalam soal ini. Aidit, yang antipoligami, mengeluarkan aturan menerapkan skorsing bagi siapa saja yang ketahuan berselingkuh. berdasar keterangan saksi almarhum Oey Hay Djoen, anggota DPR dari PKI, waktu itu banyak anggota yang kena skorsing akibat ketahuan menjalin affair dengan wanita , berdasar keterangan saksi sumber Tempo, skorsing inilah yang mendorong sukarno meminta Njoto mendirikan partai baru, dengan nama sementara Partai Rakyat negara kita dengan asas Soekarnoisme. sukarno menganggap Soekarnoisme yaitu penyempurnaan Marhaenisme. namun ide itu tak pernah kesampaian sebab polemik kedua kubu keburu pecah. Badan Pendukung Soekarnoisme menyerang sikap Njoto dan PKI di Harian Merdeka
milik B.M. Diah. Njoto menangkisnya di Harian Rakjat. Berhari hari polemik itu ramai, meruncing hampir berujung bentrokan. sukarno akhirnya turun tangan dengan melarang pemakaian istilah Soekarnoisme dalam polemik. namun hubungan Soekarno Njoto tetap ketat hingga senja kala kekuasaan Pemimpin Besar Revolusi itu. Puncaknya yaitu tengah malam 30 September 1965, saat Tanah Air melihat perubahan nasib dan arah sejarah zaman yang bergolak.
sungguhpun Harian Rakjat (HR) lekat dengan nama Njoto, ia bukan pendiri corong resmi Partai Komunis Indonesia ini . Pendirinya Siauw Giok Tjhan (1914 1981), wartawan majalah Liberty dan Pemuda. Ia anggota Konstituante, pendiri Baperki,
organisasi massa warga keturunan Tionghoa yang lalu dilarang sesudah G30S. Pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 dengan nama Suara Rakjat, Harian Rakjat memiliki jargon nyaring: Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat. Giok Tjhan memimpin Harian Rakjat dua tahun pertama, lalu digantikan Njoto hingga akhir
hayat. Di tangan Njoto, yang lalu diangkat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan
Propaganda, HR dengan oplah yang diklaim sebesar 60 ribu eksemplar yaitu pendukung kebijakan partai. Harian Rakjat tak ubahnya pamflet; tak ada edisi yang muncul tanpa kata rakjat dan dukungan pada Manifesto Politik Soekarno. Bahasa yang dipakai , seperti dibahas penulis Lekra, Busjari Latif, dalam artikelnya di Harian Rakjat, yaitu bahasa yang hemat, lintjah, dan terus terang sesuai kerangka Marxisme/Leninisme. Dalam buku kecil Pers dan Massa, kumpulan pidato Njoto saat ulang tahun Harian
Rakjat 1956 1958, Njoto membandingkan surat kabar itu dengan Pravda, koran partai komunis Uni Soviet. Harian Rakjat disebutnya memiliki keunggulan utama, yaitu para korespondennya yang lahir dari tengah tengah massa . Artinya, setiap buruh, setiap pelajar, dan setiap orang bisa jadi koresponden. Dalam periode 1950 an itu Harian Rakjat memberikan ruang luas bagi karya seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang didirikan Njoto dan dua petinggi PKI D.N.
Aidit dan A.S. Dharta dan seorang tokoh Murba, M.S. Ashar. Lekra lahir pada tahun yang sama dengan Harian Rakjat, saat dirasakan gemuruh semangat revolusi mulai mengendur. Bahwa Rakjat yaitu satu satunja pentjipta kebudajaan dan bahwa pembangunan kebudajaan negara kita baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat, begitu
tertulis dalam Mukadimah Lekra. Njoto, yang biasa menulis esai dan puisi, berdansa waltz dan foxtrot, dan meniup saksofon, sangat piawai memainkan peranserta utama di dua entitas kiri itu. Di Harian Rakjat, salah satu misi nya sebagai pemimpin redaksi yaitu menulis editorial koran. berdasar keterangan saksi Martin Aleida, wartawan Harian Rakjat yang selamat dari pembantaian dan pemenjaraan, kadang ia menulis di kantor, meski sering menitipkannya lewat kurir. Njoto juga sering membantu merumuskan sudut pandang bagi artikel Harian Rakjat. sedang di Lekra, berdasar keterangan saksi Sabar Anantaguna, teman sekolah Njoto di Jember yang
lalu menjadi pengurus Lekra pusat, Njoto mengetahui bagaimana melayani seniman yang
tak mau diatur dan dikomando. Dia sering hadir pula dalam rapat Lekra, meski tak banyak
bicara. jika setuju, kata Anantaguna, Njoto diam. jika kurang setuju, Njoto baru angkat bicara dan selalu berkata , Apa itu sudah percaya , Coba dipikir lagi, Anantaguna menirukan Njoto.
Njoto pun hati hati menjaga keseimbangan ideologis di kalangan seniman. Meski ia
pendukung Manifestasi Politik sejati Njoto melahirkan prinsip politik sebagai panglima
dan giat memobilisasi perlawanan terhadap para seniman non komunis pendukung humanisme universal Njoto tak setuju dengan usaha memerahkan Lekra sepenuhnya, seperti yang diinginkan rekan rekannya di Politbiro. Anggota Lekra tidak semuanya komunis, dan ia ingin mempertahankannya begitu. manipulasi (akronim ejekan untuk Manifesto Kebudayaan) yaitu sebuah konsep pemikiran. Konsep tidak bisa ditiadakan oleh tanda tangan di atas kertas, kata Joesoef Isak, menirukan Njoto, sahabatnya. saat lalu Soekarno melarang Manifesto Kebudayaan, Njoto tidak bersorak seperti kebanyakan pendukung komunis yang mengucap syukur. Dalam ingatan Martin, Njoto juga yang menghapus nama Ernest Hemingway yang ia
kenal personal dan film The Old Man and The Sea dari daftar film Amerika yang haram ditonton. Demikian kuat karisma Njoto hingga ada lelucon sendiri. Di kalangan penghuni Jalan Cidurian 19, rumah Oey Hay Djoen, kantor pusat Lekra, bila Njoto datang, para penghuni berdiri. jika Aidit yang datang, mereka tak mau melakukannya, kata Martin. Iwan Simatupang, sastrawan antikomunis asal Sibolga, pernah mencemaskan pengaruh Njoto yang dianggapnya lebih berbahaya dibandingkan Lukman atau Aidit sebab kuatnya inteligensi orang yang disebutnya sok intelek dan sok filosofis itu. berdasar keterangan saksi dia, seniman besar seperti Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantung menjadi simpatisan komunis sebab pengaruh Njoto. Masa masa keemasan Njoto sebagai pemimpin agitasi dan propaganda melemah saat
konflik ideologis antara Njoto dan Aidit memuncak. Saat itu PKI sudah mengklaim memiliki anggota lebih dari 4 juta. sesudah MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, Njoto didaulat sebagai menteri. Kedekatannya dengan Soekarno Njoto yaitu penulis pidatonya mengancam posisinya di partai (baca Njoto dan
Soekarnoisme Red). Puncaknya pada 1964, seperti keterangan Joesoef Isak, saat Njoto diskors dari seluruh jabatannya di partai, termasuk posisi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda. Penggantinya, Oloan Hutapea, loyalis Aidit. Konflik Njoto dan Aidit merembet sampai ke Harian Rakjat. Martin ingat, bulan bulan
terakhir menjelang G30S, Njoto sudah tak aktif lagi memimpin. namun konflik internal Harian Rakjat memanas. Mereka yang dari Sumatera dimusuhi awak redaksi yang berlatar belakang Pemuda Rakyat sebab dianggap anak emas Njoto. Padahal sebab kami lebih biasa berbahasa Melayu. Selain itu, Pemuda Rakyat tak begitu senang kepada seniman Lekra yang tak bisa diatur. Pemuda Rakyat lebih militan, katanya.
namun demikian lekatnya Harian Rakjat dengan sosok Njoto, Aidit tak berusaha mencopotnya. Partai memicu harian umum baru, Kebudajaan Baru. berdasar keterangan saksi Martin,
koran baru ini muncul hanya 1 2 bulan menjelang G30S, sehingga tak banyak petinggi partai yang mengetahui . Pemimpin redaksinya Muslimin Jasin, anggota Comite Central asal Nusa Tenggara. Seorang pemimpin PKI di daerah yang diwawancarai Saskia Eleonora Wieringa dalam
buku Penghancuran pergerakan wanita di negara kita mengaku jadi bagian dewan redaksi Kebudajaan Baru, yang dibuat untuk menandingi Harian Rakjat. tengah malam sebelum gerakan gerakan kami mengadakan rapat redaksi. Aidit datang dan mengatakan, Sekarang saya akan memulai sesuatu yang banyak kawan kita mungkin tidak suka. namun ini merupakan jalan pintas cita cita kita, katanya. Sejarah mencatat, jalan pintas Aiditlah yang mengubur dalam dalam bukan cuma hanya sekedar partai, namun juga Lekra dan Harian Rakjat sekaligus. HR menerbitkan edisi penghabisan pada Sabtu, 2 Oktober 1965, dan Harian Rakjat Minggu (HRM) melakukannya sehari lalu . Nomor buncit lembar seni budaya itu memuat nama Banda Harahap sebagai pimpinan dewan redaksi, dengan penanggung jawab M. Naibaho dan beranggotakan sastrawan Zubir A.A, Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara putra bungsu Ki Hajar Dewantara. Seperti dikutip Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya, ada beberapa petunjuk di edisi itu akan situasi genting sesudah G30S, namun yang paling menarik yaitu puisi Wong Tjilik (yang berdasar keterangan saksi salah satu redaktur HRM, yaitu karya Njoto) di pojok Tjabe Rawit, halaman tiga:
Makan tak enak, tidur tak nyenyak
Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri Siang jadi angan angan, tengah malam jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri Bukan salah bunda mengandung, salah anak buruk pinta
Sudahlah nasib akan digantung, jadi si laknat setan kota.... suasana Jakarta mencekam pada hari itu, 2 Oktober 1965. Dua hari sudah lewat sesudah pembunuhan 6 jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia dituduh bertanggung jawab dan para aktivisnya segera menjadi target penangkapan. Njoto, Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia dan salah satu menteri Kabinet Dwikora I baru pulang dari kunjungan dinas. Dia mendampingi Perdana Menteri I soebandrio dalam tour ke Sumatera Utara. tengah malam sudah tiba saat ia tiba di rumahnya, Jalan Malang, Menteng Nomor 22, Jakarta Pusat. Tak sempat istirahat, ia segera mengajak istri yang sedang hamil dan 6 anaknya meninggalkan rumah. Keluarga ini mendatangi rumah para kerabat, mencari tempat mengungsi. Tak ada yang berani menampung mereka. Seorang teman di daerah Kebayoran yang justru bersedia memberi mereka tempat tinggal. Njoto hanya menitipkan istrinya, Soetarni, dan 6 anaknya. Ia bergegas pergi lagi. Kami cari tempat sendiri sendiri, kata Soetarni. Soetarni dan anak anaknya tak lama di satu rumah. Mereka berpindah pindah. Pada suatu saat , mereka menetap di Asrama Mahasiswa Concentratie pergerakan Mahasiswa Indonesia di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Soetarni mengingat, pada akhir 1965, dua kali suaminya datang menjenguk. Sekali tengah tengah malam , sekali siang, kata nya. Soetarni mengatakan tidak pernah mengetahui tempat persembunyian suaminya. Ia menduga, Njoto masih tinggal di rumah mereka di Menteng. Bisa jadi dugaannya benar, paling tidak pada awal awal pelarian Njoto.
Amarzan Ismail Hamid, wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia , mengatakan bertemu Njoto pada 6 Oktober pagi di Jalan Menteng. saat itu Njoto hendak berangkat ke Sidang Kabinet di Istana Bogor bersama M.H. Lukman, menteri negara yang juga Wakil Ketua I Comite Central Partai Komunis Indonesia . Njoto dan Lukman sempat berdiskusi sebelum menuju Bogor. jika hasil sidang jelek, kita ke Bandung. jika bagus, kita tetap di Jakarta, kata Amarzan menirukan
pembicaraan keduanya. Ternyata, sesudah sidang, mereka menganggap Soekarno
masih menguasai kondisi . Mereka pun kembali ke Jakarta. berdasar keterangan saksi buku pergerakan 30 September/PKI Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, Njoto hadir pula di sidang atas perintah Ketua Umum D.N. Aidit dari pelariannya di Jawa Tengah. Melalui anggota Biro Khusus, Bono, ia mengirim pesan kepada Sudisman, Sekretaris Comite Central. Isinya, agar
anggota Comite Central yang masih di Jakarta segera melakukan usaha penyelamatan
partai. Ia juga meminta Njoto mewakilinya dalam Sidang Kabinet di Bogor. Seorang kerabat M.H. Lukman mengisahkan, pada 5 Oktober tengah malam , Njoto, Lukman, dan beberapa petinggi PKI minus D.N. Aidit sempat berkumpul di rumah Joesoef Isak, seorang wartawan yang dekat dengan Njoto, di daerah Kebayoran, Jakarta
Selatan. namun ia mengaku tak mengetahui materi pembicaraan. Mungkin koordinasi
sebelum ke Bogor, katanya. saat berdiskusi dengan Tempo pada suatu siang sebelum meninggal pada tengah malam harinya akhir Agustus lalu, Joesoef membenarkan adanya pertemuan para petinggi PKI di rumahnya. namun ia tak bisa mengingat apakah pertemuan itu berlangsung sebelum atau sesudah 6 Oktober.
rumah Joesoef yaitu salah satu tempat persembunyian favorit Njoto. Joesoef
menuturkan, suatu saat tentara sempat menggerebek rumahnya. Mereka melihat Njoto
namun membiarkannya dan justru memberi hormat sebab tidak ada surat perintah
penangkapan. Sebelum jam tengah malam selesai, Njoto kabur, kata Joesoef. Seusai sidang kabinet di Bogor, sekelompok tentara membuntuti Njoto dan Lukman. Njoto memutuskan berpindah pindah tempat. Sebagai tokoh PKI, Njoto cukup berani saat itu. Dia masih keluyuran. Mungkin sebab merasa PKI tidak bersalah, kata
Bonnie Triana, peneliti sejarah Universitas Indonesia . Sarbi Moehadi, 81 tahun , bekas Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat Pekalongan, Jawa Tengah, menyatakan Njoto sempat memimpin rapat konsolidasi di Slawi, Jawa Tengah, beberapa bulan sesudah peristiwa 30 September. berdasar keterangan saksi dia, Njoto meminta para pemimpin partai dan pegiat Lekra di daerah ini mempertahankan organisasi. Sarbi
ditangkap beberapa bulan lalu dan dipenjara 14 tahun . Amarzan, kini 68 tahun , meragukan cerita Sarbi. berdasar keterangan saksi dia, Jakarta paling aman untuk bersembunyi. Ke luar kota sama dengan mencari mati, katanya. Ia percaya , meski berpindah pindah, Njoto tak pernah lari ke luar Jakarta. Seperti pelariannya, penangkapan Njoto masih menyisakan misteri. Sri Windarti, adik
wanita nya, pernah memperoleh cerita dari Edi, sopir pribadi Njoto. berdasar keterangan saksi dia, sang sopir merasa diikuti seseorang saat mengantar Njoto ke kantor, yang sekarang
menjadi Sekretariat Negara. Edi sempat bertanya kepada Njoto: pulang nya dijemput di kantor atau di Istana Negara. Si Mas hanya menjawab: sudah, jangan ditengok, kata Windarti. berdasar keterangan saksi cerita seorang pengawal Istana, kata Windarti, mobil Njoto dicegat dalam
perjalanan. namun ia tak memperoleh cerita detail, termasuk waktu dan tempat, mengenai
peristiwa itu. Irina Dayasi, anak kelima Njoto, mengatakan ada banyak versi cerita penangkapan. Versi pertama, ayahnya ditangkap dalam perjalanan pulang dari Sidang Kabinet di
Bogor pada 6 Oktober. Ia menganggap versi ini paling tidak logis sebab beberapa orang
mengatakan masih bertemu Njoto hingga Desember 1965. Versi kedua, Njoto ditahan
sesudah menemui soebandrio . Versi ketiga, ditangkap dalam perjalanan dari kantor
Kementerian Negara. Irina memperkirakan, ayahnya ditangkap sekitar Desember.
berdasar keterangan saksi Amarzan, Njoto ditangkap dalam perjalanan di Jalan Tosari, Menteng, Jakarta Pusat. Mobilnya disalip, lalu dicegat. Dia dikeluarkan, dipukul, kacamatanya jatuh. Itu yang saya dengar, katanya. Sampai sekarang nasib Njoto tak jelas. Kuburannya, jika ia sudah meninggal, tak diketahui . Serba gelap, kata Irina. Suatu saat , beberapa tahun sesudah peristiwa 30 September, beberapa temannya
mendatangi seorang paranormal untuk mengetahui keberadaan Njoto. Sang dukun
kerasukan dan menjelma menjadi Njoto. Ia menulis nama Njoto di papan. Tulisannya agak miring, persis tulisan tangan Njoto, kata teman Njoto, yang menolak disebut namanya namun ikut mendatangi dukun. Menjawab pertanyaan para kliennya soal keberadaan Njoto, dukun menjawab: Ada di Jawa Barat. Besan Soetarni, bernama Sugeng, yaitu pensiunan polisi militer. Kepada Soetarni, Sugeng mengatakan pernah melihat Njoto di tahanan markas militer Guntur, Jakarta Pusat, saat piket jaga pada suatu tengah malam . Esoknya Njoto tidak ada lagi di tahanan itu. berdasar keterangan saksi Iramani, adik wanita terkecil Njoto, ada cerita Njoto ditembak di daerah Tanjung Priok. Ia juga memperoleh versi lain, Njoto dibawa dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke daerah Bekasi, Jawa Barat, dan dihabisi di sana pada 13 Desember 1965. Mana yang betul, saya tidak mengetahui , katanya. Joesoef Isak memperoleh informasi bahwa Njoto sempat ditahan selama 2 hari di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo. Cerita itu didapatnya dari seorang tentara yang
tinggal di mes rumah tahanan, yang bercerita bahwa Njoto ada di situ. Saya tanya dia:
emang kamu mengetahui Njoto, Dia berkata pake kaca mata kan, gaya gaya Cina, kata
Joesoef. berdasar keterangan saksi Joesoef, ciri ciri yang disebutkan tentara itu memang memiliki Njoto. namun Njoto hanya dua tengah malam di sana. sesudah itu ia dibawa dua orang tentara entah ke mana. Itu informasi pertama yang saya terima langsung, kata Joesoef. berdasar keterangan saksi Bonnie Triana, sesudah diambil dari rumah tahanan militer, Njoto dihabisi di
suatu tempat di Jakarta. Ia menambahkan, Mayatnya dibuang ke Kali Ciliwung.
ilham Dayawan masih mengingat belasan tentara yang membawa bawa ibunya, Soetarni, 40 tahun silam. Pinjam ibumu sebentar, ya, kata seorang tentara kepadanya, yang saat itu bocah 11 tahun . Azan magrib masih terdengar pada hari itu, satu Ahad di bulan Juni. Ilham, anak kedua pasangan Njoto dan Soetarni, tinggal bersama ibu dan 6 adiknya di rumah di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Kakaknya, Svetlana Dayani, tinggal di
rumah kerabat mereka di Solo. Ayah mereka dahulu menjabat Ketua II Comite Central
Partai Komunis Indonesia . Tentara datang ke rumah itu pada Ahad siang. Adik adik Ilham sedang bermain saat beberapa jip tentara menderu masuk halaman. Para prajurit yang ditemani pejabat kabupaten menyerbu masuk. Mereka menggeledah seluruh rumah yang sebetulnya memiliki kakak Soetarni. Semua perabotan dikeluarkan. Tempat tidur, kursi, meja, lemari, kasur, dan barang pecah belah dilempar ke halaman. Menjelang azan magrib, mereka
baru berhenti. Soetarni diangkut ke kantor Balai Kota Solo. Di sana ia diinterogasi dan lalu
dijebloskan ke Rumah Tahanan wanita Bulu di Semarang. Ia dituduh mengikuti rapat politik. Padahal ia mengatakan hanya menghadiri pesta pernikahan kerabat di Solo, beberapa hari sebelum aparat mendatangi rumah rumah nya. Ini penahanan Soetarni yang kedua. Kurang dari dua tahun sebelumnya, ia dibebaskan sesudah delapan bulan mendekam di Rumah Tahanan Budi Kemuliaan, Jakarta. Tujuh anaknya, termasuk bayi yang baru lahir, ikut ditahan sejak pertengahan 1966. Seorang anaknya lolos sebab saat tentara datang, sedang diajak pamannya ke luar rumah.
Adapun Njoto ditangkap aparat pada Desember, tiga bulan sesudah pergerakan 30 September.
Keluar dari Budi Kemuliaan, Soetarni dan anak anaknya tinggal di Baturetno. Kedatangan aparat yang membawa bawa kembali Soetarni memicu kerabat kerabatnya panik. Seorang kakak kandungnya yang tinggal di Solo lalu menemui Nyonya Tien Soeharto, meminta pembebasannya. Keluarga ini memang memiliki hubungan
kekerabatan dengan Tien Soeharto. Ibu Soetarni keturunan trah Mangkunegaran, sepupu orang tua Tien. Lobi itu tak mempan. Soetarni tetap dihukum. namun saya tak pernah sekali pun
dipukul, apalagi disiksa, kata Soetarni kepada Tempo pada pertengahan September lalu. Kini, usianya 81 tahun . Begitu PKI dianggap bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965, Soetarni segera meninggalkan rumah di Jalan Malang Nomor 22, Jakarta Pusat. Berbekal koper pakaian, ia mengungsi bersama
tujuh anaknya semuanya berusia di bawah 10 tahun . Soetarni terakhir bertemu dengan Njoto saat mengungsi di Asrama Central pergerakan
Mahasiswa Indonesia , Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pada akhir 1965. sesudah itu
tak ada lagi kabar dari sang suami. wanita kelahiran Solo, 10 Juni 1928, ini berpindah pindah, ditemani sopir bernama Kunli. Kadang ia tinggal di rumah kawan, lain kali di rumah kerabat. Kami menginap paling lama tiga hari sebab risikonya sangat besar, kata Ilham. Kawan dan kerabat keluarga Njoto selalu memberi bantuan. Jane Luyke, istri Oey Hay Djoen, meminjamkan sedan putihnya. Kawan lain turut meminjami mobil. berdasar keterangan saksi Jane, mobil yang dipakai Soetarni berganti ganti untuk menutupi jejak. Pada saat penangkapan di masa pelarian 1966 di Gunung Sahari, Soetarni dan anak anak sedang meminjam mobil milik Jane. Mobil ini pun disita tentara. sesudah ditangkap kedua kalinya, Soetarni ditahan di Penjara Komando Distrik Militer, lalu Penjara Bulu (Semarang), Bukit Duri (Jakarta). Terakhir, dia dipindahkan ke
Plantungan (Jawa Tengah). Total masa penahanannya 11 tahun . Selama Soetarni dipenjara, jarang sekali anak anaknya bisa menjenguk. Mereka tinggal di rumah saudara saudara kandung Soetarni. Hanya anak bungsunya, Esti Dayati, diasuh dalam penjara hingga usia empat tahun . Tujuh anak itu tinggal bersama adik wanita Soetarni di Solo selama dua tahun . Suami adik wanita Soetarni
seorang arsitek dan pemborong bangunan sehingga kondisi ekonominya bagus. namun
begitu ia meninggal, anak anak Soetarni harus hidup berpisah pisah, dibagi ke kerabat
lain. Anak pertama dan keempat, yaitu Svetlana Dayani dan Risalina Dayana, tinggal bersama kakak laki laki Soetarni di Jakarta. Anak kedua dan kelima, Ilham Dayawan dan Irina Dayasi, diboyong ke Palembang oleh kakak wanita Soetarni. Anak ketiga dan keenam tinggal di Medan. Njoto memberi nama belakang tujuh anaknya daya . Ini diambil dari nama lain Njoto,
Kusumo Dikdoyo. Dikdoyo dalam bahasa Jawa berarti daya. Untuk anak pertamanya,
Njoto memberi nama berbahasa Rusia, yaitu Svetlana yang berarti cahaya. Sejak prahara 1965, Svetlana tak lagi memakai namanya. Dia hanya memakai nama belakangnya, Dayani. Nama yang berbau Rusia dengan mudah dicap sebagai
PKI saat itu. Saya baru kembali memasang nama itu pada 1987. Saya lelah berbohong dan bersembunyi, katanya. Sebelum reformasi 1998, anak anak Njoto tak berani membeberkan latar belakang keluarga mereka. Tak sekali pun mereka memakai nama bapaknya dalam urusan
administrasi kependudukan. Mereka memakai nama paman atau bibi yang menanggung
mereka. Irina mengaku masa masa berpisah dengan keluarga yaitu masa sulit dalam
hidupnya. Ia mengingat di masa kecil mesti membantu keluarga pamannya mengurus
kebutuhan anak kos. Hampir tak memiliki kawan sebab hidup antara rumah dan sekolah,
Lulus sekolah menengah atas, Irina kembali ke Jakarta. Awalnya ia bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar swasta. Bekerja hampir tiga tahun , ia dipecat. Tanpa alasan jelas. Ada kemungkinan sebab mereka mengetahui rahasia keluarga kami, katanya. Irina diajak bergabung dengan organisasi lembaga swadaya masyarakat di bidang penegakan hak asasi manusia. Dia bekerja berpindah pindah organisasi demi memupuk pengalaman. Namun teman temannya selalu melarang dia turun ke jalan saat
demonstrasi di masa Orde Baru. Mereka takut jika pemerintah mengetahui latar belakang saya, organisasi mereka terancam, kata nya.
Soetarni keluar dari penjara pada 1979. Keluarga yang nyaris tak pernah berhubungan kembali bersatu oleh kehadiran sang ibu. Svetlana yang sudah bekerja mengajak ibunya tinggal di rumah kontrakan di Jati Pisang, Jakarta Timur. Anak anaknya yang lain dan sudah menyebar memutuskan tinggal di dekat ibunya di sekitar Jakarta bersama keluarga masing masing.
Ia tak pernah menceritakan sejarah Njoto kepada anak anaknya. Ia baru bercerita sesudah masa reformasi. Namun Irina bisa memahami latar belakang keluarganya berbekal ingatan masa kecil dan pelajaran sejarah. Fidelia dan Esti, adik Irina, bahkan baru mengetahui orang tua mereka yang sebetulnya saat keduanya duduk di SMA. Esti awalnya mengira sang tante yang merawatnya di
Yogyakarta yaitu ibunya. Begitu mengetahui latar belakang keluarganya, Fidelia tak berani mendaftar menjadi pegawai negeri sipil. Lulus dari sekolah keperawatan, ia batal masuk Departemen Kesehatan. Soetarni masih terlihat tegar dalam usianya kini, 81 tahun . Rambutnya sebahu, sudah
seputih asap. Wajahnya yang ramah tak menunjukkan kepedihan. Dia bahkan tak pernah menangis. Ilham mengingat, Kami hanya sekali saja melihatnya menangis: saat kehilangan bapaknya. Itu sebelum peristiwa 1965. DERING telepon terdengar di tengah pesta ulang tahun Umila, 1 Oktober 1965. Tari, sang ibu, bergegas menyambar telepon itu. Soetarni ada, suara di seberang telepon bertanya. Ada, Tari menjawab. Lekas suruh pulang , suara di seberang. Itu yaitu
suara Harto, ipar Tari, yang berpangkat kolonel, memberi perintah. Soetarni, istri Njoto, kala itu tengah berada di rumah Tari di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Tari, adik Soetarni, tengah menggelar pesta ulang tahun anak kelimanya, Umila. Soetarni datang bersama keenam anaknya. Njoto saat itu tengah berada di Medan. Begitu menerima pesan Tari, Soetarni bergegas membawa bawa anak anaknya pulang ke
rumah mereka di Jalan Malang Nomor 22, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sepanjang
jalan yang mereka lalui suasana tampak lengang tak seperti biasa. Kunli, sopir Soetarni, membisiki majikannya, ada peristiwa penculikan jenderal jenderal yang dikabarkan didalangi Partai Komunis Indonesia . Esok tengah malam nya, begitu pulang dari Medan, Njoto langsung mengungsikan keluarganya ke sebuah tempat persembunyian. Dua adiknya, Iramani dan Sri Windarti, yang tinggal bersama mereka selama ini, dipulang kan ke kampung mereka, Surabaya. Sejak tengah malam 2 Oktober itulah keluarga ini tak pernah lagi menginjakkan kaki mereka di rumah di Jalan Malang itu. Soetarni mengenang rumah mereka di Jalan Malang itu sebagai rumah yang penuh kebahagiaan. Bersama Njoto ia tinggal di sana selama 9 tahun . Empat anaknya
juga lahir di rumah itu. Rumah itu memiliki arti penting bagi kami, kata Soetarni, kini 81
tahun , kepada Tempo. Kini, rumah seluas 800 meter persegi itu menjadi wisma para pastor Gereja Santo Ignatius. Sebelumnya, sepeninggal Njoto, rumah itu sempat ditempati penghuni liar,
sebelum lalu diambil alih tentara. Pada 1968, seorang pendeta Belanda dari Gereja Santo Ignatius, Pastor Groos, membeli bangunan ini . Sejak itulah rumah ini mengalami berkali kali renovasi hingga wajah aslinya hilang. Saat dibeli, kondisinya tidak layak ditempati, kata Subagyo, mantan pengurus wisma itu. Soetarni sendiri tidak mengetahui pemilik rumah ini sebelumnya. Saya tidak pernah tanya, bagaimana suami dapat rumah itu, katanya. Keluarga Njoto pindah ke sana pada 1956. Saat itu Njoto baru memiliki dua anak, Indah Svetlana Dayani, 3 tahun , dan Ilham
Dayawan, 1 tahun . Saat Njoto masuk ke rumah ini , rumah itu masih ditempati seorang guru balet
Belanda, Ludwieg Willner. Willner tinggal bersama istri dan dua anaknya. Selama setahun , keluarga Njoto hidup serumah dengan orang Belanda itu. Masing masing keluarga menempati satu kamar besar. Kami hidup akur, kata Soetarni.
Kendati serumah dengan guru balet, Svetlana, puri sulung Njoto, tak sempat belajar menari balet. Guru Belanda itu keburu pindah ke Selandia Baru. Sepeninggal keluarga Belanda itu, Njoto lalu merombak ruang dalamnya. Ia menyekat ruang tengah dengan tripleks dan menjadi nya ruang kerja. Di sana ia menyimpan semua buku dan alat
musiknya, seperti akordeon, piano, saksofon, dan klarinet. Inilah ruang favorit Njoto. Di sini ia sering menghabiskan waktunya dengan membaca atau bermain musik. Bapak membuang bosannya di sana, kata Svet. Njoto di mata Svet yaitu ayah yang baik. Tak pernah marah, apalagi memukul mundur anak anaknya. berdasar keterangan saksi Svet, kadang ia dan adik adiknya bermain kuda kudaan dengan ayahnya. Di waktu senggang, Njoto sering mengajak keluarganya berlibur naik trem. Akhir pekan, kadang keluarga ini piknik ke pantai. Svet mengingat, jika tidak sibuk membaca, biasanya ayahnya memainkan alat alat
musik yang ada di ruang kerjanya. Beragam alat musik itu bisa dimainkan Njoto. Teman
teman sehobinya dalam soal musik kala itu, antara lain Jack Lesmana, salah satu musisi
terkenal di republik ini. Di rumah, saat tak menerima tamu, Njoto biasanya hanya memakai celana pendek, berkaus singlet, atau bersarung. Ia hobi makan camilan tempe goreng. Makanan ini
juga , dengan segelas teh hangat, yang sering menemaninya jika berada di ruang kerjanya. Iramani, adik Njoto, mengingat, ia sering melihat kakaknya membaca buku
buku kiri . Bukunya banyak, kata Iramani.
Rumah ini sering disambangi dua pemimpin PKI lainnya, D.N. Aidit dan M.H. Lukman. berdasar keterangan saksi Soetarni, dua orang ini tiga kali sepekan biasanya datang ke rumahnya.
Bersama dua tamunya itu, Njoto berdiskusi masalah politik. Suatu saat , Njoto dan istrinya jatuh sakit. Keduanya tergolek di tempat tidur. lalu
datanglah Aidit dan Lukman menjenguk. namun tetap saja mereka bicara politik di kamar
tidur, kata Soetarni. Secuil Asmara Khong Guan Biscuit tengah malam sebentar lagi datang menjelang pada pertengahan 1963. Di rumahnya di Jalan Malang, Jakarta, Soetarni, ibu lima anak yang saat itu berusia 35 tahun , gundah.
Njoto, sang suami, baru saja tiba dari Moskow, Uni Soviet, sehari sebelumnya. Selintas,
Njoto bercerita mengenai penerjemah wanita bernama Rita yang menemaninya selama di sana. Saya tidak mengetahui politik, namun naluri saya mengatakan sesuatu sedang tumbuh di hati Bapak, kata wanita yang kini berusia 81 tahun itu.
Njoto, kata Soetarni, memang menceritakan banyak hal mengenai Rita kepadanya. Kata
Bapak, Rita cantik, ramah, dan pintar. Gadis Rusia itu mahasiswi sastra negara kita di sebuah universitas di Moskow. Setiap kali Njoto ke sana, Ritalah yang menemaninya. Sebagai Ketua II Comite Central PKI, Njoto memang sering dipekerjakan berkomunikasi dengan partai komunis internasional di Uni Soviet. Soetarni hanya heran, mengapa penerjemahnya harus wanita . Kegundahan Tarni membuncah saat pada akhir 1964 terbetik kabar suaminya akan
menikahi Rita. Namun dia tak pernah menanyakannya langsung ke Njoto. Dia cuma hanya sekedar membatin, Apakah Rita hamil, Atau jangan jangan Bapak dijebak, dipasangi
wanita itu untuk tujuan politik. Saat itu PKI sedang krisis, kata Tarni. Meski hanya dipendam dalam hati, Tarni sudah bertekad, jika benar benar menikahi Rita, ia akan mengusir Njoto dari rumah.
Apalagi saat itu dia sedang hamil anak keenam, yang kelak diberi nama Fidelia Dayatun. Apa dia tega meninggalkan anak anaknya yang masih kecil, kata Tarni. Fidelia, yang diilhami nama pemimpin Kuba Fidel Castro, lahir sebelum pecah peristiwa 30 September 1965. Pada akhirnya kabar itu memang tak menjadi fakta . Njoto
tetap menjadi suami Soetarni. sesudah peristiwa itu, Tarni masih melahirkan putri ketu juhnya di dalam penjara. Si bungsu dengan nama panggilan Butet itu langsung diadopsi adik Njoto, Sri Windarti. Hal itu dilakukan sebab Soetarni dan anak anaknya dipenjara rezim Orde Baru di bawah
kekuasaan Soeharto. Fidelia dan Butet tak pernah melihat wajah ayahnya. Siapa sejatinya Rita, Joesoef Isak, wartawan yang dekat dengan Njoto, mengisahkan peristiwa yang dia pendam puluhan tahun itu. Bung Njoto manusia biasa, bisa
mencintai Bu Tarni sekaligus jatuh cinta pada Rita, kata Joesoef di kantor Tempo, di hadapan istri Njoto, 14 Agustus 2009, sehari sebelum Joesoef wafat. Berkali kali Joesoef mohon maaf kepada Tarni, selama ini ia memendam kisah itu. Saya mohon Njoto dilihat sebagai manusia biasa. Jangan kaitkan dengan PKI, entah agamanya apa, tutur Joesoef, bercucuran air mata. berdasar keterangan saksi Joesoef, hubungan asmara Njoto Rita bisa menjelaskan salah kaprah
keterlibatan Njoto dalam peristiwa 30 September 1965. Juga bisa meluruskan kabar mengenai kerasnya konflik Aidit dan Njoto. Aidit diberkata komunis pro Peking, Njoto pro Moskow, kata Joesoef. Itu omong kosong. Njoto mengagumi Aidit dan Aidit mencintai Njoto sampai saat terakhir. Namun kedekatan kedua elite PKI itu toh tak bisa menghalangi pencopotan semua jabatan Njoto dalam sidang Politbiro 1964. Njoto dianggap bersalah menjalin asmara dengan Rita dan hendak menceraikan istrinya. Aidit berniat menuntaskan skandal Rita ke Moskow. Sayang, niat belum kesampaian, peristiwa 30 September 1965 pecah. Atas izin Bu Tarni, saya berikan kesaksian ini, kata Joesoef. Joesoef, yang mengenal Rita, mengatakan, Pandangan subyektif saya, Bu Tarni lebih cantik. namun Rita wanita intelek bagi Njoto. Joesoef menggambarkan Rita sebagai gadis jinak jinak merpati. Enak diajak ngobrol, juga tak menampik diajak ke tempat tidur.
Belakangan diketahui Rita bukan hanya melayani Njoto. wanita berambut pirang itu sering tidur dengan banyak mahasiswa asal negara kita lainnya. Perilaku binal Rita itu tak diketahui Njoto.
Rita sendiri tak pernah sekali pun ke Jakarta. namun ia fasih berbahasa negara kita , bahkan
dengan memakai logat Betawi. Kadang mendadak berbahasa Jawa. Pertemuan
Njoto Rita selalu dilakukan di Moskow, kata Joesoef. Kebinalan Rita itulah yang memicu hubungan Njoto dan gadis itu terendus petinggi
Politbiro PKI di Jakarta. Para Mahasiswa Indonesia bebas keluar masuk kamar Rita.
Mereka sesukanya membuka laci, hingga menemukan surat surat cinta Njoto. Surat
surat itu lalu dikirim ke negara kita , diperbincangkan berbagai kalangan, kata Joesoef.
Sumber Tempo yang sempat dibuang ke pulau Buru oleh rezim Soeharto percaya , Rita
agen Khong Guan Biscuit , kata sandi untuk menyebut KGB, dinas rahasia Uni Soviet.
Di negerinya, Rita ke mana mana suka pakai baju batik dengan rok. sering tak pakai
celana dalam. Di mata para Mahasiswa Indonesia , Rita sangat menarik meskipun tak
begitu cantik. Saat itu jarang orang negara kita pacaran dengan bule. Tentu saja Rita
menjadi idola. Rita menjadi penerjemah pejabat negara kita dan mahasiswa yang berkunjung ke Uni Soviet sejak awal 1960 an. Pertautan cinta Njoto Rita terjadi pada awal 1963, berlanjut
melalui surat menyurat, kata sang sumber. Kepercaya an Rita agen KGB juga dari analisa
situasi saat itu. Siapa pun yang berkunjung ke negeri komunis, pasti didampingi intelijen.
jika ke Uni Soviet, pasti didampingi KGB, katanya. Dia menduga, surat cinta Njoto sengaja disebarkan Rita kepada para mahasiswa
negara kita agar sampai ke tangan Aidit. Saya termasuk yang ditawari membaca surat
cinta Njoto yang sudah digandakan dan disebarluaskan, namun saya tolak sebab itu
privasi orang. Terpuruknya Njoto dipercaya akibat hubungan asmaranya dengan Rita. namun situasi partai komunis di berbagai negara saat itu sedang krisis. Sikap PKI dianggap tak jelas, ikut
poros Peking atau Moskow. Juga konflik antara PKI dan Angkatan Darat, konflik PKI dan
komunis internasional, dan konflik Presiden Soekarno Angkatan Darat. Kondisinya
sangat gawat. Skandal Njoto Rita turut memperparah, kata dia. Iramani, adik Njoto, membenarkan keributan skandal itu. namun dia baru mengetahui belakangan dari koran terbitan tahun 1965 1966. Disebutkan, Bung Njoto memiliki gendak (wanita simpanan), kata Iramani. Katanya mahasiswi sastra negara kita ,
penerjemah tamu negara kita di Uni Soviet.
Namun, bagi Tarni, kesetiaan Njoto sudah teruji. Apa pun kata orang mengenai elegi cinta
Njoto Rita, baginya itu hanyalah dongeng. Pada masa kelam, saat dia dipenjara selama 11 tahun , tercerai berai, berpisah dengan suami dan anak anak yang tak tentu rimbanya, dia percaya Njoto yaitu kekasihnya yang dahulu . Njoto tetaplah laki laki pemujanya, yang mengiriminya berlaksa laksa surat hingga mereka menikah dan dikaruniai tujuh anak. Tarni mengenang, dalam su ratnya saat mereka berpacaran, Njoto berjanji akan
menjadi suami dan bapak yang baik. Janji itu sudah ditepatinya hingga dia diambil paksa
kekuasaan, yang tak mengetahui kasih sayang bapak kepada anaknya dan cinta suami kepada
istrinya. cincin emas itu masih melingkar di jari manisnya yang sudah keriput. Di sisi dalam
lingkaran terukir nama sang pemilik, Soetarni, dalam huruf italik. Inilah satu satunya tanda cinta Njoto yang tetap menemaninya lebih dari setengah abad. Njoto memberikan cincin tiga gram itu kepada Soetarni sebagai maskawin dalam perhelatan di Solo pada Mei 1955. Selain cincin, tak ada lagi yang tersisa, kata Soetarni di Jakarta tiga pekan lalu. Di usianya yang senja, ningrat Mangkunegaran itu masih cukup jernih menuturkan masa lalunya. Soetarni mengenal salah satu pemimpin Partai Komunis Indonesia itu sepuluh tahun sebelum perkawinannya. saat itu ia siswa Sekolah Susteran, seperti sekolah
kepandaian putri setingkat SMP di Mangkunegaran, Solo. Di antara teman
seangkatannya ada Sri Windarti, adik Njoto.
Satu hari, Windarti dan Njoto yang tinggal di Kemlayan, tak jauh dari Keraton Mangkunegaran, bersepeda ke Desa Palur, sekitar 10 kilometer di timur Solo. Ayah mereka menyuruh mengantar surat ke rekan bisnisnya, Nyai Nami Kesuma Darmojo. sesudah menjalankan misi , kakak adik itu mampir ke rumah Widna Harjono, seorang
kerabat di Palur. Pada waktu bersamaan, Soetarni dan adiknya, Soetarti, juga bertandang ke rumah Widna. Mereka akhirnya kumpul bareng di gubuk belakang rumah. Disuguhi rujak dan
hamparan sawah nan luas, obrolan mengalir renyah. Widna sempat meledek bahwa
Soetarnilah jodoh Njoto. Eh, beneran, kata Soetarni. Pertemuan Palur berlanjut. Bila ada waktu senggang, Windarti bertamu ke rumah
Soetarni di depan Stasiun Solo Balapan. Pun sebaliknya. Bila main ke Kemalayan, wanita kelahiran 10 Juni 1928 itu sering melihat Njoto tengah bermain musik. Ia bisa memainkan gitar, juga drum. Walau jarang bertemu, kata Soetarni, Njoto sering bersikap sok akrab. Kadang usilnya keluar, sebuah cubitan sering mendarat di kulit Soetarni. Biar dikejar, katanya dengan
tawa berderai. Bila tak sempat tatap muka, pemuda itu sesekali berkirim surat, tanda
hati rindu berat. Saat saat berbunga itu tak lama. saat pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta pada awal 1946, Njoto juga hijrah ke kota pendidikan itu sesudah masuk Komite Nasional
negara kita Pusat. Sejak itu, tak ada surat ataupun selentingan kabar mengenai Njoto.
Kisah dua sejoli ini berjalan sendiri sendiri. Selain sekolah, Soetarni aktif di tim olahraga Solo. Ia mewakili kota batik itu dalam pekan olahraga nasional untuk ckakak bola keranjang, olahraga seperti basket. Raden ajeng itu sempat beralih menjadi atlet anggar. Keterampilan ini ia peroleh dari ayahnya, Raden Mas Sumo Sutargio.
Dalam periode itu, Soetarni sempat dekat dengan seorang tentara. Namun hubungan itu
tak sempat beranjak ke pelaminan. berdasar keterangan saksi Soetarni, Njoto yang sudah aktif di PKI sempat menjalin asmara dengan
beberapa gadis. sesudah tragedi Madiun 1948, Njoto pindah ke Jakarta. Di sana ia tinggal bersama keluarga Cina. Njoto jadi anak kesayangan dan memperoleh nama fam
keluarga itu. Anak gadisnya juga jatuh hati. Sekali dua mereka nonton film bareng. Di Jember, Jawa Timur, Njoto juga memiliki tambatan hati. Namun, sebab lama tak ada kejelasan, ibu si gadis meminta hubungan keduanya disudahi. Ia memberikan ultimatum, bila dalam satu bulan Njoto tak juga mengajukan pinangan, anaknya akan dikawinkan dengan laki-laki lain. Kekasih Jembernya itu menemui Njoto di Yogyakarta, dan
ia dipersilakan mengikuti kehendak ibunya.
Berbarengan dengan itu, Njoto terus bergelut di partai, bergerak dari Jakarta ke Yogyakarta atau kota yang lain. Pada awal 1955, ia meninggalkan Batavia menuju Jember memakai kereta api untuk menengok kakeknya yang sakit. Dia
menyempatkan diri singgah di Solo barang seharmal. Sepucuk surat ia berikan kepada Iramani. Adik bungsunya itu memperoleh misi
menyampaikannya ke Soetarni. Di pekarang rumah, ia melihat Soetarni sedang
menyapu halaman. Wajahnya merona begitu membaca surat yang berlembar lembar
itu. Melalui surat yang panjang tadi, Njoto meminang Soetarni. Gadis itu tak kuasa menolak
permintaan mantan kekasihnya. Deretan kata kata dalam lembaran kertas ini memicu nya takluk. Di antaranya ada janji setia sehidup semati. Juga, janji menjadi suami yang baik, kata Soetarni.
Hasrat berumah tangga itu diutarakan Njoto ke Windarti seusai Kongres Partai Komunis
di Solo. Dalam santap tengah malam yang ditemani Mula Naibaho, teman temanya di Harian Rakjat, Njoto mengatakan akan melamar seorang raden ajeng. Tak mengira sama teman
saya, kata Windarti. Tak berselang lama, datanglah keluarga Jember. Di antaranya ada Masalmah, ibu Njoto, dan kakeknya. Rombongan itu menginap di rumah Soetarminah, kakak Soetarni, yang juga tak jauh dari Stasiun Solo Balapan. Acaranya tengah malam , kata Iramani.
Sebulan lalu , pesta digelar. Hampir semua kerabat Mangkunegaran hadir pula . Raden
Mas Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti, orang tua Siti Hartinah Soeharto, menjadi pendamping kedua mempelai dalam resepsi adat Jawa itu. berdasar keterangan saksi Iramani,
kendurian itu menjadi spesial lantaran tamu undangan dihibur band teman teman Njoto.
Pesta syukuran kembali digelar di Jember. sesudah itu, keduanya berbulan madu ke
Surabaya, Bondowoso, lalu Bali. Sebulan lebih bertamasya, mereka lalu tinggal di Jakarta.
Rumah di Jalan Bluntas, Jakarta Pusat belakang Rumah Sakit St. Carolus menjadi rumah pertama. Dua anaknya lahir di sini. sesudah Njoto menjabat menteri negara dan Wakil Ketua Comite Central PKI, mereka pindah ke Jalan Malang 22, Menteng. Di sini mereka kembali dikarunai lima anak. Soetarni merasa janji Njoto menjadi suami yang baik terpenuhi. Walau sibuk mengurus
partai dan pemerintahan, perhatian Njoto tak berkurang. Kadang, pekerjaan dibawa pulang agar berkumpul dengan keluarga. Bila capai, ada saja idenya. Ia sering mengajak jalan jalan sekadar mencari rujak atau jajanan lain. Jika sopir kedapatan sedang istirahat, mereka naik becak. Bapak tak bisa nyopir, kata Svetlana Dayani,
anak pertama Njoto. Gaya supel nan rame Njotolah yang memicu istrinya nyaman. Sebagai seniman, sikap romantis suaminya pun sering muncul, yang memicu Soetarni serasa terbang. Wah, manis sekali memakai baju ini, kata Iramani mengingat puji puji kakaknya. Bila tidak
cocok, Njoto mengatakan dengan pilihan kata yang tetap indah. Njoto juga tak segan mengajak istrinya menghadiri kegiatan kenegaraan atau acara informal lain, seperti melihat pertunjukan wayang atau ludruk. Sesekali mereka ke
Senayan melihat pertandingan sepak bola.
Soetarni juga bebas beraktivitas. Dia masih sering bermain anggar. Sesekali ikut menceburkan diri ke kolam sambil, menemani anak anaknya kursus renang. Namun, status sebagai atlet ia tinggalkan. Ia memilih membesarkan buah hatinya.
berdasar keterangan saksi Soetarni, suaminya juga pendongeng unggul. Kancil menjadi cerita favorit pengantar tidur anak anaknya. namun sering ngawur, cerita mencong mencong, bikin
sendiri, katanya. Bila turut ketiduran, Njoto suka mengigau. Kadang sampai tepuk tangan. jika saya ceritakan, dia tak percaya. Namun semua kebahagiaan itu direnggut sesudah 30 September 1965. Sebagai petinggi PKI, Njoto diburu tentara. Sebelum menghilang, Njoto mengungsikan keluarganya ke daerah Kebayoran Baru. Nyatanya, Soetarni dan anak anaknya juga dijebloskan ke
penjara. Selama sebelas tahun Soetarni berada di balik jeruji. Ia dipindah berkali kali, dari
penjara Wonogiri dan Plantungan di Jawa Tengah, hingga Bukit Duri, Jakarta. Di sel sel itu, sipir selalu menanyakan Njoto. Justru saya yang mau tanya di mana suami saya, jawab Soetarni. Ia baru bebas pada 1979. Walau sebagian hidupnya habis di balik jeruji penjara, Soetarni tak pernah menyesal menjadi istri Njoto. Ia tak menyalahkan suaminya sebab masuk PKI. Penjara tak
melunturkan cintanya. Hanya, selain cincin emas itu, kini tak ada lagi barang kenangan Njoto. Satu per satu hilang atau sengaja dilenyapkan untuk menghindari pengejaran tentara. jarak yogyakarta Solo dilipat oleh Njoto dengan surat surat panjang, lengkap dengan berbaris baris puisi cintanya. Surat itu sering dikirimnya ke Soetarni, wanita
keturunan ningrat Keraton Surakarta, yang bermukim di Solo, pada 1950 an. Itu surat atau koran, kata ayah Soetarni kala itu. Surat Njoto panjang panjang, bahkan berdasar keterangan saksi Soetarni, kini 81 tahun , sampai puluhan halaman. Dari lembar lembar itu lahirlah rasa tertarik yang pada akhirnya memicu dia menerima pinangan pemuda yang lalu menjadi satu dari tiga serangkai tokoh Partai Komunis Indonesia itu. Sayang, surat surat cinta itu turut musnah bersamaan dengan pecahnya peristiwa 30 September 1965 dan kocar kacirnya keluarga Njoto. Njoto dinamakan politikus yang memiliki minat besar terhadap kesenian, sastra, dan musik. Dalam hal seni dan budaya, Njoto sangat kental. Setiap terbit buku baru, dia pasti mencarinya. Dan, dia tidak pernah tidak membaca majalah kebudayaan yang baru terbit, kata Trikoyo, alumnus sekolah perwira angkatan darat Jepang yang turut membantu Njoto dan Dipa Nusantara Aidit menerbitkan Harian Rakjat dan Bintang
Merah. Trikoyo yaitu putra Kiai Anom Dardiri Suromidjoyo, pemimpin Pondok Pesantren
Naqsabandiyah di Kutoarjo, Jawa Tengah, yang dibuang pemerintah kolonial Belanda
ke Boven Digul, Papua, pada 1926. Trikoyo, kini berusia 84 tahun , pernah 10 tahun mendekam di kamp tahanan pulau Buru di masa Orde Baru.
Penulis cerita pendek ini sering mengobrol dengan Njoto, meski ia sudah tak ingat apa saja yang dibicarakannya. Ia cuma hanya sekedar tak bisa melupakan minat sastra Njoto yang terbentang luas: dari buku karya pengarang Rusia seperti Nikolai Gogol dan Dostoevsky, hingga penulis yang ideologinya berseberangan. Dia juga suka karya H.B. Jassin. Dia juga tidak meremehkan dan selalu memuji tulisan Hamka, katanya.
Svetlana Dayani, anak tertua Njoto, bercerita bahwa susunan koleksi buku ayahnya
sampai ke langit langit ruang kerjanya. Di rumah mereka di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat, ia sering melihat sang ayah memakai tangga untuk mencapai buku di rak tertinggi. Bahkan dia suka langsung membacanya di tangga itu, kata Svetlana, yang baru berusia 9 tahun saat kerusuhan politik pecah pada 1965. Njoto banyak membaca, rajin menulis. jika memperoleh ide, kata Trikoyo, ia biasanya langsung menuangkannya lewat mesin ketik, dengan jurus 11 jari alias hanya dengan telunjuk kiri dan kanan. Bila dalam perjalanan menulis itu muncul ide lain, dia akan mencabut kertas itu dan menggantinya dengan yang baru. Tulisan sebelumnya tidak
dia buang, namun nanti dia lanjutkan, katanya.
Njoto suka memakai nama pena Iramani dalam tulisannya. Iramani yaitu adik bungsu Njoto. beberapa puisi karya Njoto muncul dengan nama Iramani di Harian Rakjat, media resmi Partai Komunis Indonesia yang berkantor di Pintu Besar 93, Jakarta. Koran itu dipimpin Mula Naibaho, Njoto, dan Supeno. Itulah koran politik
terbesar dengan oplah mencapai 23 ribu eksemplar pada 1950 1965. September tahun lalu, sembilan puisi Njoto yang pernah muncul di harian itu diterbitkan kembali dalam sebuah buku. Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950 1965, buku puisi yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan
itu, berisi puisi Njoto berjudul tahun Baru , Catatan Peking , Jangtoe , Shanghai , Merah Kesumba , Variasi Haiku , Variasi Cak , dan Pertemuan di Paris . Lima dari puisi itu mengangkat soal Cina dan ditulis dari negeri itu. Puisi Jangtoe di bawah ini, contohnya , ditulis di Cungking Wunan pada 14 Oktober 1959:
Jangse mengalir Kepalku menghilir Dari Cangking ke Wuhan Kujelajahi haridepan
Kujelajahi hari depan Itulah jenis puisi yang, berdasar keterangan saksi Amarzan Ismail Hamid, redaktur Harian Rakjat Minggu saat itu, lahir dari kekaguman. Kala itu orang negara kita sulit sekali pergi ke luar negeri, namun orang PKI agak gampang sebab sering diundang pemerintah Cina atau Rusia. Harian Rakjat Minggu diasuh oleh Amarzan, Njoto, Banda Harahap, Basuki Resobowo, Zubir A.A., dan Bambang Sukawati Dewantara. Nama yang terakhir yaitu putra bungsu Ki Hajar Dewantara. Meski Njoto yaitu pemimpin redaksi harian itu, dia tampaknya sangat sibuk mengurusi politik, sehingga jarang muncul di kantor redaksi. Salah seorang redaktur pernah berkata, selama dua tahun dia bekerja di sana, Njoto hanya muncul sepuluh kali. Meski begitu, berdasar keterangan saksi Svetlana dan Iramani, Njoto sering mengajak mereka ke kantor Harian Rakjat untuk melihat proses pencetakan medianya. jika tengah malam , pukul 9 sampai pukul 11 berada di kantor Harian Rakjat, kata Iramani. Njoto suka berbicara mengenai sastra namun tak terlalu serius. contohnya ada cerita pendek Rusia yang baru terbit, dia ngomong sebentar, tidak sampai mendalam, kata Amarzan, yang baru berusia 22 tahun saat bergabung di media itu pada Juni 1963. Harian Rakjat edisi Minggu itu secara rutin memuat sebuah cerita pendek dan beberapa puisi, hasil seleksi kiriman para pengarang kiri dan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Dalam seminggu rata rata ada lima pengirim cerita pendek dan 40 pengirim puisi. Setiap orang biasanya mengirim tiga puisi atau lebih, meski sesekali ada yang bahkan mengirim 20 puisi. Pada masa itu puisi tumbuh subur di Jakarta. Penyair papan atas kala itu termasuk Banda Harahap, Sitor Situmorang, dan Agam Wispi dari kelompok kiri. Di luar itu ada juga Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Arifin C. Noer, Hartoyo Andangjaya, dan Budiman S. Hartoyo. Amarzan sendiri, dalam buku Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts, disebut sebagai penyair Lekra yang paling penting. Para penyair kiri umumnya mengirim puisi ke Harian Rakjat Minggu, meski bila dimuat mereka tak memperoleh honor. Koran setebal empat halaman itu seakan menjadi standar dalam sastra. Puisi yang dimuat biasanya memenuhi dua aspek istilah mereka, dua tinggi yaitu tinggi ideologinya dan tinggi estetikanya. Di antara karya penyair Lekra, puisi Njoto tidak boleh dikata bagus, meski bukan puisi yang buruk. Kualitasnya rata rata. Sebagian besar puisi karya penyair Lekra itu berupa propaganda, slogan, atau yang disebut sajak poster. Kebanyakan, aspek ideologi dalam sajak mereka, kata Amarzan, masih mentah, asal menyerang tuan tanah, kapitalis birokrat, atau Amerika. Sajak sajak Njoto itu tinggi ideologi, namun tidak berkibar kibar. jika dibuat pemeringkatan di Lekra, dia pasti tidak masuk peringkat satu. Saya kira paling tinggi peringkat dua, katanya. Namun puisi Njoto lebih baik dibandingkan sajak Aidit. Sajak Aidit itu jelek benar, sajak sajak maksa, kata sosok yang pernah memicu marah Aidit sebab menolak memuat puisi karya pimpinan tertinggi PKI itu. Asahan Aidit, adik bungsu D.N. Aidit, menilai Njoto benar benar menguasai bidang yang digelutinya, termasuk sastra, terutama esai. Hal itu bukan otomatis begitu saja, namun Njoto yaitu juga seorang otodidak besar yang memiliki banyak perhatian dan banyak studi, termasuk di bidang sastra. Dia menguasai sebab dia juga banyak studi, banyak membaca, dan dia memiliki otak yang cerdas dan apresiasi sastra yang tinggi, katanya melalui surat elektronik. Aroma pamflet memang terasa dalam puisi seperti Catatan Peking ini: Alangkah hebat di hati alangkah dekat! kaum tani mengolah besi kaum buruh di sawah berpeluh bajak dan baja tukar bertukar
mahasiswa pada pekerja kaum pekerja menjadi siswa berjuta milisia angkut senjata siapa berani serang Sosialisme, Njoto yaitu orang yang menyusun piagam Lekra dan memperkenalkan slogan politik sebagai panglima . Tanpa politik sebagai panglima, perkembangan kebudayaan biasanya dan sastra pada khususnya tidak bakal mengetahui misi dan garis yang harus ditempuh, bisa terjadi demam kegiatan, namun fakta nya akan merupakan pergerakan tanpa kemajuan, kata dia di hadapan Anggota Kongres Nasional Lekra pada 1951. Namun, seperti kata Asahan, estetika Njoto tidak berhenti pada estetika pamflet atau pernyataan. Dia sudah melampaui batas batas yang dikurung oleh Lekra sendiri. Njoto yaitu Lekra modern yang lebih universil di bidang kebudayaan, termasuk sastra. Sastra Njoto lebih demokratis dan lebih estetis dan lebih universil, katanya. Hal ini tampak dalam sikap Njoto dalam tuduhan plagiarisme terhadap Tenggelamnya Kapal Van der Wijk karya Hamka. Njoto yaitu orang yang menyarankan agar Lekra tidak menghancurkan Hamka. sidang otokritik di kantor Harian Rakjat itu masih lekat di ingatan Amarzan Ismail Hamid. Kala itu dia harus menghadapi seluruh jajaran redaksi lantaran menyalahi aturan kantor sebab melampaui batas cuti untuk pulang ke Medan pada September 1964. Cuti yang diajukan dua minggu diatasi nya hingga dua bulan. Saya harus mengakui kesalahan, kata mantan wartawan Harian Rakjat itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Toh, Pemimpin Redaksi Njoto tak peduli terhadap sidang yang baru dijalani Amarzan. Dia malah mengirim Amarzan ke Tiongkok untuk memenuhi undangan liputan Perayaan 15 tahun Republik Rakyat Cina. jika dia (Njoto) sudah sayang, aturan bisa dilangkahi, kata Amarzan. Padahal delegasi yang dikirim ke Tiongkok bukanlah delegasi biasa sebab inilah delegasi pertama dan terakhir dari Harian Rakjat. Mereka yang berangkat menghadiri perayaan itu merupakan orang terpilih, seperti Wakil Ketua Harian Rakjat M. Naibaho, Redaktur Luar Negeri Juliarso, Redaktur Dalam Negeri Samtiar, dan Redaktur Olahraga Baroto. Dia memang orang yang pilih kasih, kata Amarzan. saat digelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo) ajang olahraga tandingan Olimpiade ciptaan Presiden Soekarno redaksi membentuk tim untuk meliputnya. Ternyata yang meliput harus mengenakan dasi dan jas. Tak ada yang memiliki dasi. Walhasil, redaksi meminta Njoto meminjamkan dasinya. Tak berapa lama datanglah Hardono, pengawal Njoto, yang menyerahkan beberapa dasi kepada tim redaksi. Tiba tiba Hardono memanggil Amarzan dan memberinya satu ikat dasi. Untuk Bung, kata Ardono, khusus dipilih Bung Njoto. Dasi itu buatan Italia, sedang yang lain bermerek Shanghai. Yang seperti saputangan, kata Amarzan tertawa. Perlakuan istimewa juga pernah dirasakan Umar Said. saat menjadi wartawan Harian Rakjat, dia pernah ditawari Njoto untuk memimpin sebuah surat kabar di Padang, Sumatera Barat, pada 1956. saat itu sedang terjadi ketegangan politik menentang
berbagai kebijakan pemerintah pusat hingga memunculkan suara suara anti Bung Karno dan anti Partai Komunis Indonesia . Padahal pengalaman saya menjadi wartawan baru lima tahun , kata Umar, yang saat itu berusia 26 tahun dan belum menikah. berdasar keterangan saksi mantan Pemimpin Harian Ekonomi Nasional ini, tak mudah memasuki daerah Minangkabau, sebab sebelumnya dia bekerja di Harian Rakjat, organ sentral PKI. Ditambah lagi dia berasal dari Jawa Timur, yang merupakan orang luar bagi masyarakat Minang. Rupanya Njoto sudah mengantisipasi kekhawatiran Umar. Dia menyarankan Umar bertemu dengan Bachtarudin, anggota Comite Central PKI yang terkenal di Sumatera Barat sebab perjuangannya di zaman revolusi 1945. sebab nasihat itu, Umar dapat memimpin Harian Penerangan sampai 1960. Sikap pilih kasih, berdasar keterangan saksi Amarzan, menjadi salah satu kelemahan Njoto. Ini memicu iri hati, katanya. namun saya tidak mengetahui adakah orang yang dia benci, katanya. Namun, berdasar keterangan saksi Jane Luyke, tidak ada masalah dengan sikap Njoto yang pilih kasih ini. jika soal pilih pilih teman, bukan Njoto saja, kata istri Oey Hay Djoen ini. Kita juga begitu (pilih pilih teman).
Bagi Jane, mengenal Njoto memicu sebuah kekaguman tersendiri. Dia itu serbabisa dan serba mengetahui , katanya. Senada dengan Jane, orang yang pernah dekat dengan Njoto, seperti Amarzan, Umar Said, Joesoef Isak, dan Oey Hay
Djoen, juga menangkap kesan yang sama. Buat mereka, Njoto ahli di berbagai bidang, mulai urusan politik, seni, olahraga, hingga tempat tempat yang menyajikan makanan lezat.
Nama Njoto, berdasar keterangan saksi Amarzan, tidak mencerminkan penampilannya. Mulanya, Amarzan tak percaya bahwa Njoto yaitu orang yang pintar. Soalnya, ini nama Jawa yang paling
jelek, katanya. Foto Njoto saat itu, berdasar keterangan saksi dia, juga tak menggambarkan orang yang camera face. Ternyata, sesudah bertemu langsung dengan Njoto pada 1962 dalam
Konferensi Nasional Lekra di Bali, barulah Amarzan mengaguminya. Ternyata orangnya mengetahui banyak hal, katanya. Dan lebih ganteng dari fotonya. Tak hanya berpengetahuan luas, bagi Joesoef Isak, prestasi Njoto pun sangat
mengagumkan. Kepiawaiannya di bidang politik sudah tecermin sejak muda. contohnya ,
saat masih berusia 16 tahun , Njoto sudah bergabung dengan Komite Nasional negara kita Pusat. Di usia itu juga dia didapuk menjadi Ketua Fraksi PKI di parlemen. Padahal syarat menjadi ketua fraksi minimal berusia 18 tahun . Dia itu jenius, kata pendiri penerbit Hasta Mitra itu.
Joesoef menyayangkan cerita mengenai Njoto yang simpang siur sesudah 1965. Jangan
gambarkan Njoto itu PKI yang keras kepala dan doktriner, kata Joesoef. Dia sangat manusiawi sekali. Joesoef mencontohkan, sebelum 1965, semua orang berebut kuota naik haji sebab saat itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekkah, walau memiliki uang. Teman Joesoef, Tom Anwar, wartawan Bintang Timur,mengatakan ibunya yang berusia 60 tahun ingin naik haji namun tak juga dapat. Tanpa sengaja Tom menyampaikan keluh kesahnya kepada Njoto. Njoto lalu mengusahakan satu jatah untuk ibu Tom. Berkat usaha Njoto, ibunda Tom bisa naik haji. Hal senada juga dikatakan Amarzan. berdasar keterangan saksi dia, Njoto seperti bukan orang PKI. sebab hidupnya borjuis, kata nya. sedang anggota PKI kebanyakan yaitu
puritan, contohnya tidak minum Bir dan tidak pacaran. Dia merepresentasikan PKI yang
sama sekali berbeda, katanya. Pada saat tulisan Joesoef mengenai Mozart memperoleh pujian Njoto, Joesoef lalu berniat mengetes pengetahuan Njoto mengenai musik. saat mereka bertemu dalam sebuah resepsi di Kedutaan Ceko, Joesoef banyak bertanya kepada Njoto mengenai Mozart. Dia menjelaskan kepada saya jauh dari pengetahuan saya, kata Joesoef kagum. Dia betul betul mengerti soal musik. Bukan saja mengetahui banyak hal mengenai syair dan komponis, Njoto piawai juga memainkan alat musik. Joesoef mengatakan, saat mereka masuk ke sebuah toko musik di Amsterdam, Belanda, ada penemuan baru berupa saksofon pada 1965. Njoto
lalu meminjam ritme kepada seorang penjaga toko dan memainkan saksofon itu. Di tempat yang sama, Njoto memainkan lagu keroncong dengan gitar listrik. Penjaga dan pengunjung toko terdiam melihat dia main, kata Joesoef. berdasar keterangan saksi Joesoef, Njoto orang yang suka humor. contohnya , saat mampir di sebuah toko
buku di Amsterdam, Njoto memilih membeli tiga buku lelucon miring yang setengah porno. lalu dia membagikan buku itu, Ini satu untuk Bung, satu untuk saya, dan satu untuk sukarno . Perbedaan sikap Njoto dengan anggota PKI lainnya diakui Jane. Sementara aktivis partai yang lain sibuk rapat dan meninggalkan istri dan anaknya di rumah, Njoto malah sering membawa bawa istri dan anaknya ke mana mana, contohnya saat Njoto mengikuti diskusi atau melihat latihan drama di pusat kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat di Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta Pusat. agar setengah rekreasi, kata Jane menirukan
ucapan Njoto. Setiap Ahad, Njoto sering mengajak keluarganya rekreasi ke Puncak, Jawa Barat. Sepulang dari jalan jalan, dia bawa oleh oleh sayur sayuran, kata Jane mengenang. Saking seringnya berekreasi, berdasar keterangan saksi dia, Njoto dijuluki Orang Kaya Baru. namun apakah orang PKI tidak boleh jalan jalan ke Puncak, Jane balik bertanya. Jasa Njoto juga sangat terasa bagi suami Jane, Oey Hay Djoen. Aku dipungut lagi oleh Njoto, kata Oey dalam video essay Mengenang Oey Hay Djoen, Juli 2008. Pada saat itu Oey kehilangan arah sebab ditinggalkan teman temannya lantaran baru dibebaskan dari penjara Lowok Waru, Malang, 1947. Dia ditahan Belanda sebab dianggap
ekstremis. Njotolah yang membesarkan Oey, kata Jane. Njoto mengajak Oey menjadi pengurus Lekra dan anggota parlemen. Njoto memberikan tempat bagi Oey untuk berkarya, kata Jane.
Selain piawai di bidang politik, seni, dan olahraga, Njoto paham betul soal makanan. Tak hanya rasa, dia mengetahui di mana dan kapan tepatnya menyantap makanan tertentu. Njoto sering mengajak teman temannya makan ayam goreng di Jalan Blora, bubur ayam di Senen, nasi gulai kambing di Jalan Gondangdia Lama, dan bakmi di Jalan Krekot, Jakarta Pusat. Adapun tempat makan yang dipilih Njoto untuk tamu resmi, yaitu Restoran Red Table di kawasan Glodok, Jakarta Barat. pernah satu kali Amarzan makan bersama Njoto di sebuah restoran di Jalan Pintu Besi, Jakarta Pusat. Di situ, mereka memesan menu merpati goreng. Sambil menunggu pesanan, Njoto menjawil Amarzan dan mengatakan bahwa makan merpati itu paling enak di Shanghai. Saya tidak mengetahui , saya tidak pernah ke Shanghai, jawab Amarzan. Mendengar itu, dengan enteng Njoto berkata, jika begitu, besok kau pergi ke Shanghai. Adapun menu sup burung merpati, berdasar keterangan saksi Njoto, tidak cocok disantap pada siang hari. Sup itu cocok untuk makan tengah malam , sebelum hidangan pokok, kata Njoto. Sjam Kamaruzaman, Anak Tuban dalam Halimun G30S Ia datang bagai hantu: tiba tiba, tak tentu asal. Sjam Kamaruzaman: tak banyak orang mengenal nama itu. Dua tahun sesudah aksi berdarah pergerakan 30 September, ia baru muncul di depan publik. saat itu, Juli 1967, ia menjadi saksi dalam pengadilan Sudisman, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia .
Sebelumnya ia hanya bayang dalam halimun: keberadaannya setengah dipercaya, setengah tidak. Biro khusus sentral , badan rahasia PKI yang dipimpinnya, semula diduga hanya khayalan tentara untuk memudahkan Soeharto memusnahkan partai komunis itu. namun Sjam malah membenarkan semua tudingan. Ia mengaku memimpin Biro khusus sentral
dan merencanakan aksi rahasia G30S. Ia menyatakan berniat menculik bekas wakil
presiden Mohammad Hatta dan Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, selain tujuh jenderal, pada subuh berdarah itu. Sebagai orang yang bekerja mempengaruhi anggota tentara agar mendukung PKI, ia memiliki akses ke lembaga lembaga militer. Di dalam penjara, sementara tahanan politik lain bergidik setiap kali sesi pemeriksaan datang, Sjam menghadapinya dengan senyuman. Hubungannya dengan aparat militer memang bagai teman lama . Seorang putranya mengenang bagaimana di penjara, Sjam menempati sel yang besar dan diizinkan
memiliki uang satu tas penuh untuk memenuhi segala kebutuhan. Ia seperti intel dalam film Hollywood. Anak anaknya hanya mengenal sang bapak sebagai pengusaha, pemilik perusahaan genting, bengkel, dan batu kapur. Istrinya,
aktivis buruh di Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia , organisasi sayap PKI, dimintanya berhenti agar menyempurnakan penyamaran. Siapakah Sjam, laki laki dengan lima nama alias itu, Siapakah anak Tuban, Jawa Timur, yang ateis namun dikenal pandai membaca Al Quran itu, Adakah ia agen ganda atau sekadar penganut setia Ketua PKI D.N. Aidit, Tragedi G30S yaitu misteri yang tabirnya tak pernah sempurna terungkap. Sjam
Kamaruzaman yaitu mozaik penting dalam prahara yang dipercaya sudah membunuh
setidaknya 1 juta orang itu.
pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis, 30 September 1965, tengah tengah malam . 3 jam lagi, operasi penculikan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat akan dimulai. Ketegangan menggantung di udara. Beberapa laki laki tampak bergegas masuk gedung Pemetaan Nasional, Divisi Pengamat Udara TNI Angkatan Udara, tak jauh dari sudut barat laut Halim.
Lima pemimpin operasi penculikan menggelar rapat persiapan terakhir. Sjam Kamaruzaman (Ketua Biro khusus sentral Partai Komunis Indonesia ), Supono Marsudidjojo (Asisten Sjam di Biro khusus sentral ), Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim) duduk mengitari meja rapat. Wajah mereka letih. Seharusnya operasi penculikan sudah
bergerak pukul 11 tengah malam . Rencana dengan terpaksa diubah sebab tim inti terlambat
berkumpul. Sjam membuka rapat. Duduknya sembarangan, satu kakinya diangkat. Di bibirnya,
sebatang rokok terselip, mengepulkan asap. Saat itu, laporan dari pasukan pasukan di daerah sudah masuk. Banyak yang belum siap bergerak ke Jakarta. Ketegangan makin memuncak.
Tak jauh dari sana, di Lubang Buaya, pasukan G30S sudah bersiaga. Namun, rantai komando tujuh regu penculik belum disetujui . Pembagian sasaran juga kacau. 2 tim penculik yang sebagian besar beranggotakan Pemuda Rakyat organisasi pemuda sayap PKI yang baru belajar menembak, malah diserahi misi mengambil target kakap:
Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution dan Panglima TNI Angkatan Darat
Letnan Jenderal Ahmad Yani. Target ditukar lagi dengan tergesa gesa. Brigadir Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga yang tiga hari sebelumnya baru tiba dari Kalimantan untuk bergabung dengan tim
pemimpin, tengah malam itu masyang ul melihat buruknya persiapan. Apalagi, Ternyata, sesudah
diteliti, kekuatan positif di pihak kita hanya satu kompi Cakrabirawa. Keraguan mulai menjalar. Melihat tanda tanya di mata para Anggota rapat, Sjam menghardik keras, Ya, Bung. jika mau revolusi, banyak yang mundur. namun jika
sudah menang, banyak yang mau ikut. Sjam berkeras, kekurangan apa pun tak bisa
membatalkan rencana. Apa boleh buat. Kita tidak bisa mundur lagi, katanya pendek. Rapat ditutup. Pukul 03.15, tim penculik bergerak. Inisiatif operasi penculikan dini hari itu datang dari Ketua Umum Comite Central PKI, Dipa Nusantara Aidit. Pada awal Agustus 1965, sepulang dari kunjungannya ke Cina, Aidit menghubungi tangan kanannya, Sjam Kamaruzaman. Dari ucapan Sjam, terkesan Aidit galau. Dia mengaku pulang mendadak ke negara kita sesudah mendengar Soekarno jatuh sakit. jika sakitnya terulang, Presiden bisa meninggal dunia, katanya. Aidit khawatir kematian Soekarno dimanfaatkan pimpinan TNI Angkatan Darat untuk merebut Istana dan menghentikan aksi PKI. PKI sekarang harus memilih: didahului atau mendahului, kata Aidit. Dan tengah malam itu, sang ketua tampaknya sudah memutuskan. Sjam diminta segera memeriksa barisan Biro khusus sentral , dan memicu konsep untuk mengadakan suatu pergerakan yang bersifat terbatas . Sjam bergerak cepat. Dua hari sesudah bertemu dengan Aidit, dia mengumpulkan dua asistennya, Pono dan Bono, di rumahnya di Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Tiga perwira menengah TNI menjadi kandidat utama pelaksana operasi terbatas Aidit. Mereka yaitu Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan Mayor Soejono. Ketiganya anggota PKI, kata Sjam memastikan. Pernyataan ini ada di berita acara pemeriksaan Sjam oleh Polisi Militer. sebab ini misi partai, tenaga pelaksana pokoknya harus berasal dari anggota partai, katanya lagi. Sjam juga mengirim telegram ke semua jaringan Biro khusus sentral di daerah. Begitu rencana aksi terbatas sukses, mereka harus menguasai jawatan penting di daerah, dan mengajak pejabat setempat mendukung Dewan Revolusi. Dengan cara itu diharapkan sebuah aksi kecil di Jakarta bisa memicu pergerakan massa yang meluas di seluruh Nusantara. Rapat persiapan dilakukan sampai sepuluh kali. Lokasinya berganti ganti: rumah Sjam, Kolonel Latief, atau rumah Kapten Wahyudi. Sasaran operasi terbatas PKI baru
ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh antikomunis yang harus diamankan . Selain tujuh nama jenderal TNI Angkatan Darat yang sudah umum diketahui , Sjam mengusulkan penculikan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, dan Jenderal Soekendro.
Aidit yang mencoret tiga nama terakhir.
Sehari hari, di mata keluarganya, Sjam jauh dari kesan misterius. Dia cepat akrab dengan orang. Pembawaannya tenang. namun , jika sudah bicara, bisa terus saja tanpa berhenti, kata putra sulung Sjam, Maksum bukan nama sebetulnya . Pada saat G30S terjadi, Sjam berusia 41 tahun .
Empat dari lima anak Sjam yang ditemui Tempo memiliki kenangan yang sama mengenai
ayah mereka. Kami amat dekat satu sama lain, kata Maksum, kini 54 tahun . Dia ingat,
sering diajak ayahnya menonton pertandingan sepak bola. Kami sekeluarga juga sering
bertamasya melihat matahari tenggelam di Pantai Sampur, dekat Cilincing, Jakarta Utara, kata Maksum. Di rumah, Sjam ringan tangan. Setiap pagi, Bapak sibuk memperbaiki ini dan itu di
rumah, entah pompa air, entah apa lagi, tutur Maksum, yang sempat bersekolah di sebuah pesantren di Jawa Timur. sesudah semua beres, Sjam biasanya duduk santai sambil merokok. Merek rokok favoritnya Commodore. Kepada anak anaknya, Sjam mengaku menjadi pengusaha. Kami tidak mengetahui dia orang partai, kata Kelana bukan nama sebetulnya anak kedua Sjam, kini 47 tahun . Dia sempat bingung saat diajak ayahnya bertandang ke rumah Pono, asisten Sjam di Biro Chusus PKI. Di sana, anak anak Pono memanggil Bapak 'Oom Djimin'. Saya heran,
kok Bapak dipanggil Djimin, katanya. Namun rasa heran itu dia simpan dalam hati. Polisi Militer mencatat setidaknya ada lima nama alias Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. saat menulis surat perpisahan untuk adiknya, Latifah, setahun sebelum dieksekusi pada 1986, Sjam menandatangani surat itu dengan nama Rusman. Pada saat PKI merayakan hari jadinya secara besar besaran di Istora Senayan, Mei 1965, Sjam hanya menonton parade partai yang dicintainya dari kejauhan. Bapak bawa teropong sendiri untuk melihat sukarno berpidato, kata Maksum mengenang. Keluarga Sjam berasal dari Tuban, Jawa Timur. Ayahnya seorang khatib di dinas jawatan agama setempat. Dia anak kedua dari delapan bersaudara. Sejak muda, Sjam sudah bersimpati pada pergerakan kiri, bergaul rapat dengan kelompok pemuda Pathuk yang rata rata beraliran sosialis di Yogyakarta, dan aktif dalam perang melawan
Belanda dan Jepang. Hubungan Aidit dan Sjam memiliki sejarah panjang. Keduanya sudah saling kenal sejak 1949, saat Sjam aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung Priok, Jakarta.
Keluarga keduanya juga dekat. Maksum ingat keluarga mereka pernah berlibur bareng
di rumah peristirahatan Aidit di Cisarua, Jawa Barat. Waktu itu Pak Abdullah, ayah Aidit,
juga ikut, katanya saat berkunjung ke kantor Tempo, akhir Oktober lalu. Meninggalnya istri Sjam, Enok Jutianah, pada 1963 akibat tifus berkepanjangan, memicu Aidit makin percaya pada loyalitas Sjam. Enok, wanita Sunda aktivis buruh di Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia , meninggalkan
semua kegiatannya untuk menunjang penyamaran Sjam sebagai intel PKI. Dia tidak puas, 'Masak saya jadi aktivis revolusioner kok begini, Di rumah saja. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Menulis saja tidak boleh.' Makanya dia berontak, sampai
meninggal sebab sakit, kata seorang petinggi PKI menjelaskan kepada Enok. Keterangan ini dikutip John Roosa, sejarawan Universitas British Colombia, Kanada, dalam buku Dalih Pembunuhan Massal. berdasar keterangan saksi Maksum, ibunya sempat diam diam menulis laporan perjalanan wisata di majalah wanita, namun dengan nama samaran. sebab itulah, Aidit amat percaya pada Sjam. Namun dia tidak mengetahui , laporan Sjam sering tidak akurat. Para perwira siap melaksanakan rencana, sebab mengira Aidit menghendaki rencana itu berlanjut. Adapun Aidit berketetapan meneruskan rencana
sebab mengira para perwira sudah siap. Dengan tidak terbuka pada kedua pihak, Sjam sang perantara memindahkan nasib G30S ke tangannya sendiri. Dia menahbiskan
dirinya menjadi tokoh pusat pergerakan itu.
lubang Buaya, 1 Oktober 1965, pukul 05.30. Tim penculik Pasopati kembali ke markas dengan kabar buruk. 3 jenderal tewas tertembak, termasuk sasaran utama, Ahmad Yani. Target kakap lainnya, Nasution, lolos. Kami semua terdiam, kata Sjam.
Semula Aidit bermaksud membawa bawa para jenderal ke hadapan Presiden Soekarno hidup
hidup dan meminta mereka membatalkan rencana gerakan gerakan Dewan Jenderal. Sekarang,
rencana itu gagal. Sejak itu, seperti rumah kartu, operasi Biro khusus sentral PKI perlahan lahan runtuh. Satu batalion Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara, yang direncanakan datang, tak
pernah muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun
tak pernah ada. Di tengah serangan balik kubu TNI, pukulan terakhir datang dari Presiden Soekarno. Kepada Brigjen Supardjo yang menemuinya di Halim, Jumat siang 1 Oktober, Bung Besar itu memberikan perintah tegas, Jangan lanjutkan pertumpahan darah. Moral
mereka langsung jatuh. Tepat pukul 7 tengah malam , suara bariton Panglima Kostrad Mayjen Soeharto mengudara. pergerakan 30 September yaitu kontrarevolusioner, katanya. saat itulah Sjam sadar, mereka sudah kalah. Pada 2 Oktober pukul 1 siang, sehari sesudah operasi dipastikan gagal, Sjam meninggalkan Halim dan pulang ke rumahnya di Jalan Pramuka Jati, Jakarta Pusat.
Sepekan lalu , tanpa pamit kepada anak anaknya, dia lari ke Bandung. diperlukan satu setengah tahun bagi tentara untuk menemukan Sjam kembali. Pada 9 Maret 1967, saat bersembunyi di Cimahi, Jawa Barat, di rumah Letnan Dua
Suparman, tentara yang bersimpati pada PKI, ia ditangkap. sesudah itu, aparat menguras informasi dari Sjam mengenai G30S dan Partai Komunis Indonesia . Sjam, yang semula mengesankan dirinya pejuang komunisme yang kukuh, di penjara menjadi lunglai . Ia dimusuhi bahkan oleh tahanan politik PKI sendiri sebab dinilai terlalu mudah bernyanyi kepada penyidik. 19 tahun dipelihara sebagai pembocor , riwayat Sjam tamat di ujung senapan . September 1986, ia dieksekusi mati. tugas Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat, itu tiba tiba mencabut
televisi hitam putih. Benda hiburan penting para tahanan ini diangkut. Mereka juga
memelontosi penghuni sel. Semua gara gara para pendatang baru: rombongan mahasiswa yang dijebloskan sesudah peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Peristiwa Malari. Mahasiswa mahasiswa itu dinyatakan bersalah sebab mengalahkan para sipir penjara
dalam pertandingan badminton. Pada pertengahan 1970 an itu, tahanan politik Partai
Komunis Indonesia penghuni tahanan biasa mengalah kepada sipir. Para penjaga
marah. Tahanan PKI menyalahkan kami, tutur Yopie Lasut, tahanan Malari yang bebas
akhir 1975. Di tengah ketegangan, berdasar keterangan saksi Yopie, seorang laki-laki datang melerai. Ini bagus buat menyadarkan kita bahwa kita ada di Rumah Tahanan Militer, bukan di surga. Masak cuma hanya sekedar soal TV, kita harus memusuhi mahasiswa. Yopie mengenal laki-laki itu yaitu Sjam Kamaruzaman, tokoh PKI yang menghuni rumah tahanan sejak 1967. Yopie menghuni blok III tahanan, bersama dua rekannya, Salim Hutajulu dan John Pangemanan. Ada 30 an tahanan di blok itu, termasuk Sjam dan Soejono Pradigdo, Ketua Komite Daerah Besar Jakarta Raya. Soejono yaitu teman sekamar dan
asisten Sjam. Aktivis Malari, Marsillam Simandjuntak, Hariman Siregar, Syahrir, dan
Rahman Tolleng, menghuni blok lain. Salim melihat Sjam mirip god father dan penguasa yang disegani bahkan ditakuti para tahanan . Tahanan sipil ataupun militer, ia mengatakan, sering kali minta nasihat dan perlindungan kepada Sjam. Forum konsultasi itu biasanya digelar saat bermain gaple di kamar Sjam. Sjam juga diperlakukan istimewa. Meski ditahan, dia bisa keluyuran keluar masuk sel. Berbeda dengan tahanan lain yang ketakutan jika dipanggil tugas , Sjam justru santai dan bisa senyum senyum. Yang lain takut sebab jika dipanggil, pasti disiksa, kata Salim. berdasar keterangan saksi cerita Oei Tjoe Tat dalam bukunya , Sjam terkadang dilepas berkeliaran di halaman tahanan untuk mengenali para tahanan yang lain. Siapa mengetahui mereka salah satu dari tentara binaan nya. Tak mengherankan jika tahanan lain tidak tenteram
sebab nasib mereka bisa ditentukan oleh nyanyian Sjam. Salim menguatkan cerita itu. Mungkin sebab takutnya, Semua datang, kulo nuwun. jika Sjam nyebut nyebut (nama), orang kan jadi susah. Ia juga mengenang, Sjam
memiliki hobi bercocok tanam. Bersama beberapa temannya, ia menyulap halaman rumah
tahanan menjadi kebun sayur dan pepaya.
berdasar keterangan saksi Salim, di antara tahanan Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dikenal adanya orang yang dipelihara jaksa. Mereka diminta mencari informasi tahanan lainnya. Bahkan ada orang PKI diberi fasilitas untuk menjadi informan . orang itu ikut
menginterogasi teman teman mereka. Mungkin Sjam juga dipakai. namun saya percaya dia
pintar mengambil manfaat untuk kepentingan sendiri, kata Salim. Pada 1982 Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dibongkar. Sjam dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. Ia pun dijauhi tahanan lain, terutama tahanan politik non Biro
Chusus . Mereka menganggap Sjam terlalu banyak membocorkan adanya perwira perwira di dalam militer, kata Hamim, anggota Biro khusus sentral , kepada Tempo. Sjam hanya bisa akrab dengan sesama eks Biro khusus sentral , seperti Hamim, Pono, dan Bono. Ada juga kawan lamanya di Serikat Organisasi Buruh Seluruh negara kita , Munir. Kolonel Sugondo, perwira Team Pemeriksa Pusat interogator Sjam dalam wawancaranya dengan wartawan senior Atmadji Sumarkidjo, mengakui adanya perlakuan khusus itu. Sjam yaitu kunci yang membuka misteri Biro khusus sentral sesuatu yang menghubungkan organ resmi PKI dengan Untung, Komandan Pasukan Cakrabirawa yang berperanserta penting pada pergerakan 30 September. Sjam juga menggigit beberapa tentara binaan Biro khusus sentral . contohnya , ia menyebut nama Sumbodo di Jawa Timur; Herman, Diro, Usman di Jawa Tengah; Saplin dan Gani di Jawa Barat; dan Suganda dan Sidik di Jakarta. mengenai pangkat orang ini , saya tidak ingat lagi, kata Sjam dalam berita acara pemeriksaan. Nama Sidik belakangan diketahui sebagai Kolonel Muhammad Sidik Kardi, seorang penuntut untuk Mahkamah Militer Luar Biasa. Ia ditangkap beberapa pekan lalu , pada Agustus 1967, sesudah kesaksian Sjam. Sidik dipenjara 12 tahun . berdasar keterangan saksi Sugondo, pendekatan khusus kepada Sjam dilakukan secara intensif. Ia diperlakukan dengan baik. Soalnya, selama pemeriksaan awal sejak tertangkap pada
Maret 1967, Sjam melakukan aksi tutup mulut. Kebiasaan interogator memeriksa dengan kekerasan tidak mempan membuka mulutnya.
berdasar keterangan saksi Maksum, anak pertama Sjam yang nama aslinya tak ingin disebutkan, ayahnya memiliki ilmu kebal. Saat ditangkap dan diinterogasi, Kopassus memaksa Bapak mengaku dengan kekerasan fisik. Malah mereka mental. Sejak itu, tidak ada lagi yang
mencobanya, katanya. Sugondo berhasil memperoleh banyak informasi dari Sjam dengan pendekatan personal. Ia datang tidak sebagai interogator. Obrolan santai juga sering dilakukan di kantor Sugondo. Setiap hari Sjam hanya diajak ngobrol, berdiskusi mengenai berbagai hal,
ditemani kopi dan roti atau pisang goreng.
Sjam pada awalnya jaga jarak, hanya bicara terbatas. Dalam obrolan santai itu, Sugondo membiarkan Sjam bicara dan menyampaikan pikirannya tanpa diinterupsi. Sugondo juga tidak pernah mencatat agar Sjam tidak mengerem omongan. Ia mengandalkan ingatan. sesudah sampai di rumah, barulah Sugondo menuliskan semua yang diperoleh dari Sjam. Hasil laporan Sugondo dipakai Tim Pemeriksa Pusat sebagai data intelijen. Data ini dilaporkan kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto sekaligus disusun menjadi berita acara pemeriksaan untuk penuntutan di Mahkamah Militer Luar Biasa. sepucuk surat kawat tiba di meja Brigadir Jenderal Supardjo. Akhir September 1965, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga ini berada di Kalimantan Barat, dekat perbatasan negara kita Malaysia. Konfrontasi kedua negara memang sedang panas panasnya. Isi surat: meminta Supardjo segera pulang . Sang pengirim: istri tercinta di Jakarta. yaitu Ketua Biro khusus sentral Partai Komunis Indonesia , Sjam Kamaruzaman, yang meminta Supardjo pulang . Pekan ketiga September 1965, istri Supardjo berkunjung ke rumah Sjam. Kesempatan ini saya pergunakan (untuk meminta) dia mengirim kawat ke Supardjo, kata Sjam kepada Tim Pemeriksa Pusat, Agustus 1967. Setiba di Jakarta, dua tengah malam sebelum pecah G30S, Supardjo langsung ke rumah Sjam. Saat itulah, kata Sjam, Supardjo ia diberitahu rencana pergerakan . Sjam meminta Supardjo pada 30 September tengah malam datang ke rumahnya. Belakangan, ada yang menyebut Supardjo yaitu jenderal pemimpin pergerakan itu. Memang, masih ada debat soal peranserta Supardjo ini. namun kedekatan Sjam dan Supardjo sudah menjadi rahasia umum. Supardjo yaitu contoh sukses reputasi Sjam dalam mempengaruhi militer. berdasar keterangan saksi Suryoputro, nama samaran, 81 tahun , kedekatan Sjam dengan militer sudah dimulai saat Sjam menjadi anggota Kelompok Pathuk pada masa revolusi. Pathuk yaitu kumpulan diskusi anak muda yang dipimpin Djohan Sjahroezah dan Dayino, aktivis Partai Sosialis negara kita , di kampung Pathuk, Yogyakarta. Teman teman Pathuk yang masuk tentara inilah yang lalu dijadikan Sjam sebagai bagian dari jaringan rahasianya. A.M. Hanafi Duta Besar negara kita di Kuba pada 1965 dalam bukunya AM Hanafi Menggugat bercerita bahwa ia mengenal Sjam sejak 1946 di Yogyakarta. Hanafi mengenal persis Kelompok Pathuk. Kelompok inilah yang mendorong Sultan Hamengku Buwono IX mengajak tentara di bawah Soeharto berdiplomasi dengan Jepang agar menyerahkan senjata, sesudah kalah digempur Sekutu. Di antara pemuda itu terseliplah Sjamsul Qomar Mubaidah atau Sjam. Soeharto mengenal Sjam sejak awal kemerdekaan, katanya. Anggota tim Mahkamah Militer Luar Biasa, Subono Mantovani, dalam AM Hanafi Menggugat, mengaku pernah melihat foto Sjam saat masih di Yogyakarta. Sjam, kata Subono, yaitu intel di Resimen 22 Brigade 10 Divisi Diponegoro berpangkat letnan satu. Subono saat itu juga berpangkat letnan satu dan bersama Sjam dan Soeharto ikut dalam Kelompok Pathuk. Sekitar 1949, Sjam berkenalan dengan Aidit, yang lalu mengajaknya masuk Pemuda Tani organisasi yang berafiliasi pada Barisan Tani Indonesia , organisasi sayap PKI. dalam berita acara pemeriksaan Agustus 1967, Sjam mengatakan Biro khusus sentral PKI dibentuk akhir 1964. Partai, kata Sjam, melihat sejak 1950 banyak tentara masuk PKI. Mereka diorganisasi oleh komite partai di daerah, namun peranserta nya tak maksimal. Sjam lalu memperoleh misi dari Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit, untuk mempelajari dan mengorganisasi secara tepat para tentara itu. Ia bersama Pono dan Bono, dua
orang inti Biro khusus sentral lain, lalu menggarap tentara. Kehebatan ketiganya dalam
menembus militer ditandai dengan peranserta mereka sebagai intel tentara. Posisi ini memicu mereka leluasa keluar masuk markas militer. Mereka memiliki kontak jenderal, kolonel, kapten, hingga prajurit di lapis bawah, kata Hasan, nama samaran, seorang sumber John Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal. Hubungan antara Sjam dan militer ini saling menguntungkan. Relasi Sjam dan Supardjo bisa dijadikan contoh. Supardjo contohnya pernah menjadi komandan tentara untuk daerah Garut, Jawa Barat, dalam memberantas Darul Islam. Supardjo dengan bantuan kader kader PKI militan memakai taktik pagar betis pada awal 1960 an untuk
memadamkan pemberontakan ini. Sjam bekerja memasok informasi seputar Darul Islam dan jaringannya. Supardjo, yang sukses menghancurkan Darul Islam, memperoleh dukungan Sjam, melalui koneksi militernya, untuk naik pangkat. sesudah penghancuran Darul Islam, Supardjo diangkat menjadi Panglima Pasukan Gabungan di sepanjang perbatasan negara kita
Malaysia di Kalimantan. Pangkatnya naik dari kolonel menjadi brigadir jenderal. Supardjo merasa berutang budi kepada Sjam, kata Hasan. Dalam persidangannya sesudah G30S, Supardjo membenarkan kedekatannya dengan Sjam. Ia contohnya memakai Sjam sebagai sumber intelijen. Di mata Supardjo, Sjam orang yang
memiliki banyak koneksi dan informasi mengenai politik dan militer. berdasar keterangan saksi Sjam dalam kesaksiannya kepada penyidik, pemimpin Biro khusus sentral berusaha
membantu kenaikan pangkat anggota anggotanya. Kolonel Latief, contohnya , yang semula bekerja di Jawa Tengah, bisa dipindahkan ke Kodam Jaya sebab bantuan seorang perwira yang memiliki kontak dengan Biro khusus sentral . Sjam menyatakan tidak kenal perwira ini. namun perwira tadi berkolaborasi dengan Kolonel Pranoto, yang bekerja di bagian personalia Staf Umum Angkatan Darat. Latief, seperti juga letnan Kolonel Untung dan Mayor Sujono, yaitu binaan Pono. Latief digarap sejak menjadi Komandan Brigade Infanteri Angkatan Darat Kodam V
Jakarta Raya, Untung sejak bekerja di Cakrabirawa, dan Sujono sejak 1963. Kapten
Wahyudi dan Mayor Agus Sigit dididik Pono sejak 1963. Latief, Untung, dan Sujono yaitu tentara yang sudah menjadi anggota PKI. Yang lain belum saya pastikan, namun yang jelas mereka simpatisan partai, kata Sjam. Kepada penyidik, Sjam mengaku memiliki banyak pengikut di tubuh militer. Sebelum G30S, Sjam sudah merekrut dua peleton Brigade 1 Kodam Jaya, satu kompi Batalion 1 Cakrabirawa, lima kompi Batalion 454 Diponegoro Jawa Tengah, lima kompi Batalion
530 Brawijaya Jawa Timur, dan satu batalion Angkatan Udara. namun , sebab tak dirancang dengan saksama, pengikut itu tak berdaya di hari puncak aksi G30S. desember 1964, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh bertikai hebat dengan Menteri Negara Dipa Nusantara Aidit dalam sebuah rapat kabinet. Chairul, tokoh Partai
Murba yang antikomunis, menyodorkan segepok manuscript dan menuding Ketua Partai
Komunis Indonesia diam diam merencanakan kudeta. Aidit membantah. Bisa terjadi baku pukul andai Presiden Soekarno tak melerai. Semua yang dibicarakan di sini tak boleh sampai keluar, kata Soekarno, keras. Sebuah tim investigasi militer lalu diberi mandat memeriksa kesahihan tudingan Chairul. Hasilnya: Partai Komunis
negara kita dinyatakan bersih dan Chairul harus meminta maaf kepada Aidit. Tak banyak yang mengetahui bahwa lolosnya Aidit dari tudingan Chairul menjelang peralihan kekuasaan 1965 itu berkat campur tangan sebuah lembaga klandestin bentukan PKI: Biro khusus sentral .
Cikal bakal Biro khusus sentral yaitu badan militer dari Departemen Organisasi PKI. John
Roosa, sejarawan dari Universitas British Colombia, Kanada, menjelaskan bahwa sayap
militer partai ini sudah berfungsi sejak 1950 an. Bagian militer ini tumbuh secara alamiah, katanya. berdasar keterangan saksi Roosa, pada tahun tahun pertama Republik, banyak pemuda anggota laskar pejuang yang diterima menjadi tentara reguler. Beberapa di antara mereka bersimpati pada pergerakan kiri. saat perang berakhir, PKI tidak mau kehilangan kontak dengan para simpatisan ini, kata Roosa, mengutip sumbernya, seorang tokoh sentral PKI 1960 an. Untuk menjaga jaringan partai di militer itulah Aidit lalu membentuk badan khusus ini. Pemimpin
pertamanya yaitu Karto alias Hadi Bengkring, anggota senior PKI. Biro khusus sentral bekerja mengurusi, memelihara, dan merekrut anggota partai di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia secara ilegal, kata Iskandar Subekti, panitera Politbiro PKI, dalam catatannya atas peristiwa 30 September 1965. Pada masa itu, apa yang dilakukan PKI bukanlah sesuatu yang aneh. beberapa partai lain juga memiliki organ khusus untuk memelihara kontak mereka dengan tentara. Partai Sosialis negara kita salah satunya. Militer negara kita sesudah kemerdekaan memang penuh dengan klik berdasarkan kecenderungan politik masing masing, kata Roosa. Pada 1964, sesudah kematian Karto, D.N. Aidit menunjuk sahabatnya, Sjam Kamaruzaman, menjadi kepala unit ini. Sejak itulah beberapa perubahan besar terjadi. Penetrasi PKI ke dalam tubuh militer dilakukan secara lebih sistematis. Kerahasiaan unit ini pun dijaga makin ketat. Lembaga eksekutif PKI, Politbiro, dan Comite Central dibiarkan tak memperoleh informasi apa pun soal pergerakan bawah tanah ini. Kendali hanya ada di tangan Ketua PKI. sebab itulah Aidit bisa leluasa meminta bantuan perwira merah di TNI saat dia dianggap akan mengkudeta Soekarno.
Biro khusus sentral terdiri atas lima orang agen inti di tingkat pusat dan tiga anggota di setiap
daerah. Di bawah Sjam sebagai ketua, ada Pono dan Bono dua intel Biro khusus sentral didikan Hadi Bengkring. Dua anggota staf lain yaitu Suwandi (bendahara) dan Hamim (pendidikan). Wandi dan Hamim tidak ikut menyusup ke dalam tentara. Untuk memudahkan mereka masuk ke kompleks tentara, Sjam, Pono, dan Bono memiliki kartu anggota militer dengan jabatan agen intelijen TNI. Jadi, jika masuk kompleks militer, mereka tinggal berkata bahwa mereka itu yaitu
intelnya si ini atau si anu, kata John Roosa, merujuk pada kesaksian mantan pemimpin
elite PKI. sebab memiliki kartu anggota TNI itulah para agen merah ini sering dikira agen
ganda. Sebagai kedok untuk kerja intelijen, sehari hari Sjam mengaku saudagar pabrik genting
PT Suseno di Jalan Pintu Air, kawasan Pasar Baru. Bono mengelola bengkel PT Dinamo di Jalan Kebon Jeruk dekat Harmoni, Jakarta Pusat. Pono memiliki restoran, dan Hamim mengelola satu perusahaan bus. Biro khusus sentral juga mengelola usaha kontraktor dan CV Serba Guna, maselesai jual beli rumah di Gang Sentiong, Kramat, Jakarta Pusat. Dana dari perusahaan perusahaan ini dipakai untuk menunjang operasi Biro khusus sentral . sebab itulah para tetangga lima agen ini tidak pernah menduga Sjam dan empat anggota stafnya yaitu mata mata PKI. Saban hari, setiap pukul enam pagi, seperti
orang kantoran lain, mereka rutin berangkat ke kantor naik mobil pribadi. Anak anak Sjam sendiri mengira ayahnya hanya pengusaha biasa.
Penyamaran sempurna agen agen Biro khusus sentral ini baru terbongkar saat Soejono
Pradigdo, salah satu anggota Politbiro PKI yang tertangkap paling awal, membocorkan
keberadaan Biro pada Desember 1966. Sjam dicokok lima bulan lalu , dan mulai bercerita lebih detail soal unit rahasia ini. DIA memiliki satu nama asli dan tiga nama samaran. namun ia hanya ingin dipanggil Hamim salah satu nama aliasnya. agar enggak diketahui katanya. Soal pentingnya memiliki nama palsu, ia beralasan agar hidupnya aman. saat belajar di sekolah partai di Tiongkok, saya diwajibkan memakai nama alias, katanya. Hamim sendiri ia ambil dari nama seorang teman di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sudah meninggal, saya gunakan saja nama itu, tanpa maksud apa apa, katanya. Hamim, kini 83 tahun , yaitu tokoh penting dalam sejarah pergerakan 30 September. Ia yaitu satu satunya anggota Biro khusus sentral Partai Komunis Indonesia yang tersisa. Biro yaitu badan rahasia yang dibentuk Ketua PKI D.N. Aidit untuk mempersiapkan aksi berdarah itu. 4 pengurus Biro khusus sentral lainnya Sjam Kamaruzaman, Pono, Bono, dan Suwandi sudah tak ada. 3 yang pertama dieksekusi aparat pada 1986, sedang Suwandi meninggal lebih dahulu . Hamim pun divonis mati, namun bersama beberapa tahanan politik bebas saat Soeharto jatuh. Nama Hamim berkali kali disebut Sjam saat diperiksa aparat pada 1967. Ia ikut dalam rapat rapat rahasia Biro khusus sentral menjelang 30 September. saat aksi itu disikat tentara pada Oktober 1965, Hamim bertahan di Jakarta, sedang Sjam lari ke Jawa Barat. Ditemui wartawan Tempo, Ahmad Taufik, Anwar Siswadi, dan fotografer Aditya Herlambang Putra di rumahnya di Tasikmalaya, Ahad dua pekan lalu, Hamim bicara panjang lebar mengenai Biro khusus sentral dan peranserta Sjam